Anda di halaman 1dari 23

PERAN DAN FUNGSI INTELEKTUAL QUOTIENT (IQ), EMOSIONAL QUOTIENT

(EQ), DAN SPIRITUAL QUOTIENT (SQ) PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Khairunnas Rajab

Disusun oleh:
Noveranita Amelia
22060221928

MAGISTER PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diciptakan oleh Allah diantara
makhluk ciptaan-Nya yang lain, sehingga manusia mendapatkan amanah untuk menjadi
khalifah di muka bumi. Manusia dibekali berbagai potensi agar dapat menjalankan perannya
dengan baik menjalani kehidupan di muka bumi. Manusia diberikan akal untuk dapat
mempelajari hal yang baik ataupun yang buruk. Manusia lahir dengan kapasitas inteligensi
yang berbeda namun, bagaimana cara memaksimalkan potensi intelektual.
Kecerdasan Intelektual (IQ) adalah kecerdasan yang berhubungan dengan hapalan,
berhitung, logika, membaca ruang. Iq Tinggi ditandai dengan pandai di sekolah, nilai tinggi,
mampu menyelesaikan masalah secara optimal, mampu mengambil keputusan secara tepat,
kemampuan berbahasa tinggi: kosakata, berbicara lancar, mampu memahami bacaan secara
tepat, penampilan selalu rapi, bersih dan matanya bersinar-sinar. Iq rendah ditandai dengan
nilai yang jelek di sekolah, terlambat berfikir, dan penampilan tidak meyakinkan, mulut
menganga dengan tatapan mata yang kosong (Wiguna, 2014).
Namun, IQ tidak dapat menjalankan fungsinya secara optimal jika tidak ada
kemampuan lain yang mendukung seperti kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Meskipun seseorang itu adalah sang juara saat di kelas, tapi belum tentu ia sukses di masa
depan. Kecerdasan emosional memiliki peranan penting dalam memaksimalkan potensi IQ
begitu juga dengan Kecerdasan Spiritual yang berperan menjadi penentu perilaku yang
berlandaskan Agama dan nilai nilai moral sehingga dapat menjadi pengendali kehidupan
manusia dan kedalam pembinaan pribadi yang jika tertanam kuat maka semakin kuat
pengaruhnya dalam pengendalian tingkah laku dan pembentukan sikap. Sikap dan Karakter
individu dapat menentukan kualitas sumber daya manusia. Jika kecerdasan intelektualnya
tinggi dan spiritualnya baik akan tetapi kecerdasan emosionalnya rendah maka individu akan
menghadapi beberapa permasalahan dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, ketiga
kecerdasan yang dimiliki setiap individu diharapkan agar dapat seimbang sehingga setiap
individu mendapatkan kehidupan yang bahagia.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini ialah: menjelaskan bagaimana IQ, EQ dan SQ
berperan dan berfungsi dalam diri individu ?

C. Tujuan
Tujuan makalah ini ialah untuk mendeskripsikan IQ, EQ dan SQ sehingga dapat
membedakan peran dan fungsi IQ, EQ, dan SQ
BAB II
PEMBAHASAN

A. Intelectual Quotient (IQ)


1. Pengertian IQ
IQ merupakan istilah dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali
diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20.
IQ adalah usia mental yang didasarkan pada usia kronologis, yang dapat diuji dengan menilai
kemampuan verbal dan nonverbal. Iq adalah ukuran kemampuan yang dimiliki oleh seseorang,
dan berbeda pada setiap orang. IQ biasa juga disebut sebagai kecerdasan kognitif atau
kecerdasan pikiran yang berhubungan dengan hapalan, berhitung, logika, membaca ruang.
Menurut Azwar (1996) kecerdasan intelektual adalah kecerdasan, kepintaran atau kemampuan
memecahkan problem yang dihadapi. IQ Tinggi ditandai dengan pandai di sekolah, nilai tinggi,
mampu menyelesaikan masalah secara optimal, mampu mengambil keputusan secara tepat,
kemampuan berbahasa tinggi:kosakata, berbicara lancer, mampu memahami bacaan secara tepat,
penampilan selalu rapi, bersih dan matanya bersinar-sinar. IQ rendah ditandai dengan nilai yang
jelek di sekolah, terlambat berfikir, dan penampilan tidak meyakinkan, mulut menganga dengan
tatapan mata yang kosong (Wiguna, 2014).
Islam telah lebih dahulu membahas mengenai inteligensi. Al-Qur‟an memberikan
penjelasan mengenai inteligensi dapat dihubungkan dengan beberapa kata kunci seperti „aql
yang secara harfiah berarti mengikat. Kemudian „aql juga dapat dihubungkan dengan predikat
orang-orang yang mempunyai kecerdasan intelektual seperti ulul albab (orang-orang yang
berfikir) dan terulang sebanyak 16 kali. Seseorang yang mencapai predikat ulul albab belum
tentu memiliki kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, karena masih terdapat perintah
dalam Al-Qur‟an yang menyerukan ulul albab untuk bertakwa kepada Allah SWT.
Ulul Albab dapat digunakan bagi pemilik IQ yang sudah menyadari adanya kekuatan-
kekuatan yang lebih tinggi di balik kemampuan akal pikiran (QS. Al-Baqarah: 269 dan QS. Az-
Zumar : 9). Dan masih banyak lagi istilah yang mengisyaratkan aktivitas kecerdasan intelektual.
Kesemuanya itu dapat disimpulkan bahwa ontologi akal hanya terbatas pada objek-objek yang
dapat diindra, bukan kepada objek-objek yang bersifat metafisik. Penguasaan kecerdasan
intelektual bukan jaminan untuk memperoleh kualitas iman atau kualitas spiritual yang lebih
baik, karena terbukti banyak orang yang cerdas secara intelektual tetapi kufur terhadap Tuhan.

Kecerdasan Intelektual tidak dapat dicapai tanpa bantuan aktivitas emosional yang
positif. Mengapa demikian? Karena Otak sebagai pusat Intelegensi hanya mampu berperan
sekitar 5-10% dalam menentukan kehidupan manusia kedepannya. Lebih dari itu sekitar 90%
kehidupan manusia ditentukan oleh lingkungannya, bagaimana lingkungan membentuk
karakternya sesuai dengan lingkungan. Sebagaimana Firman Allah dalam QS. An-Nahl-ayat-78
yang artinya “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”
Ayat ini memiliki makna yang sama dengan Hadits “Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas
fitrah hingga ia fasih (berbicara), maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi,
Nasrani, atau Majusi.”

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi IQ


Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi inteligensi, sehingga terdapat perbedaan
inteligensi seseorang dengan yang lain adalah
a. Pembawaan : Pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa
sejak lahir. Meskipun menerima latihan dan pelajaran yang sama, perbedaan-
perbedaan itu masih tetap ada
b. Kematangan : Tiap organ bisa dikatakan telah matang jika ia telah mencapai
kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Kematangan berhubungan
erat dengan umur
c. Pembentukan : Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang
mempengaruhi perkembangan inteligensi.
d. Minat dan Pembawaan yang Khas: Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu
tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Apa yang diminati oleh
seseorang akan mendorongnya untuk berbuat lebih giat dan lebih baik
e. Kebebasan : Manusia memiliki kebebasan memilih metode-metode tertentu
dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya. Dengan adanya kebebasan
ini berarti bahwa minat itu tidak selamanya menjadi syarat dalam perbuatan
inteligensi.
3. Peran dan Fungsi IQ
IQ didefinisikan sebagai kecerdasan fikiran yang menyangkut kemampuan untuk
mempertimbangkan sesuatu, memecahkan atau memutuskan sesuatu masalah. Kecerdasan
intelektual kadang digunakan untuk melegitimasi kekufuran. Idealnya, Intelektual digunakan
untuk memperoleh kecerdasan yang lebih tinggi. Seorang ilmuan yang arif tidak berhenti pada
level kecerdasan intelektual tetapi melakukan sinergi dengan kecerdasan-kecerdasan yang lebih
tinggi. Inilah makna simbol ayat pertama yang diturunkan dalam Al-Qur‟an : iqra‟ bi ismi
rabbik: “membaca” harus selalu dikaitkan dengan “Nama Tuhan”.
Al-Qur‟an menyuruh berfikir agar menjadi cerdas, Fikrah ialah potensi yang dicurahkan
(dalam merenung) untuk memperoleh ilmu dengan yakin. Akal adalah potensi untuk menerima
ilmu atau ilmu yang dimanfaatkan manusia dengan potensinya. Allah SWT dalam Al-Qur‟an
secara umum telah menjelaskan pengertian, peranan kemampuan akal (IQ) pada individu “Al-
Qur‟an merupakan penjelasan bagi manusia, agar mereka diberi peringatan dengannya, agar
mereka mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang berakal mengambil
pelajaran (QS. Ibrahim: 53). Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan
Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang yang berakal
saja yang dapat mengambil pelajaran (QS. Ar-Ra‟ad: 19) (Depag RI, 1996).
Penjelasan sebelumnya, menggambarkan bahwa kemampuan berfikir individu yang
didasari pada tingkatan intelegensi dalam memberikan suatu reaksi dari beberapa stimulus yang
masuk dalam otak sehingga menjadi kumpulan informasi untuk menentukan sikap, perilaku dan
penilaian tertentu sebagai jawaban yang dianggap paling tepat. Keadaan psikologis individu yang
demikian mengisyaratkan bahwa IQ tidak bekerja sendiri namun, ada faktor lain yang terkait
seperti Emotional Intelligence (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) (Irawan, diakses pada 28
November 2019).

B. Emotional Quotient (EQ)


1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosi merupakan salah satu hal terpenting dalam pembentukkan karakter
individu. Karakter individu dapat menentukan kualitas sumber daya manusia. Jika kecerdasan
intelektualnya tinggi dan spiritualnya baik akan tetapi kecerdasan emosionalnya rendah maka
individu akan menghadapi beberapa permasalahan dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu,
ketiga kecerdasan yang dimiliki setiap individu diharapkan agar dapat seimbang sehingga setiap
individu dan juga kemlompok mendapatkan kehidupan yang bahagia.
Menurut (Goleman, 2015) Kecerdasan emosi merupakan kemampuan emosi yang
meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri, memiliki daya tahan ketika menghadapi suatu
masalah, mampu mengendalikan impuls, memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati,
kemampuan berempati dan membina hubungan dengan orang lain. Setiap individu dibekali
dengan kecerdasan emosi yang membantu individu untuk dapat mengendalikan dirinya dalam
memenuhi kewajiban dan menjalankan tugas, untuk dapat mengendalikan diri dalam
membangun hubungan sosial dengan orang lain, untuk mampu mengendalikan semua potensi
yang dimiliki agar dapat tersalurkan dengan baik.
Kehidupan setiap individu tidak selalu mulus tanpa menghadapi masalah-
masalah, dengan adanya kecerdasan emosi menuntun manusia untuk mampu menyelesaikan dan
memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Tidak hanya memecahkan masalah, dengan adanya
kecerdasan emosi dapat membantu individu untuk dapat mengendalikan dorongan-dorongan
untuk melakukan sesuatu tanpa alasan yang mendasar yang datangnya tiba-tiba.
Kondisi individu setelah menghadapi suatu masalah, dan memecahkan masalah
maka setiap individu dibutuhkan motivasi yang positif agar individu dapat menjalani kehidupan
selanjutnya dengan mandiri. Kecerdasan emosi menuntun individu untuk mampu
mengendalikan suasana hati agar tetap stabil. Dengan adanya suasana hati yang stabil dapat
membantu individu untuk membina hubungan yang baik, komunikasi yang efektif dengan orang
lain atau dengan kelompok.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Anthony Dio Martin, 2003: 91) emosi di
definisikan sebagai (1) luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat (2)
keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis .

2. Ciri-ciri Keceradasan Emosi


Menurut Teori Goleman terdapat lima ciri-ciri keceradasan emosi adalah sebagai
berikut :
a. Kesadaran diri yaitu mampu mengetahui apa yang dirasakan, menyadari akan
potensi yang dimiliki, memberdayakan kelebihan dan mampu menyadari
kekurangan diri, memiliki kepercayaan diri yang baik, mampu mengambil
keputusan atas diri sendiri. Ketika setiap individu dapat menyadari apa yang
dimiliki oleh diri pribadinya maka akan mampu menuntun individu agar dapat
mengatur diri sendiri dalam segala bidang kehidupan.
b. Pengaturan diri yaitu membantu mengatur diri dalam mengendalikan emosi
ketika menjalankan sebuah tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
kenikmatan sebelum tercapainya sasaran dan mampu memulihkan diri dari
luapan emosi.
c. Motivasi
Menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan mencapai
suatu tujuan dan sasaran, membantu mencari inisiatif, bertindak efektif dan
untuk bertahan mengahadapi kegagalan dan frustasi. Dengan motivasi dapat
membantu individu untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas yang positif.
Dan membantu individu untuk mengaktualisasikan diri agar dapat menjalankan
tugasnya sebagai mahluk individu mapun mahluk sosial.
d. Empati
Mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami
perspektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan mampu
menyelaraskan diri dengan berbagai macam bentuk kepribadian orang lain.
e. Keterampilan sosial
Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, dan
dengan cermat membaca situasi sosial, dan berinteraksi dengan lancar. Dengan
adanya keterampilan dalam menjaga kecerdasan emosi maka setiap individu
dapat mencapai suatu kesuksesan dalam menjalin hubungan sosial.

3. Fungsi-fungsi Emosi
Menurut (Goleman dan Hammen, 1997) bahwa terdapat beberapa fungsi
kecerdasan emosi yaitu sebagai berikut :
a. Kecerdasan Emosi sebagai pembangkit energi, yang memberikan kegairahan
dalam kehidupan manusia. (ketika kita mencintai orang di satu kantor, tentu
kita akan bersemangat datang untuk bekerja. Atau sebaliknya jika kita putus
cinta maka merasa hari-hari suram dan tidak berenergi untuk bekerja). Artinya
ketika seseorang merasakan emosi, maka tubuhnya akan tergerak untuk
melakukan apa yang dirasakannya, dalam hal ini emosi membangkitkan dan
memobilisasi energi manusia
b. Kecerdasan Emosi sebagai penyampai Informasi, Fungsi ini lebih mengarah
pada komunikasi intrapersonal. Maksudnya, ketika emosi di rasakan seseorang,
maka secara tidak langsung mereka menyadari apa yang sedang terjadi pada
dirinya atau stimuli apa yang mereka dapat dari lingkungan. Dalam
berkomunikasi, pasti seseorang memiliki tujuan atau pesan yang akan
disampaikan. Seperti ketika seseorang sedang bercerita dengan sahabatnya,
dalam cerita itu terdapat cerita sedih yang membuat mereka menangis bahan
sahabatnya (pendengar/ komunikan) juga turut menangis.
c. Kecerdasan Emosi berfungsi sebagai perjuangan untuk bertahan hidup
(survival). Sebagai contoh ketika seseorang lapar maka tergeraklah orang itu
untuk bekerja /mencari makan.
d. Kecerdasan Emosi sebagai penguat pesan atau informasi. Yaitu berfungsi
untuk memperkuat pesan atau informasi yang disampaikan (reinforcer).
(Sewaktu mengatakan kalimat “Apakah anda mengerti maksud saya?” dengan
nada biasa atau datar. Beda dengan “Anda mengerti tidak maksud saya?!”
dengan nada marah sambil menunjuk-nunjuk orang yang ditanya.
e. Kecerdasan Emosi sebagai penyeimbang hidup (Balancer). Yaitu emosi
sebagai penyeimbang hidup. Contoh, ketika sedih kehilangan orang yang
dicintai lalu kita menangis. Atau melihat kejadian lucu kita tertawa.
Emosi memiliki fungsi-fungsi vital bagi manusia. Emosi yang dialami manusia
menjadikan manusia mampu menimbulkan respon berdasarkan informasi yang diterimanya.
Misal target sales anda tidak tercapai, tentunya anda akan merasakan kurang puas yang
mendorong anda kearah lebih baik. Seperti halnya pikiran manusia memiliki kemampuan untuk
menghasilkan gelombang energi yang luar biasa, maka emosi pun sangat kuat pengaruhnya.
Bahkan dalam banyak hal, pengaruhnya bisa melebihi energi universal. Semua yang ditarik ke
dalam realitas fisik tercipta berdasarkan pikiran dan kekuatan emosi tersebut.
Emosi perlu dikenali, dilatih, dan dikendalikan agar bisa mendukung proses
perkembangan kesadaran diri. Jika seseorang mampu mengendalikan emosi, mereka dapat
berpikir jernih dan kreatif. Orang akan mampu mengelola beragam situasi dan tantangan,
berkomunikasi dengan baik pada orang lain, memperlihatkan kepercayaan, empati, dan penuh
percaya diri. Sebaliknya, jika emosi tidak terkendali, maka yang akan muncul adalah rasa
bingung, terisolasi, tidak berdaya, dan aneka kondisi negatif yang merugikan. Untuk itu setiap
orang perlu menaruh perhatian pada aspek pengembangan emosi, dan melatih mengontrol
reaksinya ketika menghadapi situasi yang berbeda-beda. Dengan demikian, maka seseorang
dapat menikmati kehidupan yang lebih baik, serta kualitas hubungan dengan orang lain yang
lebih memuaskan.

4. Golongan-Golongan Emosi
Sejumlah teoretikus mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan besar,
meskipun tidak semua sepakat dengan itu. Calon-calon utama dan beberapa anggota
golongan tersebut adalah :
a. Amarah: beringas, mengamuk, marah besar, jengkel, kesal hatu, terganggu,
rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, hingga pada tindakan
kekerasan dan kebencian patologis.
b. Kesedihan: pedih, sedih, muram, melankolis, mengasihani diri, kesepian,
ditolak, putus asa, hingga depresi berat.
c. Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,
khawatir, phobia, waspada, sedih, ngeri, panik
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur,
bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa
terpenuhi, jika tidak dapat dikendalikan dengan baik hingga maniak.
e. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat,
bakti, hormat, kasmaran, kasih.
f. Terkejut: terkesiap, takjub, terpana
g. Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah
h. Malu : rasa salah, malu hati, sesal hati, merasa hina, aib, dan hati hancur
lebur.
Berdasarkan penyampaian perkuliahan oleh Prof. Dr. Zulfan Saam MS bahwa
Ekspressi Emosi adalah cara-cara yang dilakukan oleh seseorang dalam
mengekspresikan emosinya dapat dilihat dari ekspresi wajah, suara/vokal, gestur (gerak
tubuh), kata-kata, dan perilaku pada umumnya. Emosi dasar adalah rasa senang, marah,
sedih dan takut.

5. Kecerdasan Emosi dalam Penjelasan Al-qur’an


Eksistensi kecerdasan emosi juga sudah dijelaskan dalam Al-qur‟an Karim,
berikut adalah beberapa ayat yang menjelaskan tentang kecerdasan emosi :
a. Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang
dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu
yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Q.S.al-Haj/22:46).
b. Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Q.S.al-A‟raf/5:179)
c. Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah
telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah
Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran? (Q.S.al-Jatsiyah/45:23)
Analisis ayat-ayat diatas membantu menuntun kita untuk mendefinisikan tentang
kecerdasan emosi berdasarkan Al-qur‟an yang identik dengan kata “hati dan nafsu”.
Keistimewaan yang Allah berikan kepada manusia yakni berupa hati nurani yang tidak dimiliki
oleh mahluk Allah yang lainnya menuntut manusia agar dapat mengendalikan kondisi hati nurani
yang jika tidak dapat dikendalikan dengan baik maka nafsu yang tidak baik akan menguasai.
Apabila nafsu negatif sudah menguasai manusia maka, manusia akan menghadapi masalah,
disinilah peran kecerdasan emosi untuk dapat sadar akan diri, mengatur diri, memotivasi diri, dan
mengendalikan keterampilan untuk memecahkan masalah.
Ayat-ayat tersebut di atas cukup jelas menggambarkan kepada kita bahwa faktor
kecerdasan emosional ikut serta menentukan eksistensi martabat manusia di depan Allah.
Menurut S.H.Nasr, emosi inilah yang menjadi faktor penting yang menjadikan manusia sebagai
satu-satunya makhluk eksistensialis, yang bisa turun-naik derajatnya di mata Allah. Binatang
tidak akan pernah meningkat menjadi manusia dan malaikat tidak akan pernah “turun” menjadi
manusia karena mereka tidak memiliki unsur kedua dan unsur ketiga seperti yang dimiliki
manusia.

C. Spiritual Quotient (SQ)


1. Pengertian Kecerdasan Spiritual
Agama dan nilai nilai moral akan menjadi pengendali kehidupan manusia dan kedalam
pembinaan pribadi yang jika tertanam kuat maka semakin kuat pengaruhnya dalam pengendalian
tingkah laku dan pembentukan sikap. Kemampuan dalam menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan
hidup seseorang lebih bermakna disebut kecerdasan spiritual (Zohar dan Marsall, 2007).
Menurut Sinetar (dalam Safaria, 2007) kecerdasan spiritual adalah pemikiran yang terilhami.
Kecerdasan ini diilhami oleh dorongan yang efektivitas, keberadaan atau hidup ilahia yang
mempersatukan kita sebagai makluk ciptaan Allah SWT.
Kemampuan untuk mengatur diri sendiri atau bertanggung jawab terhadap diri sendiri,
terkait dengan bagaimana seseorang menilai dan memaknai setiap tindakannya (Alwisol, 2006).
Kemampuan untuk menilai makna tindakan dan makna hidup ini, berkaitan erat dengan
kecerdasan spiritual yang oleh Zohar dan Marshall (dalam Sitepu, 2007) disebutkan sebagai
kecerdasan individu untuk menilai makna dari tindakan yang dilakukannya. Menurut Zohar dan
Marshall (2000) kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai, kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks
makna yang lebih luas dan kaya, serta kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan orang lain.
Zohar dan Marshall (2000) mengungkapkan bahwa kecerdasan spiritual terdiri dari
dimensi-dimensi sebagai berikut: (a) kemampuan bersikap fleksibel yaitu dapat menempatkan
diri dan menerima pendapat orang lain secara terbuka; (b) tingkat kesadaran yang tinggi seperti
kemampuan autocritism dan mengerti tujuan serta visi hidupnya; (c) kemampuan untuk
menghadapi dan memanfaatkan hal-hal yang menyulitkan yang ditandai dengan tidak adanya
penyesalan, tetap tersenyum, dan bersikap tenang; (d) kemampuan menghadapi dan
menyembuhkan rasa sakit yang ditandai dengan munculnya sikap ikhlas dan pemaaf; (e) kualitas
hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai seperti prinsip dan pegangan hidup dan berpijak
pada kebenaran; (f) keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu misalnya
menunda pekerjaan dan cenderung untuk berpikir sebelum bertindak; (g) kecenderungan melihat
keterkaitan antara berbagai hal atau memiliki pandangan yang holistik yakni mampu untuk
berpikir secara logis dan berlaku sesuai dengan norma sosial; (h) kecenderung menanyakan
“mengapa” atau “bagaimana” jika akan mencari jawaban-jawaban yang mendasar dan memiliki
kemampuan untuk berimajinasi, serta memiliki rasa ingin tahu yang tinggi; (i) mudah untuk
bekerja melawan konvensi (adat dan kebiasaan sosial), seperti mau memberi dan tidak mau
menerima. Kecerdasan spiritual akan menolong seseorang untuk dapat memutuskan mana yang
baik dan yang tidak baik, serta dapat memikirkan kemungkinan yang akan terjadi, dan punya
cita-cita untuk terus memperbaiki dirinya (Zohar dan Marshall, 2000).

2. Karakteristik Kecerdasan Spiritual


Sinetar (dalam Safaria, 2007) menjelaskan ada beberapa ciri dari anak anak yang
memiliki kecerdasan spiritual tinggi. Karakteristik ini biasanya sudah tampak ketika anak mulai
beranjak menuju masa remaja. Adapun karakteristik tersebut yaitu :
a. Kesadaran diri yang mendalam, intuisi yang tajam, ketakutan keakuan (ego
strenght) dan memilki otoritas bawa.
Ciri utama munculnya kesadaran diri yang kuat pada anak adalah ia
memiliki kemampuan untuk memahami dirinya sendiri serta memahami
emosi emosinya yang muncul, sehingga mampu berempati dengan apa yang
terjadi pada orang lain. Harapannya anak anak ini dikemuadia hari sedikit
banyak memiliki potensi kecerdasan emosi yang baik. Selain itu anak anak
ini juga memiliki intuisi bawaan yang tajam, semisal mampu melihat
kejadian kejadian akan datang secara akurat. Sehingga anak mampu
mengendalikan perilakunya sendiri. Anak juga memiliki kemampuan untuk
mengendalikan dorongan dorongan bawah sadarnya, sehingga perilaku anak
sepertinya ia adalah sosok orang dewasa yang matang.
b. Anak memiliki pandangan luas terhadap dunia dan alam
Ia melihat diri sendiri dan orang orang lain saling terikat, meyadari
bahwa bagaimanapun kosmos ini hidup dan bersinar. Artinya anak
memiliki sesuatu yang disebut sebagai “cahaya subjektif”. Sehingga anak
mampu melihat bahwa alam raya ini diciptakan oleh zat yang Maha Tinggi
yaitu Tuhan
c. Moral tinggi, pendapat yang kokoh, kecendrungan untuk merasa gembira,
mengalami pengalaman pengalaman puncak, atau bakat bakat estetis.
Anak anak ini memiliki kecerdasan moral yang tinggi, mampu
memahami nilai nilai kasih sayang, cinta dan pengahargaan,. Anak anak ini
menunjukan perhatian pada teman dan tidak suka menyakiti sebayanya.
Suka berintegrasi dan menjadi teman yang baik. Anak anak ini juga memilik
keberanian untuk mengajukan pendapatnya secara kokoh, mampu menerima
pencerahan dari berbagai sumber, memiliki rasa tahu yang tinggi dan
cendrung selalu merasa gembira dan membuat orang lain gembira. Anak
juga memiliki bakat bakat estetis, seperti mampu mengatur kamarnya
sendiri dengan baik. Artinya ia memiliki nilai keindahan, tidak suka
merusaka sekitar. Namun mencintai apa saja yang indah seperti bunga
bunga yang indah.
d. Pemahaman tentang tujuan hidupnya
Anak dapat merasakan arah nasibnya, melihat berbagai
kemungkinan, seperti cita cita yang suci (sempurna) di antara hal hal yang
biasa. Anak anak ini sejak awal sudah memiliki tentang cita citanya di masa
depan. Ia memiliki visi yang tajam dan mampu menangkap hubungan antara
impian, usaha keras dan pencapaian cita citanya di masa depan.
e. Kelaparan tak terputuskan akan hal hal selektif yang diminati
Sering kali hal ini membuat mereka menyendiri atau memburu
tujuan tanpa berfikir lain. Pada umumnya mereka memiliki kecendrungan
untuk mementingkan kepentingan orang lain (altruistik). Atau keinginan
untuk selalu menolong orang lain, menunjukan rasa kasih sayang kepada
orang lain, bersahabat dan senang berinteraksi dengan orang lain. Anak juga
memiliki ketekunan dalam mencapai keinginanya dan selalu berusaha untuk
secara terus menerus mancapai tujuan tersebut.
f. Gagasan yang segar dan memiliki rasa humor dewasa
Kita bertanya kepada anak anak, dari mana kamu mendapatkan
gagasan gasasan itu?” kita bahkan meragukan apakah mereka bukan jiwa
jiwa tua yang tinggal dalam tubuh yang masih muda?”. Kemampuan anak
untuk melihat keterkaitan antara dirinya, alam dan kosmos secara
keseluruhan membuatnya mampu memunculkan gagasan baru yang
bermanfaat bagi lingkungannya. Anak seperti diarahkan untuk melayani
sesama manusia melalui kegiatan kegiatan yang kongrit dan nyata.

g. Pandangan pragmatis dan efisien tentang realitas


Yang sering (tetapi tidak selalu) menghasilkan pilihan pilihan yang
sehat dan hasil hasil praktis. Anak juga memiliki kemampuan untuk
bertindak realistis. Walaupun tidak selalu, tapi kemampuan ini sudah
tampak sejak anak beranjak remaja. Anak mampu melihat situasi sekitar,
mau peduli dengan kesulitan orang lain. Sebagai contoh ketika anak
menginginkan sepatu baru, anak tidak dengan sewenang wenang memaksa
orang tuanya untuk membelinya saat itu juga. Namun anak mampu melihat
bahwa melihat bahwa orang tuanya memiliki kesulitan keungan, sehingga
keinginannya itu biasa ditunda sampai beberapa minggu berikutnya. Anak
tidak pernah menuntut orang tuanya dengan paksaan. Disinilah
perbedaannya dibandingkan anak anak lainya. Dalam keadaan ini
sepertinya anak dibimbing oleh sebuah “cahaya subjektif” (pencerahan dini)
sehingga mampu bertindak realistis dan sehat.
3. Aspek-Aspek Kecerdasan Spiritual
Menurut Zohar dan Marshall (2000), tanda- tanda dari kecerdasan spiritual yang
telah berkembang dengan baik adalah sebagai:
a. Kemampuan bersikap fleksibel
b. Tingkat kesadaran diri yang tinggi
c. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
d. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
e. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
f. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu

g. Berpikir secara holistik


Kecerdasan spiritual dalam Islam sesungguhnya bukan pembahasan yang baru.
Bahkan masalah ini sudah lama diwacanakan oleh para sufi. Kecerdasan spiritual (SQ)
berkaitan langsung dengan unsur ketiga manusia. Seperti telah dijelaskan terdahulu
bahwa manusia mempunyai substansi ketiga yang disebut dengan roh. Keberadaan roh
dalam diri manusia merupakan intervensi langsung Allah Swt tanpa melibatkan pihak-
pihak lain, sebagaimana halnya proses penciptaan lainnya. Hal ini dapat difahami
melalui penggunaan redaksional ayat sebagai berikut:
 Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke
dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
(Q.S.al-Hijr/15:29)
 Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".
(Q.S.Shad/38:72).
Ayat tersebut di atas menggunakan kata (dari ruh-Ku) , bukan kata (dari roh
Kami) sebagaimana lazimnya pada penciptaan makhluk lain. Ini mengisyaratkan bahwa
roh yang ada dalam diri manusia itulah yang menjadi unsur ketiga dan unsur ketiga ini
pula yang menyebabkan seluruh makhluk harus sujud kepada Adam. Ini
menggambarkan seolah-olah ada obyek sujud lain selain Allah. Unsur ketiga ini pula
yang mem-backup manusia sebagai khalifah (representatif) Tuhan di bumi.
Kehadiran roh atau unsur ketiga pada diri seseorang memungkinkannya untuk
mengakses kecerdasan spiritual. Namun, upaya untuk mencapai kecerdasan itu tidak
sama bagi setiap orang. Seorang Nabi atau wali tentu lebih berpotensi untuk
mendapatkan kecerdasan ini, karena ia diberikan kekhususan-kekhususan yang lebih
dibanding orang-orang lainnya. Namun tidak berati manusia biasa tidak bisa
mendapatkan kecerdasan ini.

4. Konsep Perkembangan Kecerdasan Spiritual


Menurut Spinks (dalam Safaria, 2007) mengatakan bahwa di dalam diri manusia
terdapat konsep perkembangan kecerdasan spiritual yaitu :
a. Religious insting
Naluri untuk mengadakan penyembahan terhadap suatu kekuatan diluar
dirinya. Naluri inilah yang mendorong manusia untuk melakukan ritual ritual
keagamaan, meyakini bahwa ada kekuatan supranatural yang menguasai
alam, percaya akan kekuatan kekuatan magis dan pada akhirnya
menundukkan diri pada kekuatan supranatural diluar dirinya tesebut.
b. Kesadaran Spiritual
Kesadaran spiritual ini biasanya mulai tumbuh ketika anak berusia 3
sampai dengan 4 tahun. Jika kesadaran spiritual bisa tumbuh secara optimal
anak akan lebih mudah mencerna pemahaman spiritual dalam dirinya. Karena
potensi spiritual ada dalam diri seorang anak, maka orang tua mendorong
munculnya potensi itu secara aktual, agar menjadi sebuah kesadaran spiritual
dalam diri anak.
c. Pemahaman spiritual
Setelah anak memiliki kesadaran spiritual maka tugas orang tua
selanjutnya adalah memberikan pemahaman dan pengetahuan yang bijak
tentang dimensi spiritual mulai tumbuh ketika anak memasuki masa sekolah
(berusia 5 sampai dengan 7 tahun)
d. Penghayatan spiritual
Dengan adanya pemahaman spiritual ini maka anak akan mampu
menghayati spiritualitanya secara optimal. Diharapkan setelah anak mencapai
pemahaman spiritual, dia akan mampu melakukan proses penghayatan
spiritual dalam kehidupannya.
e. Kebermaknaan spiritual
Penghayatan spiritual yang optimal dan matang akan mendorong anak
mencapai kebermaknaan spiritualnya, untuk kemudian mendorong
munculnya kecerdasan spiritual yang matang dalam diri anak. Setelah anak
menginjak usia remaja, pada saat itu anak sudah mulai mampu menghayati
pengalaman pengalaman spiritual secara bermakna, dengan syarat anak telah
mencapai pemahaman spiritual yang memadai

5. Faktor faktor yang Menghambat Kecerdasan Spiritual


Faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual menurut Nierenberg & Sheldon
(dalam Safaria, 2007) adalah:
a. Lingkungan Keluarga
Keluarga secara umum dijelaskan sebagai suatu satuan kekerabatan
yang juga merupakan satuan tempat tinggal yang ditandai oleh adanya
kerjasama ekonomi, dan mempunyai fungsi untuk melanjutkan keturunan,
mensosialisasikan atau mendidik anak dan melindungi, merawat dan
menolong anggota keluarga yang lemah seperti bayi, anak anak atau orang
lanjut usia (Widjaja dalam Safaria, 2007)
b. Lingkungan Masyarakat
Orang tua perlu memilih tempat tinggal pada lingkungan masyarakat
yang bersih dari perbuatan melanggar moral dan spiritual. Tempat tinggal
yang cocok buat anak adalah lingkungan masyarakat yang senangtiasa
menjunjung tinggi nilai moral, agama dan spiritual. Yakni suatu tatanan
masyarakat yang agamis dimana iklim kegiatan beribadah dan kegiatan
positif tertanam kuat. Atau lingkungan masyarakat yang mampu
membersihkan diri dari pengaruh hal hal negatif. Kesadaran anak yang kokoh
untuk melawan semua pengaruh negatif dari lingkunganya ini merupakan
salah satu bukti bahwa anak telah mampu mengembangkan spiritualnya
secara optimal.
c. Kelompok Teman Sebaya dan Narkoba
Faktor teman sebaya ini akan sangat berpengaruh pada perkembangan
spiritual anak selanjutnya. Terutama ketika anak memasuki remaja, dimana
mereka akan lebih condong dan berorientasi sosial mengikuti pengaruh teman
sebayanya. Pada saat ini remaja memiliki tingkat kerawanan yang lebih tinggi
untuk terjerumus dalam berbagai perbuatan buruk. Untuk itu salah satu
kekuatan jiwa pada anak untuk mempu membentangi diri dari berbagai
pengaruh melalui pembentukan kecerdasan spiritual. Dengan dimilikinya
kecerdasan spiritual ini anak akan semakin kokoh jiwa dalam
mempertahankan diri untuk tidak terjebak dan terjerumus dalam berbagai
pengaruh negatif dari teman sebayanya. Anak akan memiliki keteguhan hati
dan memegang prinsip prinsip atau nilai nilai spiritual yang diyakininya. Atau
bisa dikatakan anak memilliki keimanan dan ketakwaan yang tinggi sehingga
mencegahnya dari segala perbuatan keji dan mungkar.
d. Pornografi
Tayangan pornografi cendrung merusak jiwa anak, menghambat
perkembangan kecerdasan spiritual anak, karena anak dikuasai oleh nafsu
nafsunya akibat tanyangan porno tersebut. Jiwa anak masing sangat rapuh
ketika dipengaruhi oleh tayangan pornografi, sehingga anak mudah sekali
terjerumus dalam perbuatan buruk karena didorong oleh desakan nafsunya.
Pengembangan kecerdasan spiritual membutuhkan kebersihan jiwa, untuk itu
orang tua harus mengawasi setiap pengaruh buruk terutama pornografi
memasuk rumahnya sehingga dengan mudah di tonton anak.

6. SQ dalam Al-Qur’an
Kecerdasan spiritual dalam Islam sesungguhnya bukan pembahasan yang baru. Bahkan
masalah ini sudah lama diwacanakan oleh para sufi. Kecerdasan spiritual (SQ) berkaitan
langsung dengan unsur ketiga manusia. Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa manusia
mempunyai substansi ketiga yang disebut dengan roh. Keberadaan roh dalam diri manusia
merupakan intervensi langsung Allah Swt tanpa melibatkan pihak-pihak lain, sebagaimana
halnya proses penciptaan lainnya. Hal ini dapat difahami melalui penggunaan redaksional ayat
sebagai berikut:
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke
dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (Q.S.al-
Hijr/15:29). Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".
(Q.S.Shad/38:72).Ayat tersebut di atas menggunakan kata (dari ruh-Ku) , bukan kata (dari roh
Kami) sebagaimana lazimnya pada penciptaan makhluk lain. Ini mengisyaratkan bahwa roh yang
ada dalam diri manusia itulah yang menjadi unsur ketiga dan unsur ketiga ini pula yang
menyebabkan seluruh makhluk harus sujud kepada Adam. Ini menggambarkan seolah-olah ada
obyek sujud lain selain Allah. Unsur ketiga ini pula yang mem-backup manusia sebagai khalifah
(representatif) Tuhan di bumi.
Kehadiran roh atau unsur ketiga pada diri seseorang memungkinkannya untuk mengakses
kecerdasan spiritual. Namun, upaya untuk mencapai kecerdasan itu tidak sama bagi setiap orang.
Seorang Nabi atau wali tentu lebih berpotensi untuk mendapatkan kecerdasan ini, karena ia
diberikan kekhususan-kekhususan yang lebih dibanding orang-orang lainnya. Namun tidak berati
manusia biasa tidak bisa mendapatkan kecerdasan ini.

D. Hubungan IQ, EQ dengan SQ


Penguasaan kecerdasan intelektual bukan jaminan untuk memperoleh kualitas iman atau
kualitas spiritual yang lebih baik, karena terbukti banyak orang yang cerdas secara intelektual
tetapi kufur terhadap Tuhan.Kecerdasan Intelektual tidak dapat dicapai tanpa bantuan aktivitas
emosional yang positif. Mengapa demikian? Karena Otak sebagai pusat Intelegensi hanya
mampu berperan sekitar 5-10% dalam menentukan kehidupan manusia kedepannya. Kecerdasan
emosi menjadikan seseorang lebih mendalami dalam berbuat dan berprilaku, karena Emotional
Quotient (EQ) merupakan salah satu aspek kecerdasan dalam menentukan efektifitas
penggunaan kecerdasan yang konvensioanaltersebut.
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengelola perasaan, kemampuan untuk
mempersepsi situasi, bertindak sesuai dengan persepsi tersebut dan menentukan potensi
seseorang untuk mempelajari ketrampilan ketrampilan praktis yang didasarkan pada kesadaran
diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan dalm membina hubungan dengan orang
lain (Goleman, 2007). Faktor lain yang mempengaruhi prilaku prososial remaja adalah Spiritual
Quotient (SQ). Penelian Turney dan willis (dalam Sarwono, 2007) menemukan bahwa yakin
agama mempengaruhi kecilnya kecenderungan melakukan prososial remaja. Agama dan nilai
nilai moral akan menjadi pengendali kehidupan manusia dan kedalam pembinaan pribadi yang
jika tertanam kuat maka semakin kuat pengaruhnya dalam pengendalian tingkah laku dan
pembentukan sikap. Kemampuan dalam menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan
nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih
luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna disebut dengan kecerdasan spiritual (Zohar dan Marshal, 2007)
Kecerdasan spiritual menjadikan manusia yang benar-benar utuh secara intelektual,
emosi dan spiritual, serta dapat menjembatani diri sendiri dan orang lain hal ini dikarenakan
kecerdasan spiritul membuat manusia lebih mengerti tentang siapa dirinya, makna semua bagi
dirinya, bagaimana ia dapat memberikan tempat pada dalam dirinya ataupun pada orang lain dan
makna makna tersebut pada akhirnya hal itu akan mendidik dan membentuk pribadi yang
memiliki budi pekerti yang baik, beretika utuh dan memanifestasikan dalam kehidupan sehari
hari baik sosial, keluarga, maupun untuk menghadapi masalah biasa hingga masalah yang berat
seperti penderitaan (Nggermanto,2007).Ketiga kecerdasan tersebut sebenarnya saling berkaitan
antara satu dengan yang lain. (Covey, 2005) menjelaskan bahwasanya kecerdasan spiritual
membimbing dan mempengaruhi kecerdasan emosi, sehingga membuat semuanya berjalan
sinergis.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. IQ adalah Kemampuan yang mencakup tiga hal dalam diri individu yaitu
kemampuan membuat keputusan dan memecahkan masalah serta beradaptasi dengan
lingkungan. Inteligensi biasanya selalu berkaitan dengan proses kerja otak.
2. EQ adalah kemampuan emosi yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri,
memiliki daya tahan ketika menghadapi suatu masalah, mampu mengendalikan
impuls, memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati, kemampuan berempati dan
membina hubungan dengan orang lain.
3. SQ adalah kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan
nilai, kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang
lebih luas dan kaya, serta kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan orang lain
4. IQ, EQ dan SQ adalah kemampuan yang tak dapat dipisahkan dari diri manusia.
Kemampuan ini harus berjalan selaras, agar manusia dapat memaksimalkan potensi,
bakat dan minat yang dimilikinya dengan tepat
DAFTAR PUSTAKA

Akh Muwafik Saleh. 2011. Belajar Dengan Hati Nurani. Jakarta. Erlangga

Alivermana Wiguna. 2014. Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam ed. I. Yogyakarta:Deepublish


Arief Hidayat Afendi . 2016. Al-Islam Studi Al-Qur‟an (Kajian Tafsir Tarbawi).Yogyakarta:
Deepublish
Daniel Goleman. 2015. Emotional Intelegence. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama

Depag, RI. 1996. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. Semarang: CV.Toha Putra

Liling, dkk. 2013. Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual Dengan Prokratinasi Pada Mahasiswa
Tingkat Akhir. Jurnal Humanista. Universitas Pelita Harapan Surabaya. Vol. X, No. 2

Paisak, Taufik. 2008. Revolusi IQ/EQ/SQ: Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al-
Qur‟an dan Neurosains Mutakhir. Bandung: Mizan

Robby, D.R. 2013. Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual Dengan Depresi Pada Penyandang
Cacat Pasca Kusta Di Liposos Donorojo Jepara. Jurnal Psikologi Sosial dan Industri.
Universitas Negeri Semarang. Vol. 02, No. 01

Safaria, T. 2007. Metode Pengembangan Kecerdasan Spiritual Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yantiek, Ermi. 2014. Kecerdasan Emosi, Kecerdasan Spiritual, Dan Perilaku Prososial
Remaja. Jurnal Persona. Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Vol. 03, No. 01

Zohar, D & Marshall, I. 2007. Kecerdasan Spiritual. Bandung: PT. Mizan Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai