Menurut Imam al-Ghazali umat Islam harus memahami ilmu nafi’. Sebab seseorang yang
tidak memahami ilmu nafi’ akan terjerumus pada ilmu yang berbahaya (al-ilmu al-dhar). Ilmu
yang berbahaya ini akan digunakan sebagai alat mengeruk kepentingan duniawi. Ilmu seperti itu
hakikatnya adalah sebuah kebodohan dan sumber kerusakan yang terjadi di alam semesta. (al-
Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Kairo: Dar Mishr Li al-Thiba‘ah, 1998, Juz IV, hlm. 438).
Melihat pentingnya ilmu nafi’ ini, Imam al-Ghazali merumuskan konsep nya lengkap
dengan indikator-indi katornya. Menurutnya, "ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuat
mu bertambah takut kepada Allah, membuat mata hatimu semakin tajam terhadap aib-aibmu,
menambah ma’rifat mu dengan menyembah-Nya, mengu rangi keinginanmu terhadap dunia,
menambah keinginanmu terhadap akhirat, membuka mata hatimu tentang rusaknya segala
amalmu sehingga engkau menjaga diri dari kerusakan itu, dan membuatmu teliti atas perangkap
dan tipu daya setan (Al-Ghazâli, Bidâyat al-Hidâyah, (Beirut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 2011,
hlm. 19).
‘Ubadah bin ash-Shamit pernah ditanya mengenai makna hadits tersebut ia berkata:
“Sesungguhnya aku akan memberitahukanmu mengenai ilmu yang pertamakali akan lenyap dari
diri manusia: yaitu kekhusyu’an(rasa takut kpd Allah).”
Al-Hasan [al-Bashri]:
“Ilmu itu ada dua macam: Ilmu yang ada pada lisan dan ilmu yang ada pada hati. Ilmu yang
merasuk ke dalam hati adalah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya sebatas pada
lisan kelak anak Adam tersebut akan di mintai pertanggung jawabannya,
Keutamaan Ilmu Nafi’
علم ال ينفع
ٍ تعوذوا باهللِ من
َّ و، سلوا هللا عل ًما نافعًا
“Mohonlah kepada Allah ilmu yang bermanfaat dan berlindunglah kepada-Nya dari ilmu yang
tidak bermanfaat”1.
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan mendapatkan anugerah ilmu
yang bermanfaat, yaitu ilmu yang sesuai dengan petunjuk yang diturunkan oleh Allah Ta’ala
kepada Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam dan mewariskan amals shaleh untuk
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala2, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak
mungkin memerintahkan untuk memohon kepada Allah Ta’ala kecuali sesuatu yang mulia dan
mendatangkan kebaikan besar di Dunia dan akhirat. Inilah makna firman Allah Ta’ala:
{ ب ِزدْنِي ِع ْل ًما
ِ ِّ } وق ْل ر
“Dan katakanlah: “Wahai Rabb-ku tambahkanlah kepadaku ilmu” (QS Thaahaa: 114)3.
Imam Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah menjelaskan secara rinci ciri-ciri ilmu yang
bermanfaat dan tidak bermanfaat. Ciri-ciri ilmu yang bermanfaat adalah sebagai berikut:
Pertama, menambah rasa takut kita kepada Allah Swt.
Kedua, kita semakin menyadari aib-aib yang telah kita lakukan.
Ketiga, bertambahnya makrifat kita kepada Allah dengan semakin banyak beribadah kepada-
Nya.
Keempat, berusaha untuk meminimalisir cinta kita kepada dunia.
Kelima, menambah rindu dan cinta kita kepada amal akhirat.
Keenam, mengoreksi perbuatan-perbuatan kita yang tercela dan berusaha untuk menghindar dari
perbuatan tersebut.
Ketujuh, selalu dijauhkan dari tipudaya setan.
Selain tujuh hal di atas, Imam al-Ghazali juga menjelaskan secara rinci bagaimana tipu
daya setan yang dimaksud dalam poin ketujuh di atas.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa karena tipu daya setan tersebut kita menjadi Ulama Su’
(ulama yang tercela). Akibat tipu daya setan tersebut, kita selalu menjadikan agama sebagai
ladang mencari dunia, menjadikan ilmu sebagai alat untuk mendapatkan harta dari para pejabat,
bahkan ada yang sampai memakan harta wakaf dan anak yatim, hingga mengakibatkan waktu
kita habis dengan angan-angan untuk mendapatkan dunia, pangkat dan kedudukan.
Naudzubillahi min dzalik.
َّ ِإ َّن فِي ذ ِلك ل ِذ ْكرى ِلم ْن كان له ق ْلبٌ أ ْو أ ْلقى ال
ٌس ْمع وهو ش ِهيد
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan (pelajaran) bagi
orang-orang yang mempunyai hati atau yang mengkonsentrasikan pendengarannya, sedang dia
menghadirkan (hati)nya” (QS Qaaf:37).
2) Faktor kedua, media untuk menerima pengaruh dan manfaat dari ilmu
Dalam hal ini adalah hati yang bersih, ini yang diisyaratkan dalam potongan ayat
di atas, (“bagi orang-orang yang mempunyai hati”). Artinya, kalau kita ingin mendapatkan
pengaruh yang baik dan manfaat dari ilmu yang kita pelajari, maka kita benar-benar harus
membersihkan dan menyiapkan hati kita, karena ilmu yang bermanfaat tidak akan masuk dan
menetap ke dalam hati yang kotor dan dipenuhi noda syahwat atau syubhat.
3) Faktor ketiga, upaya untuk mendapatkan pengaruh baik dan manfaat dari ilmu
Yaitu dengan cara mengkonsentrasikan pendengaran kita terhadap nasehat dan
peringatan yang disampaikan di hadapan kita. Ini yang diisyaratkan dalam potongan ayat di
atas, (“Atau orang yang mengkonsentrasikan pendengarannya”).
Maksud dari faktor yang ketiga ini adalah, setelah kita mengupayakan sumber
pengaruh ilmu yang baik, demikian pula media untuk menerima pengaruh baik tersebut,
maka mestinya pengaruh baik dan manfaat dari ilmu tetap tidak akan didapat tanpa ada
penghubung yang menghubungkan antara sumber dan media tersebut. Maka dalam hal ini,
banyak membaca Al Qur-an dengan berusaha mengahayati kandungan maknanya,
menghadiri majelis ilmu yang bermanfaat, mendengarkan ceramah dan menelaah buku-buku
sumber ilmu yang bermanfaat adalah upaya yang harus kita lakukan dan terus ditingkatkan
agar manfaat dan pengaruh baik dari ilmu makin maksimal kita dapatkan.
4) Faktor keempat, upaya menghilangkan hambatan yang menghalangi sampainya pengaruh
baik dari ilmu yang bermanfaat
Ini diisyaratkan dalam potongan ayat di atas, (“Sedang dia menghadirkan
(hati)nya”). Ini berarti bahwa kelalaian dan berpalingnya hati dari memahami dan
menghayati kandungan ilmu ketika ketika kita membaca Al Qur-an, menhadiri majelis ilmu,
atau mendengarkan ceramah, ini adalah penghambat utama yang mengahalangi sampainya
pengaruh dan manfaat dari ilmu yang sedang kita baca atau dengarkan.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik
dan amal yang diterima“. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu as-Sunni).
و ِزدْنِ ْي ِع ْل ًما, وع ِلِّ ْمنِ ْي ماي ْنفعنِ ْي,اللَّه َّم ا ْنف ْعنِي بِما علَّ ْمتنِي
“Ya Allah, berilah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan
ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku, Dan tambahkanlah ilmu kepadaku.” (HR.
at-Tirmidzi:3599, dan Ibnu Majah:251, 3833).
– Allahumma inniy a’udzubika min ‘ilmin laa yanfa’, wa min qolbin laa yakhsya’, wa min
nafsin laa tasyba’, wa min da’watin laa yustajaabu lahaa –
“Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak
khusyu’, jiwa yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim:2722,
an-Nasa’i VIII/260). (171)