Anda di halaman 1dari 29

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SYUKUR

1. Pengertian Syukur

Kata Syukur berasal dari bahasa Arab yaitu “syakara-yasykuru-syukran”

yang artinya berterima kasih. Syukur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

diartikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah Swt. dan untunglah (pernyataan

lega, senang, dan sebagainya). Kata syukur biasa diartikan dengan kegembiraan

hati atas datangnya nikmat dengan mengerahkan anggota badan untuk taat kepada

pemberi nikmat, dan mengakui nikmat tersebut dengan penuh ketundukan. 1Di

dalam tasawuf, istilah ini mengacu kepada kesadaran akan ihwal keluasan rahmat

Allah atas hamba-Nya. Suatu kesadaran bahwa nikmat dan rahmat Allah tidak

terbatas dan tidak terhingga.

Secara bahasa, syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat baik atas

apa yang dilakukan kepadanya. Syukur adalah kebalikan dari kufur. 2 Hakikat

syukur adalah menampakkan nikmat, sedangkan hakikat kekufuran adalah

menyembunyikannya. Menampakkan nikmat berarti menggunakannya pada

tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-

nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah.3

1
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1239.
2
Amir An-Najar, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern, Terj. Ija Suntana,
(Bandung: PT. Mizan Publika, 2004), h. 90.
3
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 216.
Sedangkan menurut istilah syara‟, syukur adalah pengakuan terhadap

nikmat Allah yang disertai dengan ketundukannya dan menggunakan nikmat

tersebut sesuai dengan kehendak Allah.4

Menurut Emmons, dalam kamus bahasa Inggris Oxford, mendefinisikan

syukur sebagai sifat atau kondisi berterimakasih, apresiasi sebuah kecenderungan

atau kehendak hati untuk membalas kebaikan. Syukur dikenal dengan istilah

gratitude. Kata gratitude berasal dari bahasa latin “gratia”, yang berarti kebaikan

atau kemurahan hati dan “gratus” yang artinya menyenangkan hati.5

Dan ada beberapa menurut para tokoh yang memberikan definisi

mengenai syukur, diantaranya:

a. Al-Muhasibi, syukur adalah mengetahui bahwa nikmat itu datangnya dari

Allah Swt., dan tidak ada satu pun nikmat yang berasal dari penduduk

langit dan bumi kecuali awalnya berasal dari Allah.

b. Ibn Qayyim Al-Jawziyah, rasa syukur didirikan atas tiga asas, yaitu

mengakui nikmat yang telah diberikan di dalam hati, menceritakannya dan

mengekspresikannya dengan lisan, dan menggunakannya sesuai dengan

kehendak Allah yang memberi nikmat.

c. Ja‟far Al-Sadiq, syukur adalah salah satu dari tujuh prinsip akar tingkah

laku terhadap Allah adalah memberikan hak-Nya, menjaga batas-batas-

Nya, bersyukur atas karunia-Nya, patuh kepada titah-Nya, sabar

4
Komarudin Hidayat, Dahsyatnya Syukur, (Jakarta: Qultum Media, 2009), h. 2.
5
Hidayatul Qoyyimah, Perbedaan Tingkat Syukur Ditinjau dari Kepribadian pada
Pondok Pesantren Putri Al-Hikmah Al-Fatimiyah Joyosuko, (Malang: UIN Maulana Malik
Ibrahim, 2013), h. 31.
menghadapi cobaan-cobaan-Nya, memuliakan kesucian-Nya, dan

merindukan-Nya.

d. Ibn Abbad, menyatakan bahwa pertama-tama mengajarkan manusia untuk

mengucap rasa syukur kepada Tuhan dengan lidahnya, kemudian dengan

hatinya hingga seluruh dirinya menyatakan syukur yang mendalam dan

setiap saat hidupnya dipenuhi rasa syukur kepada Allah. 6

e. Al-Qusyairi, hakikat syukur adalah pengakuan terhadap nikmat Allah dan

dibuktikan dengan ketundukan kita kepada-Nya. Jadi, syukur adalah

mempergunakan nikmat Allah sesuai dengan kehendak Allah sebagai

pemberi nikmat Allah. Karena itu, dapat dikatakan bahwa syukur yang

sebenarnya adalah mengungkapkan pujian kepada Allah dengan lisan,

mengakui dengan hati akan nikmat yang telah diberikan Allah, dan

mempergunakan nikmat tersebut dengan sesuai kehendak Allah. 7

f. Ibn Qudamah, bersyukur itu dapat terjadi dengan hati, lisan dan perbuatan.

Bersyukur dengan hati yakni keinginan hati untuk selalu berbuat baik.

Bersyukur dengan lisan yaitu mewujudkan rasa terima kasih kepada Allah

dengan bentuk pujian kepada-Nya. Dan bersyukur dengan perbuatan yaitu

mempergunakan nikmat Allah itu sesuai dengan kehendak yang memberi

nikmat.8

g. Abdul Qadir Al-Jailani, hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah

karena Dialah pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui

bahwa segala nikmat merupakan pemberian dari Allah, kemudian diikuti


6
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf, h. 1240.
7
Komarudin Hidayat, Dahsyatnya Syukur, h. 2.
8
Komarudin Hidayat, Dahsyatnya Syukur, h. 3-4.
dengan anggota badan tunduk kepada pemberi nikmat tersebut. Jadi,

syukur itu merupakan pekerjaan hati dan anggota badan.9

h. Al-Jurjaniy, al-syukur itu adalah suatu keadaan kebaikan sebagai

membalas suatu nikmat. Atau dengan kata lain syukur itu bisa dinyatakan

sebagai suatu sifat terpuji yang dilahirkan melalui lisan, janan (hati), dan

arkan (anggota zahir) dengan satu tujuan untuk mengagungkan kebesaran

Allah Swt. dan ketinggian-Nya yang disebabkan penganugerahan nikmat

tersebut.10

2. Konsep Dasar Syukur dalam Alquran

a. Q.S Al-Baqarah [2]: 152


Artinya: “karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku.”11

Pada ayat ini mengandung perintah untuk mengingat Allah Swt. melalui

zikir, hamdalah, tasbih, dan membaca Alquran dengan penuh penghayatan,

perenungan, serta pemikiran yang mendalam sehingga menyadari kebesaran,

kekuasaan dan keesaan Allah Swt. Menjauhi larangan Allah Swt. yang sudah

ditetapkan, sehingga Allah Swt. akan membuka pintu kebaikan.12

9
Sa‟id bin Musafir Al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, (Jakarta: PT.
Darul Falah, 2003), h. 502-503.
10
Othman Napiah, Ahwal dan Maqamat dalam Ilmu Tasawuf, (Malaysia: University
Teknologi Malaysia, 2001), h. 93.
11
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT. Sygma
Examedia Arkanleema, 2009), h. 23.
12
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maraghi, Terj. Anshori Umar Sitanggal. Hery
Noer Aly. Bahrun Abu Bakar, (Semarang: CV. Toha Putra, Cet. II, 1993), h. 30.
Ayat ini juga mengandung perintah untuk bersyukur kepada Allah Swt.

atas nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan dengan cara mengelola dan

memanfaatkan semua nikmat sesuai dengan masing-masing fungsinya, kemudian

memanjatkan pujian kepada Allah Swt. dengan lisan dan hati, serta tidak

mengingkari semua anugerah tersebut dengan cara mempergunakannya ke jalan

yang bertentangan dengan syariat dan sunatullah.13

Ayat ini merupakan peringatan kepada umat manusia agar tidak

terperosok seperti umat terdahulu yang telah mengingkari nikmat-nikmat Allah

Swt. dengan tidak menggunakan akal dan indera untuk merenungkan dan

memikirkan untuk apa nikmat-nikmat tersebut serta bagaimana cara

penggunaannya, sehingga Allah Swt. mencabut nikmat tersebut sebagai hukuman

dan pelajaran bagi mereka.14

b. Q.S Ibrahim [14]: 7


Artinya: “dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".15

Ayat-ayat diatas menunjukkan bahwa pada hakikatnya manusia

diciptakan oleh Allah untuk bersyukur. Orang-orang yang bersyukur adalah

orang-orang yang dapat mengambil manfaat dan pelajaran dari ayat-ayat-Nya,

mengambil salah satu dari asma-Nya, karena Allah adalah Asy-Syukur, yang

berarti menghantarkan orang yang bersyukur kepada Zat yang disyukurinya,

13
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maraghi, h. 31.
14
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maraghi, h. 32.
15
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 256.
sementara orang-orang yang bersyukur diantara hamba-hamba-Nya sangatlah

sedikit.

3. Syukur Menurut Al-Ghazali

Ketahuilah, sesungguhnya syukur itu merupakan maqam atau kedudukan

para salikin (orang-orang yang sedang menempuh jalan Allah). Syukur itu terdiri

dari ilmu, hal (keadaan), dan amal. Ilmu adalah pokok yang membuahkan

keadaan, dan keadaanlah yang membuahkan amal.

Yang dimaksud dengan ilmu disini adalah mengenali nikmat dari yang

memberikan nikmat. Keadaan adalah kesenangan yang timbul karena kenikmatan

tersebut. Dan amal yaitu melaksanakan sesuatu yang menjadi tujuan Sang

Pemberi nikmat dan yang disukai-Nya. 16

Ketahuilah, menurut Al-Ghazali bahwa hati menerima suatu keadaan

ketika ilmu mengenai syukur sampai kepadanya. Kebahagiaan yang muncul di

dalam hati disebabkan oleh rasa syukur disebut keadaan syukur, yaitu perasaan

bersyukur serta kerendahan dan ketundukan hati orang yang diberi nikmat atau

rezeki.

Ketahuilah bahwa mensyukuri anugerah lahiriah dan batiniah dari Allah

Swt. merupakan salah satu kewajiban makhluk. Semua orang harus berusaha

menunaikan kewajiban itu semampunya meskipun tidak ada makhluk yang dapat

secara tuntas kewajiban bersyukurnya kepada Allah Swt. Tujuan akhir bersyukur

adalah mengetahui ketidakmampuan untuk sepenuhnya memuaskan rasa syukur,

sebagaimana tujuan akhir penghambaan adalah menyadari ketidakmampuan untuk

16
Al-Ghazali, Terapi Sabar dan Syukur, h. 84
memenuhi tuntutan-tuntutannya. Karena itu, Rasulullah Saw mengakui

ketidakmampuannya meskipun tidak ada makhluk yang berusaha menunaikan

kewajiban-kewajiban hamba dan kewajiban untuk bersyukur oleh Rasulullah Saw.

Kesempurnaan dan kekurangan seorang hamba dalam bersyukur sebanding

dengan pengetahuan tentang Sang Pemberi dan segenap anugerah-Nya. Dan

karena tak seorangpun sanggup mengetahui Allah secara sempurna, tak ada pula

yang sanggup bersyukur kepada-Nya secara sempurna.

Hamba bisa dianggap telah bersyukur apabila dia sepenuhnya mengetahui

hubungan makhluk dengan Khalik, mengetahui seluruh rahmat ilahi, mengetahui

awal dan akhir penyingkapan ilahi, mengetahui kaitan satu karunia dengan

karunia lainnya, dan mengetahui rantai wujud dengan sebenar-benarnya.

Ketahuilah bahwa tingkatan-tingkatan pengetahuan hamba itu bermacam-

macam, begitu pula tingkatan-tingkatan mereka dalam bersyukur. Tingkatan

dalam bersyukur juga bermacam-macam karena bersyukur adalah memuji Sang

Mukmin atas anugerah-anugerah-Nya. Dengan demikian, nikmat-nikmat lahiriah

memerlukan satu macam bersyukur dan nikmat-nikmat batiniah memerlukan jenis

lainnya. Jika nikmat itu bersifat pengetahuan dan makrifah, syukurnya mesti

dengan satu cara, dan jika nikmat itu berupa tajalli Nama-Nama Allah, syukurnya

juga dengan cara lain. Karena semua kategori dan tingkatan nikmat itu dinikmati

hanya oleh sedikit hamba-Nya, upaya untuk menunaikan kewajiban bersyukur

pada semua tingkatannya hanya bisa dilakukan oleh segelintir kecil orang.

Pada galibnya, syukur dianggap sebagai maqam yang berkaitan dengan

orang kebanyakan (awam), lantaran setiap orang berkehendak untuk membalas


jasa Sang Pemberi. Tentu saja, ungkapan “kehendak untuk membalas jasa” ini

tidaklah sopan bila ditujukan kepada Allah (karena tidak mungkin ada yang bisa

membalas jasa Allah).

Derajat ketiga syukur terletak di tempat sang hamba tidak melihat apapun

kecuali keindahan Sang Mukmin, dan dia tenggelam dalam keindahan-Nya.

Keadaan ini terdiri atas tiga kedudukan. Pertama, dia mematuhi-Nya seperti

budak hina melihat tuannya. Dalam keadaan ini, ia menyadari bahwa dirinya

berada di hadapan-Nya, dia benar-benar takzim, dia tidak memandang dirinya

bernilai. Apabila dalam kerendahan hati ini, jika dia dianugerahi nikmat, dia

sangat menghargainya, dan menganggap dirinya tidak berarti dan tidak patut

menerima nikmat itu. Kedua, ketaatannya seperti ketaatan seseorang kepada

kekasihnya. Dalam keadaan seperti ini, dia tenggelam dalam keindahan Sang

Kekasih, dan apapun yang diterima dari-Nya, dia hargai, sekalipun hal itu adalah

penderitaan dan kesulitan. Ketiga, dia menaati-Nya tanpa sekat Nama-Nama.

Dalam keadaan seperti ini, dia akan melupakan dirinya sendiri dan orang lain, dan

hanya melihat Zat Allah, sambil tidak menyadari mana yang nikmat dan mana

yang bukan nikmat.17

Ada dua sebab mengapa bersyukur kepada Allah tidak sama dengan

bersyukur kepada manusia. Sebab pertama adalah Allah sama sekali tidak

membutuhkan apapun, sedangkan manusia tidak terlepas dari kebutuhan. Allah

Yang Mahatinggi tidak membutuhkan pujian, nama, kemasyhuran, sanjungan,

pelayanan, rukuk dan sujud manusia. Sebab kedua adalah manusia memiliki

17
Imam Khomeini, 40 Hadis Telaah atas Hadis-Hadis Mistis dan Akhlak, (Bandung:
Mizan, 2009), h. 417-421.
kebebasan berkehendak yang dengannya ia dapat melakukan apapun dan bahwa

kebebasan itu merupakan nikmat pemberian Allah Swt.

Manusia tidak bersyukur kepada Allah karena ia tidak tahu dan tidak

sadar akan besarnya nikmat Allah karena kebodohannya. Manusia mengira bahwa

semata mengucapkan puji-pujian kepada Allah dengan lidahnya sudah cukup

untuk bersyukur kepada-Nya. Manusia tidak mengetahui bahwa bersyukur

terhadap suatu nikmat adalah harus sesuai dengan perintah Allah, dan jika ia

memenuhi tujuan penciptaan sesuatu, maka ia bersyukur terhadap sesuatu itu.

Sebab pertama manusia tidak bersyukur kepada Allah adalah manusia

tidak menganggap nikmat-nikmat itu sebagai karunia dari Allah Swt. Ini karena

manusia menikmati nikmat-nikmat itu begitu saja, seperti udara, air dan api, tidak

pernah memikirkan penciptanya. Coba kita perhatikan, bagaimana kalau tidak ada

udara sesaat saja, kita semua akan mati, binasa dan hancur. Kita mempunyai mata

tetapi seringkali tidak bersyukur karena dengan mata kita dapat melihat. Ketika

seseorang menjadi buta karena suatu sebab lalu mendapatkan kembali

penglihatannya, barulah ia merasakan nikmat itu kemudian bersyukur.

Sebab kedua manusia tidak bersyukur adalah tidak mengetahui nikmat

dan hakikatnya. Ia tidak menyadari bahwa sebenarnya ia sedang berada dalam

nikmat. Bahkan terkadang menganggap bahwa nikmat Allah yang diberikan

kepadanya hanya sedikit. Orang yang tidak mengetahui hakikat nikmat, tidak akan

bisa mensyukurinya.

Sebab ketiga manusia tidak bersyukur adalah melihat kepada orang yang

lebih darinya. Jika seseorang selalu melihat kepada orang yang dilebihkan
darinya, ia akan meremehkan pemberian Allah sehingga rasa syukurnya

berkurang. Sebab, ia melihat bahwa apa yang diberikan Allah itu hanya sedikit.

Sebab keempat manusia tidak bersyukur adalah melupakan masa lalu.

Diantara manusia ada yang menjalani kehidupannya dalam keadaan sengsara. Ia

hidup dalam penuh ketakutan dan kecemasan, baik dalam masalah harta,

kehidupan atau tempat tinggal. Ketika Allah memberikan nikmat kepadanya, ia

tidak mau membandingkan antara masa lalunya dengan sekarang. Padahal hal itu

dapat menegaskan kepadanya bahwa Allah telah memberi karunia kepadanya dan

mendorongnya untuk mensyukuri nikmat Allah.

Al-Ghazali menjelaskan bahwa sebenar-benarnya syukur itu adalah ketika

dilakukan dengan tiga hal, yakni syukur dengan hati, syukur dengan ucapan dan

syukur dengan anggota badan.

a. Syukur dengan Hati

Yang dimaksud syukur dengan hati yaitu pengakuan hati bahwasanya

semua nikmat itu datangnya dari Allah, sebagai kebaikan dan karunia Sang

Pemberi nikmat kepada hamba-Nya. Manusia tidak mempunyai daya dan upaya

untuk mendatangkan suatu nikmat, hanya Allahlah yang dapat

menganugerahkannya tanpa mengharapkan imbalan apapun dari hamba-Nya.

Sebagai seorang hamba, ia harus menunjukkan bahwa dirinya sangat

membutuhkan nikmat itu merasa cukup dengan nikmat yang telah diberikan, dan

tidak puas dengan syukur yang telah ia lakukan. Allah Swt. berfirman dalam Q.S

An-Nahl [16]: 53 yakni:


Artinya: “dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, Maka dari Allah-lah
(datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, Maka hanya kepada-
Nya-lah kamu meminta pertolongan.”18

Seorang hamba tidak bisa terlepas dari nikmat, karunia dan kebaikan Allah

walaupun sekejap mata, baik di dunia maupun di akhirat. Sebab, Allah lah yang

telah menganugerahkan nikmat tersebut dan tidak ada yang menyamai-Nya.

Semua makhluk di dunia ini hanya bisa memberikan sesuatu dengan batas-

batas tertentu, mereka tidak bisa memberikan kesembuhan kepada yang sakit,

memberikan keturunan kepada yang mandul, memberikan petunjuk kepada yang

sesat, atau memberikan jalan keluar bagi yang ditimpa cobaan.

Syukur dengan hati akan membuat seseorang merasakan keberadaan

nikmat-nikmat itu pada dirinya, sehingga ia tidak akan lupa kepada Allah Sang

Pemberi nikmat. Ketahuilah, bahwasanya tidak sempurna tauhid seorang hamba

hingga ia mengakui bahwa semua nikmat lahir dan batin yang diberikan

kepadanya dan kepada makhluk lainnya, semua itu berasal dari Allah, kemudian

ia menggunakannya untuk taat dan mengabdi kepada-Nya. 19

b. Syukur dengan Ucapan

Syukur dengan ucapan yaitu menyanjung dan memuji Allah atas nikmat-

Nya dengan penuh kecintaan, serta menyebut-nyebut nikmat itu sebagai

pengakuan atas karunia-Nya dan kebutuhan terhadapnya, bukan karena riya,

pamer atau sombong. Dengan cara demikian, hati dan anggota tubuh menjadi

tergugah untuk bersyukur.

18
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 272.
19
Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, Indahnya Bersyukur Bagaimana Meraihnya?,
(Bandung: Marja, 2012), h. 39-44.
Syukur dengan ucapan yang berhubungan dengan nikmat itu ada dua

macam, yaitu:

1. Bersifat umum, yaitu menyifati Allah dengan sifat kedermawanan,

kemuliaan, kebaikan, kemurahan dan lain sebagainya dari sifat-sifat-Nya

yang sempurna.

2. Bersifat khusus, yaitu dengan menyebut-nyebut nikmat-Nya serta

mengabarkannya kepada orang-orang bahwa nikmat itu datangnya dari

Allah, sebagaimana firman Allah taala dalam Q.S Al-Dhuha [93]: 11:



Artinya: “dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.”20

Para ahli tafsir menerangkan bahwa maksud ayat di atas adalah menyebut-

nyebut nikmat Tuhan apabila disertai dengan rasa puas sambil menjauhkan rasa

riya dan bangga merupakan salah satu bentuk pengejawantahan dari kesyukuran

kepada Allah Swt. 21

Menyebut-nyebut nikmat Allah merupakan salah satu sendi syukur. Jika

seorang hamba menyebut-nyebutnya, ia akan teringat kepada Pemberinya dan

mengakui kelemahan dirinya. Maka dengan sendirinya ia akan tunduk kepada

Allah, memuji-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan banyak mengingat-Nya dengan

berbagai macam zikir, sebab zikir merupakan pangkalnya syukur.

20
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 596.
21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 398.
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Orang yang menyembunyikan nikmat

berarti mengingkarinya, sedangkan orang yang menampakkan dan

menyebarluaskannya berarti mensyukurinya.” 22

c. Syukur dengan Anggota Badan

Yang dimaksud syukur dengan anggota badan adalah senantiasa

melaksanakan ketaatan dan berusaha menghindari kesalahan. Ibnu Qayyim

mengatakan, “Syukur itu adalah tunduk dan taat kepada aturan Allah dan

mendekatkan diri kepada-Nya dengan amalan yang disukai-Nya baik lahir

maupun batin.”

Syukur dengan anggota badan, artinya anggota tubuh digunakan untuk

beribadah kepada Allah, Tuhan semesta alam, karena masing-masing anggota

tubuh memiliki kewajiban beribadah. Hal itu tidak akan sempurna kecuali dengan

menaati Allah dan rasul-Nya dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi

larangan-Nya, termasuk menggunakan nikmat-nikmat-Nya di jalan yang diridai-

Nya dan tidak menggunakannya untuk berbuat maksiat kepada-Nya.23

4. Keutamaan Syukur

a. Syukur Menghilangkan Kesusahan

Allah Swt. berfirman: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya

aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu

mengingkari (nikmat)-Ku.” (Q.S. Al-Baqarah: 152)24

Ayat tersebut menerangkan kepada kita agar kita selalu ingat kepada

Allah Swt. Salah satu cara mengingat Allah yakni dengan bersyukur kepada-Nya.
22
Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, Indahnya Bersyukur Bagaimana Meraihnya?, h. 44-46.
23
Abdullah bin Shalih Al-fauzan, Indahnya Bersyukur Bagaimana Meraihnya?, h. 48.
24
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 23.
Jika ingat Allah, maka Allah Swt. juga akan ingat kepada kita, maksudnya Allah

Swt. akan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, dan salah satu

bentuk rahmat dan karunia-Nya adalah mengeluarkan kita dari kesulitan dan

menunjukkan jalan kemudahan.

b. Syukur Mendatangkan Rezeki

Salah satu bentuk syukur adalah mendayagunakan seluruh anggota

tubuh dan potensi yang telah dikaruniakan Allah untuk berjuang mengatasi

masalah yang dihadapi dan mewujudkan kehidupan menjadi lebih baik. Allah

Swt. berfirman: “Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah).

dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.” (Q.S. Saba‟: 13) 25

c. Syukur Menambah Nikmat

Syukur akan menambahkan nikmat-nikmat sehingga semakin

bertambah. Dengan syukur pula, seseorang dapat mengikat nikmat-nikmat yang

sudah ada dengan ikatan yang kuat, sehingga tidak mudah hilang. Allah Swt.

berfirman: “dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya

jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika

kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

(Q.S. Ibrahim: 7) 26

Ibnu „Athaillah dalam Al-Hikam yang dikutip oleh Komarudin

Hidayat, mengatakan “siapa yang tidak mensyukuri nikmat Allah, sama saja

25
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 429.
26
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 256.
dengan berusaha menghilangkan nikmat tersebut. Sedangkan orang yang

bersyukur, artinya dia telah mengikat nikmat tersebut dengan ikatan yang kuat.” 27

d. Syukur Mendatangkan Kesembuhan

Orang-orang yang mampu dan selalu istiqamah dalam mensyukuri

nikmat Allah, sekalipun dalam kondisi sakit, maka Allah akan memberikan dua

ganjaran yang luar biasa. Ganjaran yang pertama, Allah akan menyembuhkan

penyakitnya, dan ganjaran yang kedua adalah Allah akan memberikan nikmat

yang jauh lebih baik dari nikmat sebelumnya.

e. Syukur Mengantar ke Surga

Salah satu ciri orang yang bersyukur adalah selalu merasa cukup

dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya. Baginya nikmat dan rezeki

adalah urusan Allah yang Maha Mengatur. Allah menjanjikan balasan yang luar

biasa bagi siapa saja yang pandai mensyukuri pemberian Allah yang telah

dimiliki. Allah berfirman: “dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang

yang bersyukur.” (Q.S. Ali Imran: 145) 28

Orang yang bersyukur selalu merasa puas atas nikmat yang telah

dikaruniakan Allah kepadanya, dan tidak iri hati terhadap apa yang telah dimiliki

oleh orang lain, insya Allah dimudahkan Allah jalan menuju surga.

f. Memperbaiki dan Melancarkan Interaksi Sosial

Dalam kehidupan bermasyarakat, hubungan yang baik dan lancar

merupakan hal sangat penting. Hanya orang yang bersyukur yang dapat

27
Komarudin Hidayat, Dahsyatnya Syukur, h. 49.
28
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 68.
melakukan upaya memperbaiki dan memperlancar hubungan sosial karena tidak

ingin menikmati sendiri apa yang telah diperolehnya.

g. Memperbaiki Kualitas Hidup

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Robert Emmons29, menunjukkan

bahwa orang yang bersyukur mengalami perubahan kualitas hidup lebih baik.

Sikap-sikap positif seperti semangat hidup, perhatian, kasih sayang, dan daya

juang berkembang dengan baik pada mereka yang terbiasa mengungkapkan rasa

syukurnya setiap hari.

B. PERILAKU ALTRUISTIK

1. Pengertian Perilaku Altruistik

Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa

memerhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam

banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering

digambarkan sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran filsafat, seperti

objektivisme berpendapat bahwa altruisme adalah keburukan. Altruisme adalah

lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri.30

Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban.

Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan

keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memerhatikan ganjaran, sedangkan

kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu,

seperti Tuhan, raja, organisasi khusus, seperti pemerintah, atau konsep abstrak,

29
Aura Husna (Neti Suriana), Kaya dengan Bersyukur: Menemukan Makna Sejati
Bahagia dan Sejahtera dengan Mensyukuri Nikmat Allah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2013), h. 162.
30
Bambang Syamsul Arifin. Psikologi Sosial, h. 277.
seperti patriotisme, dan sebagainya. Beberapa orang dapat merasakan altruisme

sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi

tanpa memerhatikan ganjaran atau keuntungan.

Altruisme adalah paham (sifat) suka memperhatikan dan mengutamakan

kepentingan orang lain, cinta yang tidak terbatas terhadap sesama manusia. Sikap

manusia yang mungkin naluri berupa dorongan untuk berbuat jasa kepada orang

lain.31

Dalam artikel berjudul Altruisme dan Filantropis, altruisme diartikan

sebagai kewajiban yang ditujukan pada kebaikan orang lain. Suatu tindakan

altruistik adalah tindakan kasih sayang yang dalam bahasa Yunani disebut Agape.

Agape adalah tindakan mengasihi atau memperlakukan sesama dengan baik

dengan tujuan kebaikan orang itu dan tanpa dirasuki oleh kepentingan orang yang

mengasihi.32

Altruisme adalah konsep yang biasanya dibedakan dari egoisme dan

individualisme. Altruisme adalah sikap mementingkan kepentingan dan

kebutuhan orang lain.33

Tindakan altruistik selalu bersifat konstruktif, membangun,

memperkembangkan, dan menumbuhkan kehidupan sesama. Suatu tindakan

altruistik tidak berhenti pada perbuatan itu sendiri, tetapi keberlanjutan tindakan

itu sebagai produknya, bukan sebagai kebergantungan. Istilah tersebut disebut

moralitas altruistik, yaitu tindakan menolong tidak hanya mengandung kemurahan

31
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), h. 24.
32
Robert Borrong, Etika Bumi Baru, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), h. 211.
33
Nicholas Abercrombie, dkk., Kamus Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), h.
23.
hati atau belas kasihan, tetapi diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan

sesama tanpa pamrih. Berdasarkan hal tersebut, seseorang yang altruis dituntut

memiliki tanggung jawab dan pengorbanan yang tinggi.

Dalam buku Sears dkk, altruis adalah tindakan sukarela yang dilakukan

oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa

mengharapkan imbalan apapun (kecuali mungkin perasaan telah melakukan

kebaikan).34

Salah satu bentuk tolong menolong adalah altruisme. Auguste Comte

sebagai orang pertama yang menggunakan istilah altruisme, yang berasal dari kata

alter artinya orang lain, membedakan perilaku menolong yang altruis dengan

perilaku menolong yang egois. Menurutnya, manusia dalam memberikan

pertolongan mempunyai dua dorongan (motif), yaitu altruis dan egois. Kedua

dorongan tersebut sama-sama ditujukan untuk memberi pertolongan. Perilaku

menolong yang egois bertujuan memberi manfaat untuk dirinya sendiri atau dia

mengambil manfaat dari orang yang yang ditolongnya. Sedangkan perilaku

menolong yang altruis adalah perilaku yang ditujukan semata-mata untuk

kebaikan orang yang ditolong.

Setiap orang tahu bahwa orang kadang bertindak altruistik, tetapi

keterangan “altruistik” mengenai perilaku terlalu mengada-ada. Tampaknya orang

tidak berkutat diri, tetapi jikalau kita lihat lebih dalam, kita dapat mengetahui

bahwa sesuatu yang lain yang terjadi. Biasanya tidak terlalu sukar untuk

34
David O. Sears, dkk., Psikologi Sosial, (Jakarta: Erlangga, 1985), jilid 2, h. 47.
menemukan bahwa perilaku “tak berkutat diri” terkait dengan suatu keuntungan

untuk orang yang melakukan hal itu.35

Menurut beberapa teman Raoul Wallenberg, sebelum pergi ke Hungaria,

Raoul mengalami depresi dan tidak bahagia bahwa hidupnya tampak tidak begitu

menanjak. Maka ia menjalankan tindakan-tindakan yang akan membuatnya

menjadi seorang tokoh heroik. Pencariannya untuk kehidupan yang lebih

bermakna luar biasa berhasil. Ibu Theresa, suster yang membaktikan hidupnya

bekerja diantara orang miskin di Calcuta, sering dikutip sebagai contoh sempurna

orang yang tak berkutat diri, tetapi tentu saja, Ibu Theresa yakin bahwa dirinya

akan memperoleh ganjarannya yang indah di surga (ternyata dia tidak perlu

menunggu terlalu lama untuk hadiah itu, dia memperoleh Hadiah Nobel

Perdamaian pada tahun 1979).

Maka perilaku “altruistik” dalam kenyataan berkaitan dengan hal-hal

seperti ini, hasrat untuk hidup yang lebih bermakna, hasrat untuk dikenal umum,

perasaan kepuasan pribadi, dan harapan akan ganjaran surgawi. Untuk setiap

tindakan yang jelas-jelas altruisme, kita selalu mendapatkan jalan untuk

mengingkari altruismenya dan menggantikannya dengan penjelasan dalam

kerangka motif-motif yang lebih berpusat diri.36

Altruisme lebih mengutamakan kebahagiaan, kesejahteraan dan kebaikan

bahkan kelangsungan hidup orang lain daripada diri sendiri, bersikap demikian

35
James Rachels, Filsafat Moral,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013), h. 125
36
James Rachels, Filsafat Moral, h. 126.
untuk meningkatkan rasa aman, terpuasnya kepentingan atau kebahagiaan orang

lain, meski disaat yang sama membahayakan hidupnya. 37

Kaum sufi menjalankan prinsip perilaku altruisme (lebih mengutamakan

orang lain) dalam berinteraksi sosial dengan memberikan pertolongan tanpa

pamrih kepada orang lain. Perilaku ini menurut As-Suhrawardi didorong oleh rasa

kasih sayang yang begitu besar dalam hati mereka pada makhluk (manusia) serta

keimanan dan keyakinan yang menancap kuat di dada mereka.38

Dalam hal ini mereka bertata krama sesuai dengan tata krama dalam

Alquran yang memuji kaum anshar karena sikap altruisme mereka kepada

saudara-saudara mereka seagama dari kalangan muhajirin.

Perilaku lebih mengutamakan orang lain daripada diri sendiri merupakan

buah dari kezuhudan yang benar, atau indikator kebenaran sikap zuhud. Dzunnun

al-Mishri mengatakan: “ada tiga tanda orang zuhud yang dilapangkan dadanya:

Membagi-bagi harta kekayaan yang dikumpulkan, tak mencari-cari sesuatu yang

sudah hilang, dan mengutamakan orang lain dalam masalah makan.”

Dalam altruisme, mereka tidak mengistimewakan segolongan manusia atas

yang lain karena alasan-alasan khusus, seperti hubungan kekerabatan atau

hubungan pertemanan dan lain-lain. Akan tetapi, mereka bersikap sama rata

dengan memberikan apa yang dibutuhkan orang lain sesuai kemampuan mereka.

Salah seorang tokoh sufi mengatakan: “Perilaku mengutamakan orang lain tidak

berangkat dari sikap pilih-pilih, akan tetapi altruisme berarti mendahulukan hak-

37
David O. Sears, dkk., Psikologi Sosial, h. 47.
38
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: Amizah, 2011), h. 334.
hak makhluk seluruhnya atas hakmu tanpa membedakan antara saudara, teman,

dan kenalan.”

Sikap mementingkan orang lain ini tentu saja merupakan indikator

kesucian nafsu diri dan bukti perlawanan terhadap kecenderungan kikir atau

bakhil sehingga ia merupakan jalan kebahagiaan dan kesuksesan. As-Suhrwardi

mengatakan: “Orang sufi terdorong untuk bersikap altruis karena kesucian nafsu

dirinya dan kemuliaan nalurinya, dan Allah tidak menjadikannya orang sufi

kecuali setelah ia meluhurkan nalurinya untuk hal tersebut. Maka, setiap orang

yang memiliki naluri dermawan, ia nyaris bisa disebut sufi. Allah Swt. berfirman:

“Dan siapa yang telah dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulan orang-

orang yang beruntung.” (Q.S. Al-Hasyr [59]: 9).39

2. Aspek-aspek Perilaku Altruistik

Dalam altruistik terdapat lima aspek, diantaranya:

a. Empati. Perilaku altruis akan terjadi apabila terdapat empati dalam

diri seseorang. Seseorang yang paling altruis merasa diri mereka paling

bertanggung jawab, bersikap sosial, selalu menyesuaikan diri, toleran dapat

mengontrol diri, dan termotivasi untuk membuat kesan yang baik. Seseorang yang

altruis dapat merasakan perasaan yang sama sesuai dengan situasi yang terjadi.

b. Belief on a just world (Meyakini keadilan dunia). Seorang yang

altruis yakin akan adanya keadilan yang ada di dunia, yaitu keyakinan bahwa

dalam jangka panjang yang salah akan dihukum dan yang baik akan menerima

hadiah. Orang yang keyakinannya kuat terhadap keadilan dunia akan termotivasi

39
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 546.
dengan mudah menunjukkan perilaku menolong. Menurut teori Melvin Lerner,

orang yang keyakinanya kuat terhadap keadilan dunia akan termotivasi untuk

mencoba memperbaiki keadaan ketika mereka melihat orang yang tidak bersalah

menderita. Tanpa pikir panjang, mereka segera bertindak memberi pertolongan

jika ada orang yang menderita.

c. Social responsibility (tanggung jawab sosial). Setiap orang

bertanggung jawab terhadap apapun yang dilakukan orang lain, sehingga ketika

ada orang lain yang membutuhkan pertolongan orang tersebut harus

menolongnya. Seseorang yang altruis pada dirinya merasa bertanggungjawab

terhadap situasi yang ada disekitarnya.

d. Kontrol diri secara internal. Maksudnya adalah mengontrol dirinya

secara internal. Hal-hal yang dilakukan dimotivasi oleh kontrol dalam dirinya

(misalnya kepuasan diri).

e. Ego yang rendah. Seseorang yang altruis memiliki keegoisan yang

rendah. Dia lebih mementingkan orang lain daripada dirinya.

3. Faktor-faktor yang dapat Mempengaruhi Perilaku Altruistik

Menurut Wortman dkk., beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang

dalam memberikan pertolongan kepada orang lain adalah sebagai berikut: 40

a. Empati

Empati adalah kontributor efektif yang penting terhadap altruistik. Empati

merupakan tanggapan manusia yang universal yang dapat diperkuat dan ditekan

oleh pengaruh lingkungan. Manusia mempunyai dorongan alamiah untuk

40
Wortman, dkk., Psychology, (New York: Alfred A, 1992), h. 421.
mengesampingkan motif pribadi dalam membantu dan meringankan penderitaan

orang lain.41

Menolong orang lain membuat seseorang menjadi merasa bahagia. Akan

tetapi, persoalannya bisakah seseorang menolong orang lain tanpa

dilatarbelakangi motivasi yang mementingkan diri sendiri? Sebetulnya, dengan

empati (pengalaman menempatkan diri pada keadaan emosi orang lain,

menjadikan orang yang berempati seolah-olah mengalaminya sendiri). Empati

inilah yang menurut Batson akan mendorong orang untuk melakukan pertolongan

altruistis.

Ada beberapa keuntungan dan kerugian ketika seseorang mempunyai

perilaku altruistik yang didorong oleh empati, diantaranya:

Keuntungannya adalah: (a). Memunculkan perilaku menolong yang

sensitif. Ketika terdapat empati, bukan hanya pikiran yang diperhitungkan

melainkan untuk meringankan penderitaan orang lain. (b). Mencegah agresi.

Secara umum, para wanita memperlihatkan perasaan empati yang lebih besar

dibandingkan para pria, dan mereka memiliki kecenderungan yang lebih kecil

untuk mendukung perang dan bentuk agresi yang lain. (c). Meningkatkan kerja

sama. Pada eksperimen laboratorium, Batson dan Nadia Ahmad menemukan

bahwa orang-orang yang berada dalam potensi konflik lebih dapat memberikan

kepercayaan dan kooperatif ketika merasakan empati untuk orang lain.

Personalisasi kelompok luar dengan cara berusaha mengenal lebih jauh mereka

yang berada dalam kelompok tersebut, membantu orang-orang untuk memahami


41
Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami (Menyingkap Rentang
Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pasca Kematian), (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), h. 265.
perspektif mereka. (d). Meningkatkan sikap terhadap kelompok-kelompok yang

mendapatkan stigma tertentu. Mengambil sudut pandang orang lain, membiarkan

anda merasakan apa yang mereka rasakan, dan anda akan menjadi lebih suportif

kepada orang lain.

Kerugian yang dialami oleh seseorang ketika mempunyai sikap altruistik

diantaranya: (a). Dapat menjadi sesuatu yang berbahaya. Orang yang

membahayakan hidup mereka atas orang lain terkadang kehilangan hal tersebut.

Orang yang berusaha untuk melakukan hal baik juga dapat melakukan hal buruk,

terkadang secara tidak sadar mempermalukan akan menurunkan motivasi dari

penerimanya. (b). Akan mengalamatkan segala kebutuhan. (c). Membakar

perasaan. Merasakan sakit yang dirasakan oleh orang lain adalah menyakitkan

yang dapat membuat kita berusaha untuk menghindari situasi-situasi yang

membangkitkan empati kita, atau membuat kita berusaha untuk menghindari

perasaan “terbakar” atau “kelelahan” karena rasa iba. (d). Meningkatkan

favoritisme, ketidakadilan dan sikap masa bodoh terhadap kebaikan umum yang

lebih besar.42

b. Faktor Personal dan Situasional

Sears dkk, sebagaimana dikutip oleh Trivers, faktor personal dan

situasional sangat mungkin berpengaruh dalam perilaku menolong. Seseorang

lebih suka menolong orang yang disukainya, memiliki kesamaan dengan dirinya

dan membutuhkan pertolongan, faktor-faktor diluar diri suasana hati, pencapaian

42
David G. Myer, Psikologi Sosial, (Jakarta: Salemba Humaika, 2012), h. 208.
reward pada perilaku sebelumnya dan pengamatan langsung tentang derajat

kebutuhan yang ditolong.

Faktor kepribadian tidak terbukti berkaitan dengan altruisme. Penelitian

yang pernah ada menunjukkan bahwa dalam memberikan pertolongan, tidak ada

bedanya antara perilaku kriminal dan yang bukan. Oleh karena itu, faktor

situasional turut mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan kepada

orang lain.

c. Nilai-nilai Agama dan Moral

Sears dkk, sebagaimana dikutip oleh Ladon, faktor lain yang

mempengaruhi seseorang untuk menolong sangat tergantung pada penghayatan

nilai-nilai agama dan moral yang mendorong seseorang untuk melakukan

pertolongan.

d. Norma Tanggung Jawab Sosial

Norma tanggung jawab sosial adalah keyakinan bahwa seseorang harus

menolong mereka yang membutuhkan pertolongan tanpa memperhatikan timbal

balik.43

e. Suasana Hati

Orang lebih terdorong untuk memberikan pertolongan ketika suasana hati

mereka berada dalam keadaan baik.44 Jika suasana hati sedang senang, orang juga

akan terdorong untuk memberikan pertolongan lebih banyak. Hal itu merupakan

alasan bahwa pada Idul Fitri atau menjelang Natal, orang cenderung memberikan

derma lebih banyak. Merasakan suasana yang senang itu, orang cenderung ingin

43
David G. Myer, Psikologi Sosial, h. 196.
44
David O. Sears, dkk., Psikologi Sosial, h. 66.
memperpanjangnya dengan perilaku yang positif. Riset menunjukkan bahwa

menolong orang lain akan lebih disukai jika ganjarannya jelas.

f. Norma Timbal Balik

Sosiolog Alvin Gouldner berpendapat bahwa satu kode moral yang

bersifat universal adalah norma timbal balik: bagi mereka yang telah menolong

kita, maka kita harus membalasnya dengan pertolongan lagi, bukan dengan

kejahatan.45

4. Hubungan Syukur dengan Perilaku Altruistik

Dalam kondisi zaman yang sudah tidak bersahabat ini nampaknya egoisme

menjadi sebuah sikap yang tumbuh berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Dimana setiap individu selalu mementingkan dirinya sendiri tanpa mau

memperdulikan orang lain yang juga membutuhkannya. Sikap saling

menguntungkan atau bahkan lebih mementingkan orang lain dari pada dirinya

sudah tidak nampak lagi dalam kehidupan bermasyarakat.

Padahal sebagai manusia yang berfungsi sebagai khalifah di muka bumi,

manusia ditakdirkan untuk hidup berkelompok dan saling tolong-menolong dalam

kebaikan. Manusia diberi akal pikiran untuk dapat memikirkan mana yang baik

dan mana yang buruk. Itulah sebabnya manusia berbeda dari makhluk lainnya

seperti hewan dan tumbuhan. Manusia juga tidak bisa hidup sendiri, antara yang

satu dengan yang lain saling melengkapi itulah kenapa setiap manusia diajarkan

untuk saling tolong menolong atau perilaku altruistik. Altruistik sendiri adalah

45
David G. Myer, Psikologi Sosial, h. 195.
perilaku menolong tanpa mengharapkan imbalan dan keuntungan pada diri yang

ditolong.46

Banyaknya pergeseran pada keadaan sosial, ekonomi, politik, dan seiring

dengan kemajuan zaman, perilaku altruisme mulai jarang ditemui dan bahkan

mungkin sekali untuk dilupakan. Nilai-nilai dasar masyarakat seperti sifat dan

perilaku sopan santun, kebersamaan, gotong-royong seiring zaman mulai luntur

dan bahkan mulai diabaikan oleh sebagian masyarakat. Manusia sekarang

cenderung berfikir tentang apa yang didapatkan atas interaksinya dengan orang

lain. Seseorang yang menolong tanpa pamrih untuk orang lain tanpa memikirkan

imbalan sangatlah jarang. Dalam kondisi seperti ini sangatlah sulit diperoleh sifat

altruisme dalam diri seseorang, apabila tidak disertai sifat syukur karena dalam

syukur terkandung hikmah yang menjadikan diri seseorang terdapat keikhlasan

dan ketulusan hati yang menciptakan rasa kepedulian terhadap sesama menjadi

besar.

Menurut Zakiah Daradjat bahwa perilaku seseorang yang tampak lahiriyah

terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Keyakinan agama

yang sungguh-sungguh akan menghasilkan motivasi yang kuat dalam diri manusia

untuk berbuat baik, adanya perasaan berdosa mengambil hak-hak orang lain,

patuh terhadap perintah Allah serta rasa syukur terhadap nikmatnya merupakan

unsur keimanan yang tinggi yang harus diwujudkan dalam perbuatan baik (amal

salih).47

46
Faturochman, Pengantar Psikologi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka, 2006), h. 73.
47
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 120.
Syukur sendiri adalah menyadari bahwa tidak ada yang memberi

kenikmatan kecuali Allah. Syukur itu berkaitan dengan hati, lisan dan anggota

badan. Bersyukur dengan hati, yaitu mengakui di dalam hati bahwa kenikmatan

yang diperoleh merupakan karunia dari Allah, bukan karena kehebatan diri

sendiri. Bersyukur dengan lisan, yaitu memuji Allah Swt. atas karunia yang

diberikan-Nya kepada kita dengan mengucapkan hamdalah. Bersyukur dengan

anggota badan yaitu memanfaatkan apa yang sudah diperoleh untuk mengabdi

kepada-Nya. Sebagai contoh, seseorang yang mendapatkan kenikmatan yang

banyak berupa uang, selain untuk kepentingan diri dan keluarganya, dana itu juga

digunakan untuk kepentingan orang lain seperti membangun masjid, sarana

pendidikan, perbaikan jalan, memberikan beasiswa, mengatasi kemiskinan dan

berbagai kemaslahatan lainnya yang mengantarkan masyarakat pada kesejahteraan

hidup.48

Syukur yang dilandasi dengan hati, lisan, dan anggota badan ini yang akan

melahirkan sifat ikhlas dan jiwa sosial yang tinggi semua itu didasarkan karena

Allah. Apapun yang ia kerjakan di dunia ini semata-semata untuk mendapatkan

rida-Nya. Mereka menolong karena didasari atas rasa kebersamaan bukan karena

untung atau rugi. Orang yang memiliki sikap syukur terbebas dari sifat memiliki.

Mereka beranggapan bahwa yang dimiliki saat ini merupakan anugerah dari Allah

yang harus digunakan untuk membantu orang lain sebagai sarana mendekatkan

diri kepada-Nya, sehingga ketika menggunakan nikmat yang diberikan-Nya

dengan baik akan menjadikan hidup lebih bahagia.

48
Ahmad Yani, Be Excellent (Menjadi Pribadi yang Terpuji), (Jakarta: Al-Qalam, 2007),
h. 248-249.
Disebutkan dalam hadis yang menceritakan contoh aplikasi dari sikap

syukur adalah kedermawanan dan kemurahan hati dari sahabat Rasulullah:

Abdurrahman bin Samurah bercerita, ”suatu hari Utsman bin Affan menghadap

Rasulullah Saw sambil membawa uang seribu dinar untuk perlengkapan dan

persediaan pasukan muslim saat itu. Rasulullah menerima uang itu dan bersabda,

”apa yang dilakukan Utsman hari ini tidak akan pernah disia-siakan Allah”.

Beliau mengucapkan kata-kata itu dua kali berturut-turut. (HR. Tirmidzi).49

Dari uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa syukur menjadikan

seseorang tidak takut dengan hilangnya sesuatu yang dimilikinya. Seseorang yang

mempunyai sikap syukur merasa bahwa segala nikmat yang diperolehnya hanya

merupakan titipan, dan baginya semua yang dimiliki hanyalah sebuah jalan untuk

mendekatan diri kepada-Nya. Allah-lah pemilik sejati dari semua nikmat tersebut.

Orang yang memiliki rasa syukur akan tercipta rasa ikhlas dan ketulusan hati.

Rasa ketulusan hati ini yang akan mendorong seseorang untuk berbuat baik

terhadap sesama. Salah satu perbuatan baik yang dimunculkan seseorang yang

bersikap syukur ialah perilaku altruistik. Adapun cara meningkatkan perilaku

altruistik salah satunya dengan meningkatkan syukur, karena dengan bersyukur

hati dan jiwa seseorang akan merasakan ketenangan dan rasa tulus terhadap semua

yang dikerjakan.

49
Komarudin Hidayat, Dahsyatnya Syukur, h. 96.

Anda mungkin juga menyukai