Anda di halaman 1dari 26

Keutamaan Menuntut Ilmu (bag.

1)
Senin, 13 Januari 2019

Pada kesempatan ini saya ingin mengingatkan diri sendiri dan kawan-kawan sekalian agar
senantiasa bersyukur atas nikmat Allah Subhanahu wa ta'ala yang sangat banyak.

Seandainya kita menghitung-hitung nikmat Allah niscaya kita tidak akan pernah mampu
untuk menghitungnya. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
َّ َ ٌ ُ َ َ َ َ ْ ْ َّ َ ُ ْ ُ َ ‫ْ َ َ ه‬ ُّ َ ْ َ ُ ُ ْ َ ِّ ُ ْ ُ َ َ
‫وم كف ٌار‬ ِ ‫وآتاك ْم ِمن كل َما َسألت ُموه ۚ وِإن ت ُعدوا ِنعمت‬
‫اَّلل َل تحصوها ۗ ِإن ِاْلنسان لظل‬

"Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan (keperluanmu)
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.
Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari nikmat Allah." (QS Ibrahim:
34)

Bahkan Allah Subhanahu wa ta'ala suka bila kita meminta kepadaNya, sebaliknya Allah
marah jika ada seorang hamba yang tidak meminta kepadaNya, sebagaimana yang
disabdakan Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
َ َ ْ َ َ َ
‫َم ْن ل ْم َي ْسأ ِل هللا َيغض ْب َعل ْی ِه‬

"Barangsiapa siapa yang tidak meminta kepada Allah niscaya Allah Subhanahu wa ta'ala
marah kepadanya." (Hadits riwayat Tirmidzi nomor 3373 dan Ibnu Majah nomor 3727 dari
Abu Hurairah. Silahkan lihat dalam Shahih at Tirmidzi , 2686)

Di antara karunia yang sangat besar yang Allah berikan kepada hambaNya, adalah nikmat
ilmu. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
‫َ َ ُ ْ َ َ ََ َ َ ْ ُ ه‬
ً ‫اَّلل َع َل ْي َك َعظ‬ َ ‫َ َه‬
‫يما‬ ِ ِ ‫وعل َمك َما ل ْم تكن ت ْعل ُم ۚ وكان فضل‬
"Dan Allah-lah yang telah mengajarkan kepadamu apa yang sebelumnya kamu tidak
mengetahuinya dan adalah karunia Allah sangatlah besar atasmu." (QS An-Nissa': 113)
Kalimat "..karunia Allah sangat besar atasmu.." setelah Allah menyebutkan karunia dalam
bentuk ilmu, maka ayat ini (QS An-Nissa': 113) menunjukkan bahwa di antara sebesar-besar
karunia Allah atas hambanya adalah nikmatul 'ilmi atau nikmat ilmu.
Kemampuan kita bersyukur akan nikmat Allah itupun merupakan nikmat Allah yang wajib
kita syukuri. Imam Asy-Syafi'i rahmatullah 'alaih dalam kitabnya Ar-Risalah mengatakan:

َّ
‫ماض‬
‫ي‬ ‫توجب عىل مؤدي‬
ِ ،‫بنعمة منه‬
ٍ ‫نعمة من نعمه إَل‬
ٍ ‫الحمد هلل الذي ًَل يؤد ًى شكر‬
ُ
‫نعمه بأدائها نعمة حادثة يجب عليه شكره بها‬

"Segala puji hanya milik Allah, nikmat Nya tidak bisa disyukuri kecuali dengan nikmat dari
Nya, karenanya orang yang mensyukuri nikmat mendapatkan nikmat lain yang wajib dia
syukuri."
Artinya kemampuan kita mensyukuri nikmat, itu merupakan nikmat yang Allah berikan
kepada kita yang kita wajib mensyukurinya.

Menuntut ilmu agama merupakan sebaik-baik kesibukan yang dilakukan oleh seorang
muslim, bahkan menuntut ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim
sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, mempelajari ilmu agama, menyebarkan ilmu agama yakni ilmu yang benar-
benar bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah dengan pemahaman para Shahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para tabi'in, para tabi'u tabi'in itu
merupakan bagian daripada jihad di jalan Allah.

Kegiatan belajar yang akan kita lakukan di grup belajar Islam ini, mudah-mudahan termasuk
dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

َّ ْ َ ً َ ُ َ ُ ‫ْ ً َ َّ َ ه‬ ُ ‫َم ْن َس َل َك َطر ًيقا َي ْل َت ِم‬


‫اَّلل له ِب ِه ط ِريقا ِإَل ال َجن ِة‬ ‫س ِف ِيه ِعلما سهل‬ ِ
"Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu agama, maka dia akan
dimudahkan jalan menuju surga." (Hadits shahih riwayat Imam Muslim nomor 2699)

Kita menuntut ilmu agama bukan untuk menjadi seorang ustadz, bukan untuk dipuji oleh
orang lain, bukan untuk mendapatkan perkara-perkara dunia tetapi kita menuntut ilmu
agama karena kita ingin masuk surga dan menuntut ilmu agama adalah jalan termudah
untuk masuk surga sebagaimana tadi disabdakan oleh baginda Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam.

Oleh karena itu manfaatkanlah kesempatan yang sangat baik ini, lillah karena Allah
Subhanahu wa ta'ala dan semoga Allah memudahkan jalan yang kita tempuh ini, jalan
dalam rangka mempelajari ilmu agama, mempelajari Al-Quran, mempelajari sunnah Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bagaimana kita ber'aqidah, bagaimana kita beragama, bagaimana kita beribadah kepada
Allah Subhanahu wa ta'ala dan bagaimana kita memperbaiki diri dan hati ini.

Akhukum Fillah,
Beni Sarbeni Abu Sumayyah
Pondok Pesantren Sabilunnajah Bandung
Definisi dan Tanda-tanda Ilmu yang Bermanfaat
Senin, 21 Januari 2019

Tentang definisi ilmu yang bermanfaat ini akan saya bacakan pernyataan Imam Ibnu Rajab
rahimahullah, beliau wafat pada tahun 795 Hijriyyah. Pernyataan beliau ini ada dalam Kitab
Fadhlu ‘ilmi as-salaf ‘ala al-khalaf sebagaimana penyataan inipun dikutip oleh penulis kitab
"Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga".

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, Ilmu yang bermanfaat akan menuntun kepada dua
perkara.
(1) Mengenal Allah Ta’ala dan segala apa yang menjadi hakNya, berupa nama-nama yang
indah, sifat-sifat yang tinggi dan perbuatan-perbuatan yang agung.
Hal ini menuntut kita untuk mewujudkan pengagungan kita kepada Allah, rasa takut
kita kepada Allah, cinta kita kepada Allah, harap kita kepada Allah dan tawakal kita
kepada Allah, serta ridha terhadap taqdir juga sabar atas segala musibah yang Allah
Subhanahu wa ta’ala berikan.
Jadi ilmu yang bermanfaat itu mengantarkan kita mengenal Allah rabbul alamin
sehingga memberikan efek tauhid dalam diri kita. Kita hanya betul-betul berharap
kepada Allah, takut kepada Allah dan seterusnya.
(2) Ilmu yang bermanfaat menuntun kita untuk mengetahui segala apa yang diridhai dan
dicintai oleh Allah 'Azza wa Jalla, serta mengetahui apa yang dibenci dan dimurkai oleh
Allah Subhanahu wa ta’ala. Baik dalam bentuk keyakinan, perbuatan dan ucapan.
Hal ini mengharuskan orang yang mengetahuinya untuk segera melakukan segala apa
yang dicintai dan diridhai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, juga menjauhi segala apa
yang dibenci dan dimurkai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

Kemudian kata Imam Ibnu Rajab, apabila ilmu itu menghasilkan hal ini bagi pemiliknya
maka inilah yang disebut dengan ilmu yang bermanfaat.
 Ilmu yang bermanfaat menuntun kita untuk mengenal Allah Rabbul ‘alamin sehingga
kita mentauhidkan Allah Rabbul ‘alamin.
 Ilmu yang bermanfaat menuntun kita untuk mengenal aturan Allah sehingga kita
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.

Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap dengan kuat di dalam hati maka sungguh
hati itu akan merasa khusyu', takut, tunduk mencintai dan mengagungkan Allah Subhanahu
wa ta’ala. Maka jiwa merasa cukup dan puas dengan sedikit yang halal dari dunia dan
merasa kenyang dengannya sehingga hal itu menjadikannya qana'ah dan zuhud di dunia ini.
Demikian yang dikatakan oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitabnya Fadhlu ‘ilmi as-Salaf ‘ala al-
Khalaf.
Kemudian tanda-tanda ilmu yang bermanfaat diantaranya adalah, sebagai berikut:
1) Orang yang bermanfaat ilmunya tidak akan menganggap dirinya mempunyai keadaan
dan kedudukan yang tinggi bahkan hati mereka membenci pujian dari manusia.Tidak
menganggap dirinya suci dan tidak sombong terhadap orang lain dengan ilmu yang
dimilikinya.
2) Pemilik ilmu yang bermanfaat apabila ilmunya bertambah, bertambah pula sikap
tawadhu rasa takut, kehinaan dan ketundukan dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3) Ilmu yang bermanfaat mengajak pemiliknya lari dari dunia, terutama kedudukan atau
jabatan, ketenaran dan pujian. Menjauhi hal itu dan bersungguh-sungguh dalam
menjauhkan dirinya, maka itu tanda ilmu yang bermanfaat.
Adapun jika hal itu didapatkan dengan tidak sengaja, maka ia sangat takut akan akibat
buruknya, dia takut hal itu sebagai makar atau istidraj dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah beliau sangat takut ketika
namanya terkenal (masyhur).
4) Pemilik ilmu ini tidak mengaku memiliki ilmu dan tidak berbangga dengannya terhadap
seorangpun.
Dia tidak menyatakan seseorang itu bodoh kecuali seseorang yang menyalahi sunnah
dan ahlus sunnah. Dia marah kepadanya karena Allah Ta’ala semata bukan karena
pribadinya, tidak pula bermaksud meninggikan kedudukan dirinya di atas orang lain.
Intinya pemilik ilmu yang bermanfaat, dia tidak akan berlaku sombong, tidak akan
merendahkan orang lain, tidak akan mencap orang lain dengan kata-kata bodoh
kecuali orang yang betul-betul menyelisihi Al-Quran dan As Sunnah.
ْ ْ
Karena merendahkan orang lain termasuk ‫( ال ِك ُب‬kesombongan) sebagaimana yang
disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

َّ ُ ْ َ َ ِّ َ ْ ُ َ َ ُ ْ ْ
‫اس‬
ِ ‫الن‬ ‫ال ِكب بطر الحق وغمط‬

"Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain." (Hadits
riwayat Muslim No.91)

Inilah di antara tanda-tanda ilmu yang bermanfaat. Jadi secara ringkas, tanda-tanda ilmu
yang bermanfaat, adalah:
(1) Orang yang ilmunya bermanfaat tidak akan menganggap dirinya tinggi dan dia benci
pujian manusia.
(2) Orang yang ilmunya bermanfaat, semakin bertambah ilmunya semakin bertambah
tawadhu, tambah rasa takutnya dihadapan Allah Rabbul alamin.
(3) Orang yang ilmunya bermanfaat, lari dari dunia terutama ketenaran dan pujian.
(4) Orang yang ilmunya bermanfaat, tidak suka merendahkan orang lain, tidak takabur
bahkan ilmunya menjadikan dia semakin tawadhu semakin rendah hati, karena
kesombongan adalah penghalang seseorang masuk surga.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
َ ُ َْ َْ َ َ َ َّ ْ ُ ْ َ
‫ال ذ َّرٍة ِم ْن ِك ْ رب‬‫َل َيدخ ُل ال َجنة َم ْن كان ِ يف قل ِب ِه ِمثق‬

"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walaupun
sebesar biji sawi." (Hadits riwayat Muslim No. 91)

Kemudian sebagai catatan terakhir terkait dengan definisi ilmu yang bermanfaat dan ini
juga merupakan perkara yang sangat penting yang disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab bahwa
ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang betul-betul bersumber dari Al-Quran dan Sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar
A'lamin Nubala' beliau mengatakan:

‫ العلم ما قال هللا وما قال رسول و ما قال صحبه‬: ‫الذهب‬


‫ي‬ ‫قال اْلمام‬

"Ilmu itu adalah sesuatu yang betul-betul bersumber dari Al-Quran, bersumber dari sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga apa-apa yang dikatakan oleh para shahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam."

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Imam Ibnu Qayyim rahmatullahi ‘alaihim ajma'in,
demikian pula yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi'i rahmatullah 'alaih. Beliau (Imam Asy-
Syafi'i) mengatakan:

َ َ َ ُ ْ ْ َ ْ ِّ
َ ‫ان ف ْيه َق‬ َ ْ ْ َّ َ َ ْ َ ْ َّ ٌ َ َ ْ َ ْ ُ ْ َ ُ ْ ُ
‫ال‬ ِ ِ ‫ ال ِعلم ما ك‬،‫ ِإَل الـح ِديث وِإَل ال ِفقه ِ يف الدي ِن‬،‫آن مشغلة‬
ِ ‫ك ُّل ال ُعل ْو ِم ِسوى القر‬
َّ ُ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َّ َ
‫اط ْ ِي‬
ِ ‫اس الش َي‬ ‫ وما ِسوى ذاك وسو‬،‫حدثنا‬

"Seluruh ilmu selain Al-Quran hanyalah menyibukan kecuali ilmu hadits dan fiqih dalam
َ َ َّ َ َ َ
rangka mendalami ilmu agama. Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya ‫( قال حدثنا‬yaitu)
betul-betul jelas rujukannya, jelas riwayatnya, jelas sanadnya. Adapun selain itu hanyalah
was-was atau bisikan-bisikan syaithan.” (Diwan Imam Asy-Syafi'i)

Akhukum Fillah,
Beni Sarbeni Abu Sumayyah
Pondok pesantren Sabilunnajah Bandung
Keutamaan Menuntut Ilmu (bag.2)
Selasa, 22 Januari 2019

Sebenarnya banyak sekali keutamaan ilmu syari' (ilmu agama Islam) bahkan Imam Ibnu
Qayyim al-Jauzi menyebutkan lebih dari 100 keutamaan ilmu syari'. Saya akan sebutkan
sebagian di antaranya, sebagaimana yang ditulis dalam kitab “Menuntut Ilmu Jalan Menuju
Surga”. Di antara keutamaannya, adalah:

(1) Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan ahlul 'ilmi (ahli ilmu agama) sebagai saksi untuk
kalimat tauhid (kalimat yang mulia).
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala :
ْ ُ َّ َ َ َ ْ َ ْ ْ ُ ُ ُ َ َ ْ ُ َّ َ َ َ ُ َّ َ ُ ‫َ َ ه‬
‫اَّلل أنه َل ِإل ــه ِإَل ه َو َوال َمَل ِئكة َوأولو ال ِعل ِم ق ِائ ًما ِبال ِق ْس ِط ۚ َل ِإل ــه ِإَل ه َو ال َع ِز ُيز‬ ‫ش ِهد‬
ُ‫ْال َحكيم‬
ِ
"Allah menyatakan bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia;
(demikian pula) para malaikat dan (demikian pula) orang berilmu yang menegakkan
keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Maha bijaksana." (QS Ali-Imran:
18)
Di dalam ayat ini Allah jadikan ahli ilmu sebagai saksi akan kalimat yang agung (La ilaha
illallah) tentunya ini merupakan rekomendasi dari Allah tentang keadilan orang-orang yang
berilmu.

Oleh karena itu dalam sebuah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Imam Al-'Uqayli dan
Imam ibnu Abi Hatim. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالي وانتحال المبطلي‬
‫وتاويل الجاهلي‬

"Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang (para ulama) yang adil (terpercaya) dari
tiap-tiap generasi, mereka akan memberantas penyimpangan yang dilakukan oleh orang-
orang yang ghuluw atau melampaui batas, menolak kebohongan pelaku kebathilan, dan
takwil yang dilakukan oleh orang-orang bodoh.” (Hadits riwayat Al-Khatib Al-Baghdadi
dalam Syaraf Ash-shabil)

 yang selalu berjuang membersihkan agama ini dari pemutarbalikan pemahaman


agama yang dilakukan orang-orang yang menyimpang,
 kedustaan orang-orang yang sesat yang mengatasnamakan agama.
 dan penakwilan agama yang salah yang dilakukan oleh orang-orang jahil
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:

‫يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله‬

“Bahwa yang akan membawa ilmu ini pada setiap generasi adalah orang-orang yang adil.”
Ini merupakan pujian dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ahlul 'ilmi, tentunya ilmu
yang dimaksud sebagaimana yang disampaikan pada kesempatan sebelumnya, yaitu ilmu
yang bersumber dari Al-Quran dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan
para shahabat radhiyallahu ta’ala 'anhum.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauzi dan Imam Adz-Dzahabi
bahwa ilmu itu, adalah:
√ Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
√ Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
√ Perkataan para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bahkan demikian pula yang dijelaskan oleh Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al 'Asqalani dalam
kitabnya Fathul Bari', ketika beliau menjelaskan firman Allah Subhanahu wa ta’ala :

‫زدن علما‬ ّ
‫وقل رب ِي‬
"Dan katakanlah oleh mu (Muhammad), Ya Allah, tambahkanlah aku ilmu."

Beliau menjelaskan ilmu yang dimaksud adalah:


 Yang dengannya seseorang mengenal Allah Subhanahu wa ta’ala.
 Yang dengannya seseorang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
 Yang dengannya seseorang mengetahui kewajibannya sebagai seorang muslim.

(2) Orang yang berilmu, akan Allah angkat derajatnya di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala :

َ ْ ْ ۟ ُ ُ َ ‫ََْ هُ ه َ َ َُ ۟ ُ ْ َ ه‬
ۚ ‫ين أوتوا ٱل ِعل َم د َر َجـ ٍ ٍۢت‬ ‫يرف ِع ٱَّلل ٱل ِذين ءامنوا ِمنكم وٱل ِذ‬

"Allah akan meninggikan/ mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS Mujadilah: 11)
⇒ Allah akan mengangkat derajat mereka di dunia maupun di akhirat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim. Beliau (Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda:

َ ‫آخر‬
‫ين‬
َ
‫ه‬ ‫ب‬ ُ ‫اَّلل َي ْر َف ُع ب َه َذا ْالك َتاب َأ ْق َو ًاما َو َي َض‬
‫ع‬ َ ‫إ َّن ه‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
"Sungguh Allah mengangkat dengan Al-Quran beberapa kaum dan Allahpun merendahkan
beberapa kaum dengannya" (Hadits shahih riwayat Muslim nomor 817)

Allah mengangkat beberapa kaum dengan Al-Quran (yaitu) mereka yang berusaha untuk
mempelajari isi kandungan Al-Quran, karena Al-Quran adalah ilmu dan berusaha pula untuk
mengamalkannya. Adapun orang-orang yang direndahkan oleh Al-Quran adalah orang-
orang yang meninggalkan Al-Quran, tidak mau mempelajarinya apalagi mengamalkannya.

Imam Sufyan ibnu 'Uyainah rahimahullah (wafat tahun 198 H), sebagaimana disebutkan
dalam kitab Al 'Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, beliau berkata: "Orang yang paling tinggi
kedudukannya di sisi Allah di antara hamba-hambanya adalah para nabi dan para ulama."
Karena tugas mereka (nabi dan ulama) sama, (yaitu) mengajak manusia kepada agama
tauhid, ibadah hanya kepada Allah dan mengajak mereka untuk meninggalkan kesyirikan.
Itulah tugas para Nabi.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala :

َ ُ َّ ۟ َ َ ‫ولقد َب َع ْث َنا ف ُك ِّل ُأ َّم ٍۢة َّر ُس ًوَل َأن ْٱع ُب ُد ۟وا ه‬
‫ٱَّلل َو ْٱجت ِن ُبوا ٱلطـغوت‬ ِ ٍ ِ
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut itu." (QS An-Nahl: 36)
⇒ Thaghut yaitu syaiton dan segala sesuatu yang diibadahi selain Allah Subhanahu wa
ta’ala.

Demikian pula para ulama mereka berdakwah sebagaimana yang didakwahkan oleh para
nabi, karena para ulama adalah pewaris para nabi.
َْ ْ ُ َ ُ ْ
‫ال ُعل َم ُاء َو َرثة األن ِب َي ِاء‬

"Ulama adalah pewaris para nabi." (Hadits riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi)
(3) Orang yang memiliki ilmu agama dan mengamalkannya dengan baik adalah orang-orang
yang takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sebagaimana firman Allah Rabbul alamin:
َ ْ َ ‫إ َّن َما َي ْخ ََش ه‬
‫اَّلل ِم ْن ِع َب ِاد ِه ال ُعل َم ُاء‬ ِ
"Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepadaNya, hanyalah para ulama." (QS Fathir:
28)

Oleh karena itu shahabat 'Abdullah ibnu Mas'ud radhiyallahu ta’ala 'anhu sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani dan Imam Ibnu Abil Barr, beliau berkata: "Cukuplah
rasa takut kepada Allah disebut sebagai ilmu dan cukuplah tertipu dengan tidak mengingat
Allah disebut sebagai kebodohan."

Karena ilmu yang sejati adalah ilmu yang membuahkan amal, ilmu yang membuahkan rasa
takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala sehingga seorang hamba senantiasa menjaga hak
Allah Rabbul alamin.

(4) Ilmu agama ini merupakan karunia Allah yang sangat agung.
Di antara dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala :

‫َ َ ُ ْ َ َ ََ َ َ ْ ُ ه‬
ً ‫اَّلل َع َل ْي َك َعظ‬ َ ‫َ َه‬
‫يما‬ ِ ِ ‫وعل َمك َما ل ْم تكن ت ْعل ُم ۚ وكان فضل‬
"Dan Allah telah mengajarkan kepadamu (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) ilmu,
sesuatu yang sebelumnya engkau tidak tahu dan Karunia Allah yang dilimpahkan
kepadamu itu sangat besar." (QS An-Nissa': 113)

Allah mengatakan karunia Allah untukmu sangat besar, sebelumnya Allah mengatakan:
َ َ ُ َ َ َ ‫ه‬
‫َو َعل َمك َما ل ْم تك ْن ت ْعل ُم‬

"Bahwa karunia Allah yang Allah berikan kepadamu adalah ilmu."

Ini menunjukkan bahwa ilmu adalah sebesar besar karunia yang Allah berikan kepada
seorang hamba.
(5) Paham dalam masalah agama termasuk tanda-tanda kebaikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari. Beliau (Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda:

ِّ ُ ْ ِّ َ ُ ً ْ َ ُ‫ه‬ ُ ْ َ
‫ين‬
ِ ‫من ي ِر ِد اَّلل ِب ِه خبا يفقهه ِف الد‬
"Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka Allah akan pahamkan di dalam
masalah agama." (Hadits riwayat Bukhari nomor 71)

Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, beliau menjelaskan
hadits di atas. Beliau berkata di dalam hadits ini terdapat keutamaan ilmu, mendalami
agama dan motivasi untuk mempelajarinya, hal itu karena ilmu agama akan menuntunnya
untuk bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala . Karena ilmu agama akan menuntun
bagaimana dia bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Akhukum Fillah,
Beni Sarbeni Abu Sumayyah
Pondok pesantren Sabilunnajah Bandung
Keutamaan Menuntut Ilmu (bag.3)
Rabu, 23 Januari 2019

Kita lanjutkan, bahasan tentang keutamaan Al-'Ilmu Syari' (ilmu agama) pada kesempatan
ini kita lanjutkan poin berikutnya.

(6) Orang yang berilmu dan orang yang mempelajari ilmu syari' dikeluarkan dari laknat Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits hasan
riwayat Imam At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan yang lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ِّ َ َ َ ‫َ َّ ْ ه‬ ٌ ْ ٌ َ ْ ْ ُّ َّ َ َ
‫اَّلل َو َما َواَل ُه َو َع ِال ًما أ ْو ُمت َعل ًما‬
ِ ‫أَل ِإن الدن َيا َمل ُعونة َمل ُعون َما ِفيها ِإَل ِذك َر‬
"Ketahuilah sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat pula apa yang ada di dalamnya
kecuali dzikir kepada Allah dan keta'atan kepadaNya, demikian pula orang berilmu dan
orang yang mempelajari ilmu."
Orang yang berilmu dan mempelajari ilmu akan keluar dari laknat Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Sementara dunia dan seisinya dilaknat kecuali dzikir kepada Allah, ta'at kepada Allah,
orang yang berilmu dan orang yang mempelajari ilmu.

Karena itulah di antara wasiat Ali radhiyallahu ta’ala 'anhu kepada Kumail bin Ziyad salah
seorang muridnya. Ali Radhiyallahu ta’ala 'anhu berkata:
ُ
ِّ ‫أتباع‬ ٌ َ ٌ َ َ ِّ
ٌ ‫ومتعل‬ ٌّ ‫فعالم َّرب‬
ٌ ٌ ُ
‫ناعق يميلون‬
ٍ ‫كل‬ ‫اع‬ ‫ع‬‫ر‬ِ ‫ج‬‫م‬ ‫وه‬ ، ‫نجاة‬
ٍ ‫سبيل‬ ‫عىل‬ ‫م‬ ،‫ان‬ ‫ي‬ ‫الناس ثَلثة؛‬
‫وثيق؛‬ َ ِّ
ٍ ‫كن‬ ‫مع كل ِري ــح؛ لم يستضيئوا بنور العلم ولم يلجئوا إَل ر ر‬
"Manusia itu hanya ada tiga, yaitu:
1. Alimun rabbaniy: Orang yang memiliki ilmu dan memiliki kemampuan untuk
mentarbiyyah (mendidik) manusia, mengajak manusia kejalan Allah Rabbul alamin.
2. Muta'allimun ala sabilin Najah : Seorang pelajar yang ada di atas jalan keselamatan. Dia
belajar menuntut ilmu agama sesuai dengan Al-Quran dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan mengikuti perjalanan para shahabat dalam memahami dan melaksanakan
agama ini.
3. Hamajun ri'a' : Orang-orang rendahan yang prilakunya adalah atba' kulli na'iq
ُ ِّ
(‫ناعق كل أتباع‬
ٍ ) mengikut siapa saja yang bersuara, dia tidak punya prinsip dalam hidupnya.
Tidak memiliki manhaj (cara beragama) sehingga dia mengikuti siapa saja yang bersuara,
mengikuti trend tanpa menimbang dari sudut Al-Quran dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Jadi orang berilmu dan menuntut ilmu agama dikecualikan dari laknat Allah Rabbul alamin.
(7) Menuntut ilmu dan mengajarkannya lebih utama daripada ibadah sunnah dan ibadah
yang hukumnya fardhu kifayyah.
Karena menuntut ilmu agama itu hukumnya adalah fardhu 'ain sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ٌ َ َ ْ ْ َ َ
‫طل ُب ال ِعل ِم ف ِريضة عىل كل ُم ْس ِل ٍم‬

"Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim." (Hadits shahih riwayat Al-Baihaqi)
Artinya hukum menuntut ilmu agama adalah fardhu 'ain, diwajibkan atas setiap muslim.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang hasan yang
diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani dalam Al Mu'jamul Al Ausath.
ُ ْ ُ ْ َ ْ ْ َ
.‫ف ْض ُل ال ِعل ِم َخ ْ ٌب ِم ْن ف ْض ِل ال ِع َب َاد ِة َو َخ ْ ُب ِد ْي ِنك ُم ال َو َرع‬

"Keutamaan ilmu agama daripada keutamaan ibadah dan agama kalian yang paling baik
adalah Al-Wara' (ketaqwaan)"

Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ta’ala 'anhu pernah berkata: "Orang yang berilmu
lebih besar ganjarannya daripada orang yang berpuasa, shalat dan berjihad di jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala" sebagaimana dikutip dalam kitab Al-'Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu
(hal. 133).

Demikian pula shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ta’ala 'anhu beliau pernah
berkata: "Sungguh aku mengetahui satu bab ilmu tentang perintah dan larangan lebih aku
sukai daripada 70 kali melakukan jihad di jalan Allah" (Kitab Al-Faqih wal Mutafaqih)

Ibnul Qayyim mengomentari perkataan Abu Hurairah diatas, beliau berkata: "Jika shahih
pernyataan Abu Hurairah demikian maknanya, adalah lebih aku sukai daripada jihad tanpa
ilmu, karena amal tanpa ilmu kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya."

Perkataan Abu Hurairah di atas, maksudnya daripada 70 kali melakukan jihad yang tanpa
ilmu walaupun di jalan Allah. Kenapa? Karena amal yang dilakukan tanpa ilmu lebih besar
kerusakannya daripada kebaikannya.

Imam Hasan Al-Basripun pernah berkata: "Orang yang berilmu lebih baik daripada orang
yang zuhud terhadap dunia dan orang yang bersungguh-sungguh didalam ibadah"
(8) Ilmu agama adalah kebaikan didunia.
Sebagaimana di dalam do'a yang seringkali kita baca:

‫وقنا عذاب النار‬


ِ ،‫وف اآلخرة حسنة‬
‫ربنا ِآتنا يف الدنيا حسنة ي‬
"Ya Allah, berikanlah kebaikan bagi kami di dunia..... " (Mutafaqun 'alaih)
Apa yang dimaksud dengan hasanah atau kebaikan di dunia ini? Dijelaskan oleh Imam
Hasan Al Bashri, beliau mengatakan
⇒ Yang dimaksud dengan kebaikan di dunia adalah ilmu agama dan ibadah
⇒ Yang dimaksud dengan kebaikan di akhirat adalah surga.
Demikian penjelasan dari Imam Hasan Al Basri.

(9) Menuntut ilmu agama adalah jihad di jalan Allah.


Oleh karenan itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits
hasan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya. Beliau bersabda:

َ َ ‫ه‬
‫ َو َم ْن دخ َل‬, ‫اَّلل‬ َ َ ُ ْ َ َ َ ُ َ ِّ َ ُ ْ َ ْ َ َ ‫َ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ ه‬
ِ ‫يل‬ ِ ‫ أو يعلمه كان كالمج‬, ‫من د َخل َمس ِ َجدنا هذا َ ِليتعل َم خ ً َبا‬
ِ ‫اه ِد ِ يف س ِب‬ ُ َ ْ َ َّ َ َ َْ
‫س له‬ ‫اظ ِر ِإَل ما لي‬
ِ ‫ِبغ ِب ذ ِلك كان كالن‬
"Barangsiapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) dengan tujuan mempelajari
kebaikan atau mengajarkannya maka dia laksana orang yang berjihad di jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan barang siapa yang memasukinya dengan tujuan selain itu maka
dia laksana orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya"

Shahabat Abu Darda radhiyallahu ta’ala 'anhu pernah berkata: "Barangsiapa siapa
berpendapat bahwa pergi mencari ilmu tidak termasuk jihad sungguh dia kurang akalnya"
Maksudnya orang yang berpendapat bahwasanya pergi mencari ilmu bukan bagian
daripada jihad itu orang yang kurang akalnya.

Akhukum Fillah,
Beni Sarbeni Abu Sumayyah
Pondok Pesantren Sabilunnajah Bandung
Adab-adab Penuntut Ilmu Agama (bag.1)
Kamis, 24 Januari 2019

Pada kesempatan kali ini saya akan menyampaikan tentang adab seorang thalibul ilmi
(penuntut ilmu) terhadap diri sendiri. Adab seorang penuntut ilmu ada yang berkaitan
dengan Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang tua, diri sendiri dan
gurunya, dalam kajian ini saya akan membahas dua adab saja yaitu:
(1) Adab seorang penuntut ilmu terhadap dirinya sendiri
(2) Adab seorang penuntut ilmu terhadap gurunya.
Untuk adab yang lainnya in sya Allah akan kita bahas di dalam kajian kitab Syarhus Sunnah
yang isinya tentang manhaj cara kita beragama dan bagaimana aqidah kita.

Disebutkan di dalam buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga, bahwa adab seorang
penuntut ilmu terhadap dirinya sendiri di antaranya, adalah:

(1) Hendaklah dia mengetahui, bahkan meyakini bahwa menuntut ilmu adalah ibadah dan
merupakan kefardhuan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
َ َ ْ ْ َ َ
‫م ْس ِلم كل عىل ف ِريضة ال ِعل ِم طلب‬
"Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim." (HR Ibnu Majah nomor 224)

Karena ia merupakan ibadah tentunya di antara hal yang penting dalam beribadah dia
niatkan karena Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
ُ َ َ ‫ين َله م ْخلص‬
َ َ ‫يٱ‬ َ ‫ٱ ِّلد‬
‫ّلل ِل َي ْعبدوا ِإّل أ ِمر ٓوا َو َما‬ ِ ِ
"Dan tidaklah mereka diperintahkan oleh Allah kecuali untuk melakukan ketaatan dengan
ikhlas karena Allah Subhanahu wa ta’ala." (QS Al-Bayyinah: 5)

(2) Seorang penuntut ilmu hendaknya memperhatikan tazkiyatun nufus (penyucian jiwa)
yang akan membawanya pada ketaatan dan menjauhkan dirinya dari perbuatan maksiat.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

ْ َ َ ََْ َ ََ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ
‫اب َوقد زكاها َم ْن أفلح قد‬‫دساها من خ‬
"Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang
mengotorinya." (QS Asy-Syam: 9-10)
Imam Ibnu Jama'ah dalam kitabnya Tadzkiratu as-Sami' wa al-Mutakallim, beliau
mengatakan:
"Seorang thalibul 'ilmi membersihkan hatinya dari segala sifat kotor, dengki, hasad, iri serta
keyakinan dan perangai yang buruk agar hatinya menjadi baik dalam menerima dan
menghapalkan ilmu, menelaah makna-maknanya yang dalam dan hakikat-hakikatnya yang
masih samar."

Jadi seorang thalibul 'ilmi hendaknya membersihkan jiwanya, apalagi syaithan tahu
tentunya bahwa seorang thalibul 'ilmi adalah calon para ulama dan para ulama adalah
pewaris para nabi.

Oleh karena itu syaithan senantiasa menghembuskan (mendorong) para thalibul 'ilmi untuk
melakukan hal-hal yang kotor, hal-hal yang bisa merusak hati dan jiwanya. Misalnya: Iri,
dengki di antara thalabul 'ilmi. Sampai-sampai para ulama mengatakan: "Hasad iri dan
dengki yang terjadi antara thalabul 'ilmi kadang lebih besar daripada hasad atau iri dengki
yang terjadi di antara orang-orang kaya."

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ ُّ ُ َ ْ َ َ َ َ ْ ُّ ُ َ َ
‫ كله ال َج َسد َصلح َصل َح ْت ِإذا مضغة ال َج َس ِد ِف ِإن‬، ‫ كله ال َج َسد ف َسد ف َسدت َوِإذا‬. ‫أّل‬
‫ه‬َ ِ ‫ْال َق ْلب َو‬

"Sesungguhnya didalam tubuh itu ada segumpal daging apabila segumpal daging itu baik
maka baiklah seluruh jasadnya, dan apabila segumpal daging itu rusak maka rusaklah
seluruh tubuhnya, ketahuilah segumpal daging itu adalah hati."

Sahl ibnu 'Abdillah At-Tusyturi seorang ulama yang wafat pada tahun 283 Hijriyyah
(rahmatullah 'alayh) beliau pernah mengatakan: "Hati yang di dalamnya terdapat sesuatu
yang dibenci Allah maka akan terhalang menerima cahaya ilmu."

Sementara ilmu adalah cahaya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi'i rahmatullah
'alaih:
َ َ َ َ ‫َونور نور ْالع ْل َم ب َأ َن َوَأ ْخ ََ َبن ْال َم َعاص َت ْرك َإل َف َأ ْر َش َدن ح ْفظ س‬
‫وء َو ِكيع إل شك ْوت‬ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِِ َ ِ َ ِ َ ْ
‫اّلل‬
ِ ‫لعاص يهدى ّل‬ ِ
"Aku mengadu kepada guruku (Imam Muwaqi) kenapa hapalanku menjadi buruk, lalu
guruku mengajarkan aku agar senantiasa meninggalkan maksiat karena sesungguhnya ilmu
adalah cahaya cahaya Allah tidak akan diberikan kepada para pelaku maksiat."
(3) Seorang thalibul ilmi wajib mengikuti dan meneladani para shahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kita merujuk kepada Al-Quran dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi di
dalam memahami Al-Quran dan Sunnah. Demikian pula dalam mempraktekan Al-Quran
dan sunnah kita butuh teladan. Lalu siapa teladan kita? Jika bukan para shahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena merekalah yang direkomendasikan oleh Allah Rabbul
alamin.Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surat At-Tawbah ayat: 100,

َ َ ََُْ َ َ ْ َ ‫ين َوٱ ْ َْل‬


َ ‫ص بإ ْح َس ٰـن ٱ َت َبعوهم َوٱ َلذ‬َ َ َ ْ َْ
َ ‫ون َوٱ‬
‫لس ٰـ ِبقون‬ ‫نص ِار ٱلم َه ٰـ ِج ِرين ِمن ٱْلول‬ ِ ِِ ِ ‫َع ْنه َم َٱّلل ر‬
‫عنه ورضوا‬
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah."
Ayat ini menunjukkan bahwasa Allah meridhai para shahabat juga setiap orang yang
mengikuti langkah atau jejak para shahabat. Artinya kalau kita ingin diridhai oleh Allah
Rabbul alamin maka kita ikuti para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
memahami dan mempraktekan Al-Quran dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, Imam Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah menulis sebuah kaidah dalam
kitabnya tafsir Al-Quranil adzim (tafsir Ibnu Katsir). Bunyi dari kaidah tersebut adalah:

‫إليه لسبقونا خبا لوكان‬


"Kalaulah ada satu perkara agama yang dianggap baik, niscaya mereka akan mendahului
kita untuk melakukannya."
Artinya dalam praktek beragama kita harus lihat, pernahkah para shahabat melakukannya ?
atau bahkan tidak pernah ? Kalau pernah melakukannya maka itu adalah kebaikan, kalau
tidak pernah itu menunjukkan bahwa itu bukan kebaikan.

Yang kita bicarakan di sini adalah masalah ibadah bukan urusan dunia. Bahkan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan di dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan yang lainnya. Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
َ َ ْ ‫اخ ِت ََلفا َف َس َ َبى َب ْع ِدي ِم ْن ُك ْم َي ِع‬
‫ش َم ْن ف ِإنه‬
ْ َ ُ َ َ َ َ ََ ْ
‫الخلف ِاء َوسن ِة ِبسن ِ ِت ف َعل ْيك ْم ك ِثبا‬
َ ‫ين ْال َم ْهد ِّي‬
َ ‫الراشد‬
‫ي‬ ِ ِ ِ َ
"Sungguh barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, dia akan melihat bagaimana
perpecahan di antara umat ini (perbedaan) yang sangat banyak, maka hendaklah kalian
memegang teguh ajaranku dan ajaran Al-khulafa'i Al-Mahdiyyin Ar-rasyidin."
Para shahabat secara khusus adalah Al-Khulafa'i yang empat, yaitu; Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali radhiyallahu ta’ala 'anhum.

(4) Hendaknya seorang thalibul 'ilmi menghiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia serta
menjauhi akhlaq dan adab jelek.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim. Beliau bersabda:

‫أخَلقا أحسنكم خياركم من إن‬


"Sesungguhnya orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling baik
akhlaqnya."

Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain beliau bersabda:

‫اْلخَلق مكارم ْلتمم بعثت إنما‬


"Sungguh aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlaq yang terpuji."

(5) Selalu instropeksi diri dan tidak mencari alasan untuk membenarkan kesalahan-kesalahan.

Artinya jika kita dapati bahwa diri kita salah akui bahwa itu merupakan kesalahan dan
segera kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena tidak akan ada manusia yang
ma'shum, kecuali para anbiyya' (para nabi) adapun selain para nabi tidak ada yang ma'shum
dari kesalahan.

Maka sekali kita melakukan kesalahan, akui itu merupakan kesalahan dan bersemanggat
(berniat) untuk merubahnya (memperbaikinya). Ada beberapa hal yang dapat membantu
seorang penuntut ilmu untuk mengintrospeksi diri.
(1) Berdo'a kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas.
(2) Berusaha menghilangkan gangguan dan kesibukan ketika kita melakukan introspeksi.
(3) Menerima nasehat yang benar.
(4) Meminta nasehat dari para ulama dan orang-orang shalih.

Pada kesempatan ini saya hanya bisa menyebutkan 5 di antara adab seorang thalibul ilmi
kepada dirinya sendiri. Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan ini bermanfaat.

Akhukum Fillah,
Beni Sarbeni Abu Sumayyah
Pondok Pesantren Sabilunnajah Bandung
Adab-adab Penuntut Ilmu Agama (bag.2)
Jumat, 25 Januari 2019

Pada kesempatan ini akan saya sampaikan materi tentang adab (sebagian adab) seorang
murid terhadap gurunya. Ada beberapa poin yang akan saya sampaikan dari kitab
"Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga" terkait dengan adab seorang murid terhadap guru.

(1) Sebelum menuntut ilmu hendaknya seorang thalabul ilmi melihat bahkan beristikharah
kepada Allah tentang orang yang akan dijadikan sebagai guru.
Tentunya orang yang kelak diteladani, akhlaq dan adabnya, jika memungkinkan hendaklah
dia belajar kepada seorang yang mumpuni keahliannya, terwujud rasa simpati dalam
dirinya, nampak pula kehormatannya dan dikenal sebagai orang yang 'iffah (menjaga
kehormatannya). Demikian pula orang yang dikenal hapalan atau ilmunya karena yang
demikian itu lebih baik dalam proses belajar dan lebih baik pula dalam mendatangkan
pemahaman. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan: "Orang awam itu berijtihad,
ijtihadnya adalah dalam memilih guru untuknya."

(2) Seorang thalabul 'ilmi wajib menghormati dan memuliakan gurunya, baik ketika gurunya
ada maupun tidak ada.
Hal itu karena mulianya seorang ulama disisi Allah bahkan mereka disebut sebagai pewaris
para Nabi. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
َْ ْ ُ َ َ ْ
‫ال ُعل َم َاء َو َرثة األن ِب َي ِاء‬

"Para ulama adalah pewaris para nabi." (Hadits riwayat At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau
nomor 2681)

Dulu 'Abdullah ibnu 'Abbas menuntun kendaraan yang ditunggangi oleh Zaid bin Tsabit
kemudian Zaid bin Tsabit mengatakan "tidak usah". Lalu jawaban 'Abdullah ibnu Abbas.
Beliau berkata:

‫هكذا نفعل بالعلماء‬

"Demikianlah seharusnya kami memperlakukan seorang ulama."

Demikian pula sebagimana disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitab
nya "Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin" bahwa seorang thalabul 'ilmi sebagaimana seorang
yang sakit menyerahkan sepenuhnya kepada dokter.
Dia betul-betul menyerahkan kendalinya kepada gurunya, tetapi tetap jika didapati seorang
guru menyelisihi dalil Al-Quran maupun Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kita
tidak boleh mengikutinya.

(3) Memulai dalam mengucapkan salam jangan menunggu didahului guru, tetapi kita
mendahului guru untuk mengucapkan salam, meminta izin ketika akan duduk atau pergi dari
majelis 'ilmu (karena ada keperluan).

(4) Hendaknya dia duduk dimajelis 'ilmu dengan cara duduk seorang pelajar, dengan penuh
adab dan tidak duduk sambil bersandar (menyender ke dinding atau membelakanginya).
Jadi betul-betul sopan duduknya dihadapan seorang guru, karena kita wajib menghormati
seorang guru. Para ulama dulu mengatakan:

‫للعلماء مكانتهم تعذيما‬


"Para ulama punya kedudukan di mana kita wajib menghormati mereka".

(5) Berbaik sangka kepada seorang guru bahkan ketika seorang guru memberikan hukuman
kepadanya dan hendaklah dia mengetahui bahwa hal itu dilakukan oleh seorang guru karena
kebaikan atau untuk kebaikan muridnya, bukan karena balas dendam.
Seorang penuntut ilmu harus sabar terhadap gurunya yang sedang marah janganlah ia
meninggalkan gurunya karena dengan begitu dia telah kehilangan kebaikan yang banyak
dari warisan para nabi.
Imam Ibnu Jama'ah rahimatullah 'alayh pernah mengatakan, "Sebagian ulama salaf
berkata, siapa yang tidak sabar terhadap kehinaan dalam belajar, maka sisa umurnya ada
pada kebutaan dan kebodohan dan siapa yang sabar terhadap hal itu maka urusannya
akan menjangkau kemuliaan dunia dan akhirat".

Bahkan Imam Asy-Syafi'i rahimatullah 'alayh pernah berkata dalam sebuah syair,
ََ َ ُ َّ َ ِّ َ ُ َ ُ َ
ِ ‫صب عىل م ِّر الجفا ِمن معل ٍم ف ِإن رسوب‬
‫الع ِلم يف نفر ِات ِه‬ ِ ‫ِا‬
"Bersabarlah atas pahitnya perilaku kasar sang guru, karena melekatnya ilmu dengan
menyertainya."

َ َ ‫ساع ًة َت َج َّر َع ُذ َّل‬ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ


َ ‫الت َع ُّلم‬
‫طول َحيا ِت ِه‬ ‫هل‬
ِ ‫الج‬ ِ ‫ومن لم يذق ذل‬

"Siapa yang belum merasakan kehinaan belajar sesaat dia akan mereguk hinanya
kebodohan sepanjang hayat."
‫فات ِه‬ َ ً َ َ َ َ ِّ َ َ َ َ َ ُ َ َُ َ َ
ِ ‫باب ِه فكب عل ِيه أربعا ِلو‬
ِ ‫ومن فاته التعليم وقت ش‬
"Siapa yang tidak belajar di masa mudanya bertakbirlah empat kali atas kematiannya."

َ َ َ ‫َ ُى‬ َ َ َ ُ َ
‫ذات ِه‬
ِ ‫اعتبار ِل‬
ِ ‫الع ِلم والتق ِإذا لم يكونا َل‬ ِ ‫ح َياة الف ىب و‬
ِ ‫اَّلل ِب‬
"Hidupnya seorang pemuda (demi Allah) adalah dengan ilmu dan ketaqwaan, sebab jika
keduanya tidak ada padanya maka tiada lagi jati dirinya."

(6) Tidak boleh sombong atau malu untuk bertanya kepada gurunya, hendaknya dia beradab
yang baik ketika berbicara dihadapan gurunya.

(7) Mengikuti akhlaq yang baik, prilaku yang terpuji dan amal shalih gurunya, tidak ada
larangan untuk menasehati seorang guru apabila ia melakukan kesalahan dan hendaklah
dilakukan dengan penuh adab.
Nasehat tetap, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa:
ُ َّ ِّ َ
‫الد ْي ُن الن ِص ْي َحة‬
"Agama adalah nasehat."
Jadi nasehat tetap ditegakan kepada seorang guru bila memang ia berlaku salah, tapi
sampaikan semuanya dengan penuh etika (adab).

(8) Hendaklah seorang thalabul 'ilmi mendatangi majelis ilmu lebih awal daripada gurunya,
jangan guru sudah datang baru kita datang. Seharusnya kita datang terlebih dahulu sebelum
guru.

(9) Seorang penuntut ilmu harus berusaha memperhatikan apa yang disampaikan oleh
gurunya, berusaha memahami dan mengamalkan nasehatnya.
Berbuat baik kepada guru dan berusaha untuk membalas kebaikannya walaupun kita tidak
akan mampu membalas kebaikan guru dengan materi (misalnya), karena berharganya ilmu
yang disampaikan oleh guru untuk kita.
Kebaikan ilmu bukan hanya untuk di dunia tetapi di akhirat juga, bagaimana misalnya dari
seorang guru kita paham kewajiban kita kepada Allah, kewajiban kita kepada rasul,
kewajiban kita terhadap agama Islam ini.
Ini ilmu yang sangat berharga, ilmu yang apabila kita amalkan kita mampu menjawab
pertanyaan di alam kubur, itu semua tidak bisa kita bayar dengan materi, sebaliknya jaga
jangan sampai kita menyusahkan guru bahkan kita berusaha apa yang bisa kita bantu untuk
guru kita, baik dengan lisan, tenaga, harta dan apa yang ada pada diri kita, bahkan kita
tawarkan bantuan itu secara Ikhlas.
Demikian pula jangan kita membicarakan aib guru, bahkan kita wajib menutupi aib guru
serta mendo'akan agar guru kita senantiasa istiqamah di atas Al-Quran dan Sunnah,
istiqamah di jalan dakwah dan diberikan ke Ikhlasan senantiasa berada di atas kemudahan
dan kesehatan.

Itulah yang wajib kita lakukan, adab seorang murid kepada gurunya.

Akhukum Fillah,
Beni Sarbeni Abu Sumayyah
Pondok Pesantren Sabilunnajah Bandung
Syarat Sukses Menuntut Ilmu
Sabtu, 26 Januari 2019

Pada kesempatan ini akan saya sampaikan syarat sukses menuntut ilmu agama
sebagaimana yang disampaikan oleh alImam AsySyafi’i di dalam sebuah syairnya, beliau
mengatakan:

َ ُ َ
ٌ ‫نبيك َعن َتفصيلها ب َبيان ~~~ َذ‬
ٌ ‫كاء َو ِح‬ َّ ّ َ ‫َأخ َلن َت‬
‫رص‬ ِ ِ ِ ‫الع َُلم ِإَل ِب ِست ٍة ~~~ سأ‬
ِ ‫نال‬
َ ُ َ ‫حب ُة أستاذ ~~~ َو ُب َلغ ٌة‬َ ٌ ‫َ ي‬
ُ ‫هاد َو‬
‫مان‬
ِ ‫ز‬ ‫طول‬ ‫و‬ ٍ ‫ص‬ ‫وِاج ِت‬

"Saudaraku, engkau tidak akan pernah mendapatkan 'ilmu kecuali dengan enam perkara
yang aku akan sampaikan secara rinci.
1. Dzaka' (‫اء‬ٌ ‫ ) َذ َك‬Cerdas.
2. Hirsh (‫ص‬ٌ ‫ ) ِح ْر‬Keinginan keras untuk mendapatkan ilmu.
ٌ َ ْ
3. Ijtihad ( ‫)اج ِتهاد‬. Usaha/kesungguhan didalam menuntut ilmu agama.
َُ ْ ُ َ ْ ُ
4. Shuhbatu ustadz (‫اذ وصحبة‬ ٍ ‫)أست‬. Senantiasa bersama seorang ustadz atau guru yang
membimbingnya.
5. Bulghah (‫)بلغة‬. Bekal dalam menuntut agama.
6. Thulu zaman. Waktu yang lama.

Enam syarat ini sebagai perkara yang mesti diwujudkan oleh seorang thalabul ilmi jika ingin
sukses dalam menuntut ilmu agama.
ََ
ٌ ‫ )ذك‬Kecerdasan
• Syarat yang Pertama | Dzaka' (‫اء‬
1. Kecerdasan itu ada yang bersifat jibilliyyah (bawaan), Allah Subhanahu wa
ta’ala sejak lahir memberikan kecerdasan kepadanya.
2. Kecerdasan yang diusahakan.
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan kita berusaha agar mendapatkan
kecerdasan, bahkan di antara usaha yang kita lakukan dalam mendapatkan kecerdasan ini
adalah sering bermuamalah dengan Al-Quran, apalagi berusaha untuk menghapal Al-Quran.
Biasanya orang yang rajin menghapal Al-Quran meningkat kemampuan berpikirnya, karena
keberkahan Al-Quran tentunya.
Di pesantren, didapati kemampuan seorang anak dalam menghapal Al-Quran berbanding
lurus dengan kemampuan-kemampuan di bidang lainnya. Dan menghapal Al-Quran tidak
menghambat prestasi seorang anak di bidang yang lainnya.
ٌ ‫ ) ِح ْر‬Keinginan kuat untuk mendapatkan ilmu.
• Syarat yang kedua | Hirsh ( ‫ص‬
Al-Hirsh artinya keinginan yang kuat, ketamakan akan ilmu. Keinginan kuat ini akan
memberikan tenaga yang sangat besar bagi seorang penuntut ilmu agar dia bisa
mendapatkan apa yang diinginkan.
Dengan keinginan kuat dia buat target (misalnya) "Setiap hari saya harus baca buku selama
dua jam" dengan keinginan yang kuat ini (Al-Hirsu) maka lahirlah al-Ijtihad (syarat ketiga)
yaitu kesungguhan dalam thalabul 'ilmi.
Dan ada dua perkara yang seorang hamba tidak akan pernah kenyang, yaitu mencari Ilmu
dan mencari dunia
Seorang yang betul-betul menjadi thalabul 'ilmi, dia tidak akan pernah kenyang ilmunya,
semakin dia mendapatkan ilmu semakin dia rasakan bahwa dia adalah orang yang bodoh.
Semakin dia mendapatkan ilmu semakin tunduk dia (semakin tawadhu).
Yang kedua yang tidak akan pernah kenyang adalah mencari dunia sekarang dia
mendapatkan (mampu membeli) sepeda, setelah itu dia membeli motor, setelah
mendapatkan motor ingin mendapatkan mobil dan seterusnya, tidak akan pernah kenyang.

• Syarat yang ketiga | Ijtihad (syarat ketiga) yaitu kesungguhan dalam thalabul 'ilmi.

َ ُ ُ ْ ُ
ْ
• Syarat yang empat | Senantiasa bersama seorang ustadz, kalimat ‫اذ‬ ٍ ‫ صح َبة أست‬menunjukan
dua faedah yang sangat penting.
√ Faedah yang pertama, dalam menuntut ilmu agama harus ada seorang guru yang
membimbing, harus kita usahakan ada seorang guru yang membimbing, kita harus hadir di
majelis ilmu.
Adapun seperti kajian di grup whatsapp ini hanya sebagai pembantu saja (penunjang) tetapi
yang paling inti adalah antum sekalian hadir di majelis ilmu yang betul-betul mengajarkan
Al-Quran dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
√ Faedah yang kedua, ketika kita sudah memiliki seorang guru, guru tidak boleh dimusuhi,
guru harus kita muliakan sebagaimana yang telah saya sampaikan pada pertemuan
sebelumnya tentang adab seorang murid kepada seorang guru.

• Syarat yang kelima | Bulghah, Bekal


Bekal yang dengannya kita membeli peralatan untuk thalabul 'ilmi (membeli buku, alat tulis,
melakukan perjalanan untuk thalabul 'ilm misalnya) itu semua memerlukan biaya.
Imam Ibnu al-Jauzi mendapatkan warisan rumah, rumah warisan itu dijual semua sebagai
bekal thalibul 'ilmi yang pada akhirnya dia sukses dan menjadi orang yang mampu.
• Syarat yang keenam | Thulu zaman. Waktu yang lama
Sejatinya thalabul 'ilmi adalah sampai kita mati. Imam Ahmad ditanya oleh muridnya.

‫ إَل أين المحبة‬،‫يا إمام‬


"Wahai Imam, sampai kapan engkau membawa tempat tinta ?"
⇒ Mahbarah itu tempat tinta, karena di zaman dulu antara pena dengan tintanya terpisah,
jadi ketika akan menulis pena itu dicelupkan dulu ke tintanya lalu digunakan untuk menulis.

Lalu sang Imam menjawab:

‫مع المحبة إَل المقبة‬

"Saya akan membawa tempat tinta ini, sampai kekuburan."

Jadi thalabul 'ilmi tidak ada batas waktu, thalabul 'ilmi sampai kita mati karena thalabul 'ilmi
sendiri merupakan ibadah, kita ingin meninggal dalam keadaan beribadah kepada rabbul
alamin. Jadi belajar itu butuh waktu yang lama, butuh kesabaran.

Di dalam surat Al-Ashr ketika Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang orang-orang
َ ‫ إ ََّل هالذ‬kecuali orang-orang
َ ‫ين‬
yang tidak merugi. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman ‫آمنوا‬ ِ ِ
yang beriman.

Beriman di sini maksudnya berilmu karena tidak mungkin beriman tanpa ilmu dan ilmu
tidak mungkin kita dapatkan kecuali dengan belajar. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:
ُّ َّ ْ ْ َّ
‫ِإن َما ال ِعلم ِبالت َعل ِم‬
"Ilmu hanya bisa kita dapatkan dengan belajar." (Hadits riwayat Abi Ashim dan At-Thabari
dari Muawiyah dan dinyatakan sanadnya hasan oleh al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari')

Kata Allah Subhanahu wa ta’ala :

‫الص ْ ِب‬ َ ‫اص ْوا ب ْال َح ِّق َو َت َو‬


َّ ‫اص ْوا ب‬ َّ ‫آم ُنوا َو َعم ُلوا‬
َ ‫الصال َحات َو َت َو‬ َ ‫إ ََّل هالذ‬
َ ‫ين‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
"Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati
untuk kebenaran dan saling berwasiat dalam kesabaran." (QS Al-Asr: 3)
Ilmu yang dia dapatkan dia amalkan dan saling menasehati dalam kebenaran dan ilmu yang
dia miliki didakwahkan, dia berikan kepada orang lain dan saling menasehati dalam
kesabaran, karena menuntut ilmu agama perlu kesabaran dan mengamalkan ilmu agama
perlu kesabaran dan mendakwahkan ilmu agama perlu kesabaran.

Sehingga kita harus senantiasa berwasiat dengan kesabaran. Anda semuanya belajar di
grup ini harus dengan kesabaran, setiap materi yang disampaikan didengarkan dengan baik,
lalu dicatat, kemudian dimurajaah, kembali dibaca.
Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Alu Syaikh, beliau mengatakan:

‫اليوم علم وغدا علم وبعد الغد علم‬

"Hari ini harus ada ilmu yang kita dapatkan, besok harus ada ilmu yang kita dapatkan,
setelahnyapun harus ada ilmu yang kita dapatkan."

Walaupun sedikit harus ada ilmu yang kita dapatkan.


Demikianlah enam syarat yang disampaikan oleh Imam Asy Syafi'i rahimahullah, sehingga
kita bisa sukses dalam menuntut ilmu agama ini dengan penjelasan yang sangat singkat.
Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan ini bermanfaat bagi kita semua dan kita
diwafatkan oleh Allah dalam keadaan husnul khatimah (Amin), apalagi dalam keadaan
menuntut ilmu agama, ini merupakan kemuliaan yang Allah berikan kepada kita.

Akhukum Fillah,
Beni Sarbeni Abu Sumayyah
Pondok Pesantren Sabilunnajah Bandung

Anda mungkin juga menyukai