Anda di halaman 1dari 11

IFFAH1

Secara bahasa ‘iffah adalah menahan. Adapun secara istilah; menahan diri sepenuhnya dari
perkara-perkara yang Allah haramkan. Dengan demikian, seorang yang ‘afif adalah orang yang
bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan walaupun jiwanya cenderung kepada perkara
tersebut dan menginginkannya.

Iffah di antaranya dapat bermakna:


1. Menahan diri dari syahawat yang diharamkan
‫ضلِ ِه‬
ْ َ‫احا َحىَّت يُ ْغنَِي ُه ُم اهللُ ِم ْن ف‬ ِ ِ ِ ِِ
ً ‫َولْيَ ْسَت ْعفف الَّذيْ َن الَ جَي ُد ْو َن ن َك‬
“Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya
sampai Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya.” (An-Nur: 33).

2. Menahan diri dari meminta-minta

ِ
ِ ‫اهل أَ ْغنِياء ِمن التَّعف‬
‫ُّف‬ َ َ َ َ ُ َ‫حَيْ َسُب ُه ُم اجْل‬
“Orang yang tidak tahu menyangka mereka (orang-orang fakir) itu adalah orang-orang
yang berkecukupan karena mereka ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta kepada
manusia).” (Al-Baqarah: 273).

3. Menahan diri dari perbuatan tercela; menjaga kesucian jiwa

‫وها إِ ْسَرافًا َوبِ َد ًارا أَ ْن يَكَْب ُروا َو َم ْن َك ا َن َغنِيًّا‬ ِ


َ ُ‫فَِإ ْن آنَ ْستُ ْم مْن ُه ْم ُر ْش ًدا فَ ْاد َفعُوا إِلَْي ِه ْم أ َْم َواهَلُ ْم َواَل تَأْ ُكل‬
ِ ‫َف ْليستع ِفف ومن َكا َن فَِقريا َف ْليأْ ُكل بِالْمعر‬
‫وف‬ ُْ َ ْ َ ً ْ َ َ ْ ْ َْ َ
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim
lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum
mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah
ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa`:6)

Nabi SAW bersabda:


،ُ‫ص ِّبَرهُ اهلل‬ ِ ِ‫ وإِنَّه من يس تَع‬،‫م ا ي ُك و ُن ِعْن ِدي ِمن خ ٍ ال َّأد ِخ ره عْن ُكم‬
َ ُ‫ص َّب ُر ي‬
َ َ‫ َو َم ْن َيت‬،ُ‫ف يُع ّف ه اهلل‬ ّ ْ َ ْ َ َ ْ َ ُُ ‫ْ َرْي‬ ْ َ َ
َّ ‫ َولَ ْن ُت ْعطَْوا َعطَاءً َخْيًرا َوأ َْو َس َع ِم َن‬،ُ‫َو َم ْن يَ ْسَت ْغ ِن يُ ْغنِ ِه اهلل‬
ِ‫الصرْب‬
“Apa yang ada padaku dari kebaikan (harta) tidak ada yang aku simpan dari kalian.
Sesungguhnya siapa yang menahan diri dari meminta-minta maka Allah akan memelihara
dan menjaganya, dan siapa yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta maka Allah akan
menjadikannya sabar. Dan siapa yang merasa cukup dengan Allah dari meminta kepada

1
sumber: http://muhammadqosim.wordpress.com/2010/08/03/iffah-sebuah-kehormatan-diri/
selain-Nya maka Allah akan memberikan kecukupan padanya. Tidaklah kalian diberi suatu
pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” 2

Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan:


“Hadits yang agung ini terdiri dari empat kalimat yang singkat, namun memuat banyak
faedah lagi manfaat.
Pertama: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
ِ ْ ‫ومن يسَتع ِف‬
ُ‫ف يُعفَّهُ اهلل‬ ْ ْ َ ْ ََ
“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan
berambisi untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah ta’ala akan
menganugerahkan kepadanya iffah.”
Kedua: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
ِِ
ُ‫َو َم ْن يَ ْسَت ْغ ِن يُ ْغنه اهلل‬
“Siapa yang merasa cukup, Allah ta’ala  akan mencukupinya (sehingga jiwanya
kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki).”

Dua kalimat di atas saling terkait satu sama lain, karena kesempurnaan seorang hamba ada pada
keikhlasannya kepada Allah ta’ala, dalam keadaan takut dan berharap serta bergantung kepada-
Nya saja. Adapun kepada makhluk, tidak sama sekali. Oleh karena itu, seorang hamba
sepantasnya berupaya mewujudkan kesempurnaan ini dan mengamalkan segala sebab yang
mengantarkannya kepadanya, sehingga ia benar-benar menjadi hamba Allah ta’ala semata,
merdeka dari perbudakan makhluk.

Usaha yang bisa dia tempuh adalah memaksa jiwanya melakukan dua hal berikut:
1. Memalingkan jiwanya dari ketergantungan kepada makhluk dengan menjaga kehormatan diri
sehingga tidak berharap mendapatkan apa yang ada di tangan mereka, hingga ia tidak
meminta kepada makhluk, baik secara lisan (lisanul maqal) maupun keadaan (lisanul hal).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Umar radhiyallahu


‘anhu:
ٍ
َ ‫ َو َما الَ فَالَ ُتْتبِ ْعهُ َن ْف َس‬,ُ‫ت َغْي ُر ُم ْش ِرف َوالَ َسائِ ٍل فَ ُخ ْذه‬
‫ك‬ ِ ِ َ َ‫ما أَت‬
َ ْ‫اك م ْن ه َذا الْ َمال َوأَن‬ َ
“Harta yang mendatangimu dalam keadaan engkau tidak berambisi terhadapnya dan tidak
pula memintanya, ambillah. Adapun yang tidak datang kepadamu, janganlah
engkau/menggantungkan jiwamu kepadanya.” 3

Memutus ambisi hati dan meminta dengan lisan untuk menjaga kehormatan diri serta
menghindar dari berutang budi kepada makhluk serta memutus ketergantungan hati kepada
mereka, merupakan sebab yang kuat untuk mencapai ‘iffah.

2
(HR. Al-Bukhari no. 1469 , 6470 dan Muslim no. 1053 , 2421) (Lihat: – Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Al-Imam Al-Qurthubi, 3/221.  Makarimul
Akhlaq, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 149, 152.  Fathul Bari, 11/309, 311.  Al-’Iffah Madhahiruha wa Tsamaruha, hal. 4).
3
(HR. Al-Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 2402)
2. Penyempurna perkara di atas adalah memaksa jiwa untuk melakukan hal kedua, yaitu merasa
cukup dengan Allah ta’ala, percaya dengan pencukupan-Nya. Siapa yang bertawakal kepada
Allah ta’ala, pasti Allah ta’ala akan mencukupinya. Inilah yang menjadi tujuan.
Yang pertama merupakan perantara kepada yang kedua ini, karena orang yang ingin menjaga
diri untuk tidak berambisi terhadap yang dimiliki orang lain, tentu ia harus  memperkuat
ketergantungan dirinya kepada Allah ta’ala, berharap dan berambisi terhadap keutamaan
Allah ta’aladan kebaikan-Nya, memperbaiki persangkaannya dan percaya kepada Rabbnya.
Allah ta’ala itu mengikuti persangkaan baik hamba-Nya. Bila hamba menyangka baik, ia
akan beroleh kebaikan. Sebaliknya, bila ia bersangka selain kebaikan, ia pun akan
memperoleh apa yang disangkanya.
Setiap hal di atas meneguhkan yang lain sehingga memperkuatnya. Semakin kuat
ketergantungan kepada Allah ta’ala, semakin lemah ketergantungan terhadap makhluk.
Demikian pula sebaliknya.

Di antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:


ِ َ ‫الت َقى والْع َف‬
‫اف َوالْغىَن‬ َ َ ُّ ‫ك اهْلَُدى َو‬ ْ ‫اللَّ ُه َّم إِيِّن أ‬
َ ُ‫َسأَل‬
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, iffah, dan kecukupan.” 4

Seluruh kebaikan terkumpul dalam doa ini. Al-huda (petunjuk) adalah ilmu yang bermanfaat,
ketakwaan adalah amal saleh dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Hal ini membawa
kebaikan agama.
Penyempurnanya adalah baik dan tenangnya hati, dengan tidak berharap kepada makhluk
dan merasa cukup dengan Allah ta’ala. Orang yang merasa cukup dengan Allah ta’ala, dialah
orang kaya yang sebenarnya, walaupun sedikit hartanya. Orang kaya bukanlah orang yang
banyak hartanya. Akan tetapi, orang kaya yang hakiki adalah orang yang kaya hatinya.
Dengan ‘iffah dan kekayaan hati sempurnalah kehidupan yang baik bagi seorang hamba. Dia
akan merasakan kenikmatan duniawi dan qana’ah/merasa cukup dengan apa yang
Allah ta’ala berikan kepadanya.

Ketiga: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

ُ‫صِّب ْرهُ اهلل‬


َ ُ‫صَّب ْر ي‬
َ َ‫َو َم ْن َيت‬
“Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah  ta’ala akan menjadikannya sabar.”

Keempat: Bila Allah ta’ala memberikan kesabaran kepada seorang hamba, itu merupakan


pemberian yang paling utama, paling luas, dan paling agung, karena kesabaran itu akan bisa
membantunya menghadapi berbagai masalah.

Bila seorang muslim dituntut untuk memiliki ‘iffah maka demikian pula seorang muslimah.
Hendaknya ia memiliki ‘iffah sehingga ia menjadi seorang wanita yang ‘afifah, karena akhlak
yang satu ini merupakan akhlak yang tinggi, mulia dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bahkan akhlak ini merupakan sifat hamba-hamba Allah yang shalih, yang senantiasa
menghadirkan keagungan Allah dan takut akan murka dan azab-Nya. Ia juga menjadi sifat bagi
orang-orang yang selalu mencari keridhaan dan pahala-Nya.
4
(HR. Muslim no. 6842 dari Ibnu Mas’ud)
Berkaitan dengan ‘iffah ini, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh
seorang muslimah untuk menjaga kehormatan diri, di antaranya:
1. Menundukkan pandangan mata (ghadhul bashar) dan menjaga kemaluannya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫صا ِر ِه َّن َوحَيْ َفظْ َن ُفُر ْو َج ُه َّن‬ ِ ِ ِ
ِ ْ ‫ات ي ْغض‬
َ ْ‫ض َن م ْن أَب‬ ُ َ َ‫َوقٌ ْل ل ْل ُم ْؤمن‬
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: Hendaklah mereka menundukkan
pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka…” (An-Nur: 31)

Asy-Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Allah Jalla wa ‘Ala


memerintahkan kaum mukminin dan mukminat untuk menundukkan pandangan mata
mereka dan menjaga kemaluan mereka. Termasuk menjaga kemaluan adalah menjaganya
dari perbuatan zina, liwath (homoseksual) dan lesbian, dan juga menjaganya dengan tidak
menampakkan dan menyingkapnya di hadapan manusia.” 5
2. Tidak bepergian jauh (safar) sendirian tanpa didampingi mahramnya yang akan menjaga dan
melindunginya dari gangguan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫امرأَةٌ إِالَّ َم َع ِذي حَمَْرٍم‬ ِ
َ ‫الَ تُ َسافر‬
“Tidak boleh seorang wanita safar kecuali didampingi mahramnya.” 6
3. Tidak berjabat tangan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Karena bersenAllah dengan
lawan jenis akan membangkitkan gejolak di dalam jiwa yang akan membuat hati itu condong
kepada perbuatan keji dan hina.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah berkata: “Secara mutlak tidak
boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, sama saja apakah wanita itu masih
muda ataupun sudah tua. Dan sama saja apakah lelaki yang berjabat tangan denganya itu
masih muda atau kakek tua. Karena berjabat tangan seperti ini akan menimbulkan fitnah bagi
kedua pihak. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata tentang teladan kita (Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam):
‫صلَّى اهلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم يَ َد ْامَرأ ٍَة إِالَّ ْامَرأَةً مَيْلِ ُك َها‬ ِ ِ
َ ‫ت يَ ُد َر ُس ْول اهلل‬
ْ ‫َما َم َس‬
“Tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita,
kecuali tangan wanita yang dimilikinya (istri atau budak beliau).” 7
Tidak ada perbedaan antara jabat tangan yang dilakukan dengan memakai alas/ penghalang
(dengan memakai kaos tangan atau kain misalnya) ataupun tanpa penghalang. Karena dalil
dalam masalah ini sifatnya umum dan semua ini dalam rangka menutup jalan yang
mengantarkan kepada fitnah.” 8
4. Tidak khalwat (berduaan) dengan lelaki yang bukan mahram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah memperingatkan dalam sabdanya:
‫الَ خَي ْلَُو َّن َر ُج ٌل بِ ْامَرأ ٍَة إِالَّ َو َم َع َها ذُ ْو حَمَْرٍم‬

5
(Adhwa-ul Bayan, 6/186)
6
(HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341)
7
(HR. Al-Bukhari, no. 7214)
8
(Majmu’ Al-Fatawa, 1/185)
“Tidak boleh sama sekali seorang lelaki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali bila
bersama wanita itu ada mahramnya.” 9
5. Menjauh dari hal-hal yang dapat mengundang fitnah seperti mendengarkan musik, nyanyian,
menonton film, gambar yang mengumbar aurat dan semisalnya, yang membangkitkan nafsu
dan menjauhkan dari iman.
Seorang muslimah yang cerdas adalah yang bisa memahami akibat yang ditimbulkan dari
suatu perkara dan memahami cara-cara yang ditempuh orang-orang bodoh untuk
menyesatkan dan meyimpangkannya. Sehingga ia akan menjauhkan diri dari membeli
majalah-majalah yang rusak dan tak berfaedah, dan ia tidak akan membuang hartanya untuk
merobek kehormatan dirinya dan menghilangkan ‘iffah-nya. Karena kehormatannya adalah
sesuatu yang sangat mahal dan ‘iffah-nya adalah sesuatu yang sangat berharga. 10
Memang usaha yang dilakukan untuk sebuah ‘iffah bukanlah usaha yang ringan. Butuh
perjuangan jiwa yang sungguh-sungguh dengan meminta tolong kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan:
ِِ ِ ِ ِ
َ ‫َّه ْم ُسُبلَنَا َوإِ َّن اهللَ لَ َم َع الْ ُم ْحسننْي‬ َ ‫َوالَّذيْ َن َج‬
ُ ‫اه ُدوا فْينَا لََن ْهد َين‬
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-
benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-’Ankabut: 69).

WARA’

Sikap wara’ dalam mencari rezeki dan kehidupan sudah jarang disebut dan diperhatikan kaum
muslimin. Kita lihat kaum muslimin sangat menggampangkan masalah ini sehingga terjerumus
dalam perbuatan tercela dalam memenuhi kebutuhannya. Riba, dusta, menipu dan perbuatan
haram lainnya di lakukan tanpa merasa berdosa hanya untuk dalih memenuhi kebutuhan hidup.

Apa hakikat Wara’? 11


Wara secara etimologi (bahasa): berasal dari kata: ‫ يَرِع‬, ‫ِع‬
َ ‫ َور‬yang di ambil dari ( ‫ ) ورع‬yang
bermakna 'menahan' dan 'tergenggam‘

Para ulama memberikan definisi wara’ dengan beberapa ungkapan, di antaranya:


 Wara’ adalah meninggalkan semua yang meragukan dirimu dan menghilangkan semua
yang membuat jelek dirimu dan mengambil yang lebih baik.
 Wara’ adalah ibarat dari tidak tergesa-gesa dalam mengambil barang-barang keduniaan
atau meninggalkan yang diperbolehkan karena khawatir terjerumus dalam perkara yang
dilarang.
 Wara’ adalah menahan diri dari hal-hal yang tidak selayaknya
9
(HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341)
10
(Lihat: Lin Nisa-i Faqath, Asy-Syaikh Abdullah bin Jarullah Alu Jarillah, hal. 60-75. Al-’Iffah, hal. 8-10)
11
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/hakikat-wara.html
Sedangkan Syaikhul Islam ibnu Taimiyah menggambarkan sikap wara’ ini dengan ungkapan:
 “sikap hati-hati dari terjerumus dalam perkara yang berakibat bahaya yaitu yang jelas
haramnya atau yang masih diragukan keharamannya. Dalam meninggalkan perkara
tersebut tidak ada mafsadat yang kebih besar dari mengerjakannya” 12.

Hal ini disimpulkan secara ringkas oleh murid beliau imam Ibnu al-Qayim dengan ungkapan:
 “Wara’ adalah meninggalkan semua yang dikhawatirkan merugikan akhiratnya” 13.

Jelaslah sikap wara’ adalah sikap meninggalkan semua yang meragukan dirimu dan
menghilangkan semua yang membuat jelek dirimu. Hal ini dengan meninggalkan
perkara syubuhat dan berhati-hati berjaga dari semua larangan Allah. Seorang tidak dikatakan
memiliki wara’ sampai menjauhi perkarasyubuhat (samar hukumnya) karena takut terjerumus
dalam keharaman dan meninggalkan semua yang dikhawatirkan merugikan akhiratnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
‫استَْبَرأَ لِ ِدينِ ِه‬ ِ ِ ‫ات اَل َي ْعلَ ُم َها َكثِريٌ ِم ْن الن‬
ْ ‫َّاس فَ َم ْن َّات َقى الْ ُم َشَّب َهات‬ ٌ ‫احْلَاَل ُل َبنِّي ٌ َواحْلََر ُام َبنِّي ٌ َو َبْيَن ُه َما ُم َشَّب َه‬
‫ك مِح ًى أَاَل‬ ٍ ِ‫ك أَ ْن يواقِعه أَاَل وإِ َّن لِ ُك ِّل مل‬
َ
ِ ِ
َ ُ َ َ ُ ُ ‫اع َي ْر َعى َح ْو َل احْل َمى يُوش‬ ٍ ‫ات َكَر‬ ِ ‫و ِعر ِض ِه ومن وقَع يِف الشُّبه‬
َُ َ َ ْ ََ ْ َ
ِِ ِ ‫مِح‬
ُ‫إِ َّن َى اللَّه يِف أ َْرضه حَمَا ِر ُمه‬
“Perkara halal sudah jelas dan yang harampun sudah jelas. Diantara keduanya (halal dan
haram ini) ada perkara syubuhat (samar hukumnya) yang banyak orang tidak mengetahuinya.
Siapa yang menjauhi perkara syubuhat ini maka ia telah menjaga agamanya dan
kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam perkara syubuhat ini seperti seorang gembala
yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya.
Ketahuilah setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah
perkara-perkara yang diharamkanNya“. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Jenis dan tingkatan Wara’


Imam Ar-Raaghib Al-Ashfahani membagi sikap wara’ dalam tiga tingkatan:
1. Wajib, yaitu menjauhi larangan Allah dan ini wajib untuk semua orang.
2. Sunnah, yaitu berhenti pada perkara syubuhat. Ini untuk orang yang pertengahan
3. Fadhilah (keutamaan), yaitu menahan diri dari banyak perkara yang mubah dan
mencukupkan dengan mengambil sedikit darinya untul sekedar memenuhi kebutuhan
primernya saja. Ini untuk para nabi, shiddiqin, syuhada dan sholihin. 14.

Faedah dan manfaat sikap wara’


Sikap wara’ memiliki banyak sekali faedah, diantaranya adalah:
1. Wara’ termasuk martabat tertinggi dari iman dan terutama dalam martabat ihsaan.
2. Memberikan kepada seorang mukmin perasaan lega dan ketenangan jiwa.
3. Masyarakat yang memiliki sikap wara’ akan menjadi masyarakat yang baik dan bersih.
4. Allah mencintai orang yang bersikap wara’ dan juga para makhlukpun demikian.
12
(Majmu’ Fatawa, 10/511)
13
(Al-Fawaaid hlm 118)
14
(lihat kitab Adz-Dzari’ah Ila Makaarim al-Syari’at hal. 323)
5. Sikap wara’ bisa menjadi sebab ijabah do’a.
Keutamaan sifat wara’ 15
Mengenai keutamaan sifat wara’ telah disebutkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabdanya,
‫فضل العلم خري من فضل العبادة وخري دينكم الورع‬
“Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama
kalian adalah sifat wara’” 16

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat berharga pada Abu


Hurairah,
ِ ُّ ِ‫َّاس م ا حُت‬ ِ َّ ‫َح‬
َ ‫ب لَن ْف ِس‬
‫ك‬ َ ِ ‫ب للن‬
ِ ‫َّاس وأ‬
َ ِ ‫َش َكَر الن‬ ْ ‫َّاس َو ُك ْن قَنِ ًع ا تَ ُك ْن أ‬
ِ ‫يَ ا أَبَ ا ُهَر ْي َرةَ ُك ْن َو ِر ًع ا تَ ُك ْن أ َْعبَ َد الن‬
ِ ِ ِ ِ ‫تَ ُكن م ْؤ ِمنًا وأَح ِسن ِجوار من جاور َك تَ ُكن مسلِما وأَقِ َّل الض‬
‫ب‬ ُ ‫ك فَِإ َّن َك ْثَر َة الضَّحك مُت‬
َ ‫يت الْ َق ْل‬ َ ‫َّح‬ َ ً ُْ ْ ََ َ ْ َ َ َ ْ َ َ ُ ْ
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli
ibadah. Jadilah orang yang qona’ah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka
engkau akan menjadi orang yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia
sebagaimana engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang
mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi muslim sejati.
Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” 17

Sangat sederhana sekali apa yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim mengenai pengertian wara’,
beliau cukup mengartikan dengan dalil dari sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ibnul
Qayyim menjelaskan,
‫ من حسن إسالم املرء تركه ما ال يعنيه فهذا يعم‬: ‫وقد مجع النيب الورع كله يف كلمة واحدة فقال‬
‫ من الكالم والنظ ر واالس تماع والبطش واملش ي والفك ر وس ائر احلرك ات الظ اهرة‬: ‫ال رتك ملا ال يع ين‬
‫والباطنة فهذه الكلمة كافية شافية يف الورع‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghimpun makna wara’ dalam satu kalimat yaitu
dalam sabda beliau, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang yaitu meninggalkan hal yang
tidak bermanfaat.” Hadits ini dimaksudkan untuk meninggalkan hal yang tidak
bermanfaat yaitu mencakup perkataan, pandangan, mendengar, memperbuat kekerasan,
berjalan, berpikir, dan aktivitas lainnya baik lahir maupun batin. Hadits tersebut sudah
mencukupi untuk memahami arti wara’.” 18.

Dinukil dari Madarijus Salikin (di halaman yang sama), Ibrahim bin Adham berkata,
‫الورع ترك كل شبهة وترك ما ال يعنيك هو ترك الفضالت‬

15
http://rumaysho.com/akhlaq/bersikaplah-wara-3016
16
(HR. Ath Thobroni dalam Al Awsath, Al Bazzar dengan sanad yang hasan. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib 68
mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi).
17
(HR. Ibnu Majah no. 4217. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
18
(Madarijus Salikin, 2: 21)
“Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara syubhat (yang masih samar), termasuk pula
meninggalkan hal yang tidak bermanfaat untukmu, yang dimaksud adalah meninggalkan
perkara mubah yang berlebihan.”

Sahl At Tusturiy berkatas, “Seseorang tidaklah dapat mencapai hakikat iman hingga ia memiliki
empat sifat:
1) menunaikan amalan wajib dengan disempurnakan amalan sunnah,
2) makan makanan halal dengan sifat wara’,
3) menjauhi larangan secara lahir dan batin,
4) sabar dalam hal-hal tadi hingga maut menjemput.”

Sahl juga berkata, “Siapa yang makan makanan haram dalam keadaan ingin atau tidak, baik ia
tahu atau tidak, maka bermaksiatlah anggota badannya. Namun jika makanan yang ia konsumsi
adalah halal, maka patuhlah anggota badannya dan akan diberi taufik melakukan kebaikan.” 19

Yunus bin ‘Ubaid berkata, “Wara’ adalah keluar dari syubhat (perkara yang samar) dan setiap
saat selalu mengintrospeksi diri.” 20
Ibnu Rajab mengutarakan pengertian wara’ dengan mengemukakan hadits,
‫دع ما يريبك إىل ما ال يريبك‬
“Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.”21

Ibnu Rajab berkata bahwa sebagian tabi’in berkata,


‫ مث أدركين الورع‬، ‫تركت الذنوب حياء أربعني سنة‬
“Aku meninggalkan dosa selama 40 tahun lamanya. Akhrinya, aku mendapati sifat wara’.” 22.

Lihatlah bagaimana sikap Imam Nawawi rahimahullah dalam menyikapi apabila ada keragu-


raguan dalam masalah suatu hukum, halal ataukah haram. Beliau berkata,
ِِ ِ ِِ ِ
ُ‫ فَأَحْلَق ه‬، ‫ ا ْجَت َه َد في ه الْ ُم ْجتَ ِه د‬، ‫ص َواَل إِمْج َ اع‬ ّ َ‫ َومَلْ يَ ُك ْن في ه ن‬، ‫الش ْيء َبنْي احْل ّل َواحْلُْر َم ة‬ َّ ‫فَ ِإذَا َت َر َّد َد‬
‫ َفيَ ُكون‬، ‫ َوقَ ْد يَ ُكون َغرْي َخال َع ْن ااِل ْحتِ َمال الَْبنِّي‬، ‫ص َار َحاَل اًل‬ ِ ِ ِ ‫بِأ ِمِه‬
َ ‫َحد َا بِالدَّل ِيل الش َّْرع ّي فَِإ َذا أَحْلََقهُ بِه‬ َ
‫ُّب َهات َف َق ْد اِ ْس تَْبَرأَ لِ ِدينِ ِه‬ ِ ِ ِ
َ ‫ َويَ ُكون َداخاًل يِف َق ْوله‬، ‫الْ َو َرع َت ْركه‬
ُ ‫ ( فَ َم ْن اَّت َقى الش‬: ‫ص لَّى اللَّه َعلَْي ه َو َس لَّ َم‬
) ‫َو ِع ْرضه‬
“Jika muncul keragu-raguan akan halal dan haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil
tegas, tidak ada ijma’ (konsensus   ulama); lalu yang punya kemampuan berijtihad, ia berijtihad
dengan menggandengkan hukum pada dalil, lalu jadinya ada yang halal, namun ada yang masih
tidak jelas hukumnya, maka sikap wara’ adalah meninggalkan yang masih meragukan tersebut.
Sikap wara’ seperti ini termasuk dalam sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-,

19
(Dinukil dari Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, 4: 326)
20
(Dinukil dari Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, 4: 326)
21
(HR. An Nasai dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
22
(Fathul Bari, Ibnu Rajab, Asy Syamilah, 1: 51)
“Barangsiapa yang  selamat  dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan
kehormatannya.” 23

SYAJA’AH 24

Secara sederhana, syaja’ah biasa diartikan berani. Secara bahasa artinya benar atau gagah. Secara
istilah bermakna keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan mempertahankan
kebenaran secara berani dan terpuji, bisa juga bermakna keberanian yang berlandaskan
kebenaran dan dilakukan dengan penuh pertimbangan. BIla hendak didefinisikan dengan lebih
luas, Syaja’ah dikatakan sebagai kemampuan menundukkan jiwa agar tetap tegar dan teguh serta
tetap maju saat berhadapan dengan musuh atau musibah.
Istilah yang berdekatan dengan saja’ah adalah jur’ah.sinomin lainnya adalah iqdam. syaja’ah
adalah sifat pertengahan (wasath) antara jubn (penakut,pengecut) dan tahawwur (berani tanpa
perhitungan).

Imam syahid Hasan Al Banna mendefinisikan Syaja’ah sebagai ‘azhimul ihtimal (besarnya daya
pikul dan daya tahan). Sifat Syaja’ah seperti ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan
seseorang kepada Allah swt, hari akhir, malaikat, nabi dan rasul dan kepada qadha’ dan qadar’
Alllah SWT.

Perwujudan sifat Syaja’ah sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas  bisa bermacam-macam,
tidak mesti dalam medan pertempuran atau medan laga. Imam Syahid Hasan Al- Banna
rahimahullah menyebutkan bahwa Syaja’ah bisa  terwujudkan dalam bentuk-bentuk sebagai
berikut :
1. Ash-Sharahah fil haq (terus terang dalam kebenaran), tidak  plin-plan (sesekali 
mengatakan begini dan pada kali lainnya mengatakan begitu).
2. Kitmanus-sirr (menyebunyikan rahasia, tidak membukanya, apalagi
menyebarkanluaskannya).
Apapun yang dia hadapi dalam menyimpan rahasia itu, ia tetap mempertahankannya,
sepatah pun tidak mengataknnya.
3. Al I’tiraf bil khatha’ (mengakui kesalahan),tidak lempar batu sembunyi tangan, menutupi
kesalahan apalagi mengemasnya dengan kemasan-kemasan kebenaran.
4. Al Inshaf minan-nafs( obyektif terhadap diri sendiri), hati boleh panas, telinga boleh
merah akan tetapi  akal pikiran tetap jenih dan memilih cara mengekspresikan
kemarahannya dalam bentuk yang paling tepat.
kalau kita membuka-buka lembaran para anbiya’, mursalin, sahabat, tabi’in dan para ulama’, kita
akan menemukan banyak sekali  contoh-contoh syaja’ah mereka yang bisa kita jadikan suri
teladan.

Sikap Teladan Imam Nawawi rahimahullah.

23
(Syarh Muslim, 11: 28).
24
http://kul3n4s.wordpress.com/2010/02/27/syajaah/
Pada masa Imam Nawawi rahimahullah, pengguasa saat itu hendak meminta sumbangan dari
rakyat untuk pembiayaan perang  melawan pasukan mongol Tartar. pada saat itu rakyat 
sedang dalam masa paceklik dan terjerat kemiskinan. Menurut hukum fiqih, negara memang
dibenarkan meminta sumbangan dari rakyat jika anggaran negara tidak mencukupi. terlebih
lagi hal ini dilakukan penguasa dalam rangka berperang  membela rakyat dari ancaman
pasukan Mongol Tartar yang sangat terkenal keganasannya.
Imam Nawawi rahimahullah adalah seorang  ulama’ Syafi’i tekenal, Sepintas lalu, apa yang
diingikan oleh penguasa saat itu ada benarnya menurut fiqih, Namun Imam Nawawi yang
memiliki ketajaman fiqih ahkam dan fiqih waqi’ melihat bahwa apa yang diinginkan oleh
penguasa saat itu adalah sesuatu yang salah dan munkar. Maka beliau berdiri di hadapan
penguasa  itu dan menentang kehendak sang penguasa. Beliau mengatakan, ” Meminta
sumbangan dari rakyat baru dibenarkan secara fiqih jika penguasa telah mengambil semua
harta yang ada di tangan para pejabat negara dan keluarganya. jika  hasil penarikan  harta
dari para pejabat yang korup itu masih belum mencukupi. barulah negara boleh meminta
sumbangan dari rakyat. Namun sebelum itu meminta sperti yang dimaksud penguasa tidaklah
sah, dan merupakan perbuatan zhalim.

Dari kisah diatas dapat kita kutip bahwa  menggungkapkan kebenaran  itu adalah suatu yang
harus dimiliki oleh setiap kader, aktifis dakwah, dan semua umat islam .

Pemberani (asy-syaja'ah) 25adalah sedia bertanggung jawab atas segala perbuatannya dengan
pikiran yang jernih serta harapan yang tidak putus. Keberanian tanpa pikiran yang jernih dan
tanpa harapan adalah nekad atau membabi-buta, bukan syaja'ah tapi tahawwur
        Berbuat maksiat, mencuri, berzina berjudi, membunuh, merampok bukanlah pemberani
namanya. Tidak berbuat demikian bukan penakut, tetapi itulah yang disebut Pemberani. Berani
mengendalikan diri walaupun betapa beratnya. Berhenti ditempatnya untuk mengatur strategi
dan disaatnya maju dengan pertimbangan yang tepat.
             Setelah pertimbangan dengan mantap dan putusan sudah ditetapkan orang harus bertekad
bulat menjalankannya. Itulah yang disebut "azimah". Allah SWT Berfirman.

َ ِ‫اب أُولَئ‬
‫ك َي ْل َعُن ُه ُم‬ ِ ‫ات َواهْلُ َدى ِم ْن َب ْع ِد َم ا َبَّينَّاهُ لِلن‬
ِ َ‫َّاس يِف الْ ِكت‬ ِ َ‫{ إِ َّن الَّ ِذين يكْتُم و َن م ا أَْنزلْنَ ا ِمن الْبِّين‬
َ َ َ َ ُ ََ
})159( ‫اللَّهُ َو َي ْل َعُن ُه ُم الاَّل ِعنُو َن‬
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan [yang jelas] dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada
manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati [pula] oleh semua [makhluk]
yang dapat mela’nati," (Al-Baqarah : 159)

Syaja'ah bukannya sifat yang tidak pernah takut, tetapi syaja'ah adalah sifat yang dapat
mengatasi rasa takut. dengan sifat ini rasa takut itu dapat dikendalikan dan bahaya dari hal yang

25
http://aprililmuttaqin.blogspot.com/2014/01/arti-sifat-pemberani-dalam-islam.html
ditakuti itu dapat diperkecil atau dihindari. Oleh karena itu orang yang mempunyai sifat syaja'ah
memiliki ketenangan hati dan kemampuan mengolah sesuatu dengan pikiran tenang.

Menurut Ibnu Miskawih, sifat syaja'ah mengandung keutamaan-keutamaan sebagai berikut :


1. Jiwa Besar, yaitu sadar akan kemampuan diri dan sanggup melaksanakan pekerjaan besar
yang sesuai dengan kemampuannya. Bersedia mengalah dalam persoalan kecil dan tidak
penting.Menghormati tetapi tidak silau kepada orang lain
2. Tabah, yaitu tidak segera goyah pendirian, bahkan setiap pendirian keyakinan
deipegangnya dengan mantap
3. Keras Kemauan, yaitu bekerja sungguh-sungguh dan tidak berputus asa serta tidak mudah
dibelokkan dari tujuan yang diyakini
4. Ketahanan, yaitu tahan menderita akibat perbuatan dan keyakinannya
5. Tenang, yaitu berhati tenang, tidak selalu menuruti perasaan (emosi) dan tidak lekas
marah
6. Kebesaran, yaitu suka melakukan pekerjaan yang penting atau besar

Adapun bentuk-bentuk sifat keberanian menurut pandangan islam adalah sebagai berikut:
 Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan (al-Jihad fi Sabilillah). Allah
berfirman :
‫يايها الذين امنوا اذا لقيتم الذين كفروا زحفا فال تولوهم االدبار ومن يوهلم يومٮذ دبره اال‬ 
‫متحرفا لقتال او متحيزا اىل فئة فقد باء بغضب من اهلل وماوٮه جهنم وبئس املصري‬
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir
yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka [mundur].
Barangsiapa yang membelakangi mereka [mundur] di waktu itu, kecuali berbelok untuk
[siasat] perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka
sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan
tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya." (Al-ANfal :
15-16)

 Keberanian mengatakan kebenaran sekalipun didepan penguasa yang Dzalim


 Keberanian untuk mengendalikan diri tatkala marah sekalipun dia bisa melampiaskannya
‫ٱل ذين‬  ‫وس ارعوا إىل مغف رة من ربڪم وجن ة عرض ها ٱلس موٲت وٱألرض أع دت للمتقني‬
‫ينفقون ىف ٱلسراء وٱلضراء وٱلڪظمني ٱلغيظ وٱلعافني عن ٱلناس وٱهلل حيب ٱحملسنني‬

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Allahmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, [yaitu]
orang-orang yang menafkahkan [hartanya], baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan [kesalahan] orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (Ali-Imraan : 133-134)

Anda mungkin juga menyukai