A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Banyak ayat
ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi yang mengandung perintah untuk menuntut
ilmu, menerangkan keutamaan ilmu, serta keududukan mulia oarang-orang yang
memiliki ilmu pengetahuan. Bahkan Islam sendiri adalah agama ilmu, yang dibangun di
atas dasar dasar yang jelas, serta terbuka untuk dipelajari oleh siapapun.
Namun begitu, ukuran kemuliaan ilmu pengetahuan dalam Islam bukan sekedar
dilihat dari banyaknya suatu ilmu, ataupun perkembangan ilmu itu sendiri. Sebagaimana
juga tidak dinilai dari pengaruhnya terhadap perubahan fisik material dan sisi duniawi
semata. Dalam Islam, kemuliaaan suatu ilmu dan pemilik ilmu adalah ketika ilmu
tersebut menjadi ilmu nafi’ (ilmu yang bermanfaat). Masalah pentingnya ilmu nafi’
inilah yang terkadang masih kurang diperhatikan dan kurang dipahami oleh sebagian
orang, padahal ia adalah sesuatu yang sangat ditekankan oleh agama, bahkan menjadi
penentu kemuliaan suatu ilmu dan pemiliknya.
Dalam hal ini saya sebagai guru, mencoba untuk membahas secara ringkas terkait
masalah ilmu nafi’ sebagai kebutuhan bagi diri penulis sendiri dan diharapkan bisa
bermanfaat untuk orang lain.
1
bersifat pengantar tentang konsep ilmu nafi’ yang bersumber dari pendapat beberapa
ulama. Hemat penulis, ilmu nafi’ adalah ilmu yang mengandung beberapa unsur antara
lain sebagai berikut;
Pertama, dari sisi materi, ilmu itu adalah ilmu yang baik dan benar, tidak
bertentangan dengan ajaran agama dan nilai-nilainya. Jika ilmu itu masuk ranah ‘ilmu-
ilmu agama’, maka wajib bersumber dari al-Qur’an, Hadits yang terpercaya, dan
pendapat para sahabat serta penerus mereka dari kalangan para ulama yang diakui. Jika
ilmu-ilmu tersebut adalah kategori ‘ilmu-ilmu umum’ atau ‘duniawi’ , maka ia harus
mengandung sesuatu yang maslahat bagi manusia, sekaligus bebas dari unsur-unsur
yang berlawanan dengan ajaran tauhid, syariat dan akhlak. Setinggi dan sehebat apapun
pengakuan manusia terhadap suatu ilmu pengetahuan dan teknologi, atau kepada teori
teori tertentu, jika mengandung sesuatu yang berlawanan dengan ajaran Allah Ta’aalaa
dan Rasul-Nya, maka ia tidak akan pernah menjadi ilmu yang nafi’, sebab tidak akan
mendatangkan ridha Allah dan kemaslahatan yang hakiki. Oleh karena itu setiap
penuntut ilmu harus hati hati dalam mendalami suatu ilmu, jangan sampai apa yang
dipelajarinya justru bermuatan materi yang menyimpang dari ajaran agama.
Kedua, dari sisi pengaruh ilmu kepada pemiliknya, maka ilmu nafi’ adalah ilmu yang
bisa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Ia menghantarkan pemilik
ilmu dalam proses menjadi manusia yang semakin yakin dan pasrah kepada Allah, juga
semakin taat dalam menjalankan ajaran agama. Dengan ungkapan lain, semakin
bertambah ilmunya, semakin membuatnya mengenal kesempurnaan dan kekuasaan
Allah, menambah rasa cinta kepada-Nya, sekaligus memunculkan rasa takut (khasyah).
Dengan ilmunya, ia juga bertambah semangat dalam ibadah, amal salih, dan melakukan
berbagai kebaikan kepada orang lain. Di saaat yang sama, orang seperti itu semakin
pandai dalam mengendalikan nafsunya, semakin kuat dalam menolak godaan syetan, dan
semakin sanggup dalam menghindari kesenangan dunia yang menyimpang. Termasuk
dalam bagian ini adalah, orang yang berilmu tersebut menjadi semakin baik akhlaknya,
baik dari segi lahir maupun batin.
Ketiga, dari sisi kemanfaatan ilmu untuk orang lain. Ilmu yang nafi’ adalah ilmu yang
bisa mendorong pemiliknya untuk mengajarkannya kepada orang lain, seluas luasnya
dan sebanyak banyaknya. Ia memenuhi kewajiban mengeluarkan zakat ilmu dengan
mengajarkannya kepada orang lain, sehingga menjadi lebih banyak jumlah orang yang
bisa merasakan manfaat ilmunya. Ia bersikap dermawan dengan ilmunya, tidak jual
mahal apalagi menyembunyikannya. Ia terus menerus mengajarkan ilmu tanpa kenal
2
bosan atau lelah, demi menghilangkan kebodohan dan bahkan melahirkan orang-orang
yang lebih pintar darinya. Ia merasa lega dan senang jika waktunya lebih banyak habis
untuk menyebar dan mengajarkan ilmu.
Keempat, dari sisi dampak untuk perubahan, maka ilmu yang nafi’ adalah yang
meneguhkan pemiliknya untuk berdakwah dan beramar ma’ruf nahy munkar di tengah
tengah masyarakat. Ia tidak mencari kenyamanan ataupun ketenaran, juga jabatan serta
hal hal kebendaan. Tekadnya adalah merubah masyarakat menjadi lebih baik, agar bisa
mengenal yang benar dan melakukan yang benar. Ia bersuara dan berbicara
menyampaikan al-haq dan al-ma’ruf, meski konsekuensinya harus kehilangan pengikut
dan pujian. Dengan ilmunya ia terus bergerak untuk mencegah kemunkaran sesuai
dengan kemampuannya.
3
dalam masa yang panjang. Dengan kesempatan yang seperti itu, maka akan
memudahkannya dalam mempraktekkan ilmu, dan yang lebih penting menguatkan jiwa
dan semangatnya dalam mengamalkan ilmu-ilmu yang telah dipelajari. Bagaimanapun
jiwa seorang murid masih lemah, sehingga selalu butuh doa, nasehat, dan panutan yang
riil dan dekat, yang bisa menguatkannya dalam pengamalan ilmu.
Keempat, memperbanyak dan terus menerus berdoa kepada Allah Ta’aalaa agar
diberikan ilmu yang bermanfaat dan dihindarkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Peran
doa dalam meraih ilmu yang bermanfaat tidak bisa disepelekan, karena pada hakekatnya
semua ilmu adalah milik Allah. Sehingga sudah seharusnya setiap pencari dan penerima
ilmu, memohon kepada Allah agar berkenan memberinya ilmu yang bermanfaat, serta
menjauhkannya dari ilmu yang tidak bermanfaat. Dan tidak ada keberuntungan yang
lebih besar daripada orang yang memperoleh ilmu nafi’ yang akan menghantarkannya
pada kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat. Seringkali kita mendapati orang yang
ilmunya tidak seberapa banyak, tapi karena nafi’, maka ia mendatangkan kemanfaatan
yang besar bagi dirinya, keluarga dan masyarakat. Kehdupannya pun tampak diliputi
dengan ketentraman dan kebahagiaan.
Keempat, rendah hati dan terus belajar. Sifat rendah hati mutlak dimiliki oleh seorang
penuntut ilmu. Yaitu dengan tidak memandang dirinya sudah cukup dalam mencari ilmu
dan tidak merasa sebagai orang yang paling alim. Dengan sifat ini, ia tidak akan
meremehkan nasehat dan teguran orang lain. Iya juga terhindar dari kecenderungan
merasa memiliki pemikirang yang paling benar dan meremehkan pendapat orang lain.
Pada gilirannya sifat rendah hati ini akan memotivasinya untuk terus belajar, bertanya
dan berdiskusi, sehingga ilmunya pun akan terus bertambah dan menjadi lebih matang.
Kondisi seperti ini akan membawanya pada maqam yang lebih tinggi dari sisi akhlak dan
ruhani, dan secara kelimuan bisa memberikan sumbangan pemikiran dan solusi yang
lebih bermanfaat untuk masyarakat. Bagaimanapun persoalan persoalan kehidupan
masyarakat akan terus berubah dengan segala dinamikanya, yang menuntut kalangan
berilmu untuk terus bertafakkur dan berijtihad mencari kebenaran.
Kelima, berusaha menjauhi perbuatan perbuatan maksiat. Menjauhi perbuatan maksiat
selama masa belajar dan sesudahnya, akan mendatangkan kesucian hati dan kejernihan
pikiran. Hal ini akan membuat ilmu yang diterimanya bisa tersimpan dengan baik di
dalam hati. Seperti perkataan sebagian ulama bahwa ilmu itu adalah sesuatu yang mulia,
ia tidak akan tinggal lama kecuali di hati yang suci. Demikian juga, ketika ilmu tersebut
disampaikan dalam pengajaran kepada orang lain, maka akan mudah masuk dan
4
menggugah hati orang yang menyimaknya. Dalam konteks ini, menjadi relevan untuk
menghayati nasehat syaikh Waki’ kepada muridnya, yaitu Imam Syafii, dalam ungkapan
beliau yang terkenal bahwa ilmu itu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan
diberikan kepada pelaku maksiat.
5
DAFTAR BACAAN
An’im, Abu. Rahasia Sukses Imam Syafi’i. Tt.: Mu’jizat Group, 2012.
al-Ajurri, Abu Bakr Muhammad bin al-Husayn bin Abdillah. Akhlaq al-‘Ulama’. Dar al-
Qabas: Riyadh, 2013.
Ba’athiyah, Muhammad Ali. Suluk; Pedoman Memperoleh Kebahagiaan Dunia-Akhirat.
Bantul: Layar, 2018.
Barjas, Abdussalam. ‘Awaa’iq al- Thalab. Mesir: Daar al-Furqan, 2010.
al-Ghazali, Abu Hamid. Ayyuhal Walad; Nasehat-nasehat al-Imam al-Ghazali Kepada Para
Muridnya. Surabaya: Mutiara Ilmu, 2014.
------------, Ringkasan Ihya’ Ulumiddin. Jakarta: Pustaka Amani, 1995.
Imam, Sayyid. Ilmu Wajib Setiap Muslim. Terjemahan dari Aqsam al-‘Ilm al-ladzi Huwa
Fardh ‘Ain. Klaten: Inas Media, 2014.
Jawas, Yazid bin Abdul Qadir . Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga. Bogor: at-Taqwa, 2012.
Muhammad Husain Mahasnah, Pengantar Studi Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka
al-Kautsra, 2016.
al-Rabi’i, Abi ‘Abd al-Wahhab ‘Aid bin Muqbil. Adab al-Talib Ma’a Shaikhihi. Shan’a: Dar
‘Umar ibn al-Khattab, 2015.
Kelompok Telaah Kitab ar-Raudhah. Metode Menuntut Ilmu Ala Salaf. Solo: Pustaka Arofah,
2017.
Sa’id, M. Ridwan Qayyum. Rahasia Sukses Fuqaha. Lirboyo: Mitra Gayatri, 2006.
al-‘Utaibi, Usamah bin ‘Athaya. Mu’awqaatun Fi Thariq Thalab al-‘Ilm. ‘Ain Syams: Daar
Sabiil al-Rashaad, 2012.
Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Salih. Panduan Lengkap Menuntut Ilmu. Jakarta: Pustaka Ibnu
Katsir, 2016.
6
7