Anda di halaman 1dari 3

Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

‫وأشهد أن ال إله إال هللا وحده ال شريك‬ ،‫ نبينا محمد و آله وصحبه ومن وااله‬،‫الحمد هلل والصالة والسالم على رسول هللا‬
ُ‫أن مح ّمداً عبده ورسوله‬
َّ ‫وأشهد‬ ،‫له‬
Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan nikmat
yang telah di berikan kepada kita,
Kemudian sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Suri tauladan , Nabi
Muhammad shalallahu alaihi wa salam, dan juga kepada para pengikutnya,...
Yang kami hormati Para juri, bapak ibu guru, serta para hadirin yang semoga dirahmati oleh
Allah,.
Berdirinya saya di sini akan menyampaikan pidato berjudul “ Bersyukur kepada Allah.”

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji hamba-hambaNya yang bersyukur.


Namun itu sangat sedikit dari hamba-hambaNya. Allah Ta’ala berfirman:

﴾١٣﴿ ‫ي ال َّش ُكو ُر‬


َ ‫… َوقَلِي ٌل ِّم ْن ِعبَا ِد‬

“…Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba[34]: 13)
Allah juga memuji Nabi Nuh, karena ia termasuk hamba Allah yang bersyukur. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berjanji untuk memberikan tambahan kepada orang-orang yang
bersyukur. Allah berfirman:

﴾٧﴿ ‫…لَِئن َشكَرْ تُ ْم َأَل ِزي َدنَّ ُك ْم ۖ َولَِئن َكفَرْ تُ ْم ِإ َّن َع َذابِي لَ َش ِدي ٌد‬

“…Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan
jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS.
Ibrahim[14]: 7)
Mensyukuri nikmat Allah membutuhkan kekuatan Iman. Karena sesungguhnya nikmat-
nikmat tersebut seringkali melalaikan. Banyak orang yang diberikan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala nikmat, bukan semakin dekat kepada Allah. Akan tetapi semakin ia jauh kepada
Allah.

Semakin banyak nikmat, semakin banyak harta yang Allah berikan kepada seorang hamba,
bukan menjadikan dia semakin dekat dan bertaqarrub kepada Allah. Akan tetapi semakin
menjadikan dia kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bersombong, karena ia merasa memiliki harta yang banyak. Ujub dengan kekayaannya dan
hartanya, dengan pakaiannya yang mewah. Seperti si Qorun yang ia keluar kepada kaumnya
dengan perhiasannya dan ia merasa sombong dengannya. Ia menganggap bahwasannya
kekayaan itu semua hasil jerih payahnya. Tanpa sama sekali menisbatkan kepada Allah
pemberi  kenikmatan tersebut.
Oleh karena itulah, berapa banyak kenikmatan-kenikmatan tersebut seringkali membuat
kita lupa kepada Allah. Cobalah kita renungkan dalam kehidupan kita. Allah memberikan
kepada kita nikmat-nikmat yang banyak. Berupa nikmat pakaian, demikian pula nikmat
makanan, nikmat tempat tinggal, demikian pula nikmat kendaraan, terutama nikmat ketika
kita bisa berhubungan dengan manusia berupa handphone. Demikian pula alat-alat
komunikasi yang lainnya.

Semua itu adalah nikmat yang Allah berikan kepada kita. Tapi entah kenapa kamudian
diantara kita lebih disibukkan dengan WhatsApp, lebih disibukkan dengan Facebook, lebih
disibukkan dengan alat-alat tersebut daripada berdzikir kepada Allah, lebih disibukkan dari
membaca Al-Qur’anul Karim, lebih disibukkan daripada berdzikir kepada Allah.
Bahkan ia lebih banyak membaca WhatsApp daripada ia membaca Al-Qur’an, daripada ia
membaca kitab-kitab para ulama. Bukankah itu semua adalah nikmat Allah? Bukankah itu
sesuatu yang harus disyukuri? Sedangkan syukur itu kita gunakan untuk menaati Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Bukan Untuk kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menyebutkan bahwasannya syukur itu mempunyai
rukun.
Rukun yang pertama, mengakui dengan hati kita bahwasannya nikmat ini adalah dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Tidak seperti sebagaimana seseorang yang sombong yang
menganggap bahwasannya kenikmatan tersebut hasil dari pada jerih payahnya, karena
kecerdasannya, karena keterampilannya, karena kemampuannya dalam berbisnis sehingga
dia tidak menisbatkan itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka seorang yang mengakui bahwasanya nikmat ini semua dari Allah dan semua itu diberi
oleh Allah, maka ia telah mensukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rukun yang kedua, ia mengucapkan dengan lisannya puji dan syukur kepada Allah. Karena
sesungguhnya ia tahu dan yakin bahwasannya satu-satunya yang memberikan kenikmatan
hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan atasannya, bukan pula siapa-siapa, dia yakin
dengan seyakin-yakinnya bahwa pemberi rezeki hanyalah Allah. Maka ia memuji Allah, ia
puji Allah atas seluruh kenikmatan-kenikmatan yang Allah berikan kepadanya.

Adapun rukun yang ketiga kata Ibnul Qayyim yaitu menggunakan nikmat-nikmat tersebut


untuk mentaati Allah. Kita gunakan HP kita untuk mentaati Allah, kita gunakan kendaraan
kita untuk menaati Allah, bahkan panca indra kita yang merupakan nikmat yang besar, kita
gunakan mata kita untuk melihat apa yang Allah ridhai, kita gunakan telinga kita untuk
mendengarkan apa yang Allah cintai, kita gunakan hati kita untuk memahami ayat-ayatNya,
kita gunakan akal yang berikan untuk memahami ayat-ayat Allah yang Allah turunkan
kepada kita. Bukan untuk menentang ayat-ayatNya.
Siapa yang menggunakan seluruh kenikmatan tersebut saudaraku, sungguh ketika ia
gunakan dalam kebaikan dan ketaatan, ketika ia gunakan dalam perkara yang diridhai oleh
Ar-Rahman, maka sungguh ia telah mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ummatal Islam,

Dahulu Salafush Shalih dengan diberikan banyak kenikmatan, mereka menjadi ketakutan.
Mereka takut sekali dengan hisab pada hari kiamat. Mereka sangat takut sekali, semua
kenikmatan yang diberikan kepada mereka akan dipertanyakan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Mereka takut dengan jawaban apa yang harus mereka lakukan.
Maka dari itu Salafush Shalih, ketika mereka diberikan oleh kenikmatan-kenikmatan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala, segera mereka infaqkan, segera mereka gunakan untuk
ketaatan, bahkan semakin mereka mencintai suatu harta semakin mereka malah
menginfakkannya. Hal ini karena mereka ingin mendapatkan keutamaan yang besar yang
disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

… ۚ َ‫لَن تَنَالُوا ْالبِ َّر َحتَّ ٰى تُنفِقُوا ِم َّما تُ ِحبُّون‬

“Kalian tidak akan sampai kepada kebajikan, sampai kalian menginfakkan apa yang kalian
cintai…” (QS. Ali-Imran[3]: 92)
Subhanallah.. Demikianlah Salafush Shalih.

Sementara kita, gembira dan senang ketika kita mendapatkan kenikmatan dunia belaka.
Lalu setelah itu kita lupa untuk mensyukurinya. Sementara Salafush Shalih ketika diberikan
kenikmatan dunia, mereka sungguh malah ketakutan. Takut itu menjadi adzab pada hari
kiamat untuknya.
Maka dari itulah saudaraku sekalian, setiap kita wajib merenungi tentang harta, tentang
karunia, tentang kenikmatan yang Allah berikan kepada kita. Sudah untuk apa kita lakukan?
Sebelum dihari kiamat Allah tanya kita, tanyakanlah di dunia ini kepada diri kita sendiri.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga kita semua menjadi hamba yang pandai
bersyukur dan mendapatkan hidayah untuk terus bersyukur atas segala nikmat dari Allah.
Aquulu qauli haadzaa, mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan, baarakallahu
fiikum.
Wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Anda mungkin juga menyukai