Anda di halaman 1dari 7

MEMAHAMI ILMU NAFI’

Oleh: Muallim Abu Abdirrahman

A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Banyak ayat
ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi yang mengandung perintah untuk menuntut
ilmu, menerangkan keutamaan ilmu, serta keududukan mulia oarang-orang yang
memiliki ilmu pengetahuan. Bahkan Islam sendiri adalah agama ilmu, yang dibangun di
atas dasar dasar yang jelas, serta terbuka untuk dipelajari oleh siapapun.
Namun begitu, ukuran kemuliaan ilmu pengetahuan dalam Islam bukan sekedar
dilihat dari banyaknya suatu ilmu, ataupun perkembangan ilmu itu sendiri. Sebagaimana
juga tidak dinilai dari pengaruhnya terhadap perubahan fisik material dan sisi duniawi
semata. Dalam Islam, kemuliaaan suatu ilmu dan pemilik ilmu adalah ketika ilmu
tersebut menjadi ilmu nafi’ (ilmu yang bermanfaat). Masalah pentingnya ilmu nafi’
inilah yang terkadang masih kurang diperhatikan dan kurang dipahami oleh sebagian
orang, padahal ia adalah sesuatu yang sangat ditekankan oleh agama, bahkan menjadi
penentu kemuliaan suatu ilmu dan pemiliknya.
Dalam hal ini saya sebagai guru, mencoba untuk membahas secara ringkas terkait
masalah ilmu nafi’ sebagai kebutuhan bagi diri penulis sendiri dan diharapkan bisa
bermanfaat untuk orang lain.

B. Pengertian Ilmu Nafi’


Istilah ilmu nafi’ sebenarnya sudah dikenal secara luas orang kaum Muslim, serta
sering didengar dan diucapkan. Hal ini salah satunya disebabkan adanya tuntunan doa’
yang diamalkan oleh kaum Muslim yang berisi permohonan ilmu yang bermanfaat serta
berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu, secara bahasa, ungkapan
ilmu nafi’ rasanya sudah banyak dimengerti oleh kaum Muslim, bahwa ia mengandung
arti ilmu yang bermanfaat.
Meskipun secara bahasa istilah ilmu nafi’ sudah bisa dimengerti oleh banyak orang,
akan tetapi secara konseptual bagaimana sesungguhnya maksud dan hakekat ilmu nafi’
masih perlu dipelajari dan didalami. Dengan segala keterbatasan waktu dan sumber
rujukan, disini penulis ingin menuangkan pandangan reflektif penulis yang ringkas dan

1
bersifat pengantar tentang konsep ilmu nafi’ yang bersumber dari pendapat beberapa
ulama. Hemat penulis, ilmu nafi’ adalah ilmu yang mengandung beberapa unsur antara
lain sebagai berikut;
Pertama, dari sisi materi, ilmu itu adalah ilmu yang baik dan benar, tidak
bertentangan dengan ajaran agama dan nilai-nilainya. Jika ilmu itu masuk ranah ‘ilmu-
ilmu agama’, maka wajib bersumber dari al-Qur’an, Hadits yang terpercaya, dan
pendapat para sahabat serta penerus mereka dari kalangan para ulama yang diakui. Jika
ilmu-ilmu tersebut adalah kategori ‘ilmu-ilmu umum’ atau ‘duniawi’ , maka ia harus
mengandung sesuatu yang maslahat bagi manusia, sekaligus bebas dari unsur-unsur
yang berlawanan dengan ajaran tauhid, syariat dan akhlak. Setinggi dan sehebat apapun
pengakuan manusia terhadap suatu ilmu pengetahuan dan teknologi, atau kepada teori
teori tertentu, jika mengandung sesuatu yang berlawanan dengan ajaran Allah Ta’aalaa
dan Rasul-Nya, maka ia tidak akan pernah menjadi ilmu yang nafi’, sebab tidak akan
mendatangkan ridha Allah dan kemaslahatan yang hakiki. Oleh karena itu setiap
penuntut ilmu harus hati hati dalam mendalami suatu ilmu, jangan sampai apa yang
dipelajarinya justru bermuatan materi yang menyimpang dari ajaran agama.
Kedua, dari sisi pengaruh ilmu kepada pemiliknya, maka ilmu nafi’ adalah ilmu yang
bisa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Ia menghantarkan pemilik
ilmu dalam proses menjadi manusia yang semakin yakin dan pasrah kepada Allah, juga
semakin taat dalam menjalankan ajaran agama. Dengan ungkapan lain, semakin
bertambah ilmunya, semakin membuatnya mengenal kesempurnaan dan kekuasaan
Allah, menambah rasa cinta kepada-Nya, sekaligus memunculkan rasa takut (khasyah).
Dengan ilmunya, ia juga bertambah semangat dalam ibadah, amal salih, dan melakukan
berbagai kebaikan kepada orang lain. Di saaat yang sama, orang seperti itu semakin
pandai dalam mengendalikan nafsunya, semakin kuat dalam menolak godaan syetan, dan
semakin sanggup dalam menghindari kesenangan dunia yang menyimpang. Termasuk
dalam bagian ini adalah, orang yang berilmu tersebut menjadi semakin baik akhlaknya,
baik dari segi lahir maupun batin.
Ketiga, dari sisi kemanfaatan ilmu untuk orang lain. Ilmu yang nafi’ adalah ilmu yang
bisa mendorong pemiliknya untuk mengajarkannya kepada orang lain, seluas luasnya
dan sebanyak banyaknya. Ia memenuhi kewajiban mengeluarkan zakat ilmu dengan
mengajarkannya kepada orang lain, sehingga menjadi lebih banyak jumlah orang yang
bisa merasakan manfaat ilmunya. Ia bersikap dermawan dengan ilmunya, tidak jual
mahal apalagi menyembunyikannya. Ia terus menerus mengajarkan ilmu tanpa kenal

2
bosan atau lelah, demi menghilangkan kebodohan dan bahkan melahirkan orang-orang
yang lebih pintar darinya. Ia merasa lega dan senang jika waktunya lebih banyak habis
untuk menyebar dan mengajarkan ilmu.
Keempat, dari sisi dampak untuk perubahan, maka ilmu yang nafi’ adalah yang
meneguhkan pemiliknya untuk berdakwah dan beramar ma’ruf nahy munkar di tengah
tengah masyarakat. Ia tidak mencari kenyamanan ataupun ketenaran, juga jabatan serta
hal hal kebendaan. Tekadnya adalah merubah masyarakat menjadi lebih baik, agar bisa
mengenal yang benar dan melakukan yang benar. Ia bersuara dan berbicara
menyampaikan al-haq dan al-ma’ruf, meski konsekuensinya harus kehilangan pengikut
dan pujian. Dengan ilmunya ia terus bergerak untuk mencegah kemunkaran sesuai
dengan kemampuannya.

C. Kiat Meraih Ilmu Nafi’


Karena ilmu nafi’ adalah sesuatu yang mulia dan tidak bisa dimiliki oleh semua
orang, maka untuk memperolehnya pun bukan suatu hal yang mudah. Dibutuhkan
kesungguhan dan perjuangan yang tidak ringan serta masa yang panjang untuk
meraihnya. Berikut adalah beberapa usaha yang bisa ditempuh dalam rangka mencapai
ilmu yang nafi’ antara lain;
Pertama, niat yang ikhlas dalam menuntut ilmu. Ikhlas disebutkan pertama kali
karena ia adalah dasar dalam menuntut ilmu sebagai bentuk melaksanakan perintah
Allah, sehingga merupakan bentuk ibadah kepada-Nya. Dengan niat yang ikhlas, maka
Allah akan meridoi penuntut ilmu, dan memberikan pertolongan kepadanya dalam
memahami ilmu, mengamalkan, mengajarkan dan mendakwahkannya. Terkait hal ini,
Imam Ahmad berkata, “ilmu itu tidak ada bandingannya bagi orang yang niatnya benar.”
Kedua, memilih lingkungan yang baik. Seorang penuntut ilmu hendaknya tinggal di
lingkungan yang baik, yang mendukungnya dalam hal ketaatan dan menjauhkannya dari
hal hal tercela. Lingkungan disini bukan semata dalam pengertian fisik, tetapi yang lebih
penting adalah teman teman bergaul, khususnya yang sering ditemui. Jika seorang
penuntut ilmu sering hidup bersama dan berinteraksi dengan orang-orang yang salih,
maka ia lebih mudah untuk mengamalkan ilmunya sejak dalam masa masa belajar,
sehingga akan lebih meresap dan mengakar.
Ketiga, belajar kepada ulama yang ahli dan salih. Dengan belajar kepada ulama yang
ahli dan salih, maka seorang pelajar tidak hanya mendapatkan ilmu, tapi juga bisa
belajar, melihat langsung dan meneladani akhlak Sang Guru secara berulang ulang dan

3
dalam masa yang panjang. Dengan kesempatan yang seperti itu, maka akan
memudahkannya dalam mempraktekkan ilmu, dan yang lebih penting menguatkan jiwa
dan semangatnya dalam mengamalkan ilmu-ilmu yang telah dipelajari. Bagaimanapun
jiwa seorang murid masih lemah, sehingga selalu butuh doa, nasehat, dan panutan yang
riil dan dekat, yang bisa menguatkannya dalam pengamalan ilmu.
Keempat, memperbanyak dan terus menerus berdoa kepada Allah Ta’aalaa agar
diberikan ilmu yang bermanfaat dan dihindarkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Peran
doa dalam meraih ilmu yang bermanfaat tidak bisa disepelekan, karena pada hakekatnya
semua ilmu adalah milik Allah. Sehingga sudah seharusnya setiap pencari dan penerima
ilmu, memohon kepada Allah agar berkenan memberinya ilmu yang bermanfaat, serta
menjauhkannya dari ilmu yang tidak bermanfaat. Dan tidak ada keberuntungan yang
lebih besar daripada orang yang memperoleh ilmu nafi’ yang akan menghantarkannya
pada kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat. Seringkali kita mendapati orang yang
ilmunya tidak seberapa banyak, tapi karena nafi’, maka ia mendatangkan kemanfaatan
yang besar bagi dirinya, keluarga dan masyarakat. Kehdupannya pun tampak diliputi
dengan ketentraman dan kebahagiaan.
Keempat, rendah hati dan terus belajar. Sifat rendah hati mutlak dimiliki oleh seorang
penuntut ilmu. Yaitu dengan tidak memandang dirinya sudah cukup dalam mencari ilmu
dan tidak merasa sebagai orang yang paling alim. Dengan sifat ini, ia tidak akan
meremehkan nasehat dan teguran orang lain. Iya juga terhindar dari kecenderungan
merasa memiliki pemikirang yang paling benar dan meremehkan pendapat orang lain.
Pada gilirannya sifat rendah hati ini akan memotivasinya untuk terus belajar, bertanya
dan berdiskusi, sehingga ilmunya pun akan terus bertambah dan menjadi lebih matang.
Kondisi seperti ini akan membawanya pada maqam yang lebih tinggi dari sisi akhlak dan
ruhani, dan secara kelimuan bisa memberikan sumbangan pemikiran dan solusi yang
lebih bermanfaat untuk masyarakat. Bagaimanapun persoalan persoalan kehidupan
masyarakat akan terus berubah dengan segala dinamikanya, yang menuntut kalangan
berilmu untuk terus bertafakkur dan berijtihad mencari kebenaran.
Kelima, berusaha menjauhi perbuatan perbuatan maksiat. Menjauhi perbuatan maksiat
selama masa belajar dan sesudahnya, akan mendatangkan kesucian hati dan kejernihan
pikiran. Hal ini akan membuat ilmu yang diterimanya bisa tersimpan dengan baik di
dalam hati. Seperti perkataan sebagian ulama bahwa ilmu itu adalah sesuatu yang mulia,
ia tidak akan tinggal lama kecuali di hati yang suci. Demikian juga, ketika ilmu tersebut
disampaikan dalam pengajaran kepada orang lain, maka akan mudah masuk dan

4
menggugah hati orang yang menyimaknya. Dalam konteks ini, menjadi relevan untuk
menghayati nasehat syaikh Waki’ kepada muridnya, yaitu Imam Syafii, dalam ungkapan
beliau yang terkenal bahwa ilmu itu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan
diberikan kepada pelaku maksiat.

D. Kesimpulan dan Penutup


Dari pembahasan singkat di atas, bisa diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut;
Pertama, ilmu disebut nafi’ tidak dilihat dari jumlah ilmu yang diperoleh, tetapi lebih
kepada kepastian bahwa ilmu yang pelajari adalah ilmu yang baik dan benar, dan
berpengaruh meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak pemiliknya. Selanjutnya,
ilmu disebut nafi’ jika pemiliknya terus mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain,
berdakwah, dan beramar ma’ruf nahy munkar dengannya.
Kedua, beberapa usaha yang bisa dilakukan untuk meraih ilmu nafi’ antara lain
memiliki niat yang ikhlas dalam menuntut ilmu, belajar kepada ulama yang ahli dan
salih, bergaul dengan orang-orang salih, taat beribadah dan menjauhi maksiat, rendah
hati dan terus belajar, serta yang terakhir adalah memperbanyak doa minta ilmu yang
nafi’.
Demikianlah kajian pengantar dan ringkas tentang ilmu nafi’, yang menghasilkan
konsep utuh perpaduan ‘ilmun fis shuduur dan ‘ilmun fis shuthuur sekaligus. Semoga
bermanfaat bagi penulis dan pembaca semua. Wallaahu a’lam bis shawab

5
DAFTAR BACAAN

An’im, Abu. Rahasia Sukses Imam Syafi’i. Tt.: Mu’jizat Group, 2012.
al-Ajurri, Abu Bakr Muhammad bin al-Husayn bin Abdillah. Akhlaq al-‘Ulama’. Dar al-
Qabas: Riyadh, 2013.
Ba’athiyah, Muhammad Ali. Suluk; Pedoman Memperoleh Kebahagiaan Dunia-Akhirat.
Bantul: Layar, 2018.
Barjas, Abdussalam. ‘Awaa’iq al- Thalab. Mesir: Daar al-Furqan, 2010.
al-Ghazali, Abu Hamid. Ayyuhal Walad; Nasehat-nasehat al-Imam al-Ghazali Kepada Para
Muridnya. Surabaya: Mutiara Ilmu, 2014.
------------, Ringkasan Ihya’ Ulumiddin. Jakarta: Pustaka Amani, 1995.
Imam, Sayyid. Ilmu Wajib Setiap Muslim. Terjemahan dari Aqsam al-‘Ilm al-ladzi Huwa
Fardh ‘Ain. Klaten: Inas Media, 2014.
Jawas, Yazid bin Abdul Qadir . Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga. Bogor: at-Taqwa, 2012.

Muhammad Husain Mahasnah, Pengantar Studi Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka
al-Kautsra, 2016.
al-Rabi’i, Abi ‘Abd al-Wahhab ‘Aid bin Muqbil. Adab al-Talib Ma’a Shaikhihi. Shan’a: Dar
‘Umar ibn al-Khattab, 2015.
Kelompok Telaah Kitab ar-Raudhah. Metode Menuntut Ilmu Ala Salaf. Solo: Pustaka Arofah,
2017.
Sa’id, M. Ridwan Qayyum. Rahasia Sukses Fuqaha. Lirboyo: Mitra Gayatri, 2006.
al-‘Utaibi, Usamah bin ‘Athaya. Mu’awqaatun Fi Thariq Thalab al-‘Ilm. ‘Ain Syams: Daar
Sabiil al-Rashaad, 2012.
Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Salih. Panduan Lengkap Menuntut Ilmu. Jakarta: Pustaka Ibnu
Katsir, 2016.

Zarkasyi, Hamid Fahmy. Peradaban Islam; Makna dan Strategi Pembangunannya.


Ponorogo: CIOS, 2010.
al-Zarnuji, Burhanuddin. Ta’lim al-Muta’allim; Thariq al-Ta’lim. Jakarta: Daar al-Kutub al-
Islamiyah, 2013.
Zayd, Bakr bin Abdullah Abu. Hilyah Thalib al-‘Ilm. Riyadh: Daar al-‘Aashimah, 1415 H.

6
7

Anda mungkin juga menyukai