Anda di halaman 1dari 526

www.tedisobandi.blogspot.

com
THARIQAH ALAWIYAH
Jalan Lurus Menuju Allah

Diterjemahkan dari buku berbahasa Arab:


Al-Manhaj as-Sâwiy, Syarh Ushûl Tharîqah as-Sâdah Âl Bâ ‘Alawi
karya al-‘Allamah al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith
Terbitan Dar al-‘Ulum wa ad-Da’wah
Tarim-Hadramaut-Yaman
Cetakan II 1429 H/ 2008 M

Penerjemah : Ust. Husin Nabil


Penyunting : Tim Nafas
Desain Sampul : www.adriano10.deviantart.com
Pewajah Isi : ufukreatifhouse@gmail.com
ISBN : 978-602-8293-10-5 (No, Jil. Lengkap)
978-602-8293-11-2 (No, Jil. 1)
978-602-8293-12-9 (No, Jil. 2)

Hak terjemahan dilindungi undang-undang


Dilarang mereproduksi maupun memperbanyak Seluruh atau
sebagian isi buku ini dalam bentuk dan Cara apa pun tanpa izin
tertulis dari penerbit
All rights reserved

Cetakan VI, 1438 H/ 2017 M

Diterbitkan oleh
Penerbit Nafas
Jl. Mahoni - Kp. Utan, Ciputat, Tangerang Selatan
e-mail: penerbit_nafas@yahoo.com
Telp. : (021) 7445764
Daftar Isi

Sambutan Ketua Rabithah ... vii


Mukadimah Cetakan Kedua ... x
Riwayat Hidup Pengarang ... xiii
Mengenal Thariqah Sadah Ba ‘Alawi ... xxvi
Tentang Kitab Ini ... xlviii
Mukadimah ... lvii

Bab 1: Keistimewaan Ilmu ... 1


1. Pujian terhadap Ilmu dan Celaan
terhadap Kejahilan ... 3
2. Hadits-hadits Mengenai Keutamaan Ilmu
dan Ahli Ilmu ... 11
3. Perkataan Salaf dan Khalaf Mengenai Keutamaan
Ilmu dan Ahli Ilmu ... 17
4. Sedikit Ilmu Lebih Baik daripada
Banyak Ibadah ... 32
5. Keutamaan Para Penuntut Ilmu dan Orang-orang
yang Mendalami Agama ... 37
6. Dorongan Bertanya kepada Ulama dan Terus
Menambah Ilmu ... 40

Bab 2: Keutamaan Menyebarkan Ilmu ... 49


1. Keutamaan Mengajar ... 51
2. Keutamaan Menulis Ilmu ... 60
3. Haramnya Mencegah dan
Menyembunyikan Ilmu ... 64
Bab 3: Kesungguhan dalam Menuntut Ilmu ... 73
1. Ilmu Tak Dapat Diraih Kecuali dengan
Kesungguhan ... 75
2. Perjalanan untuk Menuntut Ilmu ... 82
3. Kisah-kisah Kesungguhan Para Imam dalam
Mendapatkan Ilmu ... 89

Bab 4: Anjuran Duduk Bersama Ulama dan


Orang Saleh serta Memuliakan Mereka ...
105
1. Anjuran untuk Menghadiri Majelis Para Ulama ...
107
2. Anjuran Bergaul dengan Para Wali dan Orang-
orang Saleh ... 114
3. Dorongan Beradab kepada Ulama
dan Para Wali ... 124
4. Peringatan Akan Penentangan terhadap Wali dan
Orang Saleh ... 130

Bab 5: Adab Seorang Alim dan Pendidik ... 147


Mukadimah: Tentang Kedudukan Adab ... 149
1. Adab Seorang Alim ... 152
2. Adab Pelajar dalam Menuntut Ilmu ... 169
3. Adab Murid terhadap Gurunya ... 178
4. Manfaat-manfaat yang Dibutuhkan oleh
Penuntut Ilmu dan Orang Alim ... 286
5. Doa dan Zikir yang Bermanfaat bagi
Penuntut Ilmu ... 197

Bab 6: Keutamaan Ilmu dan Kitab Salaf ... 207


1. Ilmu yang Bermanfaat ... 209
2. Keutamaan Kitab Salaf Dibanding yang Lain ...
214
3. Kitab-kitab Pilihan yang Diwasiatkan ... 219
4. Kitab-kitab yang Dilarang untuk Dibaca ... 239

iv
Bab 7: Antara Ulama Akhirat dan
Ulama Dunia ... 247
1. Sifat-sifat Ulama Akhirat ... 249
2. Berhati-hati terhadap Ulama Dunia ... 262

Bab 8: Dakwah di Jalan Allah Adalah Tugas


Ulama yang Mendapat Petunjuk ... 281
1. Keutamaan Berdakwah di Jalan Allah ... 283
2. Adab-adab yang Diharuskan bagi Para Penyeru
ke Jalan Allah ... 292

Bab 9: Hikmah ... 315


Mukadimah: Makna Hikmah dan Keutamaannya ... 317
1. Hikmah Luqmân al-Hakîm as. ... 322
2. Sumber Hikmah yang Diriwayatkan dari Sabda
Beliau Saw. ... 325
3. Hikmah yang Diriwayatkan dari
Para Imam Ahl Bait as ... 337
4. Kata-kata Hikmah Imam Syafi’i ra. ... 347
5. Sekilas dari Hikmah Para Salaf Saleh ... 351
6. Beberapa Hikmah yang Diriwayatkan dari
Sekelompok Para Sâdah Alawiyyin ... 361

Bab 10: Manfaat yang Bertaburan ... 371


1. Perbandingan antara Kemuliaan Ilmu
dan Akal ... 373
2. Perbandingan antara Kemuliaan Ilmu
dan Nasab ... 387
3. Isyarat Tentang Banyak dan Luasnya Ilmu ... 391
4. Isyarat Tentang Ilmu Beliau Saw. ... 394
5. Ilmu Para Sahabat, Tabi‘in, dan Para Imam
Sesudah Mereka ... 397
6. Biografi Empat Imam dan Hujjah al-Islam
al-Ghazali ... 419
Penutup: Menjaga Ilmu dan Wafatnya
Para Ulama ... 427

v
Habib Zain melakukan perjalanan-perjalanan
yang diberkahi ke sejumlah negeri Islam
untuk berdakwah serta menjumpai para
ulama dan para wali. Beliau mengunjungi
Syam, Indonesia, sejumlah tempat di Afrika,
dan lain-lain.
Sambutan Ketua Rabithah

Alhamdulillah, kita panjatkan syukur kehadirat Allah Swt. yang


telah mengaruniakan nikmat-Nya, dan telah menggerakkan
hati kita untuk ikut berusaha memajukan dakwah Islamiyah
dengan cara menerjemahkan buku-buku dari perbendaharaan
salafus saleh, sehingga diharapkan dapat menjadi rujukan dalam
kehidupan keagamaan dan kehidupan kita sehari-hari. Shalawat
dan salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad Saw. beserta keluarga dan sahabatnya.
Dimulai dengan keinginan berbagai kalangan untuk
menghadirkan sebuah buku rujukan tentang Thariqah Alawiyah,
sejak setahun yang lalu, telah dilakukan usaha penerjemahan
buku Minhaj as-Sawi Syarah Ushul  Thariqah Bani ‘Alawi karya
al-Habib al-‘Allamah Zen bin Ibrahim bin Sumaith. Usaha ini
berhasil diselesaikan berkat ketekunan tim penerjemah, Ustadz
Ali Yahya dan Ustadz Husein Nabil Assegaf, yang berdedikasi
tinggi dan dibantu oleh tim penyunting.  Sehingga buku ini
menjadi salah satu khazanah buku-buku agama yang sangat
bermanfaat bagi kita semua.
Buku ini merupakan rujukan utama tentang Thariqah
Alawiyah yang lengkap dan diambil dari sumber-sumber kitab
karangan al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad, al-Habib Idrus
bin Umar al-Habsyi, dan ulama-ulama besar lain. Dalam buku
ini, al-Habib Zen bin Ibrahim bin Sumaith menjelaskan, dengan
sistematika yang sangat baik, beberapa persyaratan yang harus
dimiliki dalam menjalani Thariqah Alawiyah sebagai pegangan
hidup. Juga pengenalan kepada pilar-pilar utama thariqah terse-
but, yaitu ilmu, amal, wara’, khauf, dan ikhlas, yang merupakan
persyaratan yang harus dipelajari dan diamalkan.
Pentingnya kaidah ilmu terlihat dari banyaknya bahasan ten-
tangnya di kitab ini, yang hampir mencapai setengah isi buku.
Kemudian penulis juga menjelaskan bahwa ilmu tanpa amal,
akan menjadi sesuatu yang tak berguna bagi kemaslahatan umat.
Dalam penjelasannya, penulis menyertakan beberapa hadits
Rasulullah Saw, yang dengan jelas menerangkan pentingnya ilmu
yang harus diamalkan dan diajarkan kepada orang lain.
Dua pilar yang lain, yaitu wara’ dan al-khauf (rasa takut
pada Allah Swt) diuraikan dengan jelas agar para pembaca
dapat menjiwai makna kedua keadaan ini, sehingga dapat
mengamalkannya. Demikian pula pada pembahasan Ikhlas, al-
Habib Zen bin Ibrahim bin Sumaith menerangkan bagaimana
seharusnya seorang muslim berkeyakinan agar sifat ikhlas ini
merupakan bagian dari sikap hidupnya. Karena amalan yang
baik jika tidak dilandasi dengan sifat ikhlas, tidak akan memiliki
nilai di hadapan Allah Swt.

viii
Sebagaimana telah diketahui bahwa beberapa thariqah
yang ada, menitikberatkan pada dzikir dan pendekatan diri
kepada Allah Swt. Sedangkan Thariqah Alawiyah, sebagaimana
dijelaskan dalam buku ini, mengombinasikan antara pendekatan
ilmu, pembersihan, dan keikhlasan jiwa setiap muslim.
Semoga dengan dicetaknya buku ini, akan menambah
khazanah keilmuan dan referensi buku-buku yang baik bagi
orang-orang yang mendambakan sikap hidup yang sesuai
dengan tuntunan Rasulullah Saw. dan sejalan dengan sikap
hidup para pendahulu kita yang saleh. Semoga Allah Swt. selalu
melimpahkan rahmat-Nya, terutama kepada semua pihak yang
telah membantu terbitnya buku ini.
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

Zen bin Umar bin Smith


    Ketua Umum
Rabithah Alawiyah

    

ix
Mukadimah
Cetakan Kedua

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

S
egala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Pemberi. Shalawat dan salam atas junjungan anak
‘Adnân, juga atas keluarganya yang suci, dan para
sahabatnya yang baik, serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan kebaikan, selama malam dan siang silih
berganti.
Wa ba’du,
Kitab ini sebagai penyambung dari rangkaian hasil karya
tulis yang mulia al-‘Allamah al-Mufti ad-Dâ‘i Ilallâh al-
Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith Ba ‘Alawi al-Husainiy,
semoga Allah menjaga beliau. Di dalamnya terhimpun materi
yang penting dalam penjelasan tentang pokok Thariqah al-
‘Alawiyah dan adab-adabnya. Kitab ini juga mendekatkan ke
hadapan para pembaca segala yang terangkum dalam kitab
terdahulu, disertai ketelitian dalam pengutipan dan keindahan
pada pembahasannya yang luas.
Pada cetakannya yang pertama, kitab ini telah mendapat
sambutan yang luar biasa dari para pembaca dan telah habis
persediaannya dalam waktu yang cepat, dengan segala puji
bagi Allah. Dan cetakan pertama kitab ini telah dicetak ulang
berkali-kali. Sedangkan buku yang ada ditangan pembaca ini
adalah versi baru, yang telah direvisi dan ditambah. Penulisnya
sendiri yang menyunting—semoga Allah memberi kesehatan
kepada beliau—di sela-sela pembacaan kitab ini oleh muridnya
di hadapan beliau. Sehingga kitab ini menjadi lebih sempurna
daripada yang pertama, dengan taufik dari Allah Swt. Kami
memohon manfaat kepada-Nya yang Mahasuci melalui kitab
ini, seperti manfaat kitab sebelum ini dan lebih dari itu. Dan
segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya, perbuatan baik
menjadi sempurna.
Riwayat Hidup Pengarang 1

Nama dan Nasabnya


Beliau adalah al-‘Allamah al-Muhaqqiq al-Faqîh al-‘Abid az-
Zahid al-Murabbi ad-Da’i ilallah, as-Sayyid al-Habib Abu
Muhammad Zain bin Ibrahim bin Zain bin Muhammad bin
Zain bin Abdurrahman bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ali
bin Sâlim bin Abdullah bin Muhammad Sumaith (Smith) bin
Ali bin Abdurrahman bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad bin
Abdurrahman bin Alwi (‘Ammul-Faqîh al-Muqaddam)2 bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali bin Alwi bin Muhammad
bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad al-Muhâjir Ilallah bin Isa
ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far
ash-Shâdiq bin Muhammad al-Bâqir bin Ali Zainal ‘Abidin bin
Sayyidina al-Husain bin Imam Ali bin Abi Thâlib dan Sayyidah
Fâthimah az-Zahra binti Rasulullah, junjungan kami, nabi kami,
dan penyejuk mata kami, Muhammad Saw.
Jadi beliau adalah seorang sayyid dari Ahlulbait, keturunan
al-Husain, cucu Rasulullah Saw., dari keturunan Alwi, cucu
Imam al-Muhâjir.3 Beliau bermazhab Syafi’i, beraqidah sunni
(ahlussunnah wal-jamaah), dan beraliran salafi (yang dimaksud
adalah mengikuti as-Salafush-Shâlih, bukan pengikut ajaran
Ibnu Taimiyah yang terkadang juga disebut salafi, penj.), dengan
mengikuti thariqah para datuknya di Hadramaut dari keluarga
Sâdah Ba’alawi.

Kelahiran dan Pertumbuhannya


Beliau dilahirkan tahun 1357 Hijriah bertepatan dengan 1936 M
di kota Jakarta, dalam sebuah keluarga yang menjalankan agama
dengan baik dari kedua orang tua yang dikenal kesalehannya.4 Di
waktu beliau masih kecil, ayahnya suka membawanya ke majelis
Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad, pemuka kalangan
Sâdah Alawiyyin di Bogor.5 Beliau menghadiri maulid yang
biasa diadakan oleh Habib Alwi di rumahnya setiap Asar di hari
Jumat. Habib Alwi terhitung guru pertama dalam kehidupan
beliau. Terkadang beliau menghadiri pelajaran yang diberikan
oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi yang diadakan setiap
Ahad pagi di tempatnya Kwitang, Jakarta Pusat. Maka beliau
mendapatkan keberkahan menghadiri majelis-majelis yang mulia
ini.
Di madrasah-madrasah setempat, beliau belajar membaca,
menulis, mempelajari Al-Qur’an, dan ilmu tajwid. Pada tahun
1371 H (1950 M), dalam usia sekitar 14 tahun, beliau berangkat
bersama ayahnya ke Hadramaut. Beliau tinggal di rumah ayahnya
di kota Tarim.

Belajar dan Guru-Gurunya


Berkat kesungguhannya, di Tarim beliau menanjak dengan cepat.
Beliau dengan sepenuhnya menerima pelajaran dan menuntut
ilmu, berpindah-pindah di antara madrasah-madrasah di kota
itu dan peninggalan-peninggalannya yang diberkahi, khususnya
Rubath Tarîm. Di sana beliau membaca berbagai kitab-kitab
ringkas (mukhtashar) dalam ilmu fiqih kepada al-‘Allâmah al-
Habib Muhammad bin Salim bin Hafizh. Pada gurunya ini,
beliau juga menghafal kitab Shafwah az-Zubad karya Imam Ibnu
Ruslan dan kitab al-Irsyad karya asy-Syaraf Ibnu al-Muqri yang

xiv
beliau hafal sampai bab Jinayat. Beliau juga membaca kitab-kitab
gurunya dalam ilmu faraidh dan masalah nikah, sebagian dari
kitab al-Minhaj, sekumpulan kitab-kitab tasawuf, dan sebagian
ilmu falaq. Beliau juga menghafal Nazham Hadiyyah ash-Shâdiq
karya Habib Abdullah bin Husain bin Thâhir.
Beliau menimba ilmu nahu, ilmu ma’ani, dan ilmu bayan
dari Habib Umar bin Alwi al-Kaf. Kepadanya beliau juga
membaca kitab Mutammimah al-Ajurumiyah, menghafal kitab
Alfiyyah karya Ibnu Malik, dan mulai mempelajari syarah kitab
itu padanya.
Beliau menimba ilmu fiqih dari al-‘Allâmah asy-Syaikh
Mahfuzh bin Sâlim az-Zubaidi dan dari seorang syaikh yang
faqih, Mufti Tarim, Syaikh Sâlim Sa’id Bukayyir Baghîtsân.
Beliau juga membaca kitab Mulhah al-I’rab karya al-Hariri
dengan Habib Sâlim bin Alwi Khird. Dalam ilmu ushul, beliau
mengambil dari Syaikh Fadhl bin Muhammad Bafadhl dan
dari Habib Abdurrahman bin Hâmid ash-Sirri. Kepada mereka
berdua, beliau juga membaca kitab matan al-Waraqat. Beliau
pun menghadiri majelis-majelis Habib Alwi bin Abdullah
bin Shihabuddin dan rauhah-nya6, juga pelajaran-pelajaran di
Ribath, dan majelis Syaikh Ali bin Abu Bakar as-Sakran.
Beliau juga menimba ilmu dari Habib Ja’far bin Ahmad
al-‘Aydarus dan sering pulang pergi ke tempatnya. Beliau
mendapatkan banyak ijazah darinya. Beliau juga menimba ilmu
dari Habib Ibrâhîm bin Umar bin ‘Aqîl dan Habib Abu Bakar
Aththâs bin Abdullah al-Habsyi. Kepadanya beliau membaca
kitab al-Arba’in karya Imam al-Ghazali (bukan al-Arba‘in
karya an-Nawawi, penj), dan kepada guru-guru yang lain.
Guru-gurunya memuji karena kelebihannya dibanding teman-
temannya, juga karena adab, perilaku, dan akhlaknya yang baik.
Habib Zain juga banyak meminta ijazah dari para guru
kalangan Sâdah ‘Alawiyyin dan para ulama di dunia Islam,
seperti al-’Allâmah al-Habib Muhammad bin Hadi as-Saqqaf, al-

xv
’Allâmah al-Habib Ahmad bin Musa al-Habsyi, al-’Allâmah Alwi
bin ‘Abbas al-Mâliki al-Makki, al-‘Allamah al-Habib Umar bin
Ahmad bin Sumaith, al-Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-
Haddad, al-Habib ‘Abdulqadir bin Ahmad as-Saqqaf, al-Habib
ad-Da’iyah Muhammad bin Abdullah al-Haddar, al-Habib
al-Murabbi Hasan bin Abdullah asy-Syâthiri, asy-Syaikh Umar
Haddad, al-‘Allamah as-Sayid Muhammad bin Ahmad asy-
Syâthiri, dan lain-lain. Riwayat hidup mereka disebutkan secara
rinci dalam catatan sanad beliau dan guru-gurunya.
Beliau menuntut ilmu di kota Tarim kurang lebih 8 tahun.
Yang diisi dengan penuh kesungguhan dan mengambil bekal dari
sumber-sumber yang murni di kota yang dikenal keberkahannya,
banyaknya ulama, dan orang-orang saleh. Ditambah lagi di kota
ini terdapat makam para wali, peninggalan para salaf, dan tempat-
tempat yang diberkahi yang membuatnya menjadi mulia.

Kota Baidha dan Habib Muhammad al-Haddar


Setelah 8 tahun menghabiskan waktu di kota Tarim, Habib
Muhammad bin Salim bin Hafizh, gurunya, menyuruhnya
untuk pindah ke kota Baidha—terletak di Yaman bagian selatan
yang terjauh—untuk mengajar di rubath kota ini dan agar turut
serta dalam aktivitas dakwah di sana. Perintah gurunya ini setelah
diminta oleh Mufti Baidha, Habib Muhammad bin Abdullah al-
Haddar.
Beliau menuju ke sana melalui kota ‘Adan, tempat tinggal
Habib Sâlim bin Abdullah asy-Syâthiri, salah seorang teman
seangkatannya dan orang yang dicintainya. Ketika itu Habib
Sâlim menjadi khatib dan imam di daerah Khaur Maksar, yang
termasuk wilayah ‘Adan. Ia memiliki perpustakaan yang penuh
dengan kitab-kitab, yang selalu dikajinya dengan sungguh-
sungguh. Diskusi ilmiah sering berlangsung antara Habib Sâlim
dan Habib Zain. Mereka juga sering melakukan muthâla’ah
(mengkaji) kitab-kitab di perpustakaan ini.

xvi
Kemudian beliau melanjutkan perjalanannya dari Khaur
Maksar ke kota Baidha. Beliau disambut oleh Habib Muhammad
al-Haddar yang sangat senang dengan kedatangannya. Sejak
kedatangannya, beliau mengajar murid-murid, siang dan malam.
Kemudian Habib Muhammad al-Haddar menikahkannya
dengan putrinya. Beliau juga mengijazahkan riwayat-riwayatnya.
Habib Zain pun menghadiri pelajaran-pelajaran dan majelis-
majelis umumnya. Beliau menganggapnya sebagai salah seorang
guru terbesarnya meskipun beliau tidak membacakan banyak
kitab kepadanya, sebagaimana kepada guru-gurunya yang lain.
Habib Zain merupakan tangan kanan Habib Muhammad
al-Haddar, dan dimintai bantuannya untuk mengajar karena
Habib Muhammad sering pergi berdakwah, menghadiri majelis-
majelis umum, dan memberikan wejangan-wejangan. Beliau
pun terkadang menggantikan berkhutbah jika gurunya sedang
melakukan perjalanan. Beliau juga menggantikan dalam memberi
jawaban atas permintaan fatwa dalam masalah fiqih.
Habib Zain tinggal di kota Baidha lebih dari 20 tahun
sebagai pelayan ilmu dan para penuntutnya, dan menjadi
mufti dalam mazhab Syafi’i. Banyak yang mengambil manfaat
darinya. Sejumlah siswa yang menonjol, para ulama, dan da’i7
menyelesaikan pelajarannya pada beliau. Bersama beberapa
muridnya, beliau pun suka berdakwah ke banyak desa yang
tersebar di sekitar kota Baidha.
Selama di rubath Baidha, beliau benar-benar berjuang,
beribadah, dan menempa diri dengan kesungguhan dan keseriusan
dalam muthâla’ah (mengkaji) kitab-kitab tafsir, hadits, fiqih,
dan lain-lain, juga membaca kitab-kitab salaf. Beliau memiliki
semangat yang tak kenal jemu dalam mengajar, mendidik murid-
murid, dan membimbing mereka yang kurang pandai.
Beliau memiliki kedudukan tersendiri di sisi Habib
Muhammad al-Haddar. Sehingga bila suatu persoalan ilmiah
diajukan kepada Habib Muhammad dan dijawab oleh Habib

xvii
Zain maka Habib Muhammad mengatakan, “Jika Habib Zain
telah menjawab maka tak perlu lagi ada komentar.” Begitulah
penilaian Habib Muhammad, karena beliau sangat percaya
dengan ilmu Habib Zain.
Di tengah-tengah masa ini, beliau sempat melakukan
beberapa perjalanan di musim haji dan musim-musim ziarah
yang mempertemukan beliau dengan banyak ulama dan orang-
orang saleh, sehingga dapat menimba ilmu dan meminta ijazah
dari mereka.

Bertetangga dengan Rasulullah


Setelah 21 tahun berjuang secara terus-menerus di majelis-
majelis ilmu, da’wah, dan menempuh jalan para salaf, Habib
Zain pindah ke negeri Hijaz. Kemudian beliau diminta untuk
membuka rubath Sayyid Abdurrahman bin Hasan al-Jufri di
Madinah. Maka beliau pun menetap di tempat hijrah datuknya
ini. Beliau berangkat ke Madinah pada bulan Ramadhan tahun
1406 H. Bersama Habib Sâlim bin Abdullah asy-Syâthiri, beliau
mengelola rubath al-Jufri. Mereka berdua melakukan itu dengan
sebaik-baiknya selama 12 tahun. Kemudian Habib Sâlim asy-
Syâthiri pindah ke Tarim untuk mengurus rubath Tarim setelah
dibuka kembali. Sedangkan Habib Zain tetap mengajar dan
memberikan bimbingan di rubath Madinah.
Rubath tersebut didatangi oleh banyak penuntut ilmu
dari berbagai negeri Islam, dan banyak di antara mereka yang
dapat menyelesaikan pelajarannya. Beliau tidak menghilangkan
keinginannya untuk mengambil ilmu dari sejumlah ulama
terkemuka di kota Madinah, meskipun murid beliau banyak
dan terus bertambah, sibuk mengajar dan mendidik, dan
bertambahnya usia. Beliau menimba ilmu ushul dari Syaikh
Muhammad Zaidan asy-Syanqithi al-Maliki, seorang yang sangat
alim dan ahli ushul. Kepadanya beliau membaca at-Tiryaq an-
Nafi’ ‘ala Masail Jam’ul-Jawami’ karya Imam Abu Bakar bin

xviii
Syahab, Maraqi as-Su’ud karya Syarif Abdullah al ‘Alawi asy-
Syanqithi yang merupakan matan lanjutan dalam ilmu ushul.
Beliau juga senantiasa menyibukkan diri dengan al-‘Allamah
an-Nihrîr Ahmaddu bin Muhammad Hamid al-Hasani asy-
Syanqithi salah seorang imam masa itu dalam ilmu bahasa dan
ushuluddin. Kepadanya beliau membaca Syarh al-Qathr, sebagian
Syarh Alfiyyah karya Ibnu ‘Aqil, Idha’ah ad-Dujunnah karya Imam
al-Maqqari dalam aqidah, as-Sullam al-Munauraq karya al-Imam
al-Akhdhari, Îsâghûji karya al-Imam al-Abhari, Itmam ad-Dirayah
li Qurra an-Nuqayah karangan as-Suyuthi, al-Maqshur wa al-
Mamdud dan Lamiyah al-Af’al, keduanya karya Ibnu Malik, jilid
pertama dari kitab Mughni al-Labib karya Ibnu Hisyam, dua
kitab dalam ilmu shorof, Jauhar al-Maknun dalam ilmu balaghah.
Syaikh Ahmaddu memuji Habib Zain karena semangatnya
yang besar dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu. Dan
kebanyakan membaca kepadanya di Masjid Nabawi yang mulia.
Selama masa ini Habib Zain melakukan perjalanan-
perjalanan yang diberkahi ke sejumlah negeri Islam untuk
berdakwah serta menjumpai para ulama dan para wali. Beliau
mengunjungi Syam, Indonesia, sejumlah tempat di Afrika, dan
lain-lain.

Sosok Dirinya
Allah Swt. memberi anugerah kepadanya, yaitu mudah diterima
orang dan kewibawaan dalam penampilannya. Lidahnya tidak
berhenti berzikir kepada Allah. Tasbih hampir tidak pernah
berpisah dengan tangannya. Selalu mengenakan sorban putih,
dan mengenakan sarung dan pakaian sebagaimana kebiasaan
para salaf di Hadramaut.
Habib Zain memiliki pengaturan khusus dalam wirid dan
zikirnya sepanjang siang dan malam, di samping melaksanakan
tugas mengajar. Beliau selalu didapati sedang berzikir kepada
Allah ketika melakukan ibadah malam, dan menunaikan shalat

xix
Subuh di Masjid Nabawi. Beliau berada di sana hingga matahari
terbit, kemudian menuju rubath untuk mengajar. Setelah Asar
diadakan majelis rauhah sampai waktu Magrib tiba. Lalu beliau
melanjutkan mengajar hingga menjelang Isya. Setelah itu, pergi
ke Masjid Nabawi untuk melakukan shalat Isya dan berziarah ke
tempat datuknya yang paling agung, Rasulullah Saw. Habib Zain
senantiasa melakukan itu pagi dan sore selama tinggal di Madinah.
Beliau selalu mengerjakan kegiatan rutin hariannya, baik mengajar
maupun berzikir, kecuali jika sedang dalam perjalanan atau karena
sakit parah. Setelah Isya, beliau mengajar dan mengadakan majelis
di berbagai tempat sesuai dengan harinya.
Semuanya ini dapat berlangsung meskipun beliau tetap
melakukan muthâla’ah dan mudzâkarah, mengajar dan
mendidik murid-muridnya, menemui orang-orang yang datang
berkunjung, melakukan perjalanan dakwah, dan memberi
petunjuk.
Orang-orang cerdik ketika duduk di hadapan penulis,
menyaksikan penulis melempar pandangannya ke atas. Belum
sempat penulis berbicara, pandangannya seakan-akan tertarik
kembali ke atas. Begitulah penulis memiliki kondisi spiritual
yang tinggi yang merupakan ciri orang-orang ‘arif, yang hanya
diketahui oleh para pencintanya yang khusus. Semoga Allah
memberi manfaat kepada kita dan muslimin melaluinya.

Di antara hasil karya tulis beliau:


Penulis biografi ini mengumpulkan beberapa karya tulis yang
bermanfaat pada beberapa macam ilmu. Di antaranya;
1. Al-Manhaj as-Sawiy, Syarh Ushûl Tharîqah as-Sâdah
Âl Bâ ‘Alawi, adalah kitab yang kita baca ini, dan kitab
ini termasuk kitab terpenting di antara karya beliau.
Pembahasan tentang hal ini akan dibahas secara terpisah.
2. Al-Fuyûdhât ar-Rabbâniyyah Min Anfâs as-Sâdah al-
‘Alawiyyah. Kitab ini adalah tafsir maknawi yang tipis,

xx
dan menghimpun ucapan as-Sâdah al-‘Alawiyyin dalam
kumpulan ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Kitab ini
terdiri dari satu jilid, dan telah dicetak.
3. Al-Futûhât al-‘Aliyyah Fi al-Khuthab al-Minbariyyah.
Terdiri dari dua jilid. Kitab ini merangkum ceramah-
ceramah beliau ketika menggantikan al-Habib
Muhammad al-Haddâr di kota al-Baidhâ`. Telah dicetak.
4. Syarh Hadîts Jibrîl yang diberi judul: Hidâyah ath-
Thâlibîn Fi Bayân Muhimmât ad-Dîn. Dalam buku
ini beliau menjelaskan perbincangan antara Jibril dan
Nabi Muhammad Saw. tentang makna Islam, iman, dan
ihsan, lalu menjadikannya sebagai kitab yang ringkas
membahas aqidah, fiqih, dan tasawuf. Telah dicetak.
5. Al-Ajwibah al-Ghâliyah Fi ‘Aqîdah al-Firqah an-Nâjiyah.
Buku ini membantah keyakinan orang-orang yang
menyimpang dalam bentuk tanya jawab. Telah dicetak
berulang kali dan menyebar, serta menjadikan kalangan
khusus dan awam mendapatkan manfaat yang sempurna.
6. Hadâyah az-Zâirîn ilâ Ad‘iyah az-Ziyârah an-Nabawiyyah
wa Masyâhid as-Shâlihîn, merupakan kumpulan doa
para salaf yang diucapkan ketika berziarah Nabi dan
kuburan-kuburan yang terletak di Haramain dan
Hadhramaut. Telah dicetak.
7. Majmu’, dari beberapa manfaat yang bertebaran dalam
hukum, doa, dan adab. Berupa naskah.
8. Kumpulan besar “Fatawâ al-Fiqhiyah” ini dihimpun dan
diatur secara baik oleh murid-murid utamanya.
9. Tsabat Asânîdah wa Syuyûkhah. Berupa naskah.

Pujian Para Ulama


Da’i dan pemikir, Sayyid Abu Bakar bin Ali al-Masyhur dalam
kitabnya Qabasât an-Nur halaman 189, ketika menyebutkan
riwayat hidup Habib Zain, menggambarkannya sebagai seorang

xxi
alim yang faqih. Seorang yang sangat hafal persoalan-persoalan
dalam mazhab Syafi’i, ahli nahu, dan yang terlibat dalam
berbagai ilmu. Seorang arif billah (orang yang mengenal Allah).
Seorang yang mengantar kepada-Nya dengan nasihat-nasihat
dan kelembutan-kelembutan sufi, memiliki penampilan seorang
‘Alawi salafi, dan menjadi rujukan dalam fiqih dan fatwa di negeri
Hijaz.
Seorang yang sangat alim, ahli ilmu kalam, peneliti, dan
musnid (seorang yang banyak sanadnya), Syaikh Muhammad
Namr al-Khathîb yang tinggal di Madinah, dalam ijazahnya
untuk Habib Zain menyebutnya Shahib al-Fadhîlah (seorang
yang memiliki keutamaan), al-‘Allamah adz-Dzâiq (seorang yang
sangat alim lagi peka), ar-Rabbâni al-Fâiq (seorang yang memiliki
derajat makrifat dan yang memiliki kesadaran).
Seorang yang sangat alim dan muhaddits kota Makkah,
Syaikh Abdullah bin Sa’îd al-Lahji al-Hadhrami (wafat 1410),
dalam ijazahnya kepada beliau menulis, “Ijazah dari orang yang
di bawah kepada orang yang paling atas,” dan menyebutnya
sebagai Sayyidi al-‘Alim al-Fâdhil (junjunganku yang alim dan
memiliki keutamaan).
Seorang yang sangat alim dan faqih, Dr. Muhammad Hasan
Hitu menyebutnya as-Sayyid an-Nabîl al-Kâmil (seorang sayyid yang
cerdas dan sempurna) dan al-‘Âlim al-mutawâdhi’ al-‘Âmil (seorang
alim yang rendah hati dan mengamalkan ilmunya). Sedangkan
Sayyid Yusuf ar-Rifa’i al-Kuwaiti dalam ijazahnya, menyebutnya al-
‘Allamah al-‘Âmil, al-Faqîh al-Murabbi (seorang yang sangat alim dan
mengamalkan ilmunya, seorang faqih dan pendidik).
Sedangkan gurunya, Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar
memujinya sebagai as-Sayyid al-‘Allamah ad-Da’i ilallah, asy-Syab an-
Nasyi’ fi Tha’atillah as-Sâlik an-Nâsik al-Mahbub al-Makhthub Sayyidi
wa Dzuhri, wa ‘Umdari wa ‘Uddati (seorang sayyid yang sangat alim,
seorang yang selalu mengajak ke jalan Allah, pemuda yang tumbuh
dalam ibadah kepada Allah, seorang penempuh jalan Allah dan selalu

xxii
beribadah kepada-Nya, seorang yang dicintai, junjunganku dan
bekalku, sandaranku dan kelengkapanku).
Habib yang menjadi teladan, Sayyid Ibrahim bin ‘Aqil
menggambarkannya sebagai seorang Salil al-Akâbir, Jami’
al-Mafâkhir, Zain asy-Syamâil, Rabîb al-Fadhâil, al-Habib al-
Mahbûb, as-Sayyid as-Sanad (keturunan orang-orang besar,
penghimpun sifat-sifat terpuji, seorang yang bagus perangainya,
pemilik sifat-sifat utama, habib yang dicintai, dan sayyid yang
menjadi sandaran). Sedangkan seorang yang menjadi teladan,
Habib ‘Abdulqadir bin Ahmad as-Saqqaf dalam ijazahnya
menyebutnya, ”As-Sayyid al-Abarr, ar-Raghib fima kana ‘alaihi
ahluhu min karim as-Siyar, al-‘Allamah Zain bin Ibrahim (sayyid
yang sangat baik, seorang yang menyenangi sirah yang mulia dari
keluarganya di masa lalu, yang sangat alim, Zain bin Ibrahim)
dan ia termasuk orang yang mengenalku dan aku kenal, seorang
yang mencintaiku dan aku cintai.”8
Meskipun dalam kedudukannya yang terpuji serta
perhatiannya terhadap ibadah kepada Allah dan mengingat hari
kemudian dengan semangat yang tinggi, Habib Zein masih
tetap mengajar, membantu, dan membimbing murid-murid.
Memberikan petunjuk kepada para salik (orang-orang yang
menempuh jalan menuju Allah, pengamal tasawuf ), mendidik
para murid, dan menyusun fatwa masalah-masalah fiqih yang
datang kepadanya dari berbagai negeri. Dari waktu ke waktu,
ia juga melakukan perjalanan dakwah dan mengamati kaum
muslimin serta memberikan ceramah-ceramah agama.
Beliau, semoga Allah memberi manfaat dengannya, sekarang
terhitung dalam kelompok para tokoh terkemuka yang melalui
mereka tersebarlah manfaat. Semoga Allah memeliharanya sebagai
pusaka Islam dan memberikan manfaat kepada kaum muslimin
dengan keberadaannya. Segala puji milik Allah, Tuhan sekalian alam.

xxiii
Catatan Akhir
1. Sumber-sumber riwayat hidupnya adalah Qabasât an-Nur karya al-Habib
Abu Bakar al-Mayhur halaman 189-196, riwayat hidup singkat beliau
yang ditulis oleh putranya, Sayyid Muhammad, dalam mukadimah
kitab al-Fuyudhât ar-Rabbâniyyah min Anfâs as-Sadah al-‘Alawiyyah
karya pengarang halaman 8-9, catatan sanad-sanad dan guru-guru beliau
(tulisan tangan). Selain dari sumber-sumber tersebut, riwayat hidup
beliau diperoleh dari putranya, Sayyid Muhammad bin Zain secara
langsung.
2. Semua Sadah di Hadramaut sekarang adalah keturunan al-Faqîh al-
Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin
Ali Khâli’ Qasam atau dari keturunan ‘Ammul-Faqîh (paman al-Faqîh
al-Muqaddam), yakni Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath. Pengarang
adalah keturunan ‘Ammul-Faqîh sebagaimana tersebut dalam nasab di
atas.
3. Imam Ahmad bin Isa al-Muhâjir (wafat 345 H)
4. Ayahanda pengarang adalah seorang yang saleh dan bertakwa, memiliki
ketenangan, kewibawaan, dan akhlak yang mulia. Di akhir umurnya,
ia menjadi imam di masjid Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas di
Bogor. Di antara yang menunjukkan kecerdasan dan pemahamannya
adalah kepindahannya bersama anak-anaknya—termasuk pengarang—
ketika mereka masih kecil menuju kota Tarim di Hadramaut, karena
mengkhawatirkan fitnah dan kerusakan terhadap mereka. Kemudian ia
kembali ke Indonesia. Beberapa tahun kemudian, mendapatkan beberapa
surat dari anaknya, pengarang kitab ini, yang telah memiliki keunggulan
dalam ilmu dan patut dipuji. Maka ayahnya mengambil surat-surat
tersebut dan meletakkannya di atas kepalanya sambil menangis karena
sangat gembira. Ia tak pernah bertemu dengan anaknya setelah pindah ke
Hadramaut kecuali ketika berjumpa di Tanah Haram, saat menunaikan
haji beberapa tahun setelahnya. Setelah itu, ayahandanya kembali ke
Indonesia dan wafat di kota Bogor.
5. Wafat di Bogor tahun 1373 H. Lihat riwayat hidupnya dalam Idam al-
Qût, karya Ibnu ’Ubaidillah as-Saqqaf.
6. Rauhah adalah majelis di mana seorang syaikh berkumpul dengan
murid-muridnya di luar waktu belajar, biasanya diadakan pada sore hari.
Dalam kesempatan itu, mereka membaca kitab-kitab akhlak, perjalanan,
manaqib, atau adab. Tujuannya adalah bersantai dan bersenang-senang

xxiv
dengan sesuatu yang bermanfaat. Majelis rauhah biasanya diakhiri dengan
nasyid yang indah, kemudian ditutup dengan doa dan pembacaan Surah
al-Fatihah.
7. Sebagian di antara mereka akan disebutkan ketika berbicara tentang
murid-murid pengarang.
8. Semua pernyataan, pengakuan, dan sebagainya, terdapat dalam catatan
sanad-sanadnya dan guru-gurunya.

xxv
Mengenal
Thariqah Sadah Ba ‘Alawi 1

Sejarah Thariqah Sâdah Ba ‘Alawi


dan Para Tokohnya
Nasab para Sâdah Ba ‘Alawi kembali kepada datuk mereka, Alwi
bin ‘Ubaidillah, cucu al-Imam al-Muhâjir, Ahmad bin Isa an-Naqîb,
yakni naqîb (pemimpin) para syarif di Irak, bin Muhammad an-
Naqîb bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far ash-Shâdiq bin Muhammad
al-Bâqir bin Ali Zainal ‘Abidin bin al-Imam al-Husain bin Ali bin
Abu Thalib.
Kehidupan Imam Ahmad al-Muhâjir dijalani di Bashrah. Di
daerah inilah dia tumbuh dan berkembang. Pada saat itu, Ahlulbait
berada di dalam kehormatan dan pemeliharaan. Tetapi para khalifah
Bani ’Abbas yang menjadikan Irak sebagai pusat mulai melemah
kekuasaan. Lalu muncullah gerakan-gerakan dan pemberontakan-
pemberontakan. Sedikit demi sedikit fitnah melanda Irak, yang
paling besar di antaranya adalah hadirnya kaum Qaramithah yang
menyerang Bashrah di awal abad ke-4 H, dan munculnya kelompok
orang-orang Sudan.
Pada situasi yang kacau itu, orang-orang saleh yang menjauhkan
diri dari dunia, tak dapat menghadapinya. Tepatnya pada tahun 317
H, Imam Ahmad bin Isa pun hijrah—yang karena itu beliau digelari
al-Muhâjir—untuk menghindari fitnah-fitnah yang bergelombang.
Beliau meninggalkan Bashrah bersama tujuh puluh orang dari
keluarga dan para pengikutnya. Beliau menempuh jalan menuju
Hijaz agar rombongannya dapat singgah setahun di Madinah.
Setelah itu, menuju Tanah Haram Makkah pada tahun ketika kaum
Qaramithah memasuki kota ini dan merampas Hajar Aswad.
Kemudian Imam Ahmad al-Muhâjir keluar dari Makkah
melalui padang sahara menuju ’Asîr lalu ke Yaman. Lalu takdir
membawa mereka ke Lembah Hadramaut, lembah terpencil dengan
sedikit kekayaan, yang sebagian besar daerahnya saat itu dikuasai
oleh kaum Khawarij Ibadhiyah.

***

Imam al-Muhâjir pertama kali singgah di negeri Hajrain. Setelah itu


pindah ke Kindah, dan akhirnya menetap di Husayyisah. Karena
suatu hikmah mendalam dan faktor-faktor penyebab yang Allah
siapkan, masa kekuasaan mazhab Ibadhiyah tidak berlangsung
lama. Setelah terjadi adu argumentasi antara mereka dan al-Muhâjir
dan pengikutnya serta orang-orang yang menolong dan bergabung
dengan mereka dari pengikut Ahlussunnah di sana, maka sebagian
besar lembah ini dapat dibersihkan dari kejahatan kaum Khawarij
dan para pengikutnya. Setelah itu Ahlussunnah mengakar di sini dan
orang-orang pun menganut mazhab mereka.2
Imam Muhâjir mempunyai anak bernama ‘Ubaidillah, yang
kemudian mendapatkan tiga orang anak, Bashri, Jadid, dan Alwi.
Kepada Alwi inilah keturunan para Sadah Ba ‘Alawi bernasab
sebagaimana telah disebutkan di atas. Sedangkan keturunan kedua
saudaranya habis bersamaan dengan berakhirnya abad keenam
Hijriah.3
Beberapa lama setelah al-Muhâjir wafat, keturunannya pindah
ke kota Tarim yang dinamai dengan nama raja yang membangunnya,
yaitu Tarim bin Hadramaut.4 Mereka menetap di sana pada tahun
521 H. Keturunan al-Muhâjir yang pertama mendiami kota ini
adalah al-Imam Ali bin Alwi, yang dikenal sebagai Khali` Qasam
dan saudaranya, Sâlim, serta mereka yang segenerasi dengan
keduanya dari keturunan Bashri dan Jadid yang ada pada saat
itu.5
Maka Tarim pun yang dijuluki al-Ghanna menjadi tempat
tinggal keturunan yang mulia ini. Lalu muncullah di sana
ma`had-ma`had kebajikan dan banyak pula terdapat masjid.
Di samping itu, kota ini menjadi mulia karena terdapat jasad
sejumlah sahabat mulia yang meninggal di sana, saat memerangi
orang-orang murtad.

***

Sumber-sumber sejarah tidak memberikan data yang rinci tentang


periode pertama kaum ‘Alawiyyin. Informasi sejarah lebih banyak
dimulai sejak periode dua anak Imam Muhammad bin Ali, yang
dikenal sebagai Shahib Mirbath6, yaitu Ali (ayah dari al-Faqîh al-
Muqaddam) dan Alwi (yang dikenal sebagai paman dari al-Faqîh
al-Muqaddam), dan periode sesudahnya. Kepada kedua orang inilah
kembalinya nasab semua keluarga Ba ‘Alawi di masa sekarang ini.
Peletak pondasi sebenarnya pada bangunan thariqah ini
adalah al-Imam Muhammad bin Ali Ba ’Alawi yang digelari
dengan al-Faqîh al-Muqaddam yang lahir di Tarim pada tahun
574 H dan wafat di sana pada tahun 653 H. Yang diterima oleh
beliau—meskipun dari jauh—dari seorang ‘Arif Billah, Syaikh
Abu Madyan al-Maghribi, yang dikenal dengan gelar al-Ghauts
melalui perantara beberapa pengikut Abu Madyan yang sampai
ke Makkah. Imam Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqîh yang
dikenal sebagai ‘Allamah ad-Dunya (wafat tahun 1162 H)
mengatakan, “Asal Thariqah Sadah Ba ’Alawi adalah Thariqah
Madyaniyyah, yaitu thariqah Syaikh Abu Madyan Syu‘aib
al-Maghribi. Sedangkan quthub dan inti hakikatnya adalah
asy-Syaikh al-Faqîh al-Imam Muhammad bin Ali Ba ‘Alawi al-
Husaini al-Hadhrami. Thariqah ini diterima oleh para pemimpin

xxviii
dari para pemimpin yang mendahuluinya dan diwariskan kepada
orang-orang besar yang memiliki maqâmât dan ahwâl.”7

***

Setelah masa al-Faqîh al-Muqaddam, di tangan keturunannya


thariqah ini tetap mengikuti sistem dan cara beliau. Tetapi
karena Thariqah ‘Alawiyah merupakan jalan yang mementingkan
tahqiq (pendalaman), rasa, dan rahasia, cenderung bersikap
khumul (menutup diri) dan merahasiakan, maka mereka tidak
membuat suatu karangan tentang itu. Periode pertama ini
berlangsung demikian hingga zaman al-‘Aydarus (wafat 864 H)
dan saudaranya, asy-Syaikh Ali (wafat 892 H). Ketika itu wilayah
penyebarannya semakin meluas sehingga dibutuhkan suatu
karangan. Maka muncullah karangan-karangan—mengenai adab
thariqah ini dan petunjuk-petunjuk untuk menjalaninya—yang
menenangkan hati dan menyenangkan jiwa, seperti al-Kibrit al-
Ahmar, al-Juz al-Lathîf, al-Ma’ârij, al-Barqah8, dan sebagainya.9
Lalu muncullah di antara para pemuka thariqah ini orang-
orang yang memiliki keunggulan dalam kecerdasan serta dalam
ilmu dan amal dibandingkan teman-teman seangkatan dan
orang-orang yang lebih dulu dari mereka. Sebagian mereka
bahkan telah mencapai derajat seorang mujtahid dalam fiqih.
Sedangkan sebagian yang lain, muncul keajaiban-keajaiban
kewalian yang dapat menyamai orang-orang di masa lalu, seperti
asy-Syaikh al-Quthb Abdurrahman as-Saqqâf (wafat 819 H)
yang dijuluki al-Muqaddam ats-Tsâni (al-Muqaddam kedua)
dan anaknya al-Imam al-Ghauts Umar al-Muhdhar (wafat 833
H), juga al-Quthb Abdullah bin Abu Bakar al-‘Aydarus (wafat
865 H) dan anaknya Abu Bakar al-‘Adni (wafat 914 H) yang
dimakamkan di ‘Adan, asy-Syaikh Abu Bakar bin Sâlim yang
dikenal dengan Fakhrul-Wujûd (wafat 992 H), asy-Syaikh al-
Imam Umar bin Abdurrahman al-Attas (wafat 1072 H), dan

xxix
tokoh-tokoh terkemuka lainnya. Sehingga thariqah ini sampai
kepada pembaharu menaranya dan penyebar cahayanya, al-
Imam Syaikh al-Islam Quthb ad-Da’wah wa al-Irsyad Abdullah
bin Alwi al-Haddad (1132 H).
Di tangan al-Imam al-Haddad, thariqah ini mengambil metode
baru yang dinamainya Thariqah Ahl al-Yamîn. Beliau berpandangan
bahwa yang paling sesuai dengan orang-orang di masa itu, yang
paling dekat dengan keadaan mereka, dan yang paling mudah untuk
menarik mereka menuju ketaatan adalah menghidupkan kehidupan
keimanan mereka, yang dengan perannya dapat menyiapkan
mereka untuk meningkat kepada tangga ihsan. Buah dari metode
ini merupakan buah terbaik dalam dakwah, dan perbaikan kondisi
keagamaan manusia pada umumnya. Thariqah ini tersebar sangat
luas di berbagai wilayah dan tetap mengambil metode pilihan ini
untuk dakwah umum sampai sekarang.
Al-Imam Abdullah al-Haddad telah memberikan pengaruh
yang sangat penting. Wirid-wirid, ucapan-ucapan, pesan-pesan,
dan syair-syairnya terus dituturkan oleh lisan kaum muslimin di
negeri-negeri Afrika: Guinea dan Tanzania, atau Asia: Indonesia,
Malaysia, Singapura, bahkan di Eropa, terlebih lagi di negeri-
negeri Arab. Hal itu terjadi berkat pengorbanannya dalam
menyebarkan ilmu dan dakwah, dengan ucapan dan penanya
yang lancar dalam karangan-karangannya yang dipandang telah
mencakup ringkasan dari kitab orang-orang di masa lalu, seperti
al-Ihya. Juga dengan mewujudkan teladan yang sempurna pada
dirinya, wirid-wiridnya yang diberkahi, serta para ulama dan
orang-orang saleh yang telah berhasil melalui didikannya, yang
mereka itu menempuh metode gurunya.10

***

Setelah al-Imam al-Haddad, maka dakwah yang sesuai dengan


metodenya, kemudian diemban oleh para imam besar dan

xxx
para da’i terkemuka dari murid-murid terbaik beliau, seperti
al-Imam al-Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi (wafat 1144 H),
al-Imam Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqîh (wafat 1162 H)
yang digelari ‘Allamah ad-Dunya, dan al-Imam Muhammad bin
Zain bin Sumaith (wafat 1172 H). Anak-anak Habib Abdullah
al-Haddad sendiri merupakan bukti didikan ayah mereka.

***

Periode al-Haddad dan murid-muridnya kemudian berlanjut


kepada periode yang menonjol dalam penyebaran dakwah dan
memiliki kelebihan dengan pengaruhnya yang besar di tengah-
tengah kaum muslimin, yaitu seorang imam dan wali besar,
Habib Umar bin Saqqâf as-Saqqâf yang dijuluki Syaikh al-Aqthâb
dan murid-muridnya, yaitu para imam, Habib Ahmad bin Umar
bin Sumaith (1257 H), Habib Abdullah bin Husain bin Thâhir
(1272), pengarang al-Majmu’ ath-Thâhiri, dan saudaranya Habib
Thâhir bin Husain bin Thâhir (wafat 1241 H), Habib Hasan
bin Shâlih al-Bahr al-Jufri (wafat 1273 H), dan Habib Abdullah
bin Umar bin Yahya (wafat 1265 H). Murid paling terkenal
dari tingkatan ini adalah al-Muhaddits al-‘Allamah (seorang ahli
hadits dan sangat alim) Habib Idrus bin Umar al-Habsyi (wafat
1314 H), pengarang kitab langka, ‘Iqd al-Yawâqât al-Jauhariyyah
yang di dalamnya dihimpun sanad-sanad para Sadah Ba ‘Alawi.
Dengan demikian, beliau telah memberikan pengabdian yang
sangat besar kepada kaumnya karena sedikitnya perhatian kepada
hadits dan ‘ulûmul-hadits di daerah itu.
Tampaknya yang paling menonjol di antara para tokoh
Ba ‘Alawi setelah periode ini adalah tiga orang imam. Pertama,
Mufti Hadramaut al-Imam Abdurrahman bin Muhammad al-
Masyhur (wafat 1320 H), pengarang Bugyah al-Mustarsyidîn dan
lain-lain. Kemudian tokoh mutaakhir yang langka, al-‘Allamah
al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas (wafat 1334 H) yang

xxxi
memiliki popularitas yang tinggi di lingkungan ilmiah di luar
Hadramaut, seperti Mesir, Syam, dan Hijaz. Dan yang ketiga,
yang tersisa dari para salaf, beliau meninggikan panji kecintaan
kepada Nabi Muhammad Saw., al-Habib Ali bin Muhammad
al-Habsyi (wafat 1333 H). Karya-karya yang ditinggalkannya
dalam sastra dan tasawuf sangat besar. Semoga Allah meridhai
mereka semua.
Kemudian tingkatan ini digantikan oleh beberapa tokoh, seperti
Syaikh al-Islam al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syâthiri (1361 H),
pendiri Rubath Tarim. Dan tokoh kebangkitan ilmiah di masanya,
al-’Arifbillah al-Habib Alwi bin Abdullah bin Shihabuddin (wafat
1386 H), al-‘Allamah al-Habib Sâlim bin Hafîzh (wafat 1378 H).
Serta seorang da’i besar dan pengembara yang dikenal, al-‘Allamah
al-Habib Umar bin Ahmad bin Sumaith (wafat 1397 H) yang
mengambil ilmu dari para tokoh pada periode ini dan periode
sebelumnya. Murid-muridnya menjadi imam dan da’i terkemuka
di masa kita sekarang, seperti Habib Abdul Qadir bin Ahmad
As-Saqqâf, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad, Habib
Abu Bakar Aththas al-Habsyi, Habib Muhammad bin Abdullah al-
Haddar, Habib Muhammad bin Sâlim bin Hafîzh, Habib Ibrahim
bin Umar bin ‘Aqil bin Yahya, dan sebagainya.11
Masing-masing tokoh di masa lalu memiliki peninggalan
ilmiah dan sastra yang tak dapat disebutkan di sini. Sesungguhnya
pembicaraan tentang para tokoh Thariqah ‘Alawiyah adalah
mencakup bidang yang sangat luas. Masing-masing memiliki
peninggalan dan manaqib yang telah disusun dalam karangan-
karangan tersendiri. Setiap kali Anda tenggelam dalam lautan salah
satu dari mereka, maka hal itu akan membuat Anda lupa dengan
yang lain.

Metode Keilmuan
Mazhab fiqih yang dianut oleh para Sadah Ba ‘Alawi adalah mazhab
Imam Syafi’i yang ditakdirkan berkembang di Yaman sejak awal.

xxxii
Ahli sejarah, Syamsuddin as-Sakhawi mengatakan, “Yaman adalah
suatu negeri yang luas, mencakup Tihamah dan Nejd serta memiliki
kota-kota, kampung-kampung, lembah-lembah, dan pegunungan-
pegunungan. Para ulama telah banyak di sini sejak masa sahabat,
para imam banyak yang pergi ke negeri ini. Bahkan pada setiap masa,
ilmu terus bertambah di negeri ini. Ketika mazhab Syafi’i muncul
dan terkenal di sini, mereka pun menganutnya. Itu terjadi pada
abad ketiga sebagaimana yang disebutkan oleh al-Janadi, kemudian
menjadi banyak, terutama di negara-negara Ayubiyah dan sesudahnya
sampai sekarang.”12
Imam Ahmad al-Muhâjir memiliki peran yang menonjol
dalam penyebaran mazhab Syafi’i di Hadramaut, sebelum
menyebar ke seluruh Yaman pada masa itu. Dari Tarikh
Bamakhramah,13 dapat dipahami bahwa penyebaran mazhab
Syafi’i di Yaman adalah pada tahun 340 H dan sesudahnya, maka
penyebarannya di Hadramaut melalui Imam al-Muhâjir adalah
sebelum itu.14
Peranan para Sadah Ba ‘Alawi dan para ulama Hadramaut yang
lain bukan hanya dalam bermazhab dengan mazhab Syafi’i, melainkan
sangat berperan dalam menghidupkan dan menyebarkannya, juga
dalam menulis dan mengarang kitab tentang mazhab ini secara
panjang lebar. Dimulai dengan al-Imam Abdullah bin Abdurrahman
Ba ‘Ubaid (wafat 603 H), al-Faqih al-Muqaddam sendiri, Imam
Muhammad bin Sa’id Bu Syukail (wafat setelah 700 H) sampai para
fuqaha dari keluarga Bafadhal dan Bamakhramah. Juga al-‘Allamah
Abdurrahman bin Mazru’, fuqaha dari keluarga Ba Qusyair dan
keluarga as-Saqqaf, serta para imam berikut, Imam Sa’id Ba’syin,
Imam Abdullah Basaudan, Imam Abdurrahman al-Masyhur, dan
banyak lagi yang lain dari para mufti dan para pengarang. Terlebih
lagi yang muncul dari ma’had-ma’had, rubath-rubath, dan madrasah-
madrasah yang banyak. Juga atas apa yang mereka sebarkan dalam
mengikuti, mempelajari, dan mengajarkan mazhab ini di berbagai
pelosok, seperti Asia Timur, Afrika, India, dan sebagainya. Hingga

xxxiii
kini Hadramaut masih meluluskan para fuqaha yang cakap dalam
mazhab ini. Bahkan, pada saat ini dipandang sebagai satu-satunya
negeri yang masih mengajarkan mazhab ini sesuai prinsip-prinsip,
kekuatan, dan semangatnya.

***

Adapun mazhab Sadah Ba ‘Alawi dalam aqidah adalah mazhab


Sunni Asy‘ari. Dan itu terjadi setelah mapannya mazhab
Ahlussunnah di Hadramaut, setelah lenyapnya kekuasaan
Ibadhiyah dari sana sebagaimana yang telah disebutkan.
Jadi keluarga Ba ‘Alawi, sejak awal pertumbuhan mereka,
memegang mazhab Asy‘ari dalam aqidah dan mazhab Syafi’i
dalam furu’. Itulah yang dianut oleh sandaran mereka, yaitu al-
Imam Hujjatul-Islam Abu Hamid al-Ghazali. Al-Imam al-Haddad
mengatakan dalam qashidah râiyah-nya (yang diakhiri dengan
huruf ra) yang terkenal,
Jadilah seorang Asy‘ari dalam aqidahmu
karena ia sumber yang bersih dari penyimpangan dan kekufuran
Imam sandaran kita tlah menyusun aqidahnya
dan itulah penyembuh dari bahaya
Yang kumaksud dengannya adalah, yang selainnya tak digelari
dengan Hujjatul Islam, betapa bangganya engkau

Di antara anugerah keilmuan yang lain dalam metode Sadah


Ba ’Alawi adalah mereka mengajarkan ilmu-ilmu keislaman
dan terus melakukan itu sepanjang perjalanan sejarah mereka.
Ma`had-ma`had dan rubath-rubath mereka, sejak bertahun-
tahun yang lalu sampai sekarang, senantiasa memelihara metode
dalam mengajarkan ilmu-ilmu yang disertai dengan metode
pendidikan (metode tarbawi) dalam penyucian diri. Kedua
metode tersebut menghasilkan beberapa alumni setelah belajar
beberapa tahun dan setelah sempurna kemampuan keilmuan

xxxiv
mereka. Maka sempurnalah kemampuan ilmiah mereka dan
menjadi kokohlah kepribadian keimanan mereka. Sehingga
kemudian mereka dapat memberi manfaat dan melanjutkan
perjalanan bersama generasi para pelajar berikutnya.

***

Di antara gambaran kecenderungan mereka kepada ilmu adalah


perhatian mereka pada tulis-menulis dan mengarang dalam
berbagai disiplin ilmu yang berbeda, seperti fiqih, hadits, tasawuf,
sirah, tarikh, biografi, dan sebagainya. Juga pencatatan yang
dinamis terhadap pengetahuan dan ilmu dari ucapan para imam
dan orang saleh dari kalangan mereka. Di hadapan kita sekarang,
terdapat banyak peninggalan dari karangan-karangan berharga
dan manuskrip-manuskrip langka yang banyak, di antaranya
masih terkunci dalam tempat penyimpanan.15

Petunjuk-Petunjuk Rohani
Thariqah Sadah Ba ’Alawi sependapat dengan thariqah sufi
yang lain dalam metode rohaninya yang umum. Hanya saja,
ia memiliki keistimewaan dengan sifat salafiyahnya yang
nyata. Yaitu mengikuti segala yang ditempuh para tokohnya
di masa-masa awal, dan menekankan pada pengamalan ilmu
yang merupakan tiang utamanya. Karena itu, perhatian mereka
terhadap ilmu fiqih lebih besar dibanding ilmu-ilmu lainnya.
Mereka juga menyibukkan diri dengan adab dan akhlak al-
Ghazali dan terdidik dengannya. Meskipun demikian, mereka
mengutamakan khumul dan suka menyembunyikan diri.
Secara umum, thariqah ini adalah sebagaimana yang
digambarkan oleh al-Imam al-Habib Thâhir bin Husain bin
Thâhir Ba ’Alawi (wafat tahun 1241 H), dalam sebuah karya
yang ditulisnya dalam mengenalkan thariqah ini sebagai berikut,
“Mengokohkan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah—yaitu para

xxxv
pendahulu umat yang saleh dari kalangan sahabat, tabi’in, dan
tabi’it tabi’in—, mengenal hukum-hukum wajib, mengikuti jejak
langkah dalam segala hal ihwal Nabi Saw. sebagaimana telah
diberitakan, dan berpegang pada adab syar’i, yaitu tata cara yang
dianut oleh keluarga Ba ’Alawi, dari generasi ke generasi sampai
kepada Nabi Saw.”16
Dengan ungkapan yang lebih khusus, al-Imam Abdurrahman
bin Abdullah Bilfaqîh, mengatakan, “Salah satu thariqah sufi yang
dasarnya adalah Kitabullah dan sunnah Rasulullah, induknya
adalah penyaksian bahwa segala anugerah berasal dari Allah
(syuhûdul minnah), yaitu mengikuti nash dengan cara pandang
khusus dan memurnikan pokok (ushûl) untuk mendekati
pencapaian makrifat (wushûl). Secara lahiriah, thariqah ini
adalah ilmu-ilmu agama dan amal perbuatan, secara batiniah
adalah mewujudkan maqamat (kedudukan spiritual) dan ahwal
(keadaan spiritual), dan secara adab adalah menjaga rahasia dan
cemburu (ghirah) bila rahasia terbongkar.”17
Di antara ucapan al-’Allamah al-Habib Abdullah bin Umar
bin Yahya mengenai thariqah ini adalah, “Kesimpulannya, thariqah
ini adalah membagi waktu dengan amal-amal saleh disertai
kesempurnaan dalam meneladani pemimpin dari para pemimpin
(yakni Rasulullah), dan membenarkannya dengan kesucian dari
kotoran dan penyakit, menyucikan hati dari semua akhlak yang
rendah dan menghiasinya dengan semua akhlak yang luhur,
mengasihi dan menyayangi hamba-hamba Allah, mencurahkan
segala kemampuan dalam mengajari dan memberi petunjuk
kepada mereka sesuatu yang mengandung keselamatan, bersikap
wara’ (hati-hati) dari yang haram dan syubhat, membatasi diri dari
yang mubah dan segala nafsu, dan memanfaatkan waktu dalam
umur dengan ber-’uzlah (menyendiri dari makhluk). Maka mereka
tidak bergaul dengan manusia kecuali untuk belajar dan mengajar,
menghadiri Jumat dan jemaah, mengunjungi kerabat, mengadakan
pembahasan ilmu dalam setiap kunjungannya, menyambung

xxxvi
hubungan kekerabatan dan persaudaraan, melakukan perbuatan
baik terhadap setiap orang, dan bermuamalah dengan baik.
Melakukan amar ma’ruf nahi munkar, menolong orang yang
kesulitan, dengan tetap menjaga diri, tawadhu’, dan selalu sadar
atas penyaksian Khaliq, memenuhi janji, zuhud, dan tawakal
kepada Allah.”18
Itulah beberapa petunjuk dan cakrawala rohani dari thariqah
ini. Hal itu dijelaskan secara rinci dalam kitab al-Ihya, karya
al-Imam al-Ghazali serta dalam ucapan para Sadah ’Alawiyin
dan karangan mereka, khususnya al-Imam Abdullah bin Alwi
al-Haddad.
Meskipun terdapat thariqah-thariqah sufi yang lain di Yaman,
seperti Syadziliyah dan Qadiriyah yang juga tersebar di sana
selama beberapa masa dan dianut oleh sejumlah tokoh, Thariqah
Ba ‘Alawi adalah yang dominan di wilayah itu dan tersebar luas
di berbagai negeri. Hal itu karena thariqah ini memiliki petunjuk
yang jelas, jauh dari metode pendidikan menggunakan istilah
dan rumus yang khusus. Sehingga mudah dicerna oleh awam
dan sangat besar pengaruhnya pada mereka. Sebab, tingkatan
pertama merupakan aktivitas keimanan yang kuat yang cocok
untuk kalangan awam maupun kalangan khusus. Sedangkan
pada puncaknya merupakan perilaku dan ilmu-ilmu batin yang
memiliki pengaruh pada kalangan khusus.
Thariqah Ba ’Alawi merangkul thariqah-thariqah yang
lain, beradab dengannya, dan tidak mengingkarinya, bahkan
mengambil makna-maknanya. Sehingga, para imam muhaqqiq
mereka menyatakan dengan jelas bahwa Thariqah Ba ’Alawi pada
lahiriahnya mengikuti al-Ghazali dan batiniahnya mengikuti asy-
Syadzili. Al-Imam Abdurrahman Bilfaqîh mengatakan, “Secara
lahiriah seperti yang dijelaskan oleh al-Imam al-Ghazali berupa
ilmu dan amal menurut cara yang bijak. Sedangkan secara
batiniah sebagaimana yang diterangkan oleh Thariqah Syadziliah,
yaitu tahqiq al-haqiqah wa tajrid at-tauhid.19 Mujahadah mereka

xxxvii
yang paling besar adalah bersungguh-sunguh dalam menyucikan
hati, menyiapkan diri untuk menerima limpahan-limpahan
kedekatan pada jalan petunjuk, dan mendekatkan diri kepada
Allah Swt. dengan setiap pendekatan dalam persahabatan dengan
orang-orang yang mendapat petunjuk.”20
Thariqah Sâdah Ba ’Alawi memiliki keistimewaan dengan
menjauhkan diri dari penampilan yang berlebihan sebagaimana
yang terdapat pada sebagian thariqah tasawuf. Karena inti
Thariqah ’Alawiyah adalah mewujudkan makna suluk batin—
seperti ikhlas, tawakal, zuhud, perhatian terhadap akhirat,
dan sebagainya—, memegang adab yang diajarkan al-Ghazali,
dan senantiasa menuntut ilmu dan mengamalkannya dalam
kondisi-kondisi yang nyata dengan tidak membawanya kepada
formalitas atau penampilan yang kosong dari makna. Para Sadah
Ba ’Alawi telah menjelaskan metode thariqah ini dengan makna
yang sesungguhnya sebagai jalan menuju akhirat dan jalan untuk
menghidupkan makna-makna ketuhanan pada umat.
***

Di antara yang patut untuk ditunjukkan adalah bahwa


pembicaraan kita tentang Thariqah Sâdah Ba ’Alawi dan
penisbahannya, tidak berarti bahwa thariqah ini terbatas pada
mereka dan khusus untuk keluarga mereka saja. Melainkan
semua orang Hadramaut, bahkan orang-orang Yaman lainnya
telah bergabung ke dalamnya, karena mereka telah menyaksikan
dengan nyata kelebihan-kelebihannya, dan karena thariqah ini
menjadikan ilmu dan dakwah ke jalan Allah sebagai metodenya.
Banyak nama keluarga Hadramaut, yang bukan dari kalangan
Ba ’Alawi, berada pada tingkat atas thariqah ini, seperti keluarga
al-’Amûdi, Ba ’Abbâd, Ba Jammâl, Bâfadhal, Ba Dzîb, Bin ’Afif,
dan banyak lagi yang lainnya. Mereka mengambil dari para
Sâdah, dan para Sâdah mengambil dari mereka. Keseluruhan
lembah yang luas ini telah penuh dengan Thariqah ‘Alawiyah.

xxxviii
Penduduknya telah membawa adabnya, menguatkan akhlak
mereka dengannya, dan mendirikan bangunan dunia mereka
berdasarkan pengajaran ketuhanan ini.

Thariqah Sâdah Ba ’Alawi dan Dakwah di Jalan Allah


Thariqah ’Alawiyah—di samping sebagai metode dalam tarbiyah
(pengajaran) dan suluk—juga merupakan penyebab tersebarnya
Islam dan masuknya orang-orang ke dalam Islam secara
berbondong-bondong pada wilayah geografis yang luas. Melalui
India menuju Malaysia, Burma, Indonesia, Filipina, Sri Lanka,
begitu pula Asia Tenggara, Pantai Timur Afrika, dan sebagainya.21
Para Sâdah ’Alawiyin, dalam perdagangan mereka, melintasi
laut menuju negeri-negeri itu merupakan teladan yang sempurna
dari seorang muslim yang saleh, alim, dan mengamalkan ilmunya.
Mereka dapat menarik hati manusia dengan akhlak dan ilmunya.
Sehingga mereka merupakan gambaran nyata dari kepribadian
seorang muslim yang sempurna dalam hal agama dan dunia.
Ahli sejarah al-’Allamah Sayyid Muhammad bin Abdurrahman
bin Syihab mengatakan, “Orang-orang Arab Hadramaut, terutama
para Sâdah ’Alawiyin, sering pulang-pergi ke Malibar, Gujarat,
Kalkuta, dan negeri-negeri India lain. Di sana mereka memiliki
pusat-pusat perdagangan dan keagamaan. Banyak kaum ’Alawiyin,
yang memiliki rubath-rubath yang terbuka bagi para penuntut
ilmu. Kapal-kapal mereka pergi dari pantai Hadramaut menuju
Malibar, kemudian bergerak ke sebelah timur di pantai India, dan
dari sana menuju Sumatera, Aceh, Palembang, lalu ke Jawa. Di
dalam kitab al-Masyra`22 disebutkan riwayat hidup sebagian Sâdah
’Alawiyin yang telah masuk ke Jawa jauh sebelum orang-orang
Belanda ke negeri ini dan ke Aceh sejak tiga setengah abad lalu.”23
Mengenai masuknya orang-orang Hadramaut dari kalangan
Sâdah ’Alawiyin dan lainnya ke Jawa, yang merupakan negeri
terbesar yang tampak pengaruhnya, Amir Syakib Arsalan dalam
makalahnya berjudul Islam di Jawa dan Sekitarnya mengatakan,

xxxix
“Telah dimaklumi bahwa orang-orang Hadramaut adalah
penduduk dunia yang paling berani melakukan perjalanan.
Kemiskinan negeri mereka dan keinginan yang keras telah
membawa mereka mengarungi alam ini. Sebagian besar tersebar
di Pulau Jawa.
Pemerintah Belanda sangat memperhitungkan mereka
dan mempersulit perpindahan mereka ke negeri itu, karena
khawatir akan menyebarkan dakwah Islam atau khawatir mereka
mengingatkan para penduduknya yang lugu tentang hal-hal yang
hanya dapat diingatkan oleh orang-orang Hadramaut. Maka
Pemerintah Belanda menghalangi kedatangan mereka di negeri
itu, dan mengawasi gerak-gerik mereka dengan alasan bahwa
kebanyakan orang Hadramaut adalah para tunawisma yang datang
ke Jawa tanpa membawa modal apa-apa. Selain itu, Pemerintah
Belanda mencegah orang-orang non-Muslim memasuki
Hadramaut. Maka mereka pun (yakni orang-orang Hadramaut)
tidak berhak menuntut masuk ke negeri jajahan Belanda, karena
Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan sekitarnya, adalah milik
Belanda dan mereka lebih berhak daripada penduduknya!”
Amir Syakib melanjutkan, “Karena itulah, orang-orang
Hadramaut dan orang-orang Arab lainnya dipersulit dalam
masalah imigrasi ke daerah-daerah jajahan Belanda, sebagaimana
yang mereka katakan. Namun tetap saja banyak orang Hadramaut
yang dapat memasuki dan mendiami daerah-daerah itu dan
menjadi penduduknya. Akibatnya, pemerintah Belanda—
yang sejak awal tidak suka dengan keberadaan orang-orang
Hadramaut di tengah-tengah kaum Muslimin pribumi, karena
khawatir kearifan mereka dapat menghilangkan keluguan kaum
pribumi dan akan menyadarkan dari kelalaian yang merupakan
makanan empuk bagi penjajah—mempersulit orang-orang
Hadramaut setiap saat, selalu menyusahkan kehidupan mereka,
dan melakukan apa saja agar mereka meninggalkan negeri itu.”24
***

xl
Itulah gambaran kesulitan dan penderitaan yang banyak
dihadapi para Sâdah Ba ‘Alawi dalam perjalanan mereka.
Dengan tidak bermaksud menyebutkan rincian kejadian-
kejadian itu, kami ingin menjelaskan perjalanan itu secara global
dengan mengatakan, “Para Sâdah ‘Alawiyin terus melakukan
perjalanan-perjalanan mereka dan menetap di tempat-tempat
itu. Peninggalan-peninggalan mereka tersebar, adab-adab mereka
mendominasi, dan peradaban mereka tertanam kuat sehingga
mereka memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan
rakyatnya.”
Pengaruhnya di negeri-negeri itu tidak hanya pada para
penduduknya, melainkan sampai pada dasar negeri dan para raja dan
keluarganya. Semuanya mengikuti mazhab dan thariqah mereka.
Mereka merupakan tokoh-tokoh agama dan negara. Ahli sejarah
Sayyid Muhammad bin Shahab mengatakan, “Di Aceh terdapat
kuburan yang mencakup banyak Sâdah ’Alawiyin. Sebagian di antara
mereka memegang kesultanan-kesultanan di negeri ini. Hal ini
dikenal di kalangan penduduk setempat... Di India berdiri kerajaan-
kerajaan yang di antara pendirinya adalah kalangan Sâdah ’Alawiyin,
misalnya Kerajaan Raja Ambar. Di antara faktor-faktor yang sangat
penting dalam pendirian kerajaan adalah petunjuk dari Habib Ali bin
Alwi bin Muhammad al-Haddad... Dan Raja Jauhar Saharti tidak lain
adalah murid Syaikh bin Abdullah al-’Aydarus. Karena itu, ketika raja
wafat, para Sadah memberi perhatian dan menyelenggarakan upacara
pemakamannya. Raja tersebut memiliki wawasan yang luas. Mereka
memakamkannya di pemakaman para Sâdah dan orang-orang Arab
di bawah kota Bijapur.”25
“Di Timur Jauh, Afrika Timur, Hijaz, dan lain-lain, mereka
mendirikan kerajaan-kerajaan yang terkenal yang masih terdapat
peninggalannya sampai sekarang. Seperti kerajaan keluarga
al-‘Aydarus di Surrat, kerajaan keluarga al-Qadri dan keluarga
Syaikh Abu Bakar bin Sâlim di Kepulauan Komoro, kerajaan
keluarga Bin Syihab di Siak, Kesultanan keluarga al-Qadri di

xli
Pontianak, keluarga Bafaqîh di Filipina, masing-masing dari
kerajaan ini memiliki sejarah yang rinci.”26
Ahli sejarah yang lain mengatakan, “Sultan Kepulauan
Madagaskar ketika itu memiliki hubungan yang sangat erat
dengan orang-orang Arab Zanjibar dan Afrika Timur, begitu juga
sultan-sultan Kepulauan Komoro. Mereka adalah dari keluarga
‘Alawiyyin Husainiyin dari keluarga Jamâlullail, keluarga Syaikh,
keluarga al-Qadri, dan lain-lain.27
Ahli sejarah Sayyid Ibnu Syihab mengatakan, “Pembahasan
ini tidak akan memuat panjang lebar dan menjelaskan satu per
satu berkenaan dengan para tokoh mereka yang masuk ke India.
Sedangkan tentang para tokoh terkemuka Sadah ‘Alawiyin lain
nya, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Malaka, dan
Kepulauan Timor, dapat dibahas secara panjang lebar, dan pada
umumnya nasab-nasab mereka masih terpelihara.28 29
Adapun di benua Afrika, para Sadah Ba ‘Alawi hingga kini
memiliki pengaruh besar yang tak dapat dibicarakan dalam
lembaran-lembaran yang singkat ini.30
Sebagai tambahan penjelasan, para Sadah ‘Alawiyin di
negeri mereka dan berbagai daerah sekitarnya, telah tersebar
dan memiliki pengaruh yang besar melalui dakwah dan
perdagangan. Mereka juga turut berpartisipasi dalam kegiatan
politik di berbagai daerah.31 Namun mereka memiliki ciri yang
paling dominan, yaitu pengabdian dengan ilmu dan dakwah di
kebanyakan daerah dan wilayah.

***

Kaum ’Alawiyin dalam perjalanannya telah menghadapi berbagai


bahaya, tetapi kerasnya keinginan mereka di negerinya dan negeri-
negeri lain telah membuahkan kebangkitan agama dan keilmuan.
Dalam dakwah dan perjuangan, mereka memiliki lembaran-lembaran
yang abadi sepanjang masa yang peninggalan, masih bersinar hingga

xlii
sekarang. Rahasia dari semua itu adalah bahwa setiap kali mereka
menginjakkan kaki di suatu negeri mereka memiliki kedudukan
dan dihormati karena kedudukan pendahulu mereka yang suci.
Juga disebabkan oleh banyaknya ulama di kalangan mereka yang
menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga di mana saja mereka berada,
mereka dapat memberi manfaat. Selain itu, adalah karena kelebihan
mereka dalam berdakwah menyeru ke jalan Allah dan kepada
agamanya, serta akhlak mereka yang santun dan adab tasawuf yang
dominan. Mereka adalah orang-orang yang paling lembut dalam
akhlak dan paling tinggi dalam pendidikan.32
Dewasa ini, peninggalan-peninggalan yang abadi itu masih
tetap bersinar. Tarim, misalnya, tetap memancarkan sinarnya
dengan orang-orang saleh dan para penuntut ilmu yang tekun
untuk mendapatkan ilmu di daerah ini. Juga para da’i yang
mengembara ke berbagai wilayah Asia, Afrika, dan dunia barat.
Mereka menyeru ke jalan Allah mengikuti jalan para pendahulu
mereka yang suci. Mereka adalah murid-murid al-Haddad, al-
Haddar, Ibn Ahmad as-Saqqâf, dan sebagainya. Dan seperti itulah
rubath-rubath dan ma’had-ma’had ‘Alawiyin yang menghiasi
bumi dan memancarkan cahaya. Para tokohnya dewasa ini −
seperti Habib Zain bin Sumaith di Hijaz, para sadah keluarga
asy-Syâthiri di bumi al-Faqîh al-Muqaddam, keturunan bin
Hafîzh yang banyak berbuat kebajikan, keturunan al-Masyhur
dan al-Haddar, dan para sâdah yang lainnya− hingga sekarang
masih tetap merupakan contoh dan teladan dari dakwah orang-
orang tua mereka.
Tetapi beban sekarang menjadi berat dan kesulitan bertambah
besar. Karena itu, kita mesti meningkatkan pengorbanan dan
pemberian atas usaha yang dilakukan. Wahai para keturunan
’Alawiyin, apakah kalian akan kembali kepada sumber-sumber
para salaf? ...maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum
yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.
(QS. al-Mâidah [5]: 54) Semoga Allah mengembalikan kita ke

xliii
dalam ajaran agamanya dengan pengembalian yang indah dan
diberkahi. Dan itu bukanlah hal sulit bagi Allah. Dan segala puji
hanya milik Allah, Tuhan sekalian alam.

Catatan Akhir
1. Karya Iyad Ahmad al-Ghauj, seorang peneliti Dirasah Islamiyyah
(Islamologi)
2. Mazhab Ibadhi lenyap sama sekali dari Hadramaut tahun 690 dari
benteng pertahanannya yang terakhir di sana, yaitu di kota Syibam.
3. Imam Ahmad al-Muhajir wafat tahun 345 H di Husayyisah, dekat Bur,
di tengah-tengah sebuah syi’ib (lembah) di sana yang dikenal dengan
namanya, Syi’ib Ahmad. Kemudian, setelah al-Imam as-Sayyid Ahmad
bin Muhammad al-Habsyi yang wafat tahun 1038 H dimakamkan di
sana, lembah itu dikenal dengan nama Syi’ib al-Ahmadain. Usia al-
Muhajir ketika wafat sekitar 80 tahun lebih karena ia lahir, di Bashrah
sekitar tahun 260 H.
4. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang mendirikannya adalah
Sa’ad al-Kamil. Pendapat lain mengatakan bahwa nama tersebut adalah
penisbahan kepada nama sebuah kabilah. Pendapat yang lain lagi
mengatakan tidak demikian. Dapat dilihat pada Mu’jam al-Buldân (2: 28)
dan sumber-sumber lain yang disebutkan selanjutnya.
5. Lihat al-Masyra’ ar-Rawi karya asy-Syilli (1: 129), al-Ghurar karya al-
Khird (hal. 77), Târîkh Syanbal, dan sebagainya.
6. Ia adalah al-Imam Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin
Alwi bin Ubaidillah bin al-Imam al-Muhajir, wafat tahun 556 H. Ia
memiliki pengaruh dan dakwah yang merata.
7. ’Iqd al-Yawâqî t al-Jauhariyyah (I: 33-34)

xliv
8. Al-Kibrît al-Ahmar wa al-Iksîr al-Akbar karya al-’Aydrus al-Akbar
Abdullah bin Abu Bakar, al-Juz al-Lathîf fi at-Tahkîm asy-Syarîf karya
putranya, asy-Syaikh Abu Bakar al-’Adni, Ma’ârij al-Hidayah dan al-
Barqah al-Masyîqah bidzikr Libâs al-Khirqah al-Anîqah, keduanya karya
asy-Syaikh Ali bin Abu Bakar as-Sakran, saudara al-’Aydrus al-Akbar.
9 ’Iqd al-Yawâqî t al-Jauhariyyah (I: 33-34)
10. Karena itu, gurunya, al-Imam Umar bin Abdurrahman al-Attas
mengatakan, “Sayyid Abdullah al-Haddad seorang saja merupakan
umat.” Usia al-Imam al-Haddad ketika gurunya wafat adalah 28 tahun.
Demikian keterangan dalam kitab al-Imâm al-Haddâd Mujaddid al-
Qarn ats-Tsâni ‘Asyar al-Hijri (1: 7).
11. Dari tingkatan (generasi) ini dan tingkatan sebelumnya Habib Zain
bin Sumaith, pengarang kitab ini, mengambil ilmu sebagaimana telah
disebutkan dalam riwayat hidupnya.
12. Al-I’lân bi at-Taubîkh liman Dzamm at-Târîkh, karya Syamsuddin as-
Sakhawi (hal. 296).
13. Namanya Qalâid an-Nahr fî Wafayât A’yân ad-Dahr, susunan seorang
qadhi yang sangat alim, ath-Thayyib bib Abdullah bin Ahmad
Bamakhramah al-‘Adni (870-947 H). Ia paman dari al-Imam Abdullah
bin Umar Bamakhramah, mufti Yaman dan seorang yang paling alim di
masanya (907-972 H). Al-Qalâid masih berupa tulisan tangan, terdiri
dari tiga jilid. Kitab ini telah di-tahqiq dalam risalah-risalah ilmiah di
Aden.
14. Janâ asy-Syamârîkh Jawâb As-ilah fi at-Târîkh, karya seorang ‘Allamah
dan ahli sejarah, Sayyid Alwi bin Thahir al-Haddad (hal. 16). Al-
‘Allamah Sayyid Umar bin Hamid al-Jilani menyebutkan penyebab lain
tersebarnya mazhab Syafi’i di Hadramaut dalam tempo singkat, yaitu:
Imam Syafi’i pernah menjabat sebagai qadhi di Najran tahun 179 H.
Orang-orang memuji perangainya dan berkat beliau keadilan pun merata
di sana. Nama baiknya muncul di masyarakat Yaman sehingga sebagian
pembesar Daulah Abbasiyah yakin bahwa ia akan menjadi bahaya
terhadap mereka. Maka mereka pun membuat berita bohong tentang
beliau kepada ar-Rasyid yang kemudian memanggilnya ke Baghdad,
dan seterusnya… Sebagaimana dimaklumi, Najran letaknya dekat
dengan Hadramaut sehingga memudahkan sampainya berita tentang
Imam Syafi’i ke Hadramaut. Kedatangan para pengikut mazhab Syafi’i
ke Hadramaut juga menyiapkan pengenalan mereka terhadap mazhab

xlv
ini Demikian keterangan dari ceramah as-Sayyid al-Jilani, Musyârakah
Fuqahâ’ Hadhramaut fi Khidmah al-Fiqh asy-Syâfi’i (hal. 7)
15. Dar al-‘Ilm wa ad-Da’wah di Tarim memiliki upaya serius untuk
mempublikasikan pilihan-pilihan dari koleksi tersebut dengan diberi
tahqiq oleh tim pengkaji profesional. Semua perhatian ini patut
mendapatkan penghargaan dan doa agar diberi petunjuk
16. Diringkas dari lampiran al-Maslak al-Qarîb likulli Nâsik Munîb (hal.
199), cetakan Dar al-Hawi.
17. ’Iqd al-Yawâqî t al-Jauhariyyah (I: 33-34)
18. ’ Iqd al-Yawâqî t al-Jauhariyyah (I: 129) dengan diringkas dan diubah
redaksinya.
19. Yang dimaksud dengan Tahqiq al-Haqiqah wa Tajrid at-Tauhid
(mewujudkan hakikat dan mengupas tauhid) adalah tasawuf dzauqi
dan kandungannya berupa maqamat rohani yang tinggi dalam bergaul
dengan Allah Swt. yang topiknya adalah mengesakan yang qadim—yakni
Allah SWT—dari yang baru serta menghapus sifat-sifat kemanusiaan
agar dapat menyaksikan fenomena-fenomena ketuhanan. Itulah puncak
perjalanan para salik yang disebut as-Sayr fillah (perjalanan di jalan
Allah).
20. ’Iqd al-Yawâqît al-Jauhariyyah (I: 34)
21. Al-Imâm al-Haddâd Mujaddid al-Qarn ats-Tsâni ‘Asyar al-Hijri oleh Dr.
Musthafa al-Badawi (1: 52)
22. Yaitu al-Masyra’ ar-Rawi fi Manaqib as-Sâdah al-Kirâm Âl Abi ’Alawi
karya seorang ‘allamah dan ahli sejarah, Jamaluddin Muhammad
bin Abu Bakar asy-Syilli al-Husaini Ba ’Alawi (1030-1093), seorang
Hadhrami yang kemudian tinggal di Makkah. Kitab ini termasuk
referensi terpenting tentang riwayat para Sâdah ‘Alawiyin.
23. Dikutip oleh Amir Syakib Arsalan dalam sisipannya terhadap kitab
Hâdhir al-‘Alam al-Islâmi karya penulis Amerika, … (3: 175)
24. Hâdhir al-‘Alam al-Islâmi (1: 343-344).
25. Dalam makalahnya, Bayanât ‘an al-Hadhârimah yang disebutkan dalam
Hâdhir al-‘Alam al-Islâmi (3: 172-177).
26. Sîrah as-Salaf min Bani ‘Alawi al-Husainiyyîn, ceramah al-‘Allamah
Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri (hal. 30).
27. `an al-‘Arab wa al-Islâm fi Syarq Ifriqiya karya Sayyid Hamid bin Ahmad
Masyhur, mengutip kitab al-Madkhal karya al-‘Allamah Alwi bin Thahir
al-Haddad.

xlvi
28. Yakni telah dimodifikasi. Para sadah memiliki perhatian terhadap nasab
keluarga-keluarga (kabilah-kabilah) dan melakukan pembaharuan dari
tahun ke tahun. Karena itu, ia menjadi sumber penting riwayat-riwayat
hidup mereka.
29. Bayanât ‘an al-Hadhârimah yang disebutkan dalam Hâdhir al-‘Alam al-
Islâmi (3: 177-178)
30. Untuk informasi yang lebih luas dapat dilihat dalam kitab Dirâsât ‘an
al-‘Arab wa al-Islâm fi Syarq Ifriqiya karya Sayyid Hamid bin Ahmad
Masyhur dan kitabnya yang lain, al-Imâm al-Habîb Ahmad Masyhûr al-
Haddâd Shafahât min Hayâtih wa Da’watih.
31. Untuk informasi yang lebih luas, dapat dilihat dalam ceramah Sayyid
Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri, Ulamâ Hadhramaut wa as-Siyâsah
(Ulama Hadramaut dan Politik).
32. Bayanât ‘an al-Hadhârimah dalam Hâdhir al-’Alam al-Islâmi (3: 169)

xlvii
Tentang Kitab Ini

Kitab ini merupakan penjelasan yang luas tentang prinsip-prinsip


dan adab menuju Allah dalam Thariqah Sâdah Âl Ba ‘Alawi. Dalam
hal ini, pengarang menjadikan titik tolaknya adalah ungkapan
menyeluruh dari al-Imam al-Muhaqqiq al-Habib Ahmad bin
Zain al-Habsyi (wafat 1145 H), yang dimakamkan di al-Hauthah,
“Thariqah Sâdah Âl Ba ’Alawi adalah ilmu, amal, wara’, khauf, dan
ikhlas.”

Bagian-Bagian Kitab dan Kandungannya


Pengarang membagi kitab ini menjadi lima bagian besar, sesuai
dengan lima sifat yang disebutkan oleh Habib Ahmad bin Zain,
dan menandai masing-masingnya dengan keadaan tertentu. Maka
kandungan-kandungan kitab ini adalah sebagai berikut:
l Keadaan pertama, ilmu. Karena luasnya pembahasan,
keadaan ini yang mencakup hampir setengah kitab, maka
pengarang menjelaskannya dalam sepuluh bab, masing-
masing bab memiliki sejumlah pasal, dan dilengkapi dengan
penutup.
l Keadaan kedua, amal. Pengarang menjelaskannya dalam
mukadimah dan sepuluh pasal.
l Keadaan ketiga, wara’. Penjelasannya terbagi dalam
mukadimah dan enam pasal.
l Keadaan keempat, khauf. Penjelasannya seperti yang
sebelumnya, yakni dalam mukadimah dan enam pasal.
l Keadaan kelima, ikhlas. Karena luasnya masalah-
masalahnya, maka penjelasannya setelah mukadimah
mencakup tiga bab yang memiliki sejumlah pasal.

Metode Syarh
Metode syarh (penjelasan) yang digunakan pengarang
dalam kitabnya ini adalah memulai pembicaraannya dengan
mukadimah, yang menjadikan orang memerhatikan pentingnya
keadaan yang dibicarakan dan yang berhubungan dengannya
secara global, kemudian mengutip ucapan Habib Idrus bin
Umar al-Habsyi dalam menjelaskan maknanya secara umum,
selanjutnya beralih pada pasal-pasal penjelasan.
Setelah membuka masing-masing pasal dengan pengantar,
maka pengarang menyebutkan nash-nash syariah yang sesuai
dengan setiap pasal, dimulai dengan ayat-ayat Al-Qur’an,
lalu hadits-hadits Nabi, ucapan-ucapan para salaf, kemudian
perkataan Sâdah Ba ‘Alawi, di mana masing-masing nash diberi
komentar, penjelasan, dan keterangan. Selanjunya pengarang
mengomentari pasal yang sedang dibahas dengan hal-hal yang
sesuai dengannya, berupa masalah-masalah dan peringatan-
peringatan, manfaat-manfaat dan hikayat-hikayat, dan
sebagainya. Sehingga masing-masing pasal menjadi lengkap dalil-
dalilnya, masalah-masalahnya, dan segala yang menyertainya.
Kemudian pengarang mengakhiri pembahasannya dengan
penutup, jika diperlukan dan dipandang relevan dengan yang
dibicarakan. Inilah metode yang digunakan pengarang dalam
kitab ini secara umum. Pengarang juga memerhatikan kaitan
dan kesesuaian di antara pasal-pasal yang dibicarakan.
Bahan-Bahan Rujukan
Dalam mengumpulkan materi kitab ini, pengarang berpegang
pada berbagai sumber dan kitab yang beragam, yang diambilnya
selama bertahun-tahun sampai terkumpul materi yang memadai,
dan disusun dalam rangkaian yang sangat bernilai. Sejumlah
sumber masih berupa tulisan tangan. Kemudian pengarang
membuat hal-hal berharga dari kitab-kitab itu menjadi
sesuatu yang menyenangkan bagi orang yang melihatnya. Di
banyak tempat, pengarang menyebutkan dengan jelas sumber-
sumbernya. Pengarang banyak menyebutkan nash-nash dan
manfaat-manfaat dari materi yang sangat banyak, yang ada dalam
ingatannya. Apa yang kami kemukakan di sini terbatas pada apa
yang pengarang sebutkan.
Sumber-sumber tersebut berasal dari bermacam-macam
disiplin ilmu. Kami susunkan di sini agar menjadi jelas bagi
pembaca, betapa beragam dan kayanya materi kitab ini.
1. Kitab-kitab adab dan tasawuf, terutama kitab Ihyâ
’Ulumuddin di mana seorang pengarang sangat butuh
untuk mengambil bekal darinya. Juga karangan-
karangan Hujjatul Islam al-Ghazali yang lain pada
umumnya. Selanjutnya, karangan-karangan Habib
Abdullah bin Alwi al-Haddad, surat-surat, dan ucapan-
ucapannya. Misalnya, Risalah al-Mu’âwanah, Risalah
al-Mudzâkarah, ad-Da’wah at-Tâmmah, al-Fushûl al-
’Ilmiyyah, ad-Diwân, kumpulan-kumpulan ucapannya
yang bernama Tatsbît al-Fuâd, dan lain-lain. Juga kitab-
kitab an-Nawawi seperti at-Tibyân dan al-Adzkâr. Selain
itu, kitab Tadzkirah as-Sâmi’ wa al-Mutakallim karya
al-Badr bin Jamâ’ah, Adab al-Muta’allimîn karya ath-
Thusi, dan sebagainya.
2. Kitab-kitab biografi, sirah, dan manaqib. Kitab tentang
sirah di antaranya adalah Zad al-Ma’âd karya Ibn al-
Qayyim. Sedangkan kitab-kitab biografi dan manaqib

l
adalah seperti Nasyr al-Mahâsin al-Ghâliyah karya al-
Yâfi’i, al-Masyra’ ar-Râwi karya asy-Syilli, al-Fawâid as-
Saniyyah karangan al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas,
Qurrah al-’Ain dan Bahjah az-Zamân, keduanya karya
al-Imam Muhammad bin Zain bin Sumaith, Majma’
al-Bahrain karya Syaikh Bajammal, ‘Iqd al-Yawâqît
karya Habib Idrus bin Umar al-Habsyi, asy-Syajarah al-
’Alawiyyah, dan sebagainya.
3. Kitab-kitab fiqih. Di antaranya al-Majmu’ Syarh al-
Muhadzdzab karya al-Imam an-Nawawi, al-Madkhal
karya Ibn al-Haj, al-Asybah wa an-Nazhâir susunan
al-Imam as-Suyuthi, Bughyah al-Mustarsyidîn karangan
al-Imam Abdurrahman al-Masyhur, Mathlab al-Iqâzh
karya al-‘Allamah Abdullah Bilfaqih, dan sebagainya.
4. Kitab-kitab tafsir dan Ulumul-Quran. Seperti, Tafsir
al-Qurthubi, Tafsir al-Baghawi, al-Iklîl dan al-Itqân,
keduanya karya as-Suyuthi, dan sebagainya.
5. Kitab-kitab hadits dan syarahnya. Seperti, Shahih al-
Bukhari, Syarh Shahih Muslim oleh al-Imam an-Nawawi,
Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah karya al-Jurdani, dan
kitab-kitab lain.
6. Diwan-diwan (kitab-kitab kumpulan syair), baik diwan
orang-orang terdahulu seperti al-Imam asy-Syafi’i atau
diwan para Sâdah ‘Alawiyyin seperti Diwan al-Imam
al-Haddad, Diwan al-Habib Ali al-Habsyi, Diwan al-
Imam Ahmad bin Umar bin Sumaith, Diwan al-Imam
Abdullah bin Husain bin Thâhir, dan sebagainya.
7. Kitab-kitab bahasa. Pengarang telah mengatakan bahwa
ia hanya mengutip dari kitab Tahdzîb al-Asma wa al-
Lughât, karya al-Imam an-Nawawi.
8. Kitab-kitab kumpulan dan kitab-kitab para Sâdah
‘Alawiyyin. Di antaranya Majmu’ Mawâ’izh wa Kalam
al-Habib ad-Da’iyah Ahmad bin Umar bin Sumaith,

li
Tatsbît al-Fuâd yang merupakan perkataan-perkataan
al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, kumpulan
perkataan imam para ulama mutaakhirin, Syaikhul
Islam Ahmad bin Hasan al-Attas, an-Nahr al-Maurûd,
ucapan-ucapan al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi,
al-Majmu’ ath-Thâhiri yang merupakan risalah-risalah,
surat-surat, dan ucapan-ucapan al-Imam Abdullah bin
Husain bin Thahir, dan wasiat-wasiat saudaranya, al-
Habib Thâhir, dan sebagainya.
Pengarang juga berpegang pada sejumlah kitab para
Sâdah seperti Ma’ârij al-Hidâyah karya asy-Syaikh Ali bin
Abu Bakar as-Sakran, al-Qirthâs karya al-Habib Ali bin
Hasan al-Attas, Fath Bashâir al-Ikhwan karya ‘Allamah
ad-Dunya Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih, dan
sebagainya. Ini di samping karangan-karangan al-Imam
al-Haddad yang telah disebutkan sebelumnya pada
bagian kitab-kitab tasawuf dan adab.

Proses yang Dilakukan dalam Penyusunan Kitab Ini


Dengan anugerah-Nya, Allah telah menetapkan untuk kitab ini
kemauan seorang anak yang berbakti kepada ayahnya, yaitu anak
pengarang sendiri al-Ustadz as-Sayyid Muhammad bin Zain
bin Sumaith. Dia telah mengeluarkan pokok-pokok, lembaran-
lembaran, dan konsep-konsep kitab ini yang berserakan
di perpustakaan ayahnya. Dia kibaskan debu-debu yang
mengotorinya dan berusaha melalui tim ilmiah di Dar al-‘Ilim
wa ad-Da’wah untuk mengurus kitab ini dan memunculkannya
dalam spesifikasi yang terbaik. Untuk itu, dia telah mencurahkan
waktu, usaha, dan hartanya dengan harapan mendapatkan pahala
yang besar dan keberkahan di dunia dan di akhirat.
Khidmat terhadap kitab ini dapat diringkaskan dalam
beberapa hal berikut:

lii
1. Menepatkan matannya dengan harakat yang semestinya
dan membuat penomoran-penomoran dengan teliti.
2. Men-takhrij-kan hadits-hadits Nabi yang marfu’. Di
dalam kitab ini juga terdapat beberapa hadits dhaif, yang
dikutip oleh pengarang mengikuti pandangan ulama
bahwa boleh menggunakan hadits-hadits dhaif dalam
masalah-masalah keutamaan. Sebagian hadits-hadits
yang disebutkan terkandung dalam nash-nash yang
dikutip oleh pengarang dari kitab-kitab yang disebutkan
oleh pengarangnya. Maka, sebagian matan hadits
diriwayatkan bil-ma’na (sesuai maksud, tidak tepat
seperti matannya). Hal itu kami sebutkan di beberapa
tempat.
3. Mengenalkan tokoh-tokoh yang terdapat dalam kitab
ini, baik dari kalangan Sâdah Ba ‘Alawi maupun yang
lainnya. Setiap tokoh yang riwayat hidupnya tidak
didapati oleh pembaca di suatu tempat (bagian) dari kitab
ini, biasanya telah disebutkan sebelumnya, kecuali jika
tokoh itu adalah seorang sahabat atau termasuk tokoh
yang telah sangat dikenal oleh orang pada umumnya,
seperti para imam yang empat dan Khulafaur-Rasyidin.
Tokoh-tokoh seperti itu tidak kami sebutkan riwayat
hidupnya.
4. Menyebutkan sumber dari kutipan-kutipan pengarang,
yang mudah didapatkan tanpa diberi komentar, dan
memberikan beberapa penjelasan.
5. Berkonsultasi dengan pengarang mengenai beberapa
bagian yang sulit bagi kami ketika mengerjakannya, serta
menambahkan beberapa subjudul yang bermanfaat.
6. Membuat indeks ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits
Nabi, atsar, tokoh, karangan, tempat, serta dua daftar isi
dari materi kitab, yang rinci dan yang global.

liii
7. Menerbitkan kitab ini disertai riwayat hidup yang
memadai tentang pengarang, yang kami kumpulkan
dengan bantuan putranya, Sayyid Muhammad. Lalu
kami ikuti sekilas, pengenalan mengenai Thariqah
Sâdah Ba ‘Alawi yang ditulis oleh seorang peneliti, Iyad
al-Ghauj sebagai pengantar bagi para pembaca yang
belum mengenal thariqah ini.
8. Kami mengulang-ulang pada kitab ini—setelah
melakukan segala hal di atas—koreksi dan memastikan
keselamatan teksnya dari kesalahan, sesuai dengan kadar
kemampuan, hingga—menurut penglihatan kami—
bersih dan kemungkinan kecil didapati kesalahan, insya
Allah.

liv
lv
Mukadimah
S
egala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya, hal-hal yang
baik menjadi sempurna, keberkahan turun, dan berbagai
anugerah dapat diperoleh. Semoga Allah melimpahkan
shalawat dan salam kepada pemimpin dan teladan dari segala
pemimpin, Nabi Muhammad bin Abdullah, makhluk terbaik di
bumi dan di langit. Dan kepada keluarganya yang merupakan
sumber hikmah, keamanan bagi umat, dan kunci berbagai
rahmat. Juga para sahabatnya yang menjadi bintang-bintang
petunjuk dan pelita-pelita keteladanan. Serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan kebajikan hingga hari Kiamat di setiap
saat sejumlah yang diliputi oleh ilmu Allah dan tinta kalimat-
kalimat-Nya yang sempurna.
Amma ba’du.
Al-Faqîr ilallah, penghimpun lembaran-lembaran ini, yang
berharap agar Tuhan membaguskan semua tujuan dan niatnya
serta memberikan keberkahan kepadanya dalam ilmu dan amal,
mengatakan, “Ketahuilah, wahai saudara yang tercinta dan sahabat
yang setia—semoga Allah menganugerahkan kepada saya dan
Anda dapat berakhlak dengan akhlak nama-nama-Nya yang baik,
menemukan tujuan yang luhur dan keinginan yang menyenangkan—
saya membaca ucapan-ucapan junjungan kita, imam para ‘arif billah
dan teladan para salik, Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi1—semoga
Allah memberi manfaat kepada kita dengan keberkahannya dan
keberkahan semua salaf saleh—pada penjelasan beliau tentang
Thariqah Sâdah ‘Alawiyin, “Thariqah Sâdah Ba ‘Alawi adalah ilmu,
amal, wara’ (kehati-hatian), khauf (takut) kepada Allah, dan ikhlas
kepada-Nya.” Sayyidina al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi2 yang
mengutipnya dalam kitabnya, ‘Iqd al-Yawâqît al-Jauhariyyah,
kemudian mengatakan, “Lihatlah kesempurnaan tahqiq beliau dan
keluasan penelaahannya. Beliau menghimpun sifat mereka yang
sempurna dalam lima kata dan lima keadaan.”3
Ketika membaca ungkapan ini, saya mencela nafsu al-
ammârah (nafsu yang menguasai tuannya), karena keterbatasan

lviii
dan kekurangannya dibandingkan thariqah para Sâdah itu.
Kemudian keinginan yang terbatas dan niat saya yang lemah
tergerak untuk mengumpulkan dalil-dalil dan nash-nash yang
jelas, serta manfaat-manfaat dan hal-hal berharga yang baik yang
mudah didapat. Sehingga menjadi semacam syarh (penjelasan)
atas lima keadaan itu. Sebagaimana telah disebutkan, merupakan
prinsip-prinsip dari thariqah para pemilik ahwal dan maqâmât
tersebut. Semoga menggerakkan semangat para penuntut ilmu
dan menguatkan tekad para penempuh jalan yang menyukai
jalan thariqah mereka. Sehingga akan membawanya menelusuri
jalan mereka dan mengikuti petunjuk mereka. Sedangkan saya
hanyalah penghimpun. Dan berharap mendapatkan manfaat
untuk diri saya dan semua mukmin. Dan berharap insya Allah
perbuatan itu menjadi al-baqiyat ash-shalihat (amalan yang kekal
lagi saleh) dan kebaikan yang terus mengalir pahalanya dalam
kehidupan ini, dan setelah mati kelak.
Dengan mengakui kelemahan, kekurangan, kebodohan,
dan tidak adanya kesiapsediaan pada diri saya, ingin mendorong
saudara-saudara saya dari kalangan Ahlulbait khususnya dan
kaum mukminin pada umumnya, untuk berpegang dengan
thariqah para Sadah yang mendapatkan petunjuk dan para imam
yang menjadi panutan. Semoga Allah memberi manfaat kepada
kita dan mereka dalam urusan dunia maupun agama. Sayyidina
al-Imam Quthb al-Irsyâd wa Ghauts al-’Ibâd wa al-Bilâd, Habib
Abdullah bin Alwi al-Haddad4 mengatakan mengenai jalan itu,

Kasihku, apakah ada yang menggembirakan di antara kalian


untuk menempuh jalan yang hilang dan tersembunyi
Kebanyakan orang tertinggal darinya dan berpaling
karena mengetahui kesulitan dalam melaluinya

lix
Maka, menjadi kewajiban menempatkan kaki-kaki kita
di tempat kaki-kaki mereka dan berjalan sebagaimana mereka
berjalan, baik maju maupun mundur. Karena thariqah mereka
dibangun berdasarkan tiga perkara: selalu berpegang kepada
Kitabullah, mengikuti sunnah Rasulullah, dan meneladani para
pendahulu dari umat ini. Itulah jalan lurus yang ditunjukkan
dalam firman Allah Ta`ala,

Dan bahwa [yang Kami perintahkan] ini adalah jalan-


Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian
mengikuti jalan-jalan [yang lain], karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.
(QS. al-An’am: 153)

Abu al-’Aliyah5 berkata, berkenaan dengan firman Allah Swt.,

Tunjukilah kami jalan yang lurus. [Yaitu] jalan orang-orang


yang Engkau beri nikmat kepada mereka.
(QS. al-Fatihah: 6-7)

bahwa mereka adalah keluarga Rasulullah Saw.


Sayyidina al-Imam Abdullah al-Haddad juga mengatakan,
“Sesungguhnya Thariqah Sâdah Ba ’Alawi adalah thariqah yang
paling lurus dan paling seimbang. Jalan hidup mereka adalah jalan
hidup paling baik dan paling dapat dijadikan teladan. Mereka
berada pada thariqah yang paling dapat dijadikan teladan, cara
yang luas, jalan yang paling jelas, serta jalan yang paling selamat
dan paling membahagiakan. Tidak semestinya kalangan khalaf
(yang datang berikutnya) mengambil cara selain dari yang telah
dibiasakan oleh para pendahulu mereka, dan tidak pula berpaling
dari thariqah dan jalan hidup mereka. Karena, thariqah merekalah

lx
yang dinyatakan shahih oleh Kitabullah, sunnah Rasulullah, atsar,
dan jalan hidup para salaf yang sempurna. Mereka menerima itu
dari generasi sebelumnya, ayah menerima dari kakek, dan begitu
seterusnya sampai kepada Nabi Saw.” Demikian dikutip oleh al-
Imam Ali bin Hasan al-Attas6 dalam kitabnya, al-Qirthas.7
Sayyidina al-Imam Thâhir bin Husain bin Thâhir8 dalam
wasiatnya mengatakan, “Sesungguhnya ketakwaan dengan segala
kesempurnaan, rincian, dan garis besarnya telah dituangkan oleh
para datuk yang awal dan para salaf saleh, dalam cetakan jalan
hidup mereka yang lurus dan thariqah mereka yang diridhai. Yang
merupakan tali yang kuat, tidak berpegang dengannya kecuali
orang yang paling bertakwa dan tidak menyimpang darinya
kecuali orang yang paling sengsara. Thariqah tersebut adalah
thariqah Rasulullah Saw. dan Khulafaur-Rasyidin yang terkenal,
yang kita diperintahkan untuk menggenggamnya dengan kuat.”
Sayyidina al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi, dalam
kumpulan ucapannya yang terdapat dalam an-Nahr al-Maurud,9
mengatakan, “Sesungguhnya Thariqah ’Alawiyah lahiriahnya
adalah ilmu-ilmu agama dan amal, sedangkan batiniahnya
adalah mewujudkan maqâmât dan ahwal, adabnya adalah
menjaga rahasia dan cemburu terhadap penyalahgunaannya. Jadi
lahiriahnya adalah, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Imam
al-Ghazali,10 berupa ilmu dan beramal menurut cara yang benar.
Sedangkan batiniahnya adalah, seperti yang diterangkan oleh asy-
Syadzili, berupa mewujudkan hakikat dan memurnikan tauhid.
Ilmu mereka adalah ilmu orang-orang besar. Ciri khas mereka
adalah menghilangkan bentuk simbol.
Mereka memohon kepada Allah dengan cara mendekatkan
diri kepada-Nya dengan segala pendekatan. Mereka melakukan
pengikatan janji, talqin (menuntun bacaan zikir), dan pemakaian
khirqah (kopiah atau jubah untuk pentahbisan ke thariqah),
riyadhah (olah rohani), mujahadah (pengorbanan dalam
menundukkan nafsu), dan mengikat persahabatan. Mujahadah

lxi
mereka yang terbesar adalah berjuang untuk menyucikan hati dan
menyiapkan diri untuk menerima anugerah-anugerah kedekatan
(dengan Allah) pada jalan kebenaran. Mendekatkan diri kepada
Allah dengan segala pendekatan dalam persahabatan dengan
orang-orang yang mendapat petunjuk. Maka seharusnya dengan
kesungguhan dalam menghadapkan diri ikhlas karena Allah,
akan mendapatkan anugerah dari Allah. Dan bersama dengan
keseriusan, pengorbanan, dan pengerahan segala kemampuan
akan mendapatkan pembukaan spiritual dari Allah. Allah Swt.
berfirman,

Dan orang-orang yang berjihad untuk [mencari keri­­dha­an]


Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.
(QS. al-’Ankabut: 69)

Al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas11 pernah ditanya tentang


pengertian Thariqah ’Alawiyah, beliau mengatakan, “Lahiriahnya
adalah Ghazaliyyah dan batiniahnya adalah Syadziliyyah. Artinya,
lahiriahnya adalah mengosongkan (melepaskan) diri dari akhlak
tercela dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji, sedangkan
batiniahnya adalah penyaksian akan anugerah Allah dari sejak
awal langkahnya.” Beliau mengatakan, “Jika mau, Anda dapat
mengatakan, ’Thariqah ’Alawiyah adalah keselamatan dan
istiqamah, pertemuan dan penghadapan, pengosongan dan
penghiasan diri, petunjuk dan ketenangan, penghapusan dan
penetapan, usaha yang keras dan penanggungan beban, atau
keselamatan dan penyerahan.’ Sebagaimana yang dikatakan oleh
al-Imam Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqîh12 bahwa thariqah
tersebut mengikuti nash menurut cara khusus. Kemudian beliau
mengatakan bahwa jalan para salaf adalah beramal di tempat dia

lxii
harus beramal, meninggalkan tempat yang harus ditinggalkan,
berniat di tempat dia harus berniat, dan mengungkapkan di
tempat dia harus mengungkapkan. Habib Abdullah bin Alwi al-
Haddad mencakup dalam sebuah bait yang diucapkannya,

Berpeganglah selalu pada Kitabullah dan ikutilah sunnah Rasul-Nya


Ikuti petunjuk Allah bagimu dengan teladan jejak salaf ”

Beliau13 juga mengatakan, “Thariqah Ahlulbait adalah


amal. Mereka tidak menuntut ilmu kecuali yang menuntun
kepada amal dan untuk menjaga diri mereka. Sedangkan yang
lainnya mereka terima dari limpahan anugerah Allah. Mereka
mengambil ilmu, baik yang muthlaq (tidak terbatas oleh individu
dan lingkungan) maupun muqayyad (yang terbatas oleh individu
dan lingkungan) dari keberadaan takwa. Sebagaimana yang
ditunjukkan dalam firman Allah Swt.,

Dan bertakwalah kalian kepada Allah, dan Allah


mengajarkan kalian.

(QS. al-Baqarah: 282)

***

As-Sayyid al-‘Allamah Ahmad bin Abubakar bin Sumaith, semoga


Allah memberi manfaat melaluinya, berkata, “Sesungguhnya
Thariqah al-‘Alawiyah telah mencakup rahasia-rahasia yang
tidak didapati pada thariqah islam lainnya. Dan thariqah ini
berbeda dengan sifat-sifatnya yang tinggi. Karena, dalam hal
hakikat pemurnian dan pengesaan, dibangun di atas jalan asy-
Syadziliyyah dan mereka yang berjalan sesuai dengan jalan

lxiii

               


itu. Sedangkan dalam hal mujahadah, dibangun di atas jalan


al-Ghazali. Thariqah ini tidak disisipi penyimpangan apa pun,
   
  
bahkan mereka yang berada dalam thariqah ini melanjutkan yang
ada di sepanjang zaman, saling mewarisi generasi demi generasi
hingga di zaman kita saat ini.
As-Sayyid al-Imam Abubakar bin Abdurrahman bin
Syihabuddin rhm. berkata,

            
          

Mereka melihat dari ayah-ayah mereka, dari datuk mereka
dari Jibril, dari Yang Mahaperkasa dan Pencipta
Hingga sampailah rahasia Rasul sambung-menyambung
pada mereka sampai di zaman kita saat ini

Lalu aku memperingatkan diriku dan penduduk negeriku—


khususnya mereka yang termasuk ahl al-bait Nabi—dari melanggar
jalan
 hidup
 para

 pendahulu
  yang  saleh,
 dan  memilih
selain  
thariqah

Sâdah
para   al-‘Alawiyin.
    Bagaimana
 mungkin kita menarik
  diri
dari

thariqah mereka, padahal al-Kitab dan as-Sunnah telah bersaksi
atas keistiqamahan mereka dan semuanya telah sepakat atas

kepemimpinan mereka. Kebaikan seluruhnya ada pada mengikuti
mereka pada ucapan, perbuatan, dan keyakinan mereka.
  Al-Imam
 Abdullah
    bin
Alwial-Haddad
mengatakan,
  “Para
Sâdah
Ba ’Alawi,
 urusan
   mereka
 diatur
   mengikuti
   sunnah dan
  
kebiasaan-kebiasaan yang baik. Barangsiapa yang keluar darinya
maka baginya sedikit kebaikan. Dan menjadi seperti burung gagak
yang merasa kagum dengan cara berjalannya qathâti (sejenis burung
dara) sehingga berusaha meniru cara jalannya. Namun karena tak
dapat melakukannya dengan baik, dia berusaha kembali kepada cara
jalannya semula tetapi dia tidak lagi mengetahui dan telah lupa.”

lxiv
Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan, “Siapa saja
yang condong kepada selain Thariqah ’Alawiyah—yakni dari
keturunan mereka—dan tidak mengikuti jalan hidup mereka,
maka mereka (salaf) akan meninggalkannya dan yang ada
padanya. Sehingga seberapa banyak dan besar ilmu dan amalnya
tidak akan bermanfaat dan mengangkat derajatnya.”
Sayyidina Abdullah bin Muhsin al-Attas ra.14 mengatakan,
“Barangsiapa yang menyalahi jalan hidup dan thariqah mereka,
maka dia akan terhalang mekipun berada pada thariqah yang
lurus. Karena apabila menyalahi thariqah mereka, berarti menjadi
durhaka kepada mereka, sedangkan orang yang durhaka tidak
dapat menghasilkan apa-apa meskipun thariqahnya lurus. Sebab
tidak akan menyalahi thariqah mereka tetapi menyangka bahwa
thariqah selainnya adalah lebih baik, dan pada thariqah mereka
terkandung sesuatu yang tidak baik menurut pandangannya.
Maka dia menjadi durhaka kepada mereka, sedangkan setiap
pendahulu tidak suka jika anak keturunan mereka mengambil
dari yang lain kecuali sekadar mencari keberkahan.”
Beliau juga mengatakan, “Semua kebaikan terdapat dalam
mengikuti salaf. Seseorang hanya akan melelahkan dirinya
dalam perbuatan, ucapan, dan tingkah lakunya apabila dia tidak
mengikuti thariqah salaf saleh. Meskipun dia telah mencapai
derajat keilmuan yang tinggi, bahkan meskipun telah menjadi
seorang wali. Ketika jalan hidupnya dalam ilmu dan amal
tidak mengikuti jalan hidup para salaf, maka dia tidak akan
mendapatkan sedikit pun darinya.”
Sayyidina Idrus bin Umar al-Habsyi mengatakan, “Para
Sâdah Ba ’Alawi sangat kuat ghirah-nya (kecemburuannya)
terhadap thariqah pendahulu mereka, apabila dicampur dengan
sesuatu dari thariqah lain. Sehingga pernah terjadi ketika sebagian,
mereka mengambil dari beberapa thariqah lain, maka para tokoh
besar di masa itu mengecam dan memberi peringatan. Karena
mereka mengikatkan diri secara penuh dengan tata cara thariqah

lxv
tersebut. Adapun jika sekadar mencari keberkahan, maka mereka
pun (para pendahulu) juga menimba dan mengutipnya. Mereka
menimba semua thariqah tanpa halangan, bahkan menimba ilmu
dari siapa pun yang memiliki ilmu, baik orang kecil maupun
orang besar. Sehingga ada di antara mereka yang memiliki seribu
orang guru.” Demikian disebutkan dalam kitab an-Nahr al-
Maurud.
Ketahuilah bahwa Ahlul Bait Nabi pada khususnya dan
semua orang pada umumnya, hendaknya memiliki perhatian
dalam memperoleh ilmu syariat. Dan menghiasi diri dengan
akhlak Nabi. Mengosongkan diri dari sifat yang rendah. Serta
mengorbankan dan membawa nafsu untuk mengikuti jejak
para orang tua dan para pendahulu mereka, yaitu orang-orang
yang memiliki semangat tinggi dan jiwa yang luhur. Agar dapat
memperoleh segala yang telah mereka peroleh, berupa maqâmât
yang luhur, dan sampai pada tingkatan yang tinggi, sebagaimana
yang telah mereka capai.
Sayyidina al-Imam al-’Arif billah Ahmad bin Hasan al-Attas
mengatakan, “Puncak anugerah Ilahiah terbagi menjadi tiga:
kesungguhan dalam mencari, penghadapan diri yang baik, dan
niat yang benar. Apabila tiga hal ini telah didapatkan, berarti
telah tercapai maksud seseorang.”
Beliau menjelaskan kepada kita tentang jalan untuk mencari
dan kesungguhan dalam mencari (puncak anugerah Ilahiah). Yaitu
niat adalah ruh segala ketaatan, dan semangat merupakan dasar
semua kebaikan. Berdasarkan keduanya dibangun amal saleh dan
akhlak yang baik. Maka saya berpesan kepada diri sendiri dan
teman-teman sekalian agar senantiasa bersungguh-sungguh dan
giat, dan menjauhkan diri dari kelemahan dan kekurangan. Karena
sesungguhnya permasalahannya adalah kesungguhan dan singkatnya
umur. Permasalahannya bukanlah menyaksikan kekurangan dalam
diri yang masih dipenuhi kekurangan, melainkan selalu menyaksikan
kekurangan meskipun telah bersungguh-sungguh.

lxvi
Ketahuilah wahai Saudara-saudaraku, semakin mulia
sesuatu yang dituju, semakin bertambah pula kelelahan dalam
mencapainya. Dan keluhuran tidak dapat diperoleh kecuali
dengan perlahan-lahan dan dalam waktu lama, serta tak dapat
terwujud dengan mengaku-aku dan berangan-angan. Karena
sebagaimana dikatakan oleh Sayyidina Abdullah bin Alwi al-
Haddad, “Seseorang tidak dapat menempuh perjalanan lahir
maupun batin kecuali dengan semangat tinggi dan penuh
kesungguhan, sedangkan orang yang terbiasa malas, lemah,
dan suka menunda-nunda, sedikit yang dapat menyelesaikan
suatu urusan dan jarang mendapatkan yang dituju, kecuali
sekadar yang Allah kehendaki. Hal tersebut telah disepakati
oleh orang-orang yang bijak dalam urusan agama maupun
dunia.”
Beliau juga mengatakan dalam sebuah syairnya:

Wahai penuntut tahqiq, bangun dan bersegeralah


dengan penuh semangat dan kemauan, bangkitlah
Bersabarlah dalam mengendalikan nafsu,
berkatalah yang benar dan bersiaplah selalu di pintu

Asy-Syaikh al-Imam al-Quthb Al-Imam Abdullah bin


Abu Bakar al-’Aydarus15 ra., semoga Allah memberi manfaat
dengannya, mengatakan, “Apabila semangat kurang, mata
hati gelap, jiwa keras, dan pikiran beku, maka engkau tak
akan mencapai yang diinginkan dan tak akan sampai kepada
yang dicintai.” Beliau juga mengatakan, “Barangsiapa yang
menghendaki kejernihan rabbani, hendaklah ia banyak beribadah
di tengah malam.”

lxvii
Sayyidina Ahmad bin Zain al-Habsyi mengatakan, “
Seseorang tidak akan dapat mencapai suatu kedudukan, kecuali
jika dirinya terfokus pada kedudukan itu. Jika tidak, maka tak
akan sampai kepadanya. Menurut kebiasaan, seseorang tidak
akan mencapai suatu tingkatan kecuali bila dirinya benar-benar
berhasrat kepada derajat itu, dan memiliki semangat yang
tinggi untuk mencapainya. Seseorang tidak akan memperoleh
pemberian kecuali dengan semangat, meskipun ia seorang quthb.
Allah tidak akan memberi seorang hamba kecuali ia membuat
kesiapan untuk itu. Berapa banyak orang saleh yang semangatnya
tidak mampu menaikkannya kepada kedudukan yang lebih
tinggi, sehingga ia tetap pada kedudukannya semula.”
Al-Imam Muhammad bin Zain bin Sumaith ra.16 dalam
suratnya mengatakan, “Dengan melakukan aktivitas akan
didapatkan keberkahan. Dengan gerakan maka buah akan
berjatuhan. Dengan persiapan akan diperoleh pemberian, dan
dengan mujahadah akan didapatkan musyahadah (penyaksian).
Allah Swt. berfirman,
Dan orang-orang yang berjihad untuk [mencari ke­ridhaan]
Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami.
(QS. al-’Ankabut: 69)

Barangsiapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan.


Barangsiapa yang menempuh jalan maka akan sampai, dan
semangat itu merupakan cetakan taufik.
Al-Mutanabbi17 mengatakan,

Semangat kan datang senilai pemiliknya


Pun kemuliaan kan tiba sepadan pemiliknya

lxviii
Hal sepele tampak besar di mata orang kecil
Hal besar di mata orang besar menjadi kecil

Bila diperhatikan, terdapat perkara yang menakjubkan dan


cara yang mengherankan pada diri manusia. Yaitu, bila seseorang
terfokus pada suatu urusan dan ia kumpulkan seluruh semangat
secara total, maka dengan takdir Allah hampir-hampir segala
sesuatu yang ditujunya pasti terwujud. Karena itu dikatakan,
“Semangat itu adalah nama Allah Yang Agung. Maka jika
seseorang benar-benar bersemangat, maka Allah akan meniupkan
pada semangat itu ruh taufik. Demikianlah sunnatullah berlaku
pada hamba-Nya, tak berganti dan tak berubah.” Demikian
keterangan dari manaqibnya Majma’ al-Bahrain.
Sebagian ’arif billah mengatakan, “Setiap kebaikan pasti di­
hadang oleh rintangan, yang dibutuhkan adalah kesabaran untuk
meng­hadapinya. Maka barangsiapa dapat bersabar meng­hadapi
kesulitan, ia akan sampai kepada kesenangan dan ke­mudahan.”
Di dalam kitab al-Hikam karangan Habib Abdullah bin Alwi
al-Haddad dikatakan, “Barangsiapa biasa membatalkan kemauan
maka akan terhalang mendapatkan keuntungan.” Di dalam kitab
itu juga dikatakan, “Bukanlah orang yang ingin meraih cita-cita
dan tujuan, yang tidak meletakkan dirinya pada tunggangan
yang mengerikan dan membahayakan.”
Sayyidina Umar bin ‘Abdul ’Azîz18 pernah mengatakan,
“Bersemangatlah untuk perkara-perkara mulia dan berhati-hatilah
dengan perkara-perkara yang rendah. Karena sesungguhnya
bukanlah aku bersemangat terhadap suatu perkara melainkan
aku dapat mencapainya.” Yakni, sehingga ketika beliau bertujuan
menjadi khalifah, maka Allah menyampaikan tujuannya. Atau
sebagaimana redaksi yang beliau ucapkan.
Al-Imam al-Qusyairi19 mengatakan, “Seseorang yang pada
permulaannya tidak bersungguh-sungguh, niscaya tidak akan
mendapatkan petunjuk dari jalan ini.” Ada juga yang mengatakan,

lxix
“Barangsiapa yang tidak memiliki awal yang membakar, maka
tidak akan mencapai puncak yang bersinar.”
Ketahuilah bahwa, di antara ciri orang yang memiliki semangat
tinggi dan jiwa yang besar adalah yang menyukai perkara-perkara
penting. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam Abdullah Alwi
al-Haddad, setelah menyebutkan hal ihwal para pendahulunya,
perjuangan mereka, dan akhlak mereka yang agung,

Kubawa diri sepenuh kemampuan tuk menempuh


jalan mereka, hingga aku tersandarkan di butiran pasir

Sayyidina al-Quthb al-‘Aydarus mengatakan,

Bukanlah pemuda, yang berbangga dengan para pendahulunya


Sesungguhnya pemuda adalah yang berkata, “Aku.”

***

Ketahuilah bahwa kunci kebahagiaan adalah mengikuti sunnah


Nabi Muhammad Saw. Maka seseorang tidak akan mencapai
segala yang dicita-citakan kecuali dengan mengikuti Rasulullah
Saw. dalam ucapan, perbuatan, dan segala keadaannya, baik
ibadah maupun kebiasaannya. Pemimpin kaum sufi, al-Junaid bin
Muhammad20 mengatakan, “Jalan-jalan menuju Allah semuanya
buntu, kecuali bagi orang yang mengikuti jejak Rasulullah Saw.”
Sungguh benar para salaf dalam mengikuti dan meneladani
Rasulullah Saw. Mereka menempatkan kaki-kaki mereka di
tempat kaki beliau, ketika datang atau pergi, maju atau mundur.

lxx
Mereka kokoh menempuh jejak Rasul dan sahabatnya
juga para tabi`in, maka tanya dan cari
Mereka telah berlalu menuju jalan keluhuran
langkah demi langkah dengan penuh kesungguhan
Mereka menghias diri dengan akhlak mulia, mengosongkan
diri dari sifat-sifat tercela, dan mengerahkan kemampuan dalam
menaati Allah, Tuhan sekalian hamba. Maka, mereka mendapatkan
yang diinginkan dan memperoleh bantuan yang paling sempurna.
Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad menggambarkan mereka,

Orang-orang besar berjalan dengan semangat menuju ar-Rahman


disertai keteguhan dan keikhlasan tanpa halangan
Mereka telah mencapai cita-cita orang di bawahnya
yakni, kehidupan yang mulia lagi jernih

Beliau juga mengatakan,

Telah naik para pendahulu sebelum mereka


Semangat mereka mencapai segala yang mulia dan utama
Mereka menolak dunia yang memperdaya dan tidak pula berusaha
mencarinya; dunia yang datang diberikan dengan segera
Orang fakir mereka merdeka, dan yang berharta berinfak
mengharap pahala Allah di jalan yang baik

lxxi
Pakaian mereka adalah takwa, dan malu menjadi tanda mereka
Ar-Rahman adalah tujuan mereka, dalam ucapan dan perbuatan
Ucapan mereka benar dan perbuatan mereka adalah petunjuk
Rahasia mereka terlepas dari tipu dan dengki
Tunduk kepada Tuhan mereka, hadir di hadapan-Nya
patuh kepada-Nya, Yang Mahasuci dari yang serupa

Mereka menyertakan ilmu dengan amal dan memiliki keteguhan


di sisi Allah. Al-Habib Muhsin bin Alwi as-Saqqaf21 mengatakan,
“Para salaf bila tidak menguasai kitab (ilmu), mereka menguasai
mihrab (ibadah). Bila tidak menguasai mihrab, mereka menguasai
adab.” Di antara mereka, bahkan sebagian besar adalah orang-orang
yang menghimpun kitab, mihrab, dan adab.
Al-Imam al-’Allamah Abdullah bin Husain Bilfaqîh22 mengatakan,

Aku kehilangan orang-orang terbaik, betapa banyak mereka


yang tak meninggalkan zikir dan kitab sepanjang usia
Malamnya dipenuhi tangis dan sujud, menyendiri
karena takut kepada Tuhannya, hingga keletihan dirasa nikmat
Kesibukannya menjaga rahasia dari segala cela
bagaikan singa saat bertempur di medan laga
Dalam kemurahan kan kaudapati layaknya ath-Tha-iy
dan paling lurus kesantunannya, melebihi paderi ketika bicara
Dari keluarga Rasulullah kebanyakan mereka
dan keluarga Abu Fadhl, orang-orang yang baik dan para pembicara

lxxii
Sayyidina al-Quthb Abdurrahman bin Muhammad as-
Saqqâf23 pernah mengatakan, “Sesungguhnya anak-anak kami
bagaikan orang yang menggali di tanah yang bagus yang dekat
mata airnya, yang airnya segera akan keluar. Sedangkan selain
mereka, bagaikan orang yang menggali di gunung atau di tanah
yang keras, yang hampir-hampir airnya tidak keluar. Seandainya
keluar pun maka diperoleh dari jauh dan dengan susah payah,
dan dia tidak tahu apakah air itu baik atau asin.”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin asy-Syaikh Ali bin Abu Bakar24
mengatakan, “Aku mendengar ayahku, Ali, mengatakan, ‘Aku
mendapati orang-orang yang telah lalu, dari keluarga Ba ‘Alawi,
tidak satu pun di antara mereka tumbuh kumis melainkan dia
telah mencapai kasyaf (terbuka hijab).’”
Sayyidina al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi mengatakan,
“Para Sâdah Ba ’Alawi yang paling rendah ilmunya, adalah mereka
yang memiliki ilmu, yang ilmunya menjadikan mereka tidak
butuh dengan ulama. Masing-masing dari mereka hafal manaqib
keluarganya, jalan hidup, dan karamah mereka. Sebagian besar
mereka menimba, baik ilmu maupun adab, dengan belajar secara
langsung (tatap muka) dan beradab dengan perbuatan nyata, tidak
dengan banyak membaca kitab dan mengambil pendapat yang
bermacam-macam. Sehingga pengarang al-Masyra’ ar-Rawiy,25
ketika menyebut salah seorang dari mereka, mengatakan, ’Dia
beradab dengan adab ayahnya.’” Demikianlah keterangan dari
kitab an-Nahr al-Maurud.
Sayyidina al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan,
“Para Sâdah Ba ’Alawi dan orang-orang yang mengikuti perilaku
mereka—dari orang-orang yang menjadikan mereka sebagai
pedoman dan panutan—dilingkupi pertolongan Allah dan
dipelihara dengan penjagaan-Nya. Mereka dapat memperoleh
yang dicari dalam waktu singkat dengan syarat bersih hatinya,
memiliki prasangka yang baik kepada Allah dan kepada makhluk,
zuhud di dunia dan berharap akhirat, memerhatikan hak-hak

lxxiii
bagi pemiliknya, mengagungkan ilmu, ulama, para wali, dan
kaum mukminin. Dan mereka menjaga hati dan pendengaran,
serta memeliharanya dari segala sesuatu yang dapat memasukkan
gangguan atas mereka, merintangi mereka dari beramal, dan
menghapus hati mereka dari akhlak yang terpuji. Hal itu
dilakukan agar hati mereka tetap bersih, suci, dan jernih, jiwa
mereka tenang, dan semangat mereka selalu berhubungan dengan
kebaikan dan sebab-sebabnya. Demikianlah keadaan mereka.”
Beliau juga mengatakan, “Dulu seorang ’Alawi itu,
menggunakan tujuh tahun umurnya untuk menuntut ilmu dan
tujuh tahun untuk mengajarkannya, dan setelah itu mereka
menghamparkan tikar dan menghadap Tuhannya, dan mereka
digantikan oleh yang lain. Sekarang di antara kalian ada yang
berusia enam puluh atau tujuh puluh tahun, tetapi tidak sampai
belajar atau mengajar.”
Saya (penulis) katakan, “Keadaannya memang seperti yang
dikatakan oleh Beliau ra.. Orang-orang di masa belakangan,
sekarang ini tertinggal dari para salaf, dan ketertinggalan mereka
dari para pendahulunya itu benar-benar suatu kehancuran.
Sayyidina al-Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi26 mengatakan,

Siapa tak menempuh jalan keluarganya, akan bingung dan tersesat


Wahai keturunan Nabi, berjalanlah kalian dengan mengikutinya
Ikutilah selangkah demi selangkah dan jauhilah perbuatan bid`ah
Beliau juga mengatakan,

          


    
           
    

lxxiv
Pikiranku bingung, pula pikiran orang-orang serupa
oleh keturunan suci menyimpang dari asal
Kesedihanku bertambah, tetapi tak tahu apa harus dikata
Pertolongan Allah semoga, kembalikan penyimpangan mereka

Disebutkan dalam Tatsbît al-Fuad dari Habib Abdullah bin


Alwi al-Haddad, mengatakan, “Salah seorang tokoh besar Sadah
mendengar seorang syarif mengatakan, ‘Ayahku … kakekku ….’
Maka ia berkata kepadanya, ‘Jadilah engkau seperti ayah dan
kakekmu. Jika tidak, maka engkau hanyalah selembar sorban dan
gambar, yang tidak terdapat kemuliaan di dalamnya.’”
Beliau juga mengatakan dalam sebuah syair untuk
menghilangkan sikap mengandalkan nasab,

Berhati-hatilah engkau dari ucapan bodoh: “Aku


dan kamu berada dalam kemuliaan dan dalam keturunan mulia.”
Beberapa kaum telah tertinggal dan mereka tak bertujuan
mencapai kemuliaan, dan merasa cukup dengan ucapan, “Dia
ayahku.”

Alangkah bagusnya ucapan seseorang yang mengatakan,

Meskipun kedudukan kami mulia


tidak pernah kami bersandar pada kemuliaan saja
Kami membangun sebagaimana pendahulu kami
dan kami lakukan seperti mereka lakukan

lxxv
Al-Mutanabbi mengatakan,

Apabila seorang syarif tidak seperti datuknya


maka apa kelebihan dari ketinggian kedudukannya
Jika seorang Alawi tak seperti Imam Ja`far layaknya
maka dia hanya menjadi hujjah bagi kaum Nashibi

Al-Imam Ahmad bin Umar bin Sumaith27 mengatakan,

Barangsiapa memiliki harga diri


tak cukup baginya ucapan “Dia ayahku.”
Pemuda bukanlah yang merasa cukup
dan tertipu dengan nasab
Ia tinggalkan sebab-sebab keberhasilan
menggantinya dengan kerusakan nyata
Karena berharap harta dan kedudukan semata
tak punya keahlian dan bodoh pula
Sesungguhnya pemuda, yang teladannya
Al-Musthafa, nabi terbaik dari semua

Diriwayatkan bahwa sekelompok Sâdah berkumpul


membaca kitab al-Masyra’ ar-Rawi. Bersama mereka ada

lxxvi
seseorang dari kalangan masyarakat umum. Setelah dibacakan
kitab tersebut, ia berkata kepada mereka, “Mereka itu (tokoh-
tokoh yang disebutkan dalam kitab itu) keluarga siapa?” Para
Sâdah menjawab, “Mereka keluarga kami.” Kemudian orang
itu mengatakan, “Segala puji bagi Allah karena mereka bukan
keluargaku.” Para Sâdah berkata, “Seandainya mereka keluargamu
niscaya itu lebih baik bagimu.” Orang itu menjawab, “Seandainya
mereka keluargaku niscaya aku sangat malu dan bumi terasa
sempit bagiku karena amalku tidak seperti mereka.” Ucapan
orang tersebut menyadarkan dan memberi pelajaran bagi mereka
yang mendengarnya. Mereka kemudian bersungguh-sungguh
dan berusaha keras menuntut ilmu dan beramal sesuai dengan
thariqah para pendahulu mereka. Demikian yang disebutkan
oleh Habib Idrus bin Umar al-Habsyi.
Semoga Allah mengaruniai saya, saudara, dan sahabat-
sahabat, keseriusan dan kesungguhan yang sempurna yang dapat
mengumpulkan kita dengan orang-orang tua dan datuk-datuk
kita, dengan cara mengikuti jalan hidup mereka dan mengambil
thariqah mereka. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita
agar dapat mengikuti mereka dalam perbuatan, ucapan, dan
keyakinan. Serta memberi manfaat kepada kami melalui mereka
dalam urusan agama, dunia, maupun akhirat. Allah berfirman,

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh


Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.
(QS. al-An’am: 90)

Katakanlah, “Inilah jalan [agama]ku, aku dan orang-orang


yang mengikutiku mengajak [kalian] kepada Allah dengan
hujjah yang nyata. Mahasuci Allah dan tidaklah aku
termasuk orang-orang yang musyrik.”
(QS. Yusuf: 108)

lxxvii
Dan bahwa [yang Kami perintahkan ini] ini adalah jalan-
Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian
mengikuti jalan-jalan [yang lain], karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.
(QS. al-An’am: 153)

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada


junjungan kita, Nabi Muhammad, setiap kali orang yang ingat
mengingatnya dan orang yang lalai melalaikannya. Mahasuci
Tuhanmu, Tuhan Yang memiliki keperkasaan, dari apa yang
mereka sifatkan. Salam sejahtera semoga terlimpah kepada para
rasul. Segala puji milik Allah, Tuhan sekalian alam.

***

Dan aku, dengan segala puji bagi Allah Swt., meriwayatkan


Thariqah al-‘Alawiyah ini dari beberapa guru besar yang tersisa di
zaman akhir ini, orang-orang yang memiliki pondasi yang kokoh
dan kuat. Di antara mereka adalah, al-Habib al-‘Arifbillâh, sang
penunjuk jalan kepada-Nya dan orang yang berwibawa, Ali bin
Abdullah bin Idrus Syihâb, al-Habib al-‘Arifbillâh dan memiliki
keberkahan Ja’far bin Abdulqâdir bin Ahmad bin Abdulqâdir al-
‘Aidarûs, al-Habib al-‘Allamah al-Fâdhil Muhammad bin Sâlim
bin Hafîzh bin asy-Syaikh Abubakar bin Sâlim, al-Habib al-Imam
khalifah para salaf Abdulqâdir bin Ahmad bin Abdurrahman
as-Saqqâf, al-Habib al-‘Arif al-Wâshil Abubakar bin Abdullah al-
Habsyi, al-Habib al-Imam khalifah para datuk Ahmad Masyhûr
bin Thâha al-Haddad, al-Habib al-Imam al-Jalîl Ibrahim bin
Umar bin ‘Aqîl, dan al-Habib ad-Da‘i ilallâh Muhammad bin
Abdullah al-Haddâr ra., semoga Allah memberi manfaat kepadaku
melalui mereka. Dengan sanad mereka yang bersambung dan
mereka melihatnya generasi demi generasi hingga sampai kepada

lxxviii
guru besar para guru, al-Faqîh al-Muqaddam Muhammad bin
Ali Ba ‘Alawi. Dari ayah beliau asy-Syaikh Ali dan paman beliau
asy-Syaikh Alwi, dan mereka berdua dari ayah mereka asy-Syaikh
Muhammad Shâhib Mirbâth, dari ayah beliau asy-Syaikh Ali
Khâli’ Qasam, dari ayah beliau asy-Syaikh Alwi bin Muhammad,
dari ayah beliau asy-Syaikh Muhammad bin Alwi, dari ayah beliau
al-Imam Alwi bin ‘Ubaidillah, dari ayah beliau ‘Ubaidillah bin
Ahmad, dari ayah beliau al-Imam al-Muhâjir ilallah Ahmad bin
Isa, dari ayah beliau al-Imam Isa bin Muhammad, dari ayah beliau
al-Imam Muhammad bin Ali, dari ayah beliau Ali al-‘Uraidhiy, dari
ayah beliau al-Imam Ja’far ash-Shâdiq dan saudara beliau al-Imam
Musa al-Kâzhim, dari al-Imam Muhammad al-Bâqir, dari ayah
beliau al-Imam Zain al-‘Âbidin Ali bin Husain, dari ayah beliau
junjungan kami al-Imam al-Husain dan paman beliau al-Imam
al-Hasan dua cucu Rasulullah, mereka berdua dari ayah mereka
al-Imam Amir al-Mukminin Ali bin Abu Thalib Krw. dan dari ibu
mereka berdua Fâthimah az-Zahrâ, semoga Allah meridhai mereka

semua, dari Rasulullah Saw. dari Jibril al-Amîn, dari Allah Swt.
As-Sayyid al-‘Allamah Abubakar bin Abdurrahman
Syihâbuddîn berkata,
            
         
Mereka melihat dari ayah-ayah mereka, dari datuk mereka
dari Jibril, dari Yang Mahaperkasa dan Pencipta
Hingga sampailah rahasia Rasul sambung-menyambung
kepada mereka sampai di zaman kita saat ini

***

Kita mulai memasuki tujuan kitab ini dengan memohon kepada


Allah Swt. agar mendapatkan hidayah dan taufik untuk kebenaran.

lxxix
Tidak ada Tuhan selain Dia. Kepada-Nya aku berserah diri dan
kepada-Nya aku bertobat.
Setiap kelompok bahasan, akan kami buka dengan mengutip
ucapan Habib Idrus bin Umar al-Habsyi untuk masing-masing
keadaan dari lima keadaan yang telah disebut sebagai asas
Thariqah ‘Alawiyyah. Sesudah itu, kami akan menyebutkan
kesaksian berupa ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi, atsar
para salaf, dan manfaat-manfaat yang mulia. Hanya kepada Allah
kami memohon taufik.

Catatan Akhir
1. Al-Imam al-Kabîr (imam besar) Ahmad bin Zain al-Habsyi, seorang
‘Allamah muhaqqiq, imam mursyid, seorang alim yang mengamalkan
ilmunya. Dilahirkan tahun 1069 H dan wafat tahun 1144 H. Beliau
belajar kepada gurunya, al-Imam Abdullah al-Haddad selama hampir 40
tahun. Beliau menjelaskan sejumlah kasidah gurunya dengan penjelasan
bermutu. Beliau sendiri memiliki sejumlah karangan yang mencakup
berbagai cabang keilmuan dan macam-macam persoalan yang terdiri
atas 20 jilid besar. Muridnya, al-Imam Muhammad bin Zain bin Smith
secara khusus menulis biografinya yang luas dalam sebuah kitab besar
yang ia namakan Qurrah al-’Ain.
2. Al-Imam al-Jalîl al-Musnid al-Faqîh (imam besar, pensanad hadits, dan
faqih), ‘Idrus bin Umar al-Habsyi, tokoh Ghurfah. Dilahirkan di sana
tahun 1237 H dan wafat di sana pula tahun 1314 H. Di Hadramaut di
masanya, beliau dikenal sebagai pensanad hadits. Sejumlah perjalanan
dilakukan dalam rangka mencari guru dan mengambil ilmu dari
mereka. Beliau mengarang kitab yang sangat penting, ‘Iqd al-Yawâqît
al-Jauhariyyah wa Simt al-’Ain adz-Dzahabiyyah bidzikr Thariq as-Sadat
al-’Alawiyyah, dicetak dalam dua jilid. Karangannya yang lain adalah ‘Iqd
al-Lâl fi Asânid ar-Rijâl, Minhah al-Fattâh al-Fâthir fi al-Ittishâl bi asy-
Syuyûkh al-Akâbir. Semuanya telah dicetak.
3. Dari ‘Iqd al-Yawâqît al-Jauhariyyah (1: 31).

lxxx
4. Al-Imam al-Mujaddid al-Mushlih al-Kabîr al-‘Arifbillah wa ad-Dâl 'alaih
Sayyiduna Syaikh al-Islam wa Quthb ad-Da’wah wa al-Irsyâd (seorang
imam pembaharu, pelaku perbaikan yang besar, seorang yang sangat
mengenal Allah dan penunjuk ke jalan-Nya, junjungan kami, guru besar
tentang Islam, pemimpin dakwah dan bimbingan), Abdullah bin Alwi
bin Muhammad al-Haddad Ba ‘Alawi al-Husaini at-Tarimi. Dilahirkan
di as-Subair, dekat Tarim tahun 1044 H dan wafat di Tarim tahun 1132
H. Beliau sudah termasyhur untuk diperkenalkan. Para ahli ilmu dan
sejarawan sepakat menganggapnya sebagai mujaddid (pembaharu) abad
ke-12 di Hadramaut. Beliau diberi anugerah dapat diterima oleh semua
tingkatan dan kalangan di Hadramaut maupun di luar Hadramaut
di masa hidup dan setelah wafatnya. Beliau mendiktekan karangan-
karangan yang sangat bermanfaat karena beliau tak dapat melihat. Di
antara karangannya adalah an-Nashâih ad-Dîniyyah, ad-Da’wah at-
Tâmmah, dan sebagainya. Beliau juga memiliki diwan (kitab kumpulan
syair) yang mencakup pemahaman-pemahaman dan akhlak yang luhur.
Mengenai diwan-nya, beliau mengatakan, “Barangsiapa memiliki diwan
itu, maka cukup baginya.”
5. Al-Imam al-Muqri’ al-Mufassir al-Hafîzh (imam yang ahli tafsir dan
penghafal hadits) Abu al-‘Âliyah Rufai` bin Mihran ar-Riyâhî al-Bashrî
(wafat 93 H), tergolong tokoh dan ulama tabi`in.
6. Habib Ali bin Hasan al-Attas, tokoh al-Masyhad, dilahirkan tahun 1121
H dan wafat tahun 1172 H. Ia memiliki banyak karangan, di antaranya al-
Qirthas Syarh Ratîb al-Aththas dalam sebuah kitab besar, dan sebagainya.
Syaikh Abdullah Basaudan secara khusus menulis biografinya yang luas
dalam sebuah kitab besar.
7. Perkataan ini juga dikutip oleh Syaikh Abdullah Basaudan dalam Faidh
al-Asrâr dan Habib Idrus bin Umar dalam Iqd al-Yawâqît.
8. Seorang imam, teladan, pejuang, dan sangat alim. Dilahirkan di Tarim
tahun 1184 H. Tinggal di al-Masîlah bersama ayahnya dan saudara-
saudaranya. Di sana pula ia wafat pada tahun 1241 H. Beliau menimba
ilmu dari Habib Ahmad bin Hasan al-Haddad, Habib Ali bin Syaikh
bin Shahabuddin, dan para guru lain di masanya. Ia memiliki sejumlah
karangan, surat-surat, dan risalah-risalah. Di antara kitabnya yang
tersebar luas, al-Maslak al-Qarîb likulli Nâsik Munîb, Syarh Hadits Jibrîl,
dan sebagainya. Beliau juga memiliki diwan syair.
9. Lengkapnya an-Nahr al-Maurûd min Faidh al-Karam wa al-Jûd. Kitab ini
dikumpulkan dari nasihat-nasihat dan majelis-majelis Habib Idrus bin

lxxxi
Umar al-Habsyi oleh murid dan orang terdekatnya, Habib ’Ubaidillah
bin Muhsin as-Saggaf yang wafat di Sewun tahun 1324 H. Kitab ini
masih berupa tulisan tangan.
10. Hujjatul-Islam wa Imâm al-Aimmah al-A’lâm Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali asy-Syâf`i`i (450-505
H), seorang yang sangat langka di kalangan umat dan pemimpin para
imam. Popularitas dan karya-karyanya merata di berbagai belahan dunia.
Biografinya yang luas dapat dilihat dalam Thabaqat asy-Syafi`iyyah al-
Kubra (6: 191-389). Pengarang kitab ini membuat sebuah pasal khusus
untuk mendorong orang membaca karya-karya al-Ghazali.
11. Al-Imam al-’Allamah al-Faqîh al-Musnid al-Muqri’ al-’Arifbillah, as-
Sayyid asy-Syarif Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Ali al-Attas Ba
’Alawi al-Husaini. Dilahirkan tahun 1257 H di Huraidhah, tempat
tinggal datuk-datuknya keluarga al-Attas. Di sana pula beliau wafat
pada tahun 1334 H. Beliau menuntut ilmu di Hadramaut dan Hijaz.
Menyelesaikan pelajaran pada gurunya, mufti Syâfi`iyyah di Makkah,
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Sejumlah tokoh besar mengambil ilmu
darinya, dan di masanya beliau termasuk pemuka dari para tokoh besar.
Biografinya dituliskan tersendiri. Kitab yang paling lengkap tentang
beliau adalah kitab Înâs an-Nâs bimanaqib al-Habib Ahmad bin Hasan
al-Aththas karya muridnya, Syaikh Muhammad bin `Awadh Bafadhal
dalam dua jilid besar, juga mengumpulkan perkataan-perkataannya
dalam sebuah kitab yang dinamakannya Tanwîr al-Aghlâs dalam dua jilid
juga.
12. Beliau adalah al-Imam al-’Allamah as-Sayyid asy-Syarif Abdurrahman
bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqîh Ba ’Alawi al-Husaini, dikenal sebagai
‘Allamah ad-Dunya. Lahir di Tarim tahun 1105 H dan di sana pula
wafatnya, tahun 1162 H. Seorang yang alim, terbuka, ahli, cermat, dan
seorang ‘Arifbillah yang telah sampai pada tujuan. Beliau menyelesaikan
belajarnya pada ayahnya dan juga pada gurunya, al-Imam al-Haddad.
Banyak orang yang mengambil manfaat pada mereka berdua. Selain itu,
beliau juga mengambil ilmu dari para ulama selain mereka. Beliau pernah
melakukan perjalanan ke Zabid dan Hijaz dan berkumpul dengan tokoh-
tokoh besar. Beliau memiliki banyak karangan, di antaranya Nazhm
Risâlah al-Murîd. Risâlah al-Murîd sendiri karya gurunya, al-Haddad.
Juga Raf`ul-Astâr yang merupakan syarah manzhumah-nya dalam sanad
yang diijazahkan oleh as-Sayyid Sulaiman bin Yahya bin Umar al-Ahdal.

lxxxii
Karyanya ini telah dicetak, tetapi sebagian besar karyanya masih berupa
tulisan tangan.
13. Yakni, al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas.
14. As-Sayyid asy-Syarif al-Waliy ash-Shalih al-Habib Abdullah bin Muhsin
bin Muhammad bin Abdullah al-Attas. Dilahirkan di Huraidhah dan
wafat di Bogor tahun 1352 H. Beliau menimba ilmu dari Habib Ahmad
bin Hasan al-Attas dan yang seangkatan dengannya, juga dari Habib
Muhammad al-Muhdhar, Habib Muhammad bin ’Idrus al-Habsyi, dan
sebagainya. Beliau seorang ulama yang memiliki kedudukan tinggi di
Jawa. Banyak tokoh besar yang menimba ilmu darinya, seperti Habib
’Alwi bin Thâhir al-Haddad dan saudaranya, Habib Abdullah bin Thâhir
al-Haddad, juga Habib Ahmad Masyhur al-Haddad, Habib Sâlim bin
Hafîzh, dan sebagainya. Perkataan-perkataannya dikumpulkan oleh
muridnya, Syaikh Abdurrahman Baraja’.
15. Al-Imam al-Kabir as-Sayyid asy-Syarif al-’Arifbillah Sulthan al-Mala’ al-
’Aydarus al-Akbar Abdullah bin Abu Bakar bin Abdurrahman as-Saggaf.
Beliau yang pertama disebut al-’Aydarus. Lahir di Tarim tahun 811 H
dan di sana pula beliau wafat tahun 865 H. Orang-orang di masanya
sepakat atas keutamaan dan kepeloporannya. Setelah pamannya, al-
Imam Sayyidina Umar al-Muhdhar wafat, orang-orang menetapkannya
sebagai syaikh. Karamahnya diketahui orang secara mutawatir. Jalan
hidupnya dikarang secara khusus oleh al-Imam asy-Syaikh Umar
bin Abdurrahman Shahib al-Hamra’ Ba ’Alawi, sedangkan sebagian
perkataannya dikumpulkan oleh al-Imam Muhammad bin Ali Maula
‘Aidid.
16. Al-Imam al-’Allamah as-Sayyid asy-Syarif wa al-`Alam al-Munif al-
’Arifbillah wa ad-Dal `alaih al-Habib Muhammad bin Zain bin ’Alwi
bin Sumaith al-Husaini. Lahir di Tarim tahun 1100 H dan wafat di
Syam tahun 1172 H. Mendapat didikan gurunya, al-Imam Abdullah
al-Haddad, menyelesaikan belajar padanya, dan selalu mendampinginya.
Beliau juga banyak menghafal berita-berita dan manaqib gurunya yang
disusun dalam kitab Ghayah al-Qashd wa al-Murad fi Manaqib al-Imam
al-Haddad. Sedangkan berita-berita tentang dia sendiri disusun oleh
muridnya, seorang syaikh yang saleh dan faqih, Ma`ruf bin Muhammad
Bajammal dalam kitabnya, Majma` al-Bahrain fi Manaqib al-Habib
Muhammad bin Zain dalam sebuah kitab besar. Allah telah memberi
manfaat yang besar dengannya dan dengan dakwahnya kepada orang

lxxxiii
banyak di Syibam. Hijrahnya ke sana adalah pada tahun 1135 H bersama
ayah dan keluarganya. Mereka menetap di sana dan menyebarkan
dakwah di jalan Allah ke segala pelosoknya. Setelah gurunya, al-Imam
al-Haddad wafat, rujukannya adalah gurunya yang lain, Habib Ahmad
bin Zain al-Habsyi. Mengenai itu beliau mengatakan,

Kupuja Yang Maha Pengasih saat Ia anugerahiku


dengan keindahan murni. Telah diulurkan kepadaku
kenikmatan, tak ada kenikmatan lain yang menandingi
Kenikmatan yang agung, telah bersemayam padaku
nisbatku pada kaum sadah (pemimpin) manusia
Mereka berdua adalah pegangan, sandaran, dan penopangku
Mereka berdua adalah al-Haddâd dan al-Habsyi yang
merupakan harta simpananku saat dua tanganku letih
Kehilangan apakah mereka yang mencapai keduanya?
Dan yang kehilangan keduanya, apakah yang mereka capai?

17. Penyair terkenal, Abu ath-Thayyib Ahmad bin al-Husain al-Kindi,


termasuk penyair Arab terbesar yang memiliki perumpamaan-
perumpamaan yang tersebar, hikmah-hikmah yang mendalam, dan
makna-makna yang kreatif dalam syairnya. Lahir di Kindah, Kufah
tahun 303 H dan wafat karena penyakit epilepsi di Baghdad tahun 354
H. Diwannya penuh dengan syair berisi hikmah, falsafah kehidupan,
dan gambaran tentang peperangan.
18. Al-Imam al-‘Adil wa al-Khalifah ar-Rasyid al-Khamis Abu Hafsh Umar
bin Abdulaziz bin Marwan bin al-Hakam al-Umawi al-Qurasyi. Ia seorang
imam yang faqîh, mujtahid, zuhud, banyak beribadah. Keadilan dan
kezuhudannya sering dijadikan contoh. Al-Imam al-Bâqir mengatakan,
“Orang mulia dari Bani Umayyah adalah Umar bin Abdulaziz. Pada hari

lxxxiv
Kiamat, ia akan dibangkitkan sebagai satu umat.” Umar bin Abdulaziz
wafat diracun tahun 101 H. Semoga Allah merahmatinya.
19. Al-Imam al-Allamah al-Qudwah az-Zahid al-Ustadz Abu al-Qasim
‘Abdul Karim bin Hawâzin al-Qusyairi asy-Syafi`i (375-465 H),
pengarang ar-Risalah al-Qusyairiyyah, sebuah kitab yang sangat terkenal.
Beliau seorang yang sangat alim dalam fiqih, ushul, tafsir, sastra, dan
sebagainya. Tak ada bandingnya dalam suluk dan memberi peringatan,
tergolong tokoh terkemuka di kalangan Ahlussunnah.
20. Imam besar yang banyak menuturkan hikmah, Abu al-Qasim al-Junaid
bin Muhammad al-Baghdadi, seorang syaikh di zamannya, dikenal sebagai
Imam ath-Thaifatain (pemimpin dua kelompok), yaitu kelompok syariat
dan kelompok hakikat. Beliau bersahabat dengan pamannya dari garis
ibu, as-Sariy as-Saqathi, juga al-Hârits al-Muhâsibi, dan sekelompok
ulama lain. Menimba ilmu fiqih dari Abu Tsaur dan telah berfatwa di
halaqahnya dalam usia 20 tahun. Sebagian besar thariqah-thariqah sufi
bersumber kepadanya.
21. As-Sayyid asy-Syarif az-Zaim al-Mushlih al-Habib Muhsin bin Alwi bin
Saggaf bin Muhammad as-Saggaf. Lahir di Sewun tahun 1210 H dan
wafat di sana tahun 1290 H. Seorang imam yang alim dan mengamalkan
ilmunya. Seorang yang cerdas dan memiliki pendapat yang kokoh.
Banyak membaca Al-Qur’an, dan memiliki suara merdu. Pernah
menjabat sebagai qadhi di Sewun, tetapi kemudian mengundurkan diri.
Di akhir usianya, penglihatannya hilang. Menyelesaikan belajarnya pada
ayah dan paman-pamannya yang merupakan imam terkemuka. Sultan-
sultan dari keluarga Katsir segan kepadanya. Beliau memiliki karangan,
yaitu kitab Ta`rif al-Khalaf bi Thariq as-Salaf. Juga sebuah diwan yang
besar yang penuh dengan adab dan nasihat-nasihat. Keduanya telah
dicetak.
22. Al-’Allamah al-Faqîh wa al-Imam an-Nabîh, as-Sayyid al-Habib Abdullah
bin Husain bin Abdullah Bilfaqîh. Lahir di Tarim tahun 1198 H dan
wafat di kota ini pula tahun 1266 H. Beliau seorang faqih muhaqqiq,
lautan ilmu yang mengalir dengan deras. Beliau menjabat sebagai mufti
seluruh Hadramaut. Di masanya, beliau menjadi rujukan para ulama.
Fatwa-fatwanya dikumpulkan dalam sebuah kitab besar. Demikian pula
risalah-risalah dan jawaban-jawaban ilmiahnya. Beliau telah menyusun
banyak karya, di antaranya Kifayah ath-Thalib Syarh Hidayah ar-Raghib
di mana baik matan (konteks hadits) maupun syarah-nya adalah susunan

lxxxv
beliau. Juga kitab Mathlab al-Iqazh fi al-Kalam `ala Syay’ min Ghurar
al-Alfazh mengenai istilah-istilah para fuqaha mazhab Syafi`i. Ketiganya
telah dicetak. Selain itu ada lagi karya-karya lainnya.
23. Sayyidina al-Imam al-Humam Syaikh asy-Syuyukh `Unwan ar-Rusukh
Quthb `Ashrihi wa Imam Mashrihi (Junjungan kita, imam dan
pemimpin, guru para guru, alamat orang-orang yang teguh, quthub
di masanya dan imam di negerinya), Syaikh Abdurrahman as-Saggaf
bin Muhammad Maula ad-Dawîlah bin Ali bin Alwi al-Ghuyur bin
al-Faqîh al-Muqaddam. Lahir tahun 819 H dan wafat dalam usia 80
tahun di Tarim. Beliau tergolong wali besar. Beliau tidak tidur, baik
malam maupun siang. Sehingga pernah ditanya tentang hal itu, beliau
menjawab, “Bagaimana bisa tidur jika ketika berbaring menghadap ke
kanan melihat surga dan ketika menghadap ke kiri melihat neraka?”
Beliau mengkhatamkan Al-Qur’an delapan kali sehari, empat kali di
waktu siang dan empat kali di waktu malam. Semoga Allah meridhainya.
24. Seorang sayyid yang sangat alim dan wara’ (berhati-hati), Abdurrahman
bin asy-Syaikh Ali bin Abu Bakar as-Sakran bin asy-Syaikh Abdurrahman
as-Saggaf. Dilahirkan di Tarim tahun 850 H dan wafat di sana tahun
923 H. Seorang imam yang alim, faqih, dan wara’. Beliau hafal kitab al-
Hawi karya an-Najm al-Qazwini dalam fiqih. Seorang yang sangat wara’,
penuh kehati-hatian sampai-sampai selalu mandi setiap akan melakukan
shalat fardhu. Ia memiliki banyak keistimewaan dan keutamaan.
25. As-Sayyid asy-Syarif Muhammad bin Abu Bakar asy-Syilli Ba `Alawi al-
Husaini al-Hadhrami, kemudian al-Makki. Dilahirkan di Tarim tahun
1030 H dan wafat di Makkah tahun 1094 H. Beliau menuntut ilmu dan
berjumpa dengan para guru besar di Tarim dan di Makkah. Di Makkah
belajar kepada al-Imam al-Babili dan asy-Syaikh Isa al-Maghribi ats-
Tsa’alibi al-Madani dan lain-lain. Karya-karyanya yang sangat penting di
antaranya al-Masyra’ ar-Rawi fi Manaqib Bani ‘Alawi, as-Sanâ’ al-Bâhir
Dzail an-Nûr as-Sâfir fi Akhbar al-Qarn al-`Âsyir, al-Jawâhir wa ad-
Durar fi Târikh al-Qarn al-Hadi Asyar, dan sebagainya.
26. As-Sayyid asy-Syarif al-’Alim az-Zahid al-’Arifbillah Syaikh al-
Mutaakhkhirin, al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi,
putra Mufti Makkah dan saudara faqih kota ini. Lahir di Qasam
tahun 1259 H dan wafat di Sewun tahun 1333 H. Mengambil ilmu
dari ayahnya dan sejumlah ulama lainnya. Pernah pula mengadakan
perjalanan ke Zabid dan Hijaz. Kemudian menetap di Sewun dan

lxxxvi
menjadi sangat terkenal di sana. Di kota ini beliau membangun Masjid
ar-Riyadh dan sebuah rubath bagi para penuntut ilmu. Sangat banyak
orang yang mengambil manfaat darinya.
27. Seorang imam dan da’i, seorang yang alim, mengamalkan ilmunya,
dan seorang mursyid, Habib Ahmad bin Umar bin Zain bin Alwi bin
Sumaith Ba ‘Alawi al-Husaini. Lahir dan wafat di Syibam, Hadramaut.
Lahir sekitar tahun 1183 H dan wafat tahun 1257 H. Mengambil
ilmu dari ayahnya, anak pamannya, Abdurrahman bin Muhammad,
dan sejumlah ulama lainnya. Pada masanya, beliau menjadi tujuan
para penuntut ilmu. Beliau melakukan pembaharuan dalam dakwah
di Hadramaut umumnya dan Syibam pada khususnya. Para guru besar
pada masanya mengakui kelebihannya. Banyak orang yang mengambil
ilmu darinya. Terdapat kumpulan ucapan dan nasihatnya, juga diwan
dan surat-suratnya. Semuanya akan diterbitkan dengan diberi tahqiq
dengan izin Allah oleh Dar al-’Ilm wa ad-Da’wah di Tarim, Hadramaut.

lxxxvii
Bab 1
Keistimewaan
ILMU
“Allah mengangkat derajat para ulama
di hari Kiamat dengan tujuh ratus derajat
dibanding kaum mukmin yang lain.
Sedangkan jarak antara derajat yang satu
dengan derajat yang lain adalah sejauh
perjalanan lima ratus tahun.”
1
Pujian terhadap Ilmu dan Celaan
terhadap Kejahilan

Ketahuilah, sesungguhnya ilmu, yakni mempelajari dan mengajarkannya,


adalah lebih tinggi dan lebih utama dibanding semua perbuatan yang
dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, berdasarkan dalil-dalil
yang sangat banyak untuk dibatasi dan sangat dikenal untuk disebutkan.
Allah Swt. berfirman,

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak


disembah) selain Dia, yang menegakkan kebenaran. Para
malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Ali ‘Imran: 18)

Allah Swt. memulai dengan diri-Nya sendiri, kemudian dengan


para malaikat-Nya, dan selanjutnya para ahli ilmu. Cukuplah itu
sebagai kemuliaan dan kebanggaan bagi mereka.
Dalam ayat lain Allah berfirman,
Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang- orang yang tidak mengetahui?
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran.”
(QS. az-Zumar: 9)

Artinya, mereka tidak sama selamanya, tidak di dunia dan


tidak pula di akhirat. Allah memberi kelebihan derajat yang
banyak bagi orang berilmu dibanding yang tidak berilmu.
Maka, tidak mungkin ada kesamaan antara para ulama yang
mengamalkan ilmunya dengan orang-orang jahil.
Allah Swt. juga berfirman,

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang


beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat.
(QS. al-Mujâdilah: 11)

Sebuah keterangan dari Ibnu Abbas menyebutkan, “Allah


mengangkat derajat para ulama di hari Kiamat dengan tujuh
ratus derajat dibanding kaum mukmin yang lain. Sedangkan
jarak antara derajat yang satu dengan derajat yang lain adalah
sejauh perjalanan lima ratus tahun.”
Saya (penulis) katakan bahwa keutamaan itu adalah karena
ilmu merupakan dasar ibadah dan sumber kebaikan. Sebagaimana
kejahilan merupakan pangkal setiap keburukan dan asal semua
bencana.
Sayyidina al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad
mengatakan, “Kejahilan adalah asal setiap keburukan dan sumber
setiap bahaya.” Kejahilan dan orang yang memilikinya termasuk
dalam sabda Nabi Saw., “Dunia itu terlaknat. Terlaknat segala
yang berada di dalamnya, kecuali berzikir kepada Allah dan yang

4
terkait dengannya, orang alim, serta orang yang mempelajari
ilmu.”1 Sayyidina Ali ra. mengatakan, “Tidak ada musuh yang
lebih membahayakan dibandingkan kebodohan dan seseorang
adalah musuh dari ketidaktahuannya.”
Al-Imam Abdullah al-Haddad dalam kitab Risâlah al-
Mudzâkarah mengatakan bahwa, orang yang tak berilmu terjebak
dalam meninggalkan ketaatan dan melakukan perbuatan-perbuatan
maksiat, baik dikehendaki atau tidak. Sebab ia tidak mengetahui
tentang ketaatan yang diperintahkan Allah untuk dilakukan, dan
tidak tahu pula tentang maksiat yang dilarang Allah untuk dikerjakan.
Ia tidak dapat keluar dari gelapnya kejahilan kecuali dengan cahaya
ilmu. Sungguh bagus ucapan Syaikh Ali bin Abu Bakar:2 
     
Kejahilan adalah api yang membakar agama seseorang
dan ilmu adalah air yang memadamkan api itu 
Sayyidina al-’Arifbillah Umar bin Saqqâf as-Saqqâf3
 mengatakan,
 “Ketahuilah
 bahwa ilmu

  mengangkat
yang  
rendah,
 sedangkan
kejahilanmenurunkan
 yang   tinggi.
  Barangsiapa
   yang

nasabnya mulia tetapi kejahilan menggelapkan kemuliaannya, 
makakeadaannya
menjadi
 rendah
 dan  kedudukannya
   akan
ditempatkan bersama orang-orang jahil. Maka tidak ada
kehidupan melainkan untuk orang-orang berilmu dan tidak
melainkan
ada kematian  untuk orang-orang
 jahil,   
sebagaimana
dikatakan,
      
   
  
    

 

Dalam kejahilan kematian sebelum pemiliknya mati
 Jasad
mereka
 kuburan
sebelum
masuk
 ke  dalam
 kubur
 
Sesungguhnya yang tak hidup dengan ilmu bagaikan mayat
Takada
kebangkitan
 baginya
  
 dibangkitkan
hingga 
         
      
            
         5
   
  
        
      
Jadi
dalam
 terdapat
ilmu  kehidupan
 yang
 abadi
dan
dalam
 
kejahilan terdapat kematian yang abadi pula. Dalam sebuah syair
dikatakan,
     
Bukanlah yang mati lalu beristirahat itu mayit
 Sesungguhnya
 mayit  adalah  kehidupan
 yang mati


   
 


 



  
 Maksudnya
 adalah,  orang
 yang  mati  karena   kejahilan
  dan
jauh dari Allah itulah mayit yang sesungguhnya, sekalipun
bentuk dan fisiknya hidup.
Seorang salaf mengatakan, “Sebaik-baik anugerah adalah 
akal danseburuk-buruk
 musibah
 adalah
 kejahilan.”
 
         
      
  Seorang   ulama
   mengatakan,
     
        
           
Belajarlah! Tak ada yang dilahirkan sebagai alim
Taklah yang berilmu seperti yang jahil  
  Sungguh,
 pembesar
 suatu
 kaum
  yang
 tak
  miliki
 ilmu
   
adalah kecil jika berada dalam pertemuan-pertemuan

            
Sahl bin Abdullah at-Tustariy4 mengatakan, “Tidak ada
suatu kemaksiatan kepada Allah yang lebih besar dibanding
kejahilan.” Beliau kemudian ditanya, “Wahai Abu Muhammad,
apakah engkau mengetahui sesuatu yang lebih buruk daripada
kejahilan?” Beliau menjawab, “Ya, ketidaktahuan terhadap
kejahilan!”
Saya (penulis) mengatakan: Hal itu—sebagaimana yang
dikatakan oleh Imam al-Ghazali—karena ketidaktahuan terhadap
kejahilan menutup rapat-rapat pintu belajar. Seseorang yang

6
menyangka dirinya alim mana mungkin akan belajar? Demikian
pula yang paling utama digunakan untuk ketaatan kepada Allah
adalah ilmu, dan pangkal ilmu adalah pengetahuan tentang ilmu
sebagaimana pangkal kejahilan adalah ketidaktahuan terhadap
kejahilan.
Al-Khalîl bin Ahmad5 mengatakan, “Ada empat kelompok
orang: Seorang yang mengetahui dan tahu bahwa dirinya
mengetahui. Dia adalah seorang alim, maka ikutilah dia. Seorang
yang mengetahui tetapi tidak tahu bahwa dirinya mengetahui.
Dia adalah orang yang lalai, karenanya bangunkanlah. Seorang
yang tidak mengetahui dan tahu bahwa dirinya tidak mengetahui.
Dia adalah orang yang meminta petunjuk, maka tunjukilah.
Seorang yang tidak mengetahui dan tidak tahu bahwa dirinya
tidak mengetahui. Dia adalah orang yang jahil, maka tinggalkan
dia.”
Pengarang kitab ‘Iqd al-Yawâqît al-Jauhariyyah menyebutkan
keterangan dari Syaikh Fadhl bin Abdullah at-Tarimi6 yang
mengatakan, “Aku bertanya kepada Syaikh Muhammad bin Abu
Bakar Ba’abbad,7 ‘Apakah ilmu itu lebih luas daripada kejahilan
ataukah kejahilan yang lebih luas daripada ilmu?’ Beliau
menjawab, ‘Bagi orang yang mendalami, ilmu lebih luas daripada
kejahilan. Adapun bagi yang tidak mendalami, kejahilan lebih
luas daripada ilmu.’”
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan
dalam Risâlah al-Mu’âwanah, “Ketahuilah bahwa orang yang
beribadah kepada Allah tanpa ilmu, lebih banyak bahaya yang
kembali kepadanya dengan sebab ibadahnya daripada manfaat
yang ia peroleh darinya. Berapa banyak ahli ibadah, yang telah
meletihkan dirinya dalam beribadah dan bersamaan dengan itu
tetap melakukan maksiat yang menyangka bahwa sesungguhnya
maksiatnya adalah ketaatan atau bukan merupakan maksiat.
Syaikh al-’Arif billah Muhammad bin ’Arabi8 dalam bab al-
Washâyâ dalam kitab al-Futuhât9 mengisahkan seorang penduduk

7
Maghrib yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah.

Orang itu membeli
keledai
 betina
 dantidak
 menggunakannya
 
untuk apa pun. Lalu sesesorang bertanya kepadanya alasan
ia membiarkan keledainya itu. Orang itu menjawab, ’Aku 
membiarkannya semata-mata untuk menjaga kemaluanku
dengannya!’ Ternyata ia tidak tahu bahwa menggauli binatang
   
ternak adalah haram hukumnya. Ketika orang yang bertanya itu
  
 bahwa
memberitahu perbuatannya
 itu  haram,
   ia
 pun
  menangis
  
sejadi-jadinya.”
Maka, orang yang tidak mempelajari ilmu tidak akan
mengetahui hukum-hukum ibadah dan mendirikan hak-haknya.
Seandainya pun seseorang
 beribadah
 kepada
 Allah seperti 
ibadahnya para malaikat di langit tetapi dilakukan tanpa ilmu, ia
tetap termasuk orang yang merugi. Karenanya, setiap orang harus
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan meninggalkan
 dan
sikap malas  jenuh.
  Jika
 tidak,
maka
iaberada
dalam bahaya

 
kesesatan. sesungguhnya
Karena   kejahilan
 itu  termasuk
   perkara
 
yang paling buruk.
Al-Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi mengatakan,
 
         
      
              
Kebodohan zamanku membawa kesedihan dan kegundahan
Bagaimana penduduk zaman telah mengabaikan ilmu
Aku heran dengan orang yang rela dengan kejahilannya
Sedangkan Tuhan memberinya pemahaman dari anugerah-Nya

8
Catatan Akhir
1. Di-takhrij-kan oleh at-Tirmîdzî (2322) dan Ibnu Mâjah (4112) dari
hadits Abu Hurairah ra.. At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini hasan
gharîb.”
2. Asy-Syaikh al-Imam al-‘Arifbillah Ali bin Abu Bakar as-Sakrân bin
Abdurrahman as-Saqqâf Ba ‘Alawi al-Husaini at-Tarimi. Lahir di Tarim
tahun 818 H dan wafat di sana pula tahun 895 H. Beliau termasuk
pemuka ulama pada masanya, hafal kitab al-Hâwi ash-Shaghîr dan lain-
lainnya. Beliau juga seorang yang wara’ (berhati-hati dari hal-hal yang
syubhat). Karena rasa wara’ yang dimilikinya, beliau tidak minum kopi
karena kopi adalah sesuatu yang baru (tidak ada di zaman Rasulullah).
Beliau telah membaca kitab al-Ihya sebanyak 25 kali. Kitab itu juga
dibaca murid-muridnya di hadapannya sebanyak itu pula.
3. Habib Umar bin Saqqâf bin Muhammad bin Umar bin Thaha ash-Shâfi
as-Saqqâf. Beliau seorang imam ‘ârifbillah. Keilmuan dan keulamaan
di Sewun, bahkan di Hadramaut secara keseluruhan, berpuncak pada
dirinya. Beliau juga seorang yang saleh dan zuhud. Kelebihannya sangat
banyak. Lahir di Sewun, dan wafat di kota ini juga pada tahun 1216
H. Beliau memiliki beberapa karangan, di antaranya Tafrîh al-Qulûb wa
Tafrîj al-Kurûb, salah satu karangannya yang telah dicetak. Muridnya,
Syaikh Abdullah bin Sumair secara khusus menulis riwayat hidupnya
dalam kitab yang dinamakan al-Manhal al-‘Adzb ash-Shâfi.
4. Imam, sufi, dan seorang yang zuhud, pemuka orang-orang arif, Abu
Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus at-Tusturiy (200-283 H).
Termasuk pemuka di antara para imam mutakallimin dalam ilmu-
ilmu keikhlasan dan olah jiwa. Adz-Dzahabi mengatakan, “Beliau (at-
Tusturiy) memiliki ucapan-ucapan yang bermanfaat, nasihat-nasihat
yang baik, dan kaki yang kokoh dalam menempuh jalan Allah.”
5. Al-Imam al-‘Allamah Abu Abdurrahman al-Khalîl bin Ahmad al-
Farâhîdî (100-170 H), termasuk pemuka di kalangan imam dalam ilmu
bahasa dan sastra. Al-Khalîl adalah pencipta (perintis) ilmu ‘arudh (ilmu
tentang syair) dan merupakan guru dari Sibawaih, pakar nahwu. Beliau
menyusun sejumlah karangan, di antara kitabnya yang sangat terkenal,
al-‘Ain.

9
6. Syaikh Fadhl bin Abdullah Bafadhl at-Tarîmî, wafat di kota asy-Syihr
tahun 805 H. Beliau imam di kalangan pemuka para ‘ârifin. Memiliki
banyak keistimewaan dan karamah-karamahnya mutawatir.
7. Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Ba ‘Abbâd, wafat di Syibâm tahun
801 H, termasuk imam para muhaqqiq terkemuka. Dari beliaulah di
antaranya Syaikh Abdurrahman as-Saqqâf (819 H) mengambil ilmu.
Di antara karangannya al-Minhâj al-Qawîm fi Manâqib asy-Syaikh
Abdullah al-Qadîm yang masih berupa tulisan tangan (belum dicetak).
Yang dimaksud dengan Abdullah dalam karangannya adalah kakeknya,
Abdullah bin Muhammad Ba ‘Abbâd yang wafat di Syibâm tahun 687
H.
8. Seorang wali besar dan imam muhaqqiq, Muhyiddin Muhammad bin Ali
bin al-‘Arabi al-Hâtimiy ath-Thaiy al-Andalusi (560-638 H). Dilahirkan
di Murcia, Andalusia (Spanyol). Beliau melakukan perjalanan ke Syam,
Rum, Irak, Hijaz, dan sebagainya, lalu menetap di Damsyiq (Damaskus)
dan wafat di sana. Beliau memiliki keunggulan dalam semua ilmu dan
memiliki perhatian terhadap atsar. Dalam ma’rifatullah, beliau telah
mencapai puncak sehingga digelari Sulthan al-‘rifin dan asy-Syaikh
al-Akbar. Beliau menulis sekitar 400 kitab, di antaranya yang paling
terkenal adalah al-Futuhât al-Makkiyyah.
9. Bab al-Washâyâ (bab wasiat) ini telah dicetak dalam kitab tersendiri,
sehingga sebagian orang menyangka itu merupakan karangan tersendiri
darinya, padahal tidak demikian.

10
2
Hadits-hadits Mengenai
Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu

Ketahuilah sesungguhnya agama Islam ditegakkan berdasarkan ilmu


dan pengetahuan. Karena itu, tidak semestinya seorang muslim jauh
dari cahaya ilmu, bahkan mesti mengambilnya dari warisan nabi. Karena
sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan wakil para Rasul as..
Mu’âwiyah mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda,
’Barangsiapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan maka dia
dijadikan-Nya paham tentang agama.’”10 Rasulullah Saw. juga bersabda,
“Tidak ada yang lebih utama untuk digunakan dalam beribadah daripada
memahami agama.”11 Beliau juga bersabda, “Satu orang faqih lebih
ditakuti oleh setan daripada seribu orang ’abid (ahli ibadah).”12
Abu ad-Dardâ’ mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu,
maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan
sesungguhnya para malaikat menghamparkan sayap-sayapnya bagi
penuntut ilmu karena senang dengan yang dilakukannya. Dan
sesungguhnya makhluk yang berada di langit dan di bumi, bahkan
sampai ikan-ikan di air, memintakan ampun bagi seorang alim.
Dan keutamaan seorang alim dibanding seorang ’abid (ahli ibadah)
adalah seperti keutamaan bulan dibandingkan planet-planet lain.
Dan sesungguhnya para ulama pewaris para nabi dan sesungguhnya
para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, melainkan hanya
mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya berarti dia
telah mengambil keuntungan yang besar.”13
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna para malaikat
menghamparkan sayapnya bagi penuntut ilmu. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa itu merupakan kiasan dari sikap tawadhu terhadap
para penuntut ilmu dan kekhusyukan. Ada pula yang mengatakan
bahwa maksudnya adalah menahan diri dari terbang untuk turun dan
hadir bersama para penuntut ilmu. Pendapat lain mengatakan bahwa
maksudnya adalah penghormatan dan pengagungan bagi penuntut
ilmu. Pendapat lain lagi mengatakan bahwa maksudnya adalah
membawa dan menolong penuntut ilmu untuk mencapai tujuannya.
Saya (penulis) mengatakan bahwa makna terakhir yang di­­
kuatkan oleh cerita tentang Syaikh Ahmad Abu al-Ja’di14 bahwa ketika
Syaikh Abdullah Ba’abbad dan saudaranya15 mendatanginya, maka
Syaikh Ahmad mengambil berkah dan mengusap kaki keduanya
dan menyuruh mereka meletakkan kaki-kaki mereka di atas salah
satu anggota tubuhnya. Mereka berdua lalu bertanya kepadanya,
“Mengapa engkau lakukan itu sedangkan kami mendatangimu
untuk mengambil berkah darimu dan mengambil manfaat dari ilmu
dan akhlakmu?” Syaikh Ahmad menjawab, “Aku tidak melakukan
itu melainkan karena aku melihat para malaikat menghamparkan
sayapnya bagi kalian dan aku melihat kalian meletakkan kaki di
atasnya. Maka aku menginginkan keberkahan dan mengambil berkah
dari tempat-tempat yang disentuh oleh sayap malaikat.” Demikian
yang disebutkan dalam kitab an-Nahr al-Maurûd.
Adapun ilham yang diberikan kepada hewan untuk memohonkan
ampun bagi seorang alim, ada pendapat yang mengatakan bahwa
sesungguhnya hewan diciptakan untuk kebaikan dan manfaat bagi
para hamba. Dan para ulama, merekalah yang menjelaskan tentang
yang halal dan haram dari hewan-hewan itu, dan yang berpesan agar

12
berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan yang merugikannya.
Demikian disebutkan oleh Ibnu Jamâ’ah dalam kitab at-Tadzkirah.16
Habib Idrus bin Umar al-Habsyi pernah ditanya tentang manfaat
yang diperoleh ikan dari seorang alim hingga ikan memohonkan ampun
baginya. Maka beliau menjawab, “ Orang alim yang sesungguhnya
adalah bila dia beramal dengan ilmunya dan mengajarkannya kepada
manusia, memerintahkan orang melakukan kebaikan, dan melarang
mereka dari kejahatan. Allah meridhai hamba-hamba-Nya dan
menurunkan rahmat dengan keberkahan ketaatan. Dan menurunkan
hujan yang bermanfaat bagi semua hewan termasuk ikan di laut. Semua
itu berkat ilmu dan seruan orang alim. Seorang alim juga menyeru
agar orang berbuat baik kepada hewan dalam segala keadaannya.
Termasuk ketika menyembelih binatang yang harus disembelih dan
ketika membunuh binatang yang boleh dibunuh, dan melarang
mencincangnya.” Dengan demikian, jelaslah mengapa segala sesuatu
memintakan ampun untuk seorang alim, termasuk ikan yang ada di
laut. Demikian keterangan dari kitab an-Nahr al-Maurûd.
Saya (penulis) katakan bahwa istighfar ikan di laut bagi seorang alim
adalah ketika masih hidup dan setelah matinya hingga hari Kiamat kelak.
Karena ilmunya tetap bermanfaat hingga hari Kiamat meskipun seorang
alim telah mati. Terdapat dalil mengenai kemuliaan ilmu dan para ahli
ilmu, dan bahwa seseorang yang diberi ilmu berarti telah diberi keutamaan
yang sangat besar. Hal itu dikuatkan oleh sabda Nabi Saw., “Para ulama
adalah warisan para nabi. Mereka dicintai makhluk yang berada di langit
dan dimintakan ampunan oleh ikan-ikan di laut sampai hari Kiamat.”17
Dari Mu`adz bin Jabal, yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
bersabda, “Pelajarilah ilmu karena mempelajarinya karena Allah dapat
menimbulkan ketundukan, mencarinya adalah ibadah, mengulang-
ulangnya adalah tasbih, membahasnya adalah jihad, pengorbanan untuk
ahlinya merupakan pendekatan kepada Allah, dan mengajarkannya
kepada orang yang tidak mengetahui adalah sedekah. Karena ilmu
merupakan rambu-rambu halal dan haram, penerang jalan para ahli
surga, penghibur dalam kemurungan, sahabat dalam keterasingan, teman

13
bicara dalam kesendirian, petunjuk dalam kelapangan dan kesempitan,
senjata menghadapi lawan, dan kebaikan di sisi sahabat. Dengannya
Allah mengangkat derajat beberapa kaum, sehingga menjadikan
mereka para pemimpin dalam kebaikan dan imam-imam yang diikuti
jejaknya, diteladani perbuatannya, dan dijadikan rujukan pendapatnya.
Para malaikat ingin bersahabat dengan mereka, dan dengan sayapnya
membelai mereka. Setiap yang basah dan yang kering, ikan dan hewan-
hewan kecil (plankton) di laut, serta binatang buas dan hewan-hewan
ternak di darat memintakan ampun bagi mereka. Karena ilmu merupakan
kehidupan bagi hati dari kejahilan dan pelita bagi pandangan dalam
kegelapan. Dengan ilmu seorang hamba dapat mencapai kedudukan
orang-orang baik dan derajat yang sangat tinggi di dunia dan akhirat.
Memikirkan ilmu setara dengan puasa, mengajinya seimbang dengan
bangun malam. Dengannya terjalin silaturahmi, dan dengannya pula
diketahui yang halal dari yang haram. Ilmu adalah pemimpin amal, dan
amal mengikutinya. Orang-orang bahagia (su’adâ) diilhami dengannya,
sedangkan orang-orang celaka diharamkan atasnya.”18
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah
ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling mulia?”
Beliau menjawab, “Orang yang paling bertakwa di antara mereka.”
Mereka kemudian mengatakan, “Bukan tentang itu yang kami
tanyakan.” Beliau menjawab, “Kalau begitu, Nabi Yusuf, dia seorang
nabi, putra seorang nabi (Nabi Ya`qub) yang merupakan putra seorang
nabi pula (Nabi Ishaq), putra Khalilullah (Nabi Ibrahim).” Mereka
mengatakan lagi, “Bukan tentang itu yang ingin kami tanyakan.”
Beliau menjawab, “Apakah kalian bertanya tentang sumber-sumber
di kalangan bangsa Arab? Orang yang baik di masa Jahiliyah adalah
orang yang baik di masa Islam bila mereka memiliki pemahaman.”19
Al-Imam an-Nawawiy20 mengatakan yang dimaksud sumber-
sumber di kalangan orang Arab adalah asal-usulnya, sedangkan
yang dimaksud dengan mereka memiliki pemahaman adalah
mereka menjadi alim dalam hukum-hukum syariat berupa fiqih.

14
Rasulullah Saw. bersabda, “Ada tiga golongan yang memberikan
syafaat di hari Kiamat, yaitu para nabi, kemudian para ulama,
kemudian para syuhada.”21 Al-Imam al-Ghazali mengatakan
setelah menyebutkan hadits ini, “Sungguh agung kedudukan yang
berada di bawah kenabian dan berada di atas kesyahidan, meskipun
terdapat keterangan mengenai keutamaan kesyahidan.”
Saya (penulis) katakan, “Hal tersebut merupakan dalil
bahwa para ulama yang mengamalkan ilmunya lebih utama di
sisi Allah dibandingkan dengan para syuhada yang terbunuh
dalam peperangan untuk membela agama.”
Hasan al-Bashriy22 mengatakan, “Tinta para ulama ditimbang
dengan darah para syuhada, maka tinta para ulama lebih berat
dibandingkan dengan darah para syuhada.” Ibnu Mas`ûd mengatakan,
“Kalian harus memperoleh ilmu sebelum ia diangkat, dan diangkatnya
ilmu adalah dengan matinya para perawi ilmu. Demi Dzat yang diriku
berada dalam genggaman-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh
di jalan Allah sebagai syuhada ingin agar Allah membangkitkan
mereka sebagai ulama karena mereka melihat kemuliaan para ulama.”
Demikian yang disebutkan dalam kitab al-Ihya.

Catatan Akhir
10. Di-takhrij-kan oleh al-Bukhari (71), Muslim (1037), dan lain-lain.
11. Di-takhrij-kan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (1583) dengan sanad
dha’îf dan beliau mengatakan, “Pendapat yang lebih terjaga mengatakan
bahwa ucapan ini berasal dari perkataan az-Zuhri.” Saya (penulis)
mengatakan bahwa yang men-takhrij-kannya dari ucapan az-Zuhri adalah
Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (3: 365)
12. Di-takhrij-kan oleh at-Tirmidzi (2681), Ibnu Mâjah (222), dan lain-lain
dari hadits Ibnu ‘Abbas.

15
13. Di-takhrij-kan oleh Abu Daud (3641), at-Tirmidzi, Ibnu Mâjah (223).
Semuanya dari hadits Abu ad-Dardâ‘. Bagian awal dari hadits ini di-takhrij-
kan oleh Muslim (2699) dari hadits Abu Hurairah.
14. Syaikh Ahmad bin Abu al-Ja‘d dari kota Abyan, sahabat dua orang
syaikh, Syaikh Sâlim al-Abyani dan Syaikh Ali al-Ahdal. Wafat tahun
670-an H. Diambil dari kitab Thabaqât al-Khawâsh halaman 72-74.
15. Syaikh Abdullah bin Muhammad Ba ’Abbâd asy-Syibâmi, wafat tahun
687 H, kakek al-Imam Muhammad bin Abu Bakar Ba ’Abbâd (wafat
801 H) yang telah disebutkan riwayat hidupnya. Adapun saudaranya,
Umar dan Abdurrahman.
16. Lengkapnya Tadzkirah as-Sâmi’ wa al-Mutakallim fi Adab al-’Lim wa
al-Muta‘allim karya imam muhaddits dan faqih, al-Qâdhî Badruddîn
Muhammad bin Ibrâhîm bin Sa’dullah bin Jamâ’ah al-Kinâni asy-
Syâfi’iy (wafat 733 H). Kitab ini termasuk kitab terbaik mengenai adab
menuntut ilmu.
17. Di-takhrij-kan oleh Abu Nu’aim, ad-Dailami, Ibn an-Najjar, dan lain-
lain. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: Hadits ini memiliki beberapa
jalur dan bukti yang dapat diketahui dengannya bahwa hadits ini ada
asalnya. Demikian keterangan dalam al-Faidh al-Qadîr karya al-Manawi
(4: 385).
18. Di-takhrij-kan oleh Ibnu Abdil-Barr dalam Jâmi’ Bayân al-’Ilm wa
Fadhlih (1: 54) dan beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan tetapi
tidak memiliki sanad yang kuat. Hadits ini juga diriwayatkan dari
banyak jalur yang mauquf. Di-takhrij-kan sebagai hadits yang mauquf
pada Mu’adz oleh Abu Nu’aim juga dalam Hilyah al-Awliya (1: 239).
19. Di-takhrij-kan oleh al-Bukhari (3353), Muslim (2378), dan sebagainya.
20. Syaikhul-Islam Muhyyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, wafat tahun
676 H, tokoh yang tak perlu diperkenalkan lagi karena sangat terkenal.
Nash yang dikutip di sini adalah dari kitabnya, Syarh Shahih Muslim (15:
135).
21. Di-takhrij-kan oleh Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya (4313) dan yang lain
dari hadits Utsman ra.
22. Imam para tabi’in, Abu Sa’id al-Hasan bin Yasâr al-Bashri (21-110 H),
pemimpin orang-orang pada masanya, baik dalam ilmu, amal, maupun hal
ihwalnya. Imam al-Ghazali mengatakan, “Al-Hasan al-Bashri adalah orang
yang perkataannya paling mirip dengan perkataan para nabi dan paling
mirip petunjuknya dengan para sahabat.”

16
3
Perkataan Salaf dan Khalaf Mengenai
Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu

Ketahuilah bahwa keutamaan ilmu diketahui oleh setiap orang,


karena ilmu dikhususkan bagi manusia. Kecuali ilmu, semua hal
dimiliki oleh manusia dan hewan, seperti keberanian, kekuatan,
kasih sayang, dan sebagainya. Dengan ilmu, Allah menampakkan
keutamaan Nabi Adam dibanding para malaikat dan memerintahkan
mereka untuk bersujud kepadanya. Ilmu juga merupakan sarana
untuk mencapai kebahagiaan abadi jika perbuatannya sesuai
tuntutan ilmu.
Amirul-Mukminin Imam Ali bin Abu Thalib ra. mengatakan,
“Ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu menjagamu, sedangkan
harta, engkau yang menjaganya. Ilmu bertambah dengan diberikan,
sedangkan harta berkurang jika dibelanjakan. Ilmu adalah penguasa,
sedangkan harta adalah yang dikuasai. Ilmu memberikan kepada
seorang alim ketaatan dalam hidupnya dan nama baik setelah
kematiannya. Mencintai ilmu merupakan ajaran agama. Adapun
harta manfaatnya hilang bila tak ada. Para penyimpan harta telah
mati ketika mereka masih hidup, sedangkan para ulama tetap hidup
selamanya. Fisik mereka bisa hilang, tetapi gambaran mereka tetap
ada di dalam hati.”
Beliau juga mengatakan,
 
        
      
 
         
 
     
              
  
        
    
           
Gambarannya, manusia adalah sama  
 Ayah mereka
Adam
 ibu
dan mereka
Hawa
Jika mereka punya kemuliaan dalam asal mereka
yang dapat dibanggakan, maka hanyalah tanah dan air 
Bukanlah kebanggaan selain milik ahli ilmu 
sungguh mereka petunjuk hidayah bagi yang mencarinya
        Nilai
     setiap
 orang
 bergantung
   pada
  bagusnya
  
 ilmu    
    dan  orang
  terhadap
jahil    ahliilmu
adalah
musuh 
 
Raihlah ilmu, dengannya kau akan hidup selamanya
                      
Manusia mati dan ahli ilmu tetap hidup
                     
    Beliau
  juga
  mengatakan,

  “Cukuplah
  
     ilmu
sebagai
sesuatu
  yang

mulia. Orang yang tak memilikinya suka mengakuinya dan senang
    

 
     
bila dinisbahkan dengannya (dianggap orang yang berilmu). Dan
   
 
     
 
    
  cukuplah   kejahilan
    sesuatu
sebagai   
yang    karena
tercela   orang

  yang 
 (bila
    

 
    
jahil ingin berlepas diri darinya dan akan marah bila dinisbahkan
   dengannya dianggap orang yang jahil).”
   Imam  al-Hasan
 
    mengatakan,
al-Bashri 
  berkaitan
   dengan 
firman Allah Ta’ala,
                  
  


  

 
  kami di dunia ini kebahagiaan dan di 
“Tuhan kami, berilah 
akhirat nanti kebahagiaan dan peliharalah kami dari api
neraka.”

     
    
    
   
 (QS.
al-Baqarah:


  201)

   
 

     




 
   


    


 

 

 

  
18
                
 
“Kebahagiaan di dunia adalah ilmu dan ibadah, sedangkan
kebahagiaan di akhirat adalah surga.”
Beliau juga mengatakan, “Seandainya ilmu mempunyai
bentuk, niscaya bentuknya lebih bagus daripada bentuk matahari,
bulan, bintang, dan langit.”
Ibnu Abbas mengatakan, “Nabi Sulaiman diperintahkan
untuk memilih antara ilmu, harta, dan kerajaan. Ternyata beliau
memilih ilmu, lalu Allah memberinya harta dan kerajaan.”
Nabi Isa mengatakan, “Barangsiapa yang belajar, beramal,
dan mengajar, maka dia dipanggil sebagai orang yang agung di
alam langit.”
Abu ad-Darda’ mengatakan, “Orang alim dan orang yang
belajar sama-sama berada dalam kebaikan, dan manusia selainnya
adalah liar, tak ada kebaikan pada mereka.”
Abu Muslim al-Khaulâniy23 mengatakan, “Perumpamaan
ulama di bumi adalah bagaikan bintang di langit. Ketika tampak,
manusia mendapatkan petunjuk darinya, dan ketika hilang
menjadikan mereka bingung.”
Abu al-Aswad ad-Dualiy24 mengatakan, “Tak ada sesuatu
yang lebih mulia dibandingkan ilmu. Para raja menjadi penguasa
atas manusia, sedangkan ulama menjadi penguasa atas para
raja.” Sufyan bin ‘Uyainah25 mengatakan, “Di dunia ini tidak
ada pemberian yang lebih utama dibanding kenabian dan setelah
kenabian tidak ada yang lebih utama dibanding ilmu dan fiqih
(pemahaman).” Beliau kemudian ditanya, “Tentang siapa ini?”
Beliau mengatakan, “Tentang fuqaha semuanya.”
Asy-Syafi’i mengatakan, “Barangsiapa yang menginginkan
dunia, hendaklah dia meraihnya dengan ilmu. Barangsiapa yang
menginginkan akhirat, hendaklah dia meraihnya dengan ilmu.
Karena keduanya membutuhkan ilmu.” Beliau juga mengatakan,
“Barangsiapa yang tidak menyukai ilmu, tidak ada kebaikan
padanya, karena sesungguhnya ilmu itu kehidupan bagi hati dan
pelita bagi pandangan.”

19
Fath al-Mûshiliy26 mengatakan, “Bukankah orang yang
sakit jika tidak diberi makan, minum, dan obat akan mati?”
Orang-orang mengatakan, “Ya, benar.” Kemudian al-Mûshiliy
melanjutkan ucapannya, “Demikian juga dengan hati, apabila
tidak diberi hikmah dan ilmu selama tiga hari, akan mati.”
Imam al-Ghazali mengatakan, “Benar apa yang dikatakannya
(al-Mûshiliy) karena sesungguhnya makanan hati adalah
ilmu dan hikmah. Dengan keduanyalah hati menjadi hidup,
sebagaimana nutrisi tubuh adalah makanan. Barangsiapa tidak
memiliki ilmu maka hatinya sakit dan pasti mati, tetapi dia
tidak merasakannya. Karena cinta dan kesibukan kepada dunia
menghilangkan kepekaannya. Kita berlindung kepada Allah
dari waktu terbukanya segala penutup. Sesungguhnya manusia
itu tidur, dan mereka baru terbangun ketika mati.” Demikian
keterangan dalam kitab al-Ihya.
Al-Imam al-‘Allamah Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqîh
mengatakan dalam kitab Fath Bashâir al-Ikhwan27, “Ketahuilah
bahwa agama ini, awal dan akhirnya, lahir dan batinnya, mesti
disertai dengan ilmu dan amal. Ilmu, meskipun sebagiannya
merupakan perantara, adalah pokok dan petunjuk agama. Bagi
seorang mukmin, ilmu adalah pembantu dan kawannya, dan
merupakan cara dan jalannya menuju setiap kebaikan dunia dan
akhirat. Bahkan bagi orang yang mengharap keridhaan Allah
dan beribadah kepada-Nya dengan sebenarnya, tidak ada sesuatu
yang lebih utama untuk beribadah kepada Allah dibanding
memahami agama.
Seorang faqih lebih ditakuti oleh setan daripada seribu orang
‘abid (ahli ibadah). Keutamaan seorang faqih dibanding seorang
‘abid adalah seperti keutamaan Nabi Saw. dibandingkan selainnya.
Barangsiapa yang mendapatkan ilmu dan bertakwa kepada
Allah dengannya, berarti dia telah mencapai keutamaan dan
kebahagiaan yang paling mulia. Barangsiapa yang dikehendaki
oleh Allah mendapatkan kebaikan, maka dia diberi pemahaman

20
oleh-Nya dalam masalah agama. Orang yang terbaik di masa
jahiliah adalah orang yang terbaik pula di masa Islam apabila
mereka memiliki pemahaman.”
Al-Imam al-‘Arif billah Ahmad bin Hasan al-Attas, semoga
Allah memberikan dengan beliau, berkata: “Seseorang jika
diluaskan ilmunya, diluaskan pula pengetahuannya. Dan jika
diluaskan pengetahuannya, diluaskan pula wawasannya. Dan
jika diluaskan wawasannya, diluaskan pula kesaksiannya. Dan
jika diluaskan kesaksiannya, diluaskan pula pemberiannya.
Al-Imam as-Suyuthi28 dalam kitabnya, al-Iklîl berkenaan
dengan firman Allah,

“Dan Ia mengajarkan kepada Adam nama-nama


semuanya,”
(QS. al-Baqarah: 31)

mengatakan, “Ketika Allah ingin menampakkan keutamaan Adam,


Dia tidak menampakkannya melainkan dengan ilmu. Seandainya
di alam ini terdapat sesuatu yang lebih utama daripada ilmu, tentu
keutamaan Adam akan ditampakkan dengannya, bukan dengan
ilmu. Demikian pula, Dia memerintahkan para malaikat untuk
bersujud kepada Adam adalah karena keutamaan ilmu.”
Ath-Thibi29 mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa
ilmu bahasa memiliki kedudukan di atas berhias dengan ibadah.
Maka bagaimana pula dengan ilmu syariah?”
Al-‘Allamah Ibnul-Qayyim30 mengatakan dalam Zâd al-
Ma’âd, “Sesungguhnya ilmu termasuk salah satu sebab kelapangan
dada. Karena ilmu melapangkan dada dan meluaskannya,
dan menjadi lebih luas daripada dunia. Adapun kejahilan
menyebabkan kesempitan, batasan, dan belenggu. Setiap kali
bertambah luas ilmu seseorang, maka bertambah lapang dan
luas pula dadanya. Tetapi hal ini tidak untuk setiap ilmu, tetapi
ilmu yang diwariskan dari Rasulullah Saw. dan itulah ilmu yang

21
bermanfaat. Karena itu, pemiliknya menjadi orang yang paling
lapang dadanya, paling luas hatinya, paling bagus akhlaknya, dan
paling baik kehidupannya.”
Beliau juga mengatakan, “Di antara sebab-sebab kelapangan
dada adalah selalu berzikir kepada Allah dalam setiap keadaan dan
tempat. Zikir mempunyai pengaruh yang sangat mengagumkan
dalam melapangkan dada dan membahagiakan hati. Sedangkan
lalai—yakni dari mengingat Allah—mempunyai pengaruh dalam
menyempitkan, membelenggu, dan menyiksanya.
Sebab lainnya adalah berbuat baik dan memberikan manfaat
kepada manusia sesuai kemampuannya dengan harta, kedudukan,
tenaga, dan bentuk-bentuk kebaikan lainnya. Karena orang
yang dermawan dan suka berbuat baik adalah orang yang paling
lapang dadanya, paling baik jiwanya, dan paling bahagia hatinya.
Adapun orang yang kikir yang tak suka berbuat baik adalah
orang yang paling sempit dadanya, paling susah kehidupannya,  
dan paling besar kesulitan dan dukacitanya.
  itu
Selain   sebabnya
  adalah   keberanian.
    Karena
 orang
  yang 
berani, lapang
 dadanya
  dan  luas
 hatinya.
    Sedangkan
   orang  yang

penakut, paling
  sempit
  dadanya
 dan  paling
  terbatas
   hatinya,
   tidak
 
memiliki kebahagiaan, kesenangan, kenikmatan, kecuali sekadar
  hewani.
kenikmatan  Adapun    
  kesenangan  dan
kenikmatan
  jiwa  
tak ada pada
  orang
 yang    sebagaimana
penakut,   takada
pula   pada
orang yang kikir. Wallahu a’lam.   
 ***

Baguslah sebagian dari para ulama yang memuji ilmu dan 
mengecam kebodohan sebagaimana berikut ini,

           
       
     
     
         
 
 
         
      
   
                  
 
     
             
 

         
  
        
22
      
                    
 
 
       


  
       

                    
                    
     
       
         
 
     
        
 
       
 
   
           
          
  
         
      
  
                
               
    
              
Dengan ilmu, tempuhlah   apa yang ditempuh ilmu   
dan darinya singkaplah segala pemahaman di sisinya 
Di dalamnya terdapat penyingkap hati dari kebutaan
 dan
 pelindung
    bagi   agama
 yang perkaranya
 penting 
    
Kulihat kebodohan    orang-orangnya
 menghinakan    
 sdangkan
  ilmu
 mengangkat
 kaumnya
   
Ia terhitung kecil dalam suatu kaum, padahal ia yang terbesar
Pemahaman ucapan dan hukum berjalan darinya
Apakah ada harapan, bagi orang yang beruban kepalanya
dan ia menghabiskan masa muda, dalam kegagapan lagi kebodohan
Ia berjalan pagi dan sore, sepanjang tahun menjadi teman perutnya
isi perutnya bertumpuk lemak dan daging
Jika orang bodoh ditanya tentang keadaannya
mengalir keringat dingin kebodohan di wajahnya yang memuliakannya
Apakah kedua matamu pernah melihat pemandangan yang lebih jelek
daripada seseorang yang tak memiliki ilmu dan kesantunan
Bergaullah bersama ulama dan bersahabatlah dengan yang terbaik dari
mereka
Persahabatan dengan mereka adalah agama dan pergaulan dengan
mereka keberuntungan
Jangan kau palingkan matamu dari mereka, karena
mereka bintang-bintang, jika tenggelam satu terbitlah yang lain

23
  
                 
               
  
Demi
Allah,
  
jika  karena
 bukan     tak
Allah, jelaslah
      
petunjuk
dan tak berkilaplah bintang untuk kita dari ketersembunyiannya di langit
   
Bait-bait berikut diperuntukkan al-Imam asy-Syafi‘i, 
 
          
    
        
   
        
Barangsiapa tak mencicipi rendahnya berguru walau sebentar
Maka ia ‘kan menerjang rendahnya kebodohan sepanjang hidupnya
Barangsiapa terlewatkan darinya belajar di waktu mudanya
Maka bertakbirlah empat kali untuk kematiannya
Kehidupan seseorang, demi Allah dengan ilmu dan takwa
Jika tak memiliki keduanya, maka keberadaannya tak terhitung

Baguslah yang berucap, 


 
        
      
  
            
Setiap keutamaan terdapat di dalamnya cahaya 
Dan kau dapatkan pada ilmu keutamaan yang lebih bercahaya 
   Selain
    ilmu

janganlah

   kau 
kekayaan
 hitung   
   ilmu
Sesungguhnya
     adalah  pusaka yang
              tak  ‘kan punah
 
Kemudian selainnya berkata,  
             
    
   
        
  
 
   Kita    rela pada    
pemberian   Sang Mahaperkasa
    
    
 
 kami
 ilmu
 
  dan untuk 
mereka  yang 
bodoh
  harta

Untuk

 

Sesungguhnya harta ‘kan punah dalam waktu dekat 
   

  
 
   
   Sedang
  
kekayaan

   ilmu  kekal

tak
‘kan
 hilang

 
               
 
   
    

 

24    
      

 
  
   

   
 
       
 
           
Sebagian yang juga mengatakan, 
              
   
  
                     
   
  
 

    

    
  

    
 

    
    
      
    

Belajarlah,      
sesungguhnya    ilmu   perhiasan
  bagi orang-orangnya
   
     Keutamaan       pusat segala hal yang   
pagi
Setiap   dan 
   
  terpuji
    
  dan petang,   jadilah  orang yang  selalu   mendapatkan
     manfaat
   ilmu,
Dari  dan   berenang
     di  dalam     manfaat
samudera    ilmu    

 Dalamilah
  syariat,  sesungguhnya     syariat  adalah    penuntun     yang  
              terbaik  
   Kepada
 kebajikan 
   
dan

 
 
 takwa  
       teradil
 
 
 
 
serta
 
 
 

  saksi
 
 

  
yang 
 
   al-Hadi   (Nabi   Muhammad)   jalan  petunjuk
 Itulah
 panji     

      
 

     kepada 


    
  
Itulah perisai yang menyelamatkan dari kejahatan yang keras
    Sesungguhnya
 
 
   satu
ahli   syariat
  yang  
wara’
  
                  
  Lebih   ditakuti
   setan  daripada
              seribuahli   ibadah 
  
                   
   
Ada juga yang berkata,                    
              
      
              
 
               
          
             
               
Ilmu adalah benih setiap kebanggaan,
         maka bersungguhlah
   
Agar tak terlewatkan darimu kebanggaan benih itu

Ketahuilah,  sesungguhnya
 
ilmu   tak‘kan dicapai
  
             
Oleh mereka   yang  keinginannya
   makanan
   dan  pakaian
 
                      
       
Junjungan kami Ahmad bin Umar bin Sumaith ra. berkata, 
                
             
                  
      
            
              
                 25
         
    
                 

            
        
       
               
            
     
             
                
          
        
              
Tak ada yang seperti ilmu sama sekali
Pergilah kepadanya dan datangilah
Dalam majelis ilmu terdapat rahasia
Dengannya dosa kita digugurkan
Barangsiapa menuntut ilmu `kan beruntung
Mencapai tingkatan yang tak terturunkan
Rezeki mendatanginya (orang berilmu) mudah
Walau kelaparan meliputi manusia
Dan ilmu perisai kuat
Dari kejelekan yang datang menyerang
Bagi pencarinya dengan niat
Yang tak bercampur dengan sesuatu
Wahai dia yang bodoh akan kedudukannya, dengarkanlah
Tak ada yang sepertinya (ilmu) tak ada dan tak ada
Jika kau menginginkan keberuntungan darinya
Dan memberikan rezeki kepadamu
Maka jadilah, bergegas di pagi hari seperti burung gagak
Dan bersahabat seperti kucing
Lalu bersabarlah seperti anjing
Itulah syarat bagi keberhasilanmu

26
Junjungan kami al-Imam al-Habib Abdullah bin Husain bin
Thâhir ra.31 berkata, 
      
    
     
             
   
      
   
  
Tuntunlah ilmu pada pagi dan sore hari 
      Pada   malam
  hari,   petang
dan fajar
    
Sesungguhnya di dalam ilmu segala kemenangan dan keberhasilan
 Sesungguhnya
  di  dalam
 ilmu     kebaikan
segala  dan
cahaya
  
     Di
 Dan 
  dengan dalamnya
 kau ‘kan
 
 
 
 
  
 
 
 
 
  mengenal
 
 Tuhan


mengulangnya dan berlapang dada kau ‘kan

 
 
  

   
                   
         mengenal
    segala    
sesuatu    
 
   
         
   
Junjungan kami al-Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi,
           
semoga Allah memberi manfaat melaluinya, berkata,
 

  
  
   
 
   

 

  
    

 
   
 
 
 
 



    
   

 



   
               
Dalam menuntut ilmu  yang mulia, tempuhlah   
dengan
sungguh-sungguh,
   semangat
   dan
 meninggalkan
 kebiasaan
 
Di dalam ilmu terdapat cahaya dan keindahan bagi hati
  Kebaikannya
 
 bagi
 
  
hamba 

 
sebaik-baik  


 
kebaikan
 
Dengannya
 manusia

  ‘kan
 mengenal
 
hak


Tuhannya

 

Dan dengannya ‘kan mendapat petunjuk yang tersesat dan
 

 kenyanglah
  
 orang
 yang
 

kehausan   
   
 
 Jika kalian
 ingin menghafal
    apa  yang
 kalian      
 ketahui
Maka hal itu dengan mengulangi pelajaran dan menyebutnya
     berkali-kali       
        
            
                      27
 
       
    
               
  berikut
 Bait-bait  untuk
 sebagian
  dari  mereka,
   
           
   
   
 
   
     
  







          
    
   
 

 

   
 
     
    


 Ilmu
adalah
yang
   dan
utama   engkaulah
 pencarinya
    
 Carilah,
  kau
 dapatkan
petunjuk bermacam ilmu dan adab
    
Berapa banyak kemuliaan, pahlawan ayahnya adalah orang-orang
     terhormat
              

Dulu mereka pemimpin lalu   setelah itu menjadi orang rendah  
  Kadang
  seseorang
  mengumpulkan
     harta    lalu
 dirampas
 
 Sesuatu
 yang
 sedikit
 itu,
 dan
 ia menemui
 kehinaan
 dan
 
 
           
    
  
      
  
kebinasaan 
  
Sedangkan
 
orang  yang berilmu  selalu dicemburui
       
selamanya
 Dan
tak
  perlu
 takut
 dengan
  kehilangan
  
 dan
  perampasan
  
 
                
 Wahai

 pencari
  ilmu,    sebaik-baik
   kekayaan adalah   yang kau 
     kumpulkan        

 
 Tak dapat
dibandingkan
 dengan   mutiara
  dan emas 
Al-Habib
al-Imam
  
     
Umar bin Saqqâf bin Muhammad as-
   
Saqqâf, semoga Allah memberi manfaat melaluinya, mengatakan, 
-VI  
               
  
  
  
  
   
    
    


          
                
            
 
      
            

VI
       
28
Wahai anak, carilah ilmu dan pelajarannya
Jangan kau menarik diri darinya karena cacian para pencaci
Di dalamnya terdapat kelalaian dari harta dunia dan
mengumpulkannya
Dengannya mendekat kepada kedudukan yang menghimpun
Dengannya bertamasya dalam kebun seakan-akan
Surga Aden dalam kenikmatannya yang sempurna
Sungguh mengherankan zaman jelek yang condong bersama
penduduknya
Menuju fatamorgana dan setiap keadaan yang membatasi
Mereka menuju negeri yang menipu dan mereka tertipu
Di dalamnya oleh tipu daya dan mengikat mereka dengan tali
Waspadalah terhadap mata yang memandang penuh kecintaan
Kepada pakaian, minuman, dan makanan
Maka zuhud adalah sesuatu yang termulia dicapai
Oleh seseorang, jadi dengan ilmu panjang keutamaannya

Catatan Akhir
23. Seorang tabi’in besar, Abu Muslim Abdullah bin Tsuwab al-Khaulânî
ad-Dârânî (wafat 62 H), termasuk cendekiawan, seorang yang
zuhud, dan filosof. Beliau masuk Islam di masa Rasulullah Saw. dan
memasuki Madinah pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Adz-Dzahabi
menggelarinya Sayyid at-Tâbi’in dan Zahid al-’Ashr. Di Syam terdapat
sebuah makam yang diziarahi orang yang konon adalah makamnya.

29
24. Abu al-Aswad Zhâlim bin ’Amr ad-Duali al-Kinânî (wafat 69 H), peletak
dasar ilmu nahwu dan orang pertama yang memberikan tanda titik dalam
mushaf. Beliau seorang faqih, penyair, dan pahlawan. Menjabat sebagai
Amir Bashrah pada masa Imam Ali ra.
25. Seorang yang sangat alim, mufassir, dan hafizh, Syaikh al-Islam Abu
Muhammad Sufyân bin ’Uyainah al-Hilâlî al-Kûfî (107-197 H), ahli
hadits di Makkah. Dilahirkan di Kûfah, kemudian tinggal di Makkah
dan wafat di sana. Beliau seorang imam, menjadi rujukan, hafizh, dan
memiliki ilmu yang luas. Imam asy-Syafi’i pernah mengatakan, “Kalau
tidak ada Malik dan Sufyân, niscaya ilmu orang Hijaz hilang.”
26. Seorang yang zuhud, wali, dan ahli ibadah, Abu Nashr Fath bin Sa’îd
al-Mûshilî (wafat 220 H), salah seorang wali besar, teman Bisyr al-Hâfî.
Beliau memiliki kedudukan yang tinggi dalam hal wara‘ dan muamalah.
Disebut juga Fath ash-Shaghîr. Ada lagi Fath al-Kabîr, seorang yang
zuhud di masanya, Fath bin Muhammad al-Mûshilî (wafat 170 H),
teman Ibrahim bin Adham. Keduanya termasuk syaikh terkemuka.
27. Judul lengkapnya Fath Bashâir al-Ikhwân fi Dawâir al-Islâm wa al-Imân
wa al-Ihsân, telah dicetak di Mesir di masa lalu.
28. Imam besar dan hafizh pada masanya, Jalaluddin Abdurrahman bin
Abu Bakar as-Suyûthi asy-Syâfi’i (849-911 H), faqih, mufassir, dan ahli
bahasa. Beliau memiliki keunggulan dalam sebagian besar ilmu-ilmu
keislaman dan mencapai derajat mujtahid. Karangannya lebih dari 700
buah.
29. Seorang imam yang mahir, Syarafuddin al-Husain bin Muhammad ath-
Thîbî (wafat 743 H), tergolong imam dalam hadits, tafsir, dan bayan.
Beliau merupakan contoh dalam menyimpulkan hal-hal yang pelik
dari Al-Qur’an dan sunnah. Seorang yang tawadhu, suka menafkahkan
hartanya, dan senantiasa mengajar. Di antara karyanya yang terpenting
adalah Syarh Misykât al-Mashâbih dan Syarh Kasysyâf az-Zamakhsyari.
30. Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar az-Zura‘iy ad-Dimasyqi al-
Hanbali, dikenal dengan sebutan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (691-751
H), seorang allamah yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Tetapi
dalam masalah aqidah dan beberapa persoalan furu‘, beliau memiliki
pendapat yang diambil dari gurunya, Ibnu Taimiyah, yang berbeda
dengan pendapat jumhur Ahlussunnah Waljama‘ah.
31. Imam dan dai besar, al-Habib Abdullah bin Husain bin Thâhir, lahir di
Tarim tahun 1192 H dan wafat di al-Masîlah tahun 1272 H. Mengambil

30
ilmu dari para ulama Hadramaut dan sejumlah ulama Haramain. Ia
sangat cerdas sehingga menjadi salah seorang ulama terkemuka. Dalam
dirinya terhimpun keluasan dalam ilmu serta kesalehan dan kesungguhan
dalam ibadah. Di antara karangannya adalah kitab Sullam at-Taufîq. Ia
juga memiliki diwan syair dan sebuah kumpulan yang berisi sejumlah
karangan, risalah, dan surat-suratnya.

31
4
Sedikit Ilmu Lebih Baik
daripada Banyak Ibadah
32

Dari Abu Umâmah al-Bâhiliy, mengatakan bahwa pernah disebutkan


kepada Rasulullah dua orang laki-laki, salah satunya ahli ibadah dan
lainnya alim. Maka berkatalah Rasulullah,

“Keutamaan seorang alim dibandingkan ahli ibadah adalah


seperti keutamaanku dibandingkan orang yang paling rendah
di antara kalian.”33

Beliau juga mengatakan, “Jarak antara seorang alim dengan ahli


ibadah adalah seratus derajat, yang jarak antara derajat yang satu
dan lainnya adalah sama dengan tujuh puluh tahun yang ditempuh
kuda ramping yang cepat larinya.”34 Demikian yang disebutkan
dalam al-Ihya.35
Terdapat pula suatu hadits marfu’, “Majelis fiqih lebih baik
daripada ibadah enam puluh tahun.”36 Dalam hadits lain dikatakan,
“Sebaik-baik agama kalian adalah yang paling mudah.” Dikatakan
pula, “Sebaik-baik ibadah adalah fiqih.”37
Dari Abu Dzar, mengatakan, “Rasulullah Saw. pernah berkata
kepadaku, ‘Wahai Abu Dzar, engkau pergi mempelajari suatu ayat
dari Kitabullah adalah lebih baik bagimu daripada melakukan shalat
seratus rakaat. Dan engkau pergi mengajarkan satu bab dari ilmu,
baik diamalkan atau tidak, lebih baik daripada melakukan shalat
seribu rakaat.’”38
Dari Abu Dzar dan Abu Hurairah, mereka berdua
mengatakan, “Satu bab dari ilmu yang kami pelajari lebih kami
sukai daripada seratus rakaat shalat sunnah, dan satu bab dari
ilmu yang kami ajarkan, baik diamalkan atau tidak, lebih kami
cintai daripada seratus rakaat shalat sunnah.”39

***

Dari yang telah disebutkan, jelas bahwa menyibukkan diri dengan


ilmu karena Allah adalah lebih utama daripada ibadah fisik
yang sunnah, seperti shalat, puasa, tasbih, doa, dan sebagainya.
Karena manfaat ilmu itu merata bagi pemiliknya dan orang
lain, sedangkan ibadah fisik yang sunnah, manfaatnya terbatas
pada pelakunya saja. Karena ilmu dapat meluruskan ibadah. Jadi
ibadah membutuhkan ilmu dan bergantung padanya, tetapi ilmu
tidak bergantung pada ibadah. Karena para ulama merupakan
ahli waris para nabi, dan bukan ahli ibadah. Karena menaati
orang alim adalah wajib atas selainnya. Karena bekas ilmu tetap
hidup meskipun pemiliknya telah mati, sedangkan ibadah
sunnah terputus dengan kematian pelakunya. Karena dengan
terpeliharanya ilmu menghidupkan syariat dan menjaga rambu-
rambu agama. Demikian yang disebutkan oleh Ibnu Jamâ’ah
dalam kitab Tadzkirah-nya.
Di antara yang juga menunjukkan keunggulan dan keutamaan
ilmu dibanding semua ibadah yang terbatas—yakni yang terbatas
manfaatnya bagi pelakunya—adalah yang disebutkan oleh Ibnu
al-Haj al-Maliki40 dalam kitabnya, al-Madkhal, “Imam Sufyan
ats-Tsauri41 dan Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak ada
sesuatu yang lebih utama setelah hal-hal yang wajib daripada
menuntut ilmu. Sayyidina al-Imam Abu Ja’far Muhammad al-

33
Bâqir mengatakan, ‘Seorang alim yang bermanfaat ilmunya lebih
utama daripada seribu ahli ibadah.’”42
Al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi mengatakan, “Satu
masalah ilmu lebih baik daripada seratus ibadah, dan orang
yang menuntut ilmu lebih utama dibandingkan dengan orang
yang bersungguh-sungguh beribadah sehari semalam.” Beliau
juga mengatakan, “Satu saat dari orang alim adalah lebih baik
daripada beberapa tahun dari orang selainnya meskipun dia ahli
ibadah.”
Maka pikirkanlah nash-nash, dalil-dalil, dan atsar-atsar
ini, niscaya akan mengetahui bahwa ilmu, yakni mempelajari
dan mengajarkannya, adalah lebih tinggi dan lebih utama
daripada semua perbuatan yang dilakukan untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Ia termasuk ibadah yang paling penting dan
keutamaan-keutamaan yang baik. Anda juga akan tahu bahwa
menyibukkan diri dengan ilmu termasuk ketaatan yang paling
utama, pemanfaatan waktu yang paling baik, dan bahwa ulama
adalah manusia yang terbaik, paling tinggi kedudukannya, paling
bagus sebutannya, dan paling mulia kebanggaannya.
Al-Imam al-Hasan al-Bashriy mengatakan, “Bunyi pena
seorang alim adalah tasbih, menulis ilmu dan memandangnya
adalah ibadah, dan tintanya bagaikan darah seorang syahid.
Ketika bangkit dari kuburnya, orang-orang memandangnya dan
dia akan dibangkitkan bersama para nabi.”
Dalam kitab Bahjah az-Zamân43 disebutkan, “Al-Imam
Ahmad bin Zain al-Habsyi adalah seorang yang sangat
mengagungkan ilmu, memuji pemiliknya dengan sebenar-
benar pujian, menghormati mereka dengan penghormatan yang
sebesar-besarnya, juga menunjukkan bahwa semua kebaikan
berada dalam menuntut ilmu, dan bahwa satu saat darinya
menyamai ibadah seumur hidup.”
Dari Abu Hurairah dikatakan, ”Mengajar satu bab ilmu
mengenai perintah atau larangan lebih aku sukai daripada tujuh

34
puluh peperangan di jalan Allah.” Sufyan ats-Tsauri pernah
ditanya tentang seseorang yang berjuang, “Apakah itu yang
lebih engkau sukai ataukah mempelajari Al-Qur’an?” Beliau
menjawab, “Aku lebih suka mempelajari Al-Qur’an, karena Nabi
Saw. mengatakan, ‘Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari
Al-Qur’an dan mengajarkannya.’”44

Catatan Akhir
32. Judul pasal ini diambil dari nash hadits yang di-takhrij-kan oleh
Ibnu ’Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayân al-’Ilm wa Fadhlih (1: 21) dan
lainnya yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ’Amr.
33. Di-takhrij-kan oleh at-Tirmidzi (2685) dan ia mengatakan, “Hadits
ini hasan shahîh gharîb.”
34. Yaitu, kuda yang diberi makan sampai gemuk, kemudian tidak diberi
makan lagi kecuali makanan pokoknya saja agar menjadi ramping.
Kuda ini adalah kuda yang paling kuat dan paling cepat larinya.
Lihat an-Nihâyah karya Ibnu al-Atsir.
35. Al-Hâfizh al-’Iraqi dalam tahkhrij-nya (1: 7) mengatakan: Hadits
ini di-takhrij-kan oleh al-Ishfahâni dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb
dari hadits Ibnu Umar dari ayahnya yang mengatakan, “Tujuh
puluh derajat,” dengan sanad yang lemah. Juga diriwayatkan oleh
pengarang Musnad al-Firdaus dari hadits Abu Hurairah (al-Firdaus,
3: 128).
36. Di-takhrij-kan oleh ad-Dailami dalam al-Firdaus (5: 176) dari hadits
Ibnu Umar dengan sanad dha’îf.
37. Yang pertama di-takhrij-kan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (5: 32)
dari hadits Mihjan bi al-Adra’ dengan sanad jayyid, sedangkan yang
kedua di-takhrij-kan oleh ath-Thabrânî dalam ash-Shaghîr (2: 251)

35
dari hadits Ibnu Umar dengan sanad dha’if. Demikian dikatakan
oleh al-Hâfizh al-’Iraqi dalam Takhrij al-Ihya (1: 6).
38. Di-takhrij-kan oleh Ibnu Mâjah (219) dengan sanad hasan
sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hâfizh al-Mundziri dalam at-
Targhîb wa at-Tarhîb (1: 125).
39. Di-takhrij-kan oleh al-Bukhari dalam at-Târîkh al-Kabîr (8: 212),
al-Khathîb dalam Târîkh Baghdâd (9: 247) tetapi dengan ucapan alf
rak’ah (seribu rakaat).
40. Imam ’Allâmah, seorang yang saleh dan ‘arifbillah, Abu Abdillah
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-’Abdari al-Mâliki
al-Fâsi yang terkenal dengan sebutan Ibn al-Haj (wafat 737 H),
tinggal di Mesir. Beliau menuntut ilmu di Fez, kemudian tinggal di
Mesir. Beliau bersahabat dengan seorang ‚arif billah yang besar, Abu
Muhammad bin Abu Jamrah yang meringkas dan mensyarah Shahih
al-Bukhari. Ibnu al-Haj wafat di Kairo. Kitabnya, al-Madkhal sangat
bermanfaat sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hâfizh Ibn Hajar.
41. Imam yang sangat terkemuka, Syaikh al-Islam, Amirul Mukminin
dalam hadits, Abu Abdillah Sufyân bin Sa’îd ats-Tsauri al-Kûfi
(97-161 H), pemimpin orang-orang pada masanya dalam hal ilmu,
hafalan, dan kezuhudan. Ibn al-Mubârak mengatakan, “Setahuku,
tak ada orang di dunia yang lebih alim dibanding Sufyân.”
42. Di-takhrij-kan oleh Abu Nu‘aim dalam Hilyah al-Awliya (3: 183).
43. Kitab Bahjah az-Zamân wa Salwah al-Ahzân fi Dzikr Thâifah
min al-A’yân wa al-Ashhâb wa al-Aqrân karya al-Imam al-Habib
Muhammad bin Zain bin Sumaith. Beliau mengarang kitab ini
untuk menyebutkan riwayat hidup sahabat dan murid gurunya,
al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad. Kitab ini telah dicetak di
Mesir.
44. Di-takhrij-kan oleh al-Bukhari (5027) dan lainnya dari hadits
Utsman bin ’Affân ra..

36
5
Keutamaan Para
Penuntut Ilmu dan Orang-orang
yang Mendalami Agama

Dari Anas, mengatakan, “Rasulullah Saw. bersabda, ‘Barangsiapa


keluar dalam menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai
ia kembali.’”45 Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang pergi ke
masjid dengan keinginan hanya untuk mempelajari suatu kebaikan
atau mengajarkannya, maka ia mendapatkan pahala seperti orang
yang menunaikan haji dengan sempurna.”46 Dari Ibnu Abbas,
mengatakan bahwa Nabi Saw. bersabda, “Pergi untuk mempelajari
agama adalah lebih baik di sisi Allah daripada berjihad di jalan-
Nya.”47
Nabi Saw. bersabda,

“Barangsiapa memperdalam agama Allah maka Allah


mencukupi segala yang menjadi kepentingannya dan
memberinya rezeki yang tak diduga-duga.”48

Di dalam atsar disebutkan, “Sesungguhnya Allah menanggung


rezeki penuntut ilmu.” Sayyidina Abdullah al-Haddad mengatakan,
“Ini merupakan tanggungan khusus setelah tanggungan umum yang
diberikan Allah bagi setiap makhluk yang melata di permukaan
bumi. Maka maknanya adalah diberikan tambahan kemudahan,
serta dihilangkan kesukaran dan bebannya dalam mencari dan
mendapatkan rezeki.”
Di antara perkataan Sayyidina al-‘Arifbillah al-Habib
Ahmad bin Zain al-Habsyi adalah, “Apabila seseorang memiliki
pemahaman dalam masalah ilmu, dan Allah memberikan
semangat untuk menuntutnya, maka itu merupakan sebab
terkuat untuk mendapakan rezeki, dan tidak ada yang lebih
bermanfaat baginya dibandingkan itu—yakni menuntut ilmu.
Maka hendaknya mengarahkan semangatnya untuk menuntut
ilmu dan tidak membebani dirinya dengan mencari rezeki.
Karena ia akan dicukupkan dan diarahkan rezekinya. Sebab
sesungguhnya Allah menjamin rezeki para penuntut ilmu.”
Saya (penulis) mengatakan: Di antara sebab terkuat yang dapat
menarik rezeki, sebagaimana yang disebutkan oleh orang-orang
arif, adalah mendirikan shalat dengan ta`zhîm (pengagungan) dan
khusyu’, membaca Surah al-Wâqi`ah terutama di waktu malam,
membaca Surah Yasin dan Tabarak di waktu Subuh, hadir di
masjid sebelum azan, senantiasa dalam keadaan suci, menunaikan
sunnah fajar dan witir di rumah, i`tikaf di masjid antara shalat
Subuh sampai terbitnya matahari, dan mengucapkan ya kâfi, ya
mughni, ya fattâh, ya razzâq berulang-ulang.
Dari Imam Syafi’i disebutkan bahwa ada empat hal yang
mendatangkan rezeki, bangun malam, banyak beristighfar di
waktu sahur (menjelang Subuh), selalu bersedekah, dan berzikir
pada awal siang (yakni pagi hari) dan pada akhir siang (yakni
petang hari). Dan ada empat hal yang mencegah (menghalangi)
rezeki, tidur di pagi hari, sedikit melakukan shalat, malas, dan
khianat.
Di antara yang juga menghalangi rezeki adalah banyak tidur,
makan dan minum dalam keadaan junub, menyapu rumah pada
malam hari, membiarkan sampah di dalam rumah, berjalan

38
mendahului orang tua, mencuci tangan dengan tanah (kecuali
untuk mencuci najis mughalazhah, penj.), duduk di tangga,
berwudhu di tempat buang hajat, menjahit pakaian tanpa
melepasnya dari badan, mengeringkan wajah dengan pakaian,
membiarkan sarang laba-laba di dalam rumah, menganggap
enteng shalat, mematikan pelita dengan napas (tiupan), dan tidak
mendoakan orang tua. Semua itu menyebabkan kefakiran. Hal
itu diketahui dari atsar. Nashiruddin ath-Thûsi49 menyebutkan
dalam kitab Adab al-Muta`allimîn.

Catatan Akhir
45. Di-takhrij-kan oleh at-Tirmîdzî (2647), yang mengatakan, “Hadits ini
hasan gharîb.”
46. Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Kabîr (8: 111 nomor 7473)
dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak (1: 91) dari hadits Abu Umâmah
dengan sanad La ba‘sa bih, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Mundziri
dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb (1: 138), yang mengatakan dalam al-
Majma’ (1: 123), “Semua perawinya orang-orang terpercaya.”
47. Di-takhrij-kan oleh ad-Dailami dalam al-Firdaus (3: 109).
48. Diriwayatkan oleh Abu Hanîfah dari hadits Abdullah bin al-Hârits bin
Jaza‘, seorang sahabat Rasulullah Saw. Musnad Abu Hanîfah (1: 25).
49. Abu Ja’far Nashiruddin Muhammad bin Muhammad bin al-Hasan
ath-Thûsi (597-672 H), seorang filosof dan sangat alim dalam ilmu-
ilmu aqliyah, meteorologi, dan matematika. Beliau memiliki sejumlah
karangan penting. Wafat di Baghdad.

39
6
Dorongan Bertanya kepada Ulama
dan Terus Menambah Ilmu

Allah Swt. berfirman,

“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara


mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama, dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
(QS. at-Taubah: 122)

Ayat ini menggabungkan dorongan untuk belajar dan mengajar


dengan perintah untuk mendalami agama, serta dakwah di jalan
Allah dan di jalan yang lurus.
Allah berfirman dalam rangka mendorong untuk bertanya
dalam urusan agama yang dirasakan sulit, kepada ulama yang
mengamalkan ilmunya. Allah Swt. berfirman,
“Maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang
berilmu jika kalian tidak mengetahui.”
(QS. al-Anbiya’: 7)

Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan,


“Bertanya adalah kunci yang dapat menyampaikan seseorang
kepada makna-makna ilmu dan rahasia-rahasia kegaiban yang
ada dalam dada dan hati. Sebagaimana seseorang tidak dapat
sampai kepada barang-barang dan hal-hal berharga di dalam
rumah, kecuali dengan menggunakan kunci yang terbuat dari
besi dan kayu, demikian pula seseorang tidak dapat sampai
kepada ilmu dan pengetahuan yang ada pada ulama, tetapi
dengan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuk mengambil
manfaat yang disertai dengan kesungguhan, keinginan, dan adab
yang baik.” Kemudian beliau menyebutkan bahwa Imam Sufyan
ats-Tsauri segera meninggalkan suatu negeri yang dimasukinya
bila tidak seorang pun dari penduduknya bertanya kepadanya
tentang ilmu, dan beliau mengatakan, “Ini adalah negeri di mana
ilmu telah mati di dalamnya.”
Asy-Syibli50 apabila duduk di halaqahnya dan tak seorang
pun bertanya kepadanya, maka beliau membaca firman Allah
[yang artinya],

“Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan


oleh kelaliman mereka, maka mereka tidak dapat berkata
[apa-apa].”
(QS. an-Naml: 85)

Nabi Saw. bersabda, “Ilmu adalah simpanan, kuncinya adalah


pertanyaan. Karena itu, bertanyalah, karena sesungguhnya ada empat
pihak yang diberi ganjaran, orang yang bertanya, orang alim (yakni,
yang ditanya dan memberikan jawaban), orang yang mendengar, dan

41
orang yang mencintai mereka.”51 Terdapat pula suatu hadits marfu`,
“Pertanyaan yang baik adalah setengah ilmu.”52
Dari uraian yang telah lalu dapat diketahui bahwa setiap orang
yang tidak tahu wajib bertanya kepada orang yang mengetahui,
yakni para ulama yang mengamalkan ilmunya. Hendaklah
seseorang berhati-hati, jangan sampai ia menanyakan masalah
agamanya kepada ulama yang tidak memiliki sifat ini. Yakni, orang
yang mencari dunia dengan ilmunya dan menjadikannya sebagai
pancing dan jala untuk mengumpulkan harta dunia. Berhati-hatilah
kepada orang yang demikian dan berlarilah darinya sebagaimana
engkau berlari dari singa, karena bahayanya terhadap dirimu lebih
besar dibanding manfaatnya. Karena sesungguhnya orang yang
tidak dapat dipercaya dalam mengurus agama bagi dirinya sendiri,
bagaimana dapat dipercaya dalam mengurus agama bagi orang
lain?! Pahamilah itu. Para salaf saleh sangat menekankan dalam
permasalahan menimba ilmu, bagi mereka yang memiliki keahlian
sempurna dan tampak kedekatannya dengan agama.
Muhammad bin Sirin53 dan Mâlik bin Anas mengatakan,
“Ilmu adalah agama. Maka lihatlah dengan siapa kamu sekalian
menimba agamamu.” Sayyidina al-Quthb Ahmad bin Zain
al-Habsyi mengatakan, “Tanda seorang alim yang terpercaya—
yakni orang yang engkau ingin mengambil agama darinya—
adalah takut kepada Tuhannya, dan tanda takutnya tampak
pada perbuatannya. Maka orang yang engkau lihat pada dirinya
terdapat tanda ini, ambillah agama darinya dan ikuti pada semua
yang dibawanya. Jika tidak mendapatinya demikian, maka
tinggalkan dan jangan mengikutinya. Tetapi janganlah berburuk
sangka karena engkau tidak melihat rasa takut pada dirinya, yang
merupakan syarat ilmu berdasarkan firman Allah Ta`ala,

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-


hamba-Nya hanyalah ulama.”
(QS. Fathir: 28)

42

 
    
           
 Janganlah
  engkau
 pastikan
   bahwa
 ia   binasa
akan  karena
 melihatnya
    kurang
 memiliki
   rasa
takut.
Karena
sesungguhnya

Allah tidak memberinya ilmu dengan maksud menghina dan
   membahayakannya
  dengan
      ilmunya.
   Selain
 
 itu,
  tak
ada yang
dapat mengetahui seorang  alim tidak mengamalkan   ilmunya

kecuali ia juga seorang alim. Karena orang yang terbatas ilmunya,
 tidak
 mengetahui
  hakikat
  ilmu
 sehingga
bisa
memutuskan
  ada
 atau
  tidaknya
 pengamalan
  ilmu.
  Maka

  
tidaksah dan
tidak
 dapat
diterima pengingkaran orang yang terbatas itu tentang suatu
                  
keadaan. Juga penilaian seorang alim terhadap orang alim lainnya
  
tak dapat
  dibenarkan,
    kecuali
 bila
ia
 seorang
   yang
alim  wara’
dan bertakwa. Ketika itu barulah dapat dibenarkan penilaiannya

terhadap orang alim yang lain.” Demikianlah keterangan dari
kitab Qurrah al-’Ain karya al-’Allamah Muhammad bin Zain bin
Sumaith.54
Allah Swt. berkata kepada Nabi-Nya,

 
               
 
  Dan
 katakanlah,
    “Tuhanku
   tambahkanlah
 
  aku
 
 ilmu.”
 
(QS. Thaha: 114)
          
 Allah
 memerintahkan
     beliau
  untuk
    meminta
  tambahan
ilmu karena ilmu merupakan perangai yang paling mulia dan
 ciri
yang
 paling
   
 Tidak
tinggi.   adayang
   menyukainya
 kecuali
 
 orang-orang
yang memiliki
   reputasi
 baik dantidak
ada yang
membencinya kecuali orang-orang yang bodoh dan rendah.
             
Itulah kesempurnaan yang diharapkan oleh orang-orang yang
mencari tambahan dan merupakan simpanan yang dibutuhkan. 
Di antara doa Nabi Saw. adalah:
       

“Ya Allah, berilah aku manfaat dengan apa yang Engkau telah
ajarkan kepadaku, ajarkanlah aku apa yang bermanfaat bagi
diriku, dan tambahkanlah aku ilmu.”55

43
Nabi Saw. juga mengatakan, “Jika datang kepadaku suatu
hari yang pada hari itu aku tidak mendapat tambahan ilmu
yang dapat mendekatkan diriku kepada Allah, berarti tidak ada
keberkahan bagiku terbitnya matahari pada hari itu.”56 Maka
seorang mukmin yang berakal, cerdas, dan memiliki keutamaan,
setiap kali bertambah ilmunya, semakin mencari dan semakin
haus terhadap ilmu. Di dalam hadits dikatakan, “Seorang
mukmin tidak akan kenyang dari kebaikan yang didengarnya
hingga penghujungnya adalah surga.”57 Dalam hadits lain
dikatakan, “Ada dua orang tamak yang tidak akan kenyang.
Orang yang tamak dalam hal ilmu tidak akan kenyang dan orang
yang tamak dalam hal keduniaan juga tidak akan kenyang.”58
Sayyidina al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi mengatakan,
“Sesungguhnya para ‘arifbillah senantiasa merindukan dan
mencari tambahannya, sekalipun mereka telah mencapai apa
yang mereka capai dan telah diberikan apa yang telah diberikan.
Pandangan mereka menginginkan sesuatu yang tak akan
berakhir dan tak akan terbatasi selama dunia masih ada. Bahkan,
perjalanan mereka dan kesungguhan mereka adalah dalam
mencari tujuan dan tidak akan berakhir sampai berada di akhirat,
negeri pembalasan. Di dalam Al-Qur’an dikatakan,

Katakanlah, “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk


[menulis] kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah
lautan itu sebelum habis [ditulis] kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu [pula].
(QS. al-Kahfi: 109)

Sehingga seorang besar ketika dikatakan kepadanya bahwa


fulan mengatakan, ‘aku minum sampai hilang dahagaku.’ Ia
mengatakan, ‘Katakanlah kepadanya orang selain kamu telah
minum air laut dan ia haus sampai sekarang. Mulutnya selalu

44
menganga menginginkan dan mencari tambahan.’” Demikian
keterangan dari kitab an-Nahr al-Maurûd.
Di dalam Shahih al-Bukhari59 disebutkan bahwa Rasulullah
Saw. mempersaudarakan antara Abu Darda` dan Salman al-Farisi.
Imam an-Nawawi mengatakan dalam Tahdzib al-Asma’. “Abu
Darda` tinggal di Syam, lalu ia menulis surat kepada Salman, ‘Amma
Ba’du, sesungguhnya Allah telah memberikan rezeki kepadaku
berupa harta dan anak, dan aku tinggal di bumi yang suci.’ Maka
Salman pun membalas suratnya, ‘Kesejahteraan atasmu. ‘Amma
Ba’du. Sesungguhnya engkau telah menulis surat kepadaku bahwa
Allah telah memberimu rezeki harta dan anak. Ketahuilah bahwa
kebaikan itu bukanlah dengan banyaknya harta dan anak, melainkan
bila engkau banyak berbuat bijak dan ilmumu bermanfaat untuk
dirimu. Engkau juga menulis bahwa engkau berada di bumi yang
suci padahal bumi tidak menyucikan seorang pun.60 Sesungguhnya
yang menyucikan seseorang adalah amalnya.’”
Salman benar, karena sesungguhnya ilmu itu warisan Nabi
yang diwarisi oleh para wali, ulama, dan orang-orang yang baik.
Sedangkan harta, sesuatu yang akan pergi dan hilang, bayangan
yang akan lenyap. Orang-orang yang memiliki harga diri dan
kehormatan tidak akan bangga dengannya.
Dalam hadits disebutkan bahwa dunia itu diberikan oleh
Allah kepada orang yang Dia sukai dan yang tidak Dia sukai.61
Sedangkan ilmu hanya diberikan kepada orang-orang baik yang
disukai-Nya. Dalam Al-Qur’an disebutkan,

Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran


yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.
(QS. an-Nur: 44)

45
Catatan Akhir
50. Seorang ‘ârif billah besar, Syaikh ath-Thâifah Abu Bakar Dulaf bin
Jahdar asy-Syibli al-Baghdâdi (247-334 H). As-Sulami mengatakan
dalam Thabaqât-nya halaman 337, bahwa beliau bersahabat dengan al-
Junaid dan para syaikh lain pada masanya. Tak ada bandingnya dalam hâl
dan ilmunya. Beliau seorang yang alim dan faqih dalam mazhab Maliki.
51. Di-takhrij-kan oleh Abu Nu‘aim dalam al-Hilyah (3: 192) dari hadits Ali
yang marfu’ dengan sanad dha’if sebagaimana dikatakan oleh al-Hâfizh
al-‘Irâqî dalam Takhrij al-Ihya (1: 9).
52. Di-takhrij-kan oleh al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Imân (5: 255) dari hadits
Ibnu Umar dan dia memandang sanadnya lemah.
53. Imam dan tabi’in besar, Abu Bakar Muhammad bin Sîrîn al-Anshâri
al-Bashri. Di samping seorang imam dalam fiqih dan hadits, beliau
merupakan contoh dalam sifat wara’ dan seorang yang sangat unggul
dalam mengartikan mimpi.
54. Qurrah al-‘Ain wa Jalâ’ ar-Rayn fi Tarjamah al-Habib Ahmad bin Zain,
masih berupa tulisan tangan. Kemungkinan dalam waktu dekat akan
diterbitkan oleh Dar al-’Ilm wa ad-Da’wah, Tarîm.
55. Di-takhrij-kan oleh at-Tirmîdzî (3599) dan Ibnu Mâjah (251) dari
hadits Abu Hurairah.
56. Di-takhrij-kan oleh ath-Thabrâni dalam al-Awsath (6: 367) dan Abu
Nu‘aim dalam al-Hilyah (8: 188) dari hadits Sayyidah ’Aisyah dengan
sanad dha’îf sebagaimana yang dikatakan oleh al-’Irâqî dalam Takhrij al-
Ihya (1: 6).
57. Di-takhrij-kan oleh at-Tirmîdzî (2686) dari hadits Abu Sa’îd al-Khudri,
yang mengatakan, “Hadits ini hasan gharîb.”
58. Di-takhrij-kan oleh al-Hâkim dalam al-Mustadrak (1: 92) dari hadits
Anas dan ia mengatakan, “Hadits ini shahih berdasarkan syarat al-
Bukhari dan Muslim.” Ath-Thabrâni juga menyebutkannya dalam al-
Kabîr (10: 223) dari hadits Ibnu Mas’ud.
59. Shahih al-Bukhari (1968) dari hadits Abu Juhaifah.
60. Tahdzib al-Asma‘ wa al-Lughât karya al-Imam an-Nawawi (1: 227).
61. Dalam hadits yang di-takhrij-kan oleh al-Imam Ahmad dalam Musnad-
nya (1: 387) dan yang lainnya dari Ibnu Mas‘ud disebutkan demikian,
“Sesungguhnya Allah membagi di antara kalian akhlak kalian sebagaimana
Dia membagi di antara kalian rezeki kalian, dan sesungguhnya Allah
memberikan dunia kepada orang yang Dia cintai dan orang yang tidak

46
Dia cintai, dan tidak memberikan agama kecuali kepada orang yang
Dia cintai. Maka barangsiapa yang Allah berikan agama, berarti Dia
mencintainya.

47
Bab 2
Keutamaan
Menyebarkan
ILMU
“Barangsiapa yang membangkitkan
lisannya untuk suatu kebenaran yang setelah
ia tiada tetap diamalkan orang, maka ia akan
diberi ganjarannya sampai hari Kiamat.”
1
Keutamaan Mengajar

Ketahuilah bahwa di antara buah terbesar dari ilmu dan manfaat-


manfaatnya adalah mengajarkan dan memberikannya kepada
manusia. Itu termasuk pendekatan paling utama yang dapat
menyampaikan pada kedudukan tertinggi. Sabda Nabi Saw.
cukuplah menunjukkan kemuliaan hal itu, “Sesungguhnya aku
diutus sebagai pengajar.”62 Nabi Isa as. mengatakan, “Barangsiapa
yang belajar, beramal, dan mengajar, maka ia diseru sebagai seorang
yang agung di alam langit.”63
Seorang alim hendaklah mengamalkan ilmunya terlebih
dahulu, baru kemudian mengajar orang lain agar orang lain
mendapat manfaat dengannya. Maka pahala dan ganjarannya akan
tetap ia dapatkan selama ilmunya bermanfaat sampai hari Kiamat.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya di antara yang menyertai
seorang mukmin dari ilmu, amal, dan kebaikan-kebaikannya setelah
kematiannya adalah ilmu yang diajarkan dan disebarkannya.”64
Nabi Saw. juga bersabda, “Apabila seorang anak Adam mati,
terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.”65
Sebagian muhaqqiq mengatakan, “Apabila engkau perhatikan
hadits tersebut, niscaya akan mendapati bahwa makna ketiganya
terdapat pada seorang pengajar. Mengenai sedekahnya, maka
yang dibacakan dan manfaat yang diberikannya. Tidakkah
engkau perhatikan ucapan Nabi Saw. mengenai orang yang
shalat sendiri, ‘Siapakah yang mau bersedekah kepada orang
ini?’66 Yakni, dengan melakukan shalat bersamanya agar orang
itu mendapatkan keutamaan berjemaah. Seorang pengajar
menghasilkan keutamaan ilmu yang lebih baik daripada
keutamaan shalat berjemaah bagi muridnya, dan dengannya
ia mencapai kemuliaan dunia dan akhirat. Adapun ilmu yang
bermanfaat, telah jelas karena ia menjadi sebab sampainya ilmu
itu kepada orang yang mengambil manfaat dengannya. Mengenai
doa yang saleh untuknya, maka biasanya yang dibaca oleh para
ahli ilmu adalah doa untuk guru-guru mereka dan imam-imam
mereka. Malah sebagian ahli ilmu mendoakan setiap orang yang
disebut sebagai periwayat suatu ilmu. Terkadang sebagian mereka
membaca hadits dengan sanadnya lalu mendoakan semua perawi
sanad itu. Mahasuci zat yang telah mengkhususkan orang-orang
yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya dengan anugerah
besar yang dikehendaki-Nya.”
Dari Abu Hurairah ra. dalam sebuah hadits marfu` disebutkan,
“Ada tujuh perkara yang pahalanya tetap mengalir bagi seorang
hamba setelah ia mati dan berada dalam kuburnya. Yaitu, orang
yang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, membuat sumur,
menanam kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf, atau
meninggalkan anak yang mendoakannya.”67
Imam Jalâluddîn as-Suyûthiy menyebutkannya dalam
bentuk syair berikut ini,

          
 
    
          
                
          


52
   
       
   
Bila seorang telah mati, tak ada lagi yang mengalir atasnya
Dari perbuatannya kecuali sepuluh perkara
Ilmu yang disebarkannya, doa anaknya
Kurma yang ditanamnya, sedekah yang diberikannya
Mushaf yang diwariskannya, benteng yang dibangunnya
Sumur yang digalinya, sungai yang dialirkannya
Rumah untuk pendatang asing yang dibangunnya
atau tempat berzikir yang didirikannya

Di antara hadits mengenai keutamaan mengajar—yang


banyak jumlahnya—adalah sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya
Allah, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, bahkan
semut di lubangnya dan juga ikan, mendoakan kebaikan atas
seorang pengajar.”68 Nabi Saw. juga bersabda, “Sedekah yang
paling utama adalah apabila seorang muslim mempelajari
ilmu kemudian mengajarkannya kepada saudaranya sesama
muslim.”69 Nabi Saw. juga bersabda, “Yang paling pemurah di
antara kalian setelah aku adalah seseorang yang mengetahui ilmu
lalu menyebarkannya, ia akan dibangkitkan pada hari Kiamat
seperti satu umat.”70
Al-Hasan al-Bashriy mengatakan, “Aku lebih mencintai
mempelajari satu bab ilmu lalu mengajarkannya kepada seorang
muslim, daripada memiliki dunia seluruhnya di jalan Allah.”
Demikian dikutip dari kitab al-Ihya.
Terdapat pula keterangan yang menyebutkan bahwa Allah
memberikan wahyu kepada Nabi Musa, “Pelajarilah kebaikan
dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya Aku
memberikan cahaya kepada orang yang mengajarkan ilmu dan
orang yang mempelajarinya di kubur mereka, sehingga tidak
merasa kesepian di tempat mereka.”

53
Prioritas dalam Mengajar adalah untuk Istri,
Anak, dan Semacamnya
Dari Imam Ali ra. disebutkan penafsiran tentang firman Allah Ta`ala,

“Jagalah diri dan keluarga kalian dari siksa neraka.”


(QS. at-Tahrim: 6)

Dikatakan, “Ajarkanlah diri kalian dan keluarga kalian kebaikan.”71


Yakni, yang menyelamatkan mereka dari neraka. Dari Ibnu
Abbas, mengatakan, “Berilah pemahaman, ajarkanlah, dan
didiklah mereka.” Muqatil72 mengatakan, “Hak seorang muslim
adalah mengajar diri, keluarga, dan hamba sahayanya, dengan
mengajarkan kepada mereka kebaikan dan mencegah mereka dari
keburukan.”
Saya (penulis) mengatakan, “Dalam hal itu terdapat petunjuk
mengenai kuatnya kewajiban mengajar istri, anak-anak, dan yang
seperti mereka. Mereka lebih penting dan harus lebih didahulukan
daripada mengajar orang-orang selain mereka, karena setiap pemimpin
akan ditanya tentang orang-orang yang dipimpinnya.”
Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith mengatakan, “Kebaikan
terhadap anak yang wajib atas orang tua adalah mengajar dan
mendidiknya. Nabi Saw. tidak banyak memberi dorongan mengenai
kebaikan terhadap anak karena hal itu telah tercukupi dengan adanya
dorongan tabiat manusia untuk melakukannya itu, dan itu lebih kuat
daripada dorongan syariat. Berbeda dengan kebaikan terhadap orang
tua yang wajib atas anak, syariat sangat memberi dorongan. Tetapi
keduanya sama-sama wajib.”
Al-Imam Ali Krw. berkata, “Sesungguhnya seorang ayah memiliki
hak atas anaknya, dan sesungguhnya seorang anak memiliki hak atas
ayahnya. Hak ayah atas anak adalah ditaati dalam segala hal kecuali
dalam maksiat kepada Allah yang Mahasuci. Sedangkan hak anak atas
ayah adalah diberi nama yang baik, diajarkan adab yang baik, dan
diajarkan Al-Qur’an.”

54
Al-Imam al-Habib Abdullah bin Husain bin Thâhir mengatakan
dalam risalahnya yang bernama Shilah al-Ahl wa al-Aqrabîn bi
Ta`lîm ad-Dîn, “Wajib atas bapak, ibu, dan wali, untuk mengajar
anak-anak, keluarga, hamba sahaya, dan setiap orang yang berada
dalam tanggungan mereka tentang sesuatu yang wajib atas mereka,
seperti iman, shalat, zakat, dan haji, dan memerintahkan mereka
untuk mempelajarinya. Juga mengajar mereka tentang hal-hal
yang diharamkan seperti zina, membuka aurat, mencuri, khianat,
berbohong, ghibah (membicarakan orang lain meskipun yang
dibicarakan benar), namimah (mengadu domba), sombong, dengki,
riya, dan sebagainya, serta mencegah mereka dari hal-hal tersebut.
Jika mengabaikan hal itu berarti mereka menipu, mengkhianati, dan
menzalimi orang-orang yang berada dalam tanggungan mereka.
Imam al-Ghazali mengatakan dalam al-Ihya, “Dikatakan
bahwa yang pertama terkait dengan seseorang pada hari Kiamat
adalah istri dan anaknya, lalu mereka berdiri di hadapan Allah
kemudian mengatakan, ‘Wahai Tuhan kami, ambillah hak kami
darinya, sesungguhnya ia tidak mengajari kami apa yang tidak
kami ketahui dan ia memberi kami makanan yang haram dan
kami tidak mengetahuinya.’ Maka Allah mengambil balasan untuk
mereka darinya.”
Nabi Saw. bersabda, “Mengapa beberapa kaum tidak
memberikan pemahaman kepada tetangga-tetangga mereka, tidak
mengajari, tidak mengingatkan, tidak menganjurkan (kepada
kebaikan), dan tidak pula mencegah mereka (dari keburukan)?
Mengapa beberapa kaum tidak belajar dari tetangga-tetangga mereka,
tidak mencari pemahaman, dan tidak mengambil peringatan? Demi
Allah, hendaklah suatu kaum mengajar tetangga-tetangga mereka,
memberikan pemahaman, mengingatkan, menganjurkan (kepada
kebaikan), dan mencegah mereka (dari keburukan)? Dan hendaklah
suatu kaum belajar dari tetangga-tetangga mereka, mencari
pemahaman, dan mengambil peringatan. Atau, akan aku segerakan
hukuman untuk mereka di dunia?”73

55

 Jika
antara
  tetangga
   dan mendapat
 tetangga  perhatian
 seperti

diatas,
 lalu
bagaimana
   
dengan  
   antara  keluarga
anggota    dan
anggota

keluarga
  lainnya?
   Dalam
 hadits
   lain  dari  Rasulullah
Saw.   disebutkan,
 
“Hak seorang anak dari ayahnya adalah membaguskan namanya,
 membaguskan
   penyusuannya,
  dan  
membaguskan  adabnya.”
 74
Sayyidina al-Imam Thâhir bin Husain bin Thâhir dalam 
qashidahnya tentang anjuran mengajar dan mendidik anak,
mengatakan, 
   
       
   
 
       
 
            
               
             
                  
 
           
             
             
                 
          
 
                
           
                 
                
            
               
       
              
   

56
Dalam ilmu cahaya tuk penjaganya
Dan mengalir kepada yang lain, jin dan manusia
Belajar di waktu kecil bak mengukir di atas batu
Kokoh dan menetap di hati selalu
Hati anak bagai batu tulis yang bersih
Yang pertama dijumpa tampak nyata
Maka selama jernih hatinya
Tanamkan yang membawa ke surga
Jika tidak, tentara nafsu kan menguasai
Dan akan menduduki tempatnya
Setelah itu akan sulit mengusirnya
Dan akan panjang penderitaannya
Jika membiarkan anak dengan hawa nafsunya
Di kala masih kecil oleh kedua orang tua
Tak lama pasti mereka kan melihat
Kedurhakaan dan sesuatu yang tak mereka suka
Di hari Kiamat akan mengajukan orang tuanya
Kepada Hakim yang adil, lalu bertengkarlah keduanya
Karena mereka lalai memenuhi hak anaknya
Yang diperintahkan saat tujuh atau delapan usianya
Jika mereka mendidik dan memenuhi kewajiban
Maka kebaktiannya akan membuat mereka gembira
Dan kebahagiaan mereka sempurna dan melimpah pula
Dari perbuatan anak yang baik dan bagus
Aduhai kasihan yang melalaikan anaknya
Membiarkan mereka bagai binatang tak berharga
Mereka akan tetap bingung dalam kejahilannya
Dan tak ada yang mereka pahami kecuali meja makan
Tabiat yang keras senang dengan keadaan sia-sia
Dan kesia-siaan menjadi ganti dari surga
Alangkah merugi dan meruginya mereka
Di hari saling merugikan, hari yang nyata segalanya

57
Dan sungguh beruntung yang telah mendidik mereka
Dan mengajarkan semua perbuatan bagus.
Ia beroleh pahala dan terpelihara dari siksa
Serta penyejuk mata baginya kapan saja

Al-Imam Abdullah bin `Alwi al-Haddad mengatakan


dalam Risâlah al-Mudzâkarah, “Sesungguhnya ketaatan yang
dilakukan anak sebelum baligh akan tercatat dalam lembaran-
lembaran amal kedua orang tuanya yang muslim. Jika mereka
mendidiknya dengan bagus dan melaksanakan kewajiban
terhadapnya sebagaimana mestinya, maka anugerah Allah yang
diharapkan adalah mereka tak akan disia-siakan dari amal-amal
saleh dan ketaatan anaknya setelah baligh. Bahkan mereka akan
mendapatkan pahala sebagaimana pahala yang diperoleh anaknya.
Hal itu dinyatakan oleh hadits-hadits mengenai ajakan menuju
hidayah dan petunjuk kepada kebaikan. Maka sesungguhnya
mereka telah mengajak kepada hidayah dan menunjukkan kepada
kebaikan, bagaimanapun mereka telah memenuhi hak anak,
sebagaimana yang telah kami sebutkan dengan mendidiknya
dengan baik, menyuruh dan mendorongnya melakukan kebaikan,
serta melarang dan memperingatkannya dari kejahatan.”

Catatan Akhir
62. Di-takhrij-kan oleh Ibnu Mâjah (229) dan ad-Dârimi (355) dari hadits
‘Abdullah bin ’Amr. Al-Hâfizh al-Bûshîiri memandang dha’îf sanadnya
dalam kitab Mishbâh az-Zujâjâh (1: 97).

58
63. Di-takhrij-kan oleh Imam Ahmad dalam az-Zuhd halaman 59 dan Abu
Nu‘aim dalam al-Hilyah (6: 93) dari Tsaur bin Yazîd, yang mengatakan,
“Isa bin Maryam mengatakan …. lalu menyebutkannya.”
64. Di-takhrij-kan oleh Ibnu Mâjah (242) dan Ibnu Khuzaimah (4: 121) dari
hadits Abu Hurairah dengan sanad hasan, sebagaimana yang dikatakan
oleh al-Hâfizh al-Mundziri dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb (1: 55).
Kelanjutan hadits di atas:... meninggalkan seorang anak soleh, mushaf
yang diwariskan, masjid yang dibangunnya, rumah yang dibangunnya
untuk ibnu sabil, sungai yang dialirkan (untuk manfaat orang lain), atau
sedekah yang dikeluarkan dari hartanya saat dia dalam keadaan sehat saat
hidupnya, (semuanya itu) menyertainya setelah kematiannya.”
65. Di-takhrij-kan oleh Muslim (1631) dan at-Tirmîdzi (1376) dari hadits
Abu Hurairah.
66. Bagian dari hadits yang di-takhrij-kan oleh Ahmad (3: 5) dan Abu Daud
(574) dari hadits Abu Sa’îd al-Khudri.
67. Di-takhrij-kan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imân (3: 248) dan Abu
Nu‘aim dalam al-Hilyah (2: 344) dari hadits Anas bin Malik. Telah
disebutkan hadits serupa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah pada awal
pasal, “Sesungguhnya yang menyertai seorang mukmin....”
68. Di-takhrij-kan oleh at-Tirmîdzi (2685) dari hadits Abu Umâmah al-
Bâhili dan ia mengatakan, “Ini hadits hasan shahih gharîb.”
69. Di-takhrij-kan oleh Ibnu Mâjah (243) dari hadits Abu Hurairah dengan
sanad hasan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hâfizh al-Mundziri
dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb (1: 54).
70. Di-takhrij-kan oleh Abu Ya‘la dalam Musnad-nya (5: 177) dan al-Baihaqi
dalam Syu’ab al-Imân (2: 281) dari hadits Anas bin Malik.
71. Di-takhrij-kan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (2: 494).
72. Abu al-Hasan Muqâtil bin Sulaimân al-Balkhi (wafat 150 H) termasuk
mufassir terkemuka, tetapi haditsnya matrûk. Ibnu al-Mubârak
mengatakan, “Alangkah bagus tafsirnya jika dia seorang tsiqah.” Beliau
wafat di Bashrah.
73. Di-takhrij-kan oleh ath-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabîr dari hadits
Abdurrahman bin Abza. Lihat Majma’ az-Zawâ-id (1: 164).
74. Di-takhrij-kan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imân (6: 402) dari hadits
Aisyah, yang mengatakan, “Di dalamnya terdapat kelemahan.”

59
2
Keutamaan Menulis Ilmu

Nabi Saw. bersabda, “Apabila seorang anak Adam meninggal dunia,


terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: Sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.”75 Para ulama
menafsirkan bahwa yang dimaksud sedekah jariyah setelah seseorang
mati adalah wakaf, sedangkan ilmu yang bermanfaat setelah mati
adalah karangan, pengajaran, dan fatwa yang diberikan. Dalam hal
ini, mengarang adalah lebih nyata karena lebih bersinambungan.
Sedangkan as-Subki76 menjelaskan bahwa orang alim sekalipun
luas bekal ilmunya dan jelas manfaatnya, tetapi manfaatnya terbatas
pada masa hidupnya apabila tidak, mengarang suatu kitab yang
dapat ditinggalkan ketika telah tiada atau mewariskan ilmu yang
dapat dikutip oleh muridnya ketika tersesat.
Diriwayatkan dari Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas77
bahwasanya suatu ketika seseorang mengatakan di tempat beliau
tentang banyaknya karangan. Lalu seorang yang hadir mengatakan
bahwa beliau tidak perlu mengarang lagi saat itu. Maka berkatalah
Habib Umar, “Apakah akan merugikan bila seseorang menyeru
setelah sebelumnya ada orang lain yang menyeru?”
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan,
“Sesungguhnya Allah menuturkan kepada para ulama setiap zaman,
sesuatu yang sesuai dengan orang pada zaman itu. Namun, karangan
dapat mencapai tempat-tempat yang jauh dan akan tetap ada
meskipun orang alim itu telah tiada. Maka baginya akan tercapai
dengan semua itu keutamaan menyebarkan ilmu. Dan seseorang
yang membuat karangan akan dicatat sebagai guru yang selalu
menyeru kepada Allah meskipun telah berada di dalam kubur.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits, ’Barangsiapa yang
membangkitkan lisannya untuk suatu kebenaran yang setelah ia
tiada tetap diamalkan orang, maka ia akan diberi ganjarannya
sampai hari Kiamat.’”78
Al-Imam an-Nawawi mengatakan, “Semestinya seorang
guru memberikan perhatian kepada kegiatan mengarang apabila
ia mempunyai keahlian untuk itu. Dengan mengarang seseorang
akan mengetahui hakikat-hakikat ilmu dan detail-detailnya,
dan ilmu itu akan bertahan padanya karena kegiatan itu akan
memaksanya untuk banyak meneliti, mengkaji, mendalami,
berdiskusi, dan melakukan penelaahan.79
Di antara manfaat mengarang, sebagaimana yang dikatakan
oleh al-Khatîb al-Baghdâdiy, adalah bahwa mengarang
mengokohkan ingatan, menyucikan hati, mengasah tabiat,
memperbagus penjelasan, membuat pengarangnya memiliki
nama baik dan pahala yang besar, serta mengabadikannya
sampai akhir masa. Dan yang paling utama adalah yang terjaga
manfaatnya secara merata dan banyak dibutuhkan orang, serta
belum pernah dikarang sebelumnya.
Al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi mengatakan, “Di antara
hak para syaikh terhadap murid-muridnya adalah menjaga ilmu
dan manfaat yang mereka berikan. Serta menyampaikan kepada
orang setelah mereka agar dapat mengambil manfaat dari mereka.
Dan agar besar—dengan pahala orang mengambil manfaat
dengannya—pahala mereka dan senantiasa hidup sebutan
mereka. Karena setiap orang yang mendapatkan petunjuk dan
mengamalkan ilmunya sampai hari Kiamat, akan menghasilkan
pahala baginya, dan gurunya juga akan mendapatkan

61
ganjaran yang sama dengannya. Sedangkan guru dari gurunya
mendapatkan dua kali ganjarannya, guru yang di atasnya lagi
akan mendapatkan empat kali ganjarannya, guru yang di atasnya
lagi akan mendapatkan delapan kali ganjarannya. Demikianlah,
setiap tingkatan berlipat ganda sejumlah pahala orang-orang
sesudahnya sampai Nabi Saw. Dengan demikian, dapat diketahui
mengapa para pendahulu lebih utama dibandingkan orang-orang
belakangan.” Demikian dikutip dari ‘Iqd al-Yawâqît.
Al-Imam an-Nawawi mengatakan, “Seorang alim yang
merupakan penulis, semestinya memiliki perhatian lebih pada
hasil karya yang belum pernah ditulis sebelumnya. Maksud
dari ucapan ini adalah, tidak adanya tulisan yang memenuhi
kebutuhan sebagaimana tulisannya dalam segala metodenya.
Jika memenuhi kebutuhan sebagian metodenya, hendaknya
dia menulis dari jenis tulisan yang sama dan menambahkan
manfaat yang dihimpun dengannya, serta merangkum metode
yang terlewatkan. Hendaknya tulisannya mencakup manfaat dan
banyak dijadikan rujukan.”80

Catatan Akhir
75. Telah disebutkan takhrij-nya dari Muslim (1631) dan at-Tirmîdzi (1376)
dari hadits Abu Hurairah.
76. Seorang imam ’allamah, ushuli, faqih, menguasai berbagai disiplin ilmu,
pemuka para qadhi, Tâjuddîn Abu Nashr Abdul Wahhâb bin Ali bin
Abdul Kâfi as-Subki (727-771 H), termasuk muhaqqiq di kalangan
imam dan seorang yang terlibat dalam sebagian besar ilmu. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa beliau telah sampai kepada derajat mujtahid.

62
Beliau mengarang karya-karya yang memiliki keunggulan seperti Jam’u
al-Jawâmi’, Mu’îd an-Ni‘am, al-Asybâh wa an-Nazhâir, ensiklopedinya
yang padat, Thabaqât asy-Syafi‘iyyah al-Kubra, dan sebagainya.
77. Imam besar, salah seorang tokoh terkemuka pada masanya, Umar bin
Abdurrahman bin ’Aqil al-Attas, lahir di al-Lask, sebelah timur Tarim,
tahun 992 H. Wafat di Huraidhah tahun 1072 H. Mengambil ilmu dari
gurunya, al-Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Sâlim, sedangkan yang
mengambil ilmu darinya di antaranya al-Imam al-Haddad. Al-Habib Ali
bin Hasan al-Attas secara khusus menulis riwayat hidupnya dalam dua
jilid besar yang dinamainya al-Qirthâs. Terdapat pula riwayat hidupnya
dalam Syarh al-’Ainiyyah.
78. Di-takhrij-kan oleh al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (3: 266) dari
hadits Anas bin Malik.
79. Mukadimah kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (1: 29)
80. Mukadimah kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (1: 30)

63
3
Haramnya Mencegah dan
Menyembunyikan Ilmu

Allah Swt. berfirman,

Dan [ingatlah] ketika Allah mengambil janji dari orang-orang


yang telah diberi kitab [yaitu], “Hen­daklah kamu menerangkan
isi kitab itu dan janganlah kamu menyembunyikannya.”
(QS. Ali `Imran: 187)

Di dalam hadits dikatakan, “Allah tidak memberi ilmu kepada


seorang alim melainkan Dia mengikat perjanjian dengannya,
sebagaimana Dia mengikat perjanjian dengan para nabi untuk
menjelaskan ilmu dan tidak menyembunyikannya.”81
Apabila seorang alim ditanya tentang suatu ilmu, maka wajib
baginya untuk mengajarkannya tentang hukum-hukum Islam,
iman, tata cara shalat, bersuci, dan perkara-perkara ibadah yang
lain, dan ia tidak diperkenankan hanya diam saja. Seseorang yang
enggan mengajarkan ilmu yang Allah anugerahkan kepadanya dan
menyembunyikan penjelasan yang diwajibkan baginya, maka ia
termasuk termasuk diancam, sebagaimana tersebut dalam Kitabullah
dan sunnah Rasulullah. Firman Allah Ta`ala,
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa
yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya
dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya
tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya
melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada
mereka pada hari Kiamat dan tidak akan menyucikan
mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.
(QS. al-Baqarah: 174)

Sebagaimana juga firman Allah,

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa


yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan
(yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah
dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat
melaknati.
(QS. al-Baqarah: 159)

Nabi Saw. juga mengatakan, “Seseorang yang ditanya tentang


suatu ilmu kemudian menyembunyikannya maka Allah akan
mengekangnya dengan kekang dari api pada hari Kiamat.”82 Di
dalam riwayat lain dikatakan, “Seseorang yang menghafal suatu
ilmu kemudian menyembunyikannya, maka ia akan didatangkan
pada hari Kiamat dalam keadaan terkekang dengan kekang dari
api.”83 Nabi Saw. juga mengatakan, “Apabila muncul fitnah-fitnah
dan para sahabatku dicaci, maka hendaklah orang yang alim
menampakkan ilmunya. Dan barangsiapa yang tidak melakukan
hal itu, maka ia mendapat laknat Allah, para malaikat, dan semua
manusia.”84 Demikian yang disebutkan oleh al-Imam Abdullah
al-Haddad dalam kitab ad-Da’wah at-Tammah.
Dalam sebuah suratnya kepada seorang penguasa, beliau
mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah mengikat perjanjian

65
dengan orang-orang yang diberi Al-Kitab agar mengajarkannya
kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.” Dalam
sebuah riwayat disebutkan, “Berapa banyak keburukan raja
tercatat dalam lembaran amal para ulama di masanya. Karena
mereka tidak menasihati dan tidak memberi petunjuk menuju
kebenaran. Sebaik-baik raja adalah raja yang keputusannya
timbul dari pendapat para ulama, dan seburuk-buruk ulama
adalah yang menjadikan ilmunya mengikuti pendapat raja-raja.”
Di antara perkataan al-Imam Abdullah bin Husain bin Thahir,
“Sesungguhnya menyembunyikan ilmu adalah lebih berbahaya
dibandingkan dengan menyembunyikan makanan. Sebagaimana
yang dikatakan oleh al-Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith,
‘Perhatikanlah ancaman yang keras dalam penyembunyian
makanan padahal manfaat makanan tidak seperti manfaat ilmu.
Saya menginginkan setiap orang mengajarkan yang diketahuinya
meskipun ilmunya sedikit.’”
Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshâri85 mengatakan, “Berhati-
hatilah terhadap perbuatan menyembunyikan ilmu dari
musuhmu, karena sesungguhnya syariat hanyalah milik Allah
dan Rasul-Nya, sedangkan di antara syarat setiap orang yang
mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah suka menyebarkan yang
disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya pada semua manusia, baik
kepada para sahabat maupun para musuh.”
Dari Sufyan ats-Tsauri, mengatakan, “Barangsiapa yang
bakhil dengan ilmu yang dimilikinya, maka ia akan tertimpa
salah satu dari tiga hal: akan lupa terhadap ilmunya, mati dengan
tidak mendapatkan manfaat dari ilmunya, atau hilang kitab-
kitabnya.” Demikian keterangan dari mukadimah kitab Syarh
al-Muhadzdzab.86
Al-Imam Amad bin Hasan al-Attas mengatakan,
“Sesungguhnya orang yang menampakkan kepada orang awam,
pendapat-pendapat yang kuat menurutnya dan menyembunyikan
pendapat yang lain, maka ia akan masuk dalam firman Allah Swt.,

66
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa
yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan
(yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al-Kitab. Mereka itu dilaknati Allah
dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat
melaknati.
(QS. al-Baqarah: 159)

Karena itu, janganlah engkau sebutkan pendapat yang engkau


inginkan dan yang kuat menurutmu, melainkan sebutkanlah
yang dikatakan oleh para ahli ilmu dan biarlah ia mengambil
pendapat yang ia inginkan.”
Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya ada dua hal di
dunia yang apabila mati, seperti bangkai yang tak disembelih.
Pertama, orang kaya yang Allah luaskan rezekinya tetapi ia tidak
mau bersedekah pada jalan kebaikan. Kedua, orang alim yang tidak
memberi manfaat kepada manusia dengan ilmunya.”

Demikian keterangan dari kumpulan ucapannya.

***

Al-Imam an-Nawawi mengatakan dalam kitabnya, at-Tibyan,


“Mengajar orang yang belajar adalah fardhu kifayah. Namun bila
tidak ada yang dapat melakukan kecuali satu orang, maka baginya
menjadi fardhu `ain. Jika ada sekelompok orang yang dapat
mengajar, maka pengajaran cukup dilakukan sebagian di antara
mereka. Jika mereka semua tak mau, maka semuanya berdosa.
Apabila sebagian telah melakukannya, maka gugur kewajiban
bagi yang lain. Jika seseorang di antara mereka diminta untuk
mengajar tetapi tidak mau, maka menurut pendapat yang lebih
masyhur, tidak berdosa. Tetapi jika tak memiliki uzur maka ia
harus melakukannya.”87

67
Beliau juga berkata, ”Para ulama berpendapat bahwa
seseorang tidak diperbolehkan menolak mengajar karena merasa
niatnya belum benar. Sufyan ats-Tsauri dan selainnya berkata,
‘Keinginan mereka dalam mencari ilmu merupakan niat.’ Mereka
juga berkata, ‘Kami menuntut ilmu bukan karena Allah, tetapi
ilmu menolak kecuali jika karena Allah.’ Artinya bahwa pada
akhirnya tujuannya menjadi karena Allah.”

***

Peringatan
Al-Imam as-Suyûthiy mengatakan dalam al-Itqân,
“Adapun mengambil upah atas pengajaran
yang diberikan, dibolehkan. Dalam Shahih al-
Bukhâri dikatakan, ‘Sesungguhnya yang paling
patut kalian ambil upahnya adalah mengajar
Kitabullah.’88 Ada pendapat yang mengatakan
bahwa bila mengajar merupakan fardhu `ain bagi
seseorang, maka tidak dibolehkan mengambil upah. Pendapat
ini dipilih oleh al-Halimi.89 Ada pula yang mengatakan, tidak
dibolehkan secara mutlak. Abu Hanifah berpendapat demikian.
Di dalam kitab al-Bustân karya Abu al-Laits,90 disebutkan
bahwa terdapat tiga macam pengajaran. Pertama, semata-
mata mengharap balasan dan tidak mengambil imbalan.
Kedua, mengajar dengan mengambil upah. Ketiga, mengajar
tanpa membuat persyaratan, tetapi jika diberi hadiah diterima.
Jenis yang pertama akan mendapatkan ganjaran (pahala).
Jenis ini merupakan perbuatan para nabi. Jenis yang kedua
diperselisihkan oleh para ulama, tetapi menurut pendapat yang
paling kuat dibolehkan. Adapun jenis yang ketiga, kesepakatan
ulama membolehkan. Karena Nabi Saw. adalah pengajar
manusia dan beliau mau menerima hadiah.”91

68
Peringatan
Seorang alim—dengan pengetahuannya—tidak
diperbolehkan menyebutkan masalah yang dapat
menimbulkan sikap meremehkan agama dan
terjatuh kepada kerusakan. Karena pengetahuan itu,
dapat bermanfaat—seperti fardhu-fardhu ‘ain yang
wajib diingatkan kepada setiap orang, atau dapat
pula merugikan—seperti siasat-siasat yang dapat menggugurkan
zakat. Segala sesuatu yang sesuai dengan keinginan dan
mendatangkan harta dunia, tidak boleh disampaikan kepada orang
yang diketahui akan melakukannya atau mengajarkannya kepada
orang yang akan melakukannya. Atau sesuatu yang mengandung
mudharat dan manfaat; jika manfaatnya lebih kuat, maka
boleh disampaikan. Tetapi jika tidak, maka tidak diperbolehkan.
Demikian keterangan dari kitab Bughyah al-Mustarsyidîn.

Catatan Akhir
81. Hadits ini di-takhrij-kan secara rinci oleh al-Imam az-Zubaidi dalam
Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn (1: 105). Yang dapat disimpulkan dari
perkataannya adalah bahwa hadits ini dha’if tetapi menjadi kuat dengan
syahid-syahidnya.
82. Di-takhrij-kan oleh Abu Daud (3658) dan redaksi ini adalah menurut
riwayatnya, juga diriwayatkan oleh at-Tirmîdzi (2649) dan sebagainya
dari hadits Abu Hurairah. At-Tirmîdzi mengatakan bahwa hadits ini
hasan.
83. Riwayat ini di-takhrij-kan oleh Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya (261) dari
hadits Abu Hurairah juga.

69
84. Di-takhrij-kan oleh al-Khathîb al-Baghdâdi dalam al-Jâmi’ li Akhlaq ar-
Râwî wa dâb as-Sâmi’ (2: 118) dari hadits Mu’âdz bin Jabal. Di dalamnya
terdapat kelemahan. Dapat dilihat pada Lisân al-Mîzân (7: 314).
85. Seorang imam, ’allamah, faqih, pemuka para qadhi, Syaikh al-Islam
Abu Yahya Zakariyyâ bin Muhammad al-Anshâri as-Sunaiki al-Mashri
(833-926 H). Termasuk imam di kalangan mazhab Syafi‘i dan tokoh
terkemuka pada masanya. Beliau memiliki ilmu dan kewalian sekaligus
amar ma’ruf nahi munkar. Beliau belajar kepada al-Hâfizh Ibnu Hajar al-
’Asqalânî, sedangkan Ibnu Hajar al-Haitami belajar kepadanya. Karena
itu beliau mengatakan, “Aku terketuk di antara dua Hajar.” Beliau
memiliki beberapa karangan yang bagus seperti Syarh ar-Raudh, Syarh
al-Bahjah, dan lain-lain dalam berbagai ilmu.
86. Mukadimah al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (1: 40).
87. At-Tibyân fi dâb Hamalah Al-Qur‘an, bab IV mengenai adab pengajar
Al-Qur’an dan orang yang mempelajarinya. Halaman 20.
88. Shahih al-Bukhari (5737) dari hadits Ibnu Abbas.
89. Imam besar, faqih, ahli ilmu kalam, orang yang menyelami ilmu-ilmu
yang pelik, Abu Abdillah al-Husain bin al-Hasan bin Muhammad bin
Halîm al-Halîmî (388-403 H), pengarang kitab yang sangat penting, al-
Minhâj fi Syu’ab al- mân, dan sebagainya. As-Subki mengatakan dalam
Thabaqât-nya (3: 333): Beliau salah seorang imam pada masanya dan
guru para ulama Syafi‘i.
90. Abu al-Laits adalah al-Imam al-‘Allamah Nashr bin Muhammad as-
Samarqandi (wafat 373 H), digelari Imam al-Huda, salah seorang imam
di kalangan ulama Hanafi dan tokoh terkemuka di kalangan mufassir
dan fuqaha. Beliau juga seorang shufi yang zuhud. Al-Bustân adalah
nama kitabnya, lengkapnya Bustân al-‘Arifin mengenai zuhud, akhlak,
serta hadits-hadits, dan atsar-atsar mengenainya. Imam an-Nawawi
memiliki karangan dengan judul yang sama. Keduanya telah dicetak.
91. Al-Itqân fi ‘Ulûm Al-Qur‘an halaman 322-323 H.

70
71
Bab 3
Kesungguhan
dalam
Menuntut
ILMU
“Sesungguhnya disiplin ilmu tak dapat
dicapai dengan angan-angan, tidak pula
dengan kata-kata ‘akan’, ‘mudah-mudahan’,
atau ‘seandainya aku’.”
1
Ilmu Tak Dapat Diraih Kecuali
dengan Kesungguhan

Ketahuilah sesungguhnya semakin bertambah mulia sesuatu


yang dituntut, semakin bertambah keletihan dan kesulitan dalam
mencapainya. Kemuliaan bukan dicapai dengan berleha-leha,
melainkan dengan berat. Di dalam Shahih Muslim disebutkan
keterangan dari Yahya bin Abi Katsîr92, “Ilmu tidak didapat dengan
bersantai-santai.”93 Sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair,

 
       
Jangan kauduga kemuliaan itu kurma yang kaumakan 

 kan
Tak capai
 kemuliaan
 hingga
kaurasakan
 jadam
  
 
       
Dalam syair lain dikatakan,


               
    
    
           

Kalau bukan karena kesulitan, niscaya semua manusia jadi pemimpin
Kemurahan dapat membuat miskin dan keberanian dapat mematikan 
               
     94  
 Badî’
 
az-Zamân    “Ketahuilah
 mengatakan, 
  bahwa   ilmu
 itu
yang
keperluan  lambat
  (tak
segera
 dibutuhkan),
    cita-cita
 yang


jauh, tidak
yang dapat
 tercapai
 
 dengan
  anak
 panah,
 tidak
terlihat

       
           
            
 
  
             
        

dalam tidur, tidak diwarisi dari orang tua dan paman. Melainkan
merupakan pohon yang tidak akan baik kecuali bila ditanam,
dan tidak dapat ditanam kecuali di dalam jiwa. Tidak dapat
diairi kecuali dengan belajar dan tidak mendapatkannya kecuali
dengan banyak menyendiri, senantiasa bergadang (untuk
belajar), sedikit tidur, menyambungkan malam dengan siang.
Itu semua tidak akan dapat dicapai kecuali oleh orang-orang
yang mengorbankan matanya. Apakah orang yang menyibukkan
waktu siangnya dengan mengumpulkan harta dan menyibukkan
waktu malamnya dengan berkumpul dengan wanita, menyangka
akan keluar sebagai seorang faqih? Tidak! Demi Allah, sampai
dia menuju kepada buku-buku catatannya, menemani tinta-tinta

 penanya,

    padang
melewati  ilalang,
 
 menuntut
ilmu
siang
dan

malam, menerima kepahitan kesabaran, dan menerima hujan 
lebat taufik.”
    
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan dalam
    
sebuah syair, 
               
           
Ambillah ilmu agama yang banyak 
Dengan ilmu, engkau akan naik ketika hidup dan di mahsyar
 kesungguhan
Dengan    dan kesabaran
 yang
 baik,kauakan
tempati

tinggi
Tempat  yang
  luas,
 maka
     dengan
berwasiatlah   kesungguhan
 
dan kesabaran
        
Al-Imam
  as-Suyûthiy
   mengatakan
    dalam
 al-Asybâh
khutbah  
wa an-Nazhâir, “Sesungguhnya disiplin ilmu tak dapat dicapai
 
  
             
dengan angan-angan, tidak pula dengan kata-kata ‘akan’, ‘mudah-
atau
mudahan’, ‘seandainya
 aku’.  Tidak
 akan
  dapat
 mencapainya
 
kecuali orang yang serius dan bersungguh-sungguh, mau

berpisah dengan keluarganya, mengencangkan kain, mengarungi
 
 bercampur
lautan, 
 dengan
debu,
  bolak-balik
      mendatangi
  pintu

 
                
 
 
         
      
76           
yang dituju dalam malam yang gelap, memenuhi keutamaan dan
memburu manfaat … hingga akhir khotbahnya.”
Di antara ucapan Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra.
adalah, “Jadilah kalian seorang faqih sebelum diangkat menjadi
pemimpin.” Imam an-Nawawi mengatakan, “Makna perkataan
tersebut adalah bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan
kesempurnaan keahlian ketika kalian masih menjadi pengikut,
sebelum menjadi pemimpin. Karena jika telah menjadi
pemimpin yang diikuti, kalian tidak dapat belajar karena
tingginya kedudukan dan banyaknya kesibukan.” Inilah pula
makna ucapan Imam Syafi’i, “Pahamilah agama sebelum engkau 
memimpin,
    karena
jika
engkau
  telah
 memimpin,
tidak
ada jalan

(kesempatan) untuk memahaminya.”Demikian dikutip dari
kitab at-Tibyân.95 
 bin
Malik Dinâr
 96mengatakan,
 “Barangsiapa
  menuntut
  ilmu 
untuk dirinya, maka sedikit ilmu cukup baginya, tetapi barangsiapa

menuntut ilmu untuk manusia (orang lain) harus mengetahui bahwa
 kebutuhan
  manusia
 itu            
banyak.”
   dalam
97
 Ibnu
 al-Wardi
mengatakan    lamiyyah-nya
  (syairnya 
yang diakhiri huruf lam).

 
     
            
        
           
 
  
             
      
   

   Tuntutlah
  ilmu
 dan jangan
   malas
     
Alangkah jauhnya kebaikan dari para pemalas
 
                
 
 
         
      
           77
    
    

               
Perhatikanlah pemahaman tentang agama
 Dan
 jangan
sibukkan  dengan
 dirimu    pelayan
 dan harta
  
Tinggalkan tidur dan raihlah ia 
Orang yang mengerti tuntutannya, segala yang dicurahkan tak
     berharga   
 Jangan
 kaukatakan:
   telah  pergi
 para
  pemiliknya
  
Setiap
 yang berjalan, akan sampai pada tujuannya
        
Bertambahnya ilmu dapat menekan permusuhan yang ada
  
Dan  keindahan
  ilmu  dapat
  memperbaiki
amal  
 
 Nilai
     adalah
seseorang   yang diperbagus
   olehnya
   
Baik itu banyak atau sedikit saja
      
   
Ibnu as-Subkiy mengatakan, 
 
 
    
        
 
                
 
 
         
      
          
        

Bergadangku merapikan ilmu, lebih nikmat bagiku
  
        
 
Daripada menggauli perempuan cantik dan hangatnya pelukan
Derit penaku di atas kertasnya
Lebih manis dibanding senangnya orang yang dimabuk rindu
 Dibanding
    tepukan
 gadis          
pada rebananya, adalah lebih nikmat
     
   Tepukanku
     pasir
   membersihkan  dari
kertasku
   
 Dan
    goyanganku
   karena
  senang
  memecahkan
 kesulitan
 
Pelajaran lebih menimbulkan selera daripada segelas anggur
   Aku bermalam
   terjaga
dalam    sedangkan
   
engkau   bermalam
 
Tertidur, dan kau ingin menyusulku? 

78
 
 
    
        
  
      
        
   
 
  

  
  

   

Beliau
 juga  mengatakan,
        
 

  
   


 

Berlomba, berlomba dengan ucapan dan perbuatan
Ingatkan diri, ruginya orang yang kalah
      
    

  
 
  
 



 

Al-Imam

 Ali  bin     al-Habsyi
 Muhammad  mengatakan,
  
 
  
    
   
 
  



  
    

 

     
  
 

   
 
    
       
            
   

Pergilah menuntut ilmu yang mulia
Dengan sungguh-sungguh, serius, dan meninggalkan kebiasaan
Di dalam ilmu cahaya dan pelita bagi hati
Dan gosokkan ilmu bagi hamba sebaik-baik gosokan
Dengannya, seseorang dapat mengenal hak Tuhan
Orang sesat dapat petunjuk dan yang haus hilang dahaganya
Jika kalian ingin menghafal yang telah dipelajari
Maka ulanglah pelajaran terus-menerus

Sebagian ulama

mengatakan,

             

                

Ilmu kebun setiap kebanggaan, maka bersungguh-sungguhlah
  Agar
tak
kehilangan
 kebun yang membanggakan
     
Ketahuilah bahwa ilmu tak bisa didapatkan
  Oleh
orang
  yang     hanya
  keinginannya 
 
 dan
makanan  pakaian
 
   
    

            


         
  
           79
             

                

Seseorang berkata,
     
 
           
    
   
    
Sesungguhnya kepemimpinan dalam dua hal, janganlah engkau
    Wahai
  anak
  para
 syaikh,
  enggan   pada
  keduanya
     
Memikul kesulitan dan bersabar dari gangguan manusia
  
  Tidaklah
  mereka yang   seperti
 berusaha   
yang (tak
duduk  

berbuat
apa-apa) 
Katakanlah kepada mereka yang mengejar sesuatu yang tinggi
 tanpa  keduanya

   
    Sungguh
  mustahil
  jika  kau memukul
 pada besi
yang
  
dingin


      
     
        

           
      
Catatan Akhir
  92.
 Al-Imam
  al-Hâfizh
  al-‘Abid
Abu
 Nashr
  Yahya
 bin
Abi
 
  
Katsîr ath-Thâ-iy
(wafat 129 H), seorang tokoh terkemuka. Seorang yang selalu mencari

        


ilmu, berani dalam menyatakan kebenaran, dan tidak meriwayatkan
hadits kecuali dari perawi tsiqah.
 Muslim
93. Shahih   dalam
bab
Waktu-Waktu
   Shalat
 yang
 Lima
 (5:
 113
 pada

Syarh an-Nawawi).
94. Sastrawan yang sangat menonjol, Abu al-Fadhl Ahmad bin al-Husain
bin Yahya al-Hamadâni (358-398 H), salah seorang imam di kalangan
pengarang prosa, penyusun al-Maqâmât yang kemudian ditiru oleh al-
Harîrî. Beliau seorang yang sangat mengagumkan dalam hal hafalan.
Beliau menyusun al-Maqâmât secara spontan. Namanya sangat terkenal
di mana-mana.
95. At-Tibyân fi Adab Hamalah Al-Qur‘an, akhir bab ke-4, halaman 26.

80
96. Termasuk pemuka para ulama, salah seorang tabi’in terpercaya,
merupakan contoh dalam hal kezuhudan, wara’, dan kesungguhan
menghadapi akhirat. Beliau wafat pada tahun 127 H.
97. ‘Allamah, sastrawan, dan ahli sejarah, Abu Hafsh Umar bin Muzhaffar
Zainuddin bin al-Wardi (691-749 H). Dilahirkan di Ma’arrah an-
Nu’mân dan wafat di Halb. Beliau menyusun kitab tarikh, diwan syair,
dan nazham-nazham yang indah dalam berbagai disiplin ilmu seperti al-
Bahjah, Nazham al-Hâwî ash-Shaghîr, karya al-Qazwini yang disyarahkan
oleh Syaikhul Islam Zakariyâ. Al-Imam as-Suyûthi mengatakan, “Dia
seorang imam yang sangat menonjol dalam ilmu fiqih, nahwu, dan
sastra, menguasai berbagai ilmu.” Demikian keterangan dalam kitab
Bughyah al-Wu‘ât (2: 226).
98. Bait-bait ini juga dinisbahkan kepada seorang imam dan mufassir Abu
al-Qâsim az-Zamakhsyari, penyusun kitab tafsir al-Kasysyâf. Tampaknya
al-Imam Tâjuddîn as-Subki menirunya. Lihat kitab Shafahât min Shabr
al-’Ulamâ karya al-’Allamah asy-Syaikh Abdul Fattâh Abu Ghuddah,
halaman 139.

81
2
Perjalanan untuk Menuntut Ilmu

Al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan, “Seandainya


perpindahan dari satu tempat ke tempat lain tidak mengandung
manfaat, niscaya Tuhan tidak memerintahkannya.” Beliau ditanya,
“Apa perpindahan yang diperintahkan itu?” Beliau menjawab, “Yang
disebutkan dalam firman Allah Ta`ala,

Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah


di bumi itu?“
(QS. an-Nisa: 97)

Nabi Saw. bersabda, “Tuntutlah ilmu walaupun di negeri Cina.”99


Sayyidina al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan, “Cina
adalah daerah yang jauh di antara tempat-tempat yang jauh. Sedikit saja
orang yang sampai ke sana karena jauhnya.” Apabila seorang muslim wajib
menuntut ilmu sekalipun berada di tempat yang jauh, lalu bagaimana jika
berada di antara para ulama dan untuk menuntutnya tidak memerlukan
biaya yang banyak, serta tidak ada kesulitan yang besar?
Para ulama mengatakan, “Sesungguhnya perjalanan menuntut
ilmu, hukumnya dapat menjadi fardhu ‘ain—bila seseorang tidak
mendapati orang yang mengajarkannya di negerinya, atau sunnah
yang disukai—bila untuk mencari tambahan ilmu.”

             
Apabila seseorang untuk mempelajari agama wajib melakukan

perjalanan,  lalu
  bagaimana
    tidak
  menjadi
  fardhu
  ‘ain  bagi
orang

yang tumbuh di antara para ulama dan orang-orang saleh? 
Alasan apa yang dapat dikemukakan di sisi Allah Tuhan sekalian
alam? Barangsiapa
 yang    ilmu
mengabaikan  senang
dan dengan

 
  berarti
kejahilan,   dia
 seorang   yang
   jahil 
 tertipu
oleh
 kehidupan
  
dunia.
        
Al-Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi mengatakan dalam
sebuah syair,

            


         
  
          
Keburukan zamanku timbulkan kegundahan dan kegelisahan 
tidak,
Bagaimana  penduduk
   zamanku
  telah lalaikan
   ilmu
   
Aku
 heran
dengan orang
 yang  rela
dengan
 kejahilan
 
                 

 Padahal  Tuhan
  telah
 sediakan
  untuknya pemahaman
 dari  curahan
 
anugerah-Nya
             
 
Sayyidina 

Abdullah


bin 
  Alwi   
al-Haddad 

mengatakan,

 
“Semestinya    seseorang     tidak   menetap  
 ditempatnya   saja.   
    
 dia
 bepergian
       
di muka bumi
 
   
 
 
Hendaknya jika dia mampu
  
melakukan, keadaan, dan waktunya, sehingga barangkali dia
 melihat
 orang   yang  lebih  sempurna   darinya   yang  dapat   diikuti.  
 Atau
 dia
 melihat
  sesuatu    yang dapat   dijadikan

   pelajaran    sehingga    
dia mengambil pelajaran darinya, atau memberikan atau
manfaat
           
mengambil manfaat.” Kemudian beliau mengutip beberapa bait
syair yang disusun
  oleh  al-Imam
asy-Syafi’i,          
      
            
             
        

           
      
             
  
83
Merantaulah dari tanah air tuk cari kemuliaan
Lakukan perjalanan, karena di dalamnya ada lima keuntungan
Menghilangkan kesedihan, mendapatkan penghidupan
Juga ilmu, adab, dan bergaul dengan orang yang punya kemuliaan
Jika ada yang berkata: perjalanan mengandung kehinaan dan
ujian
Dan melewati padang sahara dan mengalami kesulitan
Matinya seorang pemuda lebih baik daripada hidupnya
Bila hidup hanya sebagai tukang fitnah dan memiliki kedengkian

Hujjatul Islam al-Ghazali mengatakan dalam kitab al-Ihya,


“Dan sedikit sekali orang-orang yang disebut berilmu dan
mendapatkannya, sejak masa sahabat sampai masa sekarang.
Tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan melakukan
perjalanan dan melakukan perjalanan dengan tujuan itu.”
Asy-Sya’bi100 mengatakan, “Seandainya seseorang
melakukan perjalanan dari Syam ke Yaman yang terjauh, hanya
untuk mendapatkan satu kalimat yang menunjukkannya kepada
petunjuk atau yang dapat menolaknya dari kehinaan, maka
perjalanannya tidak sia-sia.”
Saya (penulis) mengatakan, “Diriwayatkan dari Jâbir bin
Abdullah bahwa dia pernah melakukan perjalanan selama
sebulan ke tempat Abdullah bin Unais untuk menanyakan
hadits yang sampai kepadanya, yang diriwayatkan dari Abdullah
yang mendengar dari Rasulullah Saw. Dia mengisahkan, ’Aku
beli seekor kuda dan aku pasang pelana pada punggungnya.
Lalu aku melakukan perjalanan ke tempatnya (Abdullah bin
Unais) selama sebulan sampai aku tiba di Syam. Kemudian aku
berkata kepada penjaga pintu, ‘Katakan kepadanya, Jabir ada di
depan pintu.’ Dia bertanya, ‘Apakah Jabir putra Abdullah?’ Aku
menjawab, ‘Ya.’ Kemudian dia keluar lalu memelukku dan aku
memeluknya. Kemudian aku berkata, ‘Ada sebuah hadits yang
sampai kepadaku darimu. Katanya engkau mendengarnya dari

84
Rasulullah tentang masalah qishash. Aku khawatir engkau mati
atau aku mati lebih dahulu sebelum sempat mendengarnya.’
Kemudian dia mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda, ‘Manusia dikumpulkan pada hari Kiamat dalam
keadaan telanjang, belum dikhitan, dan tidak membawa apa-apa.
Kemudian ada penyeru yang menyeru mereka dengan suara yang
dapat didengar oleh orang yang jauh sebagaimana dapat didengar
oleh orang yang dekat, ‘Akulah Raja, Akulah Pemilik segalanya.
Tidaklah seorang penduduk neraka masuk ke dalam neraka,
sedangkan dia memiliki hak pada salah seorang penghuni surga
sampai Aku meng-qishash-nya darinya. Dan tidaklah seorang
penghuni surga masuk ke dalam surga, sedangkan seorang
penghuni neraka mempunyai hak padanya, sampai Aku meng-
qishash-nya darinya meskipun satu tamparan.’’ Kemudian kami
bertanya, ‘Bagaimana itu, padahal kami mendatangi Allah dalam
keadaan telanjang, belum dikhitan, dan tidak membawa apa-
apa?’ Beliau menjawab, ‘Dengan perbuatan baik dan perbuatan
buruknya.’”101
Asy-Sya’bi mengatakan, “Masrûq102 pernah melakukan
perjalanan ke Bashrah untuk menafsirkan satu ayat lalu dikatakan
kepadanya, ‘Sesungguhnya orang yang menafsirkannya telah
pergi ke Syam.’ Maka dia pun bersiap-siap dan berangkat ke
Syam sampai mengetahui tafsirnya.”
‘Ikrimah103 mengatakan, berkenaan dengan firman Allah Swt,

Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud


berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya
(QS. an-Nisa’: 100)

“Aku mencari nama orang yang keluar dari rumahnya berhijrah


menuju Allah dan Rasul-Nya selama empat belas tahun sampai
aku mendapatkannya. Ternyata dia adalah Dhamrah bin Habîb.”
Demikian keterangan dalam Tafsir al-Qurthubi.104

85
Syaikh Sâlim Bafadhal105 termasuk pemuka para imam yang
menjadi pegangan dan termasuk ulama muhaqqiq. Ilmu hampir
saja punah di Hadramaut, lalu beliau hidupkan. Yaitu, beliau
melakukan perjalanan menuntut ilmu dan berdiam selama empat
puluh tahun di Irak dan di tempat lainnya. Keluarganya menduga
beliau telah wafat. Kemudian beliau datang dan mengajar di
negerinya. Maka kemudian para penuntut ilmu dari berbagai
tempat mendatanginya. Banyak orang yang telah mendapatkan
ilmu melalui beliau, hingga pada satu masa di Tarim terdapat tiga
ratus mufti dan para pengarang yang banyak jumlahnya.
Di dalam Raudh al-Afkar disebutkan bahwa seorang laki-laki
melakukan perjalanan sejauh tujuh ratus farsakh untuk bertanya
tentang enam kalimat. Pertama, “Apa yang lebih berat daripada
langit dan bumi?” Orang yang ditanya menjawab, “Bohong
terhadap orang yang tidak bersalah.” Kedua, “Apa yang lebih luas
daripada bumi?” Dia menjawab, “Kebenaran.” Ketiga, “Apa yang
lebih kaya daripada laut?” Dia menjawab, “Hati yang kaya dengan
sifat qana‘ah.” Keempat, “Apa yang lebih dingin daripada salju?”
Dia menjawab, “Mencari kebutuhan dari seorang teman bila tidak
mendapatkannya.” Kelima, “Apa yang lebih keras daripada batu?”
Dia menjawab, “Hati orang kafir.” Keenam, “Apa yang lebih rendah
daripada seorang yatim?” Dia menjawab, “Orang yang mengadu
domba ketika bertemu.” Demikian dikutip dari kitab Nuz-hah al-
Majâlis.106

86
Catatan Akhir
99. Selengkapnya: “….karena sesungguhnya menuntut ilmu itu kewajiban
setiap muslim.” Di-takhrij-kan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imân
(1543), Ibn ’Abdil-Barr dalam Jâmi’ Bayân al-’Ilm (1: 7), dan lain-lain,
dari hadits Anas bin Malik. Al-Baihaqi mengatakan, “Hadits ini adalah
hadits yang matannya terkenal tetapi sanadnya dha’îf.”
100. ‘Allamah di kalangan tabi‘in, al-Imam Abu ‘Amru ‘Amir bin Syarahîl al-
Hamadâni al-Kûfî yang dikenal dengan asy-Sya’bi (28-104 H). Beliau
berjumpa dengan lima ratus sahabat. Beliau telah dimintai fatwa ketika
para sahabat masih banyak. Makhûl mengatakan, “Aku tidak pernah
melihat seseorang yang lebih alim dibandingkan asy-Sya’bi.”
101. Di-takhrij-kan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (3: 395) dan al-Bukhari
dalam al-Adab al-Mufrad (970).
102. Al-Imam al-Qudwah al-’Alam (seorang imam, panutan, dan tokoh),
Abu Aisyah Masrûq bin al-Ajda’ al-Hamadânî al-Kûfî (wafat 62
H), termasuk tokoh besar kalangan tabi’in dan mukhadhram (yang
mengalami masa jahiliyah dan Islam) yang masuk Islam di masa Nabi
Saw. masih hidup, dan termasuk pemuka pada antara para fuqaha
pemberi fatwa dari para sahabat Abdullah bin Mas’ûd.
103. Al-’Allamah al-Hâfizh al-Mufassir Abu Abdillah ’Ikrimah bin Abdullah
al-Barbari al-Madanî (25-105 H), bekas budak Ibnu ’Abbas, seorang
tabi‘in, termasuk orang yang paling mengetahui tafsir dan maghâzî
(peperangan).
104. Akan disebutkan kutipan dari al-Imam ath-Qurthubî pada lebih dari satu
tempat. Beliau adalah al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad
al-Anshâriy al-Khazrâjiy al-Qurthubî (671 H), termasuk tokoh besar di
kalangan mufassir dan ulama terkemuka. Beliau seorang yang saleh, ahli
ibadah, wara’, dan membuang kepura-puraan (hal-hal yang membebani
diri). Berjalan dengan satu pakaian dan mengenakan kopiah. Di antara
karangannya adalah tafsir al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur‘an, al-Asnâ fi Syarh
Asmâ Allah al-Husna, at-Tadzkirah bi Ahwâl al-Mautâ wa Umûr al-
khirah, dan lain-lain.
105. Seorang alim yang faqih, asy-Syaikh Sâlim Bafadhl at-Tarîmî al-
Hadhrami (wafat 581 H), termasuk ulama Tarim terdahulu. Beliau
menuntut ilmu di Irak dan kemudian menghidupkannya di negerinya,
Tarim. Di antara para muridnya yang menjadi tokoh besar adalah
Sayyid Sâlim bin Bashri al-’Alawi. Shilah al-Ahl, halaman 40-66.

87
106. Nuz-hah al-Majâlis wa Muntakhab an-Nafâis, kitab berisi nasihat-
nasihat dan keterangan-keterangan tentang orang-orang saleh,
karya Abdurrahman bin Abdus Salam ash-Shafûrî asy-Syafi’i (wafat
894 H). Tetapi kitab ini memiliki cacat, yaitu pengarangnya tidak
membersihkannya dari hadits-hadits yang lemah dan maudhu’, sehingga
banyak terdapat di dalamnya. Karenanya, bila menelaah kitab tersebut
harus berhati-hati.

88
3
Kisah-kisah Kesungguhan Para Imam
dalam Mendapatkan Ilmu

Allah Swt. berfirman,

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin


yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka
sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.
(QS. as-Sajdah: 64)

Abdullah bin Abbas mengatakan, “Aku telah menuntut ilmu,


ternyata aku tidak mendapatkan lebih banyak daripada orang
Anshar. Aku pernah mendatangi seseorang, lalu bertanya tentang
dia. Kemudian dikatakan kepadaku bahwa dia sedang tidur. Maka
aku bersandar pada pakaianku kemudian berbaring sampai masuk
waktu Zuhur. Dia lalu menegurku, ‘Sejak kapan engkau berada di
sini, wahai putra paman Rasulullah?’ Aku menjawab, ‘Sudah lama.’
Lalu dia berkata lagi, ‘Alangkah buruknya yang engkau lakukan
ini. Mengapa engkau tidak memberi tahu aku?’ Aku menjawab,
‘Aku ingin engkau keluar menemuiku setelah engkau memenuhi
kebutuhanmu.’”107
Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas pula, mengatakan,
“Aku mendapati sebagian besar hadits Rasulullah ada pada orang-

                 
              

  
orang Anshar. Allah,

Demi  
jika
 aku
   
mendatangi 
 seorang
dari

mereka lalu  dikatakan,
     ‘Dia       
sedang tidur,’
meskipun  aku   
ingin
dia dibangunkan,    aku akan   biarkan   sampai  dia  keluar
agar dapat

  dengan
berbicara baik.”    
108  
  Lihatlah
  cendekiawan       umat   ini (Ibnu  Abbas)  serta  
    kepada
kecintaannya    ilmu,   pengagungannya
      kepada    ahli   ilmu,
 
dan   kesukaannya
   ilmu.   pernah 
       terhadap    Beliau   mengatakan,  
“Aku menjadi seorang yang rendah ketika menuntut ilmu tetapi
menjadi seorang yang mulia ketika orang menuntut ilmu,
  kepadaku.”
 

       
  
 Beliau     pernah
  ditanya,
  apa
 “Dengan engkau
 mendapatkan
 

ilmu?” Beliau menjawab, “Dengan lisan yang selalu bertanya,
dengan   hatiyang selalu berpikir,    dan  dengan 
   tangan yang  selalu
  

memberi.”    
     
     
Seorang ulama mengatakan, 
            
                  

            
             
  
 Ilmu
berada
 dalam
rasa
 lapar,
 kerendahan,
 dan
ujian
  
Jauhdari orang
tua,   keluarga,
  serta  tanah air  tercinta
 
  Seandainya mendapatkan ilmu pekerjaan yang paling mudah
   
        
     

Takkan ada orang bodoh di bumi pada suatu masa
             
  
Imam asy-Syafi’i pernah melantunkan syairnya,
        
            
Saudaraku, engkau tak akan mendapat ilmu kecuali dengan enam
perkara
Kan kuberitahu engkau dengan penjelasan rinci
Kecerdasan, kemauan, kesungguhan, dan biaya
Menyertai guru, dan masa yang lama

90
Al-Imam an-Nawawi mengatakan, “Imam asy-Syafi’i tumbuh
sebagai seorang yatim di bawah asuhan ibunya dalam kehidupan yang
serba kekurangan dan keadaan yang sulit. Di masa kanak-kanaknya,
dia telah bergaul dengan para ulama dan menulis yang bermanfaat
baginya pada tulang-tulang dan semacamnya karena tidak mampu
mendapatkan kertas, hingga kemahnya dipenuhi tulisannya.”109
Diriwayatkan pula bahwa Imam Syafi’i telah hafal Al-Qur’an
dalam usia tujuh tahun dan telah hafal kitab al-Muwaththa’
karya Imam Malik dalam usia sepuluh tahun. Kemudian beliau
diizinkan oleh gurunya, Muslim bin Khalid az-Zanji110 untuk
memberi fatwa dalam usia lima belas tahun. Gurunya berkata
kepadanya, “Berilah fatwa. Demi Allah, telah tiba saatnya bagimu
untuk berfatwa.”111 Ar-Rabi’112 mengatakan, “Aku belum pernah
melihat asy-Syafi’i makan di siang hari dan tidur di malam hari
karena kesibukannya mengarang.”
Dikisahkan tentang Imam asy-Syafi’i bahwa ketika sampai
di Madinah dan duduk di halaqah Imam Malik, Imam Malik
sedang mendiktekan kitab al-Muwaththa’ kepada orang-orang
di sana. Beliau mendiktekan 18 hadits kepada mereka. Ketika
itu Imam Syafi’i berada di barisan paling belakang. Imam Malik
menatapnya ketika dia sedang menulis di atas telapak tangannya.
Ketika orang-orang di majelis itu telah bubar, Imam Malik
memanggilnya dan bertanya kepadanya tentang negeri asalnya
dan nasabnya. Imam asy-Syafi’i pun memberitahukannya.
Kemudian Imam Malik berkata kepadanya, “Aku melihat
engkau mempermainkan lenganmu pada telapak tanganmu.”
Imam asy-Syafi’i menjawab, “Tidak, tetapi jika Tuan mendiktekan
hadits, aku menuliskannya pada telapak tanganku. Jika Tuan
menginginkan, aku akan bacakan ulang apa yang Tuan diktekan
kepada kami.” Imam Malik mengatakan, “Ya, coba bacakan.” Maka
Imam asy-Syafi’i pun mendiktekan 18 hadits yang didiktekan
itu dari hafalannya. Imam Malik lalu mendekatkan Imam
Syafi’i kepadanya dan berkata kepadanya, “Wahai Muhammad,

91
bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya engkau akan
memiliki sesuatu yang sangat besar.” Demikian disebutkan oleh
al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas dalam kumpulan ucapannya.
Al-Imam an-Nawawi menyebutkan dalam mukadimah
kitab Majmu’-nya tentang Syaikh Abu Ishaq asy-Syirazi113
yang mengatakan, “Aku mengulangi setiap pelajaran sebanyak
seratus kali. Apabila dalam sebuah masalah teradapat bait syair
yang dijadikan sebagai petunjuk, maka aku hafalkan qashidah
itu semuanya.” Setelah wafatnya, seseorang pernah melihatnya
dalam mimpi dalam keadaan memakai pakaian putih. Lalu
ditanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Kemuliaan ilmu.”114
Diriwayatkan pula bahwa Syaikh Abu Ishaq meringkas kitab
at-Tanbîh dari kitab Ta’liqah karya gurunya Abu Hamid115 yang
terdiri dari 18 jilid. Beliau selalu melakukan shalat dua rakaat
setiap menulis satu pasal dan berdoa kepada Allah agar bermanfaat
bagi pembacanya, dan beliau adalah seorang yang dikabulkan
doanya. Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi mengatakan,
“Asy-Syaikh Abu Ishaq asy-Syirazi mengulangi pelajaran seribu
kali, sedangkan Sayyidi Ahmad bin Zain al-Habsyi sebanyak 25
kali.”
Al-Firabriy116 mengutip dari Imam al-Bukhari yang
mengatakan, “Tidaklah aku letakkan sebuah hadits dalam kitabku,
ash-Shahih, melainkan sebelumnya aku mandi dan melakukan
shalat dua rakkat.” Dikutip pula bahwa beliau mengatakan, “Aku
menyusun kitabku, ash-Shahih, selama enam belas tahun. Aku
menyaringnya dari enam ratus ribu hadits, dan aku menjadikannya
sebagai hujjah antara diriku dan Allah Swt.”
Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami117 mengatakan, “Di Jâmi’
al-Azhar aku pernah mengalami lapar yang luar biasa yang tak
dapat ditanggung oleh kekuatan manusia, seandainya tidak ada
pertolongan Allah dan taufik dari-Nya. Karena ketika berada di
sana selama empat tahun, aku tidak pernah merasakan daging
kecuali pada suatu malam ketika kami diundang makan, yang

92
ternyata dagingnya belum dipanaskan. Maka kami menunggunya
sampai tengah malam. Kemudian datang daging itu, ternyata
keras seperti sebelumnya sehingga aku tidak dapat memakannya
sesuap pun.”
Diriwayatkan bahwa Syaikh al-Mahalliy118 mensyarahkan
kitab al-Minhaj selama sepuluh tahun, sedangkan Syaikh Ibnu
Hajar mensyarahkannya dalam waktu sembilan bulan. Syaikh
Ibnu Hajar ditanya tentang hal itu, maka beliau menjawab,
“Sesungguhnya Syaikh al-Mahalliy selalu mempertalikan dalil
dan sebab (’illat), sedangkan kami tidak.”
Al-Habib al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan,
“Guru kami, Sayyid Ahmad Dahlan119 selalu membaca setiap
pelajaran sebanyak enam belas kali dan menghafalnya empat kali.”
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Balhaj Bâfadhal120,
pengarang kitab al-Mukhtashar121 membaca setiap pelajaran
sebanyak dua puluh kali dan menghafalnya sebanyak lima kali.
Sampai pula keterangan kepada kami bahwa Syaikh Ahmad bin
Musa bin Ujail al-Yamani122, membaca kitab ar-Risâlah karya
Imam Syafi’i sebanyak lima ratus kali. Sampai pula kepada kami
keterangan yang menyebutkan bahwa Syaikh Fadhl bin Abdullah
Bafadhal, tokoh Syihir, membaca Shahih al-Bukhari sebanyak
seribu kali dan bahwa sebagian ulama India ketika menghafalkan
Al-Qur’an membaca setiap muqra’ sebanyak seribu kali.
Habib Idrus bin Umar al-Habsyi meriwayatkan Syaikh
Zakariya al-Anshari yang hidup hingga berumur sekitar seratus
tahun. Dan di usia tuanya masih mengajar hafalan dari semua
disiplin ilmu termasuk kitab Matn al-Âjurrumiyah, karena begitu
besar cinta dan perhatiannya terhadap ilmu. Diriwayatkan pula
bahwa kitabnya, Syarh at-Tahrir, dibacakan padanya sebanyak
tujuh puluh kali dan mengkhususkan kitab tersebut di antara
karangannya yang banyak. Hingga ketika wafat, kitab tersebut
berada di atas dadanya. Demikian keterangan dari kitab an-Nahr
al-Maurûd.

93
Guru para imam mujtahid, Sayyidina Muhammad bin Alwi
bin Ahmad bin al-Ustadz al-A’zham123 pada masa menuntut ilmu
senantiasa mengulang kembali bacaannya di malam hari, maka
beliau habiskan sebagian atau sebagian besar waktu malamnya,
dan terkadang beliau habiskan seluruh waktu malamnya.
Dikisahkan bahwa sorban beliau sampai tiga belas kali
terbakar oleh pelita ketika mengulang pelajaran karena sangat
tenggelam di dalamnya. Apabila merasa mengantuk, maka beliau
keluar ke tepi pantai mengulang-ulang hafalannya. Beliau hafal
Al-Qur’an, kitab at-Tanbih, dan sebagian besar dari kitab al-
Muhadzdzab. Hal itu disebutkan oleh Habib Idrus bin Umar
dalam al-‘Iqd.124
Dikisahkan tentang Syaikh Abdullah bin Abu Bakar al-
Aydrus bahwa beliau biasa mengambil kitab yang tebalnya
hampir sama dengan kitab al-Minhaj, lalu mempelajari kembali
kitab itu dari awal sampai akhir pada malam itu juga. Dikisahkan
bahwa beliau mengatakan, “Terkadang aku mengambil kitab
seperti Nasyr al-Mahâsin125 dan kitab Athrâf al-’Ajâib di waktu
Zuhur dan membacanya dengan tekun, belum lagi datang waktu
Asar aku telah sampai pada akhirnya.”
Sayyidina Syaikh Abdurrahman bin Ali bin Abu Bakar pernah
mengatakan, “Tidaklah saya menyukai kehidupan kecuali untuk
mempelajari kembali kitab-kitab, untuk menambah kebaikan,
dan untuk memerhatikan ilmu-ilmu yang bermanfaat.” Di antara
kitab-kitab yang pernah dibacanya pada ayahnya, Syaikh Ali,
adalah kitab al-Ihya. Beliau membaca kitab tersebut pada sang
ayah sebanyak empat puluh kali dan kitab itu juga dibacakan
kepadanya sebanyak empat puluh kali.
Sayyidina al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi mengatakan,
“Sejak kecil dan masa kanak-kanak, kami selalu bernafsu untuk
menuntut ilmu dan kebaikan. Kami tidak mendapati seorang yang
membantu di negeri kami dan juga yang dapat menghilangkan

94
haus. Kami sangat suka mencari tambahan kebaikan dan
perbuatan-perbuatan baik terutama menuntut ilmu.”
Dalam usahanya menuntut ilmu ke negeri-negeri yang
dekat, beliau pernah melakukan perjalanan seperti ke Syibam,
Taris, Sewun, dan tanpa menggunakan kendaraan. Demikian
yang disebutkan oleh Sayyidina Idrus dalam ’Iqd al-Yawâqît.
Disebutkan pula bahwa al-Habib al-’Arif billah Hasan bin
Shalih al-Bahr126 pernah mengadakan perjalanan ke Tarim untuk
menuntut ilmu bersama Mu’allim Abdullah bin Sumair.127
Mereka tinggal di sana dalam waktu lama. Mereka tidak memiliki
makanan kecuali sekadar kurma di pagi dan sore hari, untuk
melakukan pengorbanan (mujahadah) dan untuk mengikuti
Nabi Saw., karena Nabi pernah melewati waktu sebulan hingga
dua bulan tanpa memiliki makanan, kecuali kurma dan air.
Beliau pernah membaca Surah Yâsîn sebanyak empat puluh
kali di makam Sayyidina al-Faqîh al-Muqaddam,128 dengan niat
agar Allah memudahkannya memahami ilmu.
Dalam kitab an-Nahr al-Maurûd terdapat keterangan dari
Habib Idrus bin Umar al-Habsyi yang menyebutkan bahwa
pada malam zafâf (malam saat pengantin perempuan dibawa
ke tempat pengantin laki-laki), al-Habib al-Imam Abdullah bin
Umar bin Yahya129 bersama istrinya, berkatalah khal-nya (paman
dari ibu), Habib Abdullah bin Husain bin Thâhir, “Aku akan
melakukan sesuatu terhadap Abdullah yang membuatnya lupa
kepada mempelainya sampai pagi!” Habib Abdullah bin Husain
bin Thâhir tahu bahwa kecintaan Habib Abdullah bin Umar
kepada ilmu sangat kuat. Terutama bila melihat sebuah kitab
asing, beliau tidak dapat menahan diri untuk mempelajarinya.
Maka pamannya meletakkan sebuah kitab asing di tempat yang
akan dilaluinya. Ketika Habib Abdullah melihatnya, beliau pun
mengambilnya, lalu melihatnya, dan terus mempelajari kitab itu
sampai pagi dan lupa kepada istrinya.

95
Dikisahkan pula tentang Sayyid Ahmad bin Husain al-
’Aydarus130 bahwa suatu ketika beliau melamar putri pamannya,
tetapi ayah si gadis enggan menikahkan putrinya dengannya.
Lalu beliau bernazar kepada Allah jika mendapat kemudahan,
akan mempelajari kitab asy-Syifâ` seluruhnya dalam satu malam
pada malam zafâf dan pelita di tangan istrinya. Ternyata beliau
mendapatkan kemudahan. Maka tatkala pengantin perempuan
dibawa ke tempatnya, beliau meletakkan pelita di tangan istrinya
dan mulai mempelajarinya dari awal sampai akhir dan istrinya
terus memegang pelita itu.
Sayyidina al-Imam Ahmad bin Umar al-Hinduan131
mengatakan, “Ketika aku masih kecil, apabila aku mendapati
suatu masalah ilmu yang pelik, aku tak dapat tidur sampai masalah
itu jelas. Apabila telah jelas, bagiku lebih baik daripada dunia.
Sering kali lilin membakar kepalaku ketika mengulang pelajaran
di malam hari. Ketika mengulang pelajaran, aku juga tidak sadar
tentang makan malam maupun makan siang. Terkadang aku
telah makan lalu berkata kepada keluargaku, ‘Bawakanlah makan
malamku.’ Dan terkadang aku belum makan tetapi merasa telah
makan karena sangat tenggelamnya dalam belajar. Aku mem­
pelajari kitab at-Tuhfah karya Ibnu Hajar ketika berusia sepuluh
tahun atau kurang. Demikian juga kitab-kitab lain yang besar.
Dan aku hafal kitab Tuhfah sampai bab shalat.”
Sayyidina al-Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith
mengatakan, “Habib Muhammad bin Zain bin Sumaith memulai
urusannya setiap hari dengan membaca satu juz kitab al-Ihya.”
Sayyidina al-Hasan bin Abdullah al-Haddad132 telah
membaca kitab al-Ihya sebanyak tujuh puluh dua kali. Adapun
Sayyidina Umar bin Hamid ’Alawi133 mengulang kembali
bacaannya di hadapan Habib Abdullah al-Haddad delapan belas
kali, sedangkan Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi sebanyak dua
puluh tiga kali.

96
Di dalam kitab asy-Syajarah al-’Alawiyah, disebutkan bahwa
di antara kitab yang dibaca oleh Sayyid Alwi bin Ahmad al-
Haddad134 pada ayahnya adalah kitab Tuhfah al-Muhtâj sebanyak
tiga kali, tidak termasuk yang lainnya.
Asy-Syaikh al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi berkisah
tentang Habib Umar bin Zain bin Sumaith135 bahwa selama
tujuh belas tahun tidak pernah meletakkan punggungnya di atas
tanah. Senantiasa menekuni ilmu dan membaca kitab-kitabnya.
Yang paling banyak membaca kitab kepadanya adalah putranya,
Sayyidina Ahmad bin Umar. Apabila masih terlihat bekas tidur di
malam hari (masih mengantuk), maka beliau memberikan buah
badam dan kismis untuk menghilangkan kantuknya. Demikian
keterangan dari kitab an-Nahr al-Maurûd.
Sayyidina al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan,
“Telah sampai kepada kami keterangan bahwa Habib Ahmad
bin Zain al-Habsyi setiap malam tidak tidur, sebelum melewati
tujuh puluh lembar Syarh al-Muhadzdzab dalam kitab al-Qitha`
al-Kibâr. Habib Saggaf bin Muhammad136, Qadhi Sewun
mengambil kitab al-’Ubâb, sebuah kitab yang tebal, lalu duduk
di bawah bayangan dindingnya dan menyelesaikannya sebelum
bayangan itu hilang dari dinding. Adapun Syaikh Umar al-
Mihdhar137 menghafal kitab al-Minhâj.”
Mereka membaca kitab al-Muhadzdzab sebagai pelajaran dan
membagi-baginya menjadi empat puluh bagian, lalu membacanya
setiap hari satu bagian. Sayyidina al-Imam Ahmad bin Umar bin
Sumaith mengatakan, “Sesungguhnya Sayyid Ahmad bin Zain
al-Habsyi termasuk orang yang selalu tenggelam dalam zikir
kepada Allah. Terkadang secara tak disangka terjadi dalam satu
majelis menghabiskan pembacaan banyak kitab.”

97
Catatan Akhir
107. Di-takhirj-kan oleh ad-Dârimî dalam Musnad-nya (572)
108. Di-takhirj-kan oleh ad-Dârimî (573), dan yang lainnya.
109. Tahdzib al-Asma wa al-Lughât karya al-Imam an-Nawawi (1: 46).
110. Imam dan faqih Makkah, Abu Khâlid Muslim bin Khâlid az-Zanjiy
al-Makkiy (100-180 H). Muslim bin Khâlid seorang faqih, ahli ibadah
yang selalu berpuasa. Beliau mendalami fiqih kepada Ibnu Juraij. Imam
asy-Syafi’i selalu menyertainya dan mempelajari fiqih darinya hingga
diizinkan olehnya untuk memberikan fatwa.
111. Tahdzib al-Asma wa al-Lughât (1: 50).
112. Ar-Rabî’ bin Sulaimân bin Abdul Jabbâr al-Murâdî al-Mishri (174-270
H), seorang imam, muhaddits, faqih besar, sahabat Imam asy-Syafi’i dan
perawi kitab-kitabnya. Beliau muadzin di Jâmi’ ‘Amr bin al-Ash di Mesir.
Imam asy-Syafi’i mencintainya dan mengatakan, “Tidak ada seseorang
yang membantuku seperti yang dilakukan oleh ar-Rabî’ bin Sulaimân.”
113. Imam besar, faqih, ushuli, ‘allamah, seorang yang zuhud, Syaikhul Islam
Abu Ishâq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzâbâdî asy-Syîrâzî asy-Syafi’i
(393-476 H). Abu Bakar asy-Syâsyî mengatakan, “Abu Ishâq merupakan
hujjatullah bagi para imam di masanya.” Karena keikhlasannya,
karangan-karangannya terkenal di segala penjuru, seperti at-Tanbîh, al-
Muhadzdzab, al-Luma’, dan lain-lain.
114. Mukadimah kitab al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab (1: 14, 16).
115. Asy-Syaikh Abu Hamid Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-Isfirâyînî
(344-406 H), guru besar thariqah orang-orang Irak, seorang hafizh
mazhab dan imamnya, bukit dari bukit-bukit ilmu, dan cendekiawan
umat. Beliau mempunyai karangan Ta’lîqah yang dikomentari oleh al-
Bandanîjî, juga sebuah kitab dalam ushul fiqih, dan lain-lain.
116. Muhaddits, seorang yang terpercaya, dan seorang alim, Abu Abdillah
Muhammad bin Yusuf bin Mathar al-Firabri (231-320 H), perawi al-
Jâmi’ ash-Shahih dari penyusunnya, al-Imam al-Bukhari.
117. Faqih besar, seorang ‘allamah yang menguasai banyak ilmu, al-Imam
Syaikhul Islam Syihâbuddin Ahmad bin Muhammad bin Hajar al-
Haitami al-Mishri al-Makki (909-974 H). Beliau imam ulama mutaakhir
dan sandaran para muhaqqiq. Karangan-karangannya dijadikan sandaran
dalam menyeleksi pendapat dalam mazhab Syafi‘i.

98
118. Al-Imam al-’Allamah al-Faqih al-Mufassir al-Ushuli, Jalâluddîn
Muhammad bin Ahmad al-Mahallî al-Mishri asy-Syafi‘i (791-864 H).
Beliau membuat karangan yang mendalam dan penting, seperti tafsir
yang kemudian dirampungkan oleh Jalâluddîn as-Suyûthî sehingga
dinamakan al-Jalâlain, kemudian Syarh al-Minhâj, Syarh Jam’ul Jawâmi’,
Syarh al-Waraqât, dan sebagainya. Beliau seorang yang berwibawa dan
selalu berani menyatakan kebenaran. Orang-orang zalim dan para
penguasa dihadapinya dengan sikap demikian.
119. ‘Allamah, faqih, dan ahli sejarah, mufti Makkah, Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlân asy-Syafi‘i al-Makki (1232-1304 H). Beliau dilahirkan di Makkah
dan di kota ini pula kemudian memberikan fatwa dan mengajar. Wafat
di Madinah. Di antara karangannya adalah al-Futuhât al-Islamiyyah,
Khulâshah al-Kalâm fi Umarâ al-Balad al-Harâm, ad-Durur as-Saniyyah
fi ar-Radd ‘ala al-Wahhâbiyyah, dan lain-lain.
120. ‘Allamah, faqih, dan muhaqqiq, Abdullah bin Abdurrahman bin
Abu Bakar Bafadhl al-Hadhrami at-Tarimi asy-Syafi‘i (850-918 H).
Dilahirkan di Tarim, kemudian berangkat menuntut ilmu ke Syihr, ‘Adn,
lalu ke Haramain. Setelah itu kembali ke Syihr dan wafat di sana. Beliau
memiliki kelebihan, keistimewaan, dan keunggulan. Namanya terkenal
di mana-mana. Di wilayah itu, kepemimpinan ilmu berpuncak pada
dirinya. Di samping itu, beliau seorang ahli ibadah, wara’, zuhud, rendah
hati, berakhlak bagus, banyak melakukan usaha untuk kebutuhan kaum
muslimin, dan sangat dihormati oleh para penguasa. Di antara karya-
karyanya adalah dua mukhtashar, al-Mukhtashar al-Kabîr (al-Muqaddimah
al-Hadhramiyyah) dan al-Mukhtashar ash-Shaghîr, kemudian al-Fatâwâ,
Risâlah fi Fadhl al-Qâim bi al-As-hâr, dan sebagainya.
121. Kitab al-Mukhtashar ada dua. Pertama yang besar yang dinamai Masâil
at-Ta’lîm, dan kedua yang kecil.
122. Seorang alim, faqih, dan muhaqqiq, salah seorang wali besar yang diyakini
kewaliannya. Wafat pada 25 Rabiul Awwal tahun 690 H. Muhammad
‘Abduh Kayyâl memiliki karangan tentang riwayat hidupnya, al-Faqîh
al-Ladzi lam Yunshifhu at-Târâkh, telah dicetak.
123. Imam ‘allamah, faqih, muhaqqiq, wara’ dan saleh, as-Sayyid asy-Syarif
Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin al-Faqîh al-Muqaddam Muhammad
bin Alwi al-Husaini at-Tarimi. Dilahirkan di Tarim, wafat di Tarim juga
tahun 767 H. Telah hafal Al-Qur’an ketika masih kecil, juga kitab at-

99
Tanbîh dan sebagian besar kitab al-Muhadzdzab. Mempelajari fiqih di
negerinya pada al-‘Allamah Abdullah bin Fadhl Bafadhal. Kemudian
menempuh jalan thariqah dan mendapatkan ilbas dari gurunya, al-Imam
asy-Syaikh Abdullah Ba ‘Alawi, putra dari paman ayahnya (sepupu
ayahnya). Juga mengambil ilmu fiqih, kedokteran, dan ilmu hisab dari
seorang faqih, Syaikh Sa’ad Bafadhal. Kemudian melakukan perjalanan
ke Zabîd, Ta’iz, dan ‘Adn untuk mengambil ilmu dari para ahlinya dan
untuk mendapatkan tambahan. Setelah itu menunaikan haji, tinggal di
Haramain, dan mendengar dari banyak ulama. Kemudian melakukan
perjalanan ke Mogadishu dan senantiasa menyertai para ulama di sana.
Beliau juga mengambil ilmu dari Syaikh Muhammad bin Abdush-
Shamad al-Jahwi. Kepadanya beliau membaca tafsir, hadits, fiqih,
tashawuf, dan ilmu-ilmu bahasa Arab. Beliau seorang faqih dan ushuli,
memiliki banyak keterangan tentang menuntut ilmu dan kesungguhan
untuk mendapatkannya. Orang-orang banyak mendapatkan manfaat
darinya setelah beliau kembali ke Tarim. Di antara yang mengambil ilmu
darinya adalah al-Imam asy-Syaikh Abdurrahman bin Muhammad as-
Saqqâf dan gurunya, asy-Syaikh al-Imam Muhammad bin Abu Bakar Ba
‘Abbâd. Beliau memberi ijazah umum kepada mereka berdua. Di antara
mereka juga adalah Muhammad bin Umar, dan banyak lagi yang lain.
Beliau memiliki banyak karamah. Demikian keterangan dalam kitab al-
Masyra’ (1: 373-375).
124. ‘Iqd al-Yawâqît al-Jauhariyyah (1: 4)
125. Nasyr al-Mahâsin al-Ghâliyah fi Fadhl Masyâikh ash-Shûfiyyah Ashhâb al-
Maqâmât al-‘Aliyyah karya seorang imam, ‘allamah, dan wali yang saleh,
‘Afifuddîn Abdullah bin As‘ad al-Yâfi’î (wafat 768 H). Telah dicetak.
126. Seorang yang sangat zuhud dan ahli ibadah, imam yang bertakwa,
‘arifbillah, al-Hasan bin Shâlih al-Bahr al-Jufri al-‘Alawi al-Husaini.
Dilahirkan tahun 1191 H. Wafat di Dzi Asbah tahun 1273 H.
Mengambil ilmu dari tokoh-tokoh besar pada masanya, seperti al-Imam
Ahmad bin Umar bin Sumaith dan ayahnya, al-Imam Umar bin Zain
bin Sumaith, as-Sayyid al-Imam Umar bin Saqqâf, al-Habib Hâmid bin
Umar Hâmid Ba ‘Alawi, dan banyak lagi ulama lain di Tarim, Syibam,
dan Sewun. Beliau memiliki penyingkapan spiritual yang besar. Awalnya
beliau membaca kitab dan belajar kepada syaikh yang saleh, Abdullah
bin Sa’ad bin Sumair. Kemudian gurunya yang faqih ini menjadi orang
terdekatnya dan secara khusus menuliskan riwayatnya sebagai pengakuan

100
atas kelebihan dan keunggulan beliau. Kitab itu dinamakan Qilâdah
an-Nahr.
127. Syaikh yang faqih dan pengajar yang saleh, Abdullah bin Sa‘ad bin
Sumair. Lahir di Khala’ Râsyid tahun 1180 H dan wafat di sana pula
tahun 1266 H. Mengambil ilmu dari ulama dan fuqaha pada masanya di
Hadramaut. Beliau ayah dari Syaikh Sâlim, pengarang Safînah an-Najâh
yang wafat di Hayderabad tahun 1276 H.
128. Imam besar, guru dari para guru, orang yang dinisbahkan kepadanya
Thariqah Sâdah Ba ‘Alawi, al-Quthb Muhammad bin Ali bin Muhammad
bin Ali Shahib Mirbath yang digelari dengan al-Faqîh al-Muqaddam
(574-653 H), salah seorang wali terkemuka dan ulama yang menonjol.
Makamnya yang terletak di Pemakaman Basysyar, Tarim, menjadi tujuan
orang.
129. Seorang yang alim, faqih, dan muhaqqiq, mufti Hadramaut di masanya,
Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya al-‘Alawi al-Husaini. Lahir di
Masîlah, dekat Tarim tahun 1209 H dan wafat di sana pula tahun 1265
H. Beliau seorang faqih, alim, dan mufti. Fatwa-fatwanya dikumpulkan
dan dicetak setelah beliau wafat. Beliau banyak melakukan perjalanan
sebagai dai, mursyid, dan pemberi peringatan. Beliau berkelana ke
berbagai tempat. Dikenal di kalangan para penyusun riwayat hidup
sebagai Shahib al-Baqarah. Di antara yang mengambil ilmu darinya
dari para ulama Syam adalah guru para ulama mutaakhir, al-‘Allamah
al-Musnid asy-Syaikh Abdurrahman bin Muhammad al-Kazbari yang
wafat tahun 1262 H. Gurunya banyak sekali; yang paling terkemuka
adalah dua orang pamannya dari garis ibu, al-Imam al-Habib Thâhir bin
al-Husain bin Thâhir dan al-Imam al-Habib Abdullah bin al-Husain bin
Thâhir. Sedangkan yang lainnya dapat dilihat pada riwayat hidupnya
dalam kitab ‘Iqd al-Yawâqît karya muridnya, Idrus bin Umar al-Habsyi
(1: 127-130).
130. Tampaknya yang dimaksud adalah as-Sayyid Ahmad bin al-Husain bin
Abdullah al-‘Aydarus yang wafat tahun 968 H. Biografinya tercantum
pada an-Nûr as-Sâfir.
131. Seorang sayyid yang saleh, yang selalu berdzikir, seorang alim yang
mengamalkan ilmunya, al-Habib Ahmad bin Umar bin ‘Aqîl al-Hinduan
Ba ‘Alawi yang wafat di Tarim tahun 1122 H, termasuk teman seangkatan
al-Imam al-Haddad. Beliau seorang yang bersinar hatinya, lembut

101
perangainya, penyantun, seorang yang zuhud, selalu berdzikir, senantiasa
memberikan manfaat kepada orang dan menyenangkan mereka.
132. Sayyid yang mulia, bulan purnama yang tinggi, ahli ibadah dan seorang
yang zuhud, as-Sayyid al-Imam al-Hasan bin al-Imam Abdullah bin Alwi
al-Haddad al-‘Alawi al-Husaini at-Tarimi. Dilahirkan di Tarim tahun
1099 H dan di sana pula beliau wafat tahun 1188 H. Beliau menerima
ilmu dari ayahnya dan para guru di masanya. Beliau seorang yang
hidup sangat sederhana, zuhud, dan tidak peduli dengan pandangan
orang. Beliau mencintai ilmu, pembahasan ilmu, dan mengkaji al-Ihya.
Secara khusus riwayatnya ditulis oleh cucunya, Sayyid Alwi bin Ahmad
bin Hasan dalam sebuah karangan yang dinamainya al-Mawâhib wa
al-Minan fi Manâqib Jaddi al-Hasan dalam tiga jilid. Kitab ini sangat
bermanfaat. Di dalamnya terdapat riwayat hidup yang penting dari
keluarga al-Haddad di Tarim.
133. Seorang alim yang kokoh dan ahli ibadah yang saleh, Sayyid Umar bin
Hâmid bin Alwi bin Hâmid bin Hâmid al-Munaffir Ba ‘Alawi al-Husaini
at-Tarimi. Dilahirkan di Tarim dan wafat di sana pula tahun 1154 H
atau 1155 H. Beliau bersahabat dengan Imam al-Haddad dan senantiasa
menyertainya. Para orang saleh mengisyaratkan bahwa beliau adalah
khalifah al-Imam al-Haddad di Tarim setelah wafatnya. Beliau adalah
datuk para sadah keluarga al-Hâmid yang memegang imamah di Masjid
Ba ‘Alawi di Tarim.
134. Seorang ‘allamah yang menguasai banyak ilmu, al-Habib Alwi bin Ahmad
bin al-Hasan bin al-Imam Abdullah al-Haddad. Dilahirkan di Tarim tahun
1163 H dan wafat di sana pula tahun 1232 H. Seorang faqih, alim, dan
luas ilmunya. Beliau melakukan perjalanan ke banyak tempat, terutama
Oman. Di sana beliau mengambil ilmu dari banyak ulama. Demikian
juga di al-Ahsâ’. Penduduk Oman dan al-Ahsâ’ pun mengambil manfaat
darinya. Terjalin hubungan saling memberi manfaat dalam hal ilmu
dan adab antara beliau dan mereka. Ayahnya adalah seorang ’allamah,
faqih, dan wali, al-Habib Ahmad bin al-Hasan al-Haddad yang lahir dan
wafat di Tarim (1127-1204 H). Beliau memiliki sejumlah karangan dan
fatwa-fatwa. Beliau juga yang merapikan kitab Tatsbît al-Fuâd dengan
mengumpulkan semua perkataan dan menyusunnya dalam bagian yang
sesuai.
135. Seorang alim yang zuhud dan ahli ibadah yang saleh, Sayyid Umar bin
Zain bin Alwi bin Abdurrahman bin Sumaith al-‘Alawi al-Husaini. Lahir

102
di Tarim tahun 1120 H dan wafat di Syibâm tahun 1207 H. Beliau
berjumpa dengan al-Imam al-Haddad ketika masih kecil, tetapi dapat
menuntut banyak ilmu darinya dengan sempurna dan memahami dari
beliau dan dari banyak informasi lain. Beliau menyelesaikan pelajaran
dengan saudaranya, Muhammad bin Zain, Habib Umar bin Hâmid
Ba ‘Alawi, Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi dan anaknya Ja’far, Habib
al-Husain bin Abdullah al-Haddad, dan lain-lain. Beliau kemudian
hijrah bersama ayah dan keluarganya ke Syibâm tahun 1135 H. Mereka
kemudian menetap di sana. Allah memberi manfaat yang merata kepada
penduduknya berkat mereka. Sebagian nasihat dan perkataannya
dikumpulkan oleh muridnya asy-Syaikh al-Adîb Abdullah bin ’Awadh
Bâdzîb. Beliau membuat riwayat hidup yang ringkas untuk saudaranya,
Muhammad. Beliau mempunyai kisah perjalanan yang didiktekannya
setelah menunaikan haji tahun 1190 H.
136. Seorang ‘allamah dan qadhi yang faqih, Sayyid Saqqâf bin Muhammad
bin Umar ash-Shâfi as-Saqqâf al-’Alawi al-Husaini as-Sîwûnî. Dilahirkan
di Sewun dan tumbuh besar di sana. Di kota ini pula beliau wafat pada
tahun 1195 H. Beliau memiliki beberapa kelebihan yang gemilang,
beberapa keistimewaan yang membanggakan, dan keunggulan yang
diakui. Hal itu secara khusus ditulis oleh anaknya, Sayyid al-Hasan.
Beliau meninggalkan lima orang anak yang semuanya menjadi imam para
ulama, yaitu al-Hasan tersebut, kemudian Umar, Alwi, Muhammad, dan
Abdurrahman. Di antara mereka ada yang menjadi qadhi. Banyak sekali
keturunannya yang menjadi para tokoh besar.
137. Imam yang berani, penuh cahaya, senantiasa bangun malam di waktu
sahur (sepertiga akhir malam), as-Sayyid asy-Syarîf Umar al-Muhdhâr
bin asy-Syaikh al-Imam Abdurrahman as-Saqqâf al-‘Alawi al-Husaini
at-Tarimi. Dilahirkan di Tarim dan di sana pula beliau wafat ketika
sujud dalam shalat Zuhur, tanggal 13 Dzulqa’dah tahun 833 H. Beliau
memiliki beberapa kelebihan yang hebat dan beberapa keistimewaan
yang besar yang dapat diketahui oleh orang yang menelaahnya dalam
kitab al-Ghurâr, al-Masyrâ’, dan kitab-kitab lain yang menulis tentang
biografinya.

103
Bab 4
Bab 4
Anjuran Duduk
Bersama Ulama
dan Orang Saleh
Serta Memuliakan
Mereka
Sesungguhnya seseorang yang keluar dari
rumahnya dengan memiliki dosa sebesar
bukit Tihamah, apabila mendengar seorang
alim berbicara dia merasa takut dan
memohon ampun atas dosa-dosanya, maka
dia kembali ke rumahnya dalam keadaan
tidak memiliki dosa.
1
Anjuran untuk Menghadiri
Majelis Para Ulama

Yahya bin Katsir menyebutkan bahwa dalam firman Allah Swt,

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang


yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan
mengharap keridhaan-Nya.”
(QS. al-Kahfi: 28)

yang dimaksud adalah majelis-majelis fiqih.138


Dari Abdullah bin ‘Amr disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
suatu ketika memasuki masjid, beliau melihat dua majelis. Di
salah satu majelis, orang-orang berdoa dan berharap kepada Allah,
sedangkan di majelis yang lain orang-orang mempelajari fiqih dan
mengajarkannya. Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Kedua majelis ini
berada dalam kebaikan, salah satunya lebih utama daripada yang lain.
Mereka yang berdoa dan berharap kepada Allah, jika dikehendaki
mereka diberi dan jika tidak dikehendaki mereka ditolak. Adapun
yang lain, mereka belajar dan mengajar orang yang bodoh. Dan
sesungguhnya aku diutus sebagai pengajar. Mereka ini lebih utama.”
Lalu beliau mendatangi mereka hingga duduk bersama mereka.139
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda,
“Apabila kalian melewati taman-taman surga, hendaklah kalian
mengelilinginya.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai
Ra­sulullah, apa itu taman-taman surga?” Beliau menjawab,
“Halaqah-halaqah dzikir.”140 Dari Anas pula disebutkan sebuah
hadits marfu’, “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat
yang selalu bergerak mencari halaqah-halaqah dzikir. Maka
apabila para malaikat mendatangi mereka, para malaikat tersebut
akan mengelilingi mereka.141
Athâ’142 mengatakan, “Halaqah-halaqah dzikir adalah
majelis-majelis yang membicarakan hal-hal yang halal dan
haram sehingga engkau dapat mengetahui bagaimana membeli
dan menjual, melakukan shalat, berpuasa, menunaikan haji,
menikah, menceraikan, dan sebagainya.”
Abu Wâqid al-Laitsiy mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
suatu ketika sedang duduk di masjid bersama orang-orang, tiba-
tiba datang tiga orang. Dua di antaranya mendatangi Rasulullah
dan yang satu pergi. Keduanya melihat ke arah Rasulullah. Salah
seorang dari mereka lalu melihat ada celah di dalam halaqah,
maka dia pun duduk di situ, sedangkan yang satunya duduk
di belakang mereka. Adapun yang ketiga terus pergi. Setelah
selesai, Rasulullah mengatakan, “Maukah kalian aku beritakan
tentang tiga orang? Salah seorang dari mereka menuju kepada
Allah, maka Allah pun menuju kepadanya. Seorang yang lainnya
malu kepada Allah, maka Allah pun malu kepadanya. Sedangkan
yang terakhir berpaling dari Allah, maka Allah pun berpaling
darinya.”143
Dari Abu Umâmah berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
“Sesungguhnya Luqmân al-Hakîm144 berkata kepada putranya,
‘Wahai anakku, hendaklah engkau senantiasa duduk bersama
para ulama dan dengarkanlah perkataan orang-orang yang
bijak, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati

108
dengan cahaya hikmah, sebagaimana Dia menghidupkan bumi
yang tandus dengan hujan yang deras.’”145
Sahl bin Abdullah at-Tusturiy mengatakan, “Barangsiapa
yang ingin melihat majelis para nabi, hendaklah dia melihat
majelis para ulama, karena mereka adalah pengganti para rasul
bagi umat mereka dan ahli waris mereka dalam ilmu. Maka
majelis-majelis mereka merupakan majelis pengganti para nabi.”
Ibnu Mas‘ud mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa
adalah pemimpin. Dan para fuqaha adalah panutan. Dan duduk
bersama mereka adalah tambahan.”146 Ibnu Umar mengatakan,
“Majelis fiqih lebih baik daripada ibadah enam puluh tahun.”
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab ra. bahwa,
sesungguhnya seseorang yang keluar dari rumahnya dengan
memiliki dosa sebesar bukit Tihamah, apabila mendengar seorang
alim berbicara dia merasa takut dan memohon ampun atas dosa-
dosanya, maka dia kembali ke rumahnya dalam keadaan tidak
memiliki dosa. Karena itu janganlah kalian memisahkan diri dari
majelis para ulama, karena sesungguhnya Allah tidak menciptakan
di atas permukaan bumi suatu tanah yang lebih mulia daripada
majelis-majelis dzikir. Demikian disebutkan dalam kitab al-Ihya.
Ka‘ab al-Ahbâr147 mengatakan, “Seandainya pahala majelis-
majelis ilmu tampak oleh manusia, niscaya mereka akan berbunuh-
bunuhan untuk mendapatkannya, sampai-sampai orang yang
memiliki kekuasaan meninggalkan kekuasaannya dan orang yang
memiliki pasar meninggalkan pasarnya.” Athâ’ mengatakan,
“Sebuah majelis ilmu menghapuskan tujuh puluh majelis senda
gurau.”
Al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan, “Majelis
dakwah kepada Allah dan dzikir orang-orang saleh merupakan
sabun dan air bagi hati. Bagi hati yang memiliki kotoran yang
tebal maka majelis itu menjadi sabun baginya. Sedangkan untuk
hati yang hidup, majelis itu menjadi air yang memberikan minum
dan menambah hidup baginya.”

109
Beliau juga mengatakan, “Tidaklah dibuat suatu majelis ilmu
atau majelis dzikir kepada Allah, melainkan Dia buatkan dari
majelis itu awan putih, lalu Dia giring menuju kaum yang tak
pernah melakukan kebaikan sama sekali lalu menghujankannya,
sehingga mereka semua menjadi orang-orang yang bahagia.”
Beliau juga mengatakan, “Masuklah ke dalam keberkahan orang-
orang saleh. Seandainya engkau duduk di dekat mereka dalam keadaan
lalai tetapi mempunyai niat yang baik, mereka akan memberimu yang
ada pada mereka. Mereka adalah kaum yang tidak akan sengsara,
berkat mereka, orang yang bergaul dengan mereka.”

Peringatan:
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan,
“Terkadang sebagian orang bodoh menjauhi para
ahli ilmu dan majelis-majelis orang alim karena takut
mengetahui perbuatan yang wajib untuk dilakukan.
Dia menyangka bahwa hal itu menjadi uzur baginya,
padahal sama sekali tidak demikian. Sesungguhnya
hal itu malah menambah tekanan dan tuntutan atasnya, karena
berpaling dari hukum Allah dalam hal ilmu maupun amal, dan itu
lebih parah. Batas maksimal uzur pada sesuatu adalah bagi orang
yang dididik di pedalaman dan di tempat yang jauh dari orang-orang
Islam. Sedangkan seorang yang muslim dan orang tuanya juga orang
muslim, bagaimana ada uzur baginya?” Demikian keterangan dari
kitab Tatsbît al-Fuâd.

Al-Habib Abdullah bin Husain bin Thâhir mengatakan,


          
       
         
   
  
             
   
 
           
     
            
              
   
            
  
110  
  
             
  
 
            
     
            
              
   
            
  

Wahai yang meninggalkan tempat-tempat belajar, perbuatan ini tidak baik


Majelis ilmu tak boleh ditinggalkan, di dalamnya banyak anugerah diberikan
   
       
            
Majelis-majelis kebaikan mengandung keutamaan dan pemberian 
Majelis-majelis kebaikan menghilangkan ujian dan cobaan
Majelis-majelis ilmu mengandung kebaikan dalam setiap keahlian
beruntung hamba yang menjadikannya harta dan tempat kediaman
Majelis ilmu menghilangkan kekeruhan dan kotoran
dengannya akan menjadi baik lahir maupun batin
Inilah kebenaran yang sesungguhnya, bukan sangkaan dan dugaan
Berapa banyak ayat terkenal disampaikan kepada yang memiliki kecerdasan
Berapa banyak hadits diriwayatkan milik datuk al-Hasan
sebagian di Bukhari dan di Muslim dan sebagian di sunan yang lain
Menghadiri majelis ilmu lebih baik daripada seribu kali
mengunjungi orang sakit, mengantar jenazah, dan melakukan shalat

Manfaat:
Abu al-Laits mengatakan, “Seseorang yang duduk di
sisi seorang alim dan tidak mampu menghafal sedikit
ilmu, tetap mendapatkan kemuliaan. Yaitu keutamaan
orang yang belajar, terpelihara dari dosa, mendapatkan
rahmat ketika keluar dari rumahnya, turut mendapat
bagian ketika rahmat turun kepada orang-orang yang
berada dalam halaqah, dan akan dituliskan baginya ketaatan selama
tetap mendengarkan. Apabila hatinya sempit karena tidak dapat
memahami maka kesedihannya merupakan penghubung menuju
hadhirat Allah karena Allah berfirman, ‘Aku di sisi orang-orang yang
hatinya sedih karena Aku.’148 Artinya, Allah menjadi penghibur dan
penolong mereka.” Dikutip dari Bughyah al-Mustarsyidîn

111
Catatan Akhir
138. Al-Khathîb al-Baghdâdi meriwayatkan darinya dalam kitabnya, al-
Faqîh wa al-Mutafaqqih.
139. Di-takhrij-kan oleh Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya (229), ad-
Dârimî dalam Musnad-nya (355), dan lain-lain.
140. Di-takhrij-kan oleh at-Tirmidzî dalam Jâmi’-nya (3510) dan
menurut pendapatnya hasan.
141. Di-takhrij-kan oleh al-Bazzâr (3062, Kasyf al-Astâr). Sanadnya
dipandang hasan oleh al-Haitsami dalam al-Majma’ (10: 77).
142. Imam besar dari kalangan tabi‘in, mufti al-Haram, Abu Muhammad
‘Athâ’ bin Abi Rabâh al-Qurasyi al-Makki (wafat 114 H). Bertemu
dengan dua ratus sahabat Nabi Saw. Muhammad al-Bâqir, ketika
orang-orang berkumpul di tempatnya, mengatakan, “Hendaklah
kalian berpegang pada ‘Athâ’. Dia, demi Allah, lebih baik bagi
kalian daripada aku.”
143. Di-takhrij-kan oleh al-Bukhari (66), Muslim (2176), dan lain-lain.
144. Seorang yang benar, bijak, dan dikaruniai usia panjang. Beliau
hidup di masa Bani Israil. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
beliau adalah anak dari saudara perempuan Nabi Ayub as.. Banyak
hikmah dan pesan yang diriwayatkan darinya. Al-’Allamah al-
Habib Ali bin Hasan al-Attas mempunyai karangan berjudul
Luqmân al-Hakîm wa Hikamuh. Telah dicetak.
145. Di-takhrij-kan oleh ath-Thabrâni dalam al-Kabîr (8: 236 no.
7810), al-Bazzâr (237), dan lain-lain dari hadits Abu Umâmah.
Dalam sanadnya terdapat dua perawi yang dha’if. Disebutkan oleh
Imam Malik dalam al-Muwaththa‘.
146. Di-takhrij-kan oleh ath-Thabrâni dalam al-Kabîr (9: 105, no. 8553)
dalam sebuah hadits mauquf yang terhenti pada Ibnu Mas’ud. Al-
Haitsami mengatakan dalam al-Majma’ (2: 190), “Para perawinya
orang-orang terpercaya.” Diriwayatkan secara marfu’ dari Anas. Di-
takhrij-kan oleh Ibn An-Najjâr, tetapi tidak shahih.
147. ‘Allamah yang sangat luas ilmunya, Ka’ab bin Mâta’ al-Himyarî al-
Yamâni (wafat 32 H). Awalnya adalah seorang Yahudi, kemudian
masuk Islam setelah Nabi Saw. wafat. Beliau datang ke Madinah
pada masa Umar ra., bergaul dengan para sahabat dan mengambil
sunah-sunah dari mereka. Beliau menceritakan kepada mereka

112
tentang kitab-kitab Israiliyat. Ka’ab seorang yang bagus keislamannya
dan termasuk ulama yang cerdas.
148. Dikutip dari Nabi Musa as. sebagaimana di-takhrij-kan oleh Abu
Nu‘aim dalam al-Hilyah (2: 364) dari Mâlik bin Dînâr dan dari ‘Imrân
al-Qushairân (6: 177). Keduanya menyebutkan bahwa perkataan itu
dari Nabi Musa as. Adapun yang dinisbatkan ke­pada ucapan Nabi
Muhammad Saw., tidak ada dasarnya.

113
2
Anjuran Bergaul dengan Para Wali
dan Orang-orang Saleh

Dari Ibnu Abbas diriwayatkan bahwa dia berkata, “Wahai Rasulullah,


siapa yang terbaik sebagai teman bergaul kami?” Beliau menjawab, “Orang
yang membuat kalian ingat kepada Allah jika melihatnya, ucapannya
menambah ilmu, dan ilmunya mengingatkan kepada akhirat.”149
Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith mengatakan, “Kebaikan
dan keburukan itu ditabur pada seseorang dan tidak tampak kecuali
bila bergaul dengan yang lain. Jika bergaul dengan orang-orang baik
akan muncul perbuatan baiknya dan jika bergaul dengan orang-
orang jahat akan muncul perbuatan jahatnya.”
As-Syaikh al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad ra. mengatakan,
“Ketahuilah bahwa bergaul dengan orang-orang baik dan duduk
bersama mereka akan menumbuhkan perasaan cinta kepada kebaikan
di hati seseorang dan dapat membantu melakukan kebaikan. Begitu
pula bergaul dengan orang-orang jahat dan duduk bersama mereka akan
menanamkan cinta kepada kejahatan di hati seseorang dan melakukan
kejahatan. Orang yang bergaul dengan suatu kaum maka akan menyukai
mereka. Baik mereka orang-orang yang baik maupun orang-orang yang
jahat. Dan seseorang akan bersama orang yang dicintai di dunia dan di
akhirat.”
Al-Imam Muhammad bin Zain bin Sumaith mengatakan,
“Janganlah bergaul kecuali dengan orang yang dapat mengingatkanmu
kepada Allah ketika melihatnya, dan yang dapat membangkitkanmu
menuju Allah dengan keadaan dan semangatnya. Hendaklah engkau
bersamanya bila telah menemukannya, dan peganglah erat-erat bila
telah menjumpainya. Karena sesungguhnya tidak ada yang lebih
bermanfaat bagi hati daripada bergaul dengan orang-orang saleh dan
orang-orang baik, dan tidak ada yang lebih membahayakan bagi hati
daripada bergaul dengan orang-orang selainnya, yaitu orang-orang
yang senantiasa lalai dan suka berbuat kejahatan.”
Di dalam sebuah hadits dikatakan, “Seseorang tergantung
(mengikuti) agama sahabatnya.”150 Ada keterangan yang
mengatakan, “Seseorang yang bersahabat dengan orang baik
maka Allah akan menjadikannya termasuk orang baik, meskipun
sebelumnya dari kelompok orang jahat. Dan seseorang yang
bersahabat dengan orang jahat, maka Allah akan menjadikannya
termasuk orang jahat meskipun sebelumnya dari kelompok
orang baik. Apabila engkau tidak dapat menyaksikan dan melihat
orang-orang baik, sebagaimana yang terjadi di masa sekarang,
maka tidak ada yang lebih baik daripada mengkaji jalan hidup,
berita-berita, kelebihan-kelebihan, dan peninggalan-peninggalan
mereka.” Demikian keterangan dalam kitab Majma’ al-Bahrayn.
Al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi mengatakan, “Pemahaman
adalah cahaya yang bersinar di hati dan tidak diberikan kecuali
kepada orang yang bergaul dengan orang-orang saleh atau yang
mengkaji kitab-kitab mereka.” Beliau juga mengatakan, “Bergaul
dengan orang-orang saleh lebih bermanfaat bagi seorang hamba
daripada seratus kali atau ada yang mengatakan seribu kali uzlah.”
Beliau juga mengatakan, “Terkadang bergaul dengan satu orang
lebih bermanfaat daripada bergaul dengan tujuh puluh ribu orang.”
Al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan, “Seandainya
dalam bergaul dengan orang-orang saleh tidak mendapat apa-
apa kecuali satu perkara saja, niscaya itu mencukupi. Yaitu

115
tertariknya keinginan, hati, dan niat-niat mereka kepadamu,
dan mengangkatmu ke kedudukan mereka. Jika tidak, maka
setidaknya engkau selamat dari keinginan-keinginan buruk dan
tidak terjadi sesuatu dari itu. Maka cukuplah bagimu keselamatan
dari perbuatan maksiat selama berada di hadapan mereka.”
Imam asy-Syafi‘i mengatakan, “Ada empat perkara yang
dapat menambah kecerdasan. Yaitu meninggalkan perkataan
yang tidak perlu, siwak, bergaul dengan orang-orang saleh, dan
bergaul dengan para ulama.”
Seorang saleh mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan shalat
di belakang orang yang diampuni dosanya maka dia akan diampuni.
Barangsiapa yang mewakilkan kepada orang yang diampuni maka dia
akan diampuni. Barangsiapa yang duduk bersama orang saleh, akan
bertambah keinginannya dalam ketaatan-ketaatan. Dan barangsiapa
yang duduk bersama para ulama akan bertambah ilmu dan amalnya.”
Sayidina Ibrahim al-Khawwâsh151 mengatakan, “Obat hati
ada lima perkara. Membaca Al-Qur’an dengan merenungkannya,
mengosongkan perut, bangun malam, memohon (tadharru`) di saat
menjelang Subuh, dan bergaul dengan orang-orang saleh.” Demikian
disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam al-Adzkâr.152
Di antara hikayat-hikayat mengenai bergaul dengan orang-
orang saleh adalah yang diceritakan oleh seorang syaikh besar,
Syaikh Abu Sulaiman ad-Dârâniy153, “Aku berkali-kali datang ke
majelis seorang ahli cerita. Ternyata perkataannya berpengaruh
dalam hatiku. Tetapi ketika aku bangun, tidak ada pengaruh
yang tersisa dalam hatiku. Lalu aku datang kembali untuk kedua
kalinya, kemudian aku mendengar perkataannya. Ternyata
pengaruh perkataannya masih tersisa dalam hatiku dalam
perjalanan, kemudian hilang dariku. Lalu aku kembali lagi untuk
ketiga kalinya. Ternyata bekas ucapannya masih terdapat di hatiku
sampai aku pulang ke rumah. Maka aku pecahkan alat-alat yang
melanggar (yakni alat-alat musik).” Demikian disebutkan oleh al-
Imam Ali bin Hasan al-Attas dalam kitab al-Qirthâs.

116
Diriwayatkan bahwa suatu ketika lewat di majelis Manshûr
bin ‘Ammâr,154 seorang budak laki-laki milik seorang pedagang yang
mendengar seseorang berkata, “Barangsiapa yang memberi orang
fakir ini empat dirham maka akan aku doakan baginya empat macam
doa.” Budak itu membawa empat dirham yang diberi oleh tuannya
untuk membeli suatu kebutuhan. Maka dia pun memberikan kepada
fakir itu lalu didoakan. Kemudian dia kembali kepada tuannya tanpa
membawa sesuatu. Lalu tuannya bertanya kepadanya tentang doa-doa
tersebut. Budak itu menjawab, “Pertama, dia mendoakanku agar Allah
membebaskan aku dari perbudakan.” Maka tuannya membebaskannya.
“Dan yang kedua?” Si budak menjawab, “Dia mendoakanku agar
Allah menggantikan untukku dirham-dirham itu.” Tuannya kemudian
mengatakan, “Ini untukmu empat ribu dirham. Lalu yang ketiga?”
Budak itu menjawab, “Dia mendoakanku agar Allah menerima tobatku
dan tobatmu.” Tuannya berkata, “Aku telah bertobat kepada Allah.
Kemudian yang keempat?” Si budak menjawab, “Dia mendoakanku
agar Allah mengampuni aku, engkau, orang yang mengingat, dan
kaum semuanya.” Tuannya berkata, “Kalau yang ini tidak bisa meminta
kepadaku.” Ketika sang tuan tertidur, dia bermimpi Allah berkata
kepadanya, “Apakah menurutmu engkau dapat memberikan apa yang
diminta kepadamu dan aku tidak dapat memberikan apa yang diminta
kepada-Ku? Sesungguhnya Aku telah mengampunimu, budak itu,
orang yang mengingat, dan kaummu.” Demikian dikutip dari al-Fushûl
al-‘Ilmiyyah karya al-Imam Abdullah al-Haddad.
Beliau juga mengatakan, “Hendaklah engkau selalu bersahabat
dengan orang-orang yang baik. Beradab dengan adab mereka.
Mengambil manfaat dari ucapan dan perbuatan mereka. Mengunjungi
orang-orang yang masih hidup dan yang telah mati di antara mereka
dengan penghormatan yang sepenuhnya, dan berprasangka baik
kepada mereka. Sehingga akan mendapatkan manfaat melimpah
melalui mereka. Sesungguhnya sedikitnya orang-orang di zaman ini
mendapatkan manfaat dari orang-orang saleh adalah karena kurangnya
penghormatan dan lemahnya prasangka baik kepada mereka. Sehingga

117
orang-orang tersebut tidak mendapatkan keberkahan dan tidak dapat
menyaksikan karamah-karamah mereka. Lalu mereka menyangka
bahwa zaman ini kosong dari para wali, padahal banyak, baik yang
tampak maupun tersembunyi. Tidak dapat mengenal mereka kecuali
orang-orang yang hatinya Allah sinari dengan cahaya pengagungan
dan prasangka baik kepada mereka.“
Seorang ‘arif billah mengatakan, “Barangsiapa ingin mendapatkan
segala kebaikan dari bergaul dengan para wali maka hendaklah
memerhatikan tiga perkara. Pertama, hendaklah tidak mengalihkan
perhatiannya dari mereka karena sesungguhnya mereka melihat ke
dalam hati seseorang, sebagaimana engkau melihat air di kaca. Kedua,
dan hendaklah tidak menuntut mereka dengan ‘ishmah (tercegah
dari perbuatan dosa), karena sesungguhnya mereka adalah mahfuzh
(yang terpelihara). Ketiga, hendaklah tidak mendengarkan perkataan
mereka tentang kekurangan seseorang, karena sesungguhnya mereka
hanya ingin menyempurnakan orang itu dengan perkataannya
tersebut. Dan seorang wali dapat berbicara tentang orang yang berada
di bawahnya meskipun hanya satu tingkat.”
Asy-Syaikh Abu al-Hasan asy-Syâdzili155 mengatakan,
“Apabila kalian menghadiri pelajaran seorang ulama atau orang
saleh dan belum dapat memahami sedikit pun perkataannya,
maka terimalah dan jangan mengatakan perkataan orang ini
tidak ada faedahnya. Karena sesungguhnya para malaikat dan
jin suka menghadiri pelajaran para ulama dan orang-orang saleh.
Mungkin saja orang alim atau orang saleh itu berbicara semata-
mata untuk memberikan pemahaman kepada malaikat dan jin
yang hadir dan bukan ditunjukkan kepada golongan manusia.”
Al-Imam al-‘Arif billah Idrus bin Umar al-Habsyi
mengatakan, “Sesungguhnya keberkahan bergaul dengan
orang-orang besar itu akan kembali meskipun beberapa waktu
kemudian. Dan janganlah seseorang mengatakan, ‘Sesungguhnya
aku belum melihat diriku menghasilkan sesuatu dan tidak pula
mengalami sesuatu.’ Karena, orang yang bersungguh-sungguh

118
akan mendapatkan dan orang yang melalui suatu jalan akan
sampai. Biasanya tambahan yang didapatkan oleh orang yang
menuju jalan Allah tidak tampak, seperti tambahan yang terjadi
pada manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan yang sedang
tumbuh. Sesungguhnya engkau melihat seorang anak, misalnya,
setiap hari sama saja seperti hari sebelumnya dan tak tampak
padanya penambahan. Begitu juga pohon kurma. Padahal tidak
diragukan bahwa terjadi pertumbuhan tetapi tersembunyi.
Adapun penambahan yang tampak jelas dan kelihatan adalah
yang jarang dan hanya terjadi pada hal yang luar biasa. Hendaknya
seorang hamba menetapi kewajibannya dan menunggu anugerah
Allah. Terdapat keterangan dalam sebuah hadits, ‘Sesungguhnya
Tuhan memiliki pemberian-pemberian pada hari-hari kalian,
karena itu songsonglah ia.’156 Penyongsongan itu dilakukan dengan
bersungguh-sungguh mencari keridhaan Allah Yang Mahatinggi lagi
Mahabesar.” Demikian keterangan dalam kitab an-Nahr al-Maurûd.
Al-Imam as-Syaikh Ali bin Abu Bakar as-Sakrân Ba Alawi
mengatakan dalam kitabnya Ma‘ârij al-Hidâyah, “Diriwayatkan
bahwa seorang syaikh besar, Muhammad bin Husain al-Bajaliy157
mengatakan, ‘Aku pernah melihat Rasulullah Saw. di dalam mimpi
lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah amal yang paling utama?’
Beliau menjawab, ‘Engkau berada di hadapan seorang wali Allah
meskipun hanya sekadar orang yang memerah susu kambing atau
memanggang telur, adalah lebih utama daripada engkau beribadah
hingga terpotong-potong.’ Lalu aku bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah,
apakah wali yang masih hidup atau yang telah wafat?’ Beliau
menjawab, ‘Baik yang masih hidup atau yang telah wafat.’”
Sebagian ulama mengatakan bahwa semua itu disebabkan
oleh seseorang yang berada di hadapan seorang wali masuk ke
dalamnya dan akan berada di bawah penguasaan cakupannya,
sehingga wali tersebut menjadi perantaranya menuju Allah.
Maka keberadaannya di hadapan wali, akan membuatnya
mendapatkan sesuatu yang tidak akan didapatkan bahkan

119
dengan beribadah hingga terpotong-potong. Dan hasil yang
didapatkan tergantung kesiapan wali yang bersangkutan. Karena,
sesungguhnya pemberian ber­gan­tung pada ukuran kesiapan.
Demikian disebutkan oleh al-Allamah Ahmad bin Hasan al-
Haddad dalam kitabnya al-Fawâid as-Sanniyyah.
Sayyidina al-‘Arif billah Abdullah bin Muhsin al-Attas pernah
ditanya tentang makna ucapan di atas, yaitu, “Engkau berada di
hadapan seorang wali Allah baik yang masih hidup maupun yang
telah wafat adalah lebih baik daripada beribadah hingga terpotong-
potong.”158 Maka beliau berkata, “Keutamaan ini tidak akan
didapatkan kecuali apabila seseorang berada di hadapan seorang
wali dan dia tahu bahwa orang tersebut adalah wali Allah dengan
ditampakkan kepadanya oleh Allah kewaliannya.” Kemudian
seseorang berkata kepadanya, “Ini merupakan suatu masalah.”
Maka beliau berkata, “Bukan suatu masalah. Bukankah Abu Bakar
ash-Shiddîq dan Abu Lahab pernah duduk bersama Nabi Saw.
dan keduanya makan bersama beliau. Abu Bakar duduk bersama
beliau dan dia tahu bahwa beliau adalah Nabi Allah dan Rasul-Nya
dengan sebenar-benar pengetahuan. Maka dia mendapatkan yang
didapatkannya sehingga menjadi orang yang paling utama. Adapun
Abu Lahab, dia juga duduk bersama beliau tetapi tidak tahu bahwa
beliau adalah seorang nabi dan rasul. Yang diketahuinya adalah
bahwa beliau anak yatim yang diasuh oleh Abu Thalib, seorang
laki-laki dari kaum Quraisy, dan anak dari ayah dan ibunya. Maka
dia tidak mendapatkan sesuatu sebagaimana yang didapatkan Abu
Bakar. Apabila keistimewaan Nabi Saw. saja tidak dapat diperoleh
kecuali dengan pengetahuan, lalu bagaimana dengan yang lainnya?
Dan jika berada di hadapan seorang wali Allah dengan sungguh-
sungguh, maka tidak akan kosong dari suatu manfaat, khususnya
bila disertai dengan keyakinan. Pemberian bergantung pada cara
pandang. Dan ukuran cara pandang menentukan kemampuan
menerima. Demikian keterangan dari kitab kumpulan perkataan

120
beliau yang dikumpulkan oleh muridnya, Syaikh Abdurrahman
Baraja.159
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan, “Tidak
akan tampak keberkahan seorang saleh atas para sahabatnya
melainkan setelah dia mati. Dan pertolongan seorang wali
setelah mati, kepada kerabat dan orang-orang yang memohon
pertolongannya, lebih banyak daripada ketika masih hidup.
Karena, ketika masih hidup dia disibukkan dengan berbagai
beban, sedangkan setelah mati, Allah menghilangkan segala
beban darinya.”
Syaikh Ahmad bin Uqbah bin al-Hadhramiy160 pernah
ditanya, “Apakah pertolongan orang yang masih hidup lebih kuat
dibanding orang telah mati?” Beliau menjawab, “Pertolongan orang
mati lebih kuat, karena berada dalam hamparan Yang Mahabenar.”
Menjelang wafatnya Syaikh Ali al-Muttaqi,161 muridnya,
Syaikh Abdul Wahhab bersedih. Maka beliau berkata kepadanya,
“Janganlah engkau bersedih. Kami adalah kaum yang suka
menolong para murid setelah wafat sebagaimana menolong
mereka ketika masih hidup, bahkan lebih banyak lagi.”

Manfaat:
Dikutip dari pengarang kitab A’mâl at-târîkh
bahwa barangsiapa yang menulis sejarah seorang
wali Allah maka akan bersamanya di surga. Dan
barangsiapa yang menelaah namanya di dalam
sejarah karena cinta kepadanya, maka seolah-
olah menziarahinya. Dan barangsiapa yang
menziarahi seorang wali maka diampuni dosa-dosanya selama
tidak menyakitinya atau menyakiti seorang muslim dalam
perjalanannya. Demikian keterangan pada mukadimah kitab
al-Qirthâs karangan Sayyidina al-Imam Ali bin Hasan al-Attas.

121
Catatan Akhir
149. Di-takhrij-kan oleh Abu Ya‘la dalam Musnad-nya (4: 326, no. 2436).
Al-Hâfizh al-Mundziri mengatakan dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb (1:
147), “Para perawinya adalah para perawi shahih kecuali Mubarak bin
Hassan.” Seperti itu pula yang dikatakan oleh al-Haitsami dalam al-
Majma’ (10: 226).
150. Di-takhrij-kan oleh Ahmad (2: 303), Abu Daud (4833), at-Tirmîdzî
(2378), dan lain-lain, dari hadits Abu Hurairah dengan redaksi yang
artinya, “Seseorang itu mengikuti agama sahabatnya. Karena itu,
hendaklah masing-masing kalian melihat dengan siapa bersahabat.”
151. Seorang imam yang menjadi panutan, Abu Ishâq Ibrahim bin Ahmad
al-Khawwâsh (wafat 291 H). Seorang syaikh yang paling menonjol di
masanya, termasuk teman al-Junaid dan an-Nuri. Beliau juga termasuk
penempuh jalan tawakal. Dalam masalah mujahadah dan pelatihan
spiritual, beliau memiliki kedudukan dan langkah yang kokoh.
152. Dalam kitab Tilâwat Al-Qur‘an darinya, pasal Masalah-Masalah dan
Adab-Adab yang Mesti Diperhatikan oleh Qari.
153. Seorang yang zuhud di masanya, al-Imam ar-Rabbâni Abu
Sulaimân Abdurrahman bin ’Athiyyah al-’Ansi ad-Dârâni (140-215
H), termasuk syaikh terkemuka dan paling bagus penjelasannya
mengenai makna-makna suluk.
154. Pemberi nasihat yang hebat, seorang saleh, salah seorang tokoh besar,
Abu as-Sari Manshûr bin ’Ammâr bin Katsîr as-Sulami al-Khurâsâni
(wafat di akhir tahun 200 H). Tak seorang pun dapat dibandingkan
dengannya dalam memberikan nasihat dan peringatan. Di antara
ucapannya adalah, “Barangsiapa yang tidak sabar karena musibah
dunia, musibahnya akan beralih kepada agamanya.”
155. Seorang wali besar, guru orang-orang ’arif, quthub yang tidak ada
bandingnya, al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin ’Abdul
Jabbâr asy-Syâdzilî al-Maghribi (591-656 H). Beliau adalah imam
para pemuka Syadziliyah dan seseorang yang keberkahannya
melimpah di mana-mana. Penyusun wirid-wirid penting dan
terkenal seperti Hizb al-Bahr, dan sebagainya.
156. Di-takhrij-kan oleh ath-Thabrâni dalam al-Kabîr (19: 232) dan al-
Ausath dari hadits Muhammad bin Maslamah. Berkata pengarang al-
Majma’ (10: 231), “Di dalam sanadnya terdapat perawi yang saya tidak
kenal. Tetapi para perawi yang saya kenal adalah orang-orang yang

122
terpercaya.” Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Kabîr (720)
dari hadits Anas. Berkata pengarang al-Majma’, “Para perawinya adalah
perawi hadits shahih kecuali ’Isa bin Musa, tetapi ia juga seorang yang
terpercaya.” Riwayat ini juga memiliki beberapa saksi yang menambah
kekuatannya.
157. Syaikh Muhammad bin Husain al-Bajali al-Yamani, termasuk ulama
besar, orang saleh, dan wali yang diyakini kewaliannya. Beliau memiliki
karamah-karamah yang dikenal oleh para penduduk negerinya. Wafat
tahun 621 H dan dimakamkan di desa ’Awâjah di Yaman. Demikian
keterangan dalam kitab Jâmi’ Karamât al-Awliya’ (1: 197).
158. Yang ditunjukkan dalam mimpi yang sebelumnya dari perkataan Syaikh
Muhammad bin Husain al-Bajali.
159. Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Umar ’Arfan Barajâ, dilahirkan
di Tarim dan wafat di sana pula tahun 1355 H. Ayahnya salah seorang
dari lima pendiri Rubath Tarim pada tahun 1305 H.
160. Sayyidina al-Imam al-’arifbillah, asy-Syaikh Ahmad bin Abdul Qâdir bin
’Uqbah asy-Syibâmi al-Hadhrami. Dilahirkan di Syibam, Hadramaut
dan tumbuh besar di sana. Kemudian dia melakukan perjalanan ke Tarim,
Sewun, dan sekitarnya untuk mengambil ilmu dari para guru besar.
Beliau bertemu dengan Sayyidina Umar al-Muhdhâr dan mengambil
ilmu darinya. Menerima ilbas darinya dan dari saudaranya, al-’Aydarus.
Kemudian beliau berangkat ke Makkah tempat para tokoh besar seperti
as-Sakhâwî dan as-Suyûthi mengambil ilmu dan menerima ilbas darinya.
Seorang ‘arifbillah terkemuka, asy-Syaikh Zarûq al-Barlisî al-Maghribi
juga belajar dan menyelesaikan pelajaran kepadanya, menyebutkan
dalam banyak kitabnya dan secara khusus menyusun riwayat hidup
beliau. Yang juga menyebutkan riwayat hidupnya adalah as-Sakhâwî
dalam adh-Dhau‘ al-Lâmi’, dan al-Manâwi dalam Thabaqât ash-Shûfiyah,
dan sebagainya. Beliau wafat di sebuah padang pasir Mesir yang asing
sebagai seorang yang asing dan sendiri tahun 895 H.
161. Seorang ’allamah, muhaddits, wali yang saleh, ‘arifbillah, Ali bin Hisâmuddîn
al-Hindî yang digelari al-Muttaqî (wafat setelah 952 H). Tinggal di Makkah
bersama sejumlah muridnya. Mereka selalu beribadah dan tidak keluar
rumah, kecuali untuk melakukan shalat di Masjidil Haram. Asy-Syaikh
Abdul Wahhâb asy-Sya’rânî bertemu dengannya di Makkah dan mengambil
manfaat darinya. Di antara karangannya yang masyhur adalah Kanz al-
’Ummâl fi Sunan al-Aqwâl wa al-Af’âl tentang hadits.

123
3
Dorongan Beradab kepada
Ulama dan Para Wali

Abu Utsman al-Hîriy162 mengatakan, “Bersahabat dengan Allah Ta’ala


adalah dengan senantiasa merasakan kebesaran-Nya dan senantiasa
merasa diawasi oleh-Nya. Bersahabat dengan Rasulullah adalah
dengan mengikuti sunnahnya dan senantiasa menetapi lahiriah ilmu.
Bersahabat dengan para wali Allah adalah dengan menghormati dan
memberikan pelayanan terhadapnya. Bersahabat dengan keluarga
adalah dengan akhlak yang baik. Bersahabat dengan teman adalah
senantiasa menyenangkannya selama bukan merupakan dosa. Dan
bersahabat dengan orang-orang bodoh adalah dengan mendoakan
dan kasih sayang terhadap mereka.”
Maka menjadi kewajiban Anda, wahai saudaraku, untuk
mengagungkan orang yang berilmu dan memberikan hak mereka
bagaimanapun keadaan mereka. Karena mereka merupakan
para pengemban syariah yang suci, para penyeru ke jalan Allah,
orang-orang yang memerintahkan kebajikan, dan yang mencegah
kemungkaran. Maka merekalah yang diikuti dan cahaya mereka
yang dijadikan petunjuk.
Al-Qur’an al-Karîm menunjukkan kemuliaan dan
keutamaan mereka. Sedangkan sunnah Nabi Saw. menyatakan
ketinggian kedudukan mereka. Allah Swt. berfirman dalam
Surah al-Mujadilah ayat 11:

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang


beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat.

Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak termasuk umatku orang


yang tidak menghormati orang yang lebih tua di antara kita,
tidak menyayangi orang yang lebih muda di antara kita, dan
tidak mengetahui hak orang yang alim di antara kita.”163
Terdapat pula hadits yang mengatakan, “Jadilah engkau seorang
alim, seorang yang mempelajari ilmu, seorang yang mendengarkan
ilmu, atau orang yang mencintai ilmu. Dan jangan menjadi orang
yang kelima niscaya engkau akan binasa.”164 Dari Abu Umâmah
ra. dalam sebuah hadits marfu` dikatakan, “Ada tiga golongan yang
tidak ada yang meremehkan mereka kecuali orang munafik. Orang
tua yang tetap berada dalam keislamannya, orang yang memiliki
ilmu, dan imam yang adil.”165
Al-Imam asy-Sya’râniy166 mengatakan dalam kitab al-Anwâr al-
Qudsiyyah, “Kita telah berjanji secara umum kepada Rasulullah untuk
menghargai para ulama, orang-orang saleh, dan para tokoh, sekalipun
mereka belum mengamalkan ilmu mereka—yakni semuanya, dan
melaksanakan kewajiban hak-hak mereka, serta menyerahkan urusan
mereka kepada Allah Ta’ala. Maka barangsiapa yang merusak kewajiban
hak-hak mereka, yakni dalam memuliakan dan menghormati mereka,
berarti ia telah berkhianat pada Allah dan Rasul-Nya. Karena, para
ulama merupakan pengganti Rasulullah, pengemban syariat, dan
pembantunya. Maka barangsiapa yang meremehkan mereka, berarti
ia juga melakukan itu kepada Rasulullah dan itu suatu kekufuran.
Sebagian ulama cenderung berpendapat demikian.”

125
Asy-Syaikh Abu al-Hasan bin Bunân167 mengatakan, “Tidak
akan mengagungkan kedudukan para wali kecuali orang yang agung
pula kedudukannya di sisi Allah.”
Asy-Syaikh al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan,
“Hendaknya seseorang pertama-tama menghormati sisi ketuhanan,
kemudian sisi kenabian, lalu para ulama yang mengamalkan ilmunya,
selanjutnya para wali Allah, karena mereka hamba-hamba-Nya yang
khusus. Dan hendaknya jangan menentang seseorang dari mereka
dengan menyebutkannya secara khusus. Al-Imam al-Ghazali—
meskipun sering menentang para ulama yang buruk—tetapi beliau
tidak menyebut seseorang secara khusus.”
Al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan,
“Memandang orang saleh dan mencintai mereka merupakan
keuntungan yang sangat besar. Maka bagaimana pandangan
mereka kepada orang yang meminta keberkahan mereka?
Ketika duduk bersama orang-orang saleh, seseorang hendaknya
membaguskan prasangkanya dan mengosongkan hatinya dari
segala sesuatu, yang bagus maupun jelek.”
Beliau juga mengatakan, “Apabila engkau memandang para wali
dan orang-orang saleh dengan pandangan kritikan dan penentangan,
maka engkau terusir dari mereka dan tidak mendapatkan keberkahan
mereka. Karena, mereka bergerak dengan suatu gerakan yang berbeda
dengan gerakanmu dan memiliki niat yang tidak sama dengan niatmu.
Dan jika engkau memandang mereka dengan pandangan keyakinan,
engkau mendapatkan bimbingan mereka dan memperoleh petunjuk
dari petunjuk mereka, dan rahasia mereka akan berjalan pada dirimu.”
Saya (penulis) berkata bahwa karenanya orang yang bersahabat
dan bergaul dengan mereka hendaklah berhati-hati jangan sampai
menentang dan berpaling dari mereka. Karena menentang mereka
berarti menentang Rasulullah Saw., dan menentang Rasulullah berarti
menentang Allah. Abu al-Hasan al-Jausaqiy168 mengatakan, “Tanda
kesengsaraan adalah apabila seorang hamba diberi anugerah bersahabat
dengan para ’arif billah kemudian dia tidak menghormati mereka.”

126
Al-Imam Abdullah al-Haddad mengatakan, “Para ‘arif billah
semestinya diperlakukan dengan penuh kejujuran karena mereka
tidak menerima sikap berpura-pura. Mereka dapat membedakan
perkataan yang benar dari perkataan yang dusta sebagaimana
engkau dapat membedakan antara rasa manis dengan rasa asam.”

Manfaat
Diriwayatkan dalam sebuah âtsâr bahwa Allah Ta’ala menghisab
seorang hamba, ternyata keburukannya lebih berat. Maka dia
diperintahkan untuk dibawa ke neraka. Ketika dia
telah dibawa, Allah berkata kepada Malaikat Jibril,
“Susullah hamba-Ku dan tanyakanlah, apakah dia
pernah duduk di majelis seorang alim ketika berada
di dunia, agar Aku dapat mengampuninya dengan
syafaatnya?” Maka Jibril bertanya kepada hamba itu,
lalu dia menjawab, “Tidak pernah.” Maka berkatalah Jibril, “Wahai
Tuhan, Engkau lebih mengetahui keadaan hamba-Mu.” Lalu Allah
berkata lagi, “Tanyakanlah, apakah dia mencintai seorang alim?”
Maka Jibril pun bertanya kepadanya, lalu dia menjawab, “Tidak.”
Allah berkata lagi, “Wahai Jibril tanyakanlah, apakah dia pernah
duduk di satu meja dengan seorang alim?” Jibril pun bertanya
kepadanya, tetapi dia menjawab, “Tidak.” Lalu Allah berkata lagi,
“Wahai Jibril, tanyalah kepadanya tentang naman dan nasabnya.
Jika namanya sama dengan nama seorang alim, maka dia akan
diampuni. “Maka Jibril pun bertanya kepadanya, tetapi ternyata
tidak sama. Kemudian Allah berkata kepada Jibril, “Peganglah
tangannya dan masukkanlah dia ke dalam surga, karena dia
mencintai seseorang yang mencintai seorang alim.” Lalu dia pun
diampuni dengan keberkahannya. Dikutip dari penutup kitab
Majma’ al-Bahrayn, karya asy-Syaikh Ma’ruf bin Muhammad
Bâjammâl169.

127
Catatan Akhir
162. Seorang imam, pemberi nasihat, panutan, Syaikhul-Islam, dan wali Allah,
Abu Utsman Sa’îd bin Ismail al-Hîrî an-Naisâbûrî (230-298 H). Di kalangan
ulama Khurasan beliau seperti al-Junaid di kalangan ulama Irak. Al-Hâkim
mengatakan, “Para guru kami sepakat bahwa Abu Utsman adalah seorang yang
makbul doanya, dan merupakan tempat bertemu para ahli ibadah dan orang-
orang yang zuhud.”
163. Di-takhrij-kan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (5: 323), ath-Thabrâni
dalam al-Kabîr, dan selainnya dari hadits ’Ubâdah bin ash-Shâmit dengan
isnad hasan sebagaimana dikatakan oleh al-Haitsami dalam al-Majma‘.
164. Di-takhrij-kan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imân (1581), al-Bazzâr dalam
Musnad-nya (9: 94), dan ath-Thabrâni dalam ketiga Mu’jam-nya dari hadits Abu
Bakrah. Al-Haitsami mengatakan dalam al-Majma‘ (1: 122), “Para perawinya
orang-orang terpercaya.”
165. Di-takhrij-kan oleh ath-Thabrâni dalam al-Kabîr (7819). Dalam
sanadnya terdapat para perawi yang dha’îf.
166. Imam al-‘Allamah ash-Shalih al-Wali Abu al-Mawâhib Abdul Wahhâb bin
Ahmad bin Ali asy-Sya’rânî asy-Syafi’i (898-973 H). Belajar kepada para imam
di masanya seperti Syaikh al-Islam Zakariya, asy-Syihâb ar-Ramli, al-Asymûnî,
dan sebagainya. Beliau memiliki keunggulan dalam berbagai ilmu. Kemudian
beliau menempuh jalan tasawuf dan bersungguh-sungguh hingga mencapai
puncaknya. Sebagian besar karyanya adalah mengenai tasawuf, adabnya, serta
riwayat hidup para tokohnya. Di antaranya kitab ath-Thabaqât al-Kubrâ,
al-Wusthâ, dan ash-Shughrâ, mengenai riwayat hidup para wali, Tanbîh al-
Mughtarrîn, al-‘Uhûd al-Muhammadiyyah, dan karangan lain yang mencapai
sekitar 300 karya.
167. Seorang ‘arifbillah dan wali, Abu al-Hasan—ada yang mengatakan Abu al-
Husain—bin Bunân al-Mishri (wafat kurang lebih setelah tahun 320 H). Beliau
termasuk syaikh terkemuka di Mesir. Beliau bersahabat dengan Abu Sa’îd al-
Kharrâz menghubungkan diri dengannya. Wafat di daerah yang asing di utara
Mesir. Beliau bukan al-Imam Abu al-Hasan Bunân bin Muhammad al-Hammâl
al-Wâsithi (316 H) yang tinggal di Mesir dan salah seorang syaikh di sana.
168. Kami tidak mendapati riwayat hidupnya pada sumber-sumber yang ada
pada kami.
169. Beliau seorang syaikh yang saleh yang memiliki keutamaan, Ma’rûf bin
Muhammad Bâjammâl asy-Syibâmî. Lahir sekitar tahun 1200 H dan
wafat tahun 1286 H sebagaimana yang tertulis di makamnya. Beliau

128
mengambil ilmu dari al-Imam Abdurrahman bin Muhammad bin Zain
bin Suemaith, al-Imam Ahmad bin Umar bin Sumaith, dan lain-lain.
Syaikh Ma’rûf Bâjammâl menyusun kitab Majma’ al-Bahrain fi Manâqib
al-Imam Ahmad bin Zain dalam sebuah jilid yang besar. Beliau memiliki
anak yang alim, faqih, dan penyair, Abdullah bin Ma’rûf yang wafat di
Syibam tahun 1292 H.

129
4
Peringatan Akan Penentangan
terhadap Wali dan Orang Saleh

Ibnu ’Athaillah170 mengatakan dalam kitab Lathâif al-Minan171


sebagai berikut,
Wasiat dan petunjuk, “Wahai Saudara, janganlah engkau pergi kepada
orang-orang yang mencela kelompok ini dan mengejek mereka, agar
engkau tidak jatuh dari pandangan Allah dan mendapatkan kebencian
dari-Nya. Karena mereka adalah kaum yang duduk bersama Allah
dengan kejujuran, keikhlasan, dan kesetiaan yang sebenarnya, serta selalu
mengawasi nafsu dengan-Nya. Mereka telah menyerahkan kepemimpinan
kepada-Nya, menempatkan diri di hadapan-Nya dan meninggalkan sikap
membela diri karena malu dengan sifat ketuhanan-Nya, dan merasa cukup
dengan sifat-Nya yang selalu mengurus hamba. Maka Allah melakukan
untuk mereka yang lebih baik dari yang mereka lakukan untuk diri mereka
sendiri, seperti Allah akan memerangi orang yang memerangi mereka dan
memenangkan orang yang membela mereka. Kelompok ini diuji dengan
manusia, terutama para ahli ilmu zhahir. Maka akan didapati sedikit saja
dari mereka yang hatinya lapang untuk mau membenarkan wali tertentu.
Bahkan akan mengatakan, ‘Ya, kami tahu bahwa para wali itu ada, tetapi
siapa mereka?’ Maka tidaklah disebut seorang wali kepadanya, tetapi dia
akan menyebut kelebihan yang Allah berikan kepadanya. Lidahnya fasih
untuk berdebat. Maka berhati-hatilah kepada orang yang demikian dan
berlarilah darinya sebagaimana berlari dari macan.”
Sayyidina al-Imam Abdullah al-Haddad mengatakan, “Barangsiapa
yang menentang orang-orang arif maka akan diberikan hati yang keras.”
Syaikh Abu Thurâb an-Nakhsyabi172 mengatakan, “Apabila hati telah biasa
menyimpang dari Allah, maka dia akan ditemani sikap suka mencela orang
yang dekat dengan Allah.”
Ketahuilah, sesungguhnya para nabi dan para wali Allah
berakhlak penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Mereka tidak
mau menyumpahi orang yang menzalimi mereka. Hanya saja Allah
memiliki ghirah (rasa cemburu) terhadap mereka jika kehormatan
mereka dinodai atau kesucian mereka diinjak-injak. Bila terjadi yang
demikian, maka Allah akan bangkit membela mereka, memberikan
balasan terhadap orang yang menyerang mereka, dan akan memenuhi
hak mereka dari orang yang memusuhi.
Dalam hadits qudsi dikatakan, “Barangsiapa menyerang seorang
wali-Ku maka Aku menyatakan perang terhadapnya.”173 Yakni, Aku
umumkan perang kepadanya. Hal itu dikarenakan seorang wali tidak
membela dirinya sendiri, maka Allah yang akan membelanya. Kita
berlindung kepada Allah dari sikap menentang para wali-Nya.
Al-Imam Ahmad bin Idrîs al-Maghribi174 mengatakan,
“Jangan sampai engkau menghina seorang muslim atau
menyakitinya, karena mungkin saja dia seorang wali Allah dan
engkau tidak mengetahuinya. Maka engkau akan masuk di
dalam kemurkaan Allah.” Di dalam keterangan lain dikatakan,
“Sesungguhnya Allah marah demi para wali-Nya sebagaimana
singa marah demi anak-anaknya.”175
Allah Swt. memerangi tiga kelompok ahli maksiat: Pembegal di
jalan, pemakan riba, dan orang yang menyakiti para wali-Nya. Di
dalam hadits qudsi yang lain disebutkan, “Barangsiapa yang menentang
seorang wali-Ku berarti dia menyatakan perang terhadap-Ku.”176
Allah Swt. juga berfirman dalam Surah al-Mâidah,

131
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya…..
(QS. al-Maidah: 33)

Mengenai pemakan riba, Allah berfirman,

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah


dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian
orang-orang yang beriman. Maka, jika kalian tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu.
(QS. al-Baqarah: 278-279)

Di dalam hadits dikatakan, “Barangsiapa yang menyakiti


seorang wali, berarti ia memerangi Allah.”177
Berkata seorang ‘arif billah, “Seorang wali terkadang cemburu
(tersinggung) jika disakiti atau tidak dihormati. Sebagian orang
ketika melihat itu menyangka bahwa itu merupakan pembelaan
si wali terhadap dirinya sendiri atau menuntut untuk dihormati.
Padahal tidak demikian, dia tersinggung karena sesuatu yang dia
ketahui, yaitu rahasia kewalian yang Allah titipkan kepadanya.
Jadi ketersinggungannya karena tidak adanya pengagungan atau
penghormatan kepada rahasia itu.”
Sayyidina al-Imam Idrus bin Umar pernah ditanya tentang
doa yang buruk dari Sayyidina Sa’ad bin Abi Waqqash kepada
orang yang membicarakan dan menyerang kehormatannya,
padahal kita diperintahkan untuk memberi maaf dan tidak
membalas. Al-Imam Idrus bin Umar menjawab bahwa hal itu
bukanlah masalah kelebihan memberi maaf dibandingkan
dengan melakukan pembalasan. Karena balasan Sayyidina Sa’ad
bukanlah sekali-kali untuk dirinya, melainkan beliau melakukan
itu sebagai pembalasan bagi kehormatan para sahabat agar tidak
dinodai.

132
Demikian pula setiap pembalasan yang muncul dari seseorang
yang mempunyai kedudukan tertentu dalam agama, baik para
sahabat maupun orang-orang lainnya, yang jika tidak dibalas
justru akan membawa kepada pelecehan dan penodaan terhadap
agama. Hal ini merupakan penjagaan terhadap agama Islam,
bukan pembalasan untuk diri sendiri. Demikian keterangan yang
diringkas dari kitab an-Nahr al-Maurûd.

Balasan bagi Orang yang Ingkar


kepada Ulama dan Orang Saleh
Para ulama mengatakan bahwa sesungguhnya mencela para
ahli ilmu, misalnya dengan melakukan ghîbah (menggunjing)
atau namîmah (mengadu domba) terhadap mereka, termasuk
dosa besar. Pelakunya fasiq dan tertolak kesaksiannya. Para
penguasa harus serius menindaknya agar hal itu tidak menjadi
pintu masuk kepada penghinaan terhadap ulama. Yang demikian
jika dia tidak memandang halal sikap menyakiti dan menghina
mereka, padahal dia mengetahuinya. Jika tidak demikian (yakni,
menganggap halal), maka dia adalah seorang yang murtad dan
harus dibunuh karena kemurtadannya apabila tidak bertobat.
Pernah terjadi seseorang mencela ulama, lalu dia mendapatkan
sû-ul-khâtimah. Kita berlindung kepada Allah dari hal demikian.
Sayyidina Abdulqâdir al-Jailaniy178 mengatakan,
“Barangsiapa merusak kehormatan seorang wali, maka Allah
akan memberikan bala kepadanya berupa matinya hati.” Abu
al-’Abbas al-Mursi179 mengatakan, “Kami telah menyelidiki hal
ihwal masyarakat. Kami tidak pernah melihat seseorang yang
mencela mereka (para wali) lalu mati dalam kebaikan.”
Abu Abdillah al-Qurasyi180 berkata, “Barangsiapa membuat
marah seorang wali, dalam hatinya akan ditancapkan panah
yang berbisa, dan dia tidak akan mati sampai rusak akidahnya,
sehingga dia mati dalam keadaan yang paling buruk.”

133
Di antara perkataan al-’arif billah asy-Syaikh Husain bin Abdullah
Bafadhal181 adalah sebagai berikut, “Tidak akan mencela para wali
kecuali orang yang mati hatinya, kurang akalnya, sombong, senang
dengan kekurangan dirinya, dungu, bodoh, tertipu, kaku, beku, suka
melakukan bid`ah, buta mata hatinya, tersesat, dibenci oleh Allah dan
manusia, tidak diterima dan tidak dipedulikan ucapannya, dan akan
keluar dari dunia dalam keadaan tidak beragama Islam, serta diberikan
harta yang sedikit dan kemiskinan di dunia. Padahal, “Dan sungguh
azab akhirat itu lebih pedih dan lebih abadi.” Dia juga tidak memiliki
sifat wara’, tidak memiliki ketakwaan, bahkan tidak memiliki Islam
dan iman, meskipun secara lahiriah dia mengenakan sedikit darinya.
Sesungguhnya dia kosong dari semua itu, karena tidak ada bagian lagi
baginya. Demikian dikutip oleh Habib Ali bin Hasan al-Attas dalam
kitab al-Qirthâs.
Diriwayatkan bahwa Syaikh Abdulqâdir al-Jailaniy, Ibnu as-
Saqqa, dan seseorang yang lain, masuk ke tempat seorang wali yang
disebut al-Ghauts dengan niat mengunjunginya. Syaikh Abdulqâdir
al-Jailaniy meminta keberkahannya. Lalu al-Ghauts berkata
kepadanya, “Wahai Abdulqâdir, tampaknya di suatu hari aku pernah
bersamamu dan engkau mengatakan di atas kursi, ‘Telapak kakiku
ini berada di leher setiap wali Allah.’ Maka semua wali menundukkan
leher mereka untukmu di semua tempat.’”
Adapun Ibnu as-Saqqa melakukan penentangan kepada wali
tersebut, dan dia termasuk ulama besar. Lalu wali itu berkata kepadanya,
“Diamlah engkau, sesungguhnya aku mendapati dalam ucapanmu
terdapat bau kekufuran. Mungkin engkau akan mati dalam keadaan
tidak menganut Islam.” Ternyata kabar yang didengar kemudian adalah,
suatu ketika dia pergi sebagai utusan antara kaum Muslimin dan kaum
Nasrani, dia tergoda dan masuk agama Nasrani. Setelah itu dia ditanya,
“Apakah engkau masih ingat sesuatu dari Al-Qur’an?” Dia menjawab,
“Aku tidak ingat kecuali firman Allah,

134
‘Katakanlah, Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu
sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni
neraka.’”
(QS. az-Zumar: 8)

Demikian disebutkan oleh Habib Ali bin Hasan al-Attas dalam


al-Qirthâs.
Diriwayatkan dari Abu Yazid al-Busthami182 bahwa ia pernah
berkata tentang salah seorang muridnya yang menentangnya,
“Biarkanlah orang yang jatuh dari pandangan Allah.” Ternyata
setelah itu dia bermimpi mencuri lalu dipotong tangannya.

Peringatan
Ibnu `Athaillah mengatakan bahwa seandainya ada yang
mengatakan, “Terkadang ada orang yang menyakiti seorang
wali tetapi tidak ada tanda-tanda pembalasan terhadapnya.”
Maka saya katakan, “Dia diberi hukuman yang lebih berat
yang tidak diperlihatkan kepadanya. Hukumannya berupa
kekerasan hati, kebekuan pandangan, penyimpangan
dari ketaatan, jatuh dalam maksiat, atau dicabut kelezatan berbakti
kepada-Nya. Jadi, tidak mesti hukumannya disegerakan karena dunia
ini singkat saja di sisi Allah. Di dalam hadits masyhur dikatakan, ‘Apabila
Allah menghendaki keburukan pada seorang hamba, maka ditahan
siksanya di dunia sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dengan
dosa-dosanya.’”183
Sayyidina Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan, “Barangsiapa
menentang seseorang yang memiliki kebaikan, dan penentangannya
itu karena alasan syariat yang bercampur dengan kepentingan dirinya,
seperti menghendaki orang itu mengalami kekurangan atau ingin
menghapuskan martabatnya di antara manusia, maka dia akan binasa.
Kecuali bila penentangannya benar-benar karena syariat, yang lahir dan
batinnya sama, maka akan selamat dari orang yang ditentangnya. Jika

135
tidak, dia pasti binasa. Disebutkan bahwa Ibnu al-Muqri184 bukanlah
selamat dari Ismail bin Ibrahim al-Jabarti185 melainkan karena dia tidak
memiliki kepentingan lain dalam menentangnya, melainkan semata-
mata karena syariat.” Demikian keterangan dalam kitab Tatsbît al-Fuâd.

Peringatan:
Asy-Syaikh Abu al-Hasan asy-Syâdzili ra. berkata,
“Barangsiapa mengaku-aku memiliki kedudukan bersama
Allah, padahal tampak darinya salah satu dari lima hal,
maka dia adalah pendusta dan dicabut kedudukannya.
Yaitu; menjulurkan anggota badan dalam maksiat kepada
Allah, berpura-pura dalam ketaatan kepada Allah, tamak
terhadap makhluk Allah, memusuhi orang-orang yang dekat kepada
Allah, dan tidak menghormati orang Islam sesuai dengan yang
diperintahkan Allah. Dan kemungkinan kecil dia akan wafat dalam
keadaan Islam.” Dikutip oleh al-Imam al-Haddad dalam surat-menyurat
beliau.

Tentang Ucapan “Pasrah” pada Para Wali


Sayyidina al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi mengatakan,
“Tersembunyinya seorang wali dan tidak diketahuinya oleh
manusia merupakan rahmat bagi mereka. Karena, apabila mereka
mengenalnya dan beradab buruk terhadapnya serta menyakitinya
padahal mereka tahu bahwa dia seorang wali, maka mereka akan
binasa dan hancur. Apabila hal itu terjadi karena ketidaktahuannya
maka perkaranya lebih ringan dibanding jika mengetahuinya.”
Demikian keterangan dalam kitab Qurrah al-‘Ain.
Al-Imam Abdullah bin As‘ad al-Yafi‘i186 mengatakan, “Banyak
di antara kelompok ini yang seolah menggabungkan antara
kerinduan dan pelanggaran terhadap syariat secara lahiriah, dengan
pelanggaran yang jelas yang menjatuhkan mereka dari pandangan
manusia. Mereka melakukan itu untuk bersembunyi dari popularitas
kebaikannya. Mereka ini orang-orang yang mengikuti sebuah

136
aliran yang terkenal, di mana mereka menyembunyikan kebaikan-
kebaikan dan menunjukkan keburukan-keburukan. Di antara
mereka ada yang membuka aibnya di antara manusia, ada pula yang
terlihat tidak melakukan shalat, padahal mereka melakukan shalat
dan bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Tuhan. Mereka
serius dalam menghilangkan pandangan makhluk dan menjatuhkan
mereka dari hatinya. Mereka tidak peduli dengan pujian dan celaan,
karena ingin mendapatkan kesempurnaan keikhlasan dan ingin
menghilangkan dari jiwa mereka perbuatan syirik yang tersembunyi,
di mana hanya orang yang sangat khusus yang diselamatkan darinya.
Mereka tidak peduli disebut sebagai seorang zindiq asalkan di sisi
Allah mereka seorang shiddiq. Mereka telah menyapu sampah di
jiwa mereka agar hidup bersama Tuhannya dengan hidup yang baik
sebelum datangnya hari pembalasan….hingga beliau mengatakan,
“Kami mendapati riwayat bahwa sebagian dari mereka tidak pernah
terlihat melakukan shalat. Pada suatu hari ketika shalat akan didirikan,
dia masih duduk. Lalu seorang faqih memperingatkannya, ‘Bangun,
shalatlah berjemaah.’ Maka orang itu pun bangun dan melakukan
takbiratul ihram bersama mereka. Dia mengerjakan rakaat pertama
dan faqih yang menyalahkannya melihatnya. Ketika dia bangkit
mengerjakan rakaat yang kedua, faqih itu memandang ke tempat laki-
laki tersebut. Ternyata dia melihat orang lain shalat di tempatnya. Maka
dia pun menjadi heran. Pada rakaat yang ketiga dia melihat orang lain
lagi, sehingga bertambah keheranannya. Demikian pula yang dia lihat
pada rakaat yang keempat. Maka semakin bertambah keheranannya.
Setelah mengucapkan salam dan berpaling, si faqih melihat orang yang
pertama tadi ternyata duduk di tempatnya semula dan tidak melihat
salah satu dari ketiga orang yang dilihat sebelumnya. Dia pun menjadi
bingung dengan apa yang dilihatnya. Kemudian orang itu berkata
sambil tertawa, ‘Hai faqih, yang mana di antara keempat orang itu yang
shalat bersamamu?’ Maka si faqih pun mengakui karamahnya dan tidak
lagi menentangnya.”

137
Dalam kitab Tastbît al-Fuâd disebutkan bahwa Sayyidina al-
Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan, “Suatu ketika
di dekat Syaikh Abdullah al-‘Aydarus duduk seorang laki-laki yang
menggosok-gosok kakinya sampai masuk waktu shalat. Kemudian
orang itu berkata kepada syaikh, ‘Shalatlah.’ Beliau menjawab, ‘Aku
sudah shalat.’ Kemudian orang itu keluar lalu melihat jemaah yang
keluar dari Masjid Syaikh Abubakar187 setelah menunaikan shalat.
Dia bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang shalat bersama kalian
(yang mengimami kalian)?’ Mereka menjawab, ‘Yang shalat bersama
kami adalah Syaikh Abdullah.’”
Sayyidina al-Haddad mengatakan, “Kejadian ini dan yang
semacamnya harus diterima dalam kaitan dengan para wali Allah
dan mereka tidak boleh ditentang dalam hal itu, karena akal orang
yang menentang tidak dapat memahami keadaan mereka.”
Al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas menyebutkan bahwa
seorang wali Allah dituduh tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Lalu
ada orang yang ingin mengetahuinya. Dia pun mendatanginya ketika
telah muncul hilal bulan Ramadhan dan memintanya agar diizinkan
berada di tempatnya sampai selesai bulan Ramadhan. Wali itu pun
memenuhi permintaannya dan memberikan syarat agar mau ikut
dalam khalwatnya berdua saja. Maka keduanya pun berpuasa pada
awal bulan Ramadhan. Ketika ditembakkan senjata tanda berbuka,
keduanya pun berbuka. Kemudian pada hari kedua mereka kembali
berpuasa, dan ketika ditembakkan senjata tanda berbuka keduanya
pun berbuka. Demikianlah hingga tiga puluh hari, mereka berdua
berpuasa setiap hari hingga masuk bulan Syawal dan ditembakkan
senjata tanda hari Ied telah tiba. Maka berkatalah orang itu kepada
syaikh, “Sekarang Ramadhan telah selesai. Aku ingin pergi.” Syaikh
itu pun mengizinkannya, lalu pergilah laki-laki tersebut dari tempat
Syaikh.
Dalam perjalanan, setiap bertemu dengan seseorang, dia
mendahului mengucapkan selamat hari raya. Maka orang-orang
berkata kepadanya, “Apakah engkau mengejek kami ataukah

138
engkau sudah gila? Bagaimana engkau mengucapkan selamat
hari raya, sedangkan kita baru berada di malam pertama bulan
Ramadhan?” Dia menjawab, “Bagaimana mungkin demikian,
sedangkan aku telah berpuasa Ramadhan sebulan penuh?” Lalu
pulanglah dia dengan mencela dirinya sendiri dan membenarkan
kewalian syaikh itu.
Al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi mengatakan bahwa
Syaikh Ahmad bin Hajar al-Makki pernah hadir di tempat
Sayyid Abdullah bin Muhammad, tokoh Syubaikah.188 Lalu
beliau memerintahkan agar dihadirkan seseorang untuk
melantunkan lagu-lagu di hadapan Syaikh Ibnu Hajar. Mereka
pun mendatangkannya. Kemudian Syaikh Ibnu Hajar pun
bertepuk tangan, demikian pula semua yang hadir. Ketika
Syaikh keluar, dia ditanya, “Mengapa engkau melakukannya,
padahal engkau menentang nyanyian?” Beliau menjawab,
“Aku melihat barang-barang yang ada bertepuk, maka aku
pun bertepuk tangan bersamanya. Pada orang seperti mereka,
nyanyian itu halal.” Demikian keterangan dalam kitab an-Nahr
al-Maurûd.
Dan lebih-lebih ketika asy-Syaikh Ibn Hajar menulis
kitabnya yang berjudul, Kaffa ar-Ra‘â’ ‘An Muharramât al-Lahwi
wa as-Samâ’, sebagian ulama mengambil kesimpulan dari kata
ar-Ra‘â’ (orang awam), bahwa bagi orang-orang ‘arif (mencapai
hakikat makrifat) tidak boleh kita menghukumnya walaupun
mereka mendengarkan. Maka asy-Syaikh Ibn Hajar menjawabnya
melalui tulisan, “Itu adalah kesimpulan yang baik dan diterima,
karena barangsiapa berhias dengan hakikat makrifat maka dia
telah mencapai kedudukan mujtahid, dan tidak boleh diingkari.
Semua itu karena mereka sama sekali tidak mendengar dengan
syahwat yang mengajak kepada hal yang tercela, namun beda
dengan selain mereka.” Imam Ahmad bin Zain Al-Habsyi juga
mengatakan demikian dalam Maslak as-Sawiy.

139
       
         
   
  
             
   
 
           
Maka Saya (penulis) mengatakan bahwa tidak ada jalan  
          
     
lain bagi seseorang kecuali menerima para wali Allah dan tidak
  
 menentang
  
  mereka.
      hal-hal
Mentakwilkan  pelik
  (yang  
sulit
  diterima
   akal)
yang    dari mereka,
muncul dan
mengembalikannya
     
kepada ahli dan orang yang mengetahuinya, karena akal kita

tidak dapat memahami keadaan mereka.


   
       
            
Dan terimalah para ahli Allah dalam segala hal yang pelik bagimu 
Yang bagi mereka telah jelas dengan dalil yang ada

Sayyidina Abdullah al-Haddad mengatakan, “Barangsiapa


yang ragu karena peliknya perkataan para muhaqqiq, tidak
sepatutnya terburu-buru mengingkari, melainkan biarkan saja
mereka. Anggaplah semua itu seperti hal-hal yang mutasyâbihât
(yang tersirat) dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah. Dan
biarkan saja seperti itu hingga orang membutuhkannya, baik
dengan menerima atau mentakwilkannya.”
Beliau juga mengatakan bahwa setiap perkataan para ulama
besar yang lahiriahnya seperti membual, misalnya ucapan Syaikh
Abu al-Hasan asy-Syadzili, “Sejak empat puluh tahun aku tidak
pernah terhijab dari Allah,” atau ucapan Abu al-‘Abbas al-Mursi,
“Seandainya aku terhijab dari surga ‘Adn sesaat saja, aku tidak
menghitung diriku termasuk orang-orang mukmin,” semuanya
harus ditakwil dan tidak bisa dipahami begitu saja menurut
lahiriahnya. Demikian keterangan dalam kitab Tatsbît al-Fuâd.
Al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi meriwayatkan dari
gurunya, Sayyidina al-Habib Abdullah al-Husain bin Thâhir,
yang mengatakan, “Sesungguhnya seorang wali jika berbicara,
sedangkan dia dalam keadaan tidak hadir dalam segala sesuatu
kecuali Tuhannya, atau dalam keadaan fana dengan pembicaraan
yang tidak dapat diterima akal, hendaknya kita jangan terburu-
buru menentang dan mencelanya. Melainkan melihat terlebih

140
dahulu orang yang mengucapkannya, apakah kewalian dan
kesalehannya dapat dipastikan atau tidak? Apabila kewaliannya
telah pasti, dilihat apakah ucapan itu dapat dipastikan berasal
dari dia? Jika benar ucapan itu berasal darinya, maka jika sesuai
dengan syariat, ambillah. Jika tidak, hendaknya orang-orang yang
memiliki ilmu lahir dan batin diminta untuk mentakwilkannya,
dengan pengertian yang dapat diterima oleh akal dan syara’.”
Al-Imam asy-Sya’rani mengatakan, “Mungkin seorang ‘arif
billah berbicara dengan lisan Allah, mungkin berbicara dengan
lisan Rasulullah, mungkin pula berbicara dengan lisan pemimpin
para wali (quthub), lalu sebagian orang menyangka bahwa dia
berbicara dengan lisannya sehingga segera menentangnya.”

Catatan Akhir
170. Imam, wali besar, mursyid, dan seorang yang ‘arifbillah, Tâjuddîn
Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karîm bin ‘Athâillah al-Iskandarî asy-
Syâdzili (wafat 709 H), khalifah Abu al-’Abbâs al-Mursi dan pengarang
kitab al-Hikam yang sangat terkenal. Adz-Dzahabi mengatakan, “Dia
memiliki kebesaran yang mengagumkan, berpengaruh dalam jiwa,
dan berpartisipasi dalam berbagai keutamaan.....Dia berbicara dengan
perkataan yang menyenangkan hati, dan menggabungkan ucapan
masyarakat dengan atsar para pendahulu dan berbagai disiplin ilmu.”
171. Yaitu kitab Lathâif al-Minan yang berisikan manaqib asy-Syaikh Abi
al-’Abbas al-Mursi dan gurunya, Abu al-Hasan asy-Syâdzili.
172. Imam, panutan, dan wali, Syaikh ath-Thâifah Abu Turâb ’Askar bin
al-Hushain an-Nakhsyabiy (wafat 245 H). Beliau menulis ilmu dan
mendalaminya, tetapi kemudian lebih banyak beribadah. Gurunya
adalah Hâtim al-Asham. Ibnu al-Jallâ‘ mengatakan, “Aku bersahabat
dengan dua ribu orang syaikh, tidak pernah aku bertemu dengan yang
seperti Abu Turâb.” Di antara ucapannya ketika ditanya tentang sifat

141
seorang yang arif adalah, “Orang yang tidak dikotori oleh sesuatu,
bahkan segala sesuatu menjadi jernih dengannya.”
173. Di-takhrij-kan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya (6502) dari hadits
Abu Hurairah.
174. Al-Imam al-Quthb al-Ghauts Abu al-’Abbas Ahmad bin Idrîs asy-
Syarîf al-Idrîsi al-Hasani (wafat 1253 H). Lahir di ‘Arâisy dekat Fez.
Beliau bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu hingga menjadi
imam dalam ilmu-ilmu lahir. Kemudian mengikuti thariqah asy-
Syadziliyah dan dibukakan pintu-pintu anugerah. Beliau pernah
melakukan perjalanan ke Mesir, Hijaz, dan Yaman. Di negeri Yaman
pula beliau wafat, yaitu di Shabyâ. Tokoh-tokoh besar di masanya yang
menuntut ilmu darinya, misalnya as-Sanûsî, Zhâfir al-Madani, Utsman
al-Mîrghanî, ’Abid as-Sindî, dan sebagainya. Kemudian thariqahnya
tersebar. Beliau memiliki popularitas yang besar dalam ilmu dan
kewalian.
175. Kami tidak menemukannya dalam sumber-sumber yang ada pada
kami. Mungkin ia termasuk atsar yang tidak marfu‘.
176. Di-takhrij-kan oleh Ibnu Mâjah (3989 H) dari hadits Umar bin al-
Khaththab ra. dengan lafal, “…. Barangsiapa memusuhi seorang wali
Allah berarti dia menantang Allah berperang.”
177. Di-takhrij-kan oleh Ahmad dalam Musnad-Nya (6: 256) dari hadits
Sayyidah Aisyah dengan lafal, “Barangsiapa menyakiti seorang wali-Ku
berarti dia menganggap halal berperang denganku.”
178. Quthub yang paling terkenal, pemuka para wali, asy-Syaikh Abu
Muhammad Abdulqâdir bin Abu Shâlih al-Jailani al-Hanbali al-
Baghdâdi (471-561 H), wali yang kemasyhurannya dikenal di mana-
mana. Sulthan al-’Ulama (Pemimpin para ulama), Al-’Izz bin Abdus
Salâm mengatakan, “Tidak ada orang yang karamah-karamahnya
dikutip dengan mutawatir selain Syaikh Abdul Qâdir.”
179. Wali besar, Sayyidi Abu al-’Abbas Ahmad bin Umar al-Mursi (wafat
686 H), yang mewarisi ilmu-ilmu Abu al-Hasan asy-Syadzili dan
salah seorang wali terkemuka. Secara khusus riwayatnya disusun oleh
muridnya, Ibnu ’Athâillah as-Sakandari dalam kitabnya, Lathâif al-
Minan yang telah disebutkan sebelumnya. Makamnya di Iskandaria
terkenal dan menjadi tujuan para peziarah.
180. Seorang wali yang zuhud dan panutan, Abu Abdillah Muhammad
bin Ahmad bin Ibrahim al-Qurasyi al-Hâsyimi al-Andalusi (wafat

142
599 H). Beliau seorang yang memiliki karamah dan ahwal. Sejumlah
orang saleh bersahabat dengannya. Beliau juga memiliki kebesaran dan
kemasyhuran yang mengagumkan. Selama beberapa waktu pernah
tinggal di Mesir, kemudian berdiam di al-Quds dan wafat di sana.
181. Termasuk ulama ’arifin, hidup di Tarim dan wafat di sana pula tahun
979 H. Beliau pengarang kitab al-Fushûl al-Fathiyyah dalam ilmu
tasawuf. Kitab ini masih berupa tulisan tangan, terdapat di sebuah
perpustakaan di Tarim, Hadramaut.
182. Seorang panutan, zuhud, pemimpin para ‘arifbillah, Abu Yazîd Thayfur
bin Isa al-Bisthâmiy (188-261 H). Beliau seorang yang memiliki
kedudukan tinggi dan keadaan yang agung. Asalnya dari Bisthâm,
sebuah negeri yang terletak di antara Khurasan dan Irak, dan wafat
di sana pula. Di antara ucapannya adalah, “Selama seorang hamba
menyangka bahwa di antara manusia ada yang lebih buruk dibanding
dirinya, maka dia seorang yang takabur.”
183. Di-takhrij-kan oleh at-Tirmidzî (2396), al-Hâkim (4: 608), dan
lain-lain, dari hadits Anas. Redaksinya, “Apabila Allah menghendaki
kebaikan pada hamba-Nya, maka Dia segerakan hukuman baginya di
dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya,
maka Dia tahan hukuman atas dosanya sampai diberikannya di hari
Kiamat.”
184. Imam yang menonjol, faqih, ‘allamah, sastrawan, seorang yang alim dari
negeri Yaman, Syarafuddîn Ismail bin Abu Bakar yang dikenal dengan
sebutan Ibn al-Muqri (765-837 H), namanya terkenal di berbagai
negeri. Beliau memiliki keunggulan yang tak ada bandingnya dalam
kecerdasan dan pemahaman. Di antara karangan-karangannya adalah
kitab ar-Raudh ringkasan ar-Raudhah dan syarahnya, Irsyâd al-Ghâwi
ringkasan al-Hâwi dan syarahnya, dan kitabnya yang mengagumkan
‘Unwân asy-Syaraf al-Wâfi, dan lain-lain.
185. Seorang wali ‘arifbillah asy-Syaikh Ismail bin Ibrahim al-Jabarti az-
Zabîdi (772-806 H). Di negeri Yaman beliau memiliki nama harum
dan kebesaran. Beliau mengikuti pandangan asy-Syaikh Muhyiddîn
Ibnu al-‘Arabi dan mendukungnya. Karena itu, beliau ditentang oleh
asy-Syaraf Ibn al-Muqri.
186. Imam ‘allamah, panutan, ‘arifbillah, Abu Muhammad Afifuddîn
Abdullah bin As‘ad al-Yâfi’i al-Yamani al-Makki, dimakamkan di
pemakaman Ma’la, Makkah al-Mukarramah (wafat 769 H). al-Hâfizh

143
as-Sakhawi mengatakan, “Beliau termasuk seorang yang memiliki
ilmu lahir dan batin, amal, ahwal, dan keikhlasan. Beliau seorang yang
memiliki karamah-karamah yang nyata dan mukâsyafah yang jelas.”
Demikian keterangan dalam kitab Wajîz al-Kalâm (1: 156).
187. Asy-Syaikh Abu Bakar as-Sakran, ayah al-Imam Abdullah al-‘Aydarus
yang dikisahkan itu. Masjid tersebut masih berdiri dan dikenal dengan
namanya sampai sekarang.
188. Tokoh asy-Syubaikah kedua, as-Sayyid asy-Syarîf Abdullah bin
Muhammad bin Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad al-’Alawi
al-Husaini at-Tarimi al-Makki. Beliau dilahirkan di Tarim pada awal-
awal abad ke-10 H. Tumbuh besar di sana dan hafal Al-Qur’an, juga
kitab al-Irsyâd dan sebagian dari al-Minhâj. Beliau selalu menyertai
ayahandanya dan menyelesaikan pelajaran padanya. Kemudian
melakukan perjalanan ke Makkah tahun 918 H. Dalam perjalanannya,
beliau memasuki ’Adan dan di sana mengambil ilmu dari sejumlah
tokohnya. Lalu menetap di Makkah dan mengambil ilmu dari Ibnu
’Arâq, Abu al-Hasan al-Bakri, Ali al-Muttaqi al-Hindi, an-Nasyili, dan
lain-lain. Beliau diberi ijazah oleh mereka dan as-Sayyid al-’Allamah
Muhammad Ali Khird. Wafat di Makkah tahun 974 H setelah
reputasinya terkenal. Pada tahun itu, wafat pula Syaikh Ibnu Hajar
al-Haitsami dan Sulthan Sâlim al-Utsmani. Sehingga, dikatakan orang
bahwa pada tahun itu telah wafat Sulthan Thariqah, Sulthan Syariah,
dan Sulthan Khaliqah. Demikian disebutkan dalam al-Masyra’ (2: 429
dan seterusnya).

144
Bab 5
Adab Seorang
Adab Seorang
ALIM DAN
PENDIDIK
‘Sesungguhnya seorang alim itu
tidak suka berselisih atau menghasut.
Dia selalu menyebarkan hikmah Allah.
Bila diterima dia bertahmid kepada Allah,
dan ketika ditolak tetap bertahmid.”
Mukadimah
Tentang Kedudukan Adab

Merupakan dalil dan menunjukkan pentingnya adab adalah sabda


Rasulullah Saw., “Tuhanku mengajarkan adab kepadaku, maka
betapa baiknya pengajaran adabku.”
Disebutkan dalam sebuah syair,
     
     
 
       
Jadilah engkau anak siapa pun, lalu beradablah 
  Maka
   
terpujinya
   (adab)   mencukupimu
  akan        nasab
dari 
  Sesungguhnya
 pemuda   yang
 adalah berkata,
  aku”
“Inilah  
Dan bukanlah pemuda yang mengucapkan, “Dulu ayahku”
            
     
 Ibn
 al-Mubârak
   189
  mengatakan,
    “Adab
walaupun
    sedikit
lebih kami butuhkan daripada ilmu yang banyak.” Beliau juga 
mengatakan,   “Barangsiapa
  meremehkan
      niscaya
adab,    
   dihukum
 
dengan diharamkan dari hal-hal yang sunnah. Barangsiapa
meremehkan    sunnah,
    niscaya
    dihukum
   dengan
  diharamkan
  dari
hal-hal yang wajib. Dan barangsiapa yang meremehkan hal-hal yang 
wajib,
  niscaya
   dihukum
    dengan
  diharamkan
  memiliki
 makrifah.”
 
             
 

 
  
      
Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq190 mengatakan, “Meninggalkan
adab menyebabkan seseorang terusir. Maka barangsiapa beradab
buruk di atas lantai, niscaya akan terusir hingga ke pintu; dan
barangsiapa beradab buruk di pintu, niscaya akan terusir hingga
ke punggung hewan tunggangan.” Hal itu disebutkan dalam
Nasyr al-Mahâsin. Seorang ulama berkata kepada anaknya, “Wahai
anakku, sungguh aku lebih menyukai engkau mempelajari satu bab
mengenai adab daripada mempelajari tujuh puluh bab mengenai
ilmu.”
Imam Syafi’i mengatakan, “Imam Malik berkata kepadaku,
‘Wahai Muhammad, jadikanlah ilmumu bagus dan adabmu
halus.’” Abdurrahman bin al-Qâsim191 mengatakan, “Aku
mengabdi kepada Imam Malik selama 20 tahun, 2 tahun
di antaranya untuk mempelajari ilmu dan 18 tahun untuk
mempelajari adab. Andai saja seluruh waktu aku gunakan untuk
mempelajari adab.”
Ada yang mengatakan, “Apabila dalam diri seorang pengajar
tergabung tiga hal, sempurnalah nikmat yang dirasakan oleh
pelajar: kesabaran, tawadhu’, dan akhlak yang baik. Dan apabila
dalam diri seorang pelajar tergabung tiga hal, niscaya akan
sempurnalah nikmat yang dirasakan oleh pengajar: akal, adab,
dan pemahaman yang baik.” Demikian dikutip dari kitab al-Ihya.
Dikisahkan dari Abu Yazid al-Busthâmi bahwa beliau
bermaksud mengunjungi seorang laki-laki yang dikenal
kebaikannya. Maka beliau menunggu orang tersebut di sebuah
masjid. Lalu orang tersebut keluar, kemudian meludah di masjid,
yakni di dinding sebelah luar masjid. Maka beliau pulang dan
tidak jadi bertemu dengannya. Beliau mengatakan, “Seseorang
yang tidak dapat memelihara adab syariat, tidak dapat dipercaya
menjaga rahasia Allah.”

150
Catatan Akhir
189. Al-Imam al-Hâfizh, seorang pejuang, panutan, guru besar Islam, ulama
di zamannya, dan seorang pemimpin, Abu Abdurrahman Abdullah bin
al-Mubârak al-Hanzhaliy (118-181 H). Al-Abbas bin Mush‘ab berkata,
“Abdullah mencakup hadits, fiqih, bahasa Arab, sejarah, keberanian,
kedermawanan, perdagangan, dan cinta ketika berpisah.”
190. Al-Ustadz Abu Ali al-Hasan bin Ali ad-Daqqâq (wafat 405 H). Beliau
adalah guru al-Imam Abu al-Qâsim al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah.
Beliau menuntut ilmu, menguasai bahasa Arab, dan ilmu ushul, serta
mahir dalam fiqih. Kemudian beliau menempuh thariqah tasawuf, lalu
menjadi orang besar di zamannya.
191. Sang imam, panutan, ahli fiqih di Mesir, Abu Abdurrahman bin al-
Qâsim bin Khâlid al-‘Utaqiy al-Mishriy (128-191 H). Beliau adalah
pewaris ilmu al-Imam Mâlik dan penggantinya.

151
1
Adab Seorang Alim

Sayyidina Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan, “Barangsiapa


yang memerhatikan keadaan dan diamnya para sahabat dalam
perkara-perkara yang tidak penting, maka ia mengetahui adab para
tokoh, adab ilmu, dan adab para imam. Ia juga mengetahui ilmu yang
semestinya diperbanyak dan ilmu yang cukup diketahui sedikit saja,
ilmu yang harus ditampakkan dan ilmu yang harus disembunyikan.
Perhatikanlah bagaimana mereka tidak bertanya kepada Rasulullah
tentang seseorang yang sangat putih pakaiannya. Siapa dia, dan dari
mana datangnya, hingga Rasulullah sendiri mengisahkannya kepada
Umar beberapa saat setelah itu. Dari kejadian itu, dapat diketahui
bahwa meminta kabar tentang suatu hal sebelum waktunya adalah
terlarang. Dan bila telah datang waktunya, akan dikabarkan tanpa
harus ditanya. Dan bagaimana para sahabat tidak bertanya tentang
perempuan yang meminta agar diberlakukan had zina terhadapnya.
Dan tentang laki-laki yang menggaulinya. Juga, apakah perbuatan
itu terjadi dengan kemarahan atau kerelaannya? Dan pertanyaan-
pertanyaan semacamnya.” Demikian dikutip dari kitab Tatsbît al-
Fuâd.
Beliau juga mengatakan, “Seorang alim tidak akan
mendapatkan kelezatan ilmu sampai ia dapat mendidik diri dan
akhlaknya, berpegang teguh dengan Kitabullah dan sunnah, dan
melempar kepemimpinan ke bawah telapak kakinya.”

Inshâf
Di antara adab orang alim adalah inshâf (menyadari kebenaran
dan keadilan). Al-Imam Ibnu ’Abdil-Bar192 mengatakan, “Di
antara keberkahan dan adab ilmu adalah inshâf.” Imam Malik
mengatakan, “Tidak ada di zaman kita yang lebih sedikit daripada
inshâf.” Ad-Damiri193 mengatakan, “Ini terjadi di zaman Imam
Malik. Lalu bagaimana di masa sesudahnya di mana banyak
orang binasa?”
Di antara contoh inshâf adalah seorang perempuan pernah
menentang Umar ra. dan mengingatkannya tentang kebenaran,
ketika Umar sedang berkhuthbah di hadapan banyak orang.
Lalu beliau berkata, “Perempuan benar dan laki-laki bersalah.”
(maksudnya, perempuan yang mengingatkannya itu benar dan beliau
sendiri salah). Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Ali krw., lalu
beliau memberikan jawaban. Kemudian laki-laki itu berkata. “Tidak
begitu wahai Amirul Mu’minin, melainkan begini dan begini.” Maka
berkatalah Ali ra, “Engkau benar dan aku salah.” Demikian al-Ghazali
menyebutkan dalam kitab al-Ihya.

Mengatakan, “Aku tidak tahu”, atau “Wallahu A’lam”


Di antara adab seorang alim adalah mengatakan “Aku tidak tahu”
atau “Wallahu a’lam” (Allah lebih mengetahui) apabila ditanya
tentang sesuatu yang tidak diketahuinya. Diriwayatkan dalam
atsar dari Ibnu Umar, yang mengatakan, “Ilmu itu ada tiga: kitab
yang menuturkan, sunnah yang berlaku, dan ucapan ‘Aku tidak
tahu.’”194 Al-Imam Muhyiddin an-Nawawi mengatakan, “Di

153
antara ilmu seorang alim, ketika tidak mengetahui suatu hal,
adalah mengatakan ‘Aku tidak tahu’ atau ‘Wallahu a’lam’.”
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Wahai manusia, bila mengetahui
sesuatu, katakanlah (jelaskanlah), dan bila tidak mengetahui,
ucapkanlah, ‘Wallahu a’lam.’ Karena, mengatakan, ‘Wallahu
a’lam’, tentang sesuatu yang tidak diketahuinya, adalah termasuk
ilmu.” Allah berfirman kepada Nabi-Nya,

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Aku tidak meminta


upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku dan bukanlah
aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.’”
(QS. Shaad: 86) 195

Imam an-Nawawi mengatakan, “Ketahuilah bahwa


keyakinan para muhaqqiq tentang ucapan seorang alim,
‘Aku tidak tahu,’ tidak menurunkan kedudukannya, tetapi
menunjukkan keagungan tempatnya, ketakwaannya, dan
kesempurnaan makrifatnya. Karena, seorang pakar tidak akan
terganggu oleh ketidaktahuannya tentang beberapa masalah.
Bahkan ucapan, ‘Aku tidak tahu’ dapat dijadikan petunjuk
atas ketakwaannya dan bahwa ia tidak sembarangan dalam
memberikan fatwa.” Demikian keterangan dari mukadimah
kitab Syarh al-Muhadzdzab.196
Amirul Mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib krw.
mengatakan, “Alangkah sejuk hatiku,” yang diulang hingga
tiga kali. Orang-orang bertanya, “Apa itu, wahai Amirul
Mukminin?” Beliau menjawab, “Seseorang ditanya tentang
sesuatu yang ia tidak ketahui, lalu ia menjawab, ‘Allah lebih
mengetahui.’”
Ibnu Abbas mengatakan, “Perisai orang alim adalah
ucapan, ‘Aku tidak tahu.’” Pembahasan yang luas di atas
terjadi pada para sahabat besar dan tabi’in, maka terlebih lagi
terhadap orang-orang selain mereka.

154
Berhati-hati Memberikan Fatwa
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Laila,197 “Aku telah
berjumpa dengan 120 sahabat Rasulullah. Apabila salah seorang
di antara mereka ditanya tentang suatu masalah, maka ia
mengembalikannya kepada yang lain, begitulah sampai kembali
lagi kepada yang pertama.” Dalam sebuah riwayat dikatakan,
“Tidaklah seseorang menyampaikan sebuah hadits melainkan
ia ingin agar saudaranya mencegahnya, dan tidaklah diminta
untuk memberikan fatwa tentang sesuatu melainkan ingin agar
saudaranya mencegahnya memberi fatwa.”
Dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas disebutkan, “Barangsiapa
memberi fatwa tentang segala sesuatu yang ditanyakan kepadanya
berarti ia orang gila.” Imam Malik mengatakan, “Seseorang yang
akan menjawab suatu masalah, hendaklah sebelum menjawab ia
menyodorkan dirinya pada surga dan neraka dan bagaimana dapat
terbebas dari neraka, kemudian baru menjawab.” Beliau juga
mengatakan, “Tidaklah aku memberi fatwa, hingga tujuh puluh
orang mengakui bahwa aku menguasai masalah itu.” Demikian
keterangan dari mukadimah kitab Syarh al-Muhadzdzab.198
Al-Imam al-‘Allamah Abdullah bin al-Husain Bilfaqîh
mengatakan dalam mukadimah kitabnya, Mathlab al-Îqâzh,
“Hendaknya seseorang mengingat ucapan Rasulullah yang
mengatakan, ‘Orang yang paling berani di antara kalian dalam
memberi fatwa, adalah yang paling berani terhadap neraka.’199
Perhatikanlah keadaan para salaf baik dari kalangan sahabat,
tabi’in, dan para ulama sesudah mereka dalam kehati-hatiannya
berfatwa yang dibarengi dengan keteguhan mereka dalam ilmu,
kemampuan mereka dalam berijtihad, dan jauhnya mereka dari
hawa nafsu. Hingga diriwayatkan tentang Imam Malik yang
merupakan salah seorang ulama salaf ash-shalih yang paling
terkemuka, beliau hanya menjawab empat masalah dari sekitar
empat puluh masalah yang diajukan kepadanya, sedangkan

155
mengenai masalah yang lainnya beliau mengatakan, ‘Allah lebih
mengetahui.’”

Memandang Rendah Dunia


Juga termasuk adab seorang alim, hendaklah memiliki jiwa yang
mulia dan memandang rendah dunia. Ibnu Mas’ud mengatakan,
“Seandainya para ahli ilmu menjaga ilmu dan meletakkannya
pada ahlinya, niscaya dengannya mereka akan memimpin orang-
orang di masanya. Tetapi mereka mengorbankannya untuk
para ahli dunia agar mendapatkan dunia mereka. Maka mereka

menjadi rendah
di  hadapan
 
 penduduk
     masanya”
pada 

 yang
ditunjukkan
 olehal-Jurjani
   ketika
  ia
200
Itulah
mengucapkan sebuah syair,

     
              
        
     
            
        

      

Dalam melayani ilmu tak kukorbankan ruhku
Untuk melayani
  setiapyang
 kutemui,
  tetapi   agar  aku
  dilayani

    

Apakah  dengan
   susah
  payah
   aku menanam
   untuk menuai 
kehinaan?

Jika begitu, maka mengikuti kebodohan akan lebih baik
 Kalau
  para
 ulama
   menjaga
   (ilmu)nya,  maka  ia(ilmu)
 akan
 
       menjaga  mereka        
Jika mereka mengagungkannya dalam dada, maka mereka 
menjadi  agung
         
Tetapi mereka merendahkannya, maka mereka menjadi rendah
Dan
 menodai
    kesuciannya
 dengan  ketamakan
  hingga   saling  berebut 

Al-Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi juga mengatakan
dalam nazham-nya, 
                
         
156
            
            
     
              

             
    

                
Jika telah kaudapatkan ilmu, carilah pencaharian 
  Yang
 memelihara
     air
 mukamu,
  sehingga
 tak
 dihinakan
 
  Jangan
   kaukotori
   dengan
terlihat
 meminta-minta
      
Karena seorang ahli ilmu justru harusnya diminta

 
 Rabi‘ah
 ar-Ra`yi

 202
 mengatakan,
 “Tidak
 semestinya
  seseorang

       
203
memiliki
yang    sedikit
 ilmu,    dirinya.”
menyia-nyiakan
Dari Umar bin al-Khaththab disebutkan bahwa beliau

pernah berkata kepada Abdullah bin Salam, “Siapa para pemilik
ilmu?” Ia menjawab, “Orang-orang yang mengamalkan.” Beliau 
bertanya lagi, “Apa yang dapat
        menghilangkan ilmu dari
         dada
para ulama?” Ia menjawab, “Sifat tamak.” Al-Hasan al-Bashri
 mengatakan,  bagi para
   “Hukuman  ulama
adalah
matinya
hati,
 dan  matinya
 hati
adalah
   karena   mencari

 dunia dengan  amal
akhirat.”
        
Dikatakan kepada sebagian penduduk Basrah, “Siapakah
  pemimpin
      kalian?”    menjawab,
   Seseorang   
“al-Hasan.”
 Ditanyakan
   kepadanya,
 “Dengan
     apakah  dia
  memimpin
 kalian?”

Dijawab, “Manusia membutuhkan ilmunya, dan beliau tidak
membutuhkan dunia mereka.” 
Abdullah bin al-Mubârak mengatakan,
   “Barangsiapa
  yang
mengemban Al-Qur’an kemudian hatinya berpaling kepada
dunia, berarti ia menggunakan ayat-ayat Allah sebagai ejekandan 
     
permainan.”                 
   Sufiyan
 bin
 Uyainah
    mengatakan,
    “Telah sampai berita

kepada kami dari Ibnu Abbas yang mengatakan, ‘Seandainya
para pengemban Al-Qur’an mengambil yang menjadi haknya
dan bukan selainnya agar Allah mencintai mereka, namun
mereka mencari dunia dengan itu, sehingga Allah marah kepada
mereka dan mereka menjadi diremehkan oleh manusia.’” Al-

157
Imam al-Ghazali menyebutkan, “Seorang alim yang menjadi
budak dunia, keadaannya lebih buruk dan azabnya lebih keras
dibandingkan seorang yang jahil.”

Tawadhu’
Sikap tawadhu’ kepada Allah serta menjaga diri, adalah di antara
adab seorang alim, baik dalam keadaan sendiri maupun di tengah
orang banyak. Ayyub as-Sakhtiyani204 mengatakan, “Hendaknya
seorang alim meletakkan tanah di atas kepalanya karena tawadhu’
kepada Allah.”
Adapun Fudhail bin ‘Iyadh205 mengatakan, “Sesungguhnya
Allah mencintai seorang alim yang rendah hati dan membenci
seorang alim yang sombong. Barangsiapa yang tawadhu’ kepada
Allah, niscaya Allah akan mewariskan hikmah kepadanya.”
Al-Imam an-Nawawi mengatakan, “Banyak di antara
ulama salaf yang mengambil manfaat dari murid-murid mereka
tentang sesuatu yang tidak ada pada mereka (yang tidak mereka
ketahui).” Tersebut keterangan dalam hadits bahwa Rasulullah
membacakan Lam yakunil ladzîna kafarû kepada Ubay bin Ka‘ab
dan mengatakan, “Allah memerintahkan aku untuk membacakan
kepadamu.”206 Para ulama menyimpulkan dari hal itu beberapa
manfaat di antaranya, keterangan tentang tawadhu’ dan bahwa
seseorang yang memiliki kelebihan (yang lebih utama) tidak
terhalang untuk membaca kepada seseorang yang lebih rendah
keutamaannya (kurang utama).
Al-Habib Abdullah bin Husain bin Thâhir mengatakan,
“Saudara saya Thâhir belajar kepada setiap orang yang
ditemuinya, baik yang setara dengannya maupun yang di
bawahnya, di negeri mana saja. Dan ia tidak pernah menonjolkan
dirinya untuk berdakwah atau memberi peringatan kepada
orang, kecuali bila ia tidak mendapati orang melakukan hal
itu. Ia berbuat demikian karena bersungguh-sungguh dalam
bersikap khumul (menyembunyikan kelebihan). Apabila di

158
suatu negeri ia mendapati orang yang mengaku memiliki
pengetahuan, ia berkata kepadanya, ‘Bolehkah aku membacakan
kepadamu?’ Maka ia dan orang lain mendapatkan manfaat
karena ketawadhu’annya dan sikapnya yang meluruskan diri itu.
Karena, sesungguhnya orang yang sombong terhadap orang lain
dan meminta mereka untuk datang ke tempatnya dan membaca
kitab kepadanya, tidak akan mendapatkan manfaat dan tidak
dapat memberikan manfaat.”
Sa’id bin Jubair207 mengatakan, “Seseorang senantiasa
menjadi orang yang alim selama ia belajar. Maka, apabila ia
meninggalkan belajar dan menduga bahwa dirinya tidak perlu
lagi belajar dan telah merasa cukup dengan apa yang ada padanya
maka ia sangat bodoh.”
Saya (penulis) katakan, “Di antara ucapan Sayyidina al-Imam
Muhammad bin Zain bin Sumaith adalah, ’Sesungguhnya orang
yang menundukkan dirinya dan menerima kebenaran dari orang
yang membawanya, berarti ia telah tawadhu’ kepada kebenaran
dan telah bersikap adil. Ini adalah sifat seorang penuntut ilmu
yang sebenarnya, mau menerima manfaat dari siapa saja, di
mana saja, dan mencari pada siapa saja. Ia juga tidak menjadikan
manfaat yang dicari terbatas pada seseorang saja, dan bukan pada
yang lainnya. Melainkan ia akan memanfaatkan kesempatan
mendapatkan keutamaan-keutamaan dan akan mencari
perantara-perantara yang dapat menyampaikannya kepada Allah
Ta’ala. Allah Swt. berfirman,

’Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,


dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan.’
(QS. al-Maidah: 35)

Kebahagiaan adalah keberhasilan, yaitu mendapatkan apa


yang dituntut dan diinginkan. Hikmah adalah barang orang

159
mukmin yang hilang. Taufik berada di tangan Allah. Dan
petunjuk adalah petunjuk Allah. Allah berfirman,

’Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka


dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang
disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan
seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk
kepadanya.’”
(QS. al-Kahfi: 17)

Beliau juga mengatakan, “Tawadhu’ merupakan pembawaan


dan anugerah yang Allah berikan kepada hamba yang dicintai-
Nya. Sifat ini tampak meskipun ketika menghadapi orang
yang suka 
 melakukan
         orang
maksiat, fasik, orang
yangsuka
 
berbuat  zalim,
bahkan terhadap
 hewan dan benda-benda,
    malah  
juga kepada orang kafir. Anda dapat mengetahui ini dari sirah

Rasulullah dalam khutbahnya dan jawaban beliau kepada orang-
                    
orang yang sombong, orang-orang yang lemah, dan orang-orang
 yang
 jatuh.
Berhadapan
 dengan      beliau
mereka, melepaskan
 
 diri
dari
 kedudukannya
      yang    
 tinggi, karena kasih
 sayang
 beliau

terhadap mereka. Hal itu disebabkan makrifah dan rasa takutnya
              
kepada Allah yang sangat besar.”

Seorang ulama mengatakan, “Kurma jika berbuah banyak,
makaakan  menunduk,
   demikian
  pula  sebaliknya.”
          
(penulis)
Saya 
    katakan,
    “Hal  itulah  yang   ditunjukkan
   oleh 
seseorang yang mengatakan,

                
             
 

 Bila
ilmu
 seseorang
   bertambah
 bertambah,  pula
 rendah
  hatinya

Dan jika bertambah kebodohan seseorang, bertambah pula
        
       kesombongannya



       
160         

             
    

                
Dahan yang memikul buah, seperti itu pula keadaannya 
   Jika
 tak
  ada
  buahnya,
   ia menghindar
  dari
kita
  
             
 
Sebagian ulama mengatakan,

 
  
      
               

aki Tawadhu’lah engkau, jadilah seperti bintang di langit sana
Ia terlihat di lembaran-lembaran air padahal sangat tinggi 
Dan janganlah engkau seperti asap yang
        naik sendiri
        
Ke tingkatan udara, padahal ia rendah saja.”
         
 Diriwayatkan
  bahwa
 Nabi   
 Sulaiman   diberi
meski  kerajaan,
 
beliau tidak mau mengangkat pandangannya ke langit karena
        
khusyuk dan Tawadhu’ kepada Allah. Beliau memberi makan
 orang-orang
     dengan
      yang
makanan  lezat,
sedangkan
 dirinya

 sendiri
 makan
  roti
 gandum.
   
 Suatu  ketika   perempuan
 seorang
  
tua menentangnya, ketika Nabi Sulaiman berada di atas
angin bersama tentaranya. Maka beliau pun menyuruh angin 
 kebutuhan
untuk berhenti agar dapat melihat  
 perempuan
209
  itu.

Demikian yang disebutkan oleh al-Qâdhî ‘Iyâdh dalam kitab
asy-Syifâ’.  
                  
  
Meninggalkan
  Berbantah-bantahan
           dan
 Perdebatan
 
Al-Imam asy-Syafi’i mengatakan, “Aku mendengar Sufyan bin
’Uyainah mengatakan, ‘Sesungguhnya seorang alim itu tidak
suka berselisih atau menghasut. Dia selalu menyebarkan hikmah
Allah. Bila diterima dia bertahmid kepada Allah, dan ketika
ditolak tetap bertahmid.’”
Sayyidina al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad
mengatakan, “Di antara sifat orang-orang yang memegang
kebenaran adalah meninggalkan perdebatan. Seandainya pun

161
mereka terpaksa berdebat, maka cukup dengan satu kalimat,
berdasarkan firman Allah Ta’ala,

Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan


dengan cara yang paling baik.”
(QS. al-Ankabut: 46)

Beliau juga mengatakan, “Barangsiapa yang mengerti suatu


ilmu dan benar-benar menguasainya, ketika mendengar orang
lain berbicara tentang ilmu tersebut dengan baik, hendaklah
diam dan tidak berbicara untuk menonjolkan diri. Dan jika tetap
berbicara, maka hal itu tergolong kebodohan. Banyak orang
yang baru memiliki satu bab atau sepuluh masalah saja, sudah
berbicara dengan setiap orang yang mendengarnya, berbicara
tentang suatu ilmu.”

Tidak Bergaul dengan Penguasa


Al-Imam Ja’far ash-Shâdiq mengatakan, “Para ulama adalah
kepercayaan para rasul, selama mereka tidak bercampur dengan
penguasa dan memasuki urusan dunia. Maka jika mereka
bercampur dengan penguasa dan memasuki urusan dunia, berarti
mereka telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka
menghindar dan berhati-hatilah dari mereka.”210 Diriwayatkan
pula, “Ulama yang paling buruk adalah yang mendatangi umara’,
sedangkan umara’ yang paling baik adalah yang mendatangi
ulama.”211
Di dalam riwayat hidup Ali bin al-Husain ash-Shandalî212
disebutkan bahwa Sultan Malik Syah berkata kepadanya,
“Mengapa engkau tidak datang ke tempatku?” Beliau menjawab,
“Aku ingin engkau menjadi raja yang terbaik karena mengunjungi
para ulama, dan aku tidak ingin menjadi ulama yang paling
buruk karena mengunjungi penguasa.”

162
Manfaat
Sayyidina al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi
mengatakan, “Larangan memasuki tempat para
penguasa dan mendatangi mereka bukanlah
larangan mutlak, melainkan bagi orang yang
mencari dunia. Adapun bagi orang yang tujuannya
memberikan nasihat kepada mereka, maka ia
terlepas dari celaan. Jadi, memutlakkan celaan atas hal itu
adalah salah, karena banyak orang saleh yang masuk ke tempat
penguasa bertujuan memberi nasihat dan karena sayang
kepada mereka dan kaum muslimin.” Ada yang mengatakan
bahwa al-‘Aydarus213 pernah mencium kaki seorang penguasa
untuk menolak kejahatan yang ingin dia (penguasa itu)
timpakan kepada kaum muslimin. Demikian keterangan dalam
manaqibnya, Qurrat al-’Ain.

Lemah Lembut kepada Para Penuntut Ilmu


Al-Imam an-Nawawi mengatakan dalam mukadimah kitab
Syarh al-Muhadzdzab, bahwa seorang pengajar disunnahkan
berlaku lemah lembut kepada penuntut ilmu dan bersikap baik
kepadanya semaksimal mungkin. At-Tirmidzi meriwayatkan
dari Abu Harun al-’Abdiy, yang mengatakan bahwa suatu ketika
kami mendatangi Abu Sa’id al-Khudri, ia mengatakan, “Selamat
datang wasiat Rasulullah. Sesungguhnya Nabi pernah bersabda,
‘Sesungguhnya manusia mengikuti kalian dan sesungguhnya orang-
orang dari berbagai tempat akan mendatangi kalian untuk mendalami
agama. Maka apabila mereka mendatangi kalian, berikanlah
wasiat kepada mereka untuk berbuat kebaikan.’’”214 Demikian
keterangannya.215
Sayyidina al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad
mengatakan, “Sesungguhnya kami tidak suka membingungkan
murid, tetapi kami berikan sesuai dengan kemampuan mereka.
Engkau lihat banyak orang berpanjang lebar dalam mengajar

163
kepada para pelajar pemula, sehingga membuat mereka bingung
dan menjadi bosan. Ada dua ilmu yang membuat kami tidak
merasa aman untuk dipegang oleh para pelajar masa sekarang,
yaitu ilmu hakikat dan ilmu tentang khilafiyah para imam. Kami
memiliki banyak kitab tentang itu tetapi, tidak kami tunjukkan.”
Demikian keterangan dalam kitab Tatsbît al-Fuâd.
Beliau juga mengatakan, “Di masa sekarang, seharusnya para
pengajar mencari penuntut ilmu walaupun hal ini bertentangan
dengan apa yang telah dilakukan salaf, agar para pengajar dapat
mengingat kembali ilmunya. Sebab, jika bukan karena mengajar
dia akan lupa, begitu juga agar mendapat pahala.”
Sayyidina al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi mengatakan,
“Ilmu adalah amanah yang mesti dijaga dan tidak boleh diberikan
kecuali kepada orang yang dapat dipercaya, dapat menjaganya,
memiliki sifat wara’, dan bertakwa. Jika tidak, ia akan menyia-
nyiakannya dan meletakkannya bukan pada tempatnya.”
Beliau, semoga Allah memberi manfaat melaluinya, berkata,
“Kami tidak mendapatkan ilmu dengan banyak bicara, dan tidak pula
dengan banyak bertemu orang besar. Tetapi kami mendapatkannya
dengan mengosongkan hati dari dunia, menangis di tengah malam,
dan selalu waspada menghadirkan Dia Yang Mahaperkasa. Tidaklah
kami dapatkan kebaikan seluruhnya kecuali pada ilmu. Dan jika bukan
karena ilmu, niscaya seorang hamba tidak akan mengenal Tuhannya,
dan bagaimana cara menyembah-Nya.”

Catatan Akhir
192. Seorang imam besar dan ‘Allamah, hâfizh al-Maghrib, Abu Umar Yusuf
bin Abdullah bin Muhammad Abdulbâr an-Namariy al-Andalusiy al-
Mâliki (368-463 H). Beliau seorang imam, taat beragama, terpercaya,

164
mendalami dan menguasai ilmu pengetahuan. Menulis beberapa karya
yang menggemparkan. Fiqih beliau condong kepada mazhab al-Imam
asy-Syafi‘i.
193. Al-‘Allamah, seorang ahli fiqih, pandai, Kamâluddîn Muhammad bin Musa
bin Isa ad-Dâmiriy al-Qâhiriy (742-808 H). As-Sakhâwiy berkata, “Dia
adalah salah satu tokoh dan yang terbaik dalam ulama Syafi‘i. Beliau juga
menjabarkan beberapa kitab; al-Minhâj dan menambahkan faedah-faedah
yang berharga, Hayâh al-Hayawân, dan Syarh Ibn Mâjah, dan lain-lain.

Beliau             


orang yang rajin beribadah. Beliau juga memiliki kelebihan dalam
ilmu kesusastraan dan hadits. Dikutip dari kitab al-Wajîz al-Kalâm (1: 383).
194.  HR.  ath-Thabrani
dalam al-Ausath
 (1:299 no 100)dan  selainnya.
   Hadits  
ini mauquf (berhenti riwayatnya) sampai di Ibn Umar ra., dengan sanad

yang digolongkan dalam peringkat hasan oleh Ibn Hajar, seperti yang
 disebutkan    dalam 
 kitab   Faidh    (4:
 al-Qadîr 388).
     
195.
HR.  al-Bukhari
 dalam  (4774).
shahihnya    
196. Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab (1: 24)
197.
Seorang    Tabi‘in
al-Imam     Abu  Isa Abdurrahman
  bin  Abu
 Laila
al- 
 Anshâriy  al-Kûfiy   (wafat    pada tahun
  82H).Beliau
seorang  yang

ahli dalam ilmu fiqih, menimba ilmunya dari Umar, Ali, Abu Dzar,

Ibn Mas‘ud ra., dan banyak sahabat lainnya. Abdullah bin al-Hârits
ketika     dengannya
bertemu   berkata,  “Aku  tak menyangka
   wanita
    akan 
                 
melahirkan seperti ini.”
198. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (1: 40-41)
199. HR. ad-Dârimiy dalam sunannya (157) dan selainnya. Disampaikan 
 oleh
 Ubaidillah
   bin   Abu   Ja’far
 secara       
mursal.
200. Al-Imam al-Qâdhi Abu al-Hasan Ali bin Abdulaziz al-Jurjâniy asy-Syafi‘i
 (wafat
pada tahun   392  H).Beliauadalah  qadi

dikota
  Jurjan,
  kemudian

di ar-Ray. Menggabungkan antara fiqih dan syair. Memiliki tulisan 
indah, dan penjelasan yang gamblang. Di antara tulisan beliau;
 yang
  
 

   
 

 
  

 
 
   

al-Wisâthah Baina al-Mutanabbiy Wa Khushûmihi. Di dalam buku ini
    
  terdapat
   empat ribu     
masalah.  asy-Syîrâzi
Al-Imam    berkata,
   
“Beliau
adalah ahli fiqih, sastra, dan syair.”
201. Sebelum untaian qasidah al-‘Ashmâ` yang dikutip oleh penulis di atas,

aki
terdapat beberapa bait, yaitu;

                
         
        
   
     
  
               165

                
         
        
   
     
  
              
            
 
Mereka berkata kepadaku engkau dalam kemiskinan, sesungguhnya 
Mereka melihat seseorang yang sedang menahan diri dari kehinaan
Kulihat manusia, siapa yang mendekati  mereka,
rendah
 dimata
 mereka

Siapa yang dimuliakan oleh kemuliaan jiwa, `kan menjadi mulia
 
Tak semua kilat yang berkilap menakutiku
 Dan
 tak   
setiap  yang
kutemui
  kurelakan
   dia dalam
 nikmat
  
  
  aku,
 Sedangkan jika  perkara
   ini terlewatkan
   dariku,
 makasemalam
aku
tak tidur
Kubalikkan yang tersisa dari telapak tanganku dengan penuh penyesalan
Tak kupenuhi hak ilmu, jika setiap
Mereka yang menginginkannya kujadikan baginya tangga kepadaku
Jika dikatakan: Ini adalah tempat minum, maka kukatakan: Aku `tlah
melihatnya
Akan tetapi jiwa yang merdeka tahan terhadap rasa haus
Al-Imam Tâjuddîn as-Subki rhm. berkata, “Demi Allah betapa jelas dan
indahnya syair ini. Betapa ungkapan ini lebih tinggi dibanding letak
bintang Gemini. Betapa bermanfaatnya jika didengar oleh mereka yang
mau mendengar. Beginilah seharusnya—atau tidak ada—adab setiap
orang yang memahami agama.” Dikutip dari Thabaqât asy-Syâfi‘iyyah
al-Kubrâ (3: 461).
202. Al-Imam al-Faqîh, Mufti kota Madinah, Abu Utsman Rabî‘ah bin
Abu Abdurrahman al-Qurasyiy al-Madaniy (wafat pada tahun 136 H).
Dijuluki “Rabî‘ah sang pendapat” karena banyak menyibukkan dirinya
dalam berijtihad. Al-Imam Malik berkata tentangnya, “Hilanglah
manisnya fiqih, sejak wafatnya Rabî‘ah.” Di antara ucapan Rabî‘ah,
“Ilmu adalah alat untuk mencapai setiap keutamaan.”
203. Disebut oleh al-Bukhari dalam catatan kaki pada pasal ilmu dalam kitab
shahihnya, dalam bab: raf‘u al-‘ilmi wa zhuhûru al-Jahl (diangkatnya
ilmu dan munculnya kebodohan). Sedangkan al-Khatîb mengutipnya
dalam kitab al-Jâmi’, dan juga al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal,
seperti yang disebutkan oleh al-Hâfizh dalam kitab al-Fath (1: 178).

166
Manfaat: Al-Hâfizh dalam kitab al-Fath (1: 178) berkata, “Maksud dari
ucapan Rabî‘ah adalah, setiap orang yang memiliki pemahaman dan
keinginan untuk menuntut ilmu, tidak boleh tidak menggubris dirinya
dan meninggalkan pekerjaannya. Karena hal itu, boleh jadi dapat
menjadi sebab diangkatnya ilmu. Atau maksud beliau adalah, mengajak
untuk menyebarkan ilmu kepada orang yang memiliki keahlian, karena
boleh jadi jika ulama itu mati sebelum mengajarkannya, maka itu
menjadi sebab terangkatnya ilmu. Atau maksud beliau adalah, agar
seorang ulama memasyhurkan dirinya hingga menjadi dikenal bagi
mereka yang hendak menimba ilmu darinya, supaya menjaga agar
ilmunya jangan sampai hilang. Dan dikatakan bahwa maksud beliau
adalah mengagungkan dan mendudukkan ilmu, maka tidak boleh
merendahkan dirinya dengan menyodorkannya kepada dunia. Dan ini
adalah makna yang baik, akan tetapi yang layak dengan tulisan beliau
adalah yang sebelumnya.”
204. Al-Imam al-Hâfizh pendidik, pemimpin para ulama, Abubakar Ayyub
bin Abu Tamîmah al-‘Anaziy budak al-Bashriy (68-131 H). Beliau
dari kalangan tabi‘in yang termuda. Al-Imam Syu’bah pernah berkata,
“Telah memberitakan kepadaku Ayyub pemimpin ahli fiqih.” Dan
yang lainnya berkata, “Ayyub adalah orang yang cerdas di kalangan
para ulama, seorang yang bersifat wara’, sangat berpegang teguh
pada sunnah, mudah menitikkan air mata, dan sangat menginginkan
keadaan spiritualnya tersembunyi.”
205. Seorang imam, panutan, pendidik, guru besar Islam Abu Ali al-Fudhail
bin ‘Iyadh at-Tamîmiy al-Khurâsâniy, guru besar di kota suci Makkah
(105-187 H). Orang yang paling bersifat wara’ di zamannya dan
merupakan salah satu tokoh pemimpin, ahli ibadah, orang saleh, dan
bersifat zuhud.
206. HR. asy-Syaikhain, al-Bukhari (3809) dan Muslim (799), serta selain
mereka. Disampaikan oleh Anas bin Malik ra.
207. Seorang pemimpin juga tokoh, seorang tabi‘in yang berkedudukan besar
dan merupakan seorang pendidik, menghafal hadits dan Al-Qur’an,
serta ahli tafsir dan seorang syahid, Abu Muhammad Sa‘îd bin Jubair
al-Asadiy al-Wâlibiy al-Kûfiy (wafat pada tahun 95 H). Dari ‘Amr bin
Maimûn dari ayah beliau, berkata, “Sa‘îd bin Jubair telah wafat, dan
tak ada seorang manusia pun di muka bumi kecuali membutuhkan
ilmunya.” Beliau dibunuh dalam keadaan bersabar oleh al-Hajjâj.

167
      
            
           
 
208. Dalam riwayat yang lain: Berendah hatilah, niscaya eng­kau bak
bin­tang yang berkilau bagi penglihatannya = 

      
209. Seorang imam yang memiliki kedudukan tinggi,kebanggaan
negeri Maroko, penghafal hadits terkemuka, al-Qâdhi Abu

    al-Fadhl
 
 ‘Iyâdh
  bin
 Musa
  al-Yahshubiy
    
 as-Sabatiy
  al-Mâlikiy
   (476-544
      H). Termasuk
  tokoh  
yang mendalami dan mencakup banyak ilmu. Beliau juga
dalam kalangan para imam
 
seorang penulis beberapa kitab yang menakjubkan, seperti;
Asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Mushthafâ Saw., Masyâriq al-
Anwâr ‘Ala Shahâh al-Âtsâr, dan al-Ikmâl Fi Syarh Muslim,
dan lain-lain.
210. Ini termasuk ucapan al-Imam Ja’far ash-Shâdiq seperti
dalam kitab Siyar A’lâm an-Nubalâ` (6: 262), akan tetapi
diriwayatkan oleh Abu Ja’far al-‘Aqîliy secara marfu’—seperti
dalam kitab Jâmi’ Bayân al-‘Ilmi karya Ibn Abdulbir (1:
185)—dan Ibn al-Jauziy dalam kitab al-Maudhû‘ât (510) dan
selain mereka berdua. Disampaikan oleh Anas dan tidak sah
jika dikategorikan marfu’. Abu Hâtim dalam kitab al-‘Ilal (2:
137) berkata, “Ini adalah hadits yang munkar.”
211. Disebut dalam kitab Ihyâ (1: 680). Al-Hâfizh al-‘Irâqiy dalam
kitab Takhrij-nya berkata, “HR. Ibn Majah dengan baris
pertama yang sama, disampaikan oleh Abu Hurairah dengan
sanad yang lemah.”
212. Kami tidak mendapatkan biografi beliau, dalam kitab rujukan
yang ada pada kami
213. Al-Akbar Sulthân al-Mala` Abdullah bin Abubakar ra..
Biografi beliau telah disebutkan.
214. HR. at-Turmudzi (2650) dan Ibn Majah (249), serta selain
mereka berdua.
215. Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab (1: 27).

168
2
Adab Pelajar dalam Menuntut Ilmu

Membersihkan Hati dan Mengosongkannya


dari Penyimpangan
Al-Imam an-Nawawi mengatakan dalam mukadimah kitab Syarh
al-Muhadzdzab, “Semestinya seorang pelajar membersihkan hatinya
dari kotoran agar layak untuk menerima ilmu, menghafal, dan
mendapatkan buahnya.”
Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, terdapat hadits
Rasulullah Saw. yang menyebutkan, “Sesungguhnya di dalam tubuh
terdapat segumpal daging yang apabila baik maka baiklah seluruh
tubuh, dan apabila rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah,
itulah hati.”216 Para ulama mengatakan bahwa membersihkan hati
untuk ilmu seperti membersihkan tanah untuk ditanami.217
Sayyidina al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan,
“Seandainya engkau datang membawa bejana yang kotor kepada
seseorang untuk mendapatkan minyak, madu, atau semacamnya
yang kau inginkan, maka dia akan berkata kepadamu, ‘Pergilah,
cucilah dulu.’ Ini baru urusan dunia, lalu bagaimana rahasia-rahasia
ilmu akan ditempatkan dalam hati yang kotor?”



                
Diriwayatkan bahwa ketika asy-Syafi’i mendatangi Imam
 Malik
 dan   al-Muwaththa
  kitab
membacakan   kepadanya
 dengan 
 hafalan,
 yang
membuatnya
   kagum,   
dan
kemudian
 Imam  asy-
Syafi’i menyertainya terus, Imam Malik berkata kepadanya,
        
“Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah dan jauhilah
  perbuatan
   maksiat,
     engkau
  sesungguhnya
karena  akan
memiliki

 sesuatu
 yang  sangat
   Dalam
 penting.”     lain
 riwayat
 disebutkan
 
bahwa Imam Malik berkata kepadanya, “Sesungguhnya Allah
telah menempatkan cahaya di dalam hatimu, maka janganlah
  
engkau padamkan ia dengan perbuatan-perbuatan  maksiat.”
  
Imam Syafi’i pernah mengatakan:
 
     
             
  
 
             
Aku mengadukan kepada Waki’ buruknya hafalanku
Maka ia memberiku petunjuk untuk tinggalkan maksiat
Dan memberitahuku bahwa ilmu itu cahaya
Dan cahaya Allah tak akan diberikan kepada pelaku maksiat

Sahl bin Abdullah218 mengatakan, “Sulit bagi hati untuk


dimasuki oleh cahaya jika di dalamnya terdapat sesuatu yang
dibenci Allah.”

Ikhlas karena Allah dalam Menuntut ilmu


Ketahuilah bahwa seorang penuntut ilmu mesti memiliki niat
yang baik dalam menuntut ilmu. Karena niat merupakan
pokok dalam semua perbuatan, berdasarkan sabda Nabi Saw.,
“Sesungguhnya semua perbuatan bergantung pada niat.”219
Maka hendaklah bertujuan mendapatkan keridhaan Allah dan
beramal dengannya, menghidupkan syariat, dekat dengan Allah,
menghilangkan kejahilan dari dirinya dan dari semua orang yang
bodoh, menghidupkan agama, dan melanggengkan ajaran Islam

170
dengan amar ma’ruf dan nahi munkar terhadap dirinya dan orang
lain semampu mungkin.”

Tawadhu’ dan Mengabdi kepada Ulama


Semestinya seorang penuntut ilmu tidak menghinakan dirinya
dengan perbuatan tamak dan menjaga dari perbuatan takabur.
Al-Imam asy-Syafi’i mengatakan, “Janganlah mempelajari
ilmu dengan kekuasaan dan tinggi hati, maka akan terpedaya.
Tetapi yang mempelajarinya dengan rendah hati, kehidupan
yang sempit, dan mengabdi kepada ulama, akan mendapatkan
kebahagiaan.”
Saya (penulis) katakan, bahwa di dalam atsar dari Ibnu Abbas
dikatakan, “Aku hina ketika menjadi penuntut ilmu dan mulia
ketika menjadi pengajar.” Beliau sering pergi ke rumah Ubay bin
Ka’ab, ketika mendapati pintu rumahnya terbuka maka segera
diizinkan masuk. Namun ketika pintunya tertutup, beliau malu
mengetuknya. Dan beliau pun berdiam diri sampai siang dan
tetap duduk di depan pintu rumah. Angin menerbangkan debu
ke arahnya hingga tidak dapat dikenali karena banyaknya debu
yang menempel di tubuh dan pakaiannya. Lalu Ubay keluar dan
melihatnya dalam keadaan demikian, yang membuatnya menjadi
tidak enak lalu mengatakan, “Mengapa engkau tidak meminta
izin?” Ibnu Abbas beralasan malu kepadanya.
Pernah terjadi juga, pada suatu hari Ubay ingin menunggangi
kendaraan, maka Ibnu Abbas mengambil hewan kendaraannya
hingga Ubay menaikinya, kemudian ia berjalan bersamanya.
Maka berkatalah Ubay kepadanya, “Apa ini, wahai Ibnu Abbas?”
Ibnu Abbas menjawab, “Beginilah kami diperintahkan untuk
menghormati ulama kami.” Ubay menunggangi kendaraan
sedangkan Ibnu Abbas berjalan di belakangnya. Ketika turun,
Ubay mencium tangan Ibnu Abbas. Maka berkatalah Ibnu
Abbas kepadanya, “Apa ini?” Ubay menjawab, “Begitulah kami
diperintahkan untuk menghormati Ahlulbait Nabi kami.”

171
Demikian disebutkan oleh al-Habib al-Allamah Abdullah bin
al-Husain Bilfaqîh sebagaimana tersebut dalam kitab ’Iqd al-
Yawâqît.
Sufyan bin ’Uyainah mengatakan, “Aku telah membaca Al-
Qur’an ketika berusia 4 tahun dan menulis hadits ketika berusia 7
tahun. Ketika usiaku sampai 15 tahun, ayahku berkata kepadaku,
’Wahai anakku, syariat anak-anak telah terputus bagimu. Maka
bergelutlah dengan kebaikan, niscaya engkau akan menjadi ahlinya.
Dan ketahuilah bahwa seseorang tidak akan berbahagia dengan ulama
kecuali orang yang menaati mereka. Karena itu, taatilah mereka,
niscaya engkau akan bahagia. Dan mengabdilah pada mereka, niscaya
engkau akan mendapatkan ilmu mereka.’ Maka aku kemudian
cenderung kepada wasiat ayahku dan tidak pernah berpaling darinya.”
Demikian dikutip oleh an-Nawawi dalam Tahdzib-nya.220
Di antara ucapan Sayyidina al-Imam Ja’far ash-Shâdiq221
adalah, “Ada empat hal yang tidak semestinya seorang yang
mulia memandangnya rendah. Yaitu berdiri dari majelisnya
untuk menyambut ayahnya, melayani tamunya, mengurusi
kendaraannya, dan melayani orang yang belajar kepadanya.”
Mujahid222 mengatakan, “Tidak akan dapat mempelajari
ilmu orang yang pemalu dan tidak pula orang yang sombong.”223
Saya (penulis) mengatakan bahwa seorang pemalu tidak
dapat mempelajarinya karena tercegah oleh rasa malunya
mempelajari agama dan menanyakan yang tidak diketahuinya.
Sedangkan orang yang sombong tercegah oleh sikap takabur
untuk mengambil manfaat dan belajar kepada orang yang lebih
rendah derajatnya. Tidaklah seseorang menjadi alim hingga dia
mengambil ilmu dari orang yang berada di atasnya, yang sama
dengannya, dan yang berada di bawahnya.

Mencari Manfaat di mana pun Berada


Sayyidina al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi mengatakan,
“Semestinya orang yang menuntut ilmu mengambil manfaat dan

172
adab syar’i yang baik di mana saja mendapatkannya. Baik dari orang
dekat maupun orang jauh, orang yang tinggi kedudukannya atau
yang rendah kedudukannya, orang yang dikenal memiliki ilmu atau
orang yang tersembunyi ilmunya. Hendaklah tidak terbelenggu oleh
kebodohan dan kebiasaan, serta tidak mencegah dirinya menimba
ilmu dari orang yang tidak sering disebut-sebut, tidak tenar, atau
tidak memiliki reputasi. Karena yang melakukan perbuatan ini
adalah termasuk orang yang jahil dan lalai sebagaimana yang disebut
dalam hadits, ‘Hikmah adalah milik orang mukmin yang hilang, di
mana pun mendapatkannya, pungutlah.’224 Dia juga lalai dari yang
dikatakan sebagian ahli hikmah, ‘Lihatlah apa yang dibicarakan
dan jangan melihat siapa yang berbicara.’” Abu Na‘îm dalam al-
Hulyah meriwayatkan bahwa, suatu ketika Ali bin Husain pergi ke
tempat Zaid bin Aslam dan duduk di hadapannya. Maka dikatakan
kepadanya, “Engkau adalah pemimpin manusia dan paling mulia,
mendatangi dan duduk di hadapan hamba ini ?” Beliau menjawab,
“Ilmu mengikuti di mana saja, dan mengambil dari mana saja.”
Diceritakan dari Abu al-Bakhtariy225 bahwa ia pernah
mengatakan, “Aku lebih menyukai berada di suatu kaum yang
lebih alim dariku daripada berada di suatu kaum yang di antara
mereka aku paling alim. Karena jika aku orang yang paling
alim, aku tidak dapat mengambil manfaat, sebaliknya jika aku
berada di antara orang yang lebih alim dariku, niscaya aku dapat
mengambil manfaat.” Demikian dikutip oleh al-Yafi’i dalam
Mir-ât al-Jinân.
Sayyiduna Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan,
“Tidak akan disingkapkan suatu ilmu bagi seseorang, hingga ia
mencarinya dan meyakini bahwa dirinya kosong darinya. Karena
sesungguhnya aspek duniawi bisa mengurangi aspek ukhrawi”

Sedikit Makan dan Tidur


Sahnûn226 mengatakan, “Ilmu tidak patut bagi orang yang
makan sampai kenyang.” Di antara hikmah yang dikemukakan

173
oleh Luqman al-Hakîm adalah, “Wahai anakku, jika perut
telah penuh, niscaya pikiran akan tidur, hikmah akan tuli, dan
anggota-anggota badan akan lumpuh untuk beribadah.”
Imam Syafi’i mengatakan, “Aku tidak pernah kenyang
sejak berusia 16 tahun, karena kenyang memberatkan badan,
mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, mendatangkan
tidur, dan melemahkan orang untuk beribadah.” Demikian
dikutip dari kitab Hilyah al-Auliyâ.
Umar bin Khaththab ra. mengatakan, “Menjauhlah kalian
dari sifat rakus dalam makanan dan minuman, karena akan
membawa kerusakan bagi tubuh, menyebabkan kegagalan, dan
membuat malas dalam melakukan shalat. Dan hendaklah kalian
sederhana dalam keduanya (makanan dan minuman), karena itu
lebih baik bagi tubuh dan lebih menjauhkan dari pemborosan.
Dan sesungguhnya, Allah benci kepada seorang alim yang
gemuk.” Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim227 dalam ath-Thib an-
Nabawi yang dikutip dalam kitab Kasyf al-Khafâ.228
Sahl bin Abdullah at-Tusturiy rhm. berkata, “Allah
menjadikan dalam kenyang, kebodohan dan maksiat, dan di
dalam lapar, ilmu dan hikmah.”
Sebagian berkata, 
  
         
          
               

Wahai penuntut ilmu, amalkanlah sifat wara’
  
    Jauhilah
tidur
 dan
  
tinggalkan
kenyang
     
 Terus-meneruslah
   dalam
 pelajaran,
    jangan
engkau

  berpisah
  
darinya

Karena ilmu dengan pelajaran, bangkit dan naik
 
  
          


 
    
        
 
   
         

174
Masalah:
Ulama rhm. berkata, “Kenyang secara syar‘i adalah,
seseorang makan untuk menegakkan tulangnya
(memberi tenaga) untuk beramal dan bekerja.
Seperti yang disabdakan Rasulullah Saw., ‘Cukuplah
bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan
tulangnya.’ Dibolehkan menambah porsi dari ukuran
itu hingga sepertiga perut, dan tidak dimakruhkan. Lebih banyak
dari itu dimakruhkan. Jika seseorang makan terlalu banyak, maka
dia akan merasa berat dan mudah tertidur. Dan menambah lagi
dari ukuran itu akan membahayakan. Itulah yang dinamakan al-
bathnah (perut yang penuh dengan makanan) atau al-baradah,
yang merupakan pokok setiap penyakit, dan itu diharamkan. Begitu
juga memasukkan suapan di atas suapan sebelum dikunyah.

Manfaat
Al-Khatib al-Baghdadiy berkata, “Dianjurkan bagi
penuntut ilmu untuk tidak menikah terlebih dahulu

sesuai dengan kemampuannya, karena boleh jadi
  
         
          
hak-hak istri akan menyibukkannya dari proses
belajar
 secara     Betapa
 sempurna.   indahnya
    ucapan
 
Abu al-Fath al-Bastiy dalam sebuah syair,

 
 
       
      
 
      
    
Orang berkata bahwa sebutan seseorang akan tetap

 
 pada
           
keturunannya
Tak baginya (sebutan) jika ia tak miliki keturunan 
Maka kukatakan kepada mereka, keturunanku adalah 
 
  hikmahku
yang  
 mengagumkan
        
Barangsiapa yang rahasianya keturunan, maka kami
 
   dengan

 itu
 (hikmah)
  menurunkan.”
    

 
   
   
      
 
     
        
 175
Catatan Akhir
216. Al-Bukhari (52) dan Muslim (1599), disampaikan oleh an-Nu’mân bin
Basyîr ra..
217. Mukadimah al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab (1: 35).
218. At-Tustariy, biografi beliau telah disebutkan.
219. HR. al-Bukhari (1) dan Muslim (1907), dan selain mereka berdua,
disampaikan oleh Umar bin al-Khattab ra..
220. Tahdzîb al-Asmâ wa al-Lughât karya al-Imam an-Nawawi (1: 225).
221. Al-Imam al-Habr as-Sayyid al-Hâsyimiy Abu Abdullah Ja’far bin
Muhammad al-Bâqir bin Ali Zain al-‘Âbidîn bin al-Husain asy-Syahîd
bin Ali bin Abu Thalib al-Madaniy ash-Shâdiq. Beliau adalah salah satu
sayyid yang terkemuka dari kalangan at-tabi‘in (80-148 H). Al-Imam
Abu Hanifah berkata, “Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih
ahli dalam ilmu fiqih daripada Ja’far bin Muhammad.” Aku berkata,
“Beliau merupakan lambang bagi para wali dan para imam yang
berpetunjuk.” Beliau pernah berkata, “Bertanyalah kepadaku sebelum
kalian kehilangan aku. Sesungguhnya sepeninggalku tidak ada seorang
pun yang menyampaikan hadits kepada kalian seperti haditsku ini.”
222. Seorang imam dan tabi‘in Abu al-Hajjâj Mujâhid bin Jabr al-Makkiy
al-Aswad, guru besar para penghafal Al-Qur’an dan ahli tafsir di
zamannya (wafat pada tahun 102 H). Beliau meriwayatkan dari Ibn
Abbas banyak sekali. Beliau menimba darinya (Ibn Abbas) Al-Qur’an,
tafsir, dan fiqih. Begitu juga dari Abu Hurairah, Aisyah, dan banyak
dari kalangan sahabat. Mujahid berkata, “Aku membaca Al-Qur’an
tiga kali di hadapan Ibn Abbas, dan aku berhenti di setiap ayat, serta
kutanyakan dalam kejadian apa ayat itu turun dan bagaimanakah
kejadian itu.”
223. Disebut oleh al-Bukhari dalam pasal ilmu dari kitab shahihnya pada
bab al-Hayâ`u Fi al-‘Ilm (malu dalam ilmu) pada no. ke (50).
224. HR. at-Turmudzi (2687), Ibn Majah (4169), dan selain mereka
berdua. Disampaikan oleh Abu Hurairah ra. dengan ucapan sebagai
berikut, “Kata hikmah adalah barang yang hilang di antara orang yang
beriman. Di mana kalian menemukannya, maka ia (yang menemukan)
lebih berhak atasnya.” At-Turmudzi berkata, “Hadits ini adalah hadits
gharîb.”
225. Seorang tabi‘in al-‘Allamah ahli fiqih, Abu al-Bakhtariy Sa‘îd bin Fairûz
ath-Thâ-iy al-Kûfiy, salah seorang ahli ibadah (wafat pada tahun 82 H).

176
Beliau merupakan pemimpin orang saleh dari kalangan para penghafal
Al-Qur’an yang menentang al-Hajjâj dalam kejadian fitnah atas Ibn al-
Asy‘ats, dan terbunuh dalam kejadian di al-Jamâjim. Beliau disejajarkan
dengan Sa‘îd bin Jubair dalam ilmu dan fiqih, semoga Allah merahmati
beliau.
226. Al-Imam al-‘Allamah, ahli fiqih Maroko, Abu Sa‘îd Abdussalâm bin
Habîb at-Tanwakhiy al-Qairwâniy al-Mâlikiy (wafat pada tahun
240 H). Beliau adalah seorang qadi di al-Qairwân dan penulis al-
Mudawwanah. Abu al-‘Arab berkata, “Aku bertemu dengan beliau di
Sahnun sebentar, dan aku dapati sedikit, di antara ulama yang kutemui,
yang seperti beliau; ahli ilmu fiqih yang menakjubkan, sifat wara’
yang sungguh-sungguh, tegas dalam kebenaran, zuhud dari dunia,
mengenakan pakaian dan memakan makanan yang kasar (sederhana),
dan pemaaf.”
227. Al-Imam al-Hâfizh al-‘Allamah seorang sufi, guru besar dalam Islam
Abu Nu‘aim Ahmad bin Abdullah al-Ashbahâniy (336-430 H).
Merupakan salah satu imam di kalangan penghafal Al-Qur’an, dan
penulis kitab-kitab yang penuh berkah dan manfaat. Seperti Hulyah al-
Auliya, ath-Thib an-Nabawiy, dan Dalâ-il an-Nubuwwah dan lain-lain.
228. Kasyfu al-Khafâ’ (1: 289). Dalam sebuah atsar, “Sesungguhnya Allah
tidak membenci ulama yang gemuk.”

177
3
Adab Murid terhadap Gurunya

Terdapat di dalam atsar ucapan berikut, “Pelajarilah ilmu.


Dan pelajarilah untuk ilmu itu ketenangan dan kewibawaan.
  
         
          
Bertawadhu’lah kepada orang yang engkau belajar
 229
darinya.”  Imam
  an-Nawawi
     mengatakan,
     “Seorang
  murid
semestinya bersikap tawadhu’ dan beradab kepada gurunya 
meskipun gurunya lebih muda usianya, lebih tidak terkenal,
  
              
lebih rendah nasabnya, dan lebih sedikit kebaikannya. Maka
 dengan
ketawadhu’-annya
    dia  akan
memahami

  ilmu.”
   Para
ulama mengatakan dalam sebuah sajak,

 
  
          
Ilmu itu memusuhi pemuda yang tinggi hati 
Sebagaimana banjir memusuhi tempat yang tinggi
 
    
        
  Imam
   Ali
 bin
 Hasan
   al-Attas, semoga
    Allah
 memberi
  
manfaat dengannya, mengatakan, “Sesungguhnya pencapaian

dari ilmu, pemahaman, dan cahaya—yakni tersingkapnya
 
   
   
      
hijab—adalah bergantung pada ukuran adab terhadap
 
     
        

         
    
          
 
guru. Sebagaimana besarnya ukuran (adab) pada dirimu,
demikian pula ukuran itu di sisi Allah, tanpa diragukan
lagi.”
Beliau juga mengatakan, “Al-Amîn dan al-Ma’mûn, 
dua orang   
putra
   Harun
   al-Rasyid,
 
    saling
  berlomba
   untuk
 
meraih sandal guru mereka, al-Kisa’iy 230 agar dapat
               
memakaikan sandal itu pada gurunya. Maka berkatalah
guru mereka kepada mereka pada saat itu, ‘Masing-masing 
  
memegang    satu.’”
Di
dalam  hadits
 
 dikatakan,
  “Ayahmu
   
ada tiga. Ayah yang menjadi penyebab kelahiranmu.
             
Ayah yang menikahkanmu dengan putrinya. Dan ayah
yang mengajarimu, dan dialah yang paling utama.” 231 
Demikian keterangan  dari   kitab
    al-Haniyyah.
al-‘Athiyyah       
Saya (penulis) katakan, bahwa mengenai hal itu ada

yang mengatakan, 
 
    
        
 
   
         

Aku dahulukan guruku dibanding bakti kepada ayahku
   kudapatkan
sekalipun 
    kebaikan
    dan
 kasih
sayang
dari

    ayahku
            
Yang ini pendidik jiwaku, dan jiwa adalah permata
dan yang itu pendidik tubuhku, dan ia bagai kerang 
    baginya
     
 Al-Imam
  asy-Sya’rani
 
 mengatakan,
   “Telah
  sampai
  
 
kepada kami dari Syaikh Bahauddin as-Subki, yang 
  232
mengatakan, ‘Ketika
   aku
 sedang
 menaiki
   kendaraan
   
bersama ayahku, yakni Syaikh al-Islam Taqiyyuddin
               
as-Subki 233, di suatu jalan di negeri Syam, tiba-tiba dia
mendengar seorang petani Syam mengatakan, ’Aku pernah 
  
bertanya  kepada
    al-Faqîh
   Muhyiddin
    an-Nawawi
      tentang
   
masalah ini dan itu.’ Maka turunlah ayahku dari kudanya

         
    
  
  
179
       
          
dan mengatakan, ’Demi Allah, aku tidak akan mengendarai

tunggangan sementara orang ini—yang matanya pernah
memandang   
    Muhyiddin—berjalan!’
           Kemudian    dengan
 
bersumpah   kepada
      meminta
Allah   petani    tersebut
  untuk 
mengendarai kuda, sedangkan beliau sendiri berjalan

sampai memasuki negeri Syam.” Kemudian asy-Sya’rani
     “Begitulah,
 mengatakan,  wahai  
 saudaraku,
  para  ulama
 
terhadap
 berlaku    guru-guru
   mereka  meskipun
   dia
 tidak 
menjumpainya karena datang beberapa tahun setelah
kematiannya.” 
Saya  (penulis)
berkata
  bahwa yang
  diriwayatkan
      oleh
al-Imam as-Subki pula adalah ketika beliau mengunjungi 
Dâr al-Hadîts yang dinisbatkan kepada al-Imam an- 
  Nawawi
  terletak
yang di  kota    Damaskus,
   beliau
 melepas
   
bajunya dan menempelkan badannya di sana sambil
 
             
mendendangkan syair,

 
   
   
      
 
     
        
Di Dâr al-Hadîts terdapat makna yang lembut 
 Padahamparannya
    aku
   
merunduk dan  tersungkur
 
Barangkali wajahku yang berdosa ini menyentuh
                 
Tempat yang bersentuhan dengan telapak kaki an-Nawawi

 Abu
 Hanifah
  mengatakan,
   “Sejak
  Hammad
 234
—yakni
 
gurunya—wafat, aku tidak pernah melakukan shalat
               
melainkan aku mintakan ampunan untuknya beserta kedua
orang tuaku, dan sesungguhnya aku selalu memohonkan 
ampunan
  
   untuk
  orang  yang
 mengajariku
       suatu
  ilmu
   atau
yang aku ajari.” Abu Yusuf 235 mengatakan, “Sesungguhnya 
aku mendoakan Abu Hanifah sebelum mendoakan ayahku,
dan
 aku pernah
  mendengar
 Abu  Hanifah
  mengatakan,
 
    
  
  
       
          
180  
 
‘Sesungguhnya aku mendoakan Hammad bersama kedua
orang tuaku.’” Demikian disebutkan dalam kitab Tahdzîb
al-Asmâ’ karya an-Nawawi. 236
Imam asy-Syafi’i mengatakan, “Aku senantiasa
membuka lembar kitab di hadapan Malik, semoga
Allah merahmatinya, dengan lembut agar dia tidak
mendengarnya, karena rasa hormat kepada beliau.” Ar-
Rabî’ 237, sahabat asy-Syafi’i mengatakan, “Aku tidak
berani minum air, sedangkan asy-Syafi’i melihatku karena
rasa hormat kepadanya.”
Al-Imam asy-Sya’rani mengatakan, “Telah sampai
keterangan kepada kami mengenai Imam an-Nawawi
bahwa suatu hari dia dipanggil oleh gurunya, al-
Kamâl al-Irbiliy 238 untuk makan bersamanya. Maka dia
mengatakan, ’Wahai Tuanku, maafkan aku. Aku tidak dapat
memenuhinya karena aku mempunyai uzur syar’i.’ Maka
dia pun meninggalkannya. Kemudian seorang kawannya
bertanya kepadanya, ‘Uzur apa itu?’ Dia menjawab, ’Aku
takut bila guruku lebih dahulu memandang suatu suapan
tetapi aku yang memakannya, sedangkan aku tidak
menyadarinya.’”
Apabila beliau keluar belajar untuk membaca kitab
kepada gurunya, beliau terlebih dahulu bersedekah di
jalan semampunya dengan niat untuk gurunya, dan
mengucapkan doa, “Ya Allah, tutupilah dariku aib guruku
agar mataku tidak melihat kekurangannya, dan agar tidak
seorang pun menyampaikannya kepadaku.”
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin, Ali bin Abi
Thalib ra, yang mengatakan, “Di antara hak gurumu
terhadapmu adalah engkau mengucapkan salam kepada
orang secara umum dan mengucapkan kepadanya secara
khusus. Engkau duduk di depannya, jangan menunjuk
dengan tanganmu di sisinya, jangan memberi isyarat

181
dengan matamu, jangan engkau mengatakan, ‘Fulan
mengatakan yang berbeda dengan yang Tuan katakan.’
Jangan menggunjing seseorang di hadapannya, jangan
bermusyawarah dengan temanmu di majelisnya,
jangan memegang bajunya apabila dia bangun, jangan
mendesaknya apabila dia sedang malas, dan jangan pula
berpaling darinya.” Demikian disebutkan oleh Imam an-
Nawawi dalam kitabnya at-Tibyân fi Âdâbi Hamalah Al-
Qur’an. 239
Abubakar bin ’Ayyasy 240 mengatakan, “Ketika
saudara Sufyan ats-Tsauri wafat, orang-orang berkumpul
menemuinya untuk bertakziah, lalu datanglah
Abu Hanifah. Maka bangkitlah Sufyan ke arahnya,
memuliakannya, mendudukkan di tempatnya, dan ia
duduk di hadapannya. Ketika orang-orang telah bubar, para
sahabat Sufyan mengatakan, ‘Kami melihatmu melakukan
sesuatu yang mengherankan.’ Sufyan menjawab, ‘Orang
ini adalah orang yang memiliki kedudukan dalam ilmu.
Seandainya aku tidak bangun karena ilmunya, aku tetap
bangun karena usianya. Seandainya aku tidak bangun
karena usianya, aku tetap bangun karena kefaqihannya,
dan seandainya aku tidak bangun karena kefaqihannya,
aku tetap bangun karena sifat wara’-nya.’”
Abu Sahl ash-Shu’lukiy 241 mengatakan, “Durhaka
kepada orang tua dapat dihapus dengan tobat, tetapi
durhaka kepada para guru tidak dapat dihapus oleh apa
pun.” Demikian dikutip oleh an-Nawawi dalam kitab
at-Tahdzib. 242 Imam Ahmad bin Umar al-Hinduan
mengatakan, “Yang membuat orang tidak mendapatkan ilmu
ha­n yalah karena sedikitnya penghormatan mereka terhadap
orang-orang yang berilmu.”
Sebagian yang lain berkata,

182
 
   
   
      
 
     
        

         
    
          
 
Sesungguhnya pengajar dan dokter 
 memberi
Tak akan   nasihat
  jika keduanya
  tak
 dihormati
   
  jika
Bersabarlah   dokter
 meremehkanmu
     karena
  penyakitmu
   
Bersabarlah jika pengajar tak menggubrismu karena

kebodohanmu
  
                       

         
    
  
  
       
          
   
Catatan Akhir

229. Tidak sah jika disebut marfu’. Telah diriwayatkan oleh ath-
Thabrani dalam kitab al-Ausath (6: 200, no 6184), Ibn ‘Uday

dalam kitab al-Kâmil (4: 336). Disampaikan oleh Abu Hurairah
ra. dan di dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk (yang
dituduh pendusta) seperti yang disebutkan dalam Majma’ az-
Zawâ-id (1: 129).
230. Seorang Imam yang hafal Al-Qur’an, guru besar bahasa Arab,
Abu al-Hasan Ali bin Hamzah al-Asadiy al-Kûfiy, yang dijuluki
dengan al-Kisâ-iy karena dengan sebuah selimut dia niat
berihram (wafat pada tahun 189 H). Termasuk mereka yang
menghafal tujuh bacaan yang mutawatir. Al-Imam asy-Syafi‘i
berkata, “Barangsiapa yang ingin berenang dalam lautan nahwu
maka hendaknya dia mendatangi al-Kisâ-iy.”
231. Kami tidak memiliki rujukan tentang hadits di atas.
232. Seorang imam yang menakjubkan, ahli fiqih, ahli sastra yang
menguasai berbagai ilmu, seorang qadi di kota Damaskus,
Bahâuddîn Abu Hâmid Ahmad bin Syaikh al-Islam Taqiyyuddîn

183
as-Subki (719-773 H). Beliau menimba ilmu dari ayahnya
berbagai macam ilmu. Lalu menjadi menakjubkan dan maju,
serta memegang kepemimpinan beberapa kali. Termasuk hasil
karya tulis beliau yang menakjubkan adalah, ‘Arûs al-Afrâh Fi
Syarh Talkhîsh al-Miftâh, mengenai ilmu balaghah. Beliau juga
menulis penyempurna syarh ayah beliau al-Minhaj dalam ilmu
fiqih.
233. Seorang imam yang memiliki kedudukan yang besar, mujtahid
di zamannya, kebanggaan para ulama, guru besar Islam,
Taqiyyuddîn Abu al-Hasan Ali bin Abdulkâfi as-Subki (683-
756 H). Al-Imam as-Suyuthi berkata tentang beliau, “Seorang
imam ilmu tafsir, hadits, fiqih, tauhid, ushul, menguasai teks,
logika, dan bahkan beliau adalah seorang mujtahid yang tidak
ada yang seperti beliau sesudahnya atau sebelumnya, dalam
jangka waktu yang panjang.”
234. Seorang imam, ahli fiqih Irak Abu Ismail Hammâd bin Abu
Sulaiman al-Kûfiy keturunan Ashbahân (wafat pada tahun
120 H), termasuk tabi‘in muda. Meriwayatkan dari Anas bin
Malik ra., menimba ilmu fiqih dari Ibrahim an-Nakha‘iy yang
termasuk sahabat pilihan dan paling menguasai fiqih. Al-Imam
Abu Hanifah menimba ilmu dari beliau. Hammâd termasuk
salah seorang ulama yang cerdas, pemimpin dalam ilmu fiqih,
dan mulia serta dermawan.
235. Seorang imam, mencapai derajat mujtahid, ahli hadits, al-
‘Allamah, al-Qâdhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshâriy
al-Kûfiy (113-182 H). Beliau menyertai al-Imam Abu Hanifah
dan merupakan muridnya yang pertama, serta merupakan
salah satu tokoh di zaman itu. Beliau mencapai kepemimpinan
dalam keilmuan dan tak ada yang melampauinya. Pada saat itu
khalifah Harun al-Rasyid menghormati beliau.
236. Tahdzîb al-Asmâ` Wa al-Lughât (2: 218, 219).
237. Telah disebutkan biografi beliau.
238. Asy-Syaikh al-Imam Abu al-Fadhâil Kamâluddîn Sallâr bin
al-Hasan al-Irbiliy (wafat pada tahun 670 H). Beliau adalah
murid al-Imam Ibn ash-Shalâh, dan guru al-Imam an-Nawawi,
serta termasuk salah satu pemimpin mazhab. Beliau merupakan
sumber fatwa di Syam pada masanya.

184
239. At-Tibyân Fi Âdâb Hamalah Al-Qur’an, bab adab pelajar Al-
Qur’an dan pengajarnya.
240. Al-Imam ahli fiqih dan hadits, menghafal Al-Qur’an, ahli
ibadah dan shalat, Abubakar bin ‘Ayyâsy bin Sâlim al-Asadiy al-
Kûfiy al-Hannâth (95-193 H). Yazîd bin Hârûn berkata, “Dulu
Abubakar bin ‘Ayyâsy adalah orang yang baik dan utama. Beliau
tidak meletakkan lambungnya di bumi (tidur) selama empat
puluh tahun.”
241. Beliau adalah seorang imam dalam ilmu di masanya tanpa
keraguan, Abu Sahl Muhammad bin Sulaiman ash-Shu’lûkiy
asy-Syafi‘i (296-369 H). Beliau adalah seorang imam yang
menakjubkan dalam bidang fiqih, nahwu, tafsir, bahasa, syair,
sastra, tauhid, tasawuf, dan lain-lain. Beliau mengambil mazhab
dari Abu Ishâq al-Marwaziy dan hadits dari Ibn Khuzaimah,
serta menyertai para imam tasawuf seperti al-Murta‘isy, asy-
Syibli, Abu Ali ats-Tsaqafiy dan lain-lain.
242. Tahdzîb al-Asmâ` Wa al-Lughât (2: 243)

185
4
Manfaat-manfaat yang Dibutuhkan
oleh Penuntut Ilmu dan Orang Alim

Syaikh Zakariyyâ dalam kitabnya, al-Lu’lu’ an-Nazhîm fi Raum at-


Ta’allum wa at-Ta’lim mengatakan, “Ada dua belas syarat mempelajari
ilmu dan mengajarkannya.
Pertama, bermaksud mempelajarinya sebagaimana maksud ilmu
itu dibuat. Maka janganlah bermaksud selain itu, seperti untuk
mendapatkan harta, memperoleh kedudukan, mengalahkan
musuh, atau membangga-banggakan diri.
Kedua, bermaksud mencari ilmu yang sesuai dengan kemampuannya,
karena tidak setiap orang layak untuk mempelajari berbagai
ilmu. Dan tidak semua orang dapat menguasai semua ilmu,
tetapi semuanya dimudahkan sesuai dengan kodratnya.
Ketiga, mengetahui bahwa ilmu itu bertujuan menjadikan seseorang
teguh dalam menghadapi suatu perkara.
Keempat, menyerap ilmu dari awal sampai akhirnya: secara visual
dan secara pembenaran.
Kelima, bermaksud mencari kitab-kitab yang baik yang mencakup
semua disiplin ilmu.
Keenam, membaca kepada seorang guru yang dapat memberikan
bimbingan dan seseorang yang dipercaya dapat memberikan
nasihat, dan tidak berkeras kepala dengan dirinya dan
kecerdasannya.
Ketujuh, berdiskusi dengan teman-temannya untuk melakukan
pendalaman, bukan untuk mencari kemenangan, melainkan
untuk saling menolong memberikan manfaat dan mengambil
manfaat.
Kedelapan, jika telah mengetahui ilmu itu, janganlah
menyia-nyiakan dengan mengabaikannya dan tidak pula
mencegahnya dari orang yang patut mendapatkannya
berdasarkan hadits, “Barangsiapa yang mengetahui suatu ilmu
yang bermanfaat lalu ia menyembunyikannya, niscaya Allah
pada hari Kiamat memasangkan kendali pada dirinya dengan
kendali dari neraka.”243 Dan jangan pula memberikannya
kepada orang yang tidak layak menerimanya sebagaimana
yang terdapat dalam perkataan para nabi, “Janganlah kalian
ikatkan permata pada leher babi.”244 Artinya, janganlah
kalian berikan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya (yang
tak layak menerimanya). Dan hendaknya dia mencatat yang
dapat disimpulkan dengan pikirannya, yang belum pernah
ada sebelumnya, untuk orang yang datang sesudahnya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh orang sebelum dia, karena
anugerah Allah tidak terhenti pada suatu batas.
Kesembilan, jangan meyakini telah mendapatkan suatu ilmu
dalam ukuran yang tidak dapat bertambah lagi, karena itu
suatu kekurangan.
Kesepuluh, mengetahui bahwa setiap ilmu ada batasnya, maka
jangan melampauinya dan jangan pula kurang darinya.
Kesebelas, jangan memasukkan suatu ilmu pada ilmu yang lain,
baik dalam belajar maupun berdiskusi, karena hal itu dapat
membingungkan pemikiran.

187
            
  


 
    
        
Kedua belas, setiap murid dan guru hendaknya memerhatikan
 
  hak
yang

lainnya,
 
   yang
khususnya pertama
  (murid),
 karena

guru bagaikan ayah bahkan lebih agung. Hal ini disebabkan 
 ayah
mengeluarkan
 
     dia
 ke negeri
  fana
 sedangkan
(dunia) 
guru menunjukkannya ke negeri yang kekal. Demikian
 dikutip
dari  kitab
  
 Mathlab
 al-Iqâzh
   fîGhurar
al-Alfâzh
  karya

al-’Allamah Abdullah bin Husain Bilfaqîh. 
Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengatakan, “Aku mendengar asy-
         
Syafi’i mengatakan, ’Penuntut ilmu butuh kepada tiga perkara,
 Usia
 yang panjang,
 harta,

  dan   kecerdasan.’”
    Hal
itu
 
 beliau

katakan dalam sebuah syair. 
         
     
               
Saudaraku, tak akan kaudapat ilmu kecuali dengan enam perkara 
    Kan
   kuberitahu
   engkau    dengan          yang
penjelasan   rinci
   
Kecerdasan, kemauan, kesungguhan, dan biaya
Petunjuk guru dan masa yang lama 
 Imam  Ahmad  bin
Zain al-Habsyi
 mengatakan,
  “Bagiorang 
 yang
 ingin  mendapatkan
   manfaat
ilmu untuk
 dirinya
saja, tanpa

memerhatikan apakah ilmu itu bermanfaat untuk orang lain atau
 tidak,
  hendaklah
   mengutamakan
     ilmu yang
  lebihberpengaruh

terhadap  hatinya
 dan yang
dapat lebih 
 melembutkannya.
Dan
hendaklah mengikatnya dengan menulis, mengulang-ulang,

dan semacamnya, yang dapat menjadikannya bertambah kokoh.

Karena hal itu lebih bermanfaat bagi dirinya dibanding banyak
ilmu yang tidak membuatnya mendapatkan pengaruh, kelembutan,
dan kekhusyuan. Demikian pula dalam semua perbuatan, keadaan,
dan sebagainya, hendaklah seseorang mencari yang paling layak
untuknya, meskipun tidak layak dan tidak sesuai bagi orang lain.
Ini bagi seseorang yang ingin mendapatkan manfaat untuk dirinya
saja.

188
Adapun orang yang dengan ilmunya ingin memberi manfaat
kepada orang lain, hendaklah menjadi seperti seorang dokter,
yang memerhatikan penyakit, sebab-sebabnya, materinya, dan
memberi obat kepada yang sakit sesuai dengan penyakitnya. Bisa
jadi ada orang yang datang kepadanya memiliki penyakit sama,
tetapi diberi obat berbeda, tidak seperti yang diberikan kepada
orang yang sebelumnya, karena dia tahu sebab penyakitnya
berbeda dengan penyakit orang yang sebelumnya.
Demikian pula dengan ilmu, diberikan kepada setiap orang
yang pantas menerimanya dan tidak mengukur orang yang
pantas menerimanya dengan ukuran dirinya. Ini juga berlaku
pada orang yang ingin membuat karangan dan semacamnya.”
Demikian dikutip oleh al-Imam Muhammad bin Zain bin
Sumaith dalam kitab Qurrah al-‘Ain wa Jilâ’ ar-Rayn.
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan,
“Hendaklah seseorang menguasai suatu disiplin ilmu hingga
dia dinisbahkan dan dikenal dengan ilmu itu. Sayyidina Ali ra.
mengatakan, ‘Seseorang yang banyak melakukan perbuatan
tertentu, dia akan dikenal dengannya.’ Dan hendaklah mengambil
sekadarnya saja dalam ilmu yang lain dan menguasainya secara
global, sehingga bila ditanya tentang sesuatu, dia memiliki
pengetahuan tentangnya dan tidak jahil. Karena itu Imam as-
Suyuthi mengarang kitab an-Nuqayah dan mensyarahkannya.245
Dan jika menghafal suatu ilmu, dia menghafal semua ilmu yang
berhubungan dengannya. Jika engkau memiliki ilmu tersebut
sekadarnya, maka ilmu yang berkaitan dengannya juga cukup
sekadarnya. Dan lebih baik bagimu menguasai sepuluh masalah
dengan sebaik-baiknya daripada membaca sebuah kitab dengan
sempurna tetapi tidak menguasainya.” Atau sebagaimana yang
beliau katakan.
Beliau, semoga Allah memberi manfaat dengannya, juga
mengatakan, “Ilmu ushul ada dua. Pertama, ilmu ushuluddin
seperti masalah aqidah. Seseorang harus mengambil ilmu ini

189
sesuai dengan kebutuhannya, seperti aqidah yang dijelaskan
oleh Imam al-Ghazali. Kedua, ilmu ushul fiqih. Ilmu ini sulit
dan tidak mudah dipahami, ia tidak wajib bagi setiap orang.
Maka semestinya seseorang mengambil dari kedua ilmu ushul
tadi sesuai dengan kebutuhannya yang mendesak. Kemudian
mengambil kitab-kitab ringan yang melembutkan hatinya,
membuatnya gemar kepada akhirat, dan membuatnya zuhud
di dunia. Kemudian beribadah dan bersungguh-sungguh
dalam melakukannya, dan banyak membaca Al-Qur’an dengan
kesungguhan. Jika tidak memungkinkan melakukannya di
sebagian waktu, hendaklah banyak berdzikir dan melakukannya
secara terus-menerus dalam setiap keadaan. Karena umur itu
singkat dan orang yang menganggur menyia-nyiakan sebagian
besarnya. Hendaklah puncak perhatian dan belajarnya pada
masalah-masalah yang penting dari hal-hal tersebut, maka
belajar dan menghafallah hal-hal yang penting. Dan jika ingin
mempelajari selainnya, lakukanlah sesekali saja.” Demikian
dikutip dari kitab Tatsbît al-Fuâd.
Al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi, semoga Allah memberi
manfaat dengannya, mengatakan, “Hendaknya seorang penuntut
jalan akhirat senantiasa mencari manfaat di mana pun berada,
baik pada ahlinya maupun yang bukan. Mengambil dari setiap
orang bagaimanapun ia, baik ia seorang alim maupun awam.
Karena terkadang akhlak yang bagus didapati pada sebagian
orang awam dan tidak pada yang lainnya termasuk dirinya. Di
antara keadaan seorang yang benar adalah mengambil dari teman
bergaulnya segala yang baik yang ia lihat terdapat padanya, baik
ucapan maupun perbuatan, dan meninggalkan yang buruk
darinya. Dan bila mengambil manfaat yang terdapat padanya,
maka janganlah yang berupa kerusakan dan penyimpangan.”
Demikian keterangan dari kitab Qurrah al-‘Ain.
Beliau juga mengatakan, “Pemahaman bagi pemiliknya
merupakan nikmat yang sangat besar, namun terkadang mereka

190
tidak merasakannya sebagai nikmat. Berkaitan dengan kenyataan
tersebut, misalnya tentang perhatian pada kitab, pada hakikatnya
Allah yang menjadikannya memiliki perhatian pada kitab dan
selainnya. Dan seseorang yang mempelajari kitab, hendaklah
memohon pertolongan kepada Allah agar memudahkan
baginya pemahaman dan menghadirkannya, sehingga ia dapat
memperoleh keinginannya dan Allah membukakan baginya
pemahaman dalam agama.” Demikian keterangan dari kitab
Qurrah al-‘Ain.
Al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan, “Ada dua
perkara yang baik untuk diperhatikan bagi seorang penuntut
ilmu. Pertama, janganlah masuk ke dalam suatu perkara ilmu
dan amal melainkan dengan niat yang baik. Kedua, hendaklah
memerhatikan buah dan hasilnya, dan bila idak memerhatikan
ini, tidak akan mendapat manfaat.” Beliau juga mengatakan,
“Apabila seorang penuntut ilmu membaca suatu manfaat dan ingin
menghafal dan mencatatnya tetapi tidak terdapat tinta dan pena,
hendaklah menulisnya dengan jarinya pada telapak tangan atau pada
lengannya.”
Telah sampai keterangan kepada kami bahwa Imam Syafi’i
sampai di Madinah dan duduk di halaqah Imam Malik. Ketika
itu Imam Malik sedang mendiktekan kitab al-Muwaththa’ kepada
orang-orang yang ada di sana. Imam Malik mendiktekan 18
hadits sedangkan Imam Syafi’i berada di barisan belakang. Imam
Malik menatapnya dengan pandangannya ketika Imam Syafi’i
menulis dengan jarinya pada punggung tangannya. Ketika jemaah
majelis telah bubar, Imam Malik memanggilnya dan bertanya
kepadanya tentang negerinya dan nasabnya. Maka Imam Syafi’i
pun memberitahukannya. Lalu Imam Malik berkata kepadanya,
“Aku melihatmu memain-mainkan tanganmu di punggung
telapak tanganmu.” Imam Syafi’i menjawab, “Tidak, melainkan
ketika Tuan mendiktekan sebuah hadits, saya menulisnya di
atas punggung tangan saya. Jika Tuan mau, saya akan ulangi

191
apa yang Tuan diktekan kepada kami.” Imam Malik berkata,
“Bacakanlah.” Maka Imam Syafi’i pun mendiktekan 18 hadits
yang semula didiktekan oleh Imam Malik. Lalu Imam Malik
mendekatkannya kepada dirinya.
Beliau juga mengatakan, “Apabila melewati suatu bacaan dan
engkau belum memahaminya atau belum dapat menghadirkannya
dalam pikiranmu, maka ulangilah sekali lagi di lain waktu,
karena waktu itu berbeda. Dan apabila terdapat suatu masalah
yang sulit bagimu pada waktu pembacaan, maka tinjaulah sekali
saja pada tempat yang diduga terdapat penjelasannya. Karena
banyak melakukan peninjauan kitab pada waktu pembacaan
akan menghilangkan keberkahan waktu, memecah substansi,
dan menyia-nyiakan apa yang ada dalam pikiranmu. Dan apabila
engkau mempelajari pelajaranmu, hendaklah mengaktifkan
pikiranmu agar menjadi jelas maknanya. Dan janganlah
mengikat dengan apa yang engkau lihat pada baris-baris tulisan.
Pemahaman orang yang membaca akan terbawa kepada yang
mendengarkan, kebodohannya juga akan terbawa kepada mereka,
dan demikian pula cahayanya.”
Beliau juga mengatakan, “Para salaf mengatakan bahwa
menulis dan mempelajari ilmu nahwu setelah Asar dapat
melemahkan akal dan pandangan. Ahli metafisika juga
mengatakan demikian. Para salaf kita tidak membaca kitab yang
bersifat pemikiran setelah waktu Asar. Membacanya di waktu
malam, jika di waktu siang tidak memungkinkan, adalah lebih
baik daripada setelah Asar.”
Beliau juga mengatakan, “Sayyidina Abdullah al-Aydarus
meskipun seorang yang cerdas, tidak membacakan kepada
seseorang sebuah kitab fiqih melainkan bersama kitab tasawuf.
Sedangkan Sayyid Sulaimân bin Yahyâ Maqbûl al-Ahdal,246 tidak
memulai pelajaran tetapi setelah mengawalinya dengan sedikit
membaca kitab al-Ihya, baru kemudian membaca kitab fiqih.”

192
Demikian disebutkan oleh putranya, Sayyid Abdurrahman bin
Sulaimân247 dalam an-Nafas al-Yamânî.248
Syaikh Muhammad bin ’Awadh Bâfadhl249 mengatakan,
“Beliau—yakni al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, semoga
Allah memberi manfaat dengannya—menyukai jika seseorang
membaca kitab memulainya dengan membaca sesuatu yang
mengandung kabar gembira bagi yang mendengarkan. Pernah
datang kepadanya seorang pelajar yang ingin membaca kitab
Shahih al-Bukhâri, lalu mulai membaca pasal kitab al-janâiz (kitab
jenazah), maka wajah beliau berubah dan mencelanya dengan
keras, lalu mengatakan, ‘Apakah di dalam kitab ini tidak ada bab
lain selain bab tentang jenazah? Permulaan dan pembukaan yang
baik merupakan bukti kecerdasan dan kepandaian.’” Dinukil
dari kumpulan ucapannya.
Seorang ulama mengatakan, “Waktu terbaik untuk menghafal
adalah menjelang Subuh (sahur), untuk membahas adalah di waktu
pagi, untuk menulis adalah di tengah hari, dan untuk mempelajari
dan berdiskusi adalah di malam hari.” Al-Khathîb250 mengatakan,
“Sebaik-baik waktu menghafal adalah menjelang Subuh, kemudian
tengah hari, lalu pagi hari.” Beliau juga mengatakan, “Menghafal di
waktu malam lebih bermanfaat daripada menghafal di waktu siang,
waktu lapar lebih bermanfaat daripada waktu kenyang, dan sebaik-
baik tempat menghafal adalah kamar dan setiap tempat yang jauh
dari hal-hal yang melalaikan.”
Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan, “Setiap
ilmu memiliki pokok. Apabila seseorang mencermatinya, maka
cabang-cabangnya akan tercermati baginya. Barangsiapa yang
ingin menguasai suatu disiplin ilmu, hendaklah ia mengambil
pokoknya agar cabangnya mengikuti.”
Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith mengatakan, “Apabila
engkau telah mendapatkan suatu manfaat (pengertian), maka
berilah manfaat kepada yang lain, dan katakanlah kepadanya

193
    
          
 

         
     
   manfaat
agar memberikan  kepada
 yang
  lain
 lagi
 agar
  Allah

menambahkannya untukmu. Dalam sebuah syair dikatakan,

  
                       
Berilah pengertian yang kalian tahu kepada yang tak tahu 
Niscaya Allah akan memberi pengertian yang kalian tak tahu
         
  Al-Habib
   Alwi
 bin Abdurrahman
al-Masyhur,
semoga
    
Allah   manfaat
memberi      melaluinya,
   berkata,
     ilmu
“Penuntut 
harus memiliki tiga hal: jam untuk menepatkan waktu, kompas
untuk mengetahui  dan
kiblat, pena
untuk

 menulis
 segala yang
bermanfaat baginya.” 


Catatan Akhir
243. HR. Abu Daud (3658) dan at-Turmudzi (2649) serta selain mereka
berdua. Disampaikan oleh Abu Hurairah ra. dan selainnya. Hadits ini
memiliki beberapa teks yang dapat dilihat secara rinci dalam risalah
al-Hâfizh Ahmad al-Ghumâriy yang berjudul Raf‘u al-Manâr Li Hadîts:
Man Su`ila ‘An ‘Ilmin Fakatamahu Uljima Bilijâmin Mina an-Nar.
Risalah ini telah dicetak.
244. Diriwayatkan oleh al-Khatib dalam tarikh beliau (9: 350) dan juga
dalam alur sanad yang sama oleh Ibn Jauzi pada kitab al-Maudhû‘ât (no
458). Disampaikan oleh Anas ra.. Dan dalam riwayat Ibn Majah (224)
sebagai berikut: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. Dan
meletakkan ilmu kepada mereka yang bukan ahlinya, seperti orang
yang mengalungkan permata, mutiara, dan emas pada babi.” Al-Mizziy

194
berkata, “Diriwayatkan dari alur sanad yang mencapai kedudukan
hasan.” Dikutip dari catatan kaki pada Sunan Ibn Majah (1: 81).
245. An-Nuqâyah adalah kitab kecil yang di dalamnya al-Imam as-Suyûthi
meletakkan empat belas ilmu dan inti sari permasalahannya. Ilmu-ilmu
itu adalah; ilmu ushuluddin, tafsir, ushul al-fiqih, warisan, an-nahwu,
ash-sharaf, al-khath (pengetahuan tentang huruf ), ma‘âniy (memahami
makna), al-bayân (seluk-beluk bahasa), al-badi’ (seni dan sastra), at-
Tasyrih (mengulas), ath-Thib (pengobatan), dan tasawuf. Kemudian
kitab an-Nuqayah itu disyarahkan dalam kitab yang berjudul Itmâm
ad-Dirâyah Li Qurrâ` an-Nuqâyah. Kitab matan dan syarahnya telah
dicetak.
246. Al-’Allamah Nafîsuddîn Sulaiman bin Yahya bin Umar Maqbûl al-
Ahdâl (1137-1197 H). Seorang ahli hadits di kota Zabid yang terdapat
di negeri Yaman pada zamannya. Beliau mengetahui banyak ilmu
dalam bidang logika dan yang dinukil dari kitab. Di kota itu beliau
menjadi rujukan dalam fatwa.
247. Seorang ahli hadits, penulis biografi, dan termasuk ahli fiqih mazhab
Syafi‘i. Lahir di kota Zabid pada tahun 1179 H dan di sana pula beliau
wafat pada tahun 1250 H. Mereka adalah ahl bait yang mendapatkan
ilmu secara turun-termurun. Kakek mereka Yahya (wafat pada tahun
1147 H) adalah seorang musnid di kota itu di negeri Yaman. Anak
Yahya yang bernama Sulaiman (wafat pada tahun 1197 H) adalah
seorang ‘allamah yang menakjubkan, juga seorang mufti. Sedangkan
Abdurrahman (wafat pada tahun 1250 H) bin Sulaiman, memegang
kepemimpinan dalam fatwa, setelah ayahnya, dalam usia muda. Beliau
adalah seorang ‘allamah yang mendalami ilmunya. Muhammad (wafat
pada tahun 1260 H) bin Abdurrahman adalah seorang ulama dan
zuhud. Menggantikan posisi ayahnya dalam fatwa di akhir umurnya.
Lalu Sulaiman (wafat pada tahun 1304 H) bin Muhammad adalah
seorang mufti di kota Zabid dan salah satu gunung ilmu. Kemudian
anak beliau Abdurrahman, yang wafat di kota Makkah yang mulia
pada tahun 1310 H, adalah seorang ulama yang memiliki keutamaan.
Semoga Allah meridhai mereka semua.
248. Judulnya yang sempurna adalah an-Nafs al-Yamâniy wa ar-Rauh ar-
Raihâniy Fi Ijâzati al-Qudhâh Bani asy-Syaukâniy. Tentang biografi dan
sanad.
249. Al-‘Allamah al-Faqîh asy-Syaikh Muhammad bin ‘Awadh bin
Muhammad Bâ Fadhal al-Madzhajiy as-Sa’diy at-Tarîmiy (1303-1369

195
H) berguru dengan tekun kepada al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas
dan mendapat manfaat darinya serta mengumpulkan ucapan-ucapan
beliau yang berharga menjadi dua jilid, yang diberi judul Tanwîr al-
Aghlâs Bi Dzikri Anfâs Sayyidi al-Habib Ahmad bin al-Hasan al-Attas.
Di antara tulisan beliau adalah Shilatu al-Ahl Fi Manaqib Âl Abi Fadhl.
Kitab ini telah dicetak. Al-Imam Umar bin Ahmad bin Sumaith dalam
kitabnya an-Nafkhah asy-Syadziyyah halaman 83, menyifati beliau
sebagai seorang ulama yang mengamalkan ilmu, dan melampaui yang
lainnya dalam ilmu, amal, adab, kesempurnaan, dan keutamaan.
250. Al-Imam al-Hâfizh al-Kabîr al-‘Allamah yang menguasai berbagai ilmu
Abubakar Ahmad bin Ali bin Tsâbit al-Khatîb al-Baghdâdiy asy-Syafi‘i.
Beliau adalah penutup para penghafal hadits yang terdahulu (392-423
H). Setelah ad-Dârquthniy, Baghdad tidak menelurkan orang yang
terkuat hafalannya selain beliau. Memiliki beberapa karya tulis yang
menakjubkan dalam ilmu hadits dan selainnya. Sedangkan ahli hadits
sesudah beliau menimba dari kitab-kitab beliau. Di antara kitab beliau
adalah: al-Jâmi’ Li Akhlak ar-Râwiy Wa Adab as-Sâmi’, al-Faqîh Wa al-
Mutafaqqih, Târîkh Baghdâd, dan lain-lain.

196
  
         
          
               

 
 
       
      
 
      
    

 
  
          


5

 
    
        
 
   
         
Doa dan Zikir yang Bermanfaat 
 
   
bagi
  Penuntut

      Ilmu

 
     
        

kitab
Dalam al-‘Athiyyah
   al-Haniyyah,
  Al-Imam  Ali bin  Hasan

al-Attas mengatakan, “Ambillah sebagai zikir—dari al-Asma (al-
                 
Husna) yang menjadikanmu memiliki kemampuan menghafal ilmu,
memahami makna-makna, dan menuturkan hal-hal yang unik 
darinya—dua   nama
 ini,
  al-Mubdi-u
  (Yang Memulai
 Penciptaan),
   
al-Khâliq (Yang Maha Pencipta). Bacalah paling sedikit seratus kali
               
setiap hari dan tidak ada batas maksimalnya. Dan caranya adalah
dengan mengucapkan, ‘ya mubdi-u, ya khâliq’.” 
Beliau
  
 juga
   mengatakan,
  “Apabila
   hendak
  tidur,
    bacalah,
     

         
    
  
  
       
          
   


Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di
laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa
yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air
itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi;
sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan.
(QS. al-Baqarah: 164)

Karena, ia mengandung manfaat-manfaat yang banyak, di


antaranya dapat membantumu menghafal Al-Qur’an, dan tidak
akan lupa apa yang telah dihafal. Karena itu bacalah senantiasa
setiap hendak tidur pada waktu kapan saja, baik malam maupun
siang.”
Dalam kitab al-Itqân karya al-Imam as-Suyûthiy disebutkan,
“Ad-Dârimiy251 meriwayatkan dari al-Mughîrah bin Subai’I—
salah seorang sahabat Abdullah bin Mas’ud252—bahwa
barangsiapa membaca sepuluh ayat dari Surah al-Baqarah ketika
hendak tidur, ia tidak akan lupa hafalan Al-Qur’annya. Yaitu
empat ayat awal surah, Ayat Kursi, dua ayat sesudah Ayat Kursi,
dan tiga ayat akhir surah.”253
As-Syarjiy,254 dalam kitabnya al-Fawâid, mengatakan, bahwa
al-Kalbi255 berkata, “Saya mempunyai anak yang selalu lupa setiap
kali membaca sesuatu dari Al-Qur’an. Lalu saya bertemu dengan
seseorang yang mengatakan kepada saya, ‘Tulislah dalam cawan
air: Surah ar-Rahmân ayat 1 sampai 5, Surah al-Qiyâmah ayat
16 sampai 19, dan Surah al-Burûj ayat 21 dan 22, lalu tuangkan
padanya air zamzam dan minumkan pada anakmu, niscaya dia
akan hafal Al-Qur’an, insya Allah.” Demikian disebutkan oleh
Habib Ali bin Hasan al-Attas dalam kitab al-Qirthâs.

198
Syaikh Muhammad al-‘Umari dalam kitabnya, Bahr al-
Anwâr256 ketika menyebutkan manfaat-manfaat al-Asma al-
Husna mengatakan, “Barangsiapa yang menjadikan kebiasaan
menyebut nama Allah “al-‘Alîm”, niscaya dia dapat berbicara
tentang ilmu yang belum diketahuinya dan muncul hikmah
dari lisannya. Sedangkan nama Allah “al-Badi’”, orang yang
menyebutnya akan selalu diberi ilmu-ilmu ilahiyyah dan Allah
akan memunculkan ilmu-ilmu pada lisannya.”
Seorang syaikh mengatakan, “Sesungguhnya banyak membaca
dan menjadikan kebiasaan ucapan Bismillâh ar-Rahmân ar-Rahîm,
dapat menggantikan kedudukan seorang syaikh mursyid murabbi
(guru yang membimbing dan mendidik) bila seorang pelajar belum
menemukannya dan sangat membutuhkannya. Ukuran banyak
membaca huruf-hurufnya dalam sehari semalam adalah paling
sedikit 722 kali.” Demikian keterangan dari kitab al-Qirthâs.
Zikir berikut ini dibaca sebelum memulai pelajaran,
dan termasuk yang dapat menyebabkan futuh (keterbukaan)

sebagaimana disebutkan para salaf, yaitu,

       


 
  
      
    
Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan [yang 
    berhak
disembah]
     
selain  Allah,
Allah
 Mahabesar.
 Tidak
 ada   
daya dan upaya melainkan dengan izin Allah Yang Mahatinggi
lagi
  sejumlah
Mahaagung    huruf
setiap    telah
yang  ditulis
dan 
akan ditulis sepanjang masa dan selamanya. Mahasuci Engkau, 
tidak ada ilmu bagi kami melainkan yang telah Engkau ajarkan
kepada
   kami.
Sesungguhnya
  Engkau Maha
 Mengetahui
  lagi  Maha
   
Bijaksana. 
Demikian disebutkan oleh Habib Ali bin Abdurrahman
al-Masyhur   257dalam
kitab
  Lam’ah
  258
an-Nûr,  
dan  ia
        
   
199



       259


 
meriwayatkannya dari Habib Umar bin Hasan al-Haddad.

 Allah
 Semoga  memberikan
 manfaat
 dengan   keberkahan
mereka.

Disebutkan dari Habib Ahmad bin Hasan al-Attas, “Bila
seseorang ingin
memberi
peringatan
 atau
ingin
 mengajar,
 hen­

daklah mengucapkan doa ini, 
 
   
   
    
 

       
   nama
 Dengan  Allah
Yang
 Maha

lagi
Pengasih Maha  
 Penyayang.
Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkan bagiku urusanku,
 
 dan kekakuan
lepaskan  
dari
 
lidahku

agar
mereka

memahami

   
ucapanku, tepatkan lisanku, dan beri petunjuk hatiku dengan 
    
berkah kedudukan junjungan kami, Nabi Muhammad Saw.
  juga
Beliau mengatakan,
  “Barangsiapa  yang  ingin membahas    
  
 sesuatu 
atau 
ingin
  mengajar

     


seseorang,   
hendaklah

  menghadirkan

 

  dark
 ahli 
(para
 wali

yangsegera
 menyambut

 
orang


yang
meminta
 
tolong padanya) dan ahli bâthin(para   yang
wali menyatakan
  
 yang
  bahwa benar hanyalah realitas  batin),  dan ucapkanlah, 




  
 

 


  

   
Atas izinmu wahai ahli dark, wahai ahli bathin, wahai para  
i      
wakil Allah,



wahai  ahli

an-nur

  (para

pemberi

 
   
 
petunjuk). 
   
  Niscaya
 akan
mereka    dan
membantu   menolongnya
  (yakni,  
dengan
 keberkahan
 mereka).      
         
Dari Habib Hasan bin Shâlih al-Bahr, semoga Allah memberi 
manfaat dengannya, disebutkan bahwa untuk memahami ilmu, 
 
 
 
     
 
 
  
 
 
  
 
   
 

 

            
mengamalkannya, dan agar tidak melupakan ilmunya, hendaklah 
mengulang-ulang doa ini, 
 
           
           
        
 
        
      

 
           

200

 
   
   
    
 
       
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu pemahaman
para nabi, ingatan para rasul, dan ilham malaikat muqarrabin. 
 YaAllah,
 kayakanlah
  aku dengan ilmu, hiasilah aku dengan sifat
       
santun, muliakanlah aku dengan ketakwaan, dan baguskanlah
aku dengan afiat, wahai Yang Paling Penyayang di antara yang 
   penyayang.
     
Dikutip dari kumpulan ucapan Habib Ahmad bin Hasan
sebagai
al-Attas berikut,
  diriwayatkan
 bahwa
 seorang
 laki-laki
 
datang kepada Nabi Saw, lalu mengatakan, “Ya Rasulullah,
sesungguhnya aku banyak lupa.Ajarilah aku sesuatu.”
Maka
 
beliau bersabda kepadanya, “Ucapkanlah ketika hendak tidur, 

 
           
Ya Allah, jadikanlah diriku tenteram, mengimani perjumpaan 
ki
dengan-Mu, merasa puas dengan pemberian-Mu, dan ridha
 
 dengan
 ketentuan-Mu.
      
“Orang itu kemudian mengatakan, “Setelah itu (setelah   
260
membacanya), aku tidak lupa lagi akan sesuatu.” Bacaan di
atas dibaca setiap hari tiga kali
Untuk menghindari lupa juga, disebutkan dari Habib Ali bin
Muhammad al-Habsyi, adalah dengan membaca firman Allah
Ta’ala sabbihisma rabikal-a’la (Surah al-A’la didahului dengan
basmalah) sampai sanuqriuka fala tansa (ayat 1 sampai 6) dan
mengulanginya ( ayat ke-6) tujuh kali.
Diriwayatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib krw. bahwa
seorang laki-laki mengadu kepadanya tentang sifat pelupanya,
maka beliau mengatakan, “Hendaklah engkau minum luban
(kemenyan Arab), karena sesungguhnya ia menimbulkan
keberanian di hati dan menghilangkan lupa.” Disebutkan pula
dari Ibnu Abbas bahwa meminumnya bersama gula sebelum
makan pagi baik untuk urine dan menghilangkan lupa.
Disebutkan pula bahwa seorang laki-laki pelupa mengadu
kepada Anas ra., maka beliau mengatakan, “Gunakanlah kundur

201
(jenis dari kemenyan Arab), rendamlah di waktu malam, dan
minumlah pada pagi harinya sekali teguk sebelum makan pagi,
sesungguhnya itu bagus untuk menghilangkan lupa.” Demikian
disebutkan dalam Zâd al-Ma’âd.
Disebutkan pula ada beberapa hal yang dapat menimbulkan
lupa, seperti berbekam di bagian lubang di tengkuk, berlebihan
makan ketumbar halus, makan apel yang asam, banyak berduka
dan bersedih, memandang air yang diam (tak mengalir) dan
buang air kecil di dalamnya, memandang sesuatu yang disalib,
banyak membaca nisan kuburan, berjalan di antara dua unta
yang sedang dihela, dan memakan makanan yang telah dimakan
tikus. Hal ini kebanyakan diketahui dari pengalaman.
Dari Ibn Syihab,261 sesungguhnya beliau tidak suka
makan apel dan makanan yang telah dimakan tikus, dan beliau
mengatakan, “Hal itu dapat menyebabkan lupa,” dan beliau suka
meminum madu dan mengatakan, “Hal itu dapat mencerdaskan.”
Habib Ali bin Abdurrahman al-Masyhur mengatakan bahwa
lemak di bagian belakang kepala kambing mendatangkan ilmu
bagi yang memakannya. Beliau menyukai dan memakannya
dengan tujuan tersebut, dan menganjurkan agar memanggangnya.
Beliau juga mengatakan, bahwa sebagian ulama mengatakan,
“Sesungguhnya anak yang memiliki kepala besar akan menjadi
alim.” Beliau juga berkata, “Anak yang dicukur kepalanya setiap
hari Rabu selama empat kali berturut-turut sejak lahir akan
menjadi alim.” Demikian dikutip dari kitab Lam’ah an-Nûr.
Imam Ali krw. mengatakan, “Ada tiga hal yang da­
pat menambahkan (menguatkan) hafalan dan meng­hilangkan
lendir: siwak, puasa, dan membaca Al-Qur’an.” Sebagian ulama
mengatakan, “Makan dua puluh satu butir kismis merah
setiap hari sebelum makan pagi dapat menguatkan hafalan dan
menyembuhkan banyak penyakit. Dan setiap yang mengurangi
lender dan keringat akan meningkatkan hafalan, sedangkan
yang menambah lendir akan menyebabkan lupa. Banyak lendir

202
adalah karena banyak minum, dan banyak minum adalah
karena banyak makan. Siwak dapat mengurangi lendir serta
meningkatkan hafalan dan kefasihan. Demikian pula makan
kismis dan roti kering, dapat menghentikan lendir. Selain itu di
antara yang dapat menyebabkan lupa adalah banyak berduka dan
bersedih hati karena urusan dunia, dan banyaknya kesibukan dan
keterikatan terhadap dunia.”

Catatan Akhir
251. Dalam sunannya (2: 906) tentang keutamaan Al-Qur’an, hadits nomer (3262).
252. Ibn Mas‘ud sahabat ra.
253. Al-Itqân Fi ‘Ulûm Al-Qur’an (2: 1156) tentang jenis ketujuh puluh
lima pada keistimewaan Al-Qur’an.
254. Al-‘Allamah al-Muhaddits al-Yamâniy Syihâbuddîn Ahmad bin Ahmad
bin Abdullathîf asy-Syarjiy az-Zabîdiy (812-893 H). Beliau masyhur
dan wafat di kota Zabid. Menulis kitab at-Tajrîd ash-Sharîh Li Ahâdîts
al-Jâmi’ ash-Shahîh yang dikenal dengan Mukhtashar az-Zabîdiy,
Thabaqât al-Khawâsh, dan al-Fawâ`id, serta selainnya.
255. Al-‘Allamah al-Akhbâriy Abu an-Nadhar Muhammad bin as-Sâ`ib bin
Bisyr al-Kalbiy merupakan seorang ahli tafsir (wafat pada tahun 146
H). Beliau juga memimpin dalam pengetahuan nasab, hanya saja beliau
ini termasuk dalam ketegori matruk al-Hadits.
256. Seperti yang dikutip oleh al-Habib Ali bin Hasan al-Attas dalam
kitabnya yang berjudul al-Qirthâs (1: 103)
257. Seorang ulama, pendidik dan disepakati tentang kebesaran beliau.
Beliau seorang yang mengembalikan sesuatu kepada Allah, ahli ibadah,
dan khusyu. Dikatakan bahwa beliau adalah gambaran dari orang-orang

203
    

 
   
   
    
 
besar dalam kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah. Beliau adalah al-Habib
Ali
 bin
Abdurrahman
 bin
 bin
Muhammad Husain
  bin
al-Masyhur
Ba
‘Alawi (1274-1344 H). Di antara murid beliau adalah, asy-Syaikh al-
Islam Abdullah bin Umar asy-Syâthiriy, al-Habib Salim bin Hafizh dan

  al-Habib
 Alwi
 
binSyihâb,
serta
orang-orang
 yang    kedudukan
memiliki     
yang tinggi lainnya.
258. Lum‘ah an-Nûr Fi Manâqib al-Habîb al-‘Allamah Ali bin Abdurrahman 
al-Masyhûr, hasil karya al-‘Allamah as-Sayyid Muhammad bin Saqqâf
 Zain
 bin Muhsin
bin al-Hâdiy.
  Berbentuk
 tulisan
 tangan.
   
259. Al-Imam al-Waliy al-‘Alim al-‘Arifbillâh al-Habib Umar bin Hasan bin
Abdullah
 bin Ahmad   bin
 al-Hasan
bin
al-Imam
 Abdullah
   
bin Alwi al-

   


Haddad (1235-1308 H). Beliau lahir dan wafat di kota Tarim. Menimba
ilmu dari orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, seperti al-
Habib Abdullah bin Husain bin Thâhir, as-Sayyid Muhammad bin 
Husain al-Habsyi dan Al Bâ Saudân di kota Khuraibah, serta selain
  mereka.
          
260. HR. ath-Thabraniy dalam al-Mu’jam al-Kabir (7364). Disampaikan 
oleh Abu Umamah ra., tanpa cerita, dengan lafaz:
 
        
Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu jiwa yang merasa 
tenteram dengan-Mu, beriman pada pertemuan dengan-Mu, rela
terhadap ketetapan-Mu, dan merasa cukup atas pemberian-Mu.
261. Beliau adalah al-Imam az-Zuhriy, Abubakar Muhammad bin Muslim
bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihâb. Seorang tabi‘in yang tinggal
di kota Madinah dan penghafal hadits. Termasuk salah satu pemimpin
yang terkenal dan seorang ulama Hijaz juga di Syam (51-123 H).

204
205
Bab 6
Keutamaan
ILMU DAN
KITAB SALAF
“Ada dua ilmu yang jika orang-orang yang
belajar agama di masa kini mempelajarinya,
kami tidak merasa aman, yaitu ilmu hakikat
dan ilmu khilafiyyah (perbedaan) di antara
para imam. Kami memiliki kitab-kitab yang
banyak tentang kedua hal tersebut, tetapi
kami tidak menunjukkannya.”
1
Ilmu yang Bermanfaat

Rasulullah Saw. bersabda, “Ilmu ada dua. Ilmu yang di dalam hati,
itulah ilmu yang bermanfaat. Dan ilmu yang berada di lisan, yang akan
menjadi hujjah Allah terhadap seorang manusia.”262
Imam Malik pernah mengatakan, “Ilmu bukanlah dengan
mengetahui banyaknya riwayat, melainkan ilmu adalah cahaya yang
Allah masukkan ke dalam hati seseorang.” Al-Imam Idrus bin Umar
Al-Habsyi mengatakan, “Ilmu jika terletak di hati, merupakan
cahaya. Dan jika terletak di dalam diri, merupakan api.”
Di antara ucapan al-‘Arif billah Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas
adalah, “Ilmu ada dua: Pertama, ilmu yang menjadikan pemiliknya memiliki
rasa takut (kepada Allah) dan merupakan cahaya. Setiap kali ilmu ini
bertambah pada diri seseorang, bertambah pula pengenalannya terhadap
dirinya dan dapat memastikan bahwa dia tidak mengetahui ilmu sedikit pun.
Kedua, ilmu lisan. Setiap kali ilmu ini bertambah pada seseorang, bertambah
pula pengakuan-pengakuannya, dan menyangka bahwa tak ada orang yang
ilmunya seperti dirinya.” Demikian ucapan beliau.
Dalam atsar dikatakan, “Betapa banyak pohon, tetapi tidak
semuanya berbuah; betapa banyak buah, tetapi tak semuanya baik.
Betapa banyak ulama, tetapi tidak semuanya menjadi pembimbing.
Betapa banyak ilmu, tetapi tidak semuanya bermanfaat.” Demikian
yang disebutkan dalam atsar. Jadi, ilmu yang bermanfaat adalah
yang membuat hati bertambah zuhud di dunia, bertambah ingin
kepada akhirat, bertambah tawadhu, dan bertambah khusyu’
kepada Allah.
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam al-Fushûl al-
’Ilmiyyah mengatakan, “Apabila engkau ingin mengetahui ilmu
dan amal yang bermanfaat dan penting bagi dirimu, dan yang
lebih bermanfaat dan lebih penting, maka hadirkanlah dalam
dirimu bahwa engkau akan mati esok, akan menuju kepada
Allah, dan berdiri di hadapan-Nya. Lalu Dia bertanya kepadamu
tentang segala sesuatu dari ilmu, amal, dan semua keadaan dan
hal ihwalmu, kemudian engkau akan menuju surga atau neraka.
Ilmumu yang penting dan bermanfaat adalah yang engkau dapati
pada penghadiran itu, dan itulah ilmu yang utama bagimu. Dan
yang lebih penting bagimu, serta lebih layak dan lebih patut,
adalah yang seharusnya engkau sibuk dengan ilmu itu terus-
menerus.”
Al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi mengatakan, “Per­
umpamaan ilmu-ilmu akhirat adalah seperti makanan pokok,
selalu dibutuhkan pada pagi maupun petang. Sedangkan
ilmu-ilmu lainnya—beliau mengisyaratkan pada persoalan
cabang (furu’) dalam fiqih yang jarang, dan yang semacamnya—
adalah seperti buah-buahan dan hal-hal lain yang tidak selalu
dibutuhkan.” Demikian beliau menyebutkan dalam kitab Qurrah
al-‘Ain.
Al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi mengomentari hadits
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim”,263 sebagai
berikut, “bahwa orang-orang berbeda pendapat mengenai makna
hadits ini. Masing-masing menempatkannya pada disiplin ilmu
tertentu. Pendapat yang paling benar mengenai itu sesungguhnya
adalah ilmul-hal. Yaitu ilmu tentang kegiatan yang harus
dilakukan seseorang sejak pagi hingga petang. Sesungguhnya
di antara ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim adalah
yang dapat menyampaikan kepada pengertian tentang halal

210
untuk dirasakan, dan pengertian tentang haram untuk dijauhi.”
Demikian keterangan dari kitab an-Nahr al-Maurûd.
Sayyidina Syaikh Ali bin Abu Bakar mengatakan dalam kitab
Ma’ârij al-Hidâyah, “Sesungguhnya ilmu yang hukumnya fardhu
‘ain ada tiga macam,
Pertama, mengenal Allah Ta’ala. Yakni, mengenal Dzat-Nya,
sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya, agar engkau
mengetahui siapa yang engkau sembah dan menaati siapa
yang engkau tuju.
Kedua, mengetahui segala yang diwajibkan atas seorang hamba
pada lahiriahnya dari hukum-hukum syariat dan manfaat-
manfaatnya.
Ketiga, Segala yang diwajibkan atas seorang hamba pada
batin­iahnya, yaitu ilmu tentang hati. Ilmu ini penting dan
banyak ditinggalkan orang. Ilmu ini disebut juga al-fiqh
al-kabîr (fiqih yang besar) … dan seterusnya sampai akhir
ucapannya.”
Syaikh Abu Abdurrahman as-Sulamiy264 mengatakan,
“Setiap ilmu yang tidak memberi pemiliknya perasaan takut,
tawadhu’, rasa ingin menasihati dan kasih-sayang kepada
makhluk, juga tidak membuatnya dapat bermuamalah secara
baik dengan Allah, menunaikan amanah, menyalahi hawa nafsu,
dan menjauhi syahwat, maka yang demikian adalah ilmu yang
tidak bermanfaat. Itulah ilmu yang Nabi berlindung darinya
dengan mengatakan, ‘Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu
yang tidak bermanfaat.’”265
Seseorang bertanya kepada al-Junaid, “Ilmu apa yang paling
bermanfaat?” Dia menjawab, “Ilmu yang menunjukkan engkau
kepada Allah dan menjauhkanmu dari dirimu.” Demikian
disebutkan oleh Ibnu ‘Abbâd266 dalam kitab Syarh al-Hikam.
Al-Imam al-Allamah Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih
dalam kitab Fath Bashâir al-Ikhwân mengatakan, “Ilmu adalah
pintu agama yang paling agung dan sebab kedekatan kepada Allah

211
yang paling penting. Dengan ilmu, seseorang dapat mengenal
kelemahan, kekurangan, kehinaan, dan kefakiran dirinya. Dengan
ilmu pula seseorang mengenal Tuhan, sifat kebesaran-Nya,
keadaan-Nya yang tak butuh kepada makhluk, dan anugerah-
Nya yang diberikan kepadanya dalam semua urusannya. Maka
ilmu yang tidak menghasilkan buah ini dan tidak menjadikan
ma’rifah tumbuh di pohon ini, sama sekali bukanlah termasuk
ilmu agama. Dan yang seperti itu hanyalah ucapan yang tidak
bermanfaat. Jika ilmu tidak memberi petunjuk, cahaya, dan
keyakinan, sesungguhnya hanyalah bala, kerusakan, dan sifat
orang-orang munafik. Jadi, setiap ilmu yang tidak mendekatkan
seseorang kepada Allah, maka tidak ada artinya di sisi Allah.”

Beliau mengatakan dalam sebuah syair,

        
Ilmu pemilik cahaya berada di hatinya 
Sedangkan ilmu pemilik dosa berada pada lisannya 
 Sayyidina

   al-Imam
 Abdullah
 al-Haddad

 mengatakan,

 
 sesuatu
“Segala    yang
 memalingkan
    hatimu
dari
Allah
baik

 berupa

ilmu atau selainnya, atau yang membuat hatimu bimbang,
tinggalkanlah, meskipun itu  termasuk ilmu akhirat. 
Perbedaan ilmu-ilmu adalah seperti perbedaan jalan. Ambillah
darinya yang engkau butuhkan. Sebagaimana ketika engkau melihat
jalan yang banyak dalam suatu perjalanan, maka janganlah engkau
tempuh semua jalan, melainkan pilihlah satu saja sebagai jalanmu.”
Beliau juga menyamppaikan kepada sebagian orang, agar
 mengambil
 ilmu-ilmu    dan
  al-Ghazali yang
sejalur
dengannya,
 
baik
  tentang tasawuf maupun fiqih, yang merupakan ilmu
                
syariah dan yang nyata dari Al-Qur’an dan sunnah, lebih-lebih
ilmu yang mengantarkan  pada
 keselamatan dan keberuntungan. 
Dan jagalah dari selainnya, karena hal itu boleh jadi mengganggu
seseorang dalam perjalanannya.
 
      
  
    
         
  
212
   
Al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi mengatakan, “Tidak
diragukan lagi bahwa mempelajari kitab-kitab yang biasa
dibaca oleh masyarakat, seperti kitab-kitab al-Ghazali, adalah
lebih utama daripada melakukan pendekatan (taqarrub)
dengan ibadah-ibadah sunnah, karena di dalamnya terkandung
pengenalan tentang kondisi jiwa dan juga manfaat yang besar.”

Catatan Akhir
262. HR. Ibn Abu Syaibah, al-Hakim, at-Turmudzi, Ibn Abdurrahman
al-Hasan al-Bashri secara mursal dengan sanad yang dishahihkan oleh
al-Hâfizh al-Mundzir dan al-Hâfizh al-‘Irâqiy. Lalu dishahihkan pula
oleh Rif‘ah dari al-Hasan dari Jabir seperti yang dinukil semua itu oleh
Abdurrauf al-Munawiy dalam kitab al-Faidh (4: 391).
263. Diriwayatkan dari Anas dan selain beliau dari kalangan para sahabat.
Al-‘Irâqiy berkata, “Telah dishahihkan oleh sebagian imam sebagian
alur sanadnya.” Al-Mizziy berkata, “Alur sanadnya mencapai derajat
hasan (di bawah shahih).” Lihatlah takhrij hadits ini, dengan
pembahasan yang panjang di hadapan al-Hâfizh as-Sakhawiy dalam
kitab al-Maqashid al-Hasanah. (Halaman 327-328).
264. Al-Imam, seorang panutan, bersifat zuhud, sufi, menghafal banyak hadits,
guru besar Khurasân, Abu Abdurrahman Muhammad bin al-Husain as-
Sulamiy (wafat 412). Penulis banyak kitab, seperti Thabaqât ash-Shûfiyyah,
‘Uyûbu an-Nafs Wa Mudâwâtiha, Adab ash-Shûfiyyah, dan lain-lain. Abu
Abdillah al-Hâkim berkata, “Jika Abu Abdurrahman itu bukan termasuk
wali abdal, maka Allah tak memiliki wali di muka bumi ini.”
265. HR. Muslim dalam kitab shahihnya (2722) dan selainnya. Disampaikan
oleh Zaid bin Arqam ra..
266. Seorang ahli fiqih, penceramah dan penasihat, wali dan ‘arifbillah al-
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ibrahim bin ‘Abbâd an-Nafziy al-
Himyariy ar-Rundiy—berasal dari (Rundah) di Andalusia—al-Mâlikiy
(733-792 H). Di antara karya tulis beliau adalah kitab yang menjelaskan
kitab al-Hikam al-‘Athâ`iyyah yang sangat berharga, yang diberi judul
Ghaits al-Mawâhib al-‘Athiyyah, telah dicetak, dan ar-Rasâ`il al-Kubrâ,
juga ash-Shughrâ, dan lain-lain.

213
2
Keutamaan Kitab Salaf
Dibanding yang Lain

Al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas sering kali menganjurkan


orang untuk mempelajari kitab-kitab salaf dan mendorong untuk
membacanya. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya di dalamnya
terdapat cahaya, keberkahan, dan ilmu. Dan setan membaguskan
bagi manusia segala kesibukannya dengan kitab-kitab yang rumit
untuk mengalihkan mereka dari kebaikan dan keberkahan, serta
menghalangi mereka mendapatkan ilmu. Karena ia mengetahui
bahwa jika menekuni kitab-kitab salaf, mereka akan mendapatkan
ilmu dan amal.”
Beliau juga mengatakan, “Barangsiapa menginginkan kemajuan,
hendaklah membaca kitab-kitab orang terdahulu. Dan barangsiapa
menginginkan kemunduran, hendaklah membaca kitab-kitab orang
belakangan.” Beliau juga mengatakan, “Hendaklah kalian membaca
kitab-kitab salaf karena mereka menghimpun antara ilmu, amal,
keikhlasan, dan kejujuran. Adapun tindakan sebagian orang yang
berpaling dari kitab-kitab salaf dalam fiqih dan selainnya, merupakan
nasib buruk dan tindakan sewenang-wenang dalam agama, serta
mengikuti hawa nafsu. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.”
Beliau juga mengatakan, “Di antara musibah yang umum adalah
sebagian besar orang belakangan meyakini bahwa mereka lebih
mengerti dibanding orang-orang terdahulu dan lebih hati-hati
dibanding mereka. Padahal, mereka tidak melakukan apa-apa
kecuali hanya menyimpulkan perkataan orang-orang terdahulu
dan menggabungkan sebagian dengan sebagian yang lain. Mereka
juga membuang dalil-dalil dan alasan-alasan (al-‘illal) serta merasa
cukup dengan itu, lalu mengatakan, ‘Inilah hasil dari ilmu.’”
Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya para ahli fiqih dan
para penuntut ilmu, saat ini tidak berniat mengambil ilmu dari
tiga hal. Pertama, Al-Qur’an. Mereka tidak merenungkan, tidak
berusaha memahami, dan tidak mengambil ilmu darinya. Kedua,
kitab-kitab hadits dan sunnah. Mereka tidak membacanya
melainkan hanya untuk mendapatkan keberkahan saja,
tidak untuk selainnya. Ketiga, tidak menerima dan membaca
perbandingan pendapat yang lebih benar dan jelas dari kitab-
kitab salaf, kecuali hanya untuk mencari dalil atau penjelasan
saja. Tahukah engkau mengapa mereka tidak dapat memahami
makna-makna Al-Qur’an? Hal itu karena mereka tidak menyukai
kitab-kitab salaf yang lama, karena kitab tersebut terdiri dari dalil,
alasan (ta’lîl), dan pandangan (tanzhîr). Karenanya jika engkau
melihat seorang alim besar, engkau akan mendapati batinnya
gelap karena kosong dari Al-Qur’an dan ilmu sunnah nabi.”
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan,
“Seseorang yang memerhatikan karangan orang-orang
belakangan, niscaya akan melihat kekurangannya dibanding
karangan orang-orang terdahulu. Karena lebih jelas dan niat
mereka lebih baik.”
Di antara ucapan al-‘Arif billah Habib Abdullah bin Muhsin
al-Attas adalah, “Jika engkau melihat atau mendengar sesuatu
dari kitab-kitab, maka bandingkanlah ia dengan amal para salaf
dan kitab-kitab mereka. Jika sesuai dengan petunjuk mereka
maka peganglah, dan jika tidak sesuai, tinggalkanlah. Karena
mereka merupakan timbangan dalam menilai perbuatan pada
semua keadaan. Mempelajari dan membaca kitab-kitab mereka

215
tergolong berbakti kepada mereka, sedangkan meninggalkannya
tergolong kedurhakaan. Boleh saja mempelajari kitab-kitab lain,
tetapi harus disertai mempelajari kitab-kitab mereka.”
Beliau mengatakan, “Kitab-kitab Habib Abdullah bin Alwi
al-Haddad mencukupi bagi orang yang berpegang dengannya,
dan menampakkan hakikat-hakikatnya bagi orang yang
berpegangan padanya. Habib Abdullah tidak berpisah dengan
kitab-kitabnya,267 karena segala hal terdapat dalam ucapan beliau.
Dan semua ilmu terdapat dalam dîwân (kumpulan ucapan atau
syair) Habib Abdullah al-Haddad.”
Beliau mengatakan, “Ilmu-ilmu Habib Abdullah al-Haddad
semuanya bersifat wahbiyah (pemberian langsung dari Allah,
tanpa usaha). Tetapi beliau menutupinya dengan gambaran ilmu
lahir, dan menghimpun ilmu lahir dan batin dalam ucapannya.”
Imam Muhammad bin Zain bin Sumaith mengatakan,
“Hendaklah engkau membaca kitab-kitab bermanfaat. Dan
tidak ada yang lebih bermanfaat, lebih baik, dan lebih tinggi
dibandingkan dengan kitab-kitab junjungan kami, Habib
Abdullah al-Haddad, terutama kitab an-Nasaih, ad-Da’wah,
dan Diwan. Maka hendaklah engkau membacanya, insya Allah
engkau akan selamat dari kehancuran dan akan terangkat kepada
singgasana yang tinggi.”
Beliau juga menyebutkan bahwa Habib Abdullah al-Haddad
pernah berkata, “Barangsiapa yang memiliki kitab Diwan, ia
tidak membutuhkan yang lainnya. Tidakkah engkau mengetahui
bahwa kami tempatkan ilmu-ilmu dan rahasia-rahasia yang tidak
kami tempatkan pada karangan-karangan yang lain?”
Di dalam kitab Tatsbît al-Fuâd disebutkan bahwa Habib
Abdullah al-Haddad mengatakan, “Tidak tersisa sesuatu
perkara pun yang dibutuhkan oleh para salik, melainkan telah
kami tempatkan dalam kitab-kitab kami. Maka barangsiapa
yang menginginkan sesuatu darinya, akan mendapatkannya di
dalamnya.”

216
Diriwayatkan dari sebagian para pembesar ‘arifin yang
mengatakan, “Imam Ghazali memintal ilmu-ilmu thariqah,
Imam asy-Sya’rani menenunnya, Habib Abdullah bin Alwi al-
Haddad memutihkan dan meningkatkan kualitasnya, dan Habib
Abdullah bin Husain bin Thâhir memotong dan menjahitnya,
dan setelah itu tidak tersisa lagi melainkan pakaian (yang siap
dipakai) bagi orang yang mendapatkan taufik untuk itu.”

Kitab-kitab Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali


Al-Imam Abdullah al-Haddad mengatakan, “Senantiasalah
mempelajari kitab-kitab Imam al-Ghazali. Karena di antara kitab-
kitab yang ada, ia bagaikan lauk-pauk di antara makanan, bahkan
lebih tinggi dari itu. Karena makanan jika engkau tak menyukainya,
dapat membiarkannya sampai lain waktu. Sedangkan kitab-
kitab al-Ghazali sama sekali tidak bisa ditinggalkan, karena ia
menghimpunkan syariat, thariqah, hakikat, dan warisan para
salaf. Setelah Imam al-Ghazali mengarang kitab al-Ihya, seorang
ulama melihat setan menaburkan tanah di kepalanya. Lalu dia
berkata kepadanya, ‘Ada apa denganmu?’ Dia menjawab, ‘Telah
dikarang sebuah kitab tentang Islam yang aku khawatir manusia
akan mengikutinya.’”
Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi mengatakan, “Apabila
Imam al-Ghazali telah mengatakan suatu perkataan, maka
janganlah berpaling kepada perkataan orang yang menyalahinya.
Cukuplah perkataannya sebagai hujjah karena beliau merupakan
imam para fuqaha dan para sufi.”
Syaikh al-Quthb Abdullah bin Abubakar al-‘Aydarus
mengatakan, “Para ulama ‘arifin sepakat bahwa tidak ada sesuatu
yang lebih bermanfaat bagi hati dan lebih mendekatkan diri
kepada keridhaan Allah Swt., selain mengikuti al-Ghazali dan
menyukai kitab-kitabnya. Kitab-kitab al-Ghazali merupakan inti
dari Kitabullah dan sunnah, serta inti dari segala yang logis dan
yang dikutip.”

217
Di antara ucapan Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas
adalah, “Al-Ghazali di kalangan para wali, atau di kalangan ulama,
seperti junjungan kita, Nabi Muhammad di kalangan para nabi.
Sedangkan Imam Nawawi merupakan quthub para fuqaha.”
Diriwayatkan dari Syaikh al-Quthb Abdurrahman as-
Saqqâf bahwa beliau pernah mengatakan, “Barangsiapa yang
tidak membaca kitab al-Muhadzdzab, dia tidak mengetahui
kaidah-kaidah mazhab. Barangsiapa yang tidak membaca kitab
at-Tanbih maka dia tidak akan terjaga. Barangsiapa yang tidak
menelaah kitab al-Ihya, maka baginya tidak ada kehidupan. Dan
barangsiapa yang tidak memiliki wirid maka dia seperti qird
(monyet).”
Habib Ahmad bin Hasan al-Attas pernah mengatakan,
“Dulu sebelum kitab al-Ihya sampai kepada keluarga Ba Alawi,
mereka ingin mengarang sebuah kitab untuk kalangan mereka
dan setelahnya, yang dapat memelihara jalan hidup dan segala
yang mereka dapati dari ilmu dan amal salaf mereka. Ketika
bermusyawarah untuk melakukan itu, sampailah kepada mereka
kitab al-Ihya. Kitab itu mengagumkan dan sesuai dengan mereka.
Maka mereka merasa cukup dengannya daripada kitab yang lain.”

Catatan Akhir
267. Maksudnya ruh beliau tidak meninggalkan tempat-tempat yang di sana
dibacakan kitab-kitab beliau. Semoga Allah memberi manfaat kepada
kita melaluinya.

218
3
Kitab-kitab Pilihan yang
Diwasiatkan

KITAB-KITAB TAFSIR

Tafsir al-Baghawi268: Ma’âlim at-Tanzîl


Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan, “Rukun
agama menurut kami ada empat. Kitab al-Bukhari dalam hadits,
kitab al-Baghawi dalam tafsir, kitab al-Minhaj dalam fiqih, dan
kitab Ihya ‘Ulumuddin dalam kitab-kitab yang komprehensif.
Inilah aturan-aturan yang padanya diletakkan bangunan. Kami
telah mengkaji banyak kitab, kami tidak melihat yang lebih
lengkap dari kitab-kitab itu, sedangkan waktu terbatas. Dan
aturan-aturan yang diletakkan padanya bangunan, merupakan
penopangnya.” Demikian keterangan dari kitab Tatsbît al-Fuâd.
Beliau juga mengatakan, “Tafsir al-Baghawi tergolong tafsir
yang terbaik, tetapi mempelajari kitab ini hanya baik bagi orang
yang berilmu atau di hadapan seorang alim, karena di dalamnya
terdapat beberapa hal yang sulit, dan mencakup tujuh ilmu.”
Di dalam kitab al-‘Athiyyah al-Haniyyah karangan al-Habib
Ali bin Hasan al-Attas terdapat keterangan sebagai berikut, “Para
Sadah Ba Alawi menganjurkan membaca kitab Tafsir al-Baghawi,
yang memang pantas untuk itu. Seperti yang dikatakan dalam
peribahasa, ‘Dirinya terungkap dari cara larinya. Dan buktinya
adalah warnanya yang kekuning-kuningan. (‘Ainuhu firâruhu, wa
syâhiduhu ishfirâruhu).’” Dan beliau juga mengatakan, “Kitab itu
merupakan sandaran dalam pendalaman hal itu.”

Tafsir ath-Thabari:269 Jâmi’ al-Bayân


Imam an-Nawawi, dalam kitab at-Tahdzîb, mengatakan, “Kitab
Ibnu Jarîr (ath-Thabari) dalam tafsir, tidak ada orang yang
mengarang seperti itu.”270 Imam as-Suyûthiy mengatakan dalam
kitab al-Itqân, “Sesungguhnya kitab tersebut merupakan kitab
tafsir yang paling hebat dan paling penting karena membentangkan
pendapat-pendapat dan membandingkan sebagian terhadap
sebagian yang lain, juga menjelaskan, dan mengintisarikan
hukum (istinbath). Karena kitab ini mengungguli kitab-kitab
yang lain.”271
Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas, setelah dibacakan
kepadanya kitab tafsir Ibnu Jarîr, mengatakan, “Barangsiapa yang
menginginkan ilmu yang terambil dari sisi kerasulan hendaklah
membaca tafsir ini. Dan tidaklah disebut sebagai ulama yang
memberikan ungkapan-ungkapan yang rumit, melainkan
mereka yang memberi penjelasan serta menekuni ilmu dengan
hati, tubuh, dan jiwa, adalah yang disebut ulama.”

Kitab-kitab Hadits dan Syarah-Syarahnya


Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan, “Tidak ada
sesuatu yang lebih bermanfaat dalam mendidik dan melatih jiwa
seperti ucapan Rasulullah Saw., karena Allah telah menjadikannya
sebagai perantara antara Dia dan para makhluk-Nya. Ucapan
tersebut telah mensyariatkan bagi mereka syariat-syariat yang
berisi petunjuk, kebaikan, kebaktian, dan kebajikan. Serta
memerintahkan untuk menyampaikan apa yang diturunkan
kepadanya dari Tuhannya. Karena itu, kalian harus berpegang

220
pada sunnah beliau yang ditunjukkan oleh ucapan dan
perbuatannya.”

Shahih al-Bukhari272
Diriwayatkan dari Syaikh Abu Zaid al-Marwaziy,273 yang
mengatakan, “Suatu ketika aku tidur di antara Rukun Yamani dan
Maqam Ibrahim. Tiba-tiba aku melihat Nabi Saw. dalam mimpi,
lalu beliau mengatakan, ‘Wahai Abu Zaid, sampai kapan engkau
mempelajari kitab asy-Syafi’i dan tidak mempelajari kitabku?’
Maka aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa kitabmu?’
Beliau menjawab, ‘Kumpulan oleh Muhammad bin Ismail, yakni
Shahîh al-Bukhâri.’” Demikian dikutip oleh an-Nawawi dalam
kitab Tahdzib al-Asmâ’.274

Sunan Abi Daud275


Al-Khaththâbi mengatakan, “Sesungguhnya kitab Sunan Abu
Daud merupakan kitab yang mulia, tidak pernah dikarang di
seluruh dunia kitab seperti itu. Abu Daud telah menghimpun
dalam kitabnya ini hadits-hadits mengenai pokok-pokok ilmu,
pokok-pokok sunah, dan hukum-hukum fiqih, di mana setahu
kami tidak ada kitab yang mendahuluinya dan tidak ada pula yang
mengikutinya.” Beliau juga mengatakan, “Kami mendapatkan
riwayat dari Muhsin bin Muhammad bin Ibrahim al-Wâdzâriy,276
yang mengatakan, ‘Aku melihat Nabi dalam mimpi, lalu beliau
mengatakan, ‘Barangsiapa yang ingin berpegang pada sunnah
hendaklah membaca kitab yang dikarang Abu Daud.”277

Jâmi’ at-Tirmidzî278
Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan, “Sesungguhnya
Imam Ghazali di akhir umurnya sangat menyukai ilmu
hadits.” Beliau juga mengatakan, “Kitab hadits yang paling
sering dibacanya adalah Jami’ at-Tirmidzî hingga diriwayatkan
bahwa beliau mengatakan, ‘Barangsiapa yang memiliki kitab

221
Jâmi’ at-Tirmidzî seolah-olah di sisinya ada seorang nabi yang
berbicara.’”279

Al-Muwaththa’280 Karya Imam Malik


Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan mengenai kitab
al-Muwaththa’ karangan Imam Malik bin Anas, “Merupakan kitab
yang disukai para salaf. Mereka mendahulukannya dibanding
banyak kitab shahih yang terpercaya. Mereka mengatakan, ‘Yang
menjadi rujukan dalam amal adalah amal penduduk Madinah.’”

Fath al-Bâri281 Karya al-Hâfizh Ibnu Hajar


Beliau mengatakan, “Ketika kitab Fath al-Bâri sampai ke
Zabîd, Sultan memerintahkan agar seluruh negeri dihiasi dan
memerintahkan penduduknya untuk keluar sebagai penyambutan
yang agung terhadap kitab ini.” Dan dikatakan kepada Syaikh asy-
Syaukâniy, “Apakah engkau telah mensyarahkan Shahih al-Bukhari?
Beliau menjawab, “Tidak hijrah setelah Fath”, maksudnya adalah
Fath al-Bâri.

Syarah Muslim Karya Imam an-Nawawi


Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya kami mendapatkan
keberkahan, cahaya, ilmu, manfaat, dan mengambil manfaat
pada ketiga kitab ini yang tak kami dapatkan pada kitab yang
lain. Kitab-kitab itu adalah al-Itqân fi ‘Ulûm Al-Qur’an, Syarh
an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, dan kitab al-Yawâqît wa al-
Jawâhir fi ‘Aqâid al-Akâbir karya asy-Sya’rani. Hendaknya engkau
mengkaji dan selalu merenungkannya.”

KITAB-KITAB TASAWUF

Kitab Induk yang Enam


Al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi mengatakan, “Kitab induk
yang enam dalam ilmu tasawuf adalah al-Ihya, Minhâj al-‘Âbidîn,

222
al-Arba’în al-Ashl karya al-Ghazali, Risâlah al-Qusyairiy, ‘Awârif
as-Suhrawardi,282 dan al-Qût karya Abu Thâlib al-Makki.”286
Beliau menceritakan dari seorang besar yang mengatakan,
“Barangsiapa yang menginginkan cahaya hendaklah membaca
kitab al-Qut karya Abu Thâlib al-Makki, dan barangsiapa yang
menginginkan ilmu hendaklah membaca kitab al-Ihya karya al-
Ghazali.” Demikian keterangan dari kitab an-Nahr al-Maurûd.

Kitab-Kitab Imam al-Ghazali Secara Umum


Di antara ucapan al-Quthb Abdullah bin Abubakar al-‘Aydarus
adalah, “Barangsiapa yang menginginkan jalan Allah dan Rasul-
Nya serta keridhaan Allah dan Rasul-Nya, hendaklah mengkaji
kitab-kitab al-Ghazali, khususnya samudera ilmu, al-Ihya, yang
mengagumkan sepanjang masa. Di dalam kitab Ihya ‘Ulûmuddin
terdapat semua rahasia, di dalam kitab Bidâyah al-Hidâyah
terdapat ketakwaan, di dalam kitab al-Arba’in al-Ashl terdapat
penjelasan mengenai jalan lurus (ash-shirâth al-mustaqîm), di
dalam kitab Minhâj al-‘Âbidîn terdapat jalan menuju Allah,
dan kitab al-Khulashah, tentang fiqih, mengandung cahaya.”
Demikian keterangan dari kitab Syarh al-’Ainiyyah.

Ihya ‘Ulumuddin Karya Imam al-Ghazali


Beliau mengatakan dalam memuji kitab al-Ihya, “Wa ba’du.
Tidak ada jalan dan sistem bagi kita selain Kitabullah dan
sunnah Rasulullah. Hal itu telah dijelaskan oleh pemimpin para
penulis, Hujjatul Islam al-Ghazali di dalam kitabnya yang sangat
mengagumkan dan sangat hebat yang disebut Ihya ‘Ulumuddin
yang menjelaskan Kitabullah, sunnah Rasulullah, thariqah, dan
haqiqah (hakikat). Seandainya Allah membangkitkan orang-
orang yang telah mati, niscaya tak ada yang mereka pesankan
kepada orang-orang yang masih hidup kecuali tentang segala
yang ada dalam kitab al-Ihya. Dan sesungguhnya orang yang

223
menelaah kitab al-Ihya termasuk orang-orang yang mendapat
petunjuk.”
Imam an-Nawawi mengatakan, “Kitab al-Ihya hampir-
hampir seperti Al-Qur’an.” Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad
mengatakan, “Apakah hal itu karena di dalamnya terdapat ayat-
ayat Al-Qur’an untuk dijadikan dalil atau karena merupakan
mu’jiz (melemahkan/mengalahkan yang lain) sehingga
menyerupai Al-Qur’an dari sisi ini? Dan ini, yakni sebagai
mu’jiz, adalah lebih dekat. Dan pengertian mu’jiz dalamhal ini

adalah kitab ini memiliki metode yang tidak pernah didahului
 Dan
kitab lain. sulit
 bagi
orang
 yang ingin
 
seperti
mengarang   itu
melakukannya dengan cara demikian.” 
Beliau mengatakan dalam qashidahnya, 
  
       
 

 
           
 
Dan hujjah (al-Ghazali) lagi  ahli ibadah yang dibanggakan 
Oleh Sang Rasul sebaik-baik pemberi syafaat
Dengan karyanya (al-Ihya) ia melampaui. Aduhai betapa ia
telah melebihi yang lain. Karya seperti itu tak kan pernah ditulis lagi

Kitab al-Arba’in dalam Ushuluddin Karya al-Ghazali


  Abdullah
 Imam al-Haddad  “Kitab
  mengatakan, al-Arba’in
 
mengandung sesuatu yang tidak terdapat di dalam kitab al-Ihya.
Merupakan
  
   kitab
 
yang
 penting
  dan

 Syaikh
  Abdullah
al-‘Aydarus
 
 
menamakannya  ash-Shirat  al-Mustaqim. Kitab-kitab Imam   al-
Ghazali memiliki keistimewaan, yaitu dapat menarik hati untuk
hadir bersama Allah dengan suatu kekhususan, tidak semata-
mata dengan ilmu.”
 
        
   bahwa
Beliau juga mengatakan 
    kitab
 al-Arba’in
    al-Asl

  karya
Hujjatul Islam al-Ghazali, tergolong kitab yang bermanfaat
   

     


            
    
224 
     
   
      
dalam agama, baik bagi orang-orang yang masih pemula maupun
yang sudah mencapai puncak.

Risâlah al-Quds fi Munâshahah an-Nafs


Kitab ini karya Syaikh Muhammad Ibn ‘Arabi. Beliau menyusunnya
di Makkah, disebutkan bahwa beliau membawa kitab ini ketika
bertawaf mengelilingi Ka’bah tujuh kali. Di dalamnya tidak terdapat
masalah yang pelik, maka para penempuh jalan kepada pendalaman
hendaklah banyak merenungkan kedua kitab ini untuk mencari dan
memberi manfaat di jalan orang-orang yang berada dalam kebenaran
dan pengikut kebenaran.

Bidâyah al-Hidâyah Karya al-Imam al-Ghazali


Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi mengatakan, ”Bidâyah al-
Hidâyah merupakan kitab yang penting, yang menghimpun ilmu
lahir dan batin, dan merupakan permulaan yang menyampaikan
kepada puncak. Kitab tersebut telah banyak membawa orang
yang mengamalkannya bertemu Nabi dalam keadaan terjaga. Para
pendahulu kami sepakat untuk mengamalkan segala yang terdapat
di dalam kitab al-Bidâyah. Habib Abdurrahman bin Musthafa al-
’Aydarus284, Habib Syaikh bin Muhammad al-Jufri285, dan Habib
Abubakar bin Husain Bilfaqîh286 adalah tiga orang yang tinggal di
Madinah dan sepakat untuk mengamalkan segala yang ada di dalam
kitab al-Bidâyah. Mereka memenuhi janji hingga berjumpa dengan
Nabi Saw. dalam keadaan terjaga.”
Al-Imam al-Quthb Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan,
“Kitab yang paling patut untuk dikaji adalah kitab-kitab Imam al-
Ghazali sesuai dengan keadaan-keadaanmu. Jika engkau termasuk
pemula maka kajilah kitab al-Bidâyah. Jika tidak, kitab al-Arba’în
al-Ashl, dan jika tidak juga kitab al-Minhâj al-‘Âbidîn. Jika engkau
memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam ilmu hendaklah
mengkaji kitab al-Ihya. Jika engkau tidak mengamalkan yang terdapat
dalam kitab al-Bidâyah, maka katakanlah dalam hatimu, ‘Tidak

225
diragukan lagi apabila aku tidak mampu melakukan amal yang sedikit,
maka aku tidak akan mampu melakukan amal yang banyak.’”

Qût al-Qulûb Karya Abu Thâlib al-Makki


Beliau juga mengatakan, “Hendaklah kalian melakukan muthala’ah
kitab Qût al-Qulûb karya Syaikh al-Imam Abu Thâlib al-Makki, yang
merupakan kitab yang lengkap dan bermanfaat. Syaikh Sahrawardi,
pengarang kitab al-‘Awârif menamainya Diwân al-Islam. Kitab
tersebut adalah yang paling lengkap dan paling bermanfaat dalam
bidangnya setelah kitab Ihya ‘Ulûmuddîn.

Kitab-Kitab Lain Mengenai Suluk


Dalam Majmu’ Kalâm (kumpulan ucapan) al-Habib Ahmad bin
Hasan al-Attas, disebutkan bahwa beliau pernah ditanya oleh salah
seorang muridnya mengenai kitab yang mesti dibaca. Maka beliau
mengatakan, “Bacalah kitab al-Bidâyah, al-Adzkâr, dan al-Minhaj.”
Beliau juga menuturkan bahwa Habib Abdullah al-Haddad
mengatakan, “Membaca kitab al-Minhaj dalam fiqih, al-Ihya dalam
tasawuf, al-Baghawiy dalam tafsir, al-Mulhah dalam i’rab,287 dan
kitab-kitab Ibnu Hisyam,288 termasuk yang dapat menghasilkan
pembukaan-pembukaan spiritual dan dapat membuat jiwa menjadi
meningkat.’”
Dalam kitab Syarh al-‘Ainiyyah disebutkan Habib Ahmad bin
Muhammad al-Habsyi, Shahib Syi’ib289 mengatakan, “Ada tiga nikmat
yang khusus diberikan orang belakangan, yakni Syarh al-Hikam karya
Ibnu ‘Abbad, qashisah-qashidah Syaikh Umar Bâmakhramah,290
dan kitab Qahwah al-Buniyyah.”291 Disebutkan pula sebagian ulama
mutaakhirin menambahkan dari ketiga kitab tersebut dengan kitab-
kitab Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad.
Habib Idrus bin Umar al-Habsyi meriwayatkan dari Imam
Abdullah bin Alwi al-Haddad, bahwasanya ada tiga kitab yang
selalu dibacakan kepadanya, setiap kali satu kitab selesai dibaca,
beliau memerintahkan untuk mengulanginya dari awal. Kitab-kitab

226
itu adalah Riyâdh ash-Shâlihîn,292 Maqâl an-Nâshihîn,293 dan Syarh
al-Hadîqah--yang merupakan syarah al-‘Urwah al-Watsîqah—karya
Syaikh Muhammad bin Umar Bahraq.294
Dalam Majmu’ Kalâm-nya, Sayyidina al-Imam Ahmad bin Umar
bin Sumaith mengatakan, “Kitab al-Hadîqah karya Imam Bahraq
adalah hadiah dari Allah bagi kaum muslimin. Saya berharap ada di
setiap rumah dan dijaga oleh setiap hati karena merupakan seruan
yang murni kepada Allah, dan merupakan pilihan dari pilihan serta
pegangan.”
Beliau juga mengatakan, “Kami wasiatkan kepada kalian empat
kitab. Hendaklah kalian selalu berpegang padanya: al-Hadîqah al-
Anîqah karya Syaikh Imam Muhammad Bahraq, Maqâl an-Nâshihîn
karya Syaikh Muhammad bin Umar Bâjammal. Dua kitab ini selalu
dibaca di majelis Habib Abdullah al-Haddad, bila yang satu telah
selesai maka dilanjutkan dengan membaca yang kedua. Dan ad-Durr
ats-Tsamîn karya Habib Abdulqâdir bin Syaikh al-’Aydarûs yang
oleh Habib Abdullah al-Haddad dalam kitab al-’Ainiyyah dijuluki
dengan Abdulqâdir al-Mutadhalli’ (mendalami ilmu),295 dan It-hâf
an-Nabîl296 karya Imam Thâhir bin Husain, semoga Allah memberi
manfaat dengannya.”

KITAB-KITAB FIQIH

Al-Muhadzdzab Karya Imam asy-Syirâzi297


Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan, “Di antara amalan
para salaf adalah merutinkan membaca kitab al-Muhadzdzab setiap
hari. Mereka membaginya menjadi empat puluh bagian. Setiap hari
mereka membaca satu bagian seperti tadarus Al-Qur’an. Apabila telah
mengkhatamkannya, mereka mengulanginya dari awal. Dengan itu
mereka mendapatkan ilmu, keberkahan, amal, cahaya, penguasaan
dalil dan alasan, serta segala yang dapat disimpulkan dan dikiaskan
darinya.”

227
Minhâj ath-Thâlibîn Karya Imam An-Nawawi
Sayyidina Umar bin Abdurrahman al-Attas menyuruh dan mendorong
untuk membaca kitab al-Minhâj. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya
an-Nawawi menjamin pembukaan-pembukaan spiritual bagi
yang membacanya.” Sedangkan dalam kitab al-Qirthâs disebutkan
keterangan dari Syaikh Abdullah bin Umar Ba ‘Abbad298 bahwa dia
pernah ditanya oleh Sayyidina Umar bin Abdurrahman al-Attas,
“Kitab apa yang engkau baca?” Dia menjawab, “Kitab al-Irsyâd karya
Syaikh Ismail bin al-Muqri.” Kemudian beliau mengatakan kepada
Syaikh Ali Bârâs,299 “Wahai Ali, bacakan padanya dan semua sahabat-
sahabatmu (murid-muridmu) kitab al-Minhâj karya an-Nawawi.
Karena kitab itu diberkahi dan insya Allah mendapatkan pembukaan-
pembukaan spiritual dalam membacanya karena memang patut untuk
itu.300 Bagaimana tidak, sedangkan pengarangnya adalah seorang
quthub dan telah mendoakan pembacanya?”
Imam Ahmad bin Hasan al-Attas sering menganjurkan
untuk membaca kitab al-Minhâj dan mengatakan,
“Barangsiapa yang ingin membaca penjelasannya, hendaklah
pertama-tama membaca al-Mughni, kemudian membaca an-
Nihâyah, lalu at-Tuhfah. Dan barangsiapa yang mendapatkan
suatu kesulitan ketika membaca at-Tuhfah dan an-Nihâyah,
hendaklah membaca al-Ghurar.”301
Beliau juga mengatakan, “Barangsiapa yang ingin belajar,
hendaklah membaca kitab al-Mughni, yakni Syarh al-Minhâj.
Barangsiapa yang ingin mengajar, hendaklah membaca kitab
at-Tuhfah. Dan barangsiapa yang ingin mendalami, hendaklah
membaca al-Mahallî ‘ala al-Minhâj.”302
Beliau juga mengatakan, “Hendaklah kalian juga membaca
Risâlah Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi dan al-Mukhtashar
al-Lathîf. Bacakanlah dua kitab itu kepada para pelajar, karena
para salaf menjamin pembuka-pembuka spiritual bagi orang
yang membaca keduanya. Para salaf juga menganjurkan
membaca kitab al-Iqna’ ‘ala Abi Syuja’ karya al-Khathib.303 Dan

228
Habib Hasan bin Shalih al-Bahr304 hanya membaca kitab al-
Iqna’.”

Manfaat
Ibrahim bin Muhammad asy-Syafi’i305 mengatakan,
“Aku pernah bertanya kepada ayahku, ‘Ilmu apa saja
yang mesti aku pelajari?’ Dia menjawab, ‘Syair dapat
merendahkan orang yang tinggi dan meninggikan
orang yang rendah. Orang yang mempelajari nahwu,
apabila sampai pada tujuannya, ia akan menjadi
seorang pendidik. Orang yang mempelajari Al-Qur’an, apabila
sampai pada tujuannya, ia akan menjadi pengajar. Dan orang
yang mempelajari fiqih, ia akan menjadi pemimpin ilmu-ilmu.’”
Demikian keterangan dari kitab Nuz-hah al-Majâlis.

Kitab yang Bermacam-macam


Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan, “Ada empat
mukadimah yang mesti dibaca dan diulang-ulang oleh pelajar
pemula dan pelajar tingkat lanjutan. Bagi pelajar pemula hal
itu bermanfaat, sedangkan bagi pelajar tingkat lanjutan hal itu
mengingatkan kembali karena mukadimah itu mencakup banyak
ilmu. Mukadimah-mukadimah itu adalah: Muqaddimah Tafsir
Al-Fakhrur-Râzi, Muqaddimah Syarh an-Nawawi atas Shahih
Muslim, Muqaddimah an-Nawawi atas Syarh al-Muhadzdzab,
dan Muqaddimah Ibnu Khaldun.”
Beliau juga menyebutkan kitab al-Asma’ wa ash-Shifat karya
al-Baihaqi.306 Beliau mengatakan kepada salah seorang muridnya,
“Engkau harus mendapatkan satu naskah dari kitab itu karena
isinya seluruhnya merupakan ittiba’ (mengikuti sunnah), cahaya,
sunnah, dan tauhid. Dan tidaklah menjadi kuat iman mereka
kecuali dengan melakukan pembahasan terhadap kitab itu dan
kitab-kitab sejenisnya, bukan dengan pembahasan kitab Sanûsiyyah.

229
Beliau ra. juga mengatakan mengenai kitab Zâd al-Ma’âd
karya Ibnu al-Qayyim, “Setiap orang yang ingin mengikuti sunnah
Nabi hendaklah tidak berpisah dari kitab ini. Habib Abdullah bin
Alwi al-Haddad menyukai kitab ini dan sangat menyenanginya.
Seandainya saja saya mempunyai banyak naskah dari kitab ini,
niscaya saya akan menghadiahkannya kepada para pelajar. Tetapi,
di mana sekarang orang yang hatinya dipenuhi kitab ini, senang
dengannya, dan mengikat dirinya dengan akhlak Rasulullah yang
dilihatnya dalam kitab itu, adab beliau, dan muamalah beliau? Ya,
di dalam kitab itu memang terdapat beberapa pendapat pengarang
yang bertentangan dengan jumhur, tetapi tidak memberikan
mudharat, dan yang hak itu lebih patut untuk diikuti.”
Beliau, semoga Allah memberi manfaat dengannya, juga
mengatakan, “Orang-orang berpaling dari kitab-kitab yang
mengandung manfaat, seperti kitab al-Barakah fi as-Sa’iy wa al-
Harakah karya Syaikh al-Hubaysyi.307 Pengarangnya mengatakan,
‘Barangsiapa memiliki kitab ini dan kitab at-Tanbih, maka dia patut
disebut sebagai faqih.’ Kitab ini sangat penting dan dibutuhkan
orang. Pengarangnya mengumpulkan apa yang dikumpulkan orang
lain.” Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya membaca kitab asy-
Syifâ fi Ta’rîf Huqûq al-Musthafa, terbukti dapat menghilangkan
kesulitan-kesulitan.”308
Al-Imam Alwi bin Muhammad al-Haddad,309 semoga Allah
memberi manfaat dengannya, mengatakan, “Seorang penuntut
ilmu tidak boleh kosong dari kitab berikut ini, an-Nihâyah karya
Ibnu al-Atsîr,310 al-Itqân fi ‘Ulûm Al-Qur’an, dan Muqaddimah
Ibnu Khaldûn.”

230
Catatan Akhir
268. Seorang imam yang agung, mencapai derajat mujtahid mutlak,
Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr ath-Thabariy (224-310). Salah satu
pemimpin dunia dari segi ilmu dan agama. Beliau berkeliling ke
berbagai tempat untuk menuntut ilmu dan menulis beberapa kitab
yang agung, di antaranya seperti kitab at-Tafsîr, Târîkh al-Umam Wa
al-Mulûk, Tahdzîb al-Âtsâr, dan lain-lain.
269. Tahdzîb al-Asmâ` Wa al-Lughât (1: 78).
270. Al-Itqân Fi al-‘Ulûm Al-Qur’an (2: 1235) dalam bagian kedelapan
puluh pada bab Thabaqât al-Mufassirîn.
271. Al-Imam al-Bukhariy tidak diperlukan lagi penjelasan tentang beliau.
Wafatnya pada tahun 256 H di Khartang yang merupakan salah satu
kota di Samarqandi. Pusara beliau nyata dan diziarahi sampai saat ini.
272. Satu-satunya imam di zamannya, Syaikh al-Islam Abu Zaid Muhammad
bin Ahmad bin Abdullah al-Fâsyâniy al-Marwaziy (301-371 H). Beliau
termasuk seseorang yang memiliki sifat zuhud, wara’, banyak ilmu, dan
kebesarannya dalam ilmu dan agama disepakati oleh manusia. Dan
beliau termasuk salah satu pembesar di kalangan pemimpin mazhab.
273. Tahdzîb al-Asmâ` Wa al-Lughât (1: 75)
274. Al-Imam, Syaikh as-Sunnah Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‘ats al-Azadiy
as-Sijistâniy (202-275 H). Termasuk pembesar di kalangan mereka yang
menghafal hadits, dan termasuk salah satu penulis enam kitab yang
merupakan sumber dalam hadits. Al-Imam Ibrahim al-Harabiy dan
selainnya berkata, “Hadits menjadi lumer untuk Abu Daud, seperti besi
menjadi lumer untuk Daud as.”
275. Kami tidak memiliki biografi beliau pada buku-buku rujukan yang ada
pada kami.
276. Ma‘âlim as-Sunan karya al-Imam al-Khaththâbiy (1: 10: 13), dicetak
dalam satu kitab dengan kitab Mukhtashâr Abu Daud karya al-
Mundziriy, sebagai tambahan yang tertulis di tepi buku.
277. Ahli hadits, kritikus, dan ahli fiqih, al-Imam Abu Isa Muhammad bin
Isa bin Saurah at-Turmudzi adh-Dharir (210-279 H). Termasuk salah
satu penulis enam kitab yang merupakan sumber dalam hadits. Beliau
dijadikan permisalan dalam hafalan.
278. Kalimat ini didapat oleh al-Imam al-Ghazali dari al-Imam at-Turmudzi
sendiri. Beliau berkata, “Aku menulis kitab ini dan kusodorkan kepada
ulama Hijaz, Irak, dan Khurasân, lalu mereka meridhainya. Maka

231
barangsiapa memiliki kitab ini di rumahnya, seakan-akan di dalam
rumahnya itu Nabi bersabda.” Dari kitab Siyar A’lam an-Nubalâ` karya
al-Imam adz-Dzahabiy (13: 274) dan selain beliau.
279. Al-Imam Malik bin Anas al-Ashbahiy, Imam di kota hijrah (Madinah),
dan salah satu di antara empat imam mazhab. Beliau wafat pada tahun
179 H di kota Madinah yang bercahaya karena penghuninya, semoga
Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam yang terutama
kepadanya. Beliau (al-Imam Malik) dimakamkan di permakaman al-
Baqî’ yang mulia.
280. Ahli hadits yang menjaga dunia dan beliaulah satu-satunya di zamannya.
Sepeninggal beliau tak ada seorang pun yang muncul seperti beliau.
Merupakan ulama yang menghidupkan sunnah yang suci, Syaikh al-
Islam Syihâbuddîn Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalâniy
asy-Syafi‘i (773-852 H).
281. Salah satu tokoh as-Sâdah al-‘Alawiyyah, yaitu al-Imam al-‘Arifbillâh
Muhammad bin Zain bin Sumaith (wafat pada tahun 1172 H) telah
memilih bagian-bagiannya yang berharga, dalam kitab beliau yang
berjudul ad-Durar Wa al-Lathâif Fi Ikhtishar ‘Awârif al-Ma‘ârif.
Sebagian penuntut ilmu telah mendalaminya, dan kitab itu masih
dalam perjalanan untuk dicetak. Sedangkan as-Suhrûwardiy, beliau
adalah pemimpin, pemberi nasihat, ahli tafsir dan fiqih, serta seorang
wali, al-‘Arifbillâh, guru para guru besar, Syihâbuddîn Abu Hafsh
Umar bin Muhammad as-Suhrûwardiy asy-Syafi‘i (539-632 H). Beliau
merupakan pemimpin di kalangan ahli tasawuf.
282. Nantinya akan ada pembahasan khusus mengenai kitab Qût al-Qulûb
dalam kitab ini. Sedangkan penulisnya adalah seorang pemimpin,
bersifat zuhud, al-‘Arifbillâh, guru besar kaum sufi Abu Thâlib
Muhammad bin Ali bin ‘Athiyyah al-Hâritsiy al-Makkiy (wafat pada
tahun386 H). Beliau banyak bermujahadah, dan bersungguh-sungguh
dalam ibadahnya.
283. Seorang sayyid, imam, ahli sastra, ‘Allamah Abdurrahman bin
Mushthafa bin Syaikh al-‘Aidarûs. Lahir di kota Tarim tahun 1135 H
dan wafat di Mesir tahun 1192 H. Beliau memiliki karya tulis yang
banyak. Al-Imam Murtadhâ az-Zubaidiy menimba ilmu darinya dan
menisbatkan diri sebagai muridnya, di antara para syaikhnya yang
berjumlah banyak.
284. Al-Habib Syaikh bin Muhammad bin Hasan bin Alwi al-Jufriy (wafat
pada tahun 1222 H). Lahir di kota Tarim, dan menimba ilmu dari

232
junjungan kami al-Hasan bin Abdullah al-Haddad. Kemudian
berhijrah ke India dan wafat di kota Kalkuta. Sekelompok orang
menimba ilmu darinya, di antaranya adalah al-‘Allamah Bâsaudân dan
lain-lain. Dulunya, ayah, kakek, dan datuk beliau termasuk sahabat al-
Imam al-Haddad.
285. Kami mendapatkan dua biografi pada nama ini. Yang pertama, biografi
Abubakar bin Husain Balfaqîh yang wafat pada tahun 1074 H di India
di kota Baijafur. Yang kedua, dengan nama yang sama, tetapi wafat di
Aceh di Indonesia pada tahun 1000 H. keduanya tidak ada yang berada
di zaman as-Sayyid Abdurrahman bin Mushthafa bin Syaikh al-‘Aidarûs
al-Mishriy, yang wafat pada tahun 1192 H. Allah-lah yang mengetahui
keadaan yang sebenarnya.
286. Penulisnya adalah ‘Allamah, seorang yang sangat beradab, Abu
Muhammad al-Qâsim bin Ali al-Harîriy al-Bashriy (446-516 H). Penulis
kitab al-Maqâmât al-Harîriyyah yang terkenal dan diterjemahkan ke
dalam beberapa bahasa. Beliau juga penulis kitab Durrah al-Ghawwâsh
dan Mulhah al-I’râb, serta kitab lainnya.
287. Seperti kitab Mughniy al-Labîb, Syudzûr adz-Dzahâb, Qathru an-
Nadâ, Audhah al-Masâlik, al-I’râb ‘Ala Qawâ‘id al-I’râb, dan lain-lain.
Sedangkan Ibn Hisyam adalah Jamaluddîn Abu Muhammad Abdullah
bin Yusuf, yang dikenal dengan Ibn Hisyâm (708-761 H), termasuk
imam dalam ilmu bahasa Arab. Beliau lahir dan wafat di Mesir. Ibn
Khaldûn berkata, “Ketika kami di Maroko, terus-menerus mendengar
bahwa di Mesir muncul seorang ulama dalam bahasa Arab, disebut
dengan Ibn Hisyâm, dan beliau lebih menguasai ilmu nahwu daripada
Saibaweih.”
288. Seorang imam dan wali yang bercahaya, junjungan kami al-Habîb
Syihâbuddîn Ahmad bin Muhammad bin Alwi al-Habsyi. Lahir di kota
Tarim, hafal Al-Qur’an dan penuntut ilmu, serta menimbanya dari
seorang guru besar seperti Syaikh Abubakar bin Sâlim dan lain-lain.
Beliau pergi ke Makkah dan Madinah dan tinggal di sana beberapa
tahun. Termasuk orang yang gigih dalam bermujahadah dan beribadah.
Maka Allah memberinya makrifat dan kewalian yang menakjubkan
setiap akal. Di akhir umurnya, beliau menetap di al-Husaiyyisah dan
wafat di sana pada tahun 1038 H, serta dimakamkan di Syi‘ib (lembah)
tempat al-Imam al-Muhajir. Karena itulah beliau dinamakan dengan
Shahib asy-Syi‘ib. Lalu setelah itu, lembah tersebut dinamakan dengan

233
Syi‘ib al-Ahmadain (lembah dua Ahmad); yaitu beliau dan al-Imam
Ahmad bin Isa al-Muhajir.
289. Asy-Syaikh Umar bin Abdullah bin Ahmad Bamakhramah al-Hadhramiy
(884-952 H). Termasuk tokoh Hadramaut, seorang ulama, menguasai
ilmu fiqih, sufi, dan ahli syair, serta memiliki pengalaman ekstase dan
cita rasa spiritual. Lahir di kota Hajrain dan wafat di Sewun. Menimba
ilmu dari ayahnya Abdullah bin Ahmad, seorang Mufti kota Aden.
Beliau juga menimba ilmu dari asy-Syaikh Abdurrahman al-Akhdhar
Baharmuz. Sedangkan anak beliau yang bernama Abdullah bin Umar
Mufti Hadramaut yang terbesar pada masanya, menimba ilmu dari
beliau. Memiliki himpunan syair-syair dengan logat Hadramaut, dan
dihitung sebagai penyair yang sebanding dengan asy-Sya’bi al-Awwal di
Hadramaut. Di antara tulisan beliau adalah Wirdu al-Warid al-Qudsiy
Min Ma’na Ayah al-Kursiy, dan lain-lain.
290. Karena hal itu dapat membantu untuk beramal, taat kepada Allah
dengan berjaga dan bangun di malam hari.
291. Karya al-Imam an-Nawawi ra.
292. Maqâl an-Nâshihîn Bi Hifzhi Sya‘âir ad-Dîn, karya al-Imam al-‘Allamah
al-Waliy asy-Syaikh Muhammad bin Umar Bâjammâl al-Hadhramiy
(905-964 H). Beliau berguru kepada seorang wali yang masyhur asy-
Syaikh Ma’rûf Bâjammâl, dan menempuh jalan orang-orang besar, maka
beliau menjadi mereka yang tergolong orang-orang yang menguasainya.
Beliau seorang yang dermawan, gemar memberi nasihat, dan sangat
terkait hatinya dengan akhirat. Menulis banyak karya yang bermanfaat,
dan yang terhebat dalam hal tasawuf.
293. Al-‘allamah, ahli dalam segala hal, menguasai ilmu fiqih, dan nahwu,
ahli sastra, ‘allamah negeri Yaman, Muhammad bin Umar bin Mubârak
al-Humairiy al-Hadramiy asy-Syafi‘i, yang dikenal dengan Bahraq
(869-930 H). Lahir di kota Hadramaut, dan menimba ilmu di sana
dan di kota Zabid, Makkah, Madinah, dan Nabagh. Menjabat sebagai
qadi di kota Syihr kemudian pergi ke India dan wafat di sana. Di antara
karya tulis beliau adalah; Tuhfah al-Ahbâb Syarh Mulhah al-‘I’râb, Syarh
Lâmiyah al-Af‘âl, Hulyah al-Banât Wa al-Banîn, dan al-Hadîqah al-
Anîqah Syarh al-‘Urwah al-Watsîqah, dan lain-lain.
294. Al-imam, al-’allamah, seorang penulis biografi, wali besar, penulis
kitab yang menakubkan, al-Habib Abdulqâdir bin Syaikh al-‘Aidarûs
(978-1038 H). Tinggal di Hadramaut lalu pindah ke Ahmadabad di
India, dan di sanalah beliau wafat. Al-Imam al-Haddad berkata tentang

234
beliau sebagai berikut, “Beliau adalah orang yang terbanyak tulisannya
dari kalangan bani ‘Alawi.” Di antara tulisan beliau: an-Nûr as-Sâfir
‘An Akhbâr al-Qarn al-‘Âsyir, Ta’rîf al-Ihya Bi Fadhâil al-Ihya, Ghâyah
al-Qurab Fi Syarh Nihâyah ath-Thalab, dan lain-lain. Di antara yang
lain adalah kitab yang tersebut di atas, yaitu ad-Durar ats-Tsamîn Fi
Bayân al-Muhim Min ‘Ilmi ad-Dîn.
295. Ithâf an-Nabîl Bi Ba’dhi Ma‘âniy Hadîts Jibrîl, dicetak di Singapura
tahun 1412 H.
296. Biografi tentang beliau telah disebut.
297. Kami tidak mendapatkan biografi tentang beliau pada kitab rujukan
yang ada pada kami.
298. Seorang guru besar, ahli fiqih, dan saleh, Ali Bâras (wafat pada tahun
1094 H) adalah sahabat al-Imam Umar bin Abdurrahman al-Attas
(wafat pada tahun 1072 H) yang telah disebutkan biografi beliau.
Memiliki beberapa karya tulis di antaranya, Syarh ‘Ala al-Hikam al-
‘Athâiyyah dan Syarh Li Qashîdah al-Ghauts Abu Madyan, dan selain
dua kitab ini.
299. Yang dimaksud dengan kitab al-Ghurar adalah Ghurar al-Bahâ`u adh-
Dhawiy Fi Dzikri al-‘Ulamâ` Min Banî Jadîd Wa Bashriy Wa ‘Alawiy,
karya ahli hadits dan fiqih Jamaluddîn Muhammad bin Ali Khird Bâ
‘Alawi (wafat pada tahun 960 H). Buku ini telah dicetak.
300. Yang berjudul Kanzu ar-Râghibîn Syarh Minhâj ath-Thalibîn. Matan
buku tersebut juga disyarahkan oleh Qalyûbiy dan ‘Amîrah. Sedangkan
biografi al-Imam al-Mahalliy telah disebutkan.
301. Al-Imam, seorang ahli fiqih, dan tafsir, al-Waliy Syamsuddîn
Muhammad bin Ahmad asy-Syirbîniy al-Qâhiriy asy-Syafi‘i (wafat pada
tahun 977 H). Beliau termasuk tokoh di kalangan ulama Syafi‘i pada era
terakhir. Beliau juga penulis syarah yang agung atas kitab al-Imam an-
Nawawi yang berjudul Minhâj ath-Thalibîn, dan diberi judul, Mughniy
al-Muhtâj, juga kitab tafsir as-Sirâj al-Munîr dan al-Iqnâ’ Fi Hil Alfâzh
Abu Syujâ’ dan lain-lain.
302. Biografi tentang beliau telah disebutkan.
303. Kami tidak mendapatkan biografi tentang beliau pada kitab rujukan
yang ada pada kami.
304. Seorang pemimpin terbesar, ahli dalam ilmu aqidah, ushul, dan tafsir,
Fakhruddin Abu Abdullah Muhammad bin Umar ar-Raziy (544-606
H). Satu-satunya orang di zamannya yang menguasai logika dan ilmu
para pendahulu. Beliau adalah penulis yang handal, seperti kitab tafsir

235
Miftah al-Ghaib, al-Ma‘alim, al-Muhashshil, Asas at-Taqdis, ‘Ishmah al-
Anbiya, Manaqib asy-Syafi‘i, dan lain-lain. Beliau juga gemar menasihati
dan orang yang menakjubkan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Arab dan
Persia.
305. Al-’allamah, penulis biografi, filsuf, peneliti, dan sosiolog, al-Imam
Waliyuddîn Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldûn al-
Hadramiy al-Isybiliy al-Mâlikiy (732-808 H), lahir dan tumbuh besar di
Tunisia, lalu berhijrah ke Maroko dan Andalusia, kemudian kembali ke
Tunisia. Lalu beliau menetap di Mesir dan menjabat sebagai qadi yang
bermazhabkan Maliki, kemudian wafat secara mendadak di Kairo. Beliau
terkenal dengan kitabnya yang berjudul al-‘Ibar Wa Dîwân al-Mubtada`
Wa al-Khabar Fi Târîkh al-‘Arab Wa al-‘Ajam Wa al-Barbar. Mukadimah
buku ini yang terkenal, dihitung sebagai pokok ilmu sosiologi. Buku ini
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dan beberapa bahasa lain.
306. Penghafal hadits terbesar, dan kritikus Abubakar Ahmad bin al-Husain
al-Baihaqi (348-458 H), termasuk imam dalam mazhab Syafi‘i dan
tokoh dalam penghafal hadits. Al-Imam al-Haramain Abu al-Ma‘âliy
al-Juwainiy berkata tentang beliau, “Tidak ada seorang ahli fiqih pun
di mazhab Syafi‘i, kecuali asy-Syafi‘i berjasa baginya, kecuali Abubakar
al-Baihaqi, karena beliaulah yang berjasa bagi asy-Syafi‘i dengan tulisan
beliau dalam menyebarkan mazhabnya (Syafi‘i).” Al-Hâfizh adz-
Dzahabiy berkata, “Benarlah yang diucapkan Abu al-Ma‘âliy, begitulah
beliau. Jika al-Baihaqi ingin membuat mazhab bagi dirinya, maka beliau
mampu melakukan hal itu, karena keluasan ilmu dan pengetahuannya
terhadap perbedaan pendapat.” Dikutip dari Siyar an-Nubalâ` (18:
169).
Saya (penulis) berkata bahwa aku berdiam pada ucapan guru besar Islam,
dan seorang mujtahid di zamannya, al-Imam Taqiyyuddîn as-Subki
dalam mengomentari ucapan Imam al-Haramain ini. Beliau berkata
sebagai berikut, “Ketika masih kecil, aku mendengar dari salah satu
guruku yang mengatakan bahwa semua orang yang hidup sepeninggal
Syafi‘i, maka asy-Syafi‘i berjasa baginya, kecuali Abubakar al-Baihaqi,
beliaulah yang berjasa bagi asy-Syafi‘i. Hingga aku dewasa, lalu aku
mengetahui dan mencapai kedudukan asy-Syafi‘i dan al-Baihaqi,
maka aku mengetahui—dengan pengetahuanku akan keagungan al-
Baihaqi—bahwa sebenarnya asy-Syafi‘i berjasa bagi al-Baihaqi, karena
sesungguhnya al-Baihaqi hanyalah berjalan pada cahaya asy-Syafi‘i yang

236
mengikuti cahaya Rasulullah Saw..” Dikutip dari lembaran kitab an-
Nazhar al-Mushîb Fi ‘Itqi al-Qarîb. (tulisan tangan).
Sedangkan kitab al-Asmâ` Wa ash-Shifât, telah dicetak dengan bantuan
dan catatan kaki dari al-Imam al-‘Allamah Zâhid al-Kautsariy. Pada
kitab itu beliau menulis mukadimah yang sangat berharga.
307. Al-‘allamah yang mengamalkan ilmunya, seorang yang saleh, dan
menjadi panutan Jamaluddîn Muhammad bin Abdurrahman bin
Umar al-Hubaisyi al-Wushâbiy (712-782 H) adalah seorang yang
menguasai ilmu hadits, tafsir, dan sastra. Mengetahui (tujuh) bacaan
Al-Qur’an. Beliau orang yang saleh, selalu berdzikir dan menghimpun
segala keutamaan. Di antara tulisan beliau yang telah dicetak adalah;
al-Barakah Fi Fadhli as-Sa’yi Wa al-Harakah, an-Nûrain FI Ishlah ad-
Dârain, dan Nasyr Thaiy at-Ta’rîf Fi Fadhl Hamalah al-‘Ilm asy-Syarîf.
308. Tentang kitab ini al-Imam asy-Syarîf Muhammad bin Ja’far al-Kattâniy
rhm., di dalam kitabnya yang berjudul al-Mustathrafah Li Bayân Masyhûr
Kutub as-Sunnah al-Musyarrafah (halaman 106), berkata, “Itu adalah
kitab yang agung manfaatnya dan banyak faedahnya. Tidak ditulis
lagi kitab sepertinya di dalam Islam. Pembacaan kitab itu telah diuji
untuk menyembuhkan penyakit yang bertahun-tahun dan menyingkap
musibah serta menolak bencana. Semoga Allah mengabulkan amal
penulisnya, dan membalasnya dengan kebaikan yang paling sempurna
dan agung.”
309. Seorang ulama, pemberi petunjuk, saleh, dan terkemuka, al-Habib Alwi
bin Muhammad bin Thâhir al-Haddad (1299-1373 H), lahir di kota
Qaidun di Hadramaut dan wafat di kota Bogor, Indonesia. Dididik
oleh ayah dan kakeknya, lalu hijrah menuju Indonesia dan menetap di
sana. Beliau selalu menekuni duduk bersama al-Habib Muhammad bin
Idrus al-Habsyi dan orang-orang besar lainnya. Beliaulah satu-satunya
orang yang memimpin di negara itu setelah para gurunya. Beliau
adalah orang yang dermawan, gemar berbuat baik dan kebajikan,
serta memiliki sifat-sifat yang terpuji. Menimba darinya tokoh-tokoh
di zamannya, seperti: al-Habib Ahmad Masyhûr al-Haddad, al-Habib
Hâmid bin Alwi bin Thâhir al-Haddad, dan lain-lainnya. Semoga Allah
meridhai mereka semua.
310. Seorang pemimpin yang menakjubkan. Ahli hadits, ahli fiqih, dan
bahasa, Majduddîn al-Mubârak bin Muhammad bin Muhammad
asy-Syîbâniy al-Juzriy asy-Syafi‘i, dikenal dengan Ibn al-Atsîr (544-606
H). Penulis kitab-kitab yang menakjubkan, seperti Jâmi’ al-Ushûl Min

237
Ahâdits ar-Rasûl, an-Nihâyah Fi Gharîb al-Hadîts Wa al-Atsâr, Syarh
Musnad asy-Syafi‘i, dan lain-lain. Beliau merupakan salah satu dari tiga
bersaudara yang mereka dikenal dengan Ibn al-Atsîr. Mereka adalah,
1. Al-Imam Majduddîn Ibn al-Atsîr (544-606 H), yang ditulis
biografinya di atas.
2. Al-Imam ‘Izzuddîn Ibn al-Atsîr (555-630 H). Seorang penulis
biografi, nasab, dan ahli hadits. Penulis kitab al-Kâmil Fi at-
Târikh, Usud al-Ghâbah Fi Ma’rifah ash-Shahâbah, dan lain-lain.
3. Al-Imam Dhiyâ`uddîn Ibn al-Atsîr (558-637 H). Seorang penulis
dan ahli sastra. Penulis kitab al-Mitslu as-Sâ`ir Fi Adab al-Kâtib
Wa asy-Syâ‘ir.

238
4
Kitab-kitab yang Dilarang
untuk Dibaca

Hendaklah seseorang menjaga diri dari pembahasan kitab-


kitab yang mengandung perkara-perkara yang rumit dengan
mendahulukan keselamatan dan khawatir tidak memahaminya
dengan semestinya, yang akan menyebabkannya sesat dari
jalan yang benar dan binasa bersama orang-orang yang binasa.
Misalnya, kitab-kitab karangan Syaikh Ibnu ‘Arabi, kitab al-
Mi’râj dan kitab al-Madhnûn, keduanya karya Imam al-Ghazali,
demikian pula karangan-karangan Syaikh Abdul Karim al-Jîliy311
sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Abdullah al-Haddad
dalam kitab Risâlah al-Mu’âwanah.
Imam Idrus bin Umar al-Habsyi mengatakan, “Diriwayatkan
tentang Sayyidina Abdullah al-Aydarus bahwa beliau pernah
melihat di tangan anaknya, Abu Bakar al-‘Adni312 satu juz dari
kitab al-Futuhât al-Makkiyyah karya Ibnu ‘Arabi, maka beliau
memperingatkannya agar jangan melakukan pembahasan terhadap
kitab itu.”
Beliau juga mengutip dalam kitab Tatsbît al-Fuâd dari al-
Imam Abdullah al-Haddad yang mengatakan, “Tidak sepatutnya
seorang pelajar memulai dengan melakukan pembahasan kitab-
kitab Syadziliyah hingga terlebih dahulu melakukan pembahasan
dan menguasai kitab-kitab lainnya sebelum kitab-kitab itu, seperti
kitab-kitab Imam al-Ghazali. Kemudian barulah melakukan
pembahasan kitab-kitab Syadziliyah untuk mendapatkan
manfaat. Jika dia memulai dengan kitab-kitab Syadziliyah, dia
akan tetap seperti semula, bagaikan daging yang tertutup rapat
(wadham).”313
Beliau, semoga Allah memberi manfaat dengannya, juga
mengatakan, “Ada dua ilmu yang jika orang-orang yang belajar
agama di masa kini mempelajarinya, kami tidak merasa aman,
yaitu ilmu hakikat dan ilmu khilafiyyah (perbedaan) di antara
para imam. Kami memiliki kitab-kitab yang banyak tentang
kedua hal tersebut tetapi kami tidak menunjukkannya.”
Beliau juga mengatakan bahwa semestinya seseorang
tidak mendalami pembahasan kitab-kitab yang menyebutkan
peperangan-peperangan yang dialami oleh Sayyidina Ali ra. seperti
Perang Jamal, Perang Shiffin, dan sebagainya. Karena, kitab-kitab
seperti itu akan mengobarkan kemarahan. Keterangan seperti
itu dalam kitab-kitab mesti dibaca sedikit saja, dan seandainya
seorang alim perlu memberi perhatian tentangnya, hendaklah
sedang-sedang saja dan tidak terlalu mendalaminya.
Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya kami tidak menelaah
sesuatu yang terjadi di antara para sahabat kecuali ketika aliran
Zaidiyyah sampai ke Hadramaut. Kami memerhatikan beberapa
hal sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan mendalami hal itu dan
memerhatikannya, tidak diragukan lagi akan menyibukkan hati
dan menjatuhkannya ke dalam kesesatan.”
Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan, “Sesungguhnya
para salaf melarang menelaah perselisihan yang terjadi di antara
para sahabat, khususnya yang terjadi antara Bani Umayyah dan
Bani Hasyim. Telah sampai keterangan kepada kami dari sebagian
mereka bahwa, apabila seorang pembaca sampai pada bagian
yang menyebutkan tentang hal itu dalam kitab yang mereka

240
baca, maka mereka akan mengatakan kepadanya, ‘Tinggalkan
itu dan bacalah untuk dirimu sendiri.’ Sampai pula keterangan
kepada kami bahwa Habib Abdullah al-Haddad mengatakan,
‘Andai saja pengarang kitab al-Masyra’ tidak menyebutkan kisah
pembunuhan Sayyidina Husain.’ Semua itu karena khawatir akan
menyebabkan perubahan pada hati dan cenderung kepada hal
yang tidak semestinya, serta itikad yang tidak benar. Cukuplah
ucapan pengarang kitab az-Zubad mengingatkan,

Yang terjadi di antara sahabat, kita berdiam


darinya, dan pahala ijtihad kita tetapkan”

Beliau ra. juga mengatakan, “Sesungguhnya para salaf tidak


memikirkan kitab-kitab tauhid yang mengandung pembahasan-
pembahasan yang detail dan masalah-masalah ilmu kalam.
Sayyidina Abdullah al-Aydarus berkata bahwa hal itu seperti
seseorang memuji orang lain dengan berkata, ‘Fulan bukan
tukang tenun, dan bukan pula tukang bekam…’ Ini adalah
celaan bukanlah pujian. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad
mengatakan, ‘Sesungguhnya membaca kitab Sanûsiyyah atau
Ummu al-Barâhîn haram hukumnya.’314 Beliau juga mengatakan,
‘Para salaf tidak suka mendalami ilmu tauhid dan kesusastraan,
yang dapat menarik seseorang dan mengeluarkannya dari jalan
yang lurus. Barangsiapa yang bertambah kefasihannya bertambah
pula keburukannya. Bukan berarti orang harus membiarkan
lisannya tidak lurus, tetapi yang dimaksud adalah jangan
mendalami secara berlebihan.’”
Beliau ra. juga mengatakan, “Sesungguhnya Syaikh Ibnu
Taimiyah315 mempunyai aliran lain. Para salaf mencelanya pada
beberapa masalah yang hanya dia sendiri yang mengunggulkan
pendapatnya tentang masalah itu, dan memfatwakan sesuatu
yang tidak difatwakan oleh para salaf, sedangkan para ulama
memperketat masalah itu. Seseorang yang mempelajari kitab-

241
kitabnya, jelaslah baginya kesalahan dan kebenarannya. Dia
menyimpulkan beberapa masalah dari sisi lahiriahnya saja. Syaikh
Ibnu Hajar dan yang lainnya telah mengingatkan hal itu dan
mengingatkan orang-orang yang bodoh agar tidak melakukan
pembahasan terhadap kitab-kitabnya.”316
Al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi mengatakan,
“Sesungguhnya para salaf kita tidak suka terlalu menyibukkan diri
dengan pembahasan dalam ilmu akidah.” Beliau juga mengatakan,
“Sesungguhnya banyak melakukan pembahasan tentang masalah-
masalah ilmu ini, dikhawatirkan dapat menimbulkan keraguan
dan memerhatikan masalah-masalah dan akidah-akidah yang
menyimpang. Dalam hal seperti ini, menjauhkan diri darinya
adalah lebih utama. Cukuplah bagi seseorang dalam mempelajari
ilmu ini apa yang telah dicakup dalam akidah al-Ghazali rhm.
dan akidah-akidah ringkas semacamnya.” Demikian keterangan
dari kitab an-Nahr al-Maurûd.

Catatan Akhir
311. Asy-Syaikh al-‘Arif Abdulkarîm bin Ibrahim bin Abdulkarîm al-Jîliy
(267-832 H), cicit asy-Syaikh Abdulqâdir al-Jailâniy. Beliau adalah
salah satu sufi yang sisi filosofis simbolisnya lebih menguasai dirinya.
Di antara karya tulis beliau adalah al-Insân al-Kâmil, al-Kahf Wa ar-
Raqîm Fi Syarh Bismillâh ar-Rahmân ar-Rahîm, dan Syarh Musykilât
al-Futuhât al-Makkiyyah dan lain-lain.
312. Al-Imam al-Quthb Abubakar bin Abdullah al-‘Aidarûs al-‘Adaniy (851-
914 H) lahir di kota Tarim dan wafat di kota Aden. Makam beliau

242
terlihat secara nyata di sana dan banyak diziarahi. Beliau menimba ilmu
dari orang-orang yang berkedudukan tinggi, seperti ayahnya, pamannya
asy-Syaikh Ali bin Abubakar as-Sakrân, al-Imam al-Faqîh Abdullah
bin Abdurrahman Bâfadhal, al-Imam al-‘Âmiriy penulis kitab Bahjah
al-Mahâfil, dan lain-lain. Beliau seorang ahli ibadah, bersifat zuhud,
sangat dermawan, berhati bersih, sering kali merasakan ketakutan
(kepada Allah), dan dikenal di segala penjuru. Di antara karya tulis
beliau adalah al-Juz`u al-Lathîf Fi at-Tahkîm asy Syarîf, Dîwân Syi‘ir,
Ajwibah Fi at-Tashawwuf, dan Majâmî’ Fî Ad‘iyah Wa al-Adzkâr ra..
Semoga Allah meridhai beliau.
313. Maksud dari perumpamaan di atas adalah, dia tetap dalam keadaannya
(tak ada perubahan), dan tak mencapai keberhasilan atau kesempurnaan.
314. Ucapan al-Imam al-Haddad ini ditujukan kepada mereka yang tidak
memiliki keahlian dalam ilmu itu, atau yang menimba ilmu bukan
pada ahlinya. Semua itu karena ditakutkan akan membelokkan dan
menjatuhkan ke dalam kesesatan. Sedangkan sebenarnya, dua kitab
tersebut di atas termasuk matan yang dijadikan rujukan pada akidah
ahl as-Sunnah.
315. Al-‘Allamah al-Hanbaliy Taqiyyuddîn Ahmad bin Abdulhalîm bin
Taimiyyah (661-728 H). Seorang imam yang berkedudukan tinggi,
Waliyuddîn al-‘Irâqiy ditanya tentang kondisi beliau, maka dijawabnya
di dalam kitabnya yang berjudul al-Ajwibah al-Mardhiyyah ‘An al-As-ilah
al-Makkiyyah (halaman 92), “Asy-Syaikh Taqiyyuddîn bin Taimiyyah
adalah seorang imam yang luas ilmunya, memiliki banyak keutamaan
dan kebaikan, berzuhud di dunia dan mengharapkan akhirat, dan
berada di jalan para pendahulu. Akan tetapi—seperti yang dikatakan
tentangnya—ilmunya lebih besar daripada akalnya, maka ijtihad beliau
banyak sekali yang menyimpang dari kesepakatan para imam dalam
berbagai permasalahan. Sesungguhnya semua itu mencapai enam
puluh masalah. Karena itu banyak lisan yang menghakiminya, dan
cacian berdatangan kepadanya. Beliau mendapat cobaan disebabkan
semua itu, hingga wafat di dalam penjara. Sedangkan orang-orang
yang membelanya, mendudukkannya sebagai imam, sebagaimana para
imam yang lain. Hal ini karena menurut mereka tidak berpengaruh
pendapat beliau yang menyimpang dari kesepakatan para imam itu,
jika pendapat itu merupakan ijtihad pula. Akan tetapi orang-orang yang
tidak sependapat dengan beliau berkata, “Tidak semua penyimpangan
beliau itu terjadi pada masalah-masalah furu’ (cabang, alat atau sarana),

243
akan tetapi sebagian besar pada masalah ushul (sumber atau pokok).
Sedangkan penyimpangan beliau terhadap masalah furu’, sebenarnya
tidak dibolehkan baginya untuk berpendapat yang menyimpang dari
hal yang telah menjadi kesepakatan para imam. Sebelum beliau, tidak
pernah terjadi pada para imam yang diikuti pendapatnya, bahwa
mereka berpendapat yang menyimpang dari pendapat yang telah
disepakati oleh para imam. Bahkan, tidak ada pendapat yang muncul
dari perorangan kecuali sudah ada para pendahulu yang berpendapat
seperti itu, seperti yang telah dijelaskan oleh banyak imam. Betapa
buruknya pendapat Ibn Taimiyyah pada dua masalah, yaitu masalah
talak dan ziarah kubur. Asy-Syaikh al-Imam Taqiyyuddîn as-Subki
menjawab dua pendapat tersebut sekaligus dalam satu kitab—semoga
Allah merahmati beliau—dan menulisnya dengan sempurna dan baik.”
316. Hal itu terdapat dalam kitabnya al-Fatâwa al-Hadîtsiyyah dan kitab-
kitab beliau lainnya.

244
Bab 7
Antara
Ulama Akhirat
dan
Ulama Dunia
Bukan orang yang mencari ilmu dengan
niat yang buruk atau untuk tujuan duniawi,
karena tidak ada keutamaan baginya dan
tidak ada kebaikan padanya,
bahkan ditandai dengan kerugian.
1
Sifat-sifat
Ulama Akhirat

Allah Swt. berfirman,

Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami


beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya
itu dari sisi Tuhan kami.”
(QS. Ali ‘Imran: 7)

Dari Anas disebutkan bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang


siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang mendalam ilmunya.
Beliau menjawab, “Orang yang benar sumpahnya, jujur lidahnya,
istiqamah hatinya, dan selalu menjaga perut dan kemaluannya.
Itulah orang-orang yang mendalam ilmunya.”317
Sebagian ulama mengatakan, “Orang yang mendalam ilmunya
adalah orang yang didapati dalam ilmunya empat hal: takwa antara
dirinya dan Allah, tawadhu’ antara dirinya dan makhluk, zuhud
antara dirinya dan dunia, dan berkorban (mujahadah) antara dia
dan dirinya sendiri.” Demikian keterangan dari Tafsir al-Baghawi.
Saya (penulis) mengatakan bahwa di antara sifat-sifat mereka
adalah waspada dengan selalu menghadirkan Allah, menjaga rasa
takut dalam semua hal ihwalnya, senantiasa tenang, menjaga
kewibawaan, khusyu, menundukkan diri, dan tawadhu’.
Imam al-Ghazali mengatakan, “Ada lima perkara yang
merupakan tanda-tanda ulama akhirat, yang dapat dipahami dari
lima ayat dalam Kitabullah, yaitu rasa takut, khusyuk, tawadhu’,
akhlak yang baik, dan mendahulukan akhirat dibandingkan
dunia, yakni zuhud.
Rasa takut di antaranya terdapat dalam firman Allah Ta’ala,

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-


hamba-Nya, hanyalah ulama.
(Fathir: 28)

Khusyu di antaranya terdapat dalam firman Allah Ta’ala,

Sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka


tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang
sedikit.
(QS. Ali ‘Imran: 199)

Tawadhu’ di antaranya terdapat dalam firman Allah Ta’ala,

Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang


beriman.
(QS. al-Hijr: 188)

Akhlak yang baik di antaranya terdapat dalam firman Alla Ta’ala,

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku


lemah Lembut terhadap mereka.
(QS. Ali ‘Imraan: 159)

Sedangkan zuhud di antaranya terdapat firman Allah Ta’ala,

250
Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu,
“Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah
lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal
saleh.”
(QS. al-Qashash: 80)

Demikian keterangan dari kitab al-Ihya.


Ibnu Umar mengatakan, “Seseorang tidak akan menjadi ahli
ilmu hingga dia tidak iri terhadap orang yang berada di atasnya,
tidak merendahkan orang yang berada di bawahnya, dan tidak
mengharapkan imbalan dari ilmunya.”
Adapun asy-Sya’bi mengatakan, “Seorang faqih hanyalah
orang yang wara’ dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah,
sedangkan orang alim adalah orang yang takut kepada Allah.”
Seseorang mengatakan kepada al-Hasan al-Bashri,
“Sesungguhnya para ahli fiqih kami mengatakan, ‘Begini...’”
Maka berkatalah al-Hasan, “Apakah engkau hanya melihat
seorang faqih saja? Sesungguhnya seorang faqih adalah orang yang
zuhud di dunia, mengharapkan akhirat, memahami agamanya,
dan senantiasa beribadah kepada Tuhannya.”

Gambaran Ulama Rabbani


Pernah ditanyakan kepada seorang penduduk Bashrah, “Siapa
pemimpin kalian?” Orang itu menjawab, “Al-Hasan.” Kemudian
dia ditanyai lagi, “Dengan apa beliau memimpin kalian?” Orang
itu menjawab, “Orang-orang membutuhkan ilmunya sedang
beliau tidak membutuhkan dunia mereka.”
Dari Abu Bakar al-Hudzali, seorang penyair yang terkenal,318
mengatakan, “Abu al-Abbas as-Saffah319 mengatakan, ‘Dengan apa
Hasan kalian (maksudnya Hasan al-Bashri) mencapai apa yang
dicapainya?’ Aku menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, dia telah
menghimpun kitab Allah dalam usia dua belas tahun, dia tidak
berpindah ke surah yang lainnya hingga mengerti takwilnya dan

251
mengenai apa surah itu diturunkan. Tidak menganjurkan kepada
seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hingga dia sendiri telah
melakukannya. Dan tidak pula menganjurkan untuk meninggalkan
suatu perbuatan hingga dia sendiri telah meninggalkannya.’”
Imam Malik bin Anas mengatakan, “Ja’far ash-Shâdiq bin
Muhammad al-Bâqir adalah seorang yang suka berkelakar dan
tersenyum. Namun ketika disebut Nabi Saw. di sisinya, maka
beliau menjadi pucat. Tidak pernah aku melihatnya berbicara
tentang Rasulullah kecuali dalam keadaan suci. Aku berkali-kali
mendatanginya, dan tidaklah aku melihatnya melainkan beliau
berada dalam tiga keadaan, sedang shalat, sedang diam, atau
sedang membaca Al-Qur’an. Beliau tidak suka membicarakn
sesuatu yang tak ada manfaatnya. Beliau tergolong ulama dan
hamba-hamba yang takut kepada Allah.” Demikian disebutkan
oleh Qadhi ‘Iyadh dalam kitab asy-Syifa’.
Dari Fudhail bin ‘Iyadh, yang mengatakan, “Imam Abu
Hanifah terkenal sebagai seorang yang wara’, selalu sabar dalam
mengajarkan ilmu, baik malam maupun siang, banyak diam dan
sedikit bicara sampai datang suatu masalah (pertanyaan) mengenai
halal atau haram, dan dia menjauhkan diri dari penguasa.
Dan di antara sikap wara’-nya yang luar biasa adalah tidak
mau duduk di bawah naungan tembok orang yang berhutang
padanya, dan dia mengatakan, ‘Setiap pinjaman yang mengambil
manfaat, maka itu adalah riba.’ Dan yang menjadi kebiasaannya
adalah memberi petunjuk kepada kebenaran.
Diceritakan bahwa dia pernah diminta untuk menjadi qadhi,
tetapi ditolak. Sehingga dia dicambuk dan dipenjarakan, bahkan
mati dalam tahanan. Ketika dia mendengar komentar orang
yang kasihan kepadanya, ‘Mengapa dia tidak menerima saja dan
menghindari cambukan itu?’ Dia berkata, ‘Itu cambukan dunia,
bukan cambukan akhirat.’ ‘Ashim mengatakan, ‘Seandainya akal
Abu Hanifah ditimbang dengan akal setengah penduduk dunia,
niscaya akalnya mengalahkan akal mereka.’”

252
Dari Zâfir bin Sulaimân, yang mengatakan, “Abu Hanifah 

senantiasa menghidupkan malam dengan satu rakaat membaca
  seluruhnya.”
Al-Qur’an  Asad
 bin
 ‘Amr
 
“Abu
mengatakan,  
Hanifah menghidupkan malam dengan ayat, 

Sebenarnya hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada
  
mereka  dan
 Kiamat
 itu
 
 dahsyat
lebih dan
pahit.
lebih 
 

 
          (QS.
al-Qamar:
 46)

 
Imam Malik  bin Anas adalah seorang yang memiliki 
kewibawaan dan ditakuti, bersungguh-sungguh dalam
mengagungkan ilmu agama, sangat beradab dan sangat
mengagungkan Rasulullah Saw.
Sebagian menyifati beliau sebagai berikut;

         

  
    
     
    
 
Tak menjawab dan menolaknya
  karena wibawaya 
yang hadir (di hadapan beliau) menundukkan dagunya
Adab yang santun dan kebesaran sultan, seorang pemuda

   bukan
berwibawameskipun  seorang
 
 sultan
 
    
         
  
Ibnu al-Mubârak mengatakan, “Suatu ketika aku berada di
sisi Malik yang membacakan hadits kepada   kami. Kemudian   dia 
tersengat kalajengking enam belas kali sehingga berubah kulitnya dan

menguning,  tetapi
   dia
 tetap

  tidak
  nghentikan

  hadits
 Rasulullah

    Saw.

Setelah majelis berakhir, aku berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Abdillah,
ini
pada hari 
 aku  melihat
 pada
 dirimu
 
sesuatu
 yang
 
menakjubkan.”
     
Dia mengatakan, “Ya, aku bersabar karena mengagungkan hadits
              
Rasulullah Saw.” Dari Ibnu Wahb,320 yang mengatakan bahwa pernah
kepada
ditanyakan     saudara    Malik,
   perempuan “Apa   di
kesibukannya
rumah?” Dia menjawab, “Mushaf dan membacanya.”
            
 
  

253
Imam Syafi’i membagi malam menjadi tiga bagian, sepertiga
untuk menulis, sepertiga untuk melakukan shalat, dan sepertiga
yang lain untuk tidur.” Beliau mengkhatamkan Al-Qur’an satu
kali setiap hari, dan dalam bulan Ramadhan mengkhatamkan
60 kali. Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah berbohong
dan aku tidak pernah bersumpah dengan nama Allah, baik
benar atau dusta.” Beliau juga mengatakan, “Aku tidak pernah
meninggalkan mandi Jumat di musim dingin, dalam perjalanan,
atau dalam keadaan lain.”
Imam Syafi’i juga mengatakan, “Aku tidak pernah kenyang
(makan sampai kenyang) sejak enam belas tahun yang lalu, karena
kenyang memberatkan badan, mengeraskan hati, menghilangkan
kecerdasan, menyebabkan tidur, dan melemahkan orang yang
tidur dari beribadah.”
Al-Humaidiy berkata, “Asy-Syafi‘i datang dari Shan‘a
ke Makkah dengan uang sebanyak sepuluh ribu dinar, lalu
beliau mendirikan tenda di luar Makkah. Orang-orang pun
mendatanginya, tidak lama kemudian beliau telah menyedekahkan
semua uangnya. Kemudian barulah beliau masuk ke Makkah, dan
di malam itu beliau tidak makan malam kecuali dari uang hasil
hutang.”
Diriwayatkan bahwa ketika beliau hendak pergi menuntut
ilmu, meminta izin kepada ibunya, lalu beliau pergi kemudian
kembali ke negerinya dengan membawa uang kurang lebih
sebesar sembilan puluh ribu dinar. Kemudian beliau membuat
tenda dan menyeru, “Barangsiapa menginginkan uang hendaklah
datang kemari.” Lalu beliau menyedekahkan seluruh uangnya,
dan pulang ke rumahnya. Ketika beliau mengetuk pintu
rumahnya, ibunya menyerunya dari atas rumah, “Engkau pergi
untuk menuntut ilmu, dan hari ini kudengar engkau datang
kepada kami dengan dunia, uang dinar, dan lainnya.” Lalu beliau
menjawab, “Wahai ibu, aku tidak pergi kecuali untuk menuntut
ilmu. Sedangkan uang itu, aku telah membuat kemah dan aku

254
sedekahkan di jalan Allah. Dan aku datang kepadamu dalam
keadaan kosong, tak ada sesuatu pun yang menyertaiku.” Ibunya
menjawab, “Jika kau datang dengan sesuatu dari harta itu, maka
aku tidak akan membukakan pintu bagimu.” Kemudian beliau
meminta makan malam kepada ibunya, dan dijawab, “Aku tak
memiliki apa-apa.” Lalu beliau berkata, “Berilah aku makan
malam dengan hutang yang aku tanggung.” Maka di malam
itu beliau pun makan malam dengan berhutang. Semoga Allah
meridhainya dan memberi manfaat kepada kita melaluinya.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam sehari semalam melakukan
shalat tiga ratus rakaat, mengkhatamkan Al-Qur’an satu kali
setiap tujuh hari (waktu siang), dan satu kali setiap tujuh malam.
Beliau banyak bangun malam (melakukan ibadah malam), tidur
hanya sejenak setelah Isya, kemudian melakukan ibadah malam
sampai pagi dengan melakukan shalat dan berdoa.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Imam Ahmad pernah
dipenjarakan selama delapan belas bulan. Di dalam tahanan, dia
sebentar-sebentar dicambuk sampai pingsan, lalu dicucuk dengan
pedang, kemudian dilemparkan ke tanah dan diinjak. Demikianlah
dia diperlakukan seperti itu sampai al-Mu’tashim321 meninggal
dunia dan kemudian digantikan oleh al-Wâtsiq,322 di mana
kondisinya semakin berat. Dia tidak dapat keluar untuk melakukan
shalat atau lainnya. Begitulah sampai al-Wâtsiq meninggal dan
digantikan oleh al-Mutawakkil323 yang menghentikan ujian yang
berat itu kepada Imam Ahmad. Dia menyuruh agar Imam Ahmad
dihadirkan ke tempatnya dan dimuliakan.”
Hilâl bin al-Mu’alla mengatakan bahwa ada empat orang
yang mendapatkan ujian berat dalam menjalankan ajaran Islam.
Beliau menyebutkan salah seorang di antaranya Ahmad bin
Hanbal yang mendapatkan ujian—yakni disiksa—karena tidak
mau mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
Diriwayatkan bahwa Abu Ja’far al-Manshûr324 al-‘Abbâsi
memanggil Abdullah bin Thâwûs325 dan Malik bin Anas. Ketika

255
keduanya masuk, dia menunduk sejenak kemudian menoleh
ke arah Ibnu Thâwûs dan berkata kepadanya, “Ceritakanlah
kepadaku tentang ayahmu.” Ibnu Thâwûs mengatakan, “Ayahku
menceritakan kepadaku bahwa orang yang paling berat azabnya
di hari Kiamat adalah orang yang menyekutukan Allah dalam
kekuasaannya, maka dia melakukan kezaliman dalam hukumnya.
Abu Ja’far terdiam. Malik berkata—berkenaan dengan peristiwa
ini, “Aku singsingkan bajuku karena takut darahnya mengenaiku
(karena takut Ibnu Thâwûs terbunuh dari ucapannya).”

Kemudian al-Manshûr berkata kepada Ibnu Thâwûs,

“Beri­kan kepadaku tinta itu.” Tiga kali dia mengatakannya,
  tetapi
tidak  diberikannya.
  Lalu   dia
bertanya,
“Mengapa
  engkau
tidak menyerahkannya kepadaku?” Beliau menjawab,  “Aku
khawatir engkau menulis suatu maksiat dengannya,  sehingga
aku bersekutu denganmu dalam hal itu.” Ketika mendengar itu,
   al-Manshûr
   berkata  
  kepada   
keduanya, “Pergilah kalian dariku.”
 
 Beliau    kemudian   “Itulah
   mengatakan,  yang

kami
 inginkan.”
Imam Malik mengatakan, “Sejak saat itu aku selalu melihat
keutamaan Ibnu Thâwûs.”  Demikian disebutkan   dalam kitab
Mir-ât al-Jinân karya al-Yafi’i.326
Beliau ra. berada dalam puncak sedikit mengambil dari
dunia. Makanan pokok beliau adalah roti kering. Jika selesai
dari pelajarannya beliau melewati penjual kacang kedelai
dan mencelupkan rotinya di kuah kacang itu. Pada suatu hari
   beliautidak        
berjumpa dengan penjual kacang itu, maka beliau
    mendatangi
    tempat
   teduh,  lalu
 menghancurkan
  rotinya,
  menuang

air di atasnya, dan memakannya, sambil mendendangkan dua
baitsyair,   

 
      
  
    
         
  
   

     


            
    
256
Roti, air, dan teduh
Ini adalah nikmat yang besar
Aku mendustakan nikmat Tuhanku
Jika kuucapkan, “Sesungguhnya aku miskin.”

Abu Hâzim al-Madaniy rhm. masuk ke rumah Sulaiman bin


Abdulmalik pada masa kekhalifahannya, lalu berkata, “Wahai Abu
Hâzim, mengapa kami membenci kematian?” Beliau menjawab,
“Karena kalian memakmurkan dunia dan merobohkan akhirat,
maka kalian membenci keluar dari bangunan yang dimakmurkan
menuju ke tempat yang roboh.” Sulaiman bertanya, “Wahai
Abu Hâzim, bagaimanakah peristiwa menemui Allah?” Beliau
menjawab, “Jika orang baik, maka dia seperti orang yang pergi
jauh yang mendatangi keluarganya. Sedangkan orang jelek,
seperti budak yang melarikan diri yang mendatangi kembali
tuannya.” Sulaiman berkata, “Oh, balasan untuk kami di sisi
Allah?” Abu Hâzim menjawab, “Sodorkanlah dirimu kepada
Kitab Allah.” Sulaiman bertanya, “Di manakah akan kudapati
diriku di Kitab Allah?” Beliau menjawab, “Pada firman-Nya,

‘Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-


benar berada dalam syurga yang penuh kenikmatan, dan
sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar
berada dalam neraka.’”
(QS. al-Infithar [82]: 13-14)

Sulaiman bertanya, “Lalu di manakah rahmat Allah yang meliputi


segala sesuatu itu?” Beliau menjawab,

“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-


orang yang berbuat baik.”
(QS. al-A’raf [7]: 56)

257
Dikutip oleh al-Imam al-Haddad ra. dalam surat menyuratnya.
Suatu ketika al-Imam Abu Ishâq asy-Syîrâzi berjalan
bersama sebagian temannya. Tiba-tiba terdapat seekor anjing
yang mendekatinya, maka teman beliau hendak mengusirnya.
Maka beliau mencegahnya sambil berkata, “Apakah kau tak
mengetahui bahwa jalan ini adalah milik bersama antara aku
dan dia (anjing)?”
Suatu ketika beliau masuk ke masjid untuk makan sesuatu
sebagaimana biasanya, lalu beliau lupa uang dinarnya. Kemudian
beliau teringat uang tersebut ketika di jalan. Maka beliau pun
kembali dan menemukannya. Tetapi kemudian beliau tinggalkan
dan tidak menyentuhnya. Beliau mengatakan, “Mungkin itu
uang orang lain yang jatuh dan bukan uang dinarku.”
Dalam Majmu’ Kalâm Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi
disebutkan bahwa asy-Syaikh al-Qâdhi al-Muhibb ath-Thabari327
dalam usia 102 tahun328 tidak berubah satu pun anggota badannya,
baik tangan, kaki, pendengaran, dan penglihatan. Beliau masih
mengajar dan berfatwa di usia tersebut. Salah seorang muridnya
bertanya kepadanya, “Bagaimana Allah menguatkan semua anggota
badanmu sampai seumur ini?” Belaiu menjawab, “Bagaimana Dia
tidak menguatkan aku dengannya (anggota-anggota badan itu)
sedangkan aku tidak pernah bermaksiat kepada-Nya?”
Di dalam kitab itu juga disebutkan bahawa ketika Syaikh
Ahmad ar-Ramli329 wafat, anaknya, Muhammad ar-Ramli330
berdiri dan menyeru kepada orang-orang dengan mengatakan,
“Saksikanlah oleh kalian bahwa ayahku ini wafat dalam keadaan
kaum muslimin selamat dari lidah dan tangannya.” Imam
asy-Sya’rani mengatakan, “Aku bersahabat dengan Syaikh
Muhammad al-Khathî asy-Syarbîniy, pengarang kitab al-Mughni
selama empat puluh tahun. Sepanjang masa itu, aku belum
pernah melihatnya melakukan perbuatan yang dibenci.”
Demikian juga yang dikatakan orang tentang asy-Syaikh
Ibnu Hajar al-Haitami rhm. Begitulah yang disebutkan oleh

258
al-Imam al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas dalam kumpulan
ucapannya.
Al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi menyebutkan bahwa
seseorang berkhidmat kepada asy-Syaikh Zakariyâ al-Anshâriy
sekitar dua puluh tahun. Dia mengatakan, “Aku tidak pernah
melihat beliau mengatakan sesuatu yang tidak berguna.
Beliau tidak pernah lalai berzikir kepada Allah, meskipun
ketika seseorang sedang membaca kitab kepadanya. Apabila si
pembaca diam untuk memperbaiki kesalahannya, maka beliau
menyibukkan diri untuk berzikir kepada Allah.”

Catatan Akhir
317. HR. Ibn Jarîr di dalam tafsir beliau (3: 185), ath-Thabrani dalam al-
Kabîr (8: 152 no 7685), dan Ibn Abu Hâtim seperti yang dikutip dalam
Tafsir Ibn Katsîr (QS. Ali Imran: ayat 7).
318. Di antara para Hudzaliy ahli syair terdapat Abu Kabir ‘Amir bin al-Hulais
al-Hudzaliy. Beliau adalah ahli syair dan termasuk seorang penyair yang
bersemangat. Dikatakan bahwa dia mencapai masa munculnya Islam
dan memeluknya. Beliau memiliki pengalaman bersama Nabi Saw.
Buku (kumpulan syair) beliau telah dicetak.
319. Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin
Abbas bin Abdulmuththalib, dijuluki dengan as-Saffâh (104-136 H).
Pertama yang mengawali kerajaan Abasiyah, dan di antara raja-raja
Arab, dia adalah salah satu penindas yang licik. Menghukum dengan
kejam dan pendendam, dijuluki dengan saffâh karena banyaknya darah

259
Bani Umayyah yang dia tumpahkan. Dia adalah orang yang pertama
mencetuskan kementrian di dalam Islam. Dia adalah orang yang
memiliki keahlian dalam berbicara, ilmu dan kesusastraan.
320. Al-Imam al-Kabîr Abdullah bin Wahab al-Fihriy al-Mishriy (125-197
H). Di antara murid-murid beliau yang berkedudukan tinggi adalah al-
Imam Malik. Beliau adalah seorang Imam yang menggabungkan antara
ilmu fiqih dan hadits.
321. Al-Mu’tashimbillâh al-‘Abbasiy adalah Muhammad bin Harun ar-
Rasyîd (179-227 H). Salah satu tokoh agung di antara khalifah kerajaan
Abasiyah. Beliau berhasil menduduki Amuriyah yaitu salah satu kota di
Romawi. Di samping lengannya yang kuat, dan badannya yang kokoh,
beliau adalah orang yang lembut dan pandai bergaul. Area kekhilafahan
di masa beliau semakin meluas.
322. Al-Wâtsiqbillâh al-‘Abbasiy adalah Harun bin Muhammad (Al-
Mu’tashimbillâh) bin Harun ar-Rasyîd (200-232 H). Memegang
kerajaan Abasiyah setelah ayahnya. Menguji manusia pada masalah
penciptaan Al-Qur’an. Namun di samping hal itu, beliau adalah orang
yang dermawan, menguasai kesusastraan dan nasab, serta banyak
berbuat baik terhadap penduduk Makkah dan Madinah.
323. Al-Mutawakkal ‘Alallâh al-‘Abbasiy adalah Ja’far bin al-Mu’tashimbillâh,
dan merupakan saudara al-Wâtsiq, yang baru saja disebut biografinya
(206-237 H). Beliau adalah orang yang sangat dermawan dan mencintai
Imrân. Beliaulah yang memerintahkan agar meninggalkan perdebatan
tentang Al-Qur’an dan mengangkat fitnah yang terjadi.
324. Al-Manshûr al-‘Abbasiy adalah Abdullah bin Muhammad bin Ali bin
Sayidina Abdullah bin Abbas ra. (95-158 H), merupakan khalifah
kedua dalam kerajaan Abasiyah setelah saudaranya as-Saffâh. Dialah
yang menurunkan seluruh khalifah Abasiyah, dan dialah yang paling
agung, pemberani, dan gigih. Namun dia banyak membunuh orang
hingga berdiri kerajaannya. Dia raja pertama yang memerhatikan ilmu
di antara raja-raja Arab. Dia sendiri menguasai ilmu fiqih, kesusastraan,
filsafat, falak, dan mencintai ulama.
325. Abu Muhammad Abdullah bin al-Imam al-Faqîh Thawûs al-Yamâniy
(wafat pada tahun 132 H). Seorang Imam dan ahli hadits yang
terpercaya. Ma’mar berkata, “Beliau adalah orang yang paling menguasai
bahasa arab, dan berakhlak baik. Tak pernah kami lihat anak seorang
ahli fiqih yang seperti beliau.”

260
326. Hikayat itu diceritakan pula oleh Ibn Khulkân dalam kitab Wafayât
al-A’yân (2: 511). Al-Imam adz-Dzahabiy memberikan komentar atas
hikayat itu di kitab Siyâr an-Nubalâ` (6: 104).
327. Yang benar, hikayat di atas terjadi pada al-Imam Abu at-Thayyib ath-
Thabariy (348-450 H), seorang imam mazhab penduduk Irak yang
berkedudukan tinggi. Bukan pada al-Muhib ath-Thabariy (615-694
H) yang merupakan guru besar di kota Makkah, seperti yang disebut
dalam hikayat di atas. Hikayat ini dikutip secara benar oleh al-Imam
asy-Syîrâziy dalam kitab ath-Thabaqât al-Fuqahâ halaman 127, an-
Nawawiy dalam kitab at-Tahdzîb (2: 247) dan adz-Dzahabiy dalam
kitab Siyâr an-Nubalâ` (17: 670), serta lain-lainnya.
328. Kata dua tahun yang merupakan asal hikayat tersebut, di tempat yang
lain dikutip dengan enam puluh tahun dan yang lain menambahkan
kata “tahun” setelahnya. Maka seratus dua tahun menjadi seratus enam
puluh tahun. Sedangkan yang benar, dari kitab-kitab rujukan hikayat
tersebut adalah yang diceritakan di atas.
329. Seorang imam, ahli fiqih, wali, dan orang yang saleh Syihâbuddîn
Ahmad bin Hamzah ar-Ramliy asy-Syafi‘i (wafat pada tahun 957 H).
Di antara karya tulis beliau adalah al-Fatâwâ dan Fath al-Jawâd Bi Syarh
Manzhûmah Ibn al-‘Imâd dalam pembahasan hal-hal yang dimaafkan,
serta selain dua kitab itu. Beliau wafat di Kairo.
330. Seorang imam, ahli fiqih, Syamsuddîn Muhammad bin Ahmad
ar-Ramliy (919-1004 H). Di zamannya, beliau adalah ahli fiqih di
Mesir dan sebagai tempat sandaran dalam fatwa, hingga dijuluki
dengan Syaifi‘i kecil. Lahir dan wafat di Mesir. Di antara karya tulis
beliau adalah, Nihâyah al-Muhtâj Syarh al-Minhâaj dan kitab yang
merangkum fatwa-fatwa beliau serta selain kedua buku tersebut.

261
2
Berhati-hati Terhadap
Ulama Dunia

Ketahuilah, bahwa semua keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan


hadits-hadits mengenai keutamaan ilmu dan ulama, hanyalah
berkaitan dengan para ulama yang mengamalkan ilmu, bertakwa,
dan selalu berbuat baik. Mereka, yang dengan ilmu dan amal,
bertujuan mendapatkan keridhaan Allah Yang Maha Mulia lagi
Maha Pengampun. Mereka yang selalu menyeru dan menunjukkan
ke jalan-Nya sepanjang siang dan malam. Bukan orang yang mencari
ilmu dengan niat yang buruk atau untuk tujuan duniawi, karena
tidak ada keutamaan baginya dan tidak ada kebaikan padanya,
bahkan ditandai dengan kerugian.
Dan dalam kitab-Nya yang mulia, Allah telah menyerupakan para
ulama yang buruk dengan anjing dan keledai dalam hal kerendahannya.
Bahkan, mereka lebih buruk dari kedua hewan tersebut, karena akhir
kehidupan kedua hewan itu menjadi tanah, sedang akhir kehidupan
mereka adalah menuju neraka jahanam. Allah Swt. berfirman,

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami


berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-
Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia
diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk
orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat
itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan
hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya seperti
anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya
dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
(juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada
mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.
(QS. al-A’raf: 175-176)

Al-Qurthubi mengatakan dalam menafsirkan ayat ini, “Bal‘am


bin Ba‘ura’ suatu ketika melihat ke arasy. Dia seorang yang dikabulkan
doanya dan majelisnya dihadiri oleh dua belas ribu pelajar. Itulah yang
dikatakan dalam Al-Qur’an (ayat di atas) yang artinya, ”Dan bacakanlah
kepada mereka berita orang yang Telah kami berikan kepadanya ayat-
ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan
diri dari ayat-ayat itu.” Dia hafal nama yang paling agung dari nama-
nama Allah, lalu dia mendoakan keburukan bagi Musa dan kaumnya
sehingga dia terjatuh ke dalam kesesatan selama 40 tahun. Lalu Nabi
Musa berdoa untuknya agar ma’rifah (pengetahuan) tercabut dari
hatinya, maka keluarlah ma’rifah dari dadanya.”
Ar-Razi mengatakan, “Ayat ini termasuk ayat yang paling
keras terhadap para ahli ilmu, karena orang yang diberi ilmu
oleh Allah, lalu cenderung kepada dunia dan menyukainya,
disejajarkan dengan anjing yang terendah, yang biasanya
menjulurkan lidahnya tanpa lelah meskipun tidak haus.”
Allah juga berfirman,

Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya


Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti
keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.
(QS. al-Jumu’ah: 5)

263
Di antara hadits-hadits yang berisi ancaman bagi orang yang
ilmunya ditujukan untuk mencari selain keridhaan Allah, adalah
sabda Nabi Saw., “Barangsiapa yang mencari ilmu agar dapat
bersaing dengan para ulama, atau berdebat dengan orang bodoh,
atau untuk mendapatkan perhatian manusia, maka Allah akan
memasukkannya ke dalam neraka.”331
Juga ucapan Nabi Saw., “Barangsiapa mempelajari suatu ilmu
yang seharusnya ditujukan untuk mendapatkan keridhaan Allah,
tetapi mempelajarinya hanya untuk mendapatkan harta dunia,
maka dia tidak akan mencium wanginya surga di hari Kiamat.”332
Dari Abu Hurairah ra. disebutkan bahwa Nabi Saw.bersabda,
“Sesungguhnya orang yang pertama akan diadili di hari Kiamat
adalah seorang yang mati syahid, lalu dia didatangkan. Kemudian
Allah menerangkan (mengingatkan) nikmat-nikmat-Nya
sehingga dia mengetahui. Kemudian Allah berfirman, ’Apa yang
telah kamu perbuat?’ Dia menjawab, ’Aku berperang di jalan-Mu
sampai aku mati syahid.’ Allah berfirman, ’Engkau telah berdusta.
Sesungguhnya engkau berperang agar dikatakan sebagai seorang
pemberani, dan itu telah dikatakan.’ Kemudian diperintahkan
agar dia diseret hingga dilemparkan ke dalam neraka.
Kemudian seorang yang mempelajari Al-Qur’an,
mengajarkan dan membacanya, didatangkan. Kemudian Allah
menerangkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya sehingga dia
mengetahuinya. Kemudian Allah bertanya kepadanya, ’Apa yang
telah engkau perbuat?’ Dia menjawab, ’Aku telah mempelajari
ilmu dan mengajarkannya, dan membaca Al-Qur’an di jalan-Mu.’
Allah berfirman, ’Engkau telah berdusta. Sesungguhnya engkau
belajar agar disebut sebagai seorang yang alim, dan engkau
membaca Al-Qur’an agar disebut qari’ (yang pandai membaca Al-
Qur’an), dan hal itu telah dikatakan.’ Kemudian diperintahkan
agar dia diseret hingga dilemparkan ke dalam neraka.
Kemudian seorang laki-laki, yang diberi keluasan rezeki
oleh Allah dengan bermacam-macam harta, didatangkan. Lalu

264
Allah menerangkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya sehingga
dia mengetahuinya. Kemudian Allah bertanya, ’Apa yang telah
engkau perbuat?’ Dia menjawab, ’Tidaklah aku meninggalkan
suatu jalan yang Engkau sukai, melainkan aku berinfak pada
jalan itu demi mengharap keridhaan-Mu.’ Kemudian Allah
mengatakan, ’Engkau berdusta. Engkau melakukan itu agar
dikatakan sebagai seorang yang pemurah, dan itu telah dikatakan.’
Kemudian diperintahkan agar dia diseret hingga dilemparkan ke
dalam api neraka.”333
Di dalam suatu riwayat terdapat tambahan, “Kemudian
Rasulullah menepuk lututku seraya mengatakan, ’Wahai Abu
Hurairah, tiga golongan itu adalah makhluk Allah pertama yang
digunakan untuk memanaskan api neraka di hari Kiamat.”334
Diriwayatkan bahwa ketika hadits ini sampai kepada Mu’awiyyah
ra., dia pun menangis dengan keras kemudian mengatakan,
“Mahabenar Allah dan Rasul-Nya, kemudian dia membaca ayat,

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan


perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka
di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka, dan lenyaplah
di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Hud: 15-16)

Nabi Saw. bersabda, “Akan muncul suatu kaum yang


membaca Al-Qur’an dan mengatakan, ’Siapa yang lebih bagus
bacaannya dibanding kami? Siapa yang lebih alim dibanding
kami? Siapa yang lebih memahami dibanding kami?’ Mereka
adalah bahan bakar neraka.”335
Al-Imam asy-Sya’rani menyebutkan dari gurunya,
Syaikh Ali al-Khawwâsh336 yang menjelaskan tentang hadits,

265
”Sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan orang
yang berbuat maksiat (fâjir)”.337 Ia mengatakan, “Maknanya
adalah bahwa sesungguhnya seseorang mengambil manfaat
ilmu dan pengajaran, fatwa-fatwa, dan didikan dari seorang
yang suka berbuat maksiat yang dalam penampilannya tampak
seperti para ulama yang mengamalkan ilmunya, kemudian Allah
memasukkannya ke dalam neraka karena ketidakikhlasannya.
Yaitu, dia mempelajari ilmu karena riya’ dan sum’ah, lalu
mengajarkan manusia perkara-perkara agama mereka, membuat
mereka faham, menjaga mereka, dan menolong agama ketika
lemah satu sisinya. Demikian keterangan dari al-Anwâr al-
Qudsiyyah.
Beliau ra. juga mengatakan, “Semua keterangan yang
datang mengenai ketentuan ilmu dan amal hanyalah berkaitan
dengan orang-orang yang ikhlas dalam hal itu. Karena itu
janganlah engkau berada dalam kesalahan, karena sesungguhnya
pengkritik itu jeli. Pada masa sekarang banyak orang yang tidak
mengamalkan ilmu mereka, dan apabila ada yang menentang
pengakuan mereka—pada ucapan mereka, “Kami adalah orang
yang berilmu”—mereka berdalil dengan keterangan yang datang
mengenai keutamaan menuntut ilmu secara mutlak tanpa syarat
keikhlasan. Maka dikatakan kepada orang-orang seperti mereka,
“Mana ayat-ayat, hadits-hadits, dan riwayat mengenai orang yang
tidak mengamalkan ilmu dan tidak pula berlaku ikhlas? Karena
itu, janganlah engkau salah wahai saudaraku, dengan mengaku
ikhlas dalam ilmu dan amalmu tanpa melakukan pemeriksaan,
karena itu merupakan tipuan.” Demikian keterangan dari kitab
al-Anwâr al-Qudsiyyah.
Al-Imam al-Ghazali ra. mengatakan, ”Sesungguhnya seorang
alim yang menjadi budak-budak dunia adalah lebih buruk
keadaannya dan lebih berat siksanya dibanding orang jahil. Dan
sesungguhnya orang yang beruntung dan didekatkan adalah para
ulama akhirat.”

266
Mengenai makna hadits, ”Sesungguhnya para ulama adalah
pewaris para nabi,”338 dan ”Ulama umatku (kedudukannya)
seperti para nabi Bani Israil”339 Sayyidina asy-Syaikh al-Imam
al-Quthb Abdullah bin Alwi al-Haddad, semoga Allah memberi
manfaat kepada kita dengannya, mengatakan: “Sesungguhnya
yang dimaksud, dengan ahli waris para nabi dan yang diserupakan
dengan para nabi Bani Israil, dalam ucapan Nabi Saw. tersebut
bukanlah setiap orang alim. Melainkan para ulama yang dekat
dengan Allah, mendalam pengenalannya dalam ilmu-ilmu
Kitabullah dan sunnah secara lahir dan batin, pengasih kepada
hamba-hamba Allah dan menyayangi mereka, zuhud di dunia,
menunjukkan rasa takut kepada Allah, dan mengamalkan segala
yang diketahuinya dengan mengharapkan keridhaan Allah.”
Dikutip dari mukadimah surat-menyuratnya.
Saya (penulis) berkata, “Dari Ibnu Abbas dalam sebuah
hadits marfu’ ? dikatakan, ’Ulama umat ini ada dua: Pertama,
orang yang Allah beri ilmu lalu ia mengorbankannya untuk
manusia, tidak mengambilnya dengan tamak (menguasainya
sendiri), dan tidak menjualnya dengan harga yang murah.
Orang tersebut dibacakan shalawat oleh burung di langit, ikan di
lautan, binatang melata di bumi, dan para malaikat yang mulia
yang mencatat amal perbuatan manusia, dan akan menghadap
Allah sebagai pemimpin yang mulia hingga menyertai para rasul.
Kedua, orang yang diberikan oleh Allah ilmu di dunia lalu dia
kikir terhadap hamba Allah, mengambilnya dengan tamak, dan
menjualnya dengan harga yang murah, maka dia akan menghadap
Allah pada hari Kiamat terbelenggu dengan belenggu dari api
neraka. Kemudian ada yang berseru di atas kepala para makhluk,
’Inilah Fulan bin Fulan yang Allah beri ilmu di dunia kemudian
dia kikir terhadap hamba Allah, mengambilnya dengan tamak,
dan menjualnya dengan harga murah.’ Lalu dia diazab sampai
selesai hisabnya.340 Demikian dikutip oleh al-Imam Ali bin
Hasan al-Attas dalam kitab al-’Athiyyah al-Haniyyah.

267
Ketahuilah bahwa setan lebih berkeinginan untuk
menyesatkan seorang alim daripada orang jahil. Karena bila
seorang alim tersesat, maka orang lain pun akan tersesat dengan
kesesatannya, bila dia rusak, maka orang awam akan rusak dengan
kerusakannya. Dan seseorang tidak akan berani melakukan
perbuatan yang terlarang dan hal-hal yang menyimpang
melainkan bila para ulama juga berani melakukannya. Berbeda
dengan orang jahil. Karena itu seorang arif mengatakan, “Ulama
yang buruk lebih membahayakan agama ketimbang iblis.”
Di dalam hadits dikatakan, “Ada dua golongan umatku, bila
mereka baik maka baiklah umat manusia, dan bila mereka rusak
maka rusaklah umat manusia, yakni para umara dan ulama.”
Demikian disebutkan dalam kitab al-Ihya.341
Dari Hudzaifah bin al-Yaman ra. diriwayatkan bahwa orang-
orang pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan
dan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena
khawatir keburukan itu akan menimpaku. Aku berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam kejahilan
dan keburukan, kemudian Allah membawakan kami kebaikan
ini. Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan lagi?” Beliau
menjawab, ”Ya.” Aku bertanya lagi, ”Apakah setelah keburukan
itu akan ada kebaikan lagi?” Beliau menjawab, ”Ya, di dalamnya
terdapat kejelekan.” Aku bertanya, “Apa kejelekannya?” Beliau
menjawab, ”Kaum yang memberikan contoh bukan dengan
sunnahku dan mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku.
Engkau mengenal mereka dan akan mengingkari mereka.” Aku
bertanya lagi, ”Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan lagi.”
Beliau menjawab, ”Ya, para penyeru di pintu neraka Jahanam.
Barangsiapa yang memenuhi seruan mereka, maka mereka akan
menghempaskannya ke dalamnya.”342
Rasulullah Saw. bersabda, “Yang paling aku khawatirkan
terhadap umatku adalah setiap orang munafik yang pandai
berbicara. Demi Dzat yang diriku berada di genggaman-Nya, Tidak

268
akan terjadi hari Kiamat sampai kalian diperintah oleh para pemimpin
yang dusta, para menteri yang lalim, saudara yang berkhianat, orang
arif yang zalim, para pembaca Al-Qur’an yang fasik, dan para ahli
ibadah yang jahil.” 343
Allah membukakan kepada mereka fitnah kegelapan, maka
mereka kebingungan sebagaimana orang-orang Yahudi yang
zalim. Ketika itu Islam akan terhapus sedikit demi sedikit hingga
tidak tersisa darinya kecuali Allah.”344 Demikian disebutkan oleh
Sayyidi asy-Syaikh Abdulqâdir al-Jailani dalam kitab al-Ghunyah.
Al-Imam Ja’far ash-Shâdiq ra. mengatakan, ”Para ulama
adalah orang-orang kepercayaan para rasul selama mereka tidak
bergaul dengan penguasa dan tidak terlibat dalam urusan dunia.
Apabila mereka telah bergaul dengan penguasa dan masuk dalam
urusan dunia, mereka telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya,
maka menjauhlah dan hati-hatilah terhadap mereka.”345
Nabi Saw. bersabda, “Aku lebih mengkhawatirkan terhadap
kalian selain Dajjal dibanding Dajjal itu sendiri.” Beliau ditanya,
“Siapa dia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Para ulama
yang jahat.”346 Demikian disebutkan oleh al-Imam al-Ghazali
dalam kitab al-Bidâyah.
Dalam kitab Tastbît al-Fuâd dari al-Imam Abdullah bin
Alwi al-Haddad disebutkan bahwa tidak ada yang membuat
rusak manusia dalam urusan agama kecuali para ulama, tetapi
itu setelah rusaknya agama mereka (para ulama). Dan tidak
ada yang membuat rusak manusia dalam urusan dunia kecuali
para penguasa, tetapi itu setelah rusaknya dunia mereka (para
penguasa). Jadi, dengan rusaknya ulama rusaklah agama, dan
dengan rusaknya para penguasa rusaklah dunia, karena orang
yang mengurus suatu perkara, mereka berada di depan. Orang
yang mengerti agama berada di depan orang-orang beragama
pula, dan orang yang mengerti dunia berada di depan orang-
orang berurusan dengan dunia pula. Apabila pemimpinnya telah
berubah maka berubah pula yang dipimpinnya.

269
 
      
  
Saya (penulis) berkata
    
bahwa  diisyaratkan
    telah    
  pula
makna tersebut oleh al-Imam Abdullah   bin al-Mubârak  dalam
ucapannya,


       
    
    
    

               
              
           
  
            
 
Kulihat dosa   mematikan hati  
Biasa melakukannya menyebabkan kehinaan
Meninggalkan dosa menghidupkan hati
Dan menentangnya, bagimu adalah kebaikan
Bukankah rusaknya agama tiada lain karena
para penguasa, uskup dan rahib yang jahat
Mereka menjual jiwa tanpa mengharap
dengan harga yang tak mahal di pasar
Sekelompok orang telah menggembala di ladang bangkai
bau busuknya begitu jelas bagi mereka yang memiliki hati

Umar bin Khaththab ra. berkata, “Sesungguhnya yang paling


aku khawatirkan atas umat ini adalah seorang munafik yang berilmu.”
Mereka bertanya, “Bagaimana menjadi munafik yang berilmu?”
Beliau menjawab, “Pandai dalam berbicara, namun bodoh dalam
urusan hati dan pengamalan.” Demikian disebutkan dari kitab al-Ihyâ
Dari Ali bin Abi Thâlib ra. yang mengatakan, “Telah menghancurkan
punggungku adalah dua orang, yaitu seorang berilmu yang kurang
ajar dan seorang bodoh yang ahli ibadah.”
Saleh al-Murri rhm.347 berkata, ”Berhati-hatilah terhadap
seorang berilmu yang cenderung kepada dunia. Janganlah

270
bergaul dengannya karena dikhawatirkan akan membahayakan
kalian dengan hiasan ucapannya dan pujiannya terhadap ilmu
dan ahli ilmu tanpa mengamalkannya.” Beliau juga berkata,
”Terkadang ilmu semakin menambah seorang berilmu menuju
neraka. Karena itu, seseorang tidak sepatutnya bergembira
dengan ilmunya melainkan setelah melewati shirâth al-mustaqîm.
Di situlah dia mengetahui hakikat ilmunya, menjadi bukti yang
menyelamatkannya ataukah yang menyengsarakannya.”
Diriwayatkan dalam atsar para salaf, bahwa apabila orang
yang memberikan peringatan duduk di tengah manusia, para
ulama mengatakan, “Periksalah padanya tiga hal. Bila dia
meyakini suatu bid‘ah, maka janganlah bergaul dengannya,
karena dia bertutur dengan lisan setan. Bila makanannya buruk,
maka janganlah bergaul dengannya, karena dia bertutur dengan
hawa nafsu. Bila akalnya tidak mantap maka janganlah bergaul
dengannya, karena perkataannya lebih banyak merusak daripada
memperbaiki.” Demikian disebutkan dalam kitab al-Ihyâ
Jabir bin Abdullah mengatakan, “Janganlah kalian duduk
di sisi setiap orang yang berilmu kecuali yang menyeru
kalian dari lima hal kepada lima hal yang lain. Dari keraguan
kepada keyakinan, dari riya’ kepada keikhlasan, dari keinginan
kepada zuhud, dari kesombongan kepada tawadhu’’, dan dari
permusuhan kepada nasihat.” Demikian keterangan dari kitab
Qût al-Qulûb.
Yahya bin Mu‘âdz ar-Râzi rhm.348 berkata kepada para ulama
yang cenderung kepada dunia, ”Wahai para pemilik ilmu, istana
kalian adalah Qaisariyyah (bagaikan Kekaisaran Roma), rumah-
rumah kalian adalah Kisrawiyyah (bagaikan Raja Parsi), pintu-
pintu kalian adalah Zhâhiriyyah (bagaikan Penguasa Baghdad),
kendaraan-kendaraan kalian adalah Qârûniyyah (bagaikan
Qârûn), tabiat-tabiat kalian adalah Namrûdziyyah (bagaikan
Namrûdz), bejana-bejana kalian adalah Fir’auniyyah (bagaikan
Fir‘aun), dosa-dosa kalian adalah Jahiliyyah, dan mazhab-

271
mazhab kalian adalah Syaithaniyyah. Lalu di mana syariat
Muhammadiyyah?!
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam kitabnya,
ad-Da’wah at-Tâmmah, mengatakan, “Disebutkan dalam suatu
riwayat bahwa seorang laki-laki bersahabat dengan Nabi Musa
dan senantiasa menyertainya sehingga mengambil ilmu darinya,
kemudian mulailah dia mengatakan, ‘Musa Kalimullah telah
mengatakan kepada kami,’ hingga kaya dan banyak hartanya.
Kemudian Nabi Musa kehilangan dia, lalu beliau menanyakan
tentangnya, namun tidak mendengar kabar mengenainya. Hingga
ada seorang laki-laki mendatanginya dengan membawa seekor
babi yang di lehernya terdapat tali berwarna hitam. Kemudian
Nabi Musa bertanya kepadanya, apakah dia melihat laki-laki itu?
Orang itu menjawab, ‘Ya. Dia adalah babi ini.’
Lalu Musa meminta kepada Tuhan agar mengembalikan
kepada rupanya agar dapat bertanya mengenai apa yang
menimpanya. Lalu Allah mewahyukan kepadanya, ‘Seandainya
engkau meminta kepada-Ku dengan apa yang telah diminta oleh
Adam dan yang sesudahnya, Aku tetap tidak akan mengembalikan
kepada rupanya. Tetapi Aku akan memberitahumu tentang
mengapa Aku melakukan ini terhadapnya. Karena dia mencari
dunia dengan agama.”
Diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala mewahyukan kepada Nabi
Daud, “Wahai Daud, janganlah engkau bertanya kepada-Ku
tentang seorang berilmu yang telah dibuat mabuk oleh dunia
sehingga memalingkanmu dari jalan-Ku. Mereka adalah para
pembegal hamba-hamba-Ku.” Malik bin Dinar mengatakan, “Aku
pernah membaca di suatu kitab bahwa Allah Swt. mengatakan,
’Sesungguhnya hal yang paling ringan yang Aku lakukan terhadap
seorang berilmu, apabila dia mencintai dunia, adalah Aku
keluarkan manisnya bermunajat kepada-Ku dari dalam hatinya.’”
Umar bin Khaththab ra. berkata, “Apabila kalian melihat
seorang berilmu yang mencintai dunia, maka waspadailah dia

272
terhadap agama kalian, karena sesungguhnya setiap orang yang
mencintai, akan tenggelam dalam hal yang dia cintai.”
Disebutkan bahwa keledai-keledai liar mengadu kepada
Allah masalah bau busuk mayat orang-orang kafir, lalu dikatakan
kepadanya, “Sesungguhnya perut para ulama yang buruk lebih
busuk dibandingkan yang kalian cium.”
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa sesungguhnya
manusia ditimpa suatu musibah, kemudian mereka berlindung
kepada ulama mereka. Ternyata mereka mendapati para ulama
telah diubah menjadi kera dan babi. Sebagian muhaqqiq
mengatakan bahwa yang dimaksud adalah diubah rupa batin
mereka dan itu telah diubah sejak lama.
Diriwayatkan dari seorang ulama Bani Israil bahwa dia
mengumpulkan tujuh puluh peti ilmu, kemudian Allah
mewahyukan kepada nabi di zaman itu, “Katakanlah kepada
orang itu, ‘Tidak akan bermanfaat bagimu ilmu-ilmu ini,
sekalipun engkau telah mengumpulkan beberapa kali lipat dari
itu, selama engkau masih memiliki tiga sifat, yaitu cinta dunia,
menyokong nafsu dan setan atas keinginannya, dan mengganggu
seorang muslim.’”
Nabi Isa as. mengatakan, “Perumpamaan para ulama yang
buruk adalah seperti batu yang jatuh di atas mulut sungai, ia
tidak menyerap air dan tidak pula membiarkan air mengalir ke
tanaman, dan seperti kuburan, pada lahiriahnya ramai, tetapi di
dalamnya hanya ada tulang belulang orang mati.”
Beliau as. juga mengatakan, “Perumpamaan orang yang
mempelajari ilmu dan tidak mengamalkannya adalah seperti
seorang perempuan yang berzina secara diam-diam, lalu tampak
kehamilannya sehingga terungkap perbuatannya. Demikian pula
orang yang tidak mengamalkan ilmunya, Allah akan mengungkap
dirinya di hari Kiamat di hadapan para saksi.”
Al-Imam al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Apabila para
ulama sibuk mangumpulkan yang halal, maka orang awam akan

273
makan yang syubhat. Apabila para ulama makan yang syubhat,
maka orang awam akan makan yang haram, dan apabila para
ulama makan yang haram, maka orang awam akan menjadi
kafir.”

Manfaat
Al-Imam al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi—
berkenaan dengan ucapan seseorang, “Kami
menuntut ilmu untuk selain Allah, namun ilmu
itu enggan melainkan bila ditujukan untuk
mendapatkan keridhaan Allah”—mengatakan,
“Perkataan itu memiliki dua makna. Pertama, ilmu
enggan mencapai kita disebabkan syaratnya tidak ada, yaitu
karena Allah. Ilmu yang dimaksud dalam ucapan ini adalah ilmu
yang bermanfaat bukan ilmu yang tidak bermanfaat. Sebab
ilmu dapat mencapai orang yang baik dan yang bermaksiat.
Berapa banyak orang berilmu yang mengetahui uraian-uraian
dan riwayat-riwayat yang luas tetapi tidak mendapatkan
manfaat dari ilmunya, meskipun dia dapat memberi manfaat
kepada orang lain dengan ilmunya itu. Inilah pengertian hadits
yang menyebutkan, ‘Sesungguhnya Allah menolong agama
ini dengan seorang yang suka berbuat maksiat.’349 Makna
kedua, sesungguhnya kami menuntut ilmu dengan tidak ikhlas
dan tidak mempunyai tujuan yang baik, namun ketika Allah
memberi pengertian kepada kami, maka dengan keberkahan
ilmu itu kami mendapatkan tujuan yang baik dan keikhlasan,
sehingga ilmu kami menjadi karena Allah.”

Petunjuk
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad, semoga Allah memberi
manfaat dengannya, mengatakan, “Pengakuan itu terdiri dari
dua keadaan. Orang yang mengaku yang berbicara, dengan
mengatakan, ’Aku begini dan begini.’ Kedua, orang yang

274
mengaku tetapi diam. Tidak menyebut dirinya dengan sesuatu,
tetapi apabila dikatakan kepadanya, ’Sesungguhnya engkau jahil’
atau, ’Engkau tidak mengetahui sesuatu’, atau digambarkan
dengan segala yang mengandung kekurangan, dia marah. Ini
pun termasuk orang yang mengaku, meskipun tidak seperti yang
pertama.” Demikian keterangan dari kitab Tatsbît al-Fuâd.
Beliau juga mengatakan, “Setiap orang yang mengaku-aku
itu terhina dan pasti Allah akan mentakdirkan baginya orang
yang akan melemahkannya sehingga dia akan terhina ketika itu,
meskipun ilmunya banyak. Kami tidak melihat yang lebih baik
bagi seseorang dari pada mengaku dan menghempaskan dirinya
di bawah. Seandainya dia memiliki kelebihan, maka hal itu hanya
akan menambah ketinggian baginya, dan jika tidak demikian,
maka sesungguhya dia pun diciptakan dari tanah, sehingga tidak
ada celaan baginya apabila dia menjadi sebagaimana asalnya.
Asy-Sya’rawi menyebutkan bahwa seorang ulama mengatakan,
‘Setahuku tidak ada orang pada umat ini setelah Abu Bakar ash-
Shiddiq yang lebih alim daripada aku.’ Lalu orang lain berkata
kepadanya, ‘Ustadz benar. Berapa jumlah rambut pada janggutmu?’
Ternyata dia tidak dapat menjawabannya, sehingga dia menjadi
terhina dengan pengakuannya. Demikian pula yang terjadi pada
Ibnu Arabi dalam kisahnya bersama binatang melata di lautan.”
Saya (penulis) mengatakan bahwa kisah ini disebutkan
oleh Muhyiddin Ibnu ‘’Arabi tentang dirinya sendiri. Suatu
ketika beliau menaiki kapal di laut. Kemudian angin pun
bertiup kencang. Maka beliau berkata, “Tenanglah wahai laut,
sesungguhnya di atasmu terdapat lautan ilmu.” Lalu muncullah
binatang dari laut dan berkata kepadanya, “Kami mendengar
ucapanmu. Bagaimana menurut pendapatmu apabila seorang
suami berubah bentuknya (karena dikutuk), apakah istrinya
menggunakan ‘iddah cerai atau ‘iddah mati?” Syaikh tidak tahu
apa yang harus dikatakan. Maka binatang itu berkata kepadanya,
“Apakah engkau bersedia menjadikan aku sebagai gurumu dan

275
aku akan memberikan jawabannya?” Beliau menjawab, ”Ya.”
Lalu binatang itu mengatakan, “Jika dia diubah menjadi hewan,
maka istrinya menggunakan ‘iddah cerai, dan jika dia diubah
menjadi benda mati, maka istrinya menggunakan ‘iddah mati.”
Diriwayatkan bahwa Muqâtil bin Sulaimân al-Azdi350 suatu
ketika mengatakan, “Tanyakanlah kepadaku tentang segala sesuatu
selain Arasy.” Lalu dia ditanya, ”Siapa yang mencukur kepala Nabi
Adam setelah melakukan pelanggaran?” Dia menjawab, “Ini bukan
ilmu kalian, tetapi Allah ingin mengujiku karena aku kagum
dengan diriku sendiri.” Orang yang lain berkata kepadanya, “Perut
Semut berada di depan atau di belakang?” Dia tetap tidak tahu
apa yang harus dikatakannya. Perawi mengatakan, “Aku menduga
itu hukuman yang ditimpakan kepadanya.” Demikian keterangan
dari kitab Mir-ât al-Janân karya al-Yâfi’i.
Asy-Syaikh Abu al-Hasan asy-Syâdzili ra. berkata,
“Barangsiapa mengaku-ngaku memiliki kedudukan bersama
Allah, padahal tampak darinya salah satu dari lima hal, maka dia
adalah pendusta dan dicabut kedudukannya. Yaitu; menjulurkan
anggota badan dalam maksiat kepada Allah, berpura-pura dalam
ketaatan kepada Allah, tamak terhadap makhluk Allah, memusuhi
orang-orang yang dekat kepada Allah, dan tidak menghormati
orang Islam sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Dan
kemungkinan kecil dia akan wafat dalam keadaan Islam.”
Diriwayatkan bahwa Abu Yazid al-Busthami ra. bermaksud
mengunjungi seorang yang dikatakan memiliki kewalian. Beliau
duduk menunggu orang tersebut yang sedang berada di masjid.
Tiba-tiba keluarlah orang tersebut lalu meludah di masjid,
maka pulanglah Abu Yazid tanpa menemuinya. Beliau berkata,
“Bagaimana kami akan percaya dia menampung rahasia Allah,
padahal tidak sempurna penjagaannya terhadap syariat.” Dikutip
oleh al-Habib Abdullah al-Haddad dalam surat menyuratnya.

276
Catatan Akhir
331. HR. at-Turmudzi (2654), Ibn Hibbân (1: 133), dan selain mereka
berdua. Disampaikan oleh Ka‘ab bin Malik ra.
332. HR. Abu Daud (3664) dan selain beliau. Disampaikan oleh Abu
Hurairah ra.
333. HR. Muslim (1905) dan selain beliau. Disampaikan oleh Abu Hurairah
ra.
334. HR. at-Turmudzi (2382) dan selain beliau. Disampaikan oleh Abu
Hurairah ra.
335. HR. ath-Thabrani dalam al-Ausath (6: 221), al-Bazzâr (1: 405)
Disampaikan oleh Umar ra., begitu juga perawi al-Bazzâr yang tepercaya
seperti disebutkan dalam kitab al-Majma’ (1: 186).
336. Seorang wali yang saleh Ali al-Khawâsh adalah guru al-Imam
asy-Sya’râniy dan beliau—yaitu asy-Sya’râniy—adalah orang yang
mempopulerkan dan mengangkat sebutannya dalam karya tulis dan
kitab-kitab karangannya. Bahkan beliau menulis khusus fatwa-fatwanya
dalam satu kitab yang diberinya judul Durar al-Ghawâsh ‘Ala Fatâwâ
Sayyidiy ‘Ali al-Khawâsh (telah dicetak). Syaikh Ali adalah seseorang yang
memiliki kekokohan dalam kewalian dan makrifat. Beliau tak dapat
membaca dan menulis. Beliau adalah murid seorang wali yang masyhur
asy-Syaikh Ibrahim bin al-Matbûliy al-Mishriy (wafat pada tahun 877
H). Semoga Allah merahmati mereka semua dan memberikan manfaat
serta keberkahan kepada kita melalui mereka.
337. HR. al-Bukhari (3062), dan Muslim (111), disampaikan oleh Abu
Hurairah ra.
338. Sebagian dari hadits yang disampaikan oleh Abu ad-Dardâ` ra., yang
diriwayatkan oleh Abu Daud (3641) dan at-Turmudzi (6282) serta
selain keduanya.
339. Al-Hâfizh as-Sakhâwiy dalam kitab al-Maqâsid al-Hasanah pada
halaman 340, beliau berkata, “Guru besar kami—Ibn Hajar—dan yang
sebelum beliau yaitu, ad-Damîriy dan az-Zarkasyiy berkata, ‘(Hadits
ini) tidak memiliki sumber.’”
340. HR. ath-Thabrani dalam al-Ausath (7: 171 no 7187).
341. HR. Ibn Abdulbar dan Abu Nu‘aim. Disampaikan oleh Ibn Abbas ra.,
dengan sanad yang lemah, seperti yang disebutkan oleh al-‘Irâqiy dalam
Takhrîj al-Ihyâ (1: 6).
342. HR. al-Bukhari (7084), dan Muslim (1847), serta selain keduanya.

277
343. HR. Ahmad dalam musnad beliau (1: 22, 44). Disampaikan oleh Umar
ra. Juga diriwayatkan oleh Ibn Hibbân dalam kitab shahihnya (80).
Disampaikan oleh ‘Imrân bin Hashîn ra.
344. HR. al-Bazzâr dalam musnad beliau (7: 80) seperti itu. Disampaikan
oleh Mu‘âdz bin Jabal ra.
345. Periwayatan hadits ini telah disebutkan dalam kitab ini.
346. HR. Ahmad dalam musnad beliau (5: 145). Disampaikan oleh Abu
Dzar ra., dengan lafaz, “Termasuk para imam yang menyesatkan.”
347. Seorang yang memiliki sifat zuhud dan takut kepada Allah, penasihat
penduduk Bashrah, Abu Bisyr Shâlih bin Basyîr al-Qâsh (wafat pada
tahun 172 H). Ketika mendengar tentang beliau, Sufyan ats-Tsauriy
berkata, “Begitu hebatnya Qâsh ini, inilah pemberi peringatan.”
Sedangkan Ibn al-A’râbiy berkata tentangnya, “Banyak berzikir dan
membaca Al-Qur’an dengan hati yang terenyuh adalah keadaan yang
paling sering terlihat pada kesalehan.” Dikatakan bahwa sekelompok
orang mati seketika mendengar bacaan Al-Qur’an beliau.
348. Seorang imam, ahli ibadah, dan pemberi nasihat Abu Zakariya Yahya
bin Mu‘âdz ar-Râziy (wafat pada tahun 285 H). Dikatakan dalam
kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah pada halaman 70: Beliau adalah
satu-satunya penenun ilmu di masanya. Dan memiliki untaian kata-
kata khususnya dalam masalah rajâ` (harapan), begitu juga dalam
masalah makrifat. Telah dikutip dari ucapan beliau, “Kesempatan yang
terlewatkan lebih besar daripada kematian. Karena kesempatan yang
terlewatkan memutus dari kebenaran, sedangkan kematian memutus
dari makhluk.” Begitu juga ucapan beliau, “Barangsiapa mengkhianati
Allah dalam kesendirian, maka Allah akan membongkar rahasianya di
depan khalayak.”
349. Periwayatan hadits ini baru saja disebutkan dalam kitab ini.
350. Jika yang dimaksud adalah Muqâtil bin Sulaiman (al-Balkhiy) seorang
ahli tafsir, maka biografi tentang beliau telah disebutkan.

278
Bab 8
Dakwah di Jalan
Allah Adalah
Tugas Ulama yang
Mendapat Petunjuk
“Berdakwah mengajak kepada
Allah seperti sebutir biji yang diletakkan
di tanah. Engkau tidak akan menyadari,
tiba-tiba dia telah berbuah dan
menjadi kebun.”
1
Keutamaan Berdakwah
di Jalan Allah

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang menjadikan dakwah
dan hidayah ke jalan-Nya serta petunjuk kepada amal taat-Nya
sebagai jalan para nabi, khulafa ar-râsyidin, tiang orang-orang yang
bertakwa, dan pekerjaan orang-orang yang beriman.
Shalawat dan salam atas Rasulullah yang terpercaya, junjungan
kami Muhammad, yang mendapat wahyu firman-Nya,

“Katakanlah, Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang


yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan
hujjah yang nyata, Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Semoga Allah melimpahkan shalawat kepada beliau, keluarganya


yang baik lagi suci, dan para sahabatnya yang memberikan petunjuk
dan mendapatkannya serta penyeru ke jalan Tuhan alam semesta.
Wa ba’du, Allah Swt. telah berfirman,

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan


pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
(QS. an-Nahl: 125)
Allah Swt. memerintahkan Nabi-Nya Saw. dalam ayat ini
agar mengajak hamba-Nya pertama dengan hikmah. Lalu jika
dengan hikmah tidak tercapai, maka dengan nasihat yang baik.
Kemudian jika dengan nasihat yang baik juga tidak tercapai,
maka dengan bantahan yang baik. Tiga hal ini adalah tingkatan
dalam berdakwah kepada jalan Allah, dan sesudah tiga hal ini
tidak ada tingkatan lagi.
Beliau Saw. bersabda, “Barangsiapa mengajak kepada
petunjuk, maka dia mendapat pahala seperti pahala mereka
yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka (yang
mengikutinya) sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak kepada
kesesatan, maka dia mendapat dosa seperti dosa mereka
yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka (yang
mengikutinya) sedikit pun.”351 
Beliau Saw. bersabda, “Yang terbaik dari umatku adalah
yang menyeru kepada Allah, dan menjadikan hamba-Nya cinta
kepada-Nya.”352 
Beliau Saw. bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat untuk manusia.”353 
Beliau Saw. bBersabda, “Manusia yang paling dicintai Allah
Swt. adalah yang paling bermanfaat untuk manusia.”354 
Beliau Saw. bersabda, “Manusia semuanya tanggungan Allah
(rezekinya), dan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang
paling bermanfaat untuk tanggungan-Nya.”355 
Di dalam sebuah riwayat disebutkan, “Hamba yang paling
dicintai Allah yang menjadikan Allah kecintaan hamba-Nya, dan
berjalan di atas bumi memberikan nasihat.”356 
Junjungan kami Quthb al-Irsyâd al-Habib Abdullah bin Alwi
al-Haddad ra. berkata, “Tidak ada seorang pun yang dapat memberi
manfaat kepada makhluk Allah sebagaimana berdakwah mengajak
menuju pintu Allah Swt. Dengan cara mengajar hal-hal wajib, seperti
tauhid dan ketaatan, mengingatkan tentang tanda-tanda kebesaran
dan nikmat-Nya, dan memberi kabar gembira tentang rahmat-Nya

284
dan peringatan akan murka-Nya yang mengenai orang yang berpaling
dari-Nya, seperti orang-orang kafir dan fasik.”
Sebagian ulama berkata, “Kedudukan yang paling besar
adalah memberi manfaat kepada manusia bagi agama dan dunia
mereka. Sedangkan manfaat untuk agama yang terpenting dan
terutama dibanding manfaat untuk dunia. Sedangkan keduanya
dibutuhkan dan diinginkan sekali.”
Rasulullah Saw. bersabda kepada Mu‘âdz bin Jabal ra. ketika
beliau mengutusnya ke Yaman, “Wahai Mu‘âdz, jika Allah memberi
hidayah kepada seseorang dari golongan ahli syirik melalui tanganmu,
maka hal itu lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta yang
berwarna merah (sesuatu yang berharga sekali).”357 
Beliau Saw. juga berkata kepada Ali krw., “Jika Allah
memberi hidayah kepada satu orang melaluimu, maka hal itu
lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta yang berwarna
merah.”358 
Junjungan kami al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, semoga
Allah memberi manfaat melaluinya, berkata, “Perbanyaklah
berdakwah mengajak kepada Allah. Jika seseorang tidak mau
mendengar ajakanmu, maka yang lain akan mendengarkannya.
Jika tidak didengar pada suatu waktu, maka akan didengar di
waktu yang lain. Atau seseorang yang masih di sulbi ayahnya akan
mendengar dan akan mendapatkan manfaat dengannya di waktu
mendatang. Berdakwah mengajak kepada Allah seperti sebutir
biji yang diletakkan di tanah. Engkau tidak akan menyadari,
tiba-tiba dia telah berbuah dan menjadi kebun.”
Beliau ra. juga berkata, “Permisalan orang yang berdakwah
mengajak kepada Allah dan ilmu, seperti seseorang yang memiliki
barang dagangan. Hendaknya tidak ditinggalkan di rumahnya,
karena tidak ada seorang pun yang akan datang menanyakannya.
Tetapi seharusnya dia menawarkannya di pasar agar dapat laku.
Jika tidak laku hendaknya dia menurunkan harganya.”

285
Beliau ra. berkata, “Aku tak melihat perangkap bagi ilmu
ladunni, seperti menyebarkan dakwah yang menyeluruh. Hal itu
mujarab untuk memburu ilmu ladunni. Al-Habib Ahmad bin
Umar bin Sumaith bukanlah orang yang banyak ilmu dan amal,
akan tetapi beliau menghabiskan keseluruhan waktunya dalam
menyebarkan dakwah. Maka beliau mencapai kedudukan yang
tinggi, dan di masanya beliau menjadi orang yang paling dicintai
oleh Nabi Saw.
Saya (penulis) berkata bahwa Al-Habib Ahmad bin Umar
yang disebut di atas, mencapai kedudukan yang agung disebabkan
berdakwah di jalan Allah. Beliau menjadikan penduduk kota
Syibam dan orang-orang yang berada di jalan-jalan memahami
fiqih. Dan mewajibkan mereka membaca Fathurrahman serta
menghafalnya meskipun di jalan-jalan, di saat ada jenazah, atau
kejadian lainnya. Di masa itu wanita di kota Syibam tidak ada yang
keluar dari rumah kecuali tertutup seluruh tubuh hingga kakinya.
Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas ra. berkata, “Diberitakan
kepada kami bahwa asy-Syaikh Abdullah bin Abdulbâqiy asy-
Syu‘ab al-Madaniy359  termasuk orang yang bertemu dengan
Nabi Saw. dalam keadaan terjaga. Beliau pernah bertanya kepada
setiap pendatang dari Hadramaut, ‘Ceritakan kepadaku tentang
as-Sayyid Ahmad bin Umar bin Sumaith, apakah amal perbuatan
dan kedudukannya? Sesungguhnya tidaklah aku bertemu dengan
Nabi Saw. kecuali selalu kudengar beliau sering memujinya
dengan pujian yang agung.’ Maka disampaikan kepadanya,
‘Kebiasaan beliau dan keadaannya, selalu berdakwah mengajak
kepada Allah dan memerintahkan untuk itu.’ Maka dia berkata,
‘Karena itulah Nabi Saw. mencintai dan memujinya.’” Dikutip
dari kumpulan ucapannya.
Junjungan kami al-Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi,
semoga Allah memberi manfaat melaluinya, berkata, “Sesungguhnya
berdakwah mengajak kepada Allah merupakan pondasi terkuat
untuk berhubungan dengan yang tercinta Saw. Disebutkan

286
bahwa al-Habib Muhammad bin Ja’far al-Attas360  bertemu
dengan Nabi Saw. dalam keadaan terjaga. Maka beliau meminta
kepadanya (nabi) pembukaan spiritual yang terbesar. Beliau Saw.
menjawab, ‘Pembukaan spiritual terbesar ada pada Ahmad bin
Umar bin Sumaith. Maka al-Habib Muhammad berangkat ke
kota Syibâm mendatangi al-Habib Ahmad bin Umar, dan berkata,
‘Nabi memindahkan permintaanku padanya, kepadamu.’ Beliau
menjawab, ‘Pemindahan itu kuterima dengan syarat engkau harus
membuka lisanmu berdakwah mengajak kepada Allah.’ Syarat itu
diterima dan beliau kembali dari tempat itu berdakwah. Lalu Allah
membukakan baginya pembukaan spiritual yang besar.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mengutus
kepada umat ini, setiap seratus tahun, orang yang memperbaharui
bagi mereka (pemahaman) agama mereka.”361 
Para ulama berkata, “Dengan syarat orang yang diutus,
setiap seratus tahun ini, adalah seorang yang masyhur, diketahui,
semua menunjuk kepadanya, serta setelah lewat seratus tahun
dia masih dalam keadaan masyhur. Seseorang tidak disebut
sebagai pembaharu kecuali menguasai semua ilmu agama secara
lahiriah dan batiniah, menguasai semua bidang, manfaat dirinya
meliputi seluruh penduduk di zamannya, dan beberapa pendapat
menyatakan bahwa dia haruslah termasuk Ahlul Bait al-Musthafa
Saw. Semua itu telah disebutkan dalam hadits.” Disebutkan oleh
al-Habib Ali bin Hasan al-Attas dalam kitab yang al-Qirthâsh

Manfaat
Al-Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa
sesungguhnya yang di utus pada seratus tahun
pertama adalah Khalifah Umar bin Abdulaziz. Seratus
tahun kedua adalah al-Imam Muhammad bin Idris
asy-Syafi‘i. Seratus tahun ketiga adalah Abu al-Hasan
al-‘Asy‘ariy362 . Sedangkan seratus tahun keempat
terjadi perbedaan pendapat.

287
Namun demikian tidak ada perbedaan pendapat bahwa al-
Imam al-Ghazali termasuk pembaharu yang muncul pada seratus
tahun yang kelima. Hal ini disebutkan al-Habib Ahmad bin Zain
al-Habsyi dalam kitab Syarh al-‘Ainiyyah. Lalu beliau berkata,
“Tanpa diragukan lagi dan tidak ada kesamaran bahwa guru kami
Abdullah bin Alwi al-Haddad ra. termasuk pembaharu agama
dan penghidup iman dalam hati orang-orang Islam dengan izin
Tuhan semesta alam.”
Nabi Saw. bersabda, “Sekolompok umatku selalu tampak
terus berperang dalam kebenaran hingga hari Kiamat. Dan
turunlah Isa bin Maryam, lalu pemimpin mereka berkata,
‘Kemarilah, jadilah imam untuk shalat kami.’ Maka dia berkata,
‘Tidak, sesungguhnya sebagian dari kalian atas sebagian yang lain
adalah para pemimpin, sebagai bukti kemulian dari Allah untuk
umat ini.’”363 
Al-Imam an-Nawawi dalam kitab Syarh Muslim
mengomentari hadits di atas, “Mengenai sekelompok orang ini
al-Bukhari berkata, ‘Mereka adalah orang-orang yang berilmu
(ulama).’ Ahmad bin Hanbal berkata, ‘Jika mereka bukan
para ahli hadits, aku tidak mengetahui lagi siapakah mereka.’
Al-Qâdhi ‘Iyâdh berkata, ‘Sesungguhnya yang dimaksud oleh
Ahmad adalah ahl as-sunnah wa al-jama‘ah, dan yang memiliki
keyakinan seperti mazhab para ahli hadits.’”
Lalu al-Imam an-Nawawi berkata, “Kemungkinan kelompok
orang ini adalah terpisah-pisah dalam bermacam-macam
orang yang beriman. Di antara mereka ada yang pemberani
dan berperang, ada yang ahli fiqih dan ahli hadits, ada yang
merupakan orang yang berzuhud, ada yang memerintahkan
kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta macam-
macam kebaikan yang lainnya.” Beliau berkata, “Tidak harus
mereka itu berkumpul, bahkan boleh jadi mereka terpisah-
pisah pada beberapa tempat di muka bumi ini.” Lalu al-Imam
an-Nawawi berkata, “Dan dalam hadits ini, yakni sabda beliau

288
Saw., ‘Sekolompok umatku selalu tampak terus berperang
dalam kebenaran’, adalah termasuk mukjizat yang nyata—yaitu
bagi Nabi Saw.—pada umatnya hingga saat ini. Mereka tidak
akan punah hingga datang ketetapan Allah, yaitu hari Kiamat.”
Beliau berkata, “Dalam hal ini terdapat dalil bahwa berkelompok
(bersatu) merupakan hujjah (bukti atau dalil). Wallahu a’lam.”
Sedangkan pada riwayat yang lain beliau Saw. bersabda,
“Selalu muncul bagi siapa yang memerangi mereka.”364 

Catatan Akhir
351. HR. Muslim dalam kitab shahihnya (2674), disampaikan oleh Abu
Hurairah ra..
352. HR. Ibn an-Najjâr dalam kitab tarikhnya, disampaikan oleh Abu
Hurairah ra., seperti dalam kitab Faidh al-Qadîr (3 : 463). HR. Abu
Nu‘aim dalam kitab al-Hulyah (7: 143) dengan lafaz: ‘sebaik-baik dari
yang mereka yang memilki keteguhan’
353. HR. ath-Thabrani dalam kitab al-Ausath (6: 58). Disampaikan oleh
Jâbir bin Abdullah ra..
354. HR. ath-Thabrani dalam kitab al-Kabir (12: 463 no 13646) dan
selainnya. Disampaikan oleh Ibn Umar ra.. Namun di dalamnya
terdapat perawi yang lemah seperti yang dikatakan oleh al-Haitsami
dalam kitab al-Majma’ (8: 191).
355. HR. ath-Thabrani dalam kitab al-Kabir (10: 86 no 10033). Disampaikan
oleh Ibn Mas‘ud ra.. Sanad hadits ini matruk (hadits yang menyendiri
dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta

289
dalam perhaditsan.) seperti yang dikatakan oleh al-Haitsami dalam al-
Majma’ (8: 191). Tetapi ada beberapa hadits lain yang menguatkannya.
356. Disebutkan oleh al-Hâfizh Ibn Rajab dalam kitab Jâmi’ al-‘Ulûm wa
al-Hikam (1: 224) Sanadnya berhenti pada beberapa sahabat Nabi
Saw.. Diriwayatkan yang sejenis dengan itu oleh al-Baihaqi dalam
kitab asy-Syu‘ab (1: 363), disampaikan oleh Anas secara marfu’ dan
digolongkannya sebagai hadits dhaîf (lemah). Yang benar, sesungguhnya
itu merupakan ucapan Abu Dardâ` dan al-Hasan al-Bashri, seperti yang
diriwayatkan dari mereka berdua oleh al-Imâm Ahmad dalam kitab az-
Zuhud dan lainnnya.
357. HR. Ahmad dalam musnadnya (5: 238). Disampaikan oleh Mu‘âdz bin
Jabal ra.. Dan para perawinya terpercaya seperti yang disebutkan oleh
al-Hâfizh al-Haitsami dalam al-Majma’ (5: 334).
358. HR. al-Bukhari (3009) dan Muslim (2406), disampaikan oleh Sahl bin
Sa‘ad ra..
359. Seorang syaikh yang saleh Abdullah bin Abdulbaqiy asy-Syu‘ab al-
Madaniy. Beliau termasuk seorang yang saleh dan baik. Memiliki
beberapa karya dalam ilmu fiqih dan warisan serta lain-lainnya. Beliau
menimba ilmu dari asy-Syaikh as-Sayyid Muhammad al-Maghrabiy
(Syaikh ad-Dalail) yang terdapat di kota Madinah. Beberapa ulama
alawiyyin bertemu dengan beliau, di antaranya; al-Habib Muhammad
bin Husain al-Habsyi (wafat tahun 1282 H) mufti mazhab Syaifi‘i. di
Mekah, al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi yang bertemu dengannya
di Madinah al-Munawwarah sekitar sebulan sebelum wafatnya. Dia
singgah di rumah beliau di Madinah dan dijamu selama 24 hari,
kemudian menimba ilmu darinya secara sempurna. Beliau wafat di
kota Jeddah pada tanggal 12 Dzulhijjah 1276 H, setelah menunaikan
ibadah haji. Beliau berwasiat agar saat dimandikan dan dishalatkan
dihadiri oleh al-Habib Idrus bin Umar. Dan wasiat itu dilaksanakan.
Dikutip dari kitab al-‘Iqdu al-Yawâqît (2: 52-53)
360. Al-Habib, al-Waliy, seorang yang saleh Muhammad bin Ja’far bin Ali
al-Husain bin Umar bin Abdurrahman al-Attas. Di zamannya setiap
jari menunjuk kepadanya. Beliau seorang penyeru kepada Allah, dan
berkeliling ke desa dan lembah. Beliau lahir di Baftah dan wafat di
Ghail Bâwazîr, tahun 1207 H.
361. HR. Abu Daud (4291), al-Hakim (4: 522) dan digolongkannya sebagai
hadits shahih. Disampaikan oleh Abu Hurairah ra..

290
362. Beliau adalah al-Imam al-Kabîr, penolong sunnah, seorang imam
yang ahli dalam berbicara, Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-‘Asy‘ari
(260-324 H). Beliau adalah imam ahl as-sunnah wa al-jama‘ah dan
panutannya dalam pemurnian aqidah serta penumpas mu’tazilah dan
golongan yang menyimpang lainnya. Kepadanya dan kepada Abu
Manshur al-Maturidiy nisbat aqidah ahl as-sunnah wa al-jama‘ah dan
pemurniannya. Semoga Allah meridhai mereka.
363. HR. Muslim dalam kitab shahihnya (156), disampaikan Jabir bin
Abdullah ra..
364. Syarh Shahih Muslim karya al-Imam an-Nawawi (13: 67)

291
2
Adab-adab yang Diharuskan
Bagi Para Penyeru ke Jalan Allah

Ikhlas
Di antara adab-adabnya adalah ikhlas dan niat yang baik. Junjungan
kami al-‘Arifbillah wa ad-Dal ‘alaih Abdullah bin Muhsin al-Attas,
semoga Allah memberi manfaat melaluinya, berkata, “Penyeru kepada
Allah kepada jalan petunjuk tidak akan diterima peringatannya dan
tidak akan didengarkan dengan hati yang khusyu kecuali jika dia
mendapat izin. Sedangkan izin itu memiliki tiga tanda, jika terdapat
dalam dirinya maka dia termasuk yang mendapat izin.
Pertama; niat yang baik, ‘Sesungguhnya Allah tidak memandang
bentuk kalian, tetapi Dia memandang hati dan niat kalian.’365 
Kedua; sifat takut,

‘Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-


hamba-Nya, hanyalah ulama.’
(QS. Fâthir: 28)

Ketiga, ikhlas,

‘Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari


penyekutuan).’”
(QS. az-Zumar: 3)
Dikutip dari ucapan beliau yang dikumpulkan oleh asy-Syaikh
Abdurrahman Bârajâ rhm.
Disebutkan dalam kitab al-Hikam karya junjungan kami al-
Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad ra., semoga Allah memberi
manfaat kepada kita melaluinya, “Ucapan orang-orang yang
ikhlas dan jujur adalah cahaya dan berkah, walaupun dia bukanlah
orang yang fasih (pandai bicara). Sedangkan ucapan mereka
yang memaksakan diri dan tukang pamer adalah kegelapan dan
kerisauan, walaupun dia orang yang fasih.”
Beliau ra. berkata, “Dikatakan bahwa setiap ucapan yang keluar
ditutupi oleh pakaian hati yang merupakan tempat keluarnya. Jika
hatinya bersinar, maka ucapan yang keluar darinya bersinar walaupun
ucapannya gelap (ucapan mubah). Jika hatinya gelap, maka ucapan
yang keluar darinya juga gelap walaupun ucapannya bersinar.”
Disebutkan bahwa asy-Syaikh Abdulqadir al-Jailani ra. jika
berbicara di hadapan manusia, terdengar dari mereka jerit dan
tangis, serta banyak manusia yang bertobat atas perbuatan maksiat
yang sering mereka lakukan. Lisan beliau agak berat dalam berbicara
karena beliau bukan orang arab.366  Sebagian anak beliau—yaitu
Abdur-razzâq367 —pergi dan menuntut ilmu, bahasa, nahwu,
serta yang lainnya, hingga menguasai ilmu alat. Setelah datang, dia
meminta izin kepada ayahnya untuk berbicara di hadapan manusia,
maka ayahnya mengizinkannya. Ketika keluar di hadapan mereka,
dia berbicara dengan kefasihannya dan menjaga i’rab (bagian dari tata
bahasa Arab-pent) dalam kalimatnya. Maka di antara yang hadir ada
yang berteriak memanggil asy-Syaikh ayah beilau.”

Peringatan
Asy-Syaikh al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi
ra. berkata, “Diharuskan bagi seseorang yang
ingin memberi peringatan kepada manusia dari
interaksi orang-orang muslim—sedangkan dia
seorang yang zalim, penipu, atau hal-hal lain yang

293
menjadikan dia harus dinasihati—agar tidak memiliki maksud
merendahkan dan menyepelekannya. Begitulah dianjurkan
agar dia melakukan hal-hal yang seperti itu; bertujuan
hanya kepada Allah Swt. dan menasihati orang-orang Islam.
Bukti kesungguhannya dalam hal ini adalah jika dia tidak
membedakan peringatan kepada manusia hingga orang yang
paling dicintainya, seperti anaknya.” Dari kitab Qurrah al-‘Ain.

Termasuk dari adab adalah seorang penyeru ke jalan Allah


haruslah orang yang berilmu, memiliki sifat wara’ dan berperangai
baik.
Harus berilmu, disebabkan dakwah adalah kedudukan para
nabi, shalawat Allah atas mereka semua, dan para ulama adalah
pewaris para nabi.
Sedangkan harus bersifat wara’, disebabkan dia harus
mengerjakan apa yang dia perintahkan dan menjauhi apa yang dia
larang. Semua itu akan menjadi bukti terbesar, dan menjadikan
ucapannya mencapai hati, serta menjadikan obyek dakwahnya
mengikuti perintahnya.
Dan harus berperangai baik, disebabkan agar penyeru
itu menggunakan cara yang halus dan lembut, dan menjauhi
cara yang keras dan kasar pada umumnya. Allah Swt. telah
memerintahkan pemimpin para Rasul Saw. seperti itu dan
bersifat denganya. Allah berfirman,

“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah


mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka.”
(QS. Ali Imran: 159)

Maka beliau Saw. melemah-lembutkan ucapan kepada


orang-orang arab badui yang kasar dan berlaku halus kepada
mereka.

294
Diriwayatkan oleh Abu Umamah ra. bahwa seorang pemuda
mendatangi nabi Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan
aku berzina.” Maka menjeritlah para sahabat. Dan Rasulullah Saw.
bersabda kepada mereka, “Menyingkirlah darinya (pemuda).” Lalu
beliau bersabda kepada pemuda itu, “Mendekatlah kepadaku.”
Maka mendekatlah pemuda itu hingga duduk di hadapan beliau.
Kemudian Rasulullah bersabda kepadanya, “Apakah kau mau jika
ibumu dizinai?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, semoga Allah
menjadikanku tebusan bagimu.” Lalu beliau bersabda, “Begitu pula
orang lain, tidak menginginkan ibu mereka dizinai.” Kemudian
Rasulullah bersabda kepadanya, “Apakah kau mau jika anak
wanitamu dizinai?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, semoga Allah
menjadikanku tebusan bagimu.” Lalu beliau bersabda, “Begitu
pula orang lain, tidak menginginkan anak wanita mereka dizinai.”
Kemudian Rasulullah bersabda kepadanya, “Apakah kau mau
jika saudara wanitamu dizinai?” … Hingga beliau Saw. menyebut
bibi dari pihak ayah dan ibunya, dan beliau menjawab dengan
sabdanya, “Begitu pula orang lain, tidak menginginkannya.”
Kemudian beliau Saw. meletakkan tangannya di atas dada pemuda
itu sambil berdoa, “Wahai Allah, sucikanlah hatinya, ampunilah
dosanya, dan bentengilah kemaluannya.” Maka sejak saat itu tidak
ada sesuatu yang paling dibenci oleh pemuda itu melebihi zina.

Lemah lembut dan santun


Termasuk adab mereka adalah lemah lembut dan santun, karena
semua itu lebih mudah mendapat sambutan, mencegah sebab-
sebab fitnah, serta menutup pintu pertikaian dan perpecahan.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya lembah
lembut tidak berada dalam sesuatu kecuali menghiasnya, dan
tidak tercabut dari sesuatu kecuali memperburuknya.”368 
Diriwayatkan pula, “Sesungguhnya Allah Maha Lemah
Lembut dan menyukai kelemahlembutan.”369  Dan pada lemah
lembut semuanya adalah kebaikan.

295
Junjungan kami al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, semoga
Allah memberi manfaat melaluinya, berkata, “Ada dua sifat yang
dibutuhkan oleh seorang penyeru kepada Allah dan seorang qadi;
lemah lembut dan siasat. Menganjurkan sesuatu jika dengan dua
sifat ini tidak akan membebani. Allah Swt. berfirman kepada
Nabi Musa as.,

‘Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-


kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau
takut.’”
(QS. Thahâ: 44)

Junjungan kami al-Imam Ahmad bin Idris al-Maghribiy ra.


berkata, “Jika engkau ingin memberi petunjuk, memerintah,
mencegah seseorang, hendaknya mulailah dari dirimu sendiri lalu
keluargamu. Sesungguhnya Umar ra. jika ingin memerintahkan
atau mencegah sesuatu, dia tidak melakukannya hingga memulai
dari keluarganya terlebih dahulu.
Kemudian lemah lembutlah terhadap obyek nasihatmu, dan
janganlah kau menjadikannya lari dengan mencelanya dengan
keras. Sesungguhnya sebagian ulama menemui ar-Rasyid lalu
berkata, ‘Sesungguhnya aku datang untuk memberi nasihat
kepadamu, maka bersabarlah untukku, karena aku akan berbicara
kasar kepadamu.’ Maka ar-Rasyid berkata, ‘Jangan kau lakukan
itu, sesungguhnya Allah telah mengutus seseorang yang lebih
baik darimu kepada orang yang lebih buruk dariku, dan Dia
berfirman, Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau
takut.’ Maka dalam hal ini ar-Rasyid lebih mengetahui daripada
mereka.
Jika engkau berlemah lembut dalam ajakanmu, maka
engkau mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah, serta bukan
merupakan tanggung jawabmu jika tidak bermanfaat perintah

296
atau laranganmu. Sesungguhnya nasihat itu seperti angin,
menyatukan dua hal yang berlawanan, memadamkan dan
menyalakan. Allah berfirman,
’Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka
(orang-orang munafik) ada yang berkata, ‘Siapakah di
antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya)
surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat
ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.
Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada
penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran
mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan
mereka mati dalam keadaan kafir.’”
(QS. at-Taubah: 124-125)

Di antara ucapan junjungan kami al-Imam Idrus bin Umar


al-Habsyi ra., “Tidak dibenarkan bagi seorang yang mengajarkan
kebaikan kepada manusia bersikap kasar dalam memerintahkan
kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan dalam seruannya
tidak dibolehkan menuju kepada satu orang saja tanpa yang lain.
Tetapi hendaknya ajakan dan pencegahannya itu ditujukan untuk
semuanya secara merata bahkan memasukkan dirinya dalam seruan
itu, seperti yang diperbuat oleh keluarga Yâsîn dalam firman-Nya,

‘Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah


menciptakanku...’
(QS. Yasin: 22).

Padahal dia menyembah Tuhan yang telah menciptakan dirinya.


Dia melakukan hal itu karena ingin berlemah lembut dengan
obyek seruannya dengan penjelasan, menurunkan tingkatan
dirinya bersama mereka, hingga mereka mematuhi dan menerima
nasihatnya. Jika dia berkata kepada mereka, ‘Mengapa kalian
tidak melakukan perbuatan ini dan tidak meninggalkan ini’,

297
maka boleh jadi nafsu mereka akan lari dan berpaling. Dikatakan
bahwa sebagian orang yang memberi peringatan—yang tidak
memahami cara memberi peringatan—naik ke mimbar untuk
mengingatkan manusia, dan manusia diam semuanya. Lalu
tiba-tiba dia berkata, ‘Dengarkanlah wahai sapi!’ Maka mereka
berkata, ‘Bicaralah kau wahai kerbau.’”
Beliau berkata, semoga Allah memberi manfaat melaluinya,
“Sesungguhnya bukan termasuk kebiasaan Ahlul Bait nabi
menjadikan pembicaraan mereka semata-mata tentang ancaman,
dan sudah menjadi suatu keharusan pembicaraan mereka
berkenaan dengan cinta dan kabar gembira. Pernah dikatakan
bahwa sesungguhnya diantara yang paling bermanfaat pada zaman
kita ini adalah mempelajari perjalanan hidup salaf dan mengingat
kenikmatan. Karena sesungguhnya mengingat kenikmatan Allah
dan pemberiannya membawa mereka kepada mensukuri-Nya.
Dan mengingat perjalanan hidup salaf membawa mereka pada
mengikuti dan menyontoh mereka (para salaf ).”
Junjungan kami Quthb al-Irsyâd al-Habîb Abdullah bin
Alwi al-Haddad ra. berkata, “Berlemah lembutlah pada manusia
di zaman ini sesuai dengan kemampuanmu, dan janganlah kau
keras terhadap mereka. Sesungguhnya tali mereka tidak ada
yang mengendalikan. Jika kau biasa mengajarkan sesuatu kepada
salah seorang di antara mereka sehari, maka jadikanlah untuk
mereka dalam tiga hari, karena sesungguhnya hati mereka itu
mudah berbalik. Terlebih lagi anak-anak kecil, tidak ada yang
harus kalian lakukan terhadap mereka kecuali mengajak, lemah
lembut, dan halus.
Permisalan untuk manusia di zaman ini seperti unta yang
terlepas liar, janganlah kau memukulnya, maka akan bertambah
melarikan diri.”
Junjungan kami al-Imam Abdullah bin Husain bin Thâhir,
semoga Allah memberi manfaat melaluinya, berkata, “Dianjurkan
bagi mereka yang hendak memerintahkan kepada kebaikan dan

298
mencegah kemungkaran, agar berlaku lemah lembut dan sayang
terhadap semua makhluk. Mengajak mereka secara bertahap. Jika
melihat mereka meninggalkan suatu kewajiban, maka hendaknya
memerintahkan kepada mereka yang terpenting terlebih dahulu
lalu berikutnya secara bertahap. Jika mereka menjalankan apa
yang diperintahkan barulah berpindah kepada selain mereka.
Memerintahkan dan memberikan peringatan kepada mereka
dengan lembut dan sayang, serta tidak memandang pujian,
cacian, hadiah, dan tidak adanya hadiah dari mereka. Karena
memandang hal itu akan menyebabkannya bungkam dari
mengajak kebaikan dan menjauhkan dari kemungkaran. Begitu
juga ketika mereka melakukan banyak dosa besar, hendaknya
tidak berusaha memberhentikan semua perbuatannya seketika,
tetapi menasihati mereka pada sebagian perbuatan dosanya
hingga berhenti, lalu menasihati sebagian perbuatan dosa yang
lain hingga berhenti dari semuanya, lalu baru menasihati yang
lainnya.” Dikutip dari kumpulan ucapan beliau.

Mengajak dengan menimbulkan keinginan


dan kerinduan
Junjungan kami al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas ra. berkata,
“Di zaman ini, lebih utama berdakwah mengajak kepada Allah
dengan menimbulkan kerinduan. Sedangkan rasa takut itu tidak
mungkin terjadi (bagi orang di zaman ini), kecuali mereka yang
di hatinya telah ada ketundukan dan rasa takut kepada Allah.
Allah Swt. berfirman,

“Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat


pelajaran.”
(QS. al-A’la: 10)

299
Sedangkan mengajak dengan menimbulkan rasa takut dan
ancaman adalah mazhab al-Mu’tazilah, bukan mazhab para
penyeru kepada Allah, kecuali pada beberapa tempat. Di dalam
Al-Qur’an tidak disebut hukuman kecuali diikuti dengan pahala
atau sebaliknya.”
Beliau, semoga Allah memberi manfaat melaluinya, juga
berkata, “Serulah ke jalan Allah dengan hikmah dan nasihat
yang baik. zaman ini adalah zaman memberi kabar gembira
bukan zaman menjadikan orang takut. Jika menasihati seseorang
katakanlah, ‘Jika kau menghadapkan dirimu kepada Allah, maka
Allah akan memberimu seperti ini, dan kau akan berada dalam
kebaikan seperti ini.’ Janganlah kau menakuti seseorang maka
dia akan berpaling. Tetapi tariklah dia dengan lembut dan hal-hal
yang menimbulkan keinginannya. Allah berfirman,

‘Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan dengan


menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang yang
beriman dari jalan Allah, dan menginginkan agar jalan
Allah itu menjadi bengkok..’
(QS. al-A’raf: 86)

‘Berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat.’


(QS. al-A’la: 9)

Maksudnya di masa mereka dapat menyambut peringatan. Dulu


Nabi Saw. memerhatikan keadaan para sahabatnya terlebih
dahulu ketika hendak memberi nasihat.
Jika engkau melihat di antara mereka ada yang berpaling
maka berhentilah (menyeru). Janganlah kejenuhan mereka itu
menjadikan pendustaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya
dan keberpalingan mereka dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt.
berfirman,

300
‘Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.’”
(QS. al-An‘am: 108)

Menyindir dalam nasihat tanpa menyatakan


Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi Saw. jika mendapat
kabar dari seseorang tentang sesuatu (perbuatan yang tidak baik),
beliau tidak pernah bersabda, “Mengapa si fulan”, tetapi beliau
bersabda, “Mengapa suatu kaum mengucapkan ini dan itu.”370 
Junjungan kami al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi, semoga
Allah memberi manfaat melaluinya, berkata, “Sindiran dalam nasihat
untuk orang yang memiliki pemahaman sangatlah bermanfaat, dan
tidak begitu dengan menyatakannya. Di dalam sindiran terdapat
manfaat yang besar, yaitu jiwa seseorang jika dihadapkan dengan
perkara yang dinyatakan, maka akan merasa berat dalam mendirikanya
dan menjadi malas mengerjakannya. Sedangkan sindiran dapat
menjadikan giat dan ringan. Hal ini merupakan hal yang paling tepat
untuk mendirikan ibadah dan memenuhi perintah.”
Murid beliau (al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi) yang
bernama al-Imam Muhammad bin Zain bin Sumaith ra. dalam
biografi syaikhnya berkata, “Sesungguhnya beliau dalam ajakan,
dan pengingkarannya atas sesuatu yang mungkar, lebih banyak
dengan sindiran, tanda, dan isyarat. Karena boleh jadi jiwa
seseorang itu mulia, jadi tidak dikritik kecuali dengan lemah
lembut. Boleh jadi dia hina karena di dalamnya telah dihuni oleh
penyakit sombong dan mencintai kedudukan, maka mungkin
dia menghadapi kritikan yang nyata dengan keengganan dan
penolakan nyata, seperti tabiat manusia di zaman ini pada
umumnya. Mereka pada umumnya tidak menerima kebenaran
dan menolaknya. Maka sebenarnya cara yang paling utama
dengan isyarat, sindiran, dan tanda.” Dari kitab Qurrah al-‘Uyûn.

301
Berdakwah dengan firman Allah dan sabda Rasulullah
Saw.
Junjungan kami al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, semoga
Allah memberi manfaat melaluinya, berkata, “Menyeru kepada
Allah adalah memperbaiki hubungan antara hamba dengan
Tuhannya. Jika hubungan antara mereka dengan Tuhan telah
baik, maka ingatkanlah mereka dengan hal-hal yang diwajibkan
oleh Allah. Janganlah kau memberatkan mereka, sebelum kau
menjadikan Tuhannya sebagai kecintaan mereka.”
Beliau ra. berkata, “Manusia pada saat ini ketika
meninggalkan berdakwah dengan Al-Qur’an, maka mereka tidak
menghasilkan apa-apa, tidak diterima nasihat dan seruannya.
Mereka berdakwah dengan perkataan dari diri mereka, mengajak
dengan ucapan mereka sendiri, dan perkataan yang disusun
sendiri serta berbelit-belit dalam penyampaiannya. Permisalan
bagi mereka adalah seperti orang yang menerjemahkan Al-
Qur’an ke selain bahasa arab, lalu datang dengannya dan
berkata, ‘Inilah Al-Qur’an yang sebenarnya, tidak ada yang
lain.’ Perhatikanlah manakah yang benar, engkau berdakwah
dengan firman yang Mahabenar, dan sabda Rasulullah Saw.
atau dengan perkataan yang lain?
Ambillah kaidah ini. Barangsiapa menyerumu kepada
Allah dengan firman Allah dan sabda Rasulullah Saw., maka
ajakannya tidak akan menjadikan tabiatmu berpaling darinya.”

Menyeru manusia dengan apa yang mereka pahami


Abdullah bin Mas‘ud ra. berkata, “Tidaklah engkau berbicara
dengan suatu kaum sedang akal mereka tidak mencapainya,
kecuali hal itu merupakan fitnah bagi sebagian dari mereka.”371 
Ali krw. Berkata, “Bicaralah kepada manusia dengan hal-
hal yang dimengerti mereka. Apakah kalian ingin seseorang
mendustakan Allah dan Rasul-Nya?”372 

302
Abu Hurairah bekata, “Aku menghafal dari Rasulullah Saw.
dua cawan ilmu. Salah satu dari cawan itu aku sebarkan, dan
yang lainnya jika aku sebarkan, niscaya tenggorokan ini akan
terpotong.”373 
Junjungan kami al-Imam Abdullah bin Husain bin Thâhir,
semoga Allah memberi manfaat melaluinya, berkata, “Tidak
dibolehkan bagi orang yang berilmu berceramah di hadapan
orang awam membahas sesuatu permasalahan hakikat yang tak
mereka pahami, karena hal itu membahayakan mereka. Seperti
sabda Saw., “Apakah kalian ingin seseorang mendustakan
Allah dan Rasul-Nya?”374  Sedangkan ucapan hakikat yang
diriwayatkan dari sebagian orang ‘ârif, hal itu terjadi karena
mereka dikuasai oleh keadaan spiritual mereka, atau mereka
menyangka orang-orang yang mendengar memahami
ucapan mereka. Jika tidak demikian maka siapapun tidak
diperbolehkan membicarakan hal itu di hadapan orang awam,
kecuali memberikan fatwa atau memahamkan kepada mereka
kepentingan agama yang dibutuhkan oleh mereka.”
Asy-Syaikh al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi, semoga
Allah memberi manfaat melaluinya, berkata, “Menyampaikan
ilmu secara global bagi orang awam lebih bermanfaat daripada
secara rinci, dan menyampaikannya bagian perbagian lebih
bermanfaat daripada keseluruhanya secara langsung. Dianjurkan
bagi seorang yang berilmu agar meringkas sesuai dengan batas
yang mereka pahami dan yang dapat diterima oleh akal mereka,
karena jika tidak demikian, maka ucapannya akan menimbulkan
fitnah. Seperti anak kecil ketika engkau mengajaknya berbicara.
Ketika mereka tak mampu memahaminya, maka engkau akan
menurunkan tingkat perkataanmu kepada batas pemahaman
dan keterbatasannya.
Boleh jadi ketika seorang yang berilmu berbicara mengenai
hakikat di hadapan orang-orang yang terbatas pemahamannya,
maka akal mereka tidak mampu menerimanya dan hal itu

303
berakibat buruk pada diri mereka. Dan dialah yang menjadi
sebab mereka mengingkari.”
Asy-Syaikh al-Quthb Abdullah bin Alwi al-Haddad ra.
berkata, “Dua hal yang tidak boleh disampaikan kepada
orang awam dan tidak boleh didengar oleh mereka,
permasalahan aqidah dan hukum yang rumit. Karena jika
engkau teliti mereka dalam kedua hal itu, maka engkau
tidak akan mendapati shalat mereka sah di dalam mazhab,
seperti kesalahan dalam membaca huruf “dhad” (dalam surat
al-Fatihah) dan lain-lainnya. Bahkan jika perbuatan mereka
masih dapat dipertimbangkan di dalam mazhab, maka
tinggalkanlah mereka dalam kondisi mereka itu (jangan
diperingatkan), sebab jika engkau memberatkan mereka,
maka tidak akan mendapatkan dari mereka yang dikehendaki.
Begitu juga dalam masalah aqidah, janganlah menyampaikan
masalah yang rumit sedikit pun kepada mereka. Bahkan
biarkanlah mereka mengucapkan, ‘Allah bersama kami,
Allah memandang kami, atau ucapan yang seperti itu’, maka
cukuplah bagi mereka hal itu.”
Beliau, semoga Allah memberi manfaat melaluinya,
berkata, “Tidaklah seseorang berbicara mengenai ketetapan
dan ketentuan (qadhâ‚ dan qadar) Allah atau mengenai
harapan kepada orang awam di zaman ini, kecuali dia adalah
orang yang dungu.” Dikutuip dar Tastbît al-Fuâd.
Al-Imam al-Ghazali ra. berkata, “Tidak diperbolehkan
berbicara panjang lebar tentang hakikat ilmu yang rumit
kepada orang awam. Tetapi hendaknya berbicara kepada
mereka cukup pada pelajaran ibadah, amanat dalam usaha
yang menjadi kebiasaan mereka, dan memenuhi hati mereka
dengan rasa harap dan takut terhadap surga dan neraka,
seperti yang disebut oleh Al-Qur’an.”
Beliau berkata, “Khususnya, janganlah membuka
pembahasan suatu masalah terhadap orang-orang awam,

304
karena hal itu dapat merusak pekerjaan mereka yang
dengannya menopang hidup makhluk dan mempermudah
kehidupan orang-orang khusus.”
Di dalam kitab al-Hikam al-Haddâdiyyah disebutkan,
“Diharuskan ucapan orang yang mengenal Allah terhadap orang
awam yang beriman, tidak keluar dari tiga hal:
l Pertama, mengingatkan nikmat.
l Kedua, terus menerus dalam berbuat taat.
l Ketiga, menjauhi perbuatan maksiat.
Setiap orang yang berilmu yang bebicara kepada orang awam
di luar tiga hal ini, maka dia adalah penebar fitnah.”
Junjungan kami al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi, semoga
Allah memberi manfaat melaluinya, berkata, “Tidak ada yang
lebih bermanfaat bagi manusia di zaman ini melebihi pembicaraan
mengenai tanda-tanda kebesaran Allah dan jalan hidup para
pendahulu yang saleh. Pembicaraan mengenai tanda-tanda
kebesaran Allah dan nikmat-Nya akan bermanfaat dan membawa
mereka bersyukur kepada Allah Swt.. Sedangkan berbicara
mengenai jalan hidup para pendahulu yang saleh, akan membawa
mereka untuk mengikuti dan meneladani mereka.”

Peringatan
Asy-Syaikh al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi
semoga Allah memberi manfaat melaluinya,
berkata, “Seorang yang berilmu jika berbicara
tentang sesuatu yang dia ketahui kebenarannya
secara batin sebagaimana yang diucapkannya,
serta dia memahami makna ucapannya, maka
untuk dirinya hal itu dibenarkan. Tetapi dia salah, ketika
pembicaraannya dapat menjadikan permasalahan rumit.
Walaupun baginya itu bukanlah hal yang rumit, tetapi hal
itu dapat menjadikan selain dirinya berada dalam keraguan.
Maka dia bermaksiat ketika mengeluarkan ucapan itu dan

305
dilarang untuk berbicara, walaupun dia mengetahui kebenaran
ucapannya. Sedangkan orang yang mengingkari ucapannya,
tidak berdosa atas pengingkarannya. Jika seseorang yang
berilmu itu berdalih bahwa dia memiliki tujuan tertentu dengan
ucapannya maka dikatakan kepadanya, ‘Mengapa engkau tidak
menyampaikannya dengan hal-hal yang dibolehkan secara
syar‘i? Kami tidak dapat menghukum kecuali yang tampak
dalam ucapanmu, bukan yang berada di hatimu.’” Dari kitab
Qurrah al’Ain.

Berpakaian dan berpenampilan yang baik


Seharusnya seorang penyeru kepada Allah memperbaiki
penampilan dan pakaiannya, memperindah bajunya, dan lain-
lainnya untuk mendekatkan makhluk kepada Allah hingga
sempurnalah manfaat yang dapat diambil. Dalil tentang hal ini
seperti yang disampaikan oleh Aisyah ra., bahwa suatu ketika
sekelompok kaum berkumpul di depan pintu rumah Rasulullah
Saw., dan beliau hendak keluar menemui mereka. Aisyah
berkata, “Maka aku melihatnya menuju cawan yang berisikan
air dan mengusap sebagian dari kepala dan jenggotnya yang
mulia. Lalu kutanyakan kepadanya, ‘Apakah yang kau lakukan
itu wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Benar, sesungguhnya
Allah menyukai dari hambanya yang berhias untuk saudara-
saudaranya ketika menemui mereka.’” Hadits ini disebut oleh
al-Imam al-Ghazali dalam kitab al-Ihya375 . Kemudian beliau
(al-Ghazali) berkata, “Beliau Saw. diperintahkan berdakwah, dan
termasuk bagian dari tugas beliau adalah menjadikan dirinya
dihargai di dalam hati mereka (obyek dakwah), agar mereka tidak
meremehkannya. Begitu juga memperindah penampilannya
dalam pandangan mereka agar mereka tidak memandangnya kecil
sehingga menjadikan mereka meninggalkannya dan menjadikan
orang-orang munafik memanfaatkan keberpalingan mereka.
Tujuan seperti ini diwajibkan bagi setiap orang yang berilmu yang

306
akan mengumandangkan dakwah kepada makhluk agar menuju
ke jalan Allah. Yaitu menjaga penampilannya agar manusia tidak
berpaling darinya dan dalam kondisi ini dia bersandar kepada
niatnya.”
Asy-Syaikh Ibn Hajar al-Haitamiy rhm. dalam kitab Dar
al-Ghamâmah376  berkata, “Diharuskan bagi para ulama untuk
berpenampilan khusus agar dikenal, dihormati, ditanyai, dan
ditaati perintah serta larangannya. Dalil dari semua itu adalah
firman Allah Swt. dalam surat al-Ahzâb,

“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk


dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.”
(QS. al-Ahzâb: 59)

Kemudian disebutkan bahwa Ibn ‘Abdissalâm, beliau dalam


keadaan berihram menegur sekelompok orang yang sedang
berihram dan tidak mengenalinya, maka mereka tidak menerima
teguran beliau. Ketika beliau mengenakan pakaian ahli fiqih
lalu beliau menegur mereka, maka mereka pun mendengarkan
tegurannya dan menaatinya. Lalu beliau berkata, ‘Jika pakaian
ini dikenakan untuk tujuan ini, maka mengenakannya akan
mendapatkan pahala, karena menjadi sebab untuk mengikuti
perintah Allah dan menjauhi yang dilarang-Nya.’”

Mengamalkan apa yang diserukan


Termasuk adab seorang penyeru kepada Allah Swt. adalah
perbuatannya tidak berbeda dengan ucapannya, karena bias-bisa
dia terjerumus ke dalam firman Allah Swt.,

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan,


sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri.”
(QS. al-Ahzâb: 59)

307
Disebutkan dalam sebuah syair;

 
      
      
Orang yang tak bertakwa namun mengajak manusia bertakwa
Seperti tabib yang mengobati manusia, tetapi dia sendiri 
    
  berpenyakit
        
  
 

    
Asy-Syaikh al-Imam Yahya bin Abubakar al-‘Âmiriy377 
  rhm.
 berkata
   di dalam
 kitabnya

 yang

 berjudul
Bahjah
 al-
Mahâfil, “Permisalan bagi orang yang memerintahkan
  perbuatan
   istiqamah,
    sedang
  dia
 sendiri
  tidak
 melakukannya,


seperti orang yang mendustakan ucapannya yang satu dengan

lain. Penetapan darinya diikuti oleh pembatalan. Orang ini
dapat terkena murka Allah Swt.. Allah Swt. berfirman,

 
  
 ‘Wahai
 orang-orang
  yang
  beriman,
   
 kenapakah
  kamu

 

mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat 

besar
kebencian
  di sisi Allah
bahwa
  kamu
 mengatakan
 
 
apa-apa yang tidak kamu kerjakan.’
(QS. ash-Shaf: 2-3) 

 as-Samâk
 Ibn    378 
 
 berkata,
 ‘Suatu
 hari    aku
 
menasihati   manusia,
  
  

 
 
 
  
 
 
  
    
 
  

dan aku takjub dengan nasihatku itu, maka aku mendengar
 
 
   

  
 
 
  
 
 
 
 
 
suara gaib;


            
  
                     

    
   
 

  




 

 
                 
 
          


 

308
 
  
          
    
 

Hai orang yang mengajar selainnya
Apakah bukan untukmu pengajaran itu?
Mulailah dari dirimu, maka cegahlah ia dari yang menyesatkannya
Jika kau telah selesai melakukannya maka kau kan menjadi
seorang yang bijaksana
Kau menjelaskan obat bagi mereka yang berpenyakit dan menderita
Agar mereka sembuh, namun kau sendiri dalam keadaan sakit
Janganlah kau mencegah suatu perbuatan, sedang kau melakukannya
Jika kau lakukan, maka hal itu adalah kehinaan yang besar
atasmu’”

Lalu beliau berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya


orang berilmu yang berpengaruh nasihatnya dan berbekas
ucapannya, adalah yang baik niatnya dan mendapatkan
warisan (ilmu) Nabi. Sebagian ulama berkata, ‘Jika nasihat
muncul dari hati maka akan sampai di tengah hati. Namun
jika muncul dari lisan fisik maka tak akan sampai melebihi
telinga.’
Ditanyakan kepada sebagian ulama, ‘Mengapa ulama
terdahulu yang saleh nasihatnya dapat berbekas, dan tidak
begitu dengan ulama di zaman ini?’ Maka dia menjawab,
‘Sebab semua itu adalah, dahulu para pendahulu yang saleh,
mereka dalam keadaan terjaga ketika manusia dalam keadaan
tidur. Dan orang yang terjaga membangunkan orang yang
tertidur. Sedangkan ulama di zaman ini dalam keadaan tidur
sedangkan manusia yang lain dalam keadaan mati, maka
orang yang tertidur mustahil membangunkan orang yang
mati.’”
Sebagian ulama menjelaskan semacam penjelasan di atas
sebagai berikut, “Diwajibkan bagi pemberi peringatan dan
obyek peringatan agar beramal sesuai dengan peringatan
yang diutarakan, dan menjaga diri dari kelengahan terhadap
hal itu, agar mereka berdua tidak menjadi dua keledai dari

309
keledai-keledai jahanam. Bagi pemberi peringatan yang tidak
mengamalkan, dalil-dalil dari sunnah telah menjelaskan
(hukuman) atas semua itu.
Dalil tersebut adalah sabda Saw., ‘Di hari Kiamat
didatangkan seorang laki-laki, lalu dilempar ke dalam
neraka, maka keluarlah isi perutnya (usus). Kemudian ia
mengitarinya di dalam neraka seperti keledai di penggilingan.
Lalu penduduk neraka memutarinya seraya bertanya,
‘Hai fulan, apa yang menimpamu? Bukankah engkau dulu
memerintahkan kami kepada kebaikan dan melarang kami
dari kejelekan?’ Ia menjawab, ‘Dulu aku memerintahkanmu
kepada kebaikan tetapi aku tidak melakukannya, dan
melarangmu dari kejelekan tetapi aku melakukannya.’379 
Sedangkan obyek peringatan yang berpaling dalil dari
firman-Nya Swt.,

‘Maka mengapa mereka berpaling dari peringatan


(Allah)? Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari
terkejut, lari daripada singa.’
(QS. al-Muddats-tsir [74]: 49-51)

Peringatan ini secara umum bukan dikarenakan sebab-sebab


tertentu (kafir ataupun muslim).
Suatu ketika datang seorang laki-laki kepada Ibn ‘Abbas
ra., dan bertanya, “Wahai Ibn Abbas, aku ingin mengajak
kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran.” Maka
beliau berkata, “Apakah engkau memiliki potensi untuk itu?”
Ia menjawab, “Aku harap.” Maka beliau ra. berkata, “Jika
engkau tak takut aibmu terbongkar dengan tiga kalimat dari
kitab Allah, lakukanlah.” Laki-laki itu kembali bertanya,
“Apakah tiga kalimat itu?” Beliau ra. menjawab, “Firman
Allah,

310
‘Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan)
kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu
sendiri.’
(QS al-Baqarah [2]: 44)

Firman-Nya,

‘Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu


mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?’
(QS as-Shaf [61]: 2)

Dan firman-Nya tentang hamba-Nya yang saleh Syu‘aib as.,

‘Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan


mengerjakan) apa yang aku larang.’” (QS Hud [11]:
380 
88).’

Catatan Akhir
365. HR. Muslim (2564) Disampaikan oleh Abu Hurairah ra.. dengan lafaz,
“Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk dan harta kalian, tetapi
Dia memandang hati dan amal kalian.”
366. Maksudnya tidak lancar dialek bahasa arabnya, karena beliau tumbuh
besar di negeri ‘ajam. Tetapi beilau adalah seorang syarif keturunan
Hasan bin Ali bin Abu thalib ra..
367. Abubakar Abdur-razzâq Abdulqâdir al-Jailani al-Hanbali al-Baghdadiy
(528-603 H). Beliau termasuk ahli hadits yang dipercaya, ahli fiqih,

311
seorang yang wara’, banyak beribadah dan dermawan walaupun
hidupnya tidak berkecukupan.
368. HR. Muslim (2594), disampaikan oleh as-Sayyidah Aisyah ra..
369. HR. al-Bukhari (6024) dan Muslim (2165), disampaikan oleh as-
Sayyidah Aisyah ra..
370. HR. Abu Daud (4788), disampaikan oleh Ummu al-Mu‘minin Aisyah
ra..
371. HR. Muslim dalam shahihnya (1: 76) Syarh an-Nawawi
372. HR. al-Bukhari dalam shahihnya (128)
373. HR. al-Bukhari dalam shahihnya (120)
374. Telah disebutkan dalam catatan kaki di atas bahwa dalam al-Bukhari
ucapan ini dinisbatkan kepada Ali krw.. Dan bukan termasuk hadits
marfu’.
375. Al-‘Irâqiy dalam kitab Takhrij-nya (1: 137) berkata, “Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibn ‘Uday.” Beliau juga berkata, “Hadits ini adalah
hadits munkar (hadits yang menyendiri dalam periwayatannya dan
diriwayatkan oleh perawi yang lemah. Hadits ini tergolong hadits
dha‘if).”
376. Kitab ini berjudul Dar al-Ghamâmah Fi Dzar ath-Thailisân wa al-
Al‘adzabah Wa al-‘Imâmah. Kitab ini merupakan salah satu karya al-
Imâm Ibn Hajar al-Haitamiy, namun tak pernah dicetak lagi.
377. Asy-Syaikh al-Muhaddits Yahya bin Abubakar al-‘Âmiriy al-Haradhiy,
dinisbahkan kepada sebuah kota di Yaman Utara yang bernama Haradh.
Beliau lahir di kota itu pada tahun 816 H dan wafat di sana pula pada
tahun 893 H. Beliau seorang ahli hadits di Yaman pada zamannya. Di
waktu itu beliau melakukan perjalanan ke Makkah dan mendengar
hadits dari al-Hâfizh bin Fahd dan al-Hâfizh Abu al-Fath al-Marâghiy
al-‘Utsmâniy. Beliau memiliki karya tulis banyak sekali dan bermanfaat
untuk umat manusia. Junjungan kami al-Imâm Abubakar al-‘Aidarus
al-‘Adaniy belajar darinya dan disebutkan olehnya dalam kitabnya yang
berjudul al-Juz`u al-Lathîf. Sedangkan penulis kitab al-Masyra’ ar-Râwi
menyebutkan kekeramatan beliau, di antaranya; Beliau memimpikan
Rasul Saw., dan beliau Saw. mengusap punggungnya dengan tangannya
yang suci, maka ketika bangun didapati bekas usapan itu masih tetap
ada di punggungnya dan dilihat oleh manusia. Di antara mereka
yang melihat dan mengambil berkah dari usapan itu adalah al-Imâm
Abubakar al-‘Aidarus al-‘Adaniy.

312
378. Seorang yang memiliki sifat zuhud, menjadi panutan dan pemimpin
para pemberi nasihat. Beliau adalah Abu al-‘Abbâs Muhammad bin
Shabîh al-‘Ijliy al-Kûfiy (wafat pada tahun 183 H). Di antara ucapan
beliau adalah, “Berapa banyak sesuatu yang tidak bermanfaat maka ia
juga tidak membahayakan. Tetapi ilmu, jika tidak bermanfaat, maka ia
membahayakan.”
379. HR. al-Bukhari (3267), dan Muslim (2989), disampaikan oleh Usâmah
bin Zaid ra..
380. HR. al-Baihaqi dalam kitab asy-Syu’bu al-Îmân (6:89).

313
Bab 9
HIKMAH
Hikmah adalah segala sesuatu
yang mencegah dari kebodohan
dan memperingatkan dari
sesuatu yang tercela.
Mukadimah
Makna Hikmah dan Keutamaannya

Allah Swt. berfirman,

“Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang


dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah,
ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.”
(QS.al-Baqarah: 269)

Rasulullah Saw. bersabda, “Tidaklah seorang muslim


memberikan hadiah yang lebih utama kepada saudaranya dibanding
kata-kata hikmah yang menambah petunjuk baginya atau menolak
bencana.”381  Beliau Saw. bersabda, “Tidak ada iri kecuali pada dua
hal; seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu dia menguasainya
dengan cara menghabiskannya dalam kebenaran, dan seseorang yang
diberi hikmah oleh Allah lalu dia memutuskan sesuatu dengannya
dan mengajarkannya.”382 
Al-Imam an-Nawawi rhm., “Makna hadits (di atas) adalah
tidak ada iri yang disukai kecuali dua sifat itu dan segala yang
berada dalam makna keduanya. Dan hikmah adalah segala sesuatu
yang mencegah dari kebodohan dan memperingatkan dari sesuatu
yang tercela.”383  Dalam kesempatan yang lain beliau berkata,
“Hikmah adalah ibarat tentang ilmu yang memiliki hukum-hukum
yang mencakup pengenalan terhadap Allah Swt, disertai oleh
pengaruh akal, perbaikan jiwa, pendalaman terhadap kebenaran
dan mengamalkannya, serta menentang syahwat dan kebatilan.
Sedangkan hakim adalah orang yang memiliki sifat-sifat di atas.”
Abubakar bin Duraid384  berkata, “Setiap kata yang
menasihati dan menegurmu, atau mengajakmu kepada kemuliaan
dan mencegahmu dari perbuatan tercela, maka ia adalah hikmah
dan hikam. Di antaranya sabda Nabi Saw., ‘Sesungguhnya
sebagian dari syair adalah hikmah.’385  Dan dalam riwayat yang
lain ‘hukman’386 .” Dikutip dari Syarh al-Muslim.
Ibn Qutaibah387  berkata, “Hikmah adalah ilmu dan amal.
Seseorang tidak dapat disebut hakim kecuali meliputi keduanya.”
Di dalam sebuah riwayat yang dibawa oleh para imam
tentang hikmah yang disebutkan oleh al-Imam asy-Sya’râni dalam
kitab Tanbîh al-Mughtarrîn, dikatakan, “Dulu Abu al-Hasan al-
Harawiy388  rhm. berkata, ‘Hikmah itu bangkit dari empat sifat;
penyesalan atas dosa, persiapan mati, pengosongan perut, dan
persahabatan dengan orang-orang zuhud di dunia.”
Sufyan ats-Tsauri rhm. pernah berkata, “Muhammad bin
Yûsuf389  menyibukkan diri dengan ibadah, maka dia mewarisi
hikmah. Sedangkan kita disibukkan dengan kitab-kitab ilmu,
maka kita mewarisi perdebatan.”
Yahya bin Mu’âdz berkata, “Hikmah turun dari langit dan
tidak akan turun ke dalam hati yang memiliki empat sifat ini;
cinta dunia, terbebani dengan keinginan esok hari, iri kepada
seseorang, dan cinta kemulian di mata manusia. Barangsiapa
yang di dalam hatinya terdapat satu sifat dari semua ini, maka
tidak akan masuk ke dalam hatinya hikmah.”
Abu ‘Utsmân al-Hirriy rhm. berkata, “Barangsiapa
memakmurkan sunnah di dalam dirinya pada ucapan dan
perbuatan, maka dia akan berbicara dengan hikmah. Barangsiapa
memakmurkan syahwat pada dirinya, maka dia akan berbicara
dengan bid’ah (kesesatan yang diciptakannya).”

318
Isa as. Bertanya kepada para sahabatnya, “Di manakah
benih itu tumbuh?” Mereka menjawab, “Di tanah.” Maka beliau
berkata, “Begitu pula hikmah, ia tidak akan tumbuh kecuali di
dalam hati yang seperti tanah.” Yaitu rendah hati, dan merasa
tidak memiliki apa-apa dalam puncak kehinaan dan kefakiran.

Cerita dan Hikayat


Rasulullah Saw. bersabda, “Hikmah menambah kemuliaan pada
syarîf (orang yang bernasab mulia), dan mengangkat kedudukan
hamba sahaya hingga mendudukannya di tempat duduk para
raja.”390 
Al-Imam al-Ghazali dalam kitab al-Ihyâ, menyebutkan dari
Sâlim bin Abu al-Ja’di391 , berkata, “Tuanku membeliku dengan
harga tiga ratus dirham dan membebaskanku, lalu aku bertanya
kepada diriku, ‘Apakah perkerjaan yang harus kulakukan?’ maka
aku menyibukkan diri dengan ilmu. Maka tak sampai satu
tahun, pemimpin kota hendak mengunjungiku, dan aku tak
mengizinkannya.”
Al-Imam Ali bin Hasan al-Attas dalam kitabnya al-Qirthâs
menyebutkan, “Sesungguhnya seorang syarîf masuk ke rumah
asy-Syaikh Yâqûtan al-Habasyi392  dengan baju yang usang dan
mendapati beliau mengenakan baju yang bagus dan mahal. Maka
orang itu berkata, ‘Engkau wahai rubah buas, wahai pencabik
dengan cakar (kiasan menunjukkan orang liar-penerj), seorang
budak dengan keadaan seperti ini, sedangkan aku seorang syarîf
dengan keadaanku ini?’ Maka Yâqût menjawab, ‘Mungkin karena
kau menempuh jalan leluhurku maka orang mengira kau dari
golongan mereka dan menempatkanmu pada posisi mereka.
Sedangkan aku, kutempuh jalan leluhurmu, maka orang mengira
aku dari golongan mereka dan menempatkanku pada posisi
mereka.’ Maka menangislah syarîf itu dan mohon diri kepadanya.
Dalam kejadian yang lain, seorang syarîf mengunjunginya
dan menyaksikan manusia mengecup kaki beliau (asy-Syaikh

319
Yâqûtan al-Habasyi), dan tidak ada di antara mereka yang
menggubrisnya. Kejadian itu berbekas pada hati syarîf. Maka
Yâqût berkata kepadanya, ‘Wahai tuanku, sesungguhnya betisku
ini jika dipotong tidak sebanding dengan dirham di pasar.
Tetapi ketika aku mengikuti jalan para leluhurmu yang saleh
lagi suci, maka aku mendapat kemuliaan. Sedangkan kau, ketika
kau berpaling dari akhlak para leluhurmu yang saleh dan kau
mengikuti akhlak yang rendah, maka kau dihinakan.’ Maka
syarîf itu berdiam dan tidak menjawab.
Asy-Syaikh Yâqût yang tersebut di atas termasuk murid
asy-syaikh Abu al-Abbas al-Marsiy yang utama. Syaikh beliau
Abu al-Abbas menjulukinya dengan Yâqût al-‘Arsyiy, karena hati
beliau selalu melihat ke ‘arsy. Tidak ada yang di bumi kecuali
badan beliau. Asy-Syaikh Yâqût wafat di di kota Iskandariyyah
pada tahun tujuh ratus tujuh.” Semua cerita di atas disebut oleh
beliau dalam kitab al-Qirthâs.

Catatan Akhir
381. HR. al-Baihaqi dalam Syu’bu al-Iman (2: 280). Disampaikan oleh
Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash ra..
382. HR. al-Bukhari (73) dan Muslim (2: 816). Disampaikan oleh Abdullah
bin Mas’ud ra..
383. Syarh Shahîh Muslim karya al-Imam an-Nawawi (6: 97-98)
384. Al-Allamah Abubakar Muhammad bin al-Hasan bin Duraid al-Azdiy
al-Basyriy (223-321 H). Beliau termasuk pemimpin ulama bahasa
dan kesusastraan. Dulu disebutkan bahwa Ibn Duraid adalah ulama
yang paling pandai bersyair dan ahli syair yang paling berilmu. Beliau
memiliki kelebihan dalam hafalan. Di antara hasil karyanya adalah al-
Jamharah, al-Maqshûrah dan al-Mujtanâ serta lain-lainnya.
385. HR. al-Bukhari (6145). Disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab ra..

320
386. HR. Abu Daud (5011). Disampaikan oleh Ibn Abbas ra..
387. Al-Imam al-’Allamah Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin
Qutaibah ad-Dînawariy (213-276 H). Beliau termasuk ulama terkemuka
dalam kesusastraan dan termasuk orang yang banyak karya tulisnya.
Dilahirkan di kota Baghdad dan tinggal di Kufah, lalu menjabat sebagai
qadi di ad-Dînawar selama beberapa waktu, maka nama kota itu
diidentitaskan kepada dirinya. Beliau wafat di kota Baghdad. Di antara
karya beliau; Ta‘wîl Mukhtalif al-Hadits, Adab al-Kâtib, al-Ma’ârif, asy-
Syi’ru wa asy-Syu’arâ, al-Masâ‘il wa al-Ajwibah, dan lain-lainnya.
388. Dari buku-buku rujukan yang kami miliki, tidak didapatkan biografi
tentang beliau, kecuali biografi abu al-Husain—bukan al-Hasan—al-
Haddâd al-Harawiy. Beliau termasuk seorang sufi yang tinggal di
Makkah. Biografinya hanya tertulis dalam satu kitab saja, yang berjudul
Nafahât al-Uns karya Mulla Abdurrahman al-Jâmi’iy (1: 398-399).
389. Seorang yang memiliki sifat zuhud, ahli ibadah, dan menjadi panutan,
Abu Abdillah Muhammad bin Yûsuf bin Ma’dân al-Ashbahâniy
(wafat pada tahun 184 H). Beliau mencapai masa para tabi’in, lalu
menyibukkan diri dengan ibadah dan kezuhudan. Abdullah bin al-
Mubârak menamakannya ‘arûs az-zuhhâd (pengantin orang-orang
zuhud). Sedangkan Ibn Mahdi berkata, “Aku tak pernah melihat orang
sepertinya.” Beliau tak pernah meletakkan tubuhnya untuk tidur di
musim panas atau dingin dan wafat sedang umurnya belum mencapai
empat puluh tahun. Semoga Allah merahmati beliau.
390. HR. Abu Na’îm dalam kitab al-Hulyah (6: 173) dan Ibn ‘Uday pada
kitab al-Kâmil (95: 143). Disampaikan oleh Anas ra.
391. Beliau adalah seorang tabiin yang menguasai ilmu fiqih dan seorang ahli
hadits yang dipercaya, Sâlim bin Abu al-Ja’di al-Asyja’iy al-Ghathafâniy al-
Kûfiy (wafat pada tahun 100 H). al-Hâfizh adz-Dzahabiy berkata, “Beliau
termasuk orang-orang pilihan dan ulama mereka ......... riwayatnya dikutip
dari enam kitab hadits yang diakui. Semoga Allah merahmatinya.
392. Al-Waliy al-’Arif Abu ad-Dur Yâqût bin Abdullah al-’Arsyiy asy-
Syâdziliy (wafat pada tahun 707 H). Beliau termasuk sahabat utama
al-Imam Abu al-Abbas al-Marsiy. Seorang yang saleh, taat beribadah,
memiliki kewibawaan dan berpenampilan tenang serta memiliki
kemampuan menyingkap hal yang ghaib. Beliau seorang habasyiy
(Afrika) dan wafat di kota Iskandariyyah. Kubur beliau sampai sekarang
dituju dan banyak orang mengambil berkah. Beliau dikubur di dekat
makam syaikhnya al-Marsiy.

321
1
Hikmah Luqmân al-Hakîm as.

Al-Qurthubiy berkata, “Luqmân adalah keponakan Ayyub as. dari


saudara perempuannya. Beliau hidup seribu tahun. Para ulama
sepakat bahwa beliau bukanlah seorang Nabi. Sedangkan ‘Ikrimah
dan asy-Sya’biy berpandapat bahwa beliau adalah nabi. Nabi
Muhammad Saw. bersabda tentang beliau, ‘Dia adalah seorang
hamba yang banyak bertafakkur, memiliki keyakinan yang baik,
dan mencintai Allah, maka Allah mencintai serta mengaruniainya
hikmah.’” Dikutip dalam Nuzhah al-Majâlis.
Beliau juga berkata dalam Hâsyiah al-Jamal ‘Ala al-Jalâlain,
“Luqmân al-Hakîm menolong Daud as. karena ilmu hikmahnya.
Dikatakan bahwa beliau adalah penggembala kambing. Diriwayatkan
bahwa seseorang bertemu beliau ketika sedang menuturkan ucapan-
ucapan hikmah. Maka orang itu berkata, ‘Bukankah engkau si
fulan penggembala kambing?’ Beliau menjawab, ‘Benar.’ Orang itu
bertanya, ‘Dengan apa kau capai kedudukan ini?’ Beliau menjawab,
“Dengan kejujuran dalam ucapan, memenuhi amanat, dan
meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.’”
Di antara hikmah beliau as. kepada anaknya yang sarat dengan
makna adalah,
Wahai anakku, jadikanlah takwa kepada Allah sebagai
perdaganganmu, maka Dia akan memberikan kepadamu
keuntungan tanpa barang.
Wahai anakku, janganlah kamu lebih lemah daripada ayam
jago ini, yang telah berkokok di pagi hari dan engkau masih
tertidur di atas kasurmu.
Wahai anakku, janganlah kau akhirkan tobat, karena kematian
datang tiba-tiba.
Wahai anakku, aku tak menyesal atas diam sama sekali. Karena
sesungguhnya jika berbicara itu adalah perak, maka diam
adalah emas.
Wahai anakku, jauhilah kejelekan, agar Dia tak menjauhimu.
Sesungguhnya kejelekan meninggalkan kejelekan.
Wahai anakku, datangilah majelis para ulama, dan dengarkanlah
ucapan ahli hikmah. Sesungguhnya Allah menghidupkan
hati yang telah mati dengan cahaya hikmah, seperti
menghidupkan tanah mati dengan hujan lebat.
Wahai anakku, jangan ada yang memakan makananmu
kecuali orang yang bertakwa, dan musyawarahkanlah
permasalahanmu dengan para ulama.
Wahai anakku, sesungguhnya dunia adalah laut yang dalam, dan
manusia banyak yang telah tenggelam di dalamnya. Maka
jadikanlah kapalmu di dalamnya adalah takwa kepada Allah,
bahan bakarnya adalah iman kepada-Nya, dan layarnya
adalah tawakal kepada Allah, agar kau selamat.
Wahai anakku, sesungguhnya aku memikul batu besar dan besi,
tapi aku tak memikul sesuatu yang lebih berat dari tetangga
yang jahat. Dan aku telah merasakan pahit seluruhnya, tapi
tak kurasakan yang lebih pahit daripada kefakiran.
Wahai anakku, sesungguhnya hikmah mendudukkan orang
miskin pada tempat duduk para raja.
Wahai anakku, janganlah kau belajar yang tak kau ketahui,
hingga kau mengamalkan yang telah kau ketahui.

323
Wahai anakku, jika kau hendak bersahabat dengan seseorang,
maka jadikanlah dia marah terlebih dahulu. Jika dia
tidak berlebih-lebihan terhadapmu ketika marah (maka
bersahabatlah), atau jika tidak, berhati-hatilah terhadapnya.
Wahai anakku, biasakanlah lisanmu mengucapkan, “Wahai
Allah ampunilah aku”, karena sesungguhnya Allah memiliki
waktu yang tak pernah menolak.
Wahai anakku, hati-hatilah kamu terhadap hutang.
Sesungguhnya ia adalah kehinaan di siang hari, dan
kegundahan di malamnya.
Wahai anakku, mengharaplah kepada Allah dengan harapan
yang tak menjadikanmu berani bermaksiat kepada-Nya. Dan
takutlah kepada Allah dengan takut yang tak menjadikanmu
putus asa dari rahmat-Nya. Ucapan beliau ini diringkas dari
Hâsyiah al-Jamal.

Termasuk ucapan beliau yang diriwayatkan adalah, “Jika


pencernaan penuh, tetidurlah pikiran, bungkamlah hikmah, dan
berhentilah anggota badan dari ibadah.” Diriwayatkan bahwa
tuannya memberi kambing kepada beliau untuk disembelih, dan
berkata, “Sembelihlah ia dan berikanlah kepadaku yang terbaik
darinya.” Maka dibawakan untuknya hati dan lisan. Kemudian
setelah beberapa hari diberikan lagi kambing kepadanya, dan
berkata, “Sembelihlah ia dan berikanlah kepadaku yang terbaik
darinya.” Maka dibawakan untuknya hati dan lisan. Lalu beliau
ditanya tentang perbuatannya, dan beliau pun menjawab,
“Keduanya itu adalah yang terbaik jika keduanya baik dan yang
terjelek jika keduanya jelek.”

324
2
Sumber Hikmah yang Diriwayatkan
dari Sabda Beliau Saw

Nabi kita, semoga Allah melimpahkan sebaik-baik shalawat dan


salam atasnya, telah diberi kemampuan berbicara dengan jawâmi’
al-kalim (penghimpun seluruh ucapan) yang tidak diberikan kepada
siapa pun yang terdahulu atau masa yang akan datang. Ucapan
beliau Saw. meliputi sumber hikmah dan inti keutamaan. Beliau
bersabda, “Aku telah diberi jawâmi’ al-kalim, dan dijadikan sabdaku
ringkas.”393 
Al-Imam Ibn Shihâb az-Zuhriy rhm. menjelaskan makna hadits
“Aku di utus dengan jawâmi’ al-kalim”394  sebagai berikut, “Telah
sampai kepadaku bahwa sesungguhnya makna jawâmi’ al-kalim
yaitu, Allah telah menghimpun baginya banyak masalah yang tertulis
pada kitab-kitab sebelum beliau, menjadi satu atau dua masalah dan
semacam itu.” 395 
Dalam kitab al-Anwâr al-Muhammadiyyah396 , al-Imam an-
Nabhâni397  berkata, “Termasuk hal-hal yang dihitung sebagai kefasihan
beliau Saw., bahwa beliau Saw. menghimpun beberapa syariat dan
kaidah Islam yang berserakan dalam empat sabda beliau. Yaitu;
l Hadits, ‘Sesungguhnya Amal itu dengan niat.’ HR. asy-
Syaikhain398 
l Hadits, ‘Sesuatu yang halal itu jelas dan sesuatu yang
haram itu jelas.’ HR. Muslim399 
l Hadits, ‘Bukti bagi penuntut dan sumpah bagi
terdakwa.’400 
l Hadits, ‘Tidak sempurna iman seseorang, hingga dia
mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dia cintai
untuk dirinya.’401  Dua hadits ini diriwayatkan oleh asy-
Syaikhan.

‘Hadits yang pertama mencakup permasalahan ibadah. Hadits


yang kedua mencakup permasalahan muamalah (interaksi). Hadits
yang ketiga mencakup masalah pengadilan dan bab pertikaian.
Sedangkan hadits yang keempat mencakup masalah adab dan
pemenuhan hak serta tercakup pula di dalamnya peringatan akan
perbuatan aniaya.’ Dikatakan oleh Ibn al-Atsîr.”
Al-Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abu Zaid402  rhm.
berkata, “Kumpulan adab yang baik terbagi dalam empat hadits.
l Sabda Nabi Saw., ‘Barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari akhir, hendaklah mengucap yang baik atau
berdiam.’403 
l Sabda Nabi Saw, ‘Termasuk kebaikan islam seseorang,
meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat.’404 
l Sabda Nabi Saw. yang diringkas dalam sebuah wasiatnya,
‘Janganlah kamu marah.’405 
l Sabda Nabi Saw., ‘Tidaklah beriman seseorang di antara
kalian (tidak sempurna imannya) hingga dia mencintai
untuk saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk
dirinya.’406  Wallâhu a’lam.” Dikutip dari Syarh Muslim
karya an-Nawawi.

Al-Imam Abu al-Hasan al-Mâwardiy407  rhm. berkata, “Ter­


masuk sabda beliau Saw. yang tidak ada yang menyamainya
dalam ringkasnya perkataan;

326
l Sabda beliau Saw., ‘Manusia lebih serupa dengan zaman
mereka dibanding dengan leluhur mereka.’408 
l Sabda beliau Saw., ‘Tak akan binasa seseorang yang
mengetahui kadar dirinya.’409 
l Sabda beliau Saw., ‘Jika tersingkap (aib) di antara
kalian, maka kalian tidak akan saling menguburkan
(mengantarkan jenazah dan menguburkannya karena
aib yang tersingkap).’410 
l Sabda beliau Saw., ‘Orang yang bahagia adalah yang
dapat mengambil pelajaran dari selain dirinya.’411 
l Sabda beliau Saw., ‘Cintamu terhadap sesuatu,
membutakan dan menulikan.’412 
l Sabda beliau Saw., ‘Janji adalah pemberian (seseorang
yang berjanji layaknya memberikan jaminan atas yang
dijanjikan).’413 
l Sabda beliau Saw., ‘Wahai Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari sifat tamak yang mengantarkan kepada
tabiat.’414 
l Sabda beliau Saw., ‘Sedekah yang terutama adalah
pengorbanan dalam keadaan sempit.’415 
l Sabda beliau Saw., ‘Meninggalkan kejelekan termasuk
sedekah.’416 
l Sabda beliau Saw., ‘Kebaikan itu banyak, namun sedikit
pelakunya.’417 
l Sabda beliau Saw., ‘Turunnya pertolongan sesuai dengan
kadar kesukaran.’418 
l Sabda beliau Saw., ‘Tunaikanlah amanat kepada
yang memberi amanat kepadamu, dan janganlah kau
berkhianat kepada yang mengkhianatimu.’419 
l Sabda beliau Saw., ‘Orang yang beriman terkemuka lagi
mulia, dan orang yang durhaka tertipu lagi hina.’420 
l Sabda beliau Saw., ‘Dunia adalah penjara orang beriman
dan ujiannya, serta surga orang kafir dan kerelaannya.’421 

327
Termasuk sabda beliau Saw. yang tidak ada yang menyamainya
dalam kefasihan perkataannya;
l Sabda beliau Saw., ‘Ada tiga hal penyelamat dan
penghancur. Tiga hal penyelamat itu adalah, takut
kepada Allah Swt. dalam ketersembunyian dan terang-
terangan, hemat dalam kondisi cukup atau fakir, dan
menghukum dengan adil dalam keadaan ridha atau
marah. Sedangkan tiga hal penghancur adalah, kekikiran
yang ditaati (pemilik sifatnya), syahwat yang diikuti,
dan kekaguman seseorang terhadap dirinya.’422 
l Sabda beliau Saw. dalam sebagian khutbahnya, ‘Wahai
sesungguhnya hari akan berlalu, umur akan habis, dan jasad
yang dikubur akan hancur. Sesungguhnya malam dan siang
bergerak seperti gerak utusan. Keduanya mendekati setiap
yang jauh, dan mengusangkan segala yang baru. Dalam
semua itu—wahai hamba Allah—terdapat hal-hal yang
dapat melalaikan dari syahwat dan menjadikan keinginan
terhadap amalan-amalan yang kekal.’423 
l Sabda beliau Saw. dalam sebagian khutbahnya dan beliau
takut di antara para sahabatnya ada yang melemah,
‘Wahai manusia, seakan-akan kematian di dunia itu
ditetapkan untuk selain kita. Seakan-akan kebenaran
diwajibkan untuk selain kita. Dan seakan-akan orang-
orang mati yang kita hantarkan itu, mereka melakukan
perjalanan sebentar dan akan kembali kepada kita. Kita
menghindari kubur mereka, dan memakan warisan
mereka, seakan-akan kita kekal setelah mereka. Kita
telah melupakan semua nasihat, dan merasa aman dari
setiap bencana. Sungguh beruntung yang akhiratnya
menyibukkannya dari dunianya. Sungguh beruntung
yang kekurangannya menyibukkannya dari kekurangan
manusia.’”424  Ringkasan dari kitab Jawâhir al-Bihâr
karya an-Nabhâni rhm.425 

328
Termasuk di antara jawâmi’ al-kalim sabda beliau Saw.
adalah yang disampaikan oleh Ibn Umar secara marfu’, “Ada tiga
hal penghancur, tiga hal penyelamat, tiga hal penggugur, dan
tiga hal yang menaikkan derajat. Tiga hal penghancur adalah,
kekikiran yang ditaati, syahwat yang diikuti, dan kekaguman
seseorang terhadap dirinya. Sedangkan tiga hal penyelamat
adalah, menghukum dengan adil dalam keadaan ridha atau
marah, hemat dalam kondisi cukup atau fakir, dan takut kepada
Allah Swt. dalam ketersembunyian dan terang-terangan. Tiga
hal penggugur adalah, menunggu shalat (di waktu berikutnya)
setelah (mengerjakan) shalat, melebihkan basuhan wudhu
di cuaca dingin,426  dan melangkahkan kaki menuju kepada
berjemaah. Sedangkan tiga hal yang menaikkan derajat adalah,
memberi makan, menebarkan salam, dan shalat di waktu malam
di saat manusia tertidur.”427 
Al-Imam asy-Syibli rhm. berkata, “Aku membaca empat
ribu hadits, lalu kupilih di antaranya satu hadits yang akan
kuamalkan, dan kubiarkan selainnya. Karena kurenungi
hadits itu, dan kudapati keberhasilan dan keselamatanku ada
di dalamnya. Seakan-akan ilmu orang-orang terdahulu dan
terkemudian, semuanya tercakup di dalamnya, maka aku merasa
cukup dengannya. Hal itu adalah, sesungguhnya Rasulullah
Saw. bersabda kepada sebagian sahabatnya, ‘Beramallah untuk
duniamu sesuai dengan kadar masa tinggalmu di dalamnya
dan beramallah untuk akhiratmu sesuai dengan kadar masa
tinggalmu di dalamnya. Beramallah untuk surga sesuai dengan
kadar kebutuhanmu terhadapnya dan beramallah untuk neraka
sesuai dengan kadar kesabaranmu darinya.’”428  Disebutkan oleh
al-Imam al-Ghazali dalam tulisannya yang berjudul Ayyuha al-
Walad.
Abdullah bin al-Mubarak rhm. berkata, “Ada empat kalimat
yang terpilih dari ribuan hadits; janganlah kau mempercayai
wanita, janganlah kau tertipu dengan harta, janganlah kau

329
bebani pencernaanmu dengan sesuatu yang dia tak mampu, dan
belajarlah dari ilmu yang bisa memberikan manfaat kepadamu
saja (bukan semua ilmu).”
Termasuk di antara jawâmi’ al-kalîm sabda beliau Saw.
adalah hadits-hadits di bawah ini (yang dikumpulkan dalam
buku) yang berjudul as-Silsilah al-Ibrîziyyah al-Marwiyyah Min
Tharîq al-‘Itrah an-Nabawiyyah wa asy-Syajarah al-‘Alawiyyah,
diriwayatkan oleh al-‘Arifbillah Ahmad bin Zain al-Habsyi dari
al-Imam al-‘Allamah al-Wajîh Abdullah bin Ahmad Balfaqîh.429 
Semoga Allah memberi manfaat kepada kita melalui mereka
berdua, para pendahulu mereka yang saleh, serta sanad (silsilah
hadits) yang bersambung kepada datuk mereka, pemimpin
para rasul dan orang yang termulia dari orang-orang terdahulu
hingga akhir. Atasnya shalawat yang terutama dari orang-orang
yang bershalawat, dan salam yang tersuci dari orang-orang yang
mengucapkan salam hingga hari Kiamat.
Kami akan membawakan hadits yang tersebut di atas sebagai
penutup bab ini.
l Sabda beliau Saw., “Tidaklah berita seperti menyaksikan.”
l Sabda beliau Saw., “Majelis itu dengan amanat.”
l Sabda beliau Saw., “Perang itu tipuan.”
l Sabda beliau Saw., “Orang Islam adalah cermin bagi
orang Islam.”
l Sabda beliau Saw., “Penunjuk kepada kebaikan, seperti
pelakunya.”
l Sabda beliau Saw., “Orang yang dimintai pendapat
haruslah beramanat.”
l Sabda beliau Saw., “Jagalah kebutuhan dengan
menyimpan rahasia.” (agar orang tidak iri).
l Sabda beliau Saw., “Jauhilah neraka walaupun dengan
setengah dari kurma.”
l Sabda beliau Saw., “Dunia adalah penjara orang beriman
dan surga orang kafir.”

330
l Sabda beliau Saw., “Sifat malu adalah baik seluruhnya.”
l Sabda beliau Saw., “Janji seorang yang beriman seperti
(janji) berjabat tangan.”
l Sabda beliau Saw., “Bukanlah dari golongan kami
mereka yang menipu kami.”
l Sabda beliau Saw., “Sesuatu yang sedikit tetapi
mencukupi, lebih baik dari banyak tetapi melalaikan.”
l Sabda beliau Saw., “Bencana disandarkan pada ucapan.”
l Sabda beliau Saw., “Manusia layaknya gerigi sisir.”
l Sabda beliau Saw., “Kekayaan adalah kekayaan hati.”
l Sabda beliau Saw., “Orang yang bahagia adalah yang
dapat mengambil pelajaran dari selain dirinya.”
l Sabda beliau Saw., “Sesungguhnya sebagian dari syair
memiliki hikmah.”
l Sabda beliau Saw., “Maaf para raja lebih melanggengkan
bagi kerajaan.”
l Sabda beliau Saw., “Seseorang bersama yang dia cintai.”
l Sabda beliau Saw., “Tak akan celaka seseorang yang
mengetahui kadar dirinya.”
l Sabda beliau Saw., “Anak sah bagi mereka di tilam
(bersama pasangan yang sah), dan bagi pezina adalah
batu (dirajam).”
l Sabda beliau Saw., “Tangan di atas lebih mulia daripada
tangan di bawah.”
l Sabda beliau Saw., “Tak bersyukur kepada Allah mereka
yang tak berterima kasih keapda manusia.”
l Sabda beliau Saw., “Cintamu terhadap sesuatu
membutakan dan menulikan.”
l Sabda beliau Saw., “Hati itu dibentuk bertabiat menyukai
siapa yang berbuat baik kepadanya dan membenci yang
berbuat jelek kepadanya.”
l Sabda beliau Saw., “Orang bertobat dari dosa seperti tak
memiliki dosa.”

331
l Sabda beliau Saw., “Saksi melihat apa yang tidak dilihat
orang yang tidak hadir.”
l Sabda beliau Saw., “Jika datang kepada kalian orang
yang mulia pada suatu kaum, maka muliakanlah dia.”
l Sabda beliau Saw., “Sumpah palsu menjadikan rumah
sunyi (menjadi miskin).”
l Sabda beliau Saw., “Barangsiapa yang terbunuh demi
mempertahankan hartanya, maka dia mati syahid.”
l Sabda beliau Saw., “Amal itu dengan niat.”
l Sabda beliau Saw., “Pemimpin suatu kaum adalah yang
melayani mereka.”
l Sabda beliau Saw., “Sebaik-baik perkara adalah yang di
tengah (tidak ekstrim kanan atau kiri).”
l Sabda beliau Saw., “Wahai Allah, berkahilah umatku
pada bangun mereka di pagi hari kamis.”
l Sabda beliau Saw., “Hampir-hampir kemiskinan akan
menjadikan kekafiran.”
l Sabda beliau Saw., “Perjalanan jauh adalah sebagian dari
azab.”
l Sabda beliau Saw., “Tidak dihalalkan bagi seorang
muslim tidak berbicara (memusuhi) dengan saudaranya
lebih dari tiga hari.”
l Sabda beliau Saw., “Orang yang meminta kembali
hadiahnya (yang telah diberikan) seperti orang yang
menelan kembali muntahnya.”
l Sabda beliau Saw., “Sebaik-baik bekal adalah takwa.”430 

Hadits-hadits mulia ini selesai dan dikutip dari kitab Qurrah


al-‘Ain karya al-Imam Muhammad bin Zain bin Sumaith rhm.
dan semoga Allah memberi manfaat kepada kita melalui beliau.431 

332
Catatan Akhir
393. HR. Abu Ya’la dalam musnadnya. Disampaikan oleh Umar bin al-
Khattab ra. Seperti yang terdapat pada kitab Majma’ az-Zawâid (1:
173). Di dalam sanandnya terdapat perawi yang lemah. Dan hadits
yang pertama di shahih Muslim dan Bukhari seperti itu. Seperti yang
akan disebutkan nanti.
394. HR. al-Bukhari (7013) dan Muslim (523). disampaikan oleh Abu
Hurairah ra..
395. Dikutip oleh al-Imam al-Bukhari dalam kitab shahihnya (12: 401Fath
al-Bâriy)
396. Al-Anwâr al-Muhammadiyyah adalah ringkasan dari kitab al-Mawâhib
al-Laduniyyah bi al-Minahi al-Muhammadiyyah, karya al-Imam
Syihâbuddîn al-Qasthalâniy.
397. Beliau adalah al-‘Allamah, ahli sastra dan syair serta seorang qadi,
asy-Syaikh Yûsuf bin Ismâ’îl bin Yûsuf an-Nabhâni (1265-1350 H).
Tempat kelahiran dan tempat dia tumbuh di desa Ijrim di Palestina.
Beliau belajar di al-Azhar, berpindah-pindah tugas hingga menetap
sebagai kepala mahkamah di Beirut selama setahun. Ketika berkobarnya
perang dunia pertama, beliau kembali ke kampungnya dan wafat di
sana. Beliau satu-satunya yang memerhatikan tulisan-tulisan tentang
pujian untuk al-Musthafa Saw. hingga berhak mendapat julukan:
Bushiri zaman ini (zaman beliau). Beliau memiliki karya tulis yang
banyak sekali. Semoga Allah merahmati beliau.
398. Al-Bukhari (1), dan Muslim (1907). Disampaikan oleh Umar bin
Khattab ra..
399. Muslim (1599) dan al-Bukhari (52). Disampaikan oleh an-Nu’mân bin
Basyîr ra..
400. HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kabîr (10: 252). Disampaikan oleh
Ibn Abbâs ra..
401. Al-Bukhari (13), dan Muslim (45). Disampaikan oleh Anas ra., dengan
ucapan sebagai berikut, “Tidak beriman seseorang di antara kalian
(tidak sempurna imannya), hingga dia mencintai untuk saudaranya
apa-apa yang dia cintai untuk dirinya.”
402. Al-Imam, al-Faqîh Abu Muhammad bin Abu Zaid al-Qairûniy al-
Mâlikiy (310-386 H). Beliau adalah penulis kitab ar-Risâlah yang
masyhur dalam fiqih maliki. Termasuk seorang tokoh dan memiliki
kedudukan dalam kalangan pemimpin mazhab.

333
403. Al-Bukhari (6136), dan Muslim (47). Disampaikan oleh Abu Hurairah
ra..
404. At-Turmudzi (2317), dan Ibn Majah (3976). Disampaikan oleh Abu
Hurairah ra..
405. HR. al-Bukhari (6116). Disampaikan oleh Abu Hurairah ra..
406. Riwayatnya telah disebutkan pada bahasan yang lalu.
407. Beliau adalah seorang imam yang memiliki kedudukan tinggi Abu al-
Hasan Ali bin Muhammad bin Habîb al-Mâwardiy asy-Syâfi’i (wafat
pada tahun 450 H). Tâjuddîn as-Subki berkata mengenai beliau,
“Dia adalah seorang imam yang agung dan berkedudukan tinggi,
serta memiliki andil yang banyak sekali dalam mazhab dan memiliki
pendalaman dalam segala ilmu.” Di antara karya beliau adalah; al-
Hâwi dalam bidang fiqih, Adab ad-Dunyâ wa ad-Dîn, dan al-Ahkâm
ash-Shulthâniyyah serta lain-lainnya.
408. Ucapan di atas sebenarnya ucapan Umar ra.. Dalam riwayat yang lain
disebutkan bahwa itu adalah ucapan Ali Krw. Al-Mulla Ali al-Qariy
berkata, “Ini yang paling banyak diketahui.” Kitab Kasyfu al-Khafâ` (2:
412).
409. Kami tidak mendapati dalil tentang hadits ini dalam kitab-kitab yang
kami miliki.
410. Kami tidak mendapati dalil tentang hadits ini dalam kitab-kitab yang
kami miliki.
411. HR. Ibn Majah (46), disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud ra. dan
mengatakan hadits ini adalah marfû’. Tetapi Muslim meriwayatkan
dalam kitab shahihnya (2645) dari Ibn Mas’ud dan mengatakan hadits
ini mauqûf.
412. HR. Abu Daud (5130) dan Ahmad (5: 194). Disampaikan oleh Abu
ad-Dardâ‘ ra..
413. HR. ath-Thabrani dalam al-Awsath (2: 209). Disampaikan oleh Qabâts
bin Asyyam ra..
414. HR. Ahmad dalam kitab al-Musnad (5: 232). Disampaikan oleh Mu’adz
bin Jabal ra., dengan ucapan, “Berlindunglah kalian kepada Allah dari
…….”
415. HR. Abu Daud (1449) dan an-Nasai (2527). Disampaikan oleh
Abdullah bin Habsyi al-Khats’amiy ra..
416. HR. Ibn Hibban dengan ucapan seperti di atas dalam kitab al-Majrûhîn
(1: 155) termasuk riwayat yang palsu. Namun dalam al-Bukhari (6022)

334
dan Muslim (1008), disampaikan oleh Abu Musa al-Asy’ari ra. dengan
ucapan, “Menahan dirinya dari kejahatan, karena sesungguhnya hal itu
adalah sedekah.”
417. HR. Ibn ‘Uday dalam kitab al-Kamil (3: 282). Disampaikan oleh
Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Âsh ra..
418. HR. al-Baihaqi dalam kitab Syu’bu al-Iman (7: 190). Disampaikan oleh
Abu Hurairah ra. dengan ucapan, “Allah Swt. menurunkan pertolongan
sesuai dengan kadar kesukaran.”
419. HR. Abu Daud (3535) dan at-Turmudzi (1264). Disampaikan oleh
Abu Hurairah ra.. At-Turmudzi berkata, “Hadits ini adalah hasan
gharîb.”
420. HR. Abu Daud (4790) dan at-Turmudzi (1964). Disampaikan oleh
Abu Hurairah ra.. At-Turmudzi berkata, “Hadits ini adalah gharîb.”
421. HR. Muslim (2956). Disampaikan oleh Abu Hurairah ra. dengan
ucapan, “Dunia penjara orang beriman dan surga orang kafir.”
422. Hadits ini akan disebut lagi di halaman berikut secara utuh beserta
periwayatannya.
423. Kami tidak menemukan periwayatan hadits ini dari buku-buku rujukan
yang kami miliki.
424. HR. al-Baihaqi dalam kitab asy-Syu’ab (7: 355). Disampaikan oleh
Anas ra. tetapi tanpa kalimat, “Sungguh beruntung yang akhiratnya
menyibukkannya …..” (hingga akhir hadits). HR. al-Bazzâr seperti
yang disebutkan dalam riwayat hidupnya di kitab Siyar A’lâm an-
Nubalâ (13: 557). Al-Hâfizh adz-Dzahabiy berkata dalam kitab itu,
“Ini adalah hadits yang lemah sanadnya ….. dan tidak sah bagi teks
hadits ini sanad apapun.”
425. Judul yang sempurna, Jawâhir al-Bihâr Fi Fadhâil an-Nabiy al-Mukhtâr
Saw.. Terbagi menjadi empat juz dan buku ini telah dicetak.
426. Ibn al-Atsîr dalam kitab an-Nihâyah (2: 333) mengomentari cuaca
dingin yang tertulis dalam teks arabnya as-Sabarât, sebagai berikut,
“Kata tersebut bentuk jamak dari sabratun, huruf ba`-nya disukun,
yang memiliki makna cuaca yang dingin sekali.”
427. HR. al-Baihaqi dalam kitab asy-Syu’ab (5: 452). Disampaikan oleh Abu
hurairah ra.. HR. al-Bazzâr (80 dalam kitab Kasyf al-Astâr) disampaikan
oleh Anas ra.. HR. ath-Thabrani dalam kitab al-Ausath (6: 47)
disampaikan oleh Ibn Umar. Beliau berkata dalam kitab at-Targhîb wa
at-Tarhîb (1: 362), “Hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok sahabat.

335
Sedangkan sanadnya, walaupun sesuatu darinya tidak selamat dari
kritikan (ada sedikit cacat), tetapi ia secara keseluruhan tergolong hasan
insya Allah.”
428. Kami tidak menemukan periwayatan hadits ini dari buku-buku rujukan
yang kami miliki.
429. As-Sayyid asy-Syarîf al-‘Allamah ahli fiqih dan seorang sufi Abdullah
bin Ahmad Balfaqîh al-‘Alawiy al-Husainiy. Lahir di kota Tarim tahun
(1043 H) dan di sana pula beliau wafat pada tahun (1112 H). Beliau
termasuk sahabat dekat al-Imam al-Haddad. Beliau menimba ilmu dari
seluruh ulama ‘Alawiyyin dan di Hijaz beliau menimba ilmu dari al-
Qusyâsyiy serta yang sejajar dengan beliau. Mereka yang menimba ilmu
darinya adalah anak beliau al-Habib Abdurrahman bin Abdullah, al-
Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi dan selain mereka. Beliau memiliki
beberapa karya tulis, di antaranya; Waslathu as-Sâlikîn bi Washli al-
Bai‘ah wa at-Talqîn dalam bentuk tulisan tangan dan selain itu.
430. Ini adalah empat puluh hadits yang dikenal oleh para ahli hadits,
berkesinambungan sanadnya oleh orang-orang mulia, dan dia umumnya
merupakan hadits shahîh dan hasan. Tetapi di dalamnya ada sebagian
yang diingkari. Banyak sekali para ahli hadits yang memerhatikan dan
menjaga periwayatannya dalam kitab-kitab mereka. Seperti as-Sakhâwi
dalam al-Jawâhir al-Mukallalah, as-Suyûthi dalam Jiyâd al-Musalsalât,
Ibn ath-Thîb, an-Nakhliy, dan Ibn ‘Aqîlah, serta ulama-ulama di zaman
akhir seperti ‘Abdul Bâqî al-Ayyûbî al-Laknowi dalam al-Manâhil al-
Musalsalah, asy-Syaikh Umar Hamdân al-Mahrisiy, al-Fâdâniy dalam
sebagian besar kitabnya seperti Ithâf al-Ikhwân Bi Asânîd ‘Umar
Hamdân dan al-‘Ajalah Fi al-Ahâdîts al-Musalsalah serta lain-lainnya.
431. Sanad para junjungan kami al-‘Alawiyyah dalam hadits-hadits yang
mulia ini adalah musalsal sesuai dengan syarat yang ditentunkan oleh
ahli hadits. Telah diriwayatkan oleh al-Imam Muhammad bin Zain
bin Sumaith dari al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi, dan beliau
mendapatkannya dari al-Imam al-Haddad, dari al-Imam Muhammad
bin Alwi as-Saqqâf shâhib Makkah dengan sanad yang bersambung.
Sebagaimana disebut dalam Majma’ al-Bahrain dan Qurrah al-‘Ain.

336
3
Hikmah yang Diriwayatkan dari
Para Imam Ahl Bait as.

Di antara hikmah al-Imam Ali bin Abu Thalib ra. adalah ucapan
beliau, “Jagalah dariku lima hal, yang jika kau mengendarai
unta untuk mencarinya maka kau akan melepaskannya sebelum
mendapatkannya; Janganlah seorang hamba berharap kecuali
kepada Tuhannya, janganlah takut kecuali terhadap dosanya,
janganlah seorang yang bodoh malu untuk bertanya, janganlah
seorang yang berilmu malu—jika ditanya sesuatu yang dia
tidak mengetahui—untuk mengucapkan ‘Allahu a’lam’ (hanya
Allah yang mengetahui), dan kedudukan sabar dalam iman
sebagaimana kepala dalam jasad, tak ada iman bagi yang tak
memiliki kesabaran.”432 
Abu ‘Ubaid433  dalam kitab al-Amtsâl berkata, “Al-Imam Ali
ra. telah mengingkat sembilan kalimat yang memutus setiap ke­
inginan untuk menyusul salah satu darinya. Tiga tentang munajat,
tiga tentang ilmu, dan tiga tentang adab. Tiga kalimat tentang
munajat adalah; ‘Cukuplah bagiku kebesaran dengan Engkau
sebagai Tuhanku, dan cukuplah bagiku kebanggaan dengan aku
sebagai hamba-Mu. Bagiku engkau seperti yang kucintai, maka
berilah taufik kepadaku kepada apa yang Kau cintai.’ Lalu tiga
kalimat tentang ilmu adalah; ‘Manusia tersembunyi (kondisinya)
di bawah lisannya, mengucaplah maka kau dikenali, dan tak
akan binasa seseorang yang mengenali dirinya.’ Sedangkan tiga
kalimat tentang adab adalah; ‘Berlaku baiklah kepada siapapun,
maka kau akan menjadi pemimpinnya. Merasa cukuplah dari
siapapun, maka kau akan mulia di matanya. Dan butuhlah
kepada siapapun, maka kau akan menjadi tawanannya.’”
Termasuk di antara ucapan beliau ra., “Takwa adalah
meninggalkan secara terus-menerus kemaksiatan dan rasa bangga
terhadap amal taat. Sesungguhnya Allah memiliki cawan-cawan
di muka bumi, yaitu hati. Yang terbaik darinya adalah yang
terjernih, terkuat, dan terlembut. Terjernih dalam keyakinan,
terkuat dalam agama, dan terlembut terhadap orang yang
beriman. Orang yang teragung adalah yang diagungkan dengan
ilmunya, yang terbesar adalah yang bertakwa kepada Tuhannya,
dan yang termulia adalah yang memuliakan wajahnya dari
kehinaan api neraka.”
Beliau, semoga Allah memberi manfaat melaluinya, berkata,
“Maafkanlah, sesungguhnya Allah telah mengampuni orang-
orang yang bersalah. Bukankah telah terlewat dari mereka pahala
orang-orang yang berbuat kebaikan?”
Beliau ra. berkata, “Sesungguhnya dunia telah lewat, dan
sesungguhnya akhirat telah datang. Sesungguhnya setiap salah
satu dari keduanya memiliki anak-anak, maka jadilah kalian
anak-anak akhirat, dan jangan kalian menjadi anak-anak dunia.
Sesungguhnya hari ini adalah hari amal tanpa hisab dan esok
adalah hari hisab tanpa amal.”434 
Ketika Ibn Muljam menebas beliau, al-Hasan menemuinya
sambil menangis, maka beliau berkata kepadanya, “Wahai
anakku, jagalah dari empat hal dan empat hal. Sesungguhnya
sesuatu yang terkaya adalah akal, yang terfakir adalah kebodohan,
yang terkosong adalah bangga diri, yang termulia adalah akhlak
baik. Dan empat yang lain; janganlah berteman dengan orang

338
yang bodoh, karena ia ingin memberikan manfaat kepadamu,
tetapi justru membahayakanmu. Janganlah kau mempercayai
orang yang dusta, sesungguhnya ia mendekatkan sesuatu yang
jauh atasmu, dan menjauhkan sesuatu yang dekat. Janganlah
kau mempercayai orang bakhil, karena ia akan menghinakanmu
pada sesuatu yang paling engkau butuhkan. Janganlah engkau
mempercayai orang fajir, karena ia akan menjualmu dengan
sesuatu yang remeh.
Beliau pernah ditanya tentang qadar (ketentuan Allah),
maka beliau menjawab, “Demi Allah, qadar adalah jalan gelap
yang kau tak dapat menempuhnya, laut dalam yang kau arungi.
Rahasia Allah tersembunyi darimu, maka janganlah kau mencari-
carinya. Wahai penanya, sesungguhnya Allah menciptakanmu
sesuai dengan kehendak-Nya atau kehendakmu?” Penanya itu
menjawab, “Sesuai dengan kehendak-Nya.” Maka beliau berkata,
“Maka Dia menggunakanmu sesuai dengan kehendak-Nya.”

***

Diriwayatkan dari al-Imam al-Hasan bin Ali435 —cucu Rasulullah


Saw.—beliau ra. berkata, “Jadilah di dunia dengan badanmu dan
di akhirat dengan hatimu.”
Beliau berkata kepada anak dan keponakannya, “Tuntutlah
ilmu, jika kalian tak mampu menghafalnya, maka tulislah dan
letakkanlah di rumah kalian.”

***

Di riwayatkan dari adik beliau al-Imam al-Husain bin Ali436 


ra., beliau berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya hajat manusia
kepada kalian adalah termasuk nikmat Allah Swt. bagi kalian.
Jadi janganlah kalian jemu terhadap nikmat, maka akan
berubah menjadi bencana. Ketahuilah sesungguhnya amal baik

339
menghasilkan pujian dan mendatangkan pahala. Jika kalian
melihat amal baik seseorang, maka pasti kalian akan melihatnya
orang yang baik, indah, menyenangkan setiap pemandangnya,
dan melampaui alam semesta. Sedangkan jika kalian melihat
kejelekan seseorang, maka kalian akan melihatnya sebagai orang
yang buruk lagi jelek, hati akan berpaling darinya, dan mata akan
terpejam darinya. Barangsiapa dermawan dia akan memimpin,
dan barangsiapa kikir dia akan hina. Barangsiapa menyegerakan
kebaikan bagi saudaranya, maka kelak dia akan mendapatinya
(balasannya) jika datang kepadanya.” Dikutip dari kita ‘Iqd al-
Yawâqît al-Jauhariyyah, karya al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi
semoga Allah memberi manfaat melaluinya.
Al-Husain ra. menulis di pedangnya; Rezeki telah dibagi,
maka orang yang tamak akan sedih, orang bakhil akan tercela
dan orang dengki akan gelisah.

***

Diriwayatkan dari al-Imam Muhammad al-Hanafiyyah, putra


Ali bin Abu Thalib437  ra., yang berkata, “Bukanlah orang yang
memiliki hikmah, seseorang yang tidak bergaul secara baik
meskipun kepada seseorang yang sama sekali tidak bergaul
kepadanya, hingga Allah menjadikan darinya kemudahan dan
jalan keluar.”
Dikatakan kepada beliau, “Sesungguhnya ayahmu
melindungi al-Hasan dan al-Husain serta menyodorkanmu
kepada jihad (perang).” Maka beliau ra. menjawab, “Al-Hasan
dan al-Husain berkedudukan seperti kedua matanya (al-Imam
Ali), sedangkan aku berkedudukan seperti tangannya. Maka
beliau menjaga kedua matanya dengan tangannya.”
Al-Hajjâj438  menulis surat kepadanya untuk menakut-
nakuti dan mengancamnya. Maka beliau membalas surat itu:
Sesungguhnya Allah Swt. memiliki tiga ratus enam puluh

340
pandangan setiap malam untuk makhluk-Nya. Dan aku berharap
agar Allah memandangku dengan pandangan yang mencegahku
darimu.

***

Diriwayatkan dari al-Imam Ali Zain al-‘Abidin bin al-Husain ra.,


beliau berkata, “Janganlah kalian bersahabat dengan lima orang
dan janganlah kalian melakukan perjalanan bersama mereka.
Janganlah kalian bersahabat dengan orang fasik, karena dia akan
menjual kalian dengan sesuap nasi atau yang lebih rendah dari
itu.” Seseorang bertanya kepadanya, “Apakah yang lebih rendah
dari itu?” Beliau menjawab, “Menginginkan sesuap nasi itu tetapi
tak dapat mencapainya (tetap menjualnya meskipun untuk sesuap
nasi yang tak tercapai). Lalu orang yang kikir, karena dia akan
memutuskan sesuatu yang paling engkau butuhkan. Jangan pula
dengan pendusta, karena dia seperti fatamorgana, menjauhkan
darimu sesuatu yang dekat dan mendekatkan kepadamu
sesuatu yang jauh. Jangan pula dengan orang bodoh, karena
ketika dia bermaksud memberi manfaat kepadamu, justru akan
membahayakanmu. Jangan pula dengan pemutus silaturrahmi,
karena aku mendapatinya terlaknat dalam kitab Allah pada tiga
tempat.”
Beliau ra. berkata, “Tersesatlah mereka yang tidak memiliki
orang bijaksana yang memberi petunjuk, dan rendahlah mereka
yang tak ada orang bodoh yang menentangnya.” Beliau ra. berkata,
“Empat hal yang dicela (oleh manusia), “Perempuan walaupun
Maryam, hutang walaupun sedirham, keterasingan walaupun
semalam, dan pertanyaan walaupun ‘manakah jalannya?’”
Beliau ra. berkata, “Aku heran kepada orang-orang yang
sombong lagi bangga diri, yang dulunya hanyalah nutfah yang
menjijikkan dan kelak akan menjadi bangkai yang menjijikkan.
Aku sangat heran kepada seseorang yang ragu kepada Allah

341
Swt. sedang dia melihat ciptaan dan tanda-tanda kebesaran-
Nya. Aku heran kepada seseorang yang tak mempercayai hari
Kebangkitan sedang dia melihat kebangkitan yang pertama. Aku
heran kepada seseorang yang beramal untuk negeri yang fana dan
meninggalkan negeri yang kekal. Aku heran kepada seseorang yang
menjaga hal-hal yang membahayakan dari makanan, namun tidak
menjaga hal-hal yang menghinakannya dari dosa.”
Beliau ra. berkata, “Sesungguhnya Allah Swt.
menyembunyikan tiga hal dalam tiga hal; menyembunyikan
ridha-Nya dalam ketaatan-Nya, maka janganlah meremehkan
amal taat kepada-Nya sedikit pun, boleh jadi di dalamnya
terdapat keridhaan-Nya. Menyembunyikan murka-Nya dalam
kemaksiatan kepada-Nya, maka janganlah meremehkan sesuatu
dari kemaksiatan kepada-Nya, boleh jadi di dalamnya terdapat
murka-Nya. Menyembunyikan wali-Nya di dalam makhluk-Nya,
maka janganlah engkau meremehkan seseorang dari hamba-Nya,
boleh jadi dia adalah wali Allah.”
Beliau ra. berkata, semoga Allah memberi manfaat melaluinya,
“Sesungguhnya sekelompok kaum menyembah Allah dengan
rasa takut, maka itulah ibadah hamba sahaya. Sekelompok lain
menyembah-Nya karena menginginkan sesuatu, maka itulah
ibadah pedagang. Dan sekelompok kaum menyembah Allah
karena rasa syukur, maka itulah ibadah orang-orang merdeka.”
Diriwayatkan dari al-Imam Muhammad al-Bâqir bin Ali Zainal
‘Abidin ra.439 , beliau ra. berkata, “Tidaklah sesuatu dari sifat sombong
masuk ke dalam hati seseorang kecuali berkuranglah akalnya sesuai
dengan sedikit atau banyaknya kesombongan yang masuk ke dalamnya.
Sejelek-jelek saudara adalah seseorang yang memerhatikanmu di saat
kau kaya dan memutuskan hubungan denganmu di saat kau fakir.
Kenalilah rasa sayang di dalam hati saudaramu dengan mengenali rasa
sayangmu kepadanya di dalam hatimu. Barangsiapa yang ke dalam
hatinya masuk kejernihan dan kemurnian agama Allah, maka hal itu
akan menyibukkannya dari selainnya.”

342
Beliau ra. berkata, “Apakah dunia? Dan apakah jadinya
dunia? Bukankah ia hanyalah tunggangan yang kau tunggangi,
atau pakaian yang kau kenakan, atau wanita yang kau kumpuli,
atau makanan yang kau makan?”
Beliau ra. berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, hati-
hatilah engkau dari sifat malas dan gusar, karena sesungguhnya
keduanya adalah kunci segala kejelekan. Sesungguhnya jika kau
malas maka kau tidak akan mendirikan kebenaran, dan jika kau
gusar, maka kau tidak akan sabar di atas kebenaran.”
Termasuk ucapan beliau ra., “Dulu aku memiliki seorang
sahabat, dan dia sangatlah agung di mataku. Dan yang
menyebabkannya agung di mataku adalah kecilnya dunia di
matanya.” Di antara ucapan beliau ra., “Tidak ada ibadah yang
paling utama daripada menjaga kesucian perut dan kemaluan.”
Dan di antara ucapan beliau ra., “Tidak ada sesuatu di dunia
ini yang lebih menolong daripada berbuat baik kepada saudara.”
Dan beliau, semoga Allah memberi manfaat melaluinya, berkata,
“Halilintar menyambar orang beriman atau selainnya, tetapi
tidak menyambar orang yang berzikir menyebut nama Allah
Swt.”

***

Diriwayatkan dari al-Imam Ja’far ash-Shâdiq ra. bin Muhammad


al-Bâqir ra., beliau berkata, “Jika Allah memberikan nikmat
kepadamu dan kau menginginkan kelanggengannya, maka per­
banyak­lah syukur. Sesungguhnya Allah berfirman di dalam kitab-
Nya,

‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan


menambah (nikmat) kepadamu.’
(QS. Ibrahim: 7)

343
Dan jika rezeki itu lambat datangnya, maka perbanyaklah
istighfar. Sesungguhnya Allah berfirman dalam kitab-Nya,

‘Mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu, se­


sung­guhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia
akan mengirimkan hujan kepadamu dengan le­bat, dan
membanyakkan harta dan anak-anakmu (di dunia), dan
mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan
(pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai (di akhirat).’”
(QS. Nuh: 10-12)

Di antara ucapan beliau ra., “Barangsiapa menghunuskan


pedang pemberontakan maka dia akan terbunuh dengannya.
Barangsiapa yang menggali untuk saudaranya (mencelakainya),
maka dia yang akan jatuh ke dalamnya. Barangsiapa berkumpul
bersama orang bodoh, maka dia akan dihinakan. Barangsiapa
bergaul dengan ulama maka dia akan dimuliakan.”
Di antara ucapan beliau ra., “Tidak ada tambahan yang
lebih utama daripada takwa, tidak ada sesuatu yang lebih baik
daripada diam, tidak ada musuh yang lebih berbahaya daripada
kebodohan dan tidak ada penyakit yang lebih parah daripada
dusta.”
Beliau berkata, “Ayahku mengajarkan tiga adab kepadaku.
Beliau mengajarkan adab kepadaku; barangsiapa yang berteman
dengan orang yang jelek maka dia tidak akan selamat. Barangsiapa
yang masuk ke tempat jelek maka dia akan dituduh. Dan
barangsiapa yang tidak dapat menguasai lisannya maka dia akan
menyesal.”
Beliau ra. berkata, “Jika sampai berita kepadamu, tentang
saudaramu, sesuatu yang tidak kau sukai maka carikanlah alasan
dari satu hingga tujuh puluh alasan. Jika kau tidak mendapatinya
maka katakanlah, ‘Mungkin dia memiliki alasan yang aku tak
memahaminya.’”

344
Beliau ra. berkata, “Tidak akan sempurna suatu kebaikan
kecuali dengan tiga hal; engkau mengecilkannya, menutupi,
dan menyegerakannya. Semua itu jika kau mengecilkannya
maka dia akan menjadi agung. Jika kau menutupinya, maka kau
menyempurnakannya. Dan jika kau menyegerakannya maka kau
memudahkannya.”
Termasuk di antara ucapan beliau ra., “Empat hal yang tidak
pantas bagi seorang yang mulia jika tidak menyukainya; bangkit
dari tempat duduk demi ayahnya, melayani tamu, mendirikan hak-
hak tunggangannya, dan melayani seseorang yang belajar darinya.”
Di antara ucapan beliau ra., “Jika kau berdosa, maka
beristighfarlah kepada Allah. Karena sesungguhnya ia adalah
kesalahan-kesalahan yang membebani tengkuk seseorang
sebelum mereka diciptakan. Sesungguhnya kehancuran di atas
kehancuran adalah terus-menerus berbuat dosa.”
Beliau ra. berkata, “Barangsiapa menginginkan kemuliaan
tanpa pergaulan, dan kewibawaan tanpa kerajaan, hendaknya dia
keluar dari kerendahan maksiat menuju kemuliaan ketaatan.”
Beliau berkata, “Janganlah kalian makan dari tangan yang lapar
kemudian kenyang (karena menjadi bakhil-penerj.).”

Catatan Akhir
432. HR. Abu Nu’aim dalam Hulyah al-Auliyâ (1: 76). Disampaikan oleh
al-Imam Ali.
433. Al-Imam, al-Hâfizh, al-Mujtahid, yang memiliki keahlian dalam
banyak hal, Abu ‘Ubaid al-Qâsim bin Sullâm (157-224 H). Beliau
adalah penulis beberapa kitab yang menggemparkan seperti kitab al-
Amwâl, al-Gharîb, Fadhâil Al-Qur’an. Dan dalam catatan kaki pada
kitab Siyar an-Nubalâ (10: 494) terdapat defenisi dari beliau pada bab
al-Amtsâl yang dikutip di kitab ini.

345
434. Dikutip oleh Abu Nu’aim dalam Hulyah al-Auliyâ (1: 76).
435. Junjungan kami al-Imam as-Sayyid, buah mata hati Rasulullah Saw.
dan cucunya, serta yang paling menyerupai wajah beliau Saw., dan
pemimpin pemuda di surga, Abu Muhammad al-Qurasiy, al-Hâsyimiy,
al-Madaniy, asy-Syahîd ra. (3-49 H).
436. Junjungan kami al-Imam, asy-Syarîf, al-Kâmil, buah mata hati
Rasulullah Saw. dan kecintaannya di dunia serta yang menyerupai
Rasulullah Saw. dari dada hingga telapak kakinya, Abu Abdillah asy-
Syahîd as. (4-61 H).
437. Al-Imam as-Sayyid Abu al-Qâsim Muhammad bin Ali bin Abu Thalib
(21-81 H). Beliau saudara al-Hasan dan al-Husain as., tetapi bukan
dari ibu mereka yang bernam Fâthimah az-Zahra. Ibu beliau adalah
Khaulah binti Ja’far al-Hanafiyyah. Beliau dinisbatkan kepadanya
(ibunya) untuk membedakan dari dua saudaranya itu. Beliau adalah
orang yang memiliki ilmu yang luas, sifat wara’, berkulit hitam, dan
termasuk salah satu pahlawan yang gigih dalam perjuangan Islam ra.
438. Al-Hajjâj bin Yûsuf ats-Tsaqafiy (40-95 H). Ia adalah pemimpin Bani
Umayyah di Irak dan Hijaz selama dua puluh tahun. Al-Hâfizh adz-
Dzahabiy dalam Siyar an-Nubalâ‘ (4: 343) berkata, “Ia adalah orang yang
zalim, pengekang, pembenci Ahlul Bait, jahat, dan gemar membunuh
….” Hingga beliau berkata, “Kami mencacinya dan tidak menyukainya,
bahkan murka kepadanya karena Allah, dan semua itu adalah berasal
dari tali iman yang kuat.”
439. As-Sayyid al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin al-Husain bin
Ali bin Abu Thalib al-Qurasyiy al-Hâsyimiy (56-114 H). beliau dikenal
dengan al-Bâqir karena beliau membela ilmu, maksudnya membelahnya
sehingga mengetahui sumber dan hal-hal yang tersembunyi di
dalamnya. Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata, “Beliau merupakan
seseorang yang menggabungkan antara ilmu dan amal, kemuliaaan dan
keagungan, keteguhan dan kesungguhan, serta merupakan orang yang
pantas memegang kekhilafahan.” Beliau juga berkata, “Dulu Abu Ja’far
merupakan seorang imam, mujtahid yang selalu membaca kitab Allah
dan memiliki kedudukan yang tinggi.”

346
4
Kata-kata Hikmah Imam Syafi’i ra.

Beliau ra.440  berkata,


“Manusia dalam keadaan lupa dengan surat ini, Demi
masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian.
(QS. al-Ashr; 1-2)”

Termasuk di antara ucapan beliau ra.;


l Ilmu bukanlah yang dihafal, tetapi ilmu adalah yang
bermanfaat.
l Kefakiran para ulama adalah kefakiran yang dipilih, dan
kefakiran orang bodoh adalah kefakiran yang mendesak.
l Berdebat dalam ilmu mengeraskan hati dan menyebabkan
dengki.
l Barangsiapa yang tak menjadi mulia dengan sifat
takwa maka tidak ada kemuliaan baginya. Barangsiapa
menyaksikan kelemahan pada dirinya maka dia
mencapai keistiqamahan. Barangsiapa yang dikuasai
oleh keinginan kuat terhadap dunia maka dia pasti
menyembah ahli dunia. Barangsiapa rela dengan
ketamakan hilanglah kerendahhatian dari dirinya.
l Kebaikan dunia dan akhirat dalam lima sifat; kaya diri,
mencegah gangguan, mencari harta halal, pakaian takwa,
dan berpegang teguh kepada Allah Swt. di setiap keadaan.

Beliau ra. berkata kepada Rabi’ bin Sulaiman, “Wahai Rabi’,


janganlah kau bebicara hal-hal yang tak bermanfaat bagimu.
Sesungguhnya jika kau mengucapkan satu kata, maka kata itu
akan menguasaimu dan kau tak menguasainya.”
Beliau ra. berkata;
l Seseorang tidak akan sempurna di dunia ini kecuali
dengan empat hal; taat beragama, amanat, menjaga
kehormatan, dan kesungguhan.
l Barangsiapa berbuat baik kepadamu, maka dia
mempercayaimu. Barangsiapa menjauhimu maka dia
berpisah darimu.
l Barangsiapa menegur saudaranya secara tersembunyi,
maka dia sedang menasihati dan menghiasinya.
Barangsiapa menegurnya di depan khalayak, maka dia
sedang mempermalukan dan mencelanya.
l Manusia yang tertinggi kedudukannya adalah yang
tidak memandang kedudukannya. Dan yang terbanyak
keutamaannya adalah yang tidak memandang
keutamaannya.
l Menutup diri dari manusia membawa permusuhan dan
membuka lebar-lebar bagi mereka menarik teman yang
jelek, maka jadilah engkau di antara menutup diri dan
membuka lebar-lebar.
l Barangsiapa memujimu berlebih-lebihan, dia akan
memfitnahmu. Barangsiapa yang jika kau cukupi, dia
berbicara tentang dirimu sesuatu yang tak ada di dirimu,
maka jika kau menjadikannya marah, dia akan berbicara
tentang dirimu sesuatu yang tak ada dalam dirimu.

348
l Rendah hati adalah perilaku orang-orang mulia.
Kesombongan adalah cacat orang-orang tercela.
l Jika terlalu banyak kebutuhan, maka mulailah dari yang
terpenting.
l Barangsiapa di dalam dirinya ada tiga hal, maka telah
sempurna imannya; barangsiapa memerintahkan kepada
kebaikan dan dia sendiri mengerjakannya, mencegah
kemungkaran dan dia sendiri meninggalkannya, serta
menjaga aturan-aturan Allah Swt..
l Barangsiapa mendengar dengan telinganya maka ia
menjadi penyampai berita. Barangsiapa mendengar
dengan hatinya, maka dia menjadi orang yang sadar.
Barangsiapa menasihati dengan perbuatannya, maka dia
adalah pemberi petunjuk.

Di antara hikmah beliau ra. yang lain;


l Manusia yang paling sedikit kenyamanannya di dunia
adalah orang yang iri dan dengki. Manusia yang paling
zalim kepada dirinya adalah yang berendah hati kepada
seseorang yang tidak menghargainya, dan mengharapkan
kasih sayang seseorang yang tidak memberikan manfaat
kepadanya.
l Jika seorang laki-laki menikah, maka dia telah
mengendarai kapal. Jika dia telah memiliki seorang
anak, maka telah terpecah kapal itu.
Beliau ra. berkata;
l Jika dilimpahkan kepada saudaramu kekuasaan, maka
relalah kamu darinya dengan sepersepuluh rasa sayang
telah engkau miliki sebelumnya.
l Barangsiapa dilimpahkan kepadanya jabatan, tetapi dia
tidak menjadi fakir, maka dia adalah pencuri.
l Barangsiapa tak menjaga dirinya, maka tak akan
bermanfaat baginya ilmunya.

349
l Barangsiapa yang ingin dibukakan bagi dirinya cahaya
hati, maka dia harus menyendiri, sedikit makan, tidak
bergaul dengan orang-orang bodoh, serta membenci
orang-orang yang mengejar dunia dengan ilmunya.

Beliau ra. berkata, “Aku berteman dengan para sufi, dan aku
mendapat manfaat dari mereka dua kalimat. Waktu ibarat pedang,
jika kau tak memotongnya, maka ialah yang memotongmu.
Sebaik-baik penjagaan adalah ketika kau tidak mendapati (yang
kau inginkan).”

Catatan Akhir
440. Dapat dilihat dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i karya al-Imam al-Baihaqi
(2: 185-219), Tahdzib al-Asma‘ Wa al-Lughat karya al-Imam an-Nawawi
(1: 53-57) dan Siyar A’lam an-Nubala karya al-Hâfizh adz-Dzahabiy
(10: 40 dan setelah itu), serta lain-lainnya.

350
5
Sekilas dari Hikmah
Para Salaf Saleh

Al-Khatîb meriwayatkan dalam kitab al-Muttafiq Wa al-Muftariq,


bahwa Sa’îd bin Musayyib441  berkata, “Umar bin al-Khattab ra.
mengucapkan delapan belas kalimat, yang semuanya merupakan
hikmah, yaitu;
1. Kau tidak akan menghukum orang yang bermaksiat
kepada Allah di dalam dirimu, seperti engkau beramal
taat kepada Allah di dalam dirinya.442 
2. Letakkanlah perkara saudaramu dalam keadaan yang
terbaik hingga datang kepadamu darinya hal-hal yang
mengalahkanmu (dugaanmu).
3. Janganlah kau menduga sebuah kata yang keluar dari
seorang Islam itu buruk, padahal kau mendapati
kemungkinan kebaikan di dalamnya.
4. Barangsiapa yang menyodorkan dirinya ke dalam
tuduhan, maka jangan menyesali seseorang yang
berprasangka buruk kepadanya.
5. Barangsiapa menyimpan rahasia dirinya, maka kebaikan
ada di tangannya.
6. Carilah teman yang jujur, maka kau akan hidup dalam
naungannya. Karena mereka adalah penghias di waktu
lapang dan penolong dalam bencana.
7. Jadilah kamu orang yang jujur, walaupun itu mem­
bunuhmu.
8. Janganlah kau menyodorkan diri ke dalam hal-hal yang
tak bermanfaat.
9. Janganlah kau bertanya tentang sesuatu yang belum
terjadi, karena sesuatu yang sedang terjadi adalah sebuah
kesibukan dari sesuatu yang belum terjadi.
10. Janganlah kau meminta kebutuhanmu kepada seseorang
yang tidak menginginkanmu mencapainya.
11. Janganlah kau meremehkan sumpah palsu (dusta)
di dalamnya (dalam hajatmu), niscaya Allah akan
membinasakanmu.
12. Janganlah berteman dengan para pendosa, niscaya kau
akan belajar dari perbuatan dosa mereka (terpengaruh).
13. Jauhilah musuhmu.
14. Berhati-hatilah terhadap temanmu kecuali yang
beramanat, dan tidak ada yang beramanat kecuali yang
takut kepada Allah.
15. Takutlah kau ketika berada di pekuburan.
16. Rendahkanlah dirimu ketika beramal taat.
17. Mintalah penjagaan (dari maksiat) ketika kau bermaksiat.
18. Bermusyawarahlah dalam urusanmu kepada orang-
orang yang takut kepada Allah. Karena sesungguhnya
Allah Swt. berfirman,

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-


hamba-Nya, hanyalah ulama.”
(QS. Fathir [35]: 28)

352
Di antaranya ucapan Abdullah bin Mas’ud ra., “Rendah hati
mengangkat orang yang hina dan kesombongan merendahkan
orang yang mulia. Barangsiapa mencari kepemimpinan maka
dia (kepemimpinan itu) akan menjadikannya gagal (dalam
mencapainya). Barangsiapa lari darinya, maka dia akan
mengikutinya.”
Beliau berkata, “Jangan bahagia dengan banyak keluarga,
karena itu adalah ulat harta (menggerogoti) dan menjadi sebab
terbukanya kekurangan laki-laki.”
Di antaranya ucapan ‘Ammâr bin Yâsir ra., “Tiga hal
barangsiapa menghimpunnya maka dia telah menghimpun
iman; melepaskan hak diri (untuk kepentingan orang lain),
mengucapkan salam untuk orang berilmu, dan bersedekah dalam
kondisi butuh.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Di antaranya ucapan Abu Umamah ra., “Barangsiapa tidak
menjadikanmu mencapai kebaikan di masa hidupnya, maka
janganlah kedua matamu menangisinya ketika dia wafat.”
Beliau berkata, “Jika seorang penggembala rela atas perbuatan
serigala, maka seekor anjing tak akan menggonggong orang yang
asing baginya.”
Beliau berkata, “Perkenalan menghancurkan tuduhan, dan
seorang yang bernasab mulia masih terus diuji dengan kemuliaan.”
Di antara ucapan mereka yang mengandung hikmah adalah
perkataan Hâtim al-Asham443  rhm., “Janganlah kau melihat siapa
yang berbicara, tetapi lihat apa yang diucapkan. Dan ambillah hikmah
di mana kau mendapatkannya, karena sesungguhnya hal itu adalah
barang hilang milik orang yang beriman. Jika kau mendapatkannya
maka ikatlah, lalu carilah barang hilang yang lain.”
Di antaranya ucapan al-Imam Abu Hanîfah ra., “Barangsiapa
yang rela dengan rendahnya kadarnya (rezekinya), maka Allah
akan mengangkatnya melebihi cita-citanya.”
Beliau berkata, “Carilah hikmah, sesungguhnya hal itu
mendudukkan orang-orang miskin pada tempat duduk para raja.”

353
Seseorang berkata kepada Ahnaf bin Qais444  rhm.,
“Sesungguhnya aku melihatmu, wahai Ahnaf, adalah seorang
yang buta. Lalu dengan apakah kaummu memuliakanmu?”
Maka beliau menjawab, “Karena aku tak pernah sibuk kecuali
dengan sesuatu yang dapat membawa manfaat bagi diriku saja,
seperti kau sibuk dengan sesuatu yang tidak membawa manfaat
bagi dirimu.”
Yahya bin Mu‘âdz rhm. berkata, “Jika pecinta dunia mencaci
atau memujimu, maka berpaling dari kepalsuan-kepalsuan itu.
Semua itu karena mereka adalah orang yang buta mata hatinya.”
Beliau rhm. juga berkata, “Barangsiapa menutupi dosamu
dan tidak membeberkan kesalahanmu, maka dia adalah yang
terutama bagimu daripada seluruh makhluk. Sesungguhnya
engkau berbuat seribu dosa antara dirimu dengan Allah, maka Dia
menutupinya. Sesungguhnya jika para makhluk dapat melihat
satu kesalahan darimu, niscaya dia akan membeberkannya di
antara para hamba.”
Di antara ucapan beliau, “Jika seseorang yang dekat
memusuhi, maka hakikatnya dia adalah jauh. Dan jika seseorang
yang jauh meyayangi, maka hakikatnya dia adalah dekat.”
Di antaranya ucapan Abu Muhammad ar-Radzâmâriy445 
rhm., “Jika kau mengumpulkan harta, maka kau adalah seorang
wakil. Jika kau membagikannya, maka kau adalah seorang
utusan. Seorang wakil tidak boleh berkhianat dan seorang utusan
tidak boleh kikir.”
Di antaranya ucapan Abu Mu‘awiyah al-Aswad446  rhm.,
“Barangsiapa mencari dari Allah kebaikan yang melimpah,
hendaknya tidak tidur malam dan tidak banyak bicara.”
Di antara ucapannya, “Barangsiapa mencari keutamaan dari
orang yang keji, maka janganlah menyesal jika dia dihinakan.”
Di antara ucapan al-Fudhail bin ‘Iyâdh rhm., “Barangsiapa
banyak menegur, maka akan sedikit temannya. Barangsiapa
memberi seseorang yang keji, maka dia telah membantunya

354
dalam kekejian. Barangsiapa mengajari orang pandir, maka
dia telah menghilangkan umurnya tanpa manfaat. Barangsiapa
berbuat kebaikan bersamaan dengan kekafiran, maka dia telah
menghilangkan kenikmatan.”
Di antaranya ucapan Bisyr al-Hâfiy447  rhm., “Jika ibadah
sunnah merusak ibadah fardhu, maka tinggalkanlah ibadah
sunnah.”
Di antara ucapan beliau, “Barangsiapa tidak mengakui
keindahan sesuatu yang indah, maka dia tidak mengakui
keburukan sesuatu yang buruk.”
Di antara ucapan beliau, “Tidaklah bersama perceraian itu
terdapat persatuan.”
Di antaranya ucapan al-Imam al-Hasan al-Bashri rhm.,
“Pokok kejelekan ada tiga dan cabangnya ada enam. Pokoknya;
Iri, tamak dan cinta dunia. Sedangkan cabangnya; cinta
kepemimpinan, cinta kebanggaan, cinta pujian, cinta kenyang,
cinta tidur, dan cinta berleha-leha.”
Di antara ucapan beliau, “Barangsiapa mencintai dunia,
hilanglah rasa takut terhadap akhirat dari hatinya. Tidaklah
seorang hamba membuka untuk dirinya pintu dunia, kecuali
tertutup baginya sepuluh pintu dari perbuatan untuk akhirat.
Dan seorang yang beramal tanpa ilmu seperti pejalan tanpa jalan.
Apa yang merusaknya akan lebih banyak daripada perbaikannya.
Terus meneruslah engkau berbuat kemuliaan terhadap saudaramu
hingga kau membutuhkan apa yang ada di tangan mereka.”
Di antara ucapan beliau, “Kasihan anak Adam. Dia rela
dengan negeri yang halalnya adalah hisab dan haramnya adalah
azab. Hartanya akan berkurang dan perbuatannya tidak akan
berkurang.” Dikutip dalam kitab ‘Iqdu al-Yawâqît.
Di antaranya ucapan beliau, “Kedahsyatan kematian dunia,
tidak meninggalkan rasa gembira bagi orang-orang yang berakal.”
Di antaranya ucapan beliau, “Semoga Allah merahmati
seseorang yang mengenakan pakaian usang, memakan serpihan

355
roti, tidur di tanah, menangisi kesalahannya, dan terus menerus
dalam ibadah.”
Di antaranya ucapan beliau, “Dunia ini dibangun di atas
pondasi penyakit. Anggaplah kau sehat dan sembuh dari penyakit,
apakah kau mampu menyelamatkan dirimu dari kematian?”
Dikutip oleh al-Habib Abdullah al-Haddad dalam kitab Risalah
al-Mudzakarah.
Di antara ucapan al-Hasan al-Bashri juga adalah, “Barangsiapa
yang dosanya terletak pada syahwatnya, menurutku, masih ada
harapan dia dapat bertobat. Barangsiapa dosanya terletak pada
kesombongannya, maka tak diharapkan dia akan bertobat. Dalil
dari semua itu adalah Adam dan iblis.”
Ahnaf bin Qais berkata, “Ahli hikmah memilih dari seluruh
ucapan hikmah empat ribu kalimat. Kemudian dari yang terpilih itu,
mereka memilih empat ratus kalimat. Kemudian mereka memilih
darinya empat puluh kalimat. Kemudian mereka memilih darinya
empat kalimat. Yang pertama; Janganlah percaya dengan wanita.
 
      
      
Kedua; janganlah kau bebani pencernaanmu dengan apa yang dia
tidak mampu. Ketiga; janganlah tertipu dengan harta walaupun
banyak. Keempat; cukuplah bagimu ilmu yang kau dapat mengambil 
manfaat
   Dari
darinya.”   
kitab
 ar-Rahmah
     fiath-Thib.
     
 

 Hikmah
 Cuplikan  
 
dan Sajak
  
 yang    Bangsa
Diucapkan  Arab

 
  
Diriwayatkan bahwa al-Imam asy-Sya’biy mengunjungi
    bin
 Abdulmalik  Marwan.
   448 
 Kemudian
   
 berkata,
Beliau 
“Dendangkanlah untukku kata-kata hikmah yang diucapkan dan 
disajakkan oleh Bangsa Arab. Maka dia mengutarakan ucapan 
Imra`i al-Qais449 ;

 
  
          
    
 

Dituang kepadanya, sesuatu yang tak pernah dituang kepada umat 
Sesungguhnya bencana pasti dituang kepada orang-orang yang celaka
        
 


356       


 
      
  
 

 
 
 
 


 
 

 
 

   

  


  



 
 


   

                       
    Dan  juga
ucapan

 Zuhair
   450 
 ;     


  
 

 
 
     
  


 




 



      berbuat
Barangsiapa  kebaikan,     ia tak akan
  
mengurangi 
Barangsiapa
  tidakberhati-hati
         

  iaakan
 
   
kehormatannya
    dari  
                cacian, maka    dicaci  
    Ucapan   an-Nâbighah     ;      
451 

           
         
 
                
   
Janganlah    kau mendahului     (cepat  menilai)  saudaramu,   jangan 
  


 
 
 
   
 
   
 
     
 
  
 
 
 kau caci karena

 
 
 
 
   
 
   
   
 
 
 
   
 
 
   
  
  
 Rambutnya     
    dimanakah     yang     
 

  yang acak-acakan,        seseorang    berbudi   baik?  
    452        

Ucapan ‘Adiy bin Zaid ;
           
 
                   
             

 
       
 
   
   
 
  
Janganlah kau bertanya tentang (diri) seseorang, tetapi  
        
tanyakanlah       
tentang sahabatnya     
   Karena
 orang
setiap 
  mengikuti
    jejak
  sahabatnya


   

453 

  
Ucapan Tharafah bin al-‘Abd ; 
 
 

 
   
      
  
         

Akan tampak kepadamu masa yang kau mengetahuinya 


Akan datang dengan berita yang tak akan dilebihkan (pasti)
 


 
  
 
 
 
Ucapan al-Huthay-ah454 ; 

 
         
Barangsiapa berbuat kebaikan, maka balasan baginya tidak akan 
hilang 
Tak akan hilang kebaikan di antara Allah dan manusia

357
Ucapan ini disebut oleh al-Yâfi’i dalam kitab Mir-âh al-Janân.

Catatan Akhir
441. Al-Imam al-‘Allamah Abu Muhammad Sa‘id bin al-Musayyib al-
Qurasyiy al-Makhzûmiy al-Madaniy (13-94 H). Beliau adalah seorang
pemimpin tabiin dan termasuk salah satu dari tujuh ahli fiqih terkemuka
di kota Madinah. Menggabungkan antara hadits, fiqih, zuhud, dan
wara’. Beliau hidup dengan berdagang minyak dan tidak menerima
pemberian. Beliau termasuk orang yang paling menjaga hukum-hukum
junjungan kami Umar bin al-Khattab ra. dan memutuskan hukum
dengannya, hingga disebut dengan perawi Umar.
442. Kau akan menghukum seseorang melebihi perbuatan baikmu
kepadanya-Penerj.
443. Seorang imam yang memiliki sifat zuhud, sebagai panutan, dekat
kepada Allah, Abu Abdurrahman Hâtim bin ‘Unwân bin Yûsuf al-
Balkhiy yang dikenal dengan sebutan al-‘Asham (wafat pada tahun 237
H). Beliau adalah seorang pemberi nasihat, dan lisannya mengeluarkan
kata-kata hikmah. beliau memiliki penjelasan yang agung mengenai
sifat zuhud, nasihat dan hikmah. Beliau disebut sebagai, Luqmân umat
ini.
444. Beliau adalah seorang imam besar, seorang tabiin yang berilmu dan
terhormat, Abu Bahr al-Ahnâf bin Qais at-Tamîmiy (3 sebelum
hijriyah-72 H). Seorang pemimpin kabilah Tamîm, dan yang memiliki
keagungan, kefasihan, keberanian dan sebagai pembuka. Kemuliaan
dan keagungannya sampai dijadikan permisalan di masa itu. Beliau
memeluk Islam di zaman Nabi Saw. dan berkunjung kepada Umar
ra. serta menyaksikan perangan shiffîn bersama Ali ra. Beliau wafat di
Kufah.
445. Kami belum mendapatkan biografi beliau.

358
446. Termasuk pembesar di kalangan para wali, bersahabat dengan Sufyân
ats-Tsauriy dan Ibrahim bin Adham serta selain mereka. Beliau
disebut sebagai wali abdal. Memancarkan banyak nasihat dan hikmah.
Dikatakan bahwa beliau mengalami kebutaan, akan tetapi jika hendak
membaca Al-Qur’an, beliau dapat melihatnya dengan izin Allah.
447. Seorang Pemimpin yang berilmu, memiliki sifat zuhud dan kedekatan
kepada Allah, serta sebagai panutan yang teguh, Abu Nashr Bisyr
bin al-Hârits yang masyhur dengan sebuatan al-Hâfiy (152-227 H).
Beliau adalah pemimpin dalam bidang wara’ dan ikhlas. Di antara
ucapan beliau, “Kau tak akan mendapati nikmatnya beribadah hingga
menjadikan pemisah antara dirimu dengan syahwat.”
448. Abu al-Walîd Abdulmalik bin Marwan bin al-Hakam al-Umawiy
al-Qurasyiy (26-86 H). Termasuk khalifah yang memiliki kebesaran,
kecerdikan, dan seorang ulama. Muawiyah menugaskannya di
Madinah sedangkan dia baru berusia 16 tahun. Ketika memimpin, dia
meluruskan segala perkara hingga tampaklah kekuatannya. Di masanya
kumpulan buku-buku berbahasa Parsi dan Romawi diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab, lalu huruf (arab) ditepatkan dengan menggunakan
titik dan harakat. Dia adalah orang yang pertama kali mencetak uang
dinar dalam Islam, dan pertama kali mencetak mata uang dalam dirham
dengan bahasa arab. Sedangkan Umar bin Khattab ra. adalah orang
yang pertama kali mencetak uang dirham. Dia wafat di Damaskus.
449. Imra‘u al-Qais bin Hujir bin al-Hârits al-Kindiy (sekitar 130-80 tahun
sebelum hijriyah). Ia adalah ahli syair arab yang masyhur secara mutlak
dan termasuk orang yang tergolong syairnya dalam al-Mu‘allaqât as-
Sab‘u (yaitu syair-syair jahiliyah yang dikenal jumlahnya mencapai
tujuh atau sepuluh) serta tergolong pemimpin ahli syair di zaman dulu.
Dia berasal dari Dammun di lembah Hadramaut. Lahir di kota Najed.
Beliau disebut dengan al-Malik adh-Dhalîl (yang menyimpang) karena
kacau balau permasalahannya di sepanjang hidupnya. Dalam kitab
sastra, cerita tentangnya dimasukkan.
450. Zuhair bin Abu Sulma al-Muzaniy (wafat 13 tahun sebelum Hijriyah)
berasal dari kabilah Mudhar. Dia adalah ahli syair yang memiliki
hikmah di masa jahiliyah. Di antara pemimpin ahli kesusastraan ada
yang lebih mengutamakannya daripada ahli syair arab seluruhnya.
Dia termasuk kelompok yang syairnya tergolong dalam al-Mu‘allaqât
as-Sab‘u.

359
451. An-Nâbighah adalah Abu Umâmah Ziyâd bin Mu‘âwiyah adz-
Dzibyâniy (wafat sekitar 18 tahun sebelum hijriyah). Penyair di zaman
jahiliyah, termasuk pada tingkatan pertama. Di masa itu dibuatkan
baginya kubah di pasar Ukazh, dan para ahli syair menujunya untuk
membacakan syairnya di situ. Al-A’sya, Hassân, dan al-Khansâ` termasuk
mereka yang pernah menyodorkan syairnya di situ. Dia memiliki umur
yang panjang dan termasuk orang yang mulia di masa jahiliyah. Dia
termasuk orang yang tergolong syairnya dalam al-Mu‘allaqât as-Sab’u.
452. ‘Adiy bin Zaid bin Hammâd bin Zaid al-’Ibâdiy at-Tamîmiy (wafat
sekitar 35 tahun sebelum hijriyah). Seorang penyair yang cerdik di
zaman jahiliyah. Dia seorang yang fasih, dan menguasai bahasa arab,
Parsi dan romawi dengan benar. Dialah orang yang pertama kali menulis
kumpulan tulisan Kisra dalam Bahasa Arab. Dia adalah penerjemah
antara Kisra dengan orang-orang arab. Ibn Qutaibah berkata, “Para
ulama arab tidak memandang syairnya sebagai dalil.”
453. Abu ‘Amr Tharfah bin al-’Abd bin Sufyân al-Bakriy al-Wâ`iliy (sekitar
86-60 sebelum hijriyah). Seorang penyair zaman jahiliyah termasuk
pada tingkatan pertama. Dia dibunuh di usia muda. Pada usia dua
puluh enam tahun. Dia termasuk orang yang tergolong syairnya dalam
al-Mu‘allaqât as-Sab’u. Termasuk orang yang pandai bersajak tanpa
melewati batas dalam ucapannya. Dari lisannya memancar hikmah
pada sebagian besar syairnya..
454. Al-Huthay-ah adalah Jarwal bin Aus bin Mâlik al-‘Abasiy (wafat pada
tahun 45 H). Dia seorang penyair yang mengalami zaman jahiliyah
dan islam. Dia adalah orang yang pandai bersajak dan kasar. Hampir-
hampir tidak ada orang yang selamat dari lisannya. Termasuk ibu, ayah
dan dirinya sendiri.

360
6
Beberapa Hikmah yang
Diriwayatkan dari Sekelompok Para
Sâdah Alawiyyin

Di antaranya adalah ucapan al-Habîb al-‘Arifbillâh al-Quthb


Umar bin Abdurrahman al-Attas ra., semoga Allah memberi
manfaat melaluinya. Beliau berkata;
l Perhatikanlah keadaan yang jika kematian
mendatangimu, kau menginginkan dalam keadaan itu,
lalu pertahankanlah. Kemudian lihatlah keadaan yang
jika kematian mendatangimu, kau tidak menginginkan
dalam keadaan itu, lalu jauhilah.
l Barangsiapa yang kau lihat di dalam dirinya terdapat
sifat yang elok—yakni sifat yang baik—maka
berprasangkalah dengannya seluruh agamanya.
l Barangsiapa mendoakan orang yang zalim, maka dia
akan selamat dari kejahatannya.
l Sesungguhnya sumber air tidak berkurang bagi orang-
orang yang hidup di zaman ini. Namun mereka datang
dengan membawa cawan-cawan mereka yang berlubang.
l Perbuatan taat disertai dengan makanan haram seperti
mengosongkan air (di suatu tempat) yang dihabiskan
oleh tumbuhan liar yang tak bermanfaat.
l Sebagian dari manusia ada yang datang dengan lentera,
minyak dan sumbunya, maka syaikhnya menyalakan
cahaya lentera itu baginya. Sedangkan saat ini mereka
datang tidak membawa apa-apa.
l Orang yang berakal ditimpa bahaya, dan tidak
membahayakan.
l Tidaklah kurang seseorang yang menegakkan (ibadah)
yang lahir, karena sesungguhnya Allah mengatur masalah
yang tersembunyi.
l Jika engkau hendak keluar ke suatu tempat, bawalah
kitabmu bersamamu, kecuali jika engkau berada di
tempat salah satu temanmu.
l Ketika mendengar sabda Saw., “Demi Dia yang tidak ada
sesembahan selain-Nya, sesungguhnya seseorang di antara
kalian, akan beramal dengan amal penduduk surga, …
(hingga akhir hadits).”455 , beliau ra. (al-Habîb Umar bin
Abdurrahman al-Attas), semoga Allah memberi manfaat
melaluinya, berkata, “Mereka yang beramal dengan
amal penduduk surga, umumnya akan masuk ke dalam
surga. Karena sesuatu yang lahir merupakan tanda-tanda
sesuatu yang batin. Jika terjadi masuk ke dalam neraka,
itu merupakan perkara yang jarang terjadi. Semua itu
seperti seseorang yang terjatuh dari tempat yang rendah,
maka umumnya dia akan selamat. Sedangkan mereka
yang beramal dengan amal penduduk neraka, umumnya
akan masuk ke dalam neraka. Jika terjadi masuk ke dalam
dalam surga, itu merupakan perkara yang jarang terjadi.
Yang demikian itu seperti seseorang yang menjatuhkan
diri dari puncak gunung, maka umumnya dia akan
binasa.”

362
l Ketika seorang anak beliau ra. wafat, orang-orang
mengunjunginya untuk berbelasungkawa. Tetapi
dengan wajah penuh keheranan beliau berkata, “Begitu
remehnya musibah dalam agama bagi kalian! Demi
Allah kalau terlewat dariku shalat berjemaah, tak ada
seorang pun di antara kalian yang berbelasungkawa
mendatangiku.” Maksudnya seumpamanya terlewatkan
shalat darinya, maka hal itu lebih berat daripada kematian
anaknya sehingga menjadikan orang berbelasungkawa
karenanya.
l Beliau ra. berkata, “Tidaklah seseorang taat beribadah
kecuali dia mendapat pandangan (rahmat) dari seorang
waliyullâh (kekasih Allah) yang masih hidup atau yang
sudah wafat.”
l Beliau berkata, “Sembunyikan, sembunyikan, tutupilah,
tutupilah. Tidak ada lagi orang yang ikhlas mengharap
Allah.”
Ucapan al-Habib al-Imam al-Quthb ad-da’wah wa
al-irsyâd Abdullah bin Alwi al-Haddad, semoga Allah
memberi manfaat melaluinya. Beliau ra. berkata;
l Makhluk bersama yang Mahabenar. Setiap orang di
antara mereka tidak akan terlepas dari salah satu di
antara dua lingkaran; lingkaran rahmat atau lingkaran
hukum. Barangsiapa di dunia berada dalam lingkaran
rahmat, maka kelak dia akan berada dalam lingkaran
anugerah. Barangsiapa di dunia dia berada dalam
lingkaran hukum, maka kelak dia akan berada dalam
lingkaran keadilan.”
l Nilai seseorang, menurut pecinta dunia, sesuai dengan
yang dapat di ambil dari dirinya.
l Jika kau hendak bermusyawarah dengan seseorang,
tetapkan di hatimu bahwa dia akan memberi pendapat
kepadamu yang berlawanan dengan yang kau sukai. Jika

363
kau pandang baik mengikutinya, maka ikutilah, atau
jika tidak, tinggalkanlah.
l Pendapat seseorang adalah cabang dari pengetahuan dan
akalnya, maka hendaknya dia tidak meletakkannya pada
mereka yang tidak akan menerimanya.
l Barangsiapa menempuh, akan memiliki. Barangsiapa
menentang, akan binasa.
l Barangsiapa menjaga hati, akan aman dari kerusakan.
Barangsiapa menjaga anggota badan, akan aman dari
penyakit.
l Hampir-hampir orang yang berakal tidak memiliki
musuh, dan hampir-hampir orang yang bodoh tidak
memiliki teman.
l Dalam perjalanan yang beruntung terdapat kenikmatan
ruh dan jasad. Dan dalam perjalanan yang berbahaya
terdapat kelelahan fisik dan asrâr (relung hati).
l Barangsiapa tidak dapat menolak kefakirannya dengan
sedikit harta, maka tidak akan memperoleh kekayaan
yang banyak. Begitu pula, barangsiapa yang tidak
mendapat manfaat dengan sedikit ilmu, maka lebih tidak
memungkinkan baginya mendapat manfaat dari banyak
ilmu.
l Penentang ketentuan adalah yang merasa jijik terhadap
saudaranya atas sesuatu yang bukan dalam kehendaknya.
l Rela terhadap ketetapan haruslah disertai dengan
penolakan atas penentangan terhadap Allah, memiliki
permintaan untuk segala sesuatu yang pantas diminta,
serta lari dari segala sesuatu yang dia pantas lari darinya.
l Dunia ada dua macam dan tak ada yang ketiga. Pertama
cinta harta dan kedua cinta kedudukan. Barangsiapa
menjauh dari harta dan kedudukan, maka dialah orang
yang bersungguh-sungguh. Barangsiapa menjauh dari
harta tetapi tidak pada kedudukan, maka dia adalah

364
seorang penjilat (pencari muka). Barangsiapa menjauh
dari kedudukan tetapi mencintai harta, maka dia adalah
seorang yang hina. Barangsiapa mencintai kedudukan
dan harta, maka hukuman yang paling kecil baginya
adalah diharamkan dari keduanya.
l Dunia ini hilang sedikit demi sedikit, hingga tak ada
yang tersisa sedikit pun.
l Ucapan orang yang memiliki kejujuran dan keteguhan
adalah cahaya dan keberkahan walaupun tidak fasih.
Ucapan orang yang berpura-pura dan mencari muka
adalah gelap dan pekat, walaupun fasih.
l Barangsiapa tidak memiliki petunjuk yang menuntunnya,
maka akan menjadikan panjangnya kesulitan para guru
dan pendidik dirinya.
l Barangsiapa sombong terhadap kebenaran dan orang-
orangnya, maka Allah akan memberikan bencana
kepadanya berupa kehinaan bagi kebatilan dan orang-
orangnya. Maka pada saat itu terkumpul di dalam
dirinya dua hukuman dan musibah, serta terlewatkan
dari dirinya dua kedudukan dan pahala.
l Orang yang beriman menutup mata dalam kebiasaan,
tetapi tidak menutup mata dalam ibadah. Orang
munafik menutup mata dalam ibadah, tetapi tidak
menutup mata dalam kebiasaan.
l Barangsiapa tidak mencurigai dirinya dalam setiap
kebiasaan dan perbuatannya, maka dia akan tergelincir
ke dalam bencana yang besar.
l Boleh jadi seseorang menyeru kepada hawa nafsu dan
tabiat, dan dia merasa bahwa dirinya sedang menyeru
kepada agama dan syariat.
l Ilmu menjadi bebanmu hingga kau mengamalkannya.
Jika kau telah mengamalkannya maka ia akan menjadi
manfaat bagimu.

365
l Tidaklah kegelapan langit dan beban bumi lebih
berat daripada keberanian seseorang yang mengetahui
kebaikan lalu dia meninggalkannya dan mengetahui
kejelekan, lalu dia melakukannya.
l Renungkan lalu lakukan. Pikirkan lalu ucapkan.
l Cukuplah bagi para pecinta akhirat itu suatu kemuliaan,
dengan keinginan setiap orang agar dinisbatkan
(dihubungkan) dengan mereka, walaupun dia tidak
mencapai kedudukan mereka. Dan cukuplah bagi para
pecinta dunia suatu kerendahan, dengan ketidakinginan
setiap orang disebut sebagai kelompok mereka, walaupun
disebut sebagai pembesar dari kalangan mereka.
l Dosa lahir dan batin yang terbesar adalah engkau
mencari dunia dari sahabatmu yang mencari akhirat
darimu.

***

Ucapan al-Habib al-‘Arifbillah Abdurrahman bin Mushthafa


al-‘Aidarûs ra., semoga Allah memberi manfaat kepada kita
melaluinya, beliau ra. berkata;
l Jika perbuatan taatmu memberi manfaat kepada-Nya,
maka Dia tidak akan menciptakan di dalam dirimu
selainnya (amal taat). Dan jika maksiatmu berdampak
jelek bagi-Nya, maka Dia tidak akan menciptakannya
(maksiat) di dalam dirimu. Akan tetapi manfaat dan
dampak jelek itu kembali kepadamu.
l Kehendak Allah semuanya adalah baik, karena kehendak-
Nya adalah anugerah atau keadilan.
l Semua yang ada di alam semesta adalah kehendak-Nya,
dan bersamaan dengan itu Dia mengharamkan perbuatan
keji, maka terimalah, janganlah kau mendebat.

366
l Jadilah dalam perbuatan taatmu, kau melihat yang ada
di bawah dan di atasmu, agar kau menyaksikan anugerah
Allah kepadamu dan selamat dari perbuatan bangga
diri. Jadilah dalam keadaan dunia, kau melihat yang di
bawahmu, hingga kau akan tenteram. Dan janganlah
kau melihat yang di atasmu, maka kau akan kepayahan.
l Sesuaikanlah dengan semua, dan jadikanlah niat bersama
Allah.
l Jadikanlah semua manusia temanmu dengan mencintai
orang-orang berada di jalan yang benar dan mengobati
orang-orang yang menyimpang.
l Engkau tak mendapati di dalam dirimu semua yang kau
inginkan, lalu bagaimana engkau menginginkan dari
manusia, segala yang kau inginkan?
l Berilah siapa yang berhak dan yang tidak berhak, niscaya
Allah akan memberikan kepadamu segala sesuatu yang
kau berhak dan yang tidak berhak.
l Tempat terkumpulnya kebaikan; bersungguh-sungguh
kepada Allah dan berakhlak kepada makhluk.
l Jalan menuju Allah tak terhitung banyaknya. Dan jalan
yang terdekat kepada-Nya adalah merendah, merasa
penuh kekurangan dan fakir.
l Jadilah di antara sifat cemas dan harap, Allah Swt.
berfirman, “Dan mereka berdoa kepada Kami dengan
harap dan cemas. (QS. al-Anbiya: 90)”
l Barangsiapa mencari sesuatu yang tidak diciptakan,
maka dia akan kelelahan dan tidak diberi rezeki. Yaitu
(sesuatu yang tidak diciptakan) ketenteraman di dunia
ini.
l Seseorang bersama yang dicintai.456  Pada sabda ini
terdapat janji dan ancaman. Lihatlah, engkau mencintai
siapa sehingga nanti dia akan bersamamu. Wahai Allah
karuniakanlah kepada kami cinta kepada-Mu dan cinta

367
kepada orang yang mencintai-Mu, sesungguhya Engkau
Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

***

Ucapan al-Habib al-Imam al-‘Allamah Ahmad bin Umar al-


Hinduwân ra., semoga Allah memberikan manfaat kepada kita
melaluinya, beliau ra. berkata;
l Barangsiapa menghilangkan kemungkaran dengan
tangannya tetapi dia tidak mengingkarinya dengan
hatinya, maka dia tidak akan mendapatkan pahala.
l Jika matahari telah tenggelam, maka renungkanlah
amal hari kemarin. Jika baik, maka bersyukurlah kepada
Allah. Jika jelek, maka memohon ampunlah kepada
Allah.
l Lihatlah—di zaman ini—kewajiban-kewajibanmu,
janganlah kau lihat hak-hakmu.
l Di zaman ini, jika kau tidak menjadi serigala, atau kau
akan diterkam serigala.
l Barangsiapa menyembah Allah karena mengharapkan
pahala, maka dia akan diharamkan darinya. Barangsiapa
menyembah Allah untuk mencapai kedudukan para
wali, maka dia akan diharamkan darinya. Barangsiapa
menyembah Allah karena mengikuti perintah-Nya,
maka dia akan memperoleh pahala di akhirat, dan
mendapatkan kedudukan para auliya di dunia.
l Tanda-tanda keikhlasan adalah, kau melihat manusia
seperti batu. Mereka tidak memberikan manfaat ataupun
membahayakan.
l Jika kalian hendak bangkit atau duduk, maka timbanglah
ucapan dan majelis kalian dengan timbangan syariat.

368
l Seorang budak Afrika, jika mengajarkan agama
kepadamu, maka dia adalah temanmu. Seorang ayah
jika tidak seperti itu maka dia adalah musuhmu.
l Manusia adalah hamba keinginannya. Jika keinginannya
adalah ketenaran, maka dia adalah hambanya. Jika
ke­inginannya adalah menutupi diri, maka dia adalah
hambanya. Jika keinginannya adalah maksiat atau
syahwat, maka dia adalah hamba setan. Jika keinginannya
adalah taat kepada Allah, maka dia adalah hamba Allah
yan sebenarnya. Dikutip dari kitab Bahjah az-Zamân
karya al-Imam Muhammad bin Zain bin Sumaith.

Catatan Akhir
455. HR. al-Bukhari (3332) dan Muslim (2643). Disampaikan oleh
Abdullah bin Mas’ud ra..
456. HR. al-Bukhari (6168) dan Muslim (2640) serta selain keduanya.
Disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud ra..

369
Bab 10
Manfaat yang
Bertaburan
Orang yang berakal adalah
yang dapat membedakan kebaikan
di antara dua kebaikan dan keburukan di
antara dua keburukan.
1
Perbandingan Antara
Kemuliaan Ilmu dan Akal

Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama


antara ilmu dan akal. Sebagian mengatakan, “Akal lebih utama,
karena ia adalah sumber dan asas ilmu.” Sebagian yang lain berkata,
“Ilmu yang lebih utama, karena ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan,
dan Allah Swt. disifati dengan ilmu, bukan dengan akal.”
Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshariy rhm. pernah ditanya
tentang masalah ini, dan beliau menjawab, “Sesungguhnya akal
lebih utama daripada ilmu, karena ia adalah sumber, asas, dan sebab
pencapaiannya. Dan juga karena tabiatnya adalah murni ciptaan
Allah Swt.. Kepada itulah al-Ghazali ra. mengisyaratkan dengan
ucapannya, ‘Akal adalah sifat manusia yang termulia. Sedangkan
ilmu mengalir darinya, seperti munculnya buah dari pohon, cahaya
dari matahari, dan pandangan dari mata.’ Sedangkan pendapat yang
mengatakan bahwa ilmu lebih utama darinya, juga benar dari sisi
kewajiban mencarinya. Dalam hal ini tidak diragukan lagi, bahkan
perbandingan antara keduanya relatif. Semua itu karena sebagian
mengatakan bahwa ilmu itu lebih utama, karena itu dibolehkan
menyifati Allah dengannya dan tidak boleh menyifati-Nya dengan
berakal. Pembahasan mengenai hal ini sangat panjang, tetapi ini
cukuplah sebagai jawaban dari pertanyaan, wallâhu a’lam.”
Ucapan as-Syaikh Zakariya rhm. dari kitab fatwa beliau.
Di antara ucapan asy-Syaikh Ahmad Rifâ‘i457 , semoga
Allah menyucikan sirr (relung hati) beliau, “Tidak sempurna
kemuliaan ilmu pada makhluk, kecuali dengan akal.” Beliau
juga berkata, “Sekelompok orang berpendapat bahwa ilmu lebih
tinggi daripada akal, tetapi itu dari sisi Allah. Karena ilmu adalah
sifat-Nya dan akal adalah sifat makhluk. Sedangkan jika dari sisi
ilmu dan akal kita, maka akal lebih utama kedudukannya dan
lebih tinggi tingkatannya daripada ilmu kita. Sebab jika bukan
karena akal maka tak akan sempurna ilmu bagi kita.”
Termasuk kata-kata hikmah junjungan kami al-Quthb
Abdullah bin Alwi al-Haddad ra., “Orang berakal yang tak
berilmu, seperti orang yang bijaksana tetapi tak memiliki harta.
Sedangkan orang berilmu yang tak berakal, seperti pemilik harta
yang tak bijaksana.” Beliau ra. berkata, “Dengarkanlah apa yang
diucapkan oleh orang-orang terdahulu. Sebagian manusia ada
yang memiliki banyak akal dan sedikit ilmu. Sebagian ada yang
memiliki banyak ilmu dan sedikit akal. Yang utama adalah yang
pertama.”
Termasuk ucapan junjungan kami al-Quthb Abdurrahman
as-Saqqâf ra., “Manusia seluruhnya membutuhkan ilmu,
ilmu membutuhkan amal, amal membutuhkan akal, dan akal
membutuhkan taufik.”

Sifat orang-orang berakal dan buah dari akal


Ketahuilah, sesungguhnya tidak akan tampak kedudukan
manusia, kecuali sesuai dengan kadar akal yang diberikan
kepadanya. Dan dia tidak berhak disebut demikian kecuali
dengan menepatkan perbuatannya dengan perbuatan orang-
orang yang berakal. Seperti yang disebut dalam suatu syair,

         


  



   
        
374
Manusia tak diketahui kadarnya
Sebelum perbuatannya menjelaskannya pada manusia

Al-Imam Syafi‘i ra. berkata, “Orang berakal adalah yang


akalnya mengikatnya dari hal-hal yang tercela.” Beliau ra. berkata,
“Orang pandai lagi berakal adalah yang cerdik lagi menutup mata
(dari aib orang lain).”
Junjungan kami al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad
ra. berkata dalam kitab al-Hikam, “Dalil yang paling nyata atas
kesempurnaan akal seseorang adalah pujiannya terhadap teman-
temannya. Dalil yang paling nyata atas kerendah hatinya adalah
kerelaannya berada di posisi akhir di tempat yang baginya pantas
berada di depan. Dalil yang paling nyata atas keikhlasannya adalah
tidak peduli terhadap murka makhluk di dalam kebenaran.”
Beliau ra. berkata, “Orang yang berakal bukanlah yang dapat
membedakan antara yang baik dan buruk.
Tetapi orang yang berakal adalah yang dapat membedakan
kebaikan di antara dua kebaikan dan keburukan di antara dua
keburukan. Dia mengetahui manakah kebaikan yang lebih
utama di antara dua kebaikan, untuk diikuti, dan manakah
keburukan yang paling menjijikkan di antara dua keburukan
untuk ditinggalkan.”
Di antara ucapan junjungan kami al-‘Arifbillah al-Habib
Umar bin Abdurrahman al-Attas, semoga Allah memberi
manfaat melaluinya, “Orang yang berakal ditimpa bahaya dan
dia tidak membahayakan.” Junjungan kami al-Imam Ali bin
Hasan al-Attas menyebutkan ucapan di atas dalam kitabnya al-
Qirthâsh kemudian berkata, “Orang yang berakal adalah yang
mengikat dirinya dengan tali syariat yang kokoh dari hal-hal
yang diharamkan oleh Allah yang Maha Kuat dan Maha Kokoh.
Dan dia adalah yang sempurna akal dan agamanya hingga
menjadi pewaris para nabi yang mewarisi Nabi Muhammad Saw.
yang jika ditimbang akal beliau dengan akal seluruh makhluk,

375
niscaya akal beliau akan lebih berat. Janganlah kau mengira
bahwa yang dimaksud dengan akal adalah kepandaian dalam hal
duniawi, seperti yang dikisahkan oleh Allah, ketika mereka (yang
pandai dalam hal duniawi) berkata,

‘Sekiranya kami mendengarkan atau berakal niscaya


tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang
menyala-nyala.’
(QS. al-Mulk: 10)

Lihatlah apa yang diucapkan orang yang berakal besar,


Nabi Hâbîl bin Nabi Adam, ketika saudaranya Qâbîl hendak
membunuh dan menyakitinya,

‘Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku


untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan
tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya
aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.’”
(QS. al-Maidah: 28)

Isa as. Berkata, “Barangsiapa memukulmu di sisi kananmu,


maka serahkanlah untuknya sisi kirimu. Barangsiapa memaksamu
berjalan sejauh satu mil, maka berjalanlah bersamanya dua mil.
Barangsiapa mengambil syalmu, maka berilah dia kain sarungmu.
Karena sesungguhnya pembalasan ada di hadapannya” yaitu
Allah, yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang
besar, melainkan Dia mencatat semuanya”. Dikutip dari kitab
al-Qirthâs.
Junjungan kami al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi, “orang
yang berakal mengambil sesuatu dengan tanda-tanda dan tidak
memutusnya, orang yang tidak berakal memotongnya.”
Di dalam kitab Tatsbît al-Fuâd, al-Habib al-Quthb Abdullah
bin Alwi al-Hadad ra. bekata, “Jika engkau hendak mengetahui

376
akal seseorang dibanding kebodohannya, maka tanyakanlah suatu
permasalahan. Jika dia menjawabnya dan tidak berlebih-lebihan,
maka dia adalah orang yang berakal. Jika dia menjawabnya dengan
menyebutkan semua yang ada pada dirinya dan berbicara tentang
dirinya, maka dia adalah bodoh. Perbedaan di antara keduanya
adalah, orang yang berakal tujuan dan amalnya benar dan orang
yang bodoh tujuannya benar, tetapi amalnya salah. Sedangkan
orang gila tujuan dan amalnya rusak. Jika engkau hendak
mengetahui apakah ucapannya dapat dipercaya atau tidak, maka
tanyailah dia dan pastikan jawabannya, lalu berdiamlah sejenak,
kemudian tanyakanlah kembali apa yang sudah kau tanyakan
tadi. Jika jawabannya yang kedua seperti jawaban yang pertama,
maka ucapannya dapat dipercaya. Jika dia menambah atau
mengurangi dan tidak urut seperti jawabannya yang pertama,
maka ucapannya tak dapat dipercaya.”

Manfaat:
Sebagian ahli hikmah berkata, “Tanda-tanda orang
berakal ada sepuluh, lima tanda terdapat pada
lahirnya dan lima tanda terdapat pada batinnya.
Yang terdapat pada lahirnya adalah diam, rendah
hati, berakhlak baik, jujur dalam ucapan, dan
beramal saleh. Sedangkan yang terdapat pada
batinnya adalah, merenung, mengambil pelajaran, tunduk,
takut, dan mengingat mati.”

Bagian-bagian akal
Sebagian mengatakan bahwa akal terbagi menjadi lima macam;
1. Tabiat; yaitu tabiat yang telah tersedia untuk mencapai
ilmu secara pengelihatan.
2. Usaha; yaitu yang dicari oleh manusia dengan cara
bergaul dengan orang-orang yang berakal.

377
3. Pemberian; yaitu yang diberi oleh Allah kepada orang-
orang yang beriman agar mereka mendapat petunjuk
kepada iman.
4. Akal orang-orang zuhud; yaitu yang menjadikan
seseorang menjadi zuhud.
5. Mulia; yaitu akal Nabi kita Muhammad Saw., karena
beliau adalah akal yang termulia.

Wahb bin Munabbih458  rhm. berkata, “Aku telah membaca


tujuh puluh satu kitab, dan kudapati dalam keseluruhannya
bahwa Allah Swt. tidak memberikan akal kepada seluruh manusia
dari permulaan dunia hingga penghabisannya seperti akal
beliau Saw. Bila dibanding akal Beliau Saw., akal manusia dari
permulaan dunia hingga penghabisannya bagaikan sebutir pasir
di antara seluruh tanah di dunia ini. Sesungguhnya Muhammad
Saw. adalah manusia yang terunggul akalnya dan terutama
pendapatnya.”459 
Dalam kitab ‘Awârif al-Ma‘ârif disebutkan, “Hati dan akal
terdiri dari seratus bagian. Sembilan puluh sembilan ada dalam
diri Nabi Saw. dan satu bagian dalam diri seluruh orang yang
beriman.”
Al-‘Allâ`iy460  dalam tafsirnya mengutip dari Ibn Abbas ra.,
“Allah menciptakan akal terbagi menjadi seribu bagian, lalu
membaginya di antara hamba-Nya. Sembilan ratus sembilan
puluh sembilan untuk Nabi Saw. dan satu bagian untuk semua
makhluk. Kemudian dari satu bagian itu dibagi menjadi sepuluh
bagian. Sembilan untuk para nabi, shalawat dan salam Allah atas
mereka, dan para wali, lalu satu bagian untuk seluruh makhluk.
Kemudian dari satu bagian itu terbagi lagi menjadi sepuluh
bagian. Sembilan untuk kaum laki-laki dan satu bagian untuk
seluruh wanita.” Dari kitab Nuz-hah al-Majâlis karya ash-
Shafûriy.

378
Saya (penulis) berkata bahwa di antara ucapan al-Habib al-
‘Arifbillah Abdullah bin Muhsin al-Attas, semoga Allah memberi
manfaat kepada kita melaluinya, adalah, “Akal terbagi menjadi
beberapa bagian; kulit, yaitu akal manusia pada umumnya. Isi,
yaitu akal orang-orang yang arif. Dan inti sari dari isi, yaitu akal
orang-orang yang berakal. Selain semua itu ada tingkatan yang
keempat bagi akal, yaitu minyak dari inti sari, bagi sang tercinta
dan teragung Saw.” Dari kumpulan ucapan beliau.
         
  
Sebagian orang mendendangkan syair yang digubah oleh al-
Ali Ibn Abu Thalib krw.:
Imam

    
        
 
         
    
    
        

Kulihat akal terbagi dua
Membekas dan mendengar
        Takberguna
mendengar

       Jika
tidak
  membekas
   
      Seperti tak berguna matahari
     
Jika cahaya mata terhalangi

Maksud dari akal yang mendengar adalah segala yang engkau
 
  dengar
melaluitelingamu
   dari
  Al-Qur’an,
  sunnah,
  dan ucapan
para sahabat, tabiin, serta para pendahulu yang saleh.
Maksud
 dari akal yang membekas adalah akal batin dan
fitrah yang non-fisik, yang merupakan tempat penghadapanmu.
 
 Sesungguhnya
     jika   dia tidak
 menerima
  nasihat,
peringatan,
 dalil-
dalil dari hadits dan ayat, dari dalam hatimu secara jernih dan

benar-benar menghadap, maka semua itu hanya sekadar lewat
saja tanpa membekas. Penjelasan ini dari asy-Syaikh Ali bin
  Abubakar
    as-Sakrân
  dalam  kitab
Ma‘ârij
  al-Hidâyah.

   
  
 
       

379
Manfaat
Sebagian ulama berkata, “Ketika Adam as. turun
ke bumi, datanglah Jibril as. kepadanya dengan
membawa agama, kehormatan, dan akal. Lalu
dia bekata, ‘Sesungguhnya Allah menewarkan
kepadamu untuk memilih salah satu darinya.’ Maka
Beliau pun memilih akal. Kemudian Jibril berkata
kepada agama dan kehormatan, ‘Naiklah kalian berdua.’ Maka
mereka berdua berkata, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkan
kepada kami agar bersama akal di mana pun ia berada.’” Dari
kitab Nuz-hah al-Majâlis.
Sebagian ulama berkata, “Allah menciptakan makhluk
menjadi tiga kelompok. Satu kelompok, bagi mereka syahwat
tanpa akal. Mereka adalah bintang ternak dan yang sejenis
dengannya. Kelompok yang lain untuk mereka akal tanpa
syahwat, mereka adalah para malaikat. Kelompok yang lain lagi,
bagi mereka akal dan syahwat. Mereka itu adalah anak Adam.
Barangsiapa dari mereka yang akalnya menguasai syahwatnya,
maka dia lebih baik dari malaikat, karena melawan nafsunya
dengan cara menekan syahwat dan menggiringnya kepada
ketaatan. Barangsiapa yang syahwatnya menguasai akalnya,
maka dia lebih jelek dari binatang ternak.” Dari kitab al-Irsyâd fi
Muhimmât al-A’dâd, karya Ibn al-‘Imâd461 .

Keutamaan Akal
Alangkah baiknya jika dalam hal ini kita menyebutkan riwayat
tentang kemuliaan dan keutamaan akal. Sebab ia merupakan
nikmat Allah yang teragung untuk manusia, dan dengannya
manusia berbeda dari hewan. Telah diriwayatkan bahwa Allah
Swt. menciptakan malaikat lalu memberi mereka akal tanpa
syahwat, menciptakan binatang lalu memberi mereka syahwat
tanpa akal, dan menciptakan manusia lalu memberi mereka akal

380
dan syahwat. Barangsiapa yang akalnya menguasai syahwatnya,
maka dia bergabung dengan malaikat dan barangsiapa yang
syahwatnya menguasai akalnya, maka dia bergabung dengan
binatang ternak.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Ada tiga hal yang
bila seseorang diharamkan darinya maka dia diharamkan
dari kebaikan dunia dan akhirat; akal yang manusia hidup
dengannya, kesantunan yang dengannya dapat mendorong kapal
(kehidupan), dan wara’ (kehati-hatian) yang mencegahnya dari
perbuatan haram.”
Al-Hasan al-Bashri ra. berkata, “Ketika Allah Swt.
menciptakan akal, Dia berfirman kepadanya, ‘Menghadaplah.’
Maka ia menghadap. Lalu Dia berfirman, ‘Berpalinglah.’
Maka ia berpaling. Lalu Dia berfirman kepadanya, “Aku
tidak menciptakan makhluk yang lebih aku cintai darimu.
Sesungguhnya denganmulah Aku disembah, denganmu Aku
dikenal, denganmu Aku mengambil, dan denganmu Aku
memberi.”
Wahb bin Munabbih rhm. berkata, “Sesungguhnya dua
orang akan sama-sama melakukan amal kebajikan. Tetapi jika
salah satu dari keduanya lebih berakal, maka bobot amal di antara
mereka seperti antara timur dan barat atau lebih jauh lagi.”
Lukman al-Hakim as. berkata, “Tidaklah Allah disembah
dengan sesuatu yang lebih utama daripada akal.”
Mutharrif bin Abdullah rhm. berkata, “Tidaklah seorang
hamba diberi, setelah iman kepada Allah, yang lebih utama
daripada akal.”
Mu‘awiyah bin Qurrah rhm. pernah berkata, “Sesungguhnya
manusia menunaikan haji dan umrah, berjihad, shalat, dan
puasa, tetapi mereka tidak diberi balasan di hari Kiamat kelak
kecuali sesuai dengan kadar akal mereka.”
Sungguh baik ucapan mereka yang mengatakan,

381
 
   
  
     


        


   
         
          
 
Seseorang hidup dengan akal di antara manusia
Sesungguhnya di atas akal, ilmu dan pengalamannya mengalir

  Sang
Jika  Maha
Penyayang
menyempurnakan
     akal
 seseorang
  
maka sempurna akhlak dan hajatnya
Sebaik-baik 
pemberian Allah bagi seseorang adalah akal
dan tak ada sesuatu pun yang menandinginya
 
             
Tempat Akal dan Sifatnya
Para ulama berbeda pendapat tentang tempat akal dan sifatnya.
Abu Hanifah dan Ahmad ra. mengatakan, “Sesungguhnya
 ada
 tempatnya   di otak.”
Imam
 Syafi‘i
 dan
Malik
   
rhm.
 serta
 
 kesepakatan
 ulama
 kalam  (aqidah)
  berpendapat
  bahwa
tempatnya
 
adalah hati, dan memiliki cahaya yang bersambung dengan otak.
Mereka mengambil dalil dari firman Allah, 

  “Mereka
mempunyai

 hati

 yang dengan
 itu
dapat
mereka  
memahami.”
      
          (QS.
 
 al-Hajj:    
 46)

dan firman-Nya,

“Bagi orang-orang yang mempunyai hati.”


(QS. Qaf: 37)

Yaitu akal, yang disebut dengan hati, karena ia adalah tempatnya.


Sedangkan mengenai sifatnya, Ahmad bin al-Hasan al-
Anshari berkata, “Aku bertanya kepada al-Hârits al-Muhâsibi462 
tentang akal, maka dia menjawab, “Ia adalah cahaya dari watak,

382
bertambah dengan penelitian, dan bertambah kuat dengan
adanya ilmu dan kesantunan.” Imam al-Haramain463  berkata,
“Ia (akal) adalah suatu sifat yang jika menetap, maka dengannya
akan tercapai ilmu teori dan pengantarnya, yang merupakan ilmu
dasar dan pijakan ilmu teori.” Hal ini dinukil oleh Ibn as-Subki
dalam kitab ath-Thabaqat, kemudian beliau berkata, “Beliau
(Imam al-Haramain) termasuk seorang imam yang berpendapat
bahwa akal bukan termasuk ilmu. Sedangkan pendapat asy-
Syaikh Abu al-Hasan al-Asy‘ari, ia (akal) termasuk ilmu.”464 
Sebagian ulama yang lain berkata, “Dia adalah cahaya ruhani
yang dengannya seseorang mencapai ilmu teori dengan perantara
ilmu dasar.”

Manfaat
Al-Hannâthiy465  menyebutkan dari Ibn Abbas ra.
beliau berkata, “Seorang anak mencapai masa
mumayyiz (dewasa) pada usia tujuh tahun, dan
mencapai masa baligh pada usia empat belas tahun.
Tinggi badannya sempurna pada usia dua puluh
satu tahun dan akalnya sempurna pada usia dua
puluh delapan tahun. Kemudian kemampuan akalnya setelah
itu tidak bertambah kecuali dengan banyaknya penelitian.”
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad ra. memberi
manfaat, “Sesungguhnya di awal pertumbuhannya, ketika
kecil manusia bertabiat banyak gerak sebagai sifat dasarnya.
Hingga sebagian ulama berkata, ‘Jika anak kecil ditahan
hingga tak dapat bergerak, maka hatinya akan terpotong-
potong.’ Maka anak kecil selalu dalam keadaan bertambah
akalnya dan berkurang geraknya. Setiap bertambah akal,
semakin berkurang gerakannya. Hingga ketika mencapai usia
dua puluh dua tahun, dan itu merupakan masa kedewasaan,
maka masa itu merupakan akhir bertambahnya akal, dan tidak
tersisa dari semua itu kecuali melakukan penelitian yang dapat

383
menambah akalnya. Maka dia akan memahami apa yang
  dan
membahayakan dirinya orang
lain,
yang akan
 memberikan
    
manfaat kepada dirinya dan orang lain, serta yang dia dan

orang lain tidak suka. Dia dalam keadaan seperti ini hingga
akhir umur. Kemudian ketika mencapai usia empat puluh,

   
dia telah mencapai kematangan. Kebanyakan
     
para  tidak
nabi 

   kedewasaan
diutus kecuali setelah mencapai   
dan
  
kematangan,
   
kecuali; Nabi Isa, Nabi Yahya, dan Nabi Yusuf yang mendapat
 
   
wahyu setelah mencapai kedewasaan dan sebelum mencapai
  
     
kematangan.Karena
 itulah Allah Swt. berfirman, “Dan ketika
ia (Yusuf) mencapai usia dewasa.” (QS. Yusuf: 22), Allah tidak

 berfirman,
   usia
 matang.
 Tetapi
 pada
Musa
 
as. Allah berfirman
demikian (usia matang).” Dikutip kitab Tatsbît al-Fuâd.
   
         
Dalam
  Mantsûr
 al-Hikâm
   disebutkan,
   
 panjang
“Barangsiapa 
umurnya, maka berkurang kekuatan badannya dan bertambah
kekuatan akalnya.”


 
           
Jika umur seseorang panjang tanpa kekurangan

maka putaran hari akan bemanfaat menambah akalnya

 
             


              


   
 Catatan
 Akhir
 
       
457. Seorang imam yang menjadi panutan, dan wali besar, 
junjungan kami
al-Quthb Abu al-‘Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifâ‘i (500-575 H). Salah

  satu
 
 
 
 
     
wali Allah, seorang ‘arifbillah yang memiliki kedudukan yang
besar, dan memiliki keramat yang luar biasa. Beliau bermazhab Syafi‘i.
Kitab beliau adalah at-Tanbîh. Beliau adalah seorang yang rendahhati, 
      
           
    


384
penyayang. Mengumpulkan kayu dan membawanya ke rumah-rumah
janda dan orang miskin. Kadang-kadang beliau mengisikan air mereka.
Biografi beliau tak terhitung banyaknya.
458. Abu Abdullah Wahb bin Munabbih ash-Shan‘âniy adz-Dzimâriy
(34-114 H). Seorang ahli tarikh, dan banyak meriwayatkan dari kitab-
kitab terdahulu. Menguasai kitab-kitab terdahulu, lebih-lebih riwayat
israiliyyat. Beliau terhitung sebagai tabi‘in. Dilahirkan dan wafat di
Shan‘â. Umar bin Abdulaziz melimpahkan tugas kepadanya sebagai
qadi. Beliau memiliki karya tulis, di antaranya; Qashash al-Anbiyâ dan
Qashas al-Akhbâr dan karya beliau selain kedua buku itu at-Tîjân Fi
Mulûk Hamîr.
459. Riwayat ini disampaikan oleh Wahb: Abu Nu‘aim dalam kitab al-
Hulyah (4: 26)
460. Abu Abdullah Muhammad bin Abdurrahman al-Bukhâri yang dijuluki
az-Zâhid al-‘Allâ`i—atau al-‘Allâ`i seperti yang disebutkan dalam
beberapa kita rujukan—al-Hanafiy (wafat pada tahun 546 H). Beliau
ahli dalam ilmu fiqih, memiliki keutamaan, seorang mufti, penasihat,
ahli dalam ilmu ushul dan pandai berbicara. Dikatakan bahwa beliau
menulis kitab tafsir lebih banyak dari seribu juz.
461. Al-Imam Syihâbuddîn Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Imâd bin Yusuf al-
Afqahasiy (750-808 H). Menimba ilmu dari al-Isnawiy, al-Balqiniy,
al-Bâjiy dan lain-lainnya. Beliau mahir dan maju dalam ilmu fiqih.
Al-Hâizh Ibn Hajar berkata tentang beliau, “Beliau adalah salah
satu imam mazhab Syafi‘i di zaman ini.” Beliau orang yang banyak
manfaat, menelaah dan mengarang buku, serta sopan santun. Di antara
tulisan beliau ; Syarh al-Minjhâj dan at-Ta‘aqqubât ‘Ala al-Muhimmât.
Begitu juga karya dalam bentuk bait-bait; at-Tibyân Fi Âdâb Hamalah
Al-Qur’an, Mandhûmah Fi al-‘Aqâid, Mandhûmah Fi al-Ma’fuwwât,
Mandhûmah Fi Âdâb al-Akl Wa asy-Syurb Wa an-Naum Wa ad-Du‘â
beserta penjelasannya dan selain itu semua. Termasuk yang dikenal
dengan Ibn al-‘Imâd pula adalah; anak penulis buku di atas, yaitu al-
‘Allamah al-Faqih Syamsuddien Muhammad Ahmad bin ‘Imâd bin
Yusuf al-Afqahasiy (780-867 H). Beliau lahir dan wafat di kota Kairo.
Beliau memiliki beberapa karya tulis, namun ayahnya lebih masyhur
daripada beliau.
462. Al-Imâm al-Kabîr Abu Abdullah bin Asad al-Muhâsibi (wafat pada
tahun 234 H). Beliau adalah tokoh para ‘arifin di zamannya dan

385
ustadz mereka, yang memadukan antara ilmu lahir dan batin serta
guru al-Junaid. Dijuluki al-Muhâsibi karena beliau banyak menghisab
dirinya. Di antara karya beliau adalah ar-Ri‘âyah li Huqûqillah,
Risâlah al-Mustarsyidîn, at-Tawahhum, Syarh al-Ma’rifah dan lain-
lainnya. Karangan beliau adalah sesuatu yang berharga sekali dalam
pembahasannya.
463. Imam besar, al-Imam al-Haramain Abu al-Ma‘âliy Abdulmalik bin al-
Imam Abu Muhammad Abdullah bin Yûsuf al-Juwainiy asy-Syafi‘i (419-
478 H). As-Sam‘ani berkata, “Dulu Abu al-Ma‘âliy adalah pemimpin
para imam tanpa keraguan lagi. Kepemimpinannya disepakati dari
timur sampai barat. Tidak ada yang seperti beliau. Di antara karya tulis
beliau adalah Nihayah al-Mathlab fi Dirâyah al-Madzhab, al-Irsyâd, al-
Burhân fi Ushûl al-Fiqh, Ghiyâts al-Umam dan lain-lainnya.
464. Kitab ath-Thabaqât asy-Syâfiiyyah al-Kubrâ (2: 281, 283).
465. Al-Imam Abu Abdullah al-Husain bin Muhammad bin Abdullah Al-
Hannâthiy ath-Thabariy (wafat kira-kira pada tahun 400 H). Beliau
adalah seorang imam yang agung di antara para imam mazhab dan
di antara para ulama yang ucapannya diperhitungkan. Memiliki
kumpulan fatwa yang masih berbentuk tulisan tangan hingga saat ini.

386
2
Perbandingan Antara
Kemuliaan Ilmu dan Nasab

Asy-Syaikh al-‘Allamah Abdullah bin Ahmad Bâsaudân466 


dalam kitabnya Faidh al-Asrâr menyebutkan bahwa sebagian
ulama berkata, “Terjadi perbedaan di antara para imam, tentang
mana yang lebih utama antara kemuliaan ilmu dan nasab
nabawi? Maka semuanya berpendapat lebih utama yang kedua.
Mereka mengatakan bahwa semua itu karena keutamaan nasab
disebabkan faktor internal sedangkan keutamaan ilmu faktor
eksternal, lalu mereka lebih mengunggulkan keutamaan nasab.”
Aku telah mencatat ucapan yang dinisbatkan kepada
junjunganku al-‘Arifbillah as-Sayyid Wajîhuddîn Abdurrahman
bin Musthafa al-‘Aidarûs Ba ‘Alawi semoga Allah menyucikan ruh
beliau, yang menghimpun perdebatan antara yang berpendapat
lebih utama kemuliaan nasab dan yang berpendapat lebih utama
kemuliaan ilmu. Di antaranya adalah “Sesungguhnya yang
berpendapat lebih utama kemuliaan nasab lebih banyak daripada
yang berpendapat lebih utama kemuliaan ilmu. Sesungguhnya
jika seorang syarif (bernasab ke Nabi Saw.) hilang akal, apakah
dia tetap dijuluki sebagai syarif atau tidak?” Maka dijawab, “Ya,
dia tetap dijuluki syarif.” Beliau berkata, “Seseorang yang berilmu
jika hilang akal tidak dijuluki orang yang berilmu lagi. Maka
setelah semua ini ditegakkanlah dalil dan jelaslah perbedaan
antara kemuliaan yang berasal dari faktor internal dan eksternal.
Perbedaan ini diikuti dengan ketetapan bahwa kemuliaan yang
berasal dari faktor internal ini murni dari faktor eksternal, dan
semuanya adalah keutamaan dari Allah.”
Dalam biografi junjungan kami pemimpin orang-orang Kasyf
(tersingkap hijab di hati mereka) Abdullah Ba Husain as-Saqqaf
ra.467 , junjungan kami Wajîhuddîn Abdurrahman bin Musthafa
al-‘Aidarûs, semoga Allah menyucikan ruhnya, menyebutkan,
“Beberapa orang yang dapat dipercaya telah memberitahukan
kepadaku bahwa al-‘Allamah, pemimpin para syaikh, Abu al-
Hasan as-Sindiy al-Madaniy ra.468  yang telah memberikan
catatan kaki pada enam kitab hadits dan lain-lainnya, beliau
ditanya di saat mengajar, ‘Siapakah yang lebih utama seorang
syarif atau seorang berilmu?’ Ketika itu dia mengalami kondisi
spiritual lalu menundukkan kepalanya sampai ke tanah,
kemudian mengangkat kepalanya dan menjawab, ‘Seorang syarif
yang bodoh—atau dia menjawab, Satu orang syarif—lebih utama
daripada tujuh puluh ulama.’”
Junjungan kami al-Imam Hujjah al-Islam al-Ghazali rhm.
berkata, “Keutamaan nasab itu dari tiga sisi,
1. Kembalinya nasab itu kepada pohon silsilah Rasulullah
Saw., hal ini tidak ada yang menandingi.
2. Kembalinya nasab itu kepada para ulama, karena mereka
adalah pewaris para nabi, shalawat dan salam Allah atas
mereka.
3. Kembalinya nasab mereka kepada orang-orang saleh
dan bertakwa. Allah Swt. berfirman,

“Dan dulu ayah (kakek) dari keduanya adalah orang yang


saleh.”
(QS. al-Kahfi: 82)

388
Saya (penulis) berkata bahwa termasuk yang memfatwakan
unggulnya kemuliaan nasab atas kemuliaan ilmu adalah asy-
Syaikh al-‘Allamah Ahmad bin Muhammad bin Hajar al-
Haitamiy rhm. Beliau mengemukakan pendapatnya dalam kitab
fatwanya setelah ditanya, “Apakah seorang syarif yang bodoh atau
seorang ulama yang mengamalkan ilmunya yang lebih utama?
Dan manakah di antara keduanya yang lebih layak mendapatkan
penghormatan lebih ketika berkumpul? Atau jika seseorang
hendak mencium tangan, manakah di antara mereka yang harus
didahulukan?”
Beliau ra. menjawab, “Pada keduanya terdapat keutamaan
yang agung. Seorang syarif disebabkan dalam dirinya terdapat
bagian yang mulia yang tidak dapat dibandingkan dengan
apa pun. Di samping itu sebagian ulama berkata, ‘Keturunan
Rasulullah Saw. tidak dapat dibandingkan dengan apa pun.’
Sedangkan seorang ulama yang mengamalkan ilmunya,
disebabkan dapat memberi manfaat bagi orang-orang Islam
dan memberi petunjuk orang-orang yang sesat. Maka mereka
adalah penerus dan pewaris ilmu dan pengetahuan para rasul.
Hendaknya setiap orang memberikan hak-hak keduanya-para
ulama dan syarif berupa penghormatan dan pengagungan. Sedang
jika keduanya bertemu dalam suatu majelis maka seorang syarif
lebih didahulukan, karena sabda Saw., ‘Dahulukanlah kabilah
Quraisy,’469  dan karena di dalamnya terdapat bagian yang mulia
(Rasulullah Saw.).”

Catatan Akhir
466. Al-Imam al-‘Allamah seorang ahli fiqih, sufi yang memiliki cita rasa
spiritual, asy-Syaikh Abdullah bin Ahmad bin Abdullah Bâsaudân al-
Kindiy al-Hadramiy asy-Syafi‘i (1178-1266 H). Beliau adalah salah

389
satu ulama terbesar di Hadramaut di zamannya. Seorang penulis yang
penuh keberkahan dan manfaat, seperti karya beliau yang berjudul
al-Anwâr al-Lâmi‘ah Syarh ar-Risâlah al-Jâmi‘ah, Dzakhîrah al-Ma‘âd
bi Syarh Râtib al-Haddâd, Zaitunah al-Ilqâh Fi Fiqh an-Nikâh, Faidh
al-Asrâr dan ‘Uddah al-Musâfir serta lain-lainnya. Terjemahan biografi
beliau dijelaskan secara detail dalam mukadimah kitab al-Anwâr al-
Lami‘ah karya beliau.
467. Sepertinya biografi beliau dalam kitab as-Sanâ‘ al-Bâhir. Beliau wafat di
kota Tarim pada tahun 995 H.
468. Al-‘Allamah, seorang ahli hadits Abu al-Hasan Muhammad ‘Âbid bin
Ahmad bin Ali as-Sindiy al-Anshâriy al-Hanafiy (wafat pada tahun 1257
H). Beliau adalah pemimpin para ulama di Madinah al-Munawarah
dan termasuk salah satu pemimpin hadits di zamannya. Beliau memiliki
beberapa karya tulis seperti; Hashru asy-Syârid Min Asânîd Muhammad
‘Âbid, Tartîb Musnad al-Imâm asy-Syâfi‘i, dan sejumlah cacatan kaki
pada kitab hadits, serta lain-lainnya.
469. “Dahulukan Qurasiy, dan jangan kalian dahului mereka.” HR. al-
Bazzâr dalam musnadnya (2: 112), disampaikan oleh Ali ra.. Al-Hâfizh
dalam kitab al-Fath (6: 530), “HR. Abdurrazzâq dengan sanad yang
shahih akan tetapi termasuk hadits mursal.”

390
3
Isyarat Tentang Banyak dan
Luasnya Ilmu

Ketahuilah, sesungguhnya ilmu adalah lautan samudera yang tak


berujung. Ibn Luqman bertanya kepada ayahnya, “Siapakah yang
mendapat bagian dari ilmu?” Dia menjawab, “Seluruh makhluk,”
Maksudnya sebagian besar darinya, bukan seluruhnya. Yaitu
orang-orang yang diberi.
Sebagian orang-orang ‘arif berkata, “Yang tampak dari
ilmu dan yang akan tampak adalah sedikit, dibandingkan yang
diberikan kepada makhluk. Sesuai dengan firman Allah,

“Dan tidaklah diberikan kepada kalian dari ilmu kecuali


sedikit.”
(QS. al-Isra: 85)

Dari Sa‘îd bin Jubair rhm., dari Ibn Abbas ra.—tentang


firman Allah Swt.,

“Dan di atas setiap orang yang berilmu terdapat orang


yang lebih berilmu.”
(QS. Yusuf: 76)
         
  
—beliau berkata, “Yaitu ini lebih berilmu dari ini, ini lebih

berilmu dari ini, dan Allah di atas setiap orang yang berilmu.”
Diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Ubay bin Ka‘ab tentang

cerita al-Khidhir bersama    
 Musa
 as.,
  beliau
     hadits
menceritakan 

   “Datanglah
tentang itu hingga ucapannya,      seekor
 
 burung  pipit
di tepi kapal, lalu ia mencelupkan paruhnya satu celupan ke laut.
       
Lalu Khidhir berkata kepada Musa as., “Ilmuku dan ilmumu
     
ilmu Allah Swt. kecuali seperti burung pipit itu
tak mengurangi
mengurangi lautan ini.”470 
        
Manfaat
   Ahmad
bin
 Ibrahim
  al-Ismâ‘îliy
  rhm.
471   berkata

   tentang
 makna
  ucapan
 Khidhir
 as.,

 “Ilmuku

dan

ilmumu
 tak mengurangi ilmu Allah Swt. kecuali
seperti burung pipit itu mengurangi lautan
ini.”, sebagai berikut, “Ucapan ini memiliki dua
 
   Pertama,
penafsiran;  sesungguhnya
   paruh
 burung


pipit tidak mengurangi air laut. Begitu juga ilmu kita tidak
mengurangi ilmu-Nya sedikit pun. Seperti disebutkan,

 
             

Tiada cela bagi kami kecuali pedang-pedang kami
Patah karena perisai sekelompok pasukan

              


   
Maksudnya, tidak ada cela sama sekali (kata “kecuali” pada
 syair
 diatas
 bukan

 berarti
ada
 cela
sedikit).
  Begitu
 juga
 firman
 
ucapan
Allah, “Mereka tidak mendengar di dalamnya (surga)
yang sia-sia kecuali ucapan sejahtera.” (QS. Maryam: 62).
Maksud dari ayat ini adalah tidak ada ucapan sia-sia sedikitpun.
   
 
     
Kedua, sesungguhnya kadar ilmu yang kita dapatkan, jika
  dengan
  dibanding     ilmu
  Allah
 Swt.  meliputi
  yang   
 segala   
  ilmu,
tidak lebih dari pengetahuan-Nya atas segala sesuatu dalam

kadar ini kecuali seperti yang diambil oleh burung pipit itu

392
dari lautan. Hal itu merupakan bagian yang sedikit yang tidak
berarti kadarnya. Maka begitu pula kadar ilmu yang diajarkan
oleh Allah kepada kita dibandingkan dengan pengetahuan-
Nya Swt. seperti kadar yang sedikit ini dibandingkan dengan
lautan. Allah-lah yang memiliki taufik.” Ucapan ini disebut oleh
al-Hâfizh al-Baihaqi dalam kitabnya al-Asmâ‘ wa ash-Shifât.

Catatan Akhir
470. HR. al-Bukhari dalam kitab shahihnya (3401).
471. Al-Imâm al-Hâfizh al-Hujjah al-Faqih Abubakar Ahmad bin
Ibrahim al-Jurjâniy al-Ismâ‘îliy asy-Syafi‘i (277-371 H). Al-Imâm
al-Hakim berkata, “Dulu al-Ismâ‘îliy satu-satunya ulama terkemuka
di zamannya, ahli hadits dan fiqih, serta tertinggi di antara yang lain
dalam kepemimpinan, kehormatan dan kedermawanan.” Al-Hâfizh
adz-Dzahabiy berkata, “Beliau menulis beberapa karya tulis yang
menjadi saksi atas kepemimpinannya dalam ilmu fiqih dan hadits.”
Karya beliau; Musnad Umar ra. dalam dua jilid buku, dan al-Mustakhrij
‘Ala ash-Shahîh (kitab hadits al-Bukhari) dalam empat jilid buku, serta
lain-lainnya.

393
4
Isyarat Tentang Ilmu Beliau Saw.

Abu Zaid al-Anshâriy ra. berkata, “Rasulullah Saw. shalat Subuh


bersama kami, kemudian naik ke mimbar. Lalu beliau berkhutbah
di hadapan kami hingga tiba waktu Zuhur. Lalu beliau turun dan
shalat Zuhur. Kemudian beliau naik lagi ke mimbar, berkhutbah
di hadapan kami hingga tiba waktu asar. Lalu beliau turun dan
shalat Asar. Kemudian beliau naik ke mimbar, berkhutbah di
hadapan kami hingga tenggelam matahari. Beliau menyampaikan
kepada kami apa yang telah terjadi dan sedang terjadi. Maka orang
yang paling berilmu di antara kami, yang paling menghafal.”472 
Abu Dzar ra. berkata, “Rasulullah Saw. telah meninggalkan
kami, dan tidaklah burung mengepakkan sayapnya di langit
kecuali Beliau menyebutkan kepada kami ilmunya.”473 
Umar ra. berkata, “Rasulullah Saw. berdiri di antara kami,
lalu beliau menceritakan kepada kami tentang permulaan
penciptaan, hingga masuknya penduduk surga ke tempat
mereka dan penduduk neraka ke tempat mereka. Sebagian orang
menghafalnya dan sebagian melupakannya.”474 
Al-Imam as-Suyûthi rhm. dalam kitab al-Khashâish berkata,
“Rasulullah Saw. diberi ilmu atas segala sesuatu kecuali lima hal
yang ada di akhir Luqmân. Dikatakan bahwa beliau Saw. juga
diberi ilmu itu (lima hal di akhir Luqman) di akhir umurnya,
akan tetapi diperintahkan untuk menyembunyikannya. Dan
pendapat ini yang benar. Bersama dengan semua itu, Allah
Swt. telah memerintahkan beliau dengan firman-Nya, “Dan
ucapkanlah, ‘Tuhan tambahkanlah kepadaku ilmu.’” (QS. Thaha:
114) Dengan semua itu jelaslah bahwa beliau Saw. masih terus
meningkat dalam kesempurnaan dan ilmu serta tidak berakhir.”
Dikutip dari kitab Jawâhir al-Bihâr.475 
Junjungan kami al-Imam al-Habib Abdullah bin Alwi
al-Haddad ra. berkata, “Pada kedudukan Nabi Saw. tidaklah
dikatakan bahwa beliau berpindah dari kondisi kurang menuju
kepada kesempurnaan. Bahkan di seluruh keadaannya beliau
dalam kesempurnaan. Dan perjalanan hidup, termasuk kelahiran
beliau, seluruhnya sempurna. Beliau Saw. lahir dalam keadaan
pandangannya menatap ke langit, hingga beliau wafat dalam
kesempurnaan. Dikutip dari Tatsbît al-Fuâd.
Junjungan kami al-Imam Abdullah bin Muhsin al-Attas,
semoga Allah memberi manfaat melaluinya, berkata, “Ilmu Beliau
Saw. ada empat macam. Ilmu yang diperintahkan baginya dan
diwajibkan umatnya untuk mengamalkannya dengan sepenuhnya,
yaitu hal-hal yang di-fardhu-kan. Ilmu yang diperintahkan
baginya untuk mengamalkannya dengan sepenuhnya dan
memerintahkan umatnya untuk mengamalkannya sebagai
perbuatan sunnah. Ilmu yang diperintahkan baginya untuk
mengamalkannya dengan sepenuhnya dan dikhususkan untuk
beliau saja, sebagai hal-hal yang khusus bagi Nabi. Serta ilmu
yang disembunyikan dalam dirinya dan tidak diperintahkan
untuk mengamalkannya.” Dikutip dari kumpulan ucapan beliau.
As-Sayyid Ahmad bin Idrîs al-Maghribiy rhm. berkata,
“Allah mengajarkan kepada nabi-Nya di malam isra, tiga ilmu;
ilmu syariat, ilmu khusus, dan ilmu inti dari khusus. Ilmu syariat
untuk seluruh umat, yang diajarkan untuk kalangan khusus dan
umum. Lalu ilmu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali

395
kalangan khusus. Dan ilmu yang dak ada yang mengetahuinya
kecuali kalangan inti dari khusus. Itulah makna dari ucapan Ali
krw., ‘Inilah ilmu—beliau mengisyaratkan ke dadanya—dan
aku tak mendapatkan yang dapat memikulnya.’ Begitu juga
ucapan Abu Hurairah, ‘Aku menimba dua cawan ilmu dari
Rasulullah Saw. Salah satunya kusebarkan, sedangkan yang lain
jika kusebarkan maka akan dipotong leherku ini.’”476  Dari kitab
al-‘Iqd al-Yawâqît.

Catatan Akhir
472. HR. Muslim (2892), dan Ahmad (5: 34), dan lafaznya dari beliau.
473. HR. Ahmad (5: 153), disampaikan oleh Abu Dzar ra..
474. HR. al-Bukhari (3192), sebagai catatan dari hadits Umar ra..
475. Karya al-Allamah asy-Syaikh Yusuf an-Nabhani.
476. HR. al-Bukhari dalam kitab shahihnya (120)

396
5
Ilmu Para Sahabat, Tabi‘in dan
Para Imam Sesudah Mereka

Ilmu Para Sahabat


Masrûq berkata, “Aku memerhatikan para sahabat Muhammad
Saw., maka aku dapati ilmu mereka berakhir kepada enam orang
dari mereka; Umar, Ali, Ubay bin Ka‘ab, Abu Dzar al-Ghifâriy,
Abu ad-Dardâ`, dan Zaid bin Tsâbit. Kemudian aku perhatikan
enam orang itu, maka aku dapati ilmu mereka berakhir kepada
dua orang, yaitu Ali, dan Abdullah bin Mas‘ûd.”
Masrûq rhm. juga berkata, “Ilmu para sahabat Muhammad
Saw. berakhir kepada empat orang dari mereka; Umar, Ali, Ibn
Mas‘ûd, dan Abdullah bin Abbas, semoga Allah meridhai mereka
semua.”
Saya (penulis) berkata bahwa yang menunjukkan banyaknya
ilmu Umar bin al-Khattab ra. adalah sabda beliau Saw., “Ketika
aku tertidur, aku bermimpi diberi dua cawan susu. Maka aku
meminumnya hingga aku melihat susu itu keluar dari bawah
kukuku. Lalu sisa minumku kuberikan kepada Umar bin al-
Khattab.” Maka para sahabat bertanya, “Apakah takwilmu
mengenai hal itu wahai Rasulullah?” Maka beliau menjawab,
“Ilmu.”477 
Ibn Mas‘ûd ra. berkata, “Jika ilmu Umar ra. diletakkan di
salah satu timbangan neraca, dan diletakkan ilmu semua yang
hidup di timbangan yang lain, maka ilmu Umar akan lebih
unggul daripada ilmu yang lain. Dulu mereka (sahabat) memiliki
pandangan bahwa beliau ra. wafat dengan sembilan per sepuluh
ilmu.”478 
Asy-Sya’biy rhm. berkata, “Jika dalam suatu permasalahan
para sahabat berbeda pendapat, semoga Allah meridhai mereka,
maka ikuti dan ambillah pendapat Umar bin al-Khattab ra.,
karena sesungguhnya dia tidak memfatwakan sesuatu kecuali
setelah kehati-hatian dan pendalaman yang sempurna.”
Sa‘îd bin al-Musayyib berkata, “Aku tidak melihat seseorang
yang paling berilmu setelah wafat Rasulullah Saw. daripada Umar
bin al-Khattab.”
Sedangkan al-Imam Ali bin Abu Thalib Krw., telah
diriwayatkan dari beliau bahwa sesungguhnya dia berkata,
“Sesungguhnya aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, berilah aku
wasiat.’ Maka beliau Saw. bersabda, ‘Ucapkanlah; Allah Tuhanku,
lalu beristiqamahlah.’ Maka aku berkata, ‘Tuhanku adalah Allah,
tidak ada taufik bagiku kecuali dari Allah, kepada-Nyalah aku
bertawakal dan kembali.’ Lalu beliau bersabda, ‘Ilmu akan
membahagiakanmu wahai Abu al-Hasan (julukan bagi Imam
Ali), engkau benar-benar telah meminum dan mereguknya.’”479 
Dalam sebuah hadits, Fatimah ra. mengadu kepada
Rasulullah Saw. perihal kondisinya yang serba kekurangan, maka
Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah engkau tidak ridha, jika aku
telah menikahkanmu dengan orang yang pertama masuk Islam,
yang terbanyak ilmunya, dan teragung sifat santunnya di antara
mereka (sahabat)?”480 
Junjungan kami al-Quthb Abdullah bin Alwi al-Haddad ra.
berkata, “Aku mendengar riwayat yang disampaikan kepada kami

398
bahwa junjungan kami Ali Krw., ketika ilmu memenuhi hatinya,
dan mengeluh disebabkan tak ada yang mampu memikulnya,
beliau mendatangi sebuah sumur dan menghembuskan napas
di sana. Maka memancarlah air di sekitar sumur itu hingga
tumbuhlah di sekitarnya pohon buluh.”
Abu ath-Thufail481  berkata, “Aku menyaksikan Ali ra.
sedang berkhutbah dan dia berkata, ‘Bertanyalah kepadaku, demi
Allah kalian tidak akan menanyakan kepadaku sesuatu hingga
hari Kiamat kecuali aku akan memberitahu kalian. Bertanyalah
kepadaku tentang kitab Allah, demi Allah tidaklah satu ayat
kecuali aku mengetahui apakah turunnya ayat itu di malam atau
siang hari, di lembah atau di gunung.”
Sa‘îd bin al-Musayyib berkata, “Dulu Umar ra. berlindung
kepada Allah dari mu’dhilah (sesuatu yang membingungkan),
yang ketika hal itu terjadi tidak ada Abu al-Hasan.”
Saya (penulis) berkata bahwa Abu al-Hasan adalah Ali bin
Abu Thalib ra. dan al-mu’dhilah adalah permasalahan yang berat
dan sulit menyelesaikannya.
Ibn Abbas ra. berkata, “Ali diberi sembilan per sepuluh ilmu.
Dan demi Allah, beliau telah memiliki pula bersama mereka
(sahabat) sepersepuluh yang tersisa.” Beliau juga berkata, “Jika
pada suatu permasalahan terdapat pendapat Ali maka kami tidak
membandingkan dengan yang lain.”
Ibn al-Musayyib berkata, “Tidak ada seorang (sahabat) yang
berkata, ‘Bertanyalah kepadaku,’ kecuali Ali Krw.” Dikutip dari
kitab Tahdzîb al-Asmâ karya an-Nawawi.
Diriwayatkan di antara yang menakjubkan dari al-Imam Ali
Krw., jika beliau ditanya tentang suatu permasalahan yang berat,
maka beliau menjawabnya secara spontan tanpa memerlukan
berpikir terlebih dahulu. Di antaranya adalah jawaban beliau
ra. atas masalah al-minbariyah (dalam ilmu waris pada bab
aul) yang merupakan riwayat masyhur, yaitu seorang istri, dua
anak wanita, ibu, dan bapak. Beliau ditanya tentang hal itu di

399
saat sedang berkhutbah di atas mimbar di Kufah. Maka beliau
menjawabnya secara spontan, “Bagian (istri) seperdelapan menjadi
sepersembilan.”
Selain itu di antaranya adalah, seorang wanita mendatangi
beliau ra. mengadu tentang Qadhi Syuraih.482  Dia berkata kepada
beliau, “Saudara lakiku wafat dan meninggalkan enam ratus dinar,
tetapi dia (Qadhi) memutuskan untukku hanya satu dinar.” Maka
beliau Krw. menjawabnya dengan spontan, “Barangkali saudara
lakimu selain engkau meninggalkan istri, ibu, dua anak perempuan,
dan dua belas saudara laki-laki.” Wanita itu menjawab, “Benar.”
Maka beliau menjawab, “Itulah hakmu.”

***

Sedangkan Abdullah bin Mas‘ûd ra. adalah orang yang dijuluki


dengan, “cawan yang diliputi oleh ilmu.”
Disampaikan oleh Ibn Jarîr483  dari Ibn Mas‘ûd ra., beliau
berkata, “Demi Dzat yang tidak ada tuhan selain-Nya, tidak ada
satu ayat pun dari kitab Allah kecuali aku mengetahui berkenaan
dengan siapa ayat itu turun, di mana, dan kapan turunnya. Jika
aku mengetahui tempat seseorang yang lebih mengetahui Kitab
Allah dari pada diriku dan dia dapat dicapai dengan hewan
tunggangan, niscaya pasti aku akan mendatanginya.”
As-Sulafiy484  menyampaikan dalam kitab al-Mukhtâr Min
ath-Thuyûriyyât, bahwa asy-Sya’biy berkata, “Umar bin al-
Khattab ra. berjumpa dengan kafilah dalam perjalanan yang di
dalamnya terdapat Ibn Mas‘ûd ra., maka beliau memerintahkan
seseorang menyeru mereka, ‘Dari manakah kalian?’ Maka mereka
menjawab, ‘Kami datang dari segala penjuru menuju Bait al-‘Atîq
(Ka’bah).’ Maka Umar berkata, ‘Sesungguhnya di antara mereka
terdapat seseorang yang berilmu.’ Lalu beliau menyeru seseorang
untuk menyeru mereka, ‘Apakah ayat Al-Qur’an yang teragung?’
Maka Abdullah menjawabnya,

400
‘Allah tak ada tuhan selain Dia, yang Maha Hidup lagi
Maha Berdiri Sendiri.’
(QS. al-Baqarah: 255)

Beliau ra. memerintahkan kembali untuk menyeru, ‘Apakah ayat


Al-Qur’an yang paling mengandung hukum?’ Maka Ibn Mas‘ûd
menjawab,

‘Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada keadilan,


kebaikan dan memberi kerabat terdekat.’ (QS. an-Nahl: 90)

Beliau ra. memerintahkan kembali untuk menyeru, ‘Apakah ayat


Al-Qur’an yang paling mencakup?’ Maka beliau menjawab,

‘Barangsiapa beramal baik seberat biji zarrah, maka ia


akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa beramal jelek
seberat biji zarrah, maka ia akan melihat.’
(QS. al-Zalzalah: 7-8)

Beliau ra. memerintahkan kembali untuk menyeru, ‘Apakah ayat


Al-Qur’an yang paling menimbulkan kesedihan?’ Maka beliau
menjawab,

‘Barangsiapa berbuat jahat niscaya ia akan dibalas denga


nnya.’ (QS. an-Nisa: 123)

Beliau ra. memerintahkan kembali untuk menyeru, ‘Apakah ayat


Al-Qur’an yang paling menimbulkan harapan?’ Maka beliau
menjawab,

‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap


dirinya …’
(QS. az-Zumar: 53)

401
Lalu beliau berkata, ‘Apakah di antara kalian ada Ibn Mas‘ûd?’
Maka mereka menjawab, ‘Benar.’” Dikutip dari kitab al-Itqân.
Tentang firman Allah,

“Hingga jika mereka keluar dari sisimu, mereka bertanya


kepada orang-orang yang diberi ilmu, ‘Apakah yang
dikatakannya (Muhammad) tadi?’”
(QS. Muhammad: 16)

Abdullah bin Buraidah485  berkata, “Dia (orang-orang yang diberi


ilmu) adalah Ibn Mas‘ûd ra.” Disebutkan oleh Ibn al-Qayim
dalam kitab A’lâm al-Muwaqqi‘în.

***

Sedangkan Abdullah bin Abbas ra., dulu dijuluki dengan,


“Cendekiawan umat dan terjemahan Al-Qur’an.”
Mujâhid berkata, “Dulu Ibn Abbas dijuluki lautan karena
ilmunya yang banyak.” Ketika wafat Ibn Abbas ra., Muhammad
al-Hanafiyyah ra. berkata, “Wafatlah seorang rabbâni (pelayan
Tuhan) di umat ini.”
Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah486  berkata, “Aku tak
melihat orang yang lebih berilmu dari Ibn Abbas tentang sabda
Rasulullah Saw. dan keputusan hukum Abubakar, Umar, dan
Utsman ra. Tak ada orang yang lebih darinya dalam menguasai fiqih
dan dalam mengetahui tafsir Al-Qur’an, bahasa arab, syair, ilmu
hitung dan warisan. Dulu majelis beliau sehari membahas fiqih,
sehari membahas takwil, sehari membahas sejarah peperangan,
sehari membahas syair, dan sehari membahas sejarah bangsa arab.
Aku tak pernah melihat seorang ulama pun yang duduk di hadapan
beliau kecuali tunduk kepadanya. Dan tak pernah kulihat seorang
penanya pun kecuali mendapatkan jawaban di sisinya.” Disebut
oleh an-Nawawi dalam kitab Tahdzîb al-Asmâ.

402
Al-A’masy487  berkata, “Jika kau melihat Ibn Abbas ra., maka
kau akan berkata, ‘Dia adalah orang yang berwajah elok.’ Jika dia
berbicara, maka kau akan berkata, ‘Dia adalah orang yang paling
fasih dalam berbicara.’ Jika dia menyampaikan sesuatu, maka kau
akan berkata, ‘Dia adalah orang yang paling berilmu.’”
Diriwayatkan bahwa seseorang mendatangi dan bertanya
kepada Ibn Umar tentang firman Allah Swt.,

“Bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu


adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya.”
(QS. al-Anbiya: 30)

Maka beliau menjawab, “Pergilah kau kepada Ibn Abbas, dan


tanyakanlah kepadanya, lalu kemarilah dan beritahukan kepadaku.”
Maka orang itu pun pergi dan bertanya. Lalu beliau ra. menjawab,
“Dahulu langit adalah suatu yang padu tidak mencurahkan
hujan dan bumi adalah suatu yang padu tidak menumbuhkan
sesuatu. Lalu keduanya dipisahkan dengan hujan dan tumbuhan.”
Kemudian orang yang bertanya itu kembali kepada Ibn Umar dan
memberitahukan jawabannya. Maka Ibn Umar berkata, “Dulu
aku pernah mengatakan bahwa aku tidak menyukai keberanian
Ibn Abbas dalam menafsirkan Al-Qur’an. Namun sekarang aku
telah mengetahui, bahwa sesungguhnya diberikan kepadanya
pengetahuan.” Disebut oleh as-Suyûthi dalam kitab al-Itqân.

Manfaat
Sebagian tabi‘in berkata, “Aku melihat majelis Ibn
Abbas ra., yang menjadikan kabilah Quraisy berhak
berbangga atas seluruh orang arab dan ‘ajam
(non arab). Hal itu karena, dulu beliau (Ibn Abbas),
bangun sebelum fajar dan berdiam di masjid hingga
terbit matahari. Lalu melakukan shalat Dhuha dan

403
kembali ke rumahnya. Kemudian seseorang menyeru di pintu
rumah beliau, ‘Wahai, barangsiapa menginginkan ilmu tafsir,
 Lalu
hendaklah dia datang.’  manusia
berdatangan
  berbondong-
      

bondong, dan beliau menyampaikan kepada mereka tentang
ayat-ayat Al-Qur’an. Tidak ada satu ayat pun kecuali beliau
mengetahuinya apakah ayat itu termasuk yang diturunkan di
            
Makkah (makiyyah) atau di madinah (madaniyyah), di mana
dan kapan turunnya ayat
  itu,
  
serta   
tentang  siapa
  
   itu 
ayat

    


diturunkan. Kemudian seseorang menyeru kembali di pintu
        
rumah beliau, ‘Wahai, barangsiapa menginginkan ilmu fiqih,
 Maka mereka pun berdatangan kepada
hendaklah dia datang.’
beliau dengan permasalahan yang sulit, namun diselesaikan
beliau.
 oleh   Lalu
 seseorang
  menyeru
 kembali
dipintu
rumah

beliau, ‘Barangsiapa menginginkan ilmu nasab, hendaklah
   
         
dia datang.’ Kemudian menyeru kembali, ‘Barangsiapa
menginginkan
   ilmu
 sastra,
  hendaklah
  dia
datang.’
 
 Maka


masuklah manusia berbondong-bondong, dan beliau ra. dalam
setiap ilmu itu adalah samudera lautan ilmu yang luas, yang
tidak berhenti dan terlambat. Beliau terus menerus dalam
 
           
kondisi demikian hingga tiba azan Zuhur, maka beliau berkata,


‘Berdirilah kalian dan shalatlah bersama kami.’” Seorang
tabi‘in berkata, “Majelis ini menjadikan kabilah Quraisy berhak
berbangga atas seluruh orang arab dan ‘ajam.”
 
             
 kebutaan di akhir umurnya, Ibn Abbas
Ketika mengalami
ra. berkata,
              
   
  
 
       
Jika Allah mengambil cahaya dari kedua mataku 
maka di dalam sanubari dan hatiku terdapat cahaya
  Hatiku

cerdas,

 akalku
  tanpa
keraguan
 
dan lisanku tajam, bak pedang yang terhunus
            
           


404
         
  


Ilmu para sahabat              
  bin  Aslam
berkata,
    “Ketika
   beberapa  
488 
Abdurrahman bin Zaid
Abdullah wafat, yaitu; Abdullah bin al-Abbas, Abdullah bin
Umar, Abdullah bin  az-Zubair,     dan
  Abdullah     bin   ‘Amr
 bin
al-‘Âsh, maka   fiqih di seluruh negeri berpindah kepada
ilmu
para mawâli (keturunan dari hasil perkawinan antara Arab-non-
 Arab);
        
l Ahli fiqih di Makkah adalah ‘Athâ`489 .
 l Ahli
  fiqih
 di    adalah
Yaman   Thâwûs
  490 
.   
l Ahli  fiqih
diYamâmah
   adalah  Yahya
 bin  Abu

 Katsîr.

l Ahli fiqih di Bashrah adalah al-Hasan . 491 

l Ahli diqih di Kufah adalah Ibrahim an-Nakha‘iy492 .
l Ahli fiqih di Syam adalah Mak-hûl.493 

   fiqih
 l Ahli diKhurasân
adalah    ‘Atha`
  al-Khurâsâniy.
   494  

Kecuali di kota Madinah, sesungguhnya Allah
mengkhususkan kota itu untuk seorang yang berkabilah Quraisy

tanpa keraguan  lagi.
Yaitu;
   Sa‘îd
  bin
 Musayyib
   ra.”Disebut
oleh

Abu Ishaq dalam 
kitab Thabaqat al-Fuqahâ`.
Saya (penulis) berkata bahwa Sa‘îd bin Musayyib ra.
tergolong tujuh ahli fiqih yang berada di Madinah di masa yang
                  
sama. Dari merekalah ilmu dan fatwa dikenal. Dikatakan bahwa
 setelah
 sesungguhnya   masa
sahabat
 fatwa ada  pada
mereka
  dan

mereka dikenal dengan fatwa itu. Sebagian ulama mengumpulkan 
nama-nama mereka dalam dua bait syair berikut,

   
 
      
            
           
Wahai, semua yang tak mengikuti para imam 
Bagiannya tak adil dan ‘tlah keluar dari kebenaran
Ambillah dari mereka; Ubaidullah, ‘Urwah, Qâsim
Sa‘îd, Abubakar, Sulaiman, dan Khârijah495 

405
Harmalah bin Yahya496  meriwayatkan bahwa al-Imam asy-
Syafi‘i rhm. berkata, “Manusia harus terikat atas lima orang;
Seseorang yang ingin menguasai ilmu fiqih haruslah terikat
dengan Abu Hanifah, yang ingin menguasai tafsir haruslah
terikat dengan Muqâtil bin Sulaiman, yang ingin menguasai ilmu
nahwu haruslah terikat dengan al-Kisâ-iy, yang ingin menguasai
syair haruslah terikat dengan Zuhair bin Abu Sulmâ, dan yang
ingin menguasai ilmu sejarah peperangan haruslah terikat dengan
Muhammad bin Ishâq.”
Qatâdah berkata, “Dulu para tabi‘in yang paling menguasai
ilmu ada empat orang; ‘Athâ` bin Abu Rabâh yang paling
menguasai ilmu manasik haji, Sa‘îd bin Jubair yang paling
menguasai ilmu tafsir, ‘Ikrimah yang paling menguasai ilmu
sejarah, dan al-Hasan yang paling menguasai ilmu halal dan
haram.” Disebut di dalam kitab al-Itqân497 .
Saya (penulis) berkata bahwa dulu al-Imam al-Hasan al-
Bashriy rhm. termasuk pemimpin dan pembesar dari kalangan
tabi‘in. Beliau meliputi semua ilmu, sifat zuhud, wara’ dan ibadah.
Sebagian ulama berkata, “Dulu al-Hasan mencakup segala hal,
seorang ulama,berkedudukan tinggi, dan ahli fiqih, sebagai bukti
yang dapat dipercaya, ahli ibadah dan taat, memiliki banyak ilmu,
fasih dalam berbicara, serta tampan lagi rupawan. Dulu ibu beliau
adalah budak Ummu Salamah, istri Nabi Saw. Kadang-kadang
ketika ibu beliau pergi untuk menyelesaikan pekerjaan, beliau
menangis, maka Ummu Salamah menyusui beliau, menutupi
kebutuhan beliau hingga datang ibu beliau lalu menyusuinya.
Para ulama melihat kecerdasan dan kefasihan beliau berasal dari
keberkahan tersebut.” Di kutip dari kitab Mir-âh al-Janân.
Abubakar al-Hudzaliy berkata, “As-Saffâh bertanya
kepadaku, ‘Dengan apakah Hasan kalian itu mencapai apa
yang telah dia capai?’ Maksudnya adalah al-Hasan al-Bashriy.
Maka kujawab, ‘Wahai amir al-mukminin, beliau menguasai
kitab Allah pada usia dua belas tahun. Beliau tidak melalui satu

406
surat ke surat yang lain kecuali mengetahui takwil dan sebab
turunnya. Beliau tidak memutarkan uang dalam perdagangan,
tidak mencintai pemimpin karena menginginkan kekuasaan,
tidak memerintahkan kepada sesuatu kepada umat hingga dia
melakukannya sendiri terlebih dulu dan tidak melarang sesuatu
kecuali dia meninggalkannya terlebih dulu.’ Lalu dia berkata,
‘Dengan inilah dia mencapai apa yang telah dia capai.’” Dikutip
dari kitab Mir-âh al-Janân.
Disebutkan dalam kitab itu bahwa sebagian berkata, “Dulu
tabi‘in yang paling menguasai permasalahan talak adalah Sa‘îd
bin Musayyib. Sedangkan permasalahan Haji adalah ‘Athâ`,
halal dan haram adalah Thâwûs, dan yang paling menguasai
permasalahan tafsir adalah Mujâhid. Namun Sa‘îd bin Jubair
rhm. yang paling menguasai semua itu.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Hajjâj membunuh
Sa‘îd bin Jubair, dan tak ada seorang pun di muka bumi kecuali
dia dalam keadaan membutuhkan ilmu beliau (Sa‘îd). Dan Allah
tidak memberikan kekuasaan atasnya (Hajjâj) untuk membunuh
orang setelah itu.”

Ilmu orang-orang setelah mereka


Abu Hanifah ra. berkata, “Aku tak melihat orang yang paling
menguasai fiqih seperti Ja’far bin Muhammad. Ketika al-
Manshûr datang ke al-Hîrah, dia mengutus seseorang kepadaku
dan berkata, ‘Wahai Abu Hanifah, sesungguhnya manusia telah
terkena fitnah Ja’far bin Muhammad, maka siapkanlah untukku
pertanyaan-pertanyaanmu yang sulit.’ Lalu aku menyiapkan
untuknya empat puluh pertanyaan. Kemudian al-Manshûr
memanggilku, maka aku mendatanginya dan Ja’far duduk di
samping kanannya. Ketika aku melihat mereka berdua, menyisip
ke dalam hatiku kewibawaan Ja’far, yang tidak ada pada al-
Manshûr. Kemudian dia (al-Manshûr) berkata, ‘Wahai abu
Abdillah, apakah kau mengenalinya?’ Beliau menjawab, ‘Ya, dia

407
adalah Abu Hanifah yang telah mendatangi kami.’ Kemudian
dia (al-Manshûr) berkata, ‘Wahai Abu Hanifah, engkau ingin
menanyakan sesuatu?’ Maka aku mulai menanyai beliau, dan di
setiap pertanyaan, beliau menjawab, ‘Kalian berpendapat dalam
permasalahan ini seperti ini, penduduk Madinah berpendapat
seperti ini, dan kami berpendapat seperti ini.’”
Di dalam mukaddimah kitab Syarh Muslim al-Imam an-
Nawawi rhm. berkata, “Kita mendapat riwayat dari al-Hasan bin
Isa, beliau mengatakan bahwa sekelompok sahabat Ibn al-Mubarâk
berkumpul dan mereka berkata, ‘Marilah kita menghitung sifat-
sifat Ibn al-Mubarâk dari pintu-pintu kebaikan.’ Maka mereka
pun menyebutkan, ‘Beliau meliputi ilmu, fiqih, kesusastraan,
nahwu, bahasa, sifat zuhud, syair, kefasihan, sifat wara’, sifat
diam, bangun di malam hari dan beribadah, memiliki pendapat
yang kuat, tidak berbicara sesuatu yang tidak bermanfaat, dan
tidak berselisih pendapat terhadap para sahabatnya.’”
Al-Abbas bin Mush‘ab berkata, “Ibn al-Mubarâk meliputi
ilmu hadits, fiqih, bahasa arab, sejarah manusia, keberanian,
perdagangan, kedermawanan, dan cinta di saat terjadi perbedaan.”
Diriwayatkan bahwa Imam al-Haramain rhm. berkata, “Aku
tak pernah berbicara tentang ilmu al-Kalam (tauhid) satu kata pun,
kecuali setelah aku menghafal dari ucapan al-Qâdhi Abubakar498 
secara khusus sebanyak dua belas ribu lembar.” Suatu ketika dia
berkata kepada muridnya yaitu al-Imam al-Ghazali, “Bukalah
rumah ini.” Maka dia membukanya, dan mendapti rumah itu
dipenuhi oleh kitab. Lalu dia berkata kepada muridnya itu, “Aku
tidak dipanggil ‘wahai faqîh (orang yang memahami agama)’
kecuali setelah kupelajari semua kitab ini.” Yakni menghafalnya.
Diriwayatkan bahwa al-Imam as-Sarkhasiy499  menulis sebuah
kitab yang berjudul al-Mabsûth—yaitu sebuah kitab yang terdiri dari
tiga puluh juz—dan kitab itu ditulis ketika beliau berada di penjara.
Beliau tidak memiliki rujukan dalam menulis kitab itu kecuali ilmu
yang ada di dadanya. Para penulis biografinya mengatakan, “ Beliau

408
menghafal dua belas ribu kurrâs. Yaitu dua ratus empat puluh ribu
halaman, jika satu kurrâs adalah sepuluh lembar.”
Syaikh al-Islam Abu Zakariya rhm. berkata, “Telah
diriwayatkan kepada kami bahwa Muhammad bin Jarîr ath-
Thabariy menulis kitab tafsir yang tebal, dan pada saat itu kitab
yang beliau hafal sekitar pikulan seratus unta.”
Ibn Syâhin500  berkata, “Aku menulis banyak kitab yang
tak dapat kuhitung jumlahnya, dan aku menghitung tinta yang
kugunakan menulis mencapai seribu qinthâr (1200 auqiyah. 1
auqiyah = 119 gram).”
Ibn as-Subki dalam kitab ath-Thabaqât al-Wusthâ menukil
dari Abu al-Qâsim al-Junaid ra., beliau berkata, “Tidaklah
Allah menurunkan ilmu dari langit, dan menjadikan makhluk
mencapainya, kecuali menjadikan untuk makhluk itu
keberuntungan dan bagian besar.” Disebut oleh asy-Sya’râni
dalam kitab al-Anwâr al-Qudsiyyah.
Diceritakan dari Abu Nu‘aim rhm. penulis kitab Hilyah
al-Auliyâ, bahwa beliau menulis kitabnya (al-Hilyah) pada
saat beliau berumur delapan tahun. Dan pada saat itu beliau
menuangkan tulisannya itu, kepada para penulis, dari hafalannya
sebanyak tujuh puluh jilid. Setiap satu jilidnya enam puluh
kurrâs dalam bentuk yang sempurna. Disebut oleh al-Imam Ali
bin Muhammad al-Habsyi dalam ucapan beliau ra..
Beliau ra. juga berkata, “Sesungguhnya asy-Syaikh Ibn ‘Arabi
menulis kitab tafsir Al-Qur’an al-Karim. Beliau menulis sembilan
puluh jilid hingga sampai pada firman Swt.,

“Dan kami ajarkan kepadanya, ilmu dari sisi kami.”


(QS. al-Kahfi: 65)

Maka beliau menghancurkan tinta dan pena, dan berkata, ‘Kita


menghabiskan umur, padahal kita berbicara tentang ilmu yang
merupakan pemberian dari-Nya semata.’”

409
Diriwayatkan tentang Ibn al-Haddad asy-Syafi‘i, bahwa
ketika perpustakaan yang menampung kitab terbakar, hal itu
menjadikan raja sibuk. Maka orang-orang dekatnya berkata,
“Janganlah kau menyibukkan dirimu, biarkanlah Ibn al-Haddad
membacakan kembali kepadamu dari hafalannya.” Maka beliau
ra. membacakan kitab-kitab itu lagi dari hafalan beliau, hingga
perpustakaan itu kembali seperti semula. Disebut oleh al-Imam
Ahmad bin Umar bin Sumaith ra. dalam ucapannya.
Di dalam kitab tarikhnya al-Khathîb menyebutkan bahwa
al-Imam Abu Hanifah ra. bermimpi bahwa dirinya mengeduk
kubur Rasulullah Saw. Maka beliau memerintahkan seseorang
untuk menanyakan takwil mimpinya kepada Ibn Sîrîn. Ibn Sîrîn
menjawab, “Orang yang memimpikan hal ini menguasai ilmu
dan tak ada seorang pun yang dapat melampauinya.”
Al-Imam Ibn Syihâb az-Zuhriy rhm.501  menghafal ilmu
tujuh para ahli fiqih. Beliau pernah berkata, “Aku tak pernah
melupakan ilmu yang kutitipkan kepada hatiku.” Ketika duduk
di rumahnya, beliau meletakkan kitab-kitab di sekelilingnya.
Maka beliau menyibukkan dirinya dengan kitab-kitab itu dari
segala perkara dunia. Istrinya berkata, “Demi Allah, kitab-kitab
ini lebih berat bagiku daripada dimadu dengan tiga wanita.”
Diriwayatkan bahwa al-Imam Ishaq bin Râhawîh502 , beliau
menghafal tujuh puluh ribu hadits dan berbicara mengingatkan
orang dengan satu juta hadits. Beliau berkata, “Tidaklah aku
mendengar suatu hadits kecuali aku menghafalnya dan tidak
pernah aku melupakan sesuatu yang sudah kuhafalkan.” Beliau
menggabungkan antara hadits, fiqih, dan sifat wara’. Dari kitab
Mir-âh al-Janân.
Ibn Abdulhakim berkata, “Ketika ibu Syafi‘i mengandung
Syafi‘i, dia bermimpi melihat seperti cahaya yang keluar dari
kemaluannya sampai ke Mesir, kemudian di setiap kota darinya
terdapat pengikut. Maka ahli takwil mimpi menakwilkan bahwa

410
akan keluar darinya seorang ulama yang ilmunya diperuntukkan
untuk penduduk Mesir, lalu menyebar ke seluruh tempat.”

Ilmu para Sâdah keluarga besar Ba ‘Alawi


Saya (penulis) berkata bahwa dulu junjungan kami asy-Syaikh
al-Quthb Umar al-Mihdhâr bin Abdurrahman as-Saqqâf ra.
berkata, “Jika aku mau memenuhi muatan seribu unta dari tafsir
firman-Nya Swt.,

‘Ayat mana saja yang Kami hapuskan, atau Kami jadikan


[manusia] lupa kepadanya.’
(QS. al-Baqarah: 106)

maka pasti aku lakukan.” Ketika seseorang bertanya kepadanya


tentang hati, maka beliau menjawab, “Hati memiliki seribu
lembah, kau memintaku menjelaskan lembah yang mana?”
Dulu junjungan kami al-Quthb Abdullah bin Abubakar al-
‘Aidarûs ra. berkata, “Jika aku mau menulis buku tentang huruf
alif sebanyak seribu jilid, maka pasti aku lakukan.” Beliau juga
berkata, “Ahh…ahh! Mengalir ke dalam hatiku banyak ilmu
yang tak mungkin kujelaskan dan kusebarkan.”
Jika mengalir kepadanya aliran rabbâni di waku mendengarkan
dendangan spiritual, maka beliau ra. berputar sambil memukul
dadanya dan berkata, “Wahai penduduk bumi di timur dan
barat, wahai penduduk ini dan itu.” Beliau menyebut penduduk
di beberapa negeri. “Apakah seseorang di antara kalian meliputi,
apa yang diliputi oleh tempayan ini?” Beliau mengucapkan itu
sambil menunjuk ke dadanya yang mulia. Cerita ini disebut oleh
junjungan kami Idrus bin Umar dalam ucapannya.
Junjungan kami al-Imam Muhammad bin Zain bin Sumaith
menceritakan bahwa guru beliau al-Quthb Ahmad bin Zain al-
Habsyi, semoga Allah memberi manfaat melaluinya, suatu hari
membaca kurang lebih seratus kitab di sekitarnya. Lalu beliau

411
berkata, “Sesungguhnya jika hilang kitab-kitab ini, aku dapat
memunculkannya kembali dari dadaku.”
Ketika beliau menulis kitab as-Safînah yang menghimpun
sesuatu yang besar dan luas itu, seseorang berkata, “Berapa
banyak ilmu bermanfaat yang Anda kumpulkan di dalamnya?”
Beliau menjawab, “Sesungguhnya yang terdapat di dalam dada
ini lebih banyak dan lebih besar.” Kitab as-Safînah503  itu kurang
lebih terdiri dari dua puluh jilid yang di dalamnya merangkum
semua ilmu dan menyebut setiap jenisnya.
As-Sayyid Muhammad yang disebut di atas berkata, “Dalam
beberapa tahun yang lalu, aku melihat seakan-akan seseorang
berkata, ‘Allah menyingkapkan untuk junjungan kami Ahmad
bin Zain al-Habsyi lautan ilmu yang tidak disingkapkan pada
al-Imam Yahya bin Zakaria an-Nawâwi.” Beliau juga berkata,
“Aku juga pernah melihat junjungan kami Abdullah al-Haddad
berkata kepada junjungan kami Ahmad bin Zain al-Habsyi, ‘Aku
berharap engkau melampaui al-Imam Muhammad bin Idris asy-
Syafi‘i dalam ilmu Zhahir, apalagi dalam ilmu batin.” Ucapan ini
disebutnya dalam kitab Bahjah az-Zamân.
Junjungan kami Abdullah bin Alwi al-Haddad ra. berkata,
“Di antara keluarga besar bani ‘Alawi yang paling banyak karya
tulisnya adalah Abdulqâdir bin Syaikh al-‘Aidarûs.” Beliau ra.
memujinya dengan tulisannya yang berkualitas dan ilmunya
yang luas. Diriwayatkan bahwa kitab pertama yang ditulis oleh
beliau, ketika beliau berumur di bawah dua puluh tahun, adalah
kitab al-Hadâiq al-Khadhirah fi Sîrati an-Nabi Saw. wa Ashhâbihi
al-‘Asyrah. Disebut oleh beliau dalam kitab Syarh al-‘Ainiyyah.
Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi ra. berkata, “Aku
bertanya kepada al-Habib Abubakar al-Attas504 , semoga Allah
memberi manfaat melaluinya, tentang makna firman Allah,

‘Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu


pula bumi.’ (QS. ath-Thalaq: 12).

412
Maka beliau menjawab, ‘Jika aku berbicara tentangnya,
maka aku akan “melumpuhkan” penulis di dunia.’”
Saya (penulis) berkata bahwa termasuk yang juga masyhur
dengan banyaknya ilmunya, yang diucapkan dan difahami,
adalah al-Imam al-‘Allamah al-Wajîh Abdurrahman bin Abdullah
bin Ahmad Balfaqîh ra. Junjungan kami al-Quthb Abdullah al-
Haddad menjuluki beliau dengan ‘Allamah ad-Dun-ya. Bahkan
beliau (al-Habib Abdullah al-Haddad) pernah bersumpah,
“Tidak ada di semesta ini yang seperti Abdurrahman.” Beliau
mengutus seseorang dari masjid al-Hâwi untuk pergi ke kota
dan bertanya kepada al-Habib Abdurrahman tentang beberapa
masalah yang berkaitan dengan hadits. Maka utusan itu datang
dan menanyakannya. Lalu beliau ra. menjawabnya tanpa
perlu menelaah kitab terlebih dahulu. Beliau ra. berkata, “Aku
memiliki empat belas jenis ilmu, dan tak ada seorang pun yang
bertanya kepadaku tentang sesuatu darinya.” Hal ini disebut
oleh al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi semoga Allah memberi
manfaat melaluinya dalam kumpulan ucapan beliau.

Catatan Akhir
477. HR. al-Bukhari (82), dan Muslim (2391). Disampaikan oleh Ibn
Umar.
478. HR. Ibn Sa‘ad dalam ath-Thabaqât al-Kubrâ (2: 336)
479. HR. Abu Nu‘aim dalam kitab al-Hulyah (1: 65)
480. HR. al-Imam Ahmad dalam musnadnya (5: 26)

413
481. Abu ath-Thufail ‘Amir bin Wathilah al-laitsiy al-Hijaziy ash-shahabiy yang
terakhir wafat di antara mereka (wafat pada tahun 110 H). Beliau adalah
mata yang terakhir melihat Rasulullah Sa.w di dunia ini. Beliau melihat
Nabi Saw. ketika haji wada’ dan beliau Saw. mengucapkan salam ke rukun
dengan tongkatnya, dan mengecupnya. Abu ath-Thufail seorang yang
berilmu, ahli syair, dan seorang pahlawan. Beliau berumur panjang, dan
syahid bersama Ali ra. di peperangannya dan beliau sangat mencintai Ali ra.
482. Syuraih al-Qâdhi adalah Abu Umayyah Syuraih bin al-Hârits al-Kindiy
(wafat tahun 80 H). Masuk Islam di zaman Nabi Saw., lalu pindah dari
Yaman di zaman ash-Shiddiq. Beliau menjadi wali Kufah selama enam
puluh tahun. Seorang ahli fiqih yang paling mahir dibanding orang
yang paling mengetahui permasalahan qadi.
483. Seorang imam yang terkemuka dan seorang mujtahid serta ulama
zamannya. Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr ath-Thabariy (224-310
H). Al-Hâfizh adz-Dzahabiy, “Beliau banyak melancong dan menemui
banyak orang-orang besar. Beliau termasuk satu-satunya orang di
zamannya yang paling berilmu, terpandai dan terbanyak karya tulisnya.
Jarang sekali mata memandang yang sepertinya. Beliau termasuk para
imam mujtahid yang terbesar.” Bersama dengan semua itu beliau adalah
seorang yang menjauh dari dunia, merasa cukup dengan yang sedikit,
dan menyampaikan kebenaran dengan tegas. Di antara tulisan beliau
yang agung dan luar biasa; tafsir beliau yang bejudul Jâmi’ al-Bayân Fi
Tafsîr Al-Qur’an, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, dan Tahdzîb al-Âtsâr
serta lain-lainnya.
484. Al-Imâm al-‘Allamah al-Hâfizh al-Kabîr Abu Thâhir Ahmad bin
Muhammad al-Ashbahâniy as-Silafiy (475-576 H). at-Tâj as-Subki
berkata, “Beliau seorang yang menghafal banyak hadits yang agung,
imam berkedudukan tinggi, berwawasan luas, dekat dengan agama,
seorang yag memiliki sifat wara’, sebagai hujjah. Memiliki keteguhan,
ahli fiqih, ahli bahasa, puncak sanad berakhir di dirinya dan memiliki
hafalan yang kuat.”
485. Abu Sahl Abdullah bin Buraidah bin al-Hushaib al-Aslamiy al-Marûziy
(15-115 H). Beliau adalah seorang imam, penghafal hadits, dapat
dipercaya, dan seorang tabi‘in, serta guru besar dalam periwayatan dan
seorang qadi. Beliau menyampaikan banyak sekali hadits dari ayahnya,
begitu juga dari as-Sayyidah Aisyah, Abu Musa, as-Sayyidah Ummu

414
Salamah, Abu Hurairah dan sekelompok sahabat. Beliau termasuk
cawan ilmu.
486. Seorang imam yang menguasai ilmu fiqih, mufti kota Madinah al-
Munawwarah dan termasuk ulamanya, serta tergolong tujuh ahli
fiqih (mereka adalah para tabi‘in yang dikenal sebagai ulama). Abu
Abdullah al-Hudzaliy al-Madaniy al-A’mâ (wafat pada tahun 99 H).
Az-Zuhri berkata, “Dulu Ubaidullah bin Abdullah salah satu lautan
dari samudera ilmu.”
487. Al-Imam, Syaikh al-Islam Abu Muhammad Sulaiman bin Mihrân
al-Kûfiy (61-148 H). Guru besar ahli Al-Qur’an dan Hadits. Yahya al-
Quththân berkata, “Beliau adalah seorang ‘allamah dalam Islam.” Wakî’
bin al-Jarrâh berkata, “Kurang lebih selama tujuh puluh tahun al-A’masy
tidak pernah ketinggalan takbir pertama bersama imam dalam shalat
berjemaah.” Yang lain berkata, “A’masy tidak meninggalkan seseorang
yang lebih ahli dalam ibadah sepertinya.”
488. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam al-‘Umariy al-Madaniy (wafat pada
tahun 182 H). Beliau adalah orang yang menguasai Al-Qur’an dan
ilmu tafsir. Menulis kitab tafsir dalam satu jilid dan kitab an-Nâsikh wa
al-Mansûkh. Menurut ulama hadits beliau termasuk lemah riwayatnya,
tidak termasuk kuat.
489. ‘Athâ bin Abu Rabâh al-Makkiy (wafat pada tahun 115 H).
490. Beliau adalah seorang imam, menghafal banyak hadits, dan seorang
panutan. Ulama di Yaman dan ahli fiqihnya, Abu Abdurrahman Thâwûs
bin Kaisân al-Anbâriy al-Farisiy kemudian al-Yamaniy al-Janadiy (wafat
106 H). Salah satu sahabat Ibn Abbas yang terbesar dan merupakan
sahabat yang beliau cintai. Ibn Abbas ra. berkata, “Aku yakin bahwa
Thâwûs adalah penduduk surga.”
491. Yang dimaksud adalah al-Hasan al-Bashriy.
492. Beliau adalah seorang imam, menghafal banyak hadits, dan ahli fiqih di
negeri Irak, Abu ‘Imrân Ibrahim bin Zaid an-Nakha‘iy al-Yamâniy lalu
al-Kûfiy (wafat pada tahun 96 H). Beliau merupakan salah satu tokoh.
Memiliki wawasan terhadap ilmu Ibn Mas‘ud, luas periwayatannya,
memahami masalah yang berkaitan dengan nafsu, berkedudukan
tinggi, dan menyandang banyak sifat terpuji. Beliau merupakan tabi‘in
yang paling muda.
493. Beliau adalah seorang imam dan ahli fiqih Abu Abdullah Mak-hûl
bin Abu Muslim al-A’jamiy ad-Dimasyqiy (wafat pada tahun 112 H).

415
Seorang ulama di negeri Syam. Sa‘îd bin Abdulaziz berkata, “Di zaman
Mak-hûl tidak ada orang yang lebih menguasai dalam hal berfatwa
melebihinya.”
494. ‘Atha` bin Abu Muslim al-Khurâsâniy, adalah seorang ahli hadits,
pemberi nasihat, dan ahli ibadah. Beliau singgah di kota Damaskus
dan Palestina (wafat pada tahun 135 H). Ya’qub bin Syaibah berkata,
“Beliau adalah orang yang dipercaya, dan dikenal sebagai ahli fatwa dan
jihad.”
495. Biografi tujuh imam di atas sebagai berikut;
1. Ubaidullah, beliau adalah Ibn Ubaidullah bin ‘Utbah.
2. Urwah, beliau adalah seorang imam, ahli fiqih, dan ulama kota
Madinah, Abu Abdullah ‘Urwah bin az-Zubair (yang dijuluki
sebagai Hawâriy [penolong] Rasulullah) bin al-‘Awwâm al-
Qurasyiy al-Madaniy (23-94 H). Az-Zuhriy berkata, “Aku melihat
‘Urwah sebagai lautan yang tidak dicapai oleh timba.”
3. Qâsim, beliau adalah al-Imam al-Hujjah Abu Muhammad al-
Qâsim bin Muhammad bin Sayyidina Abubakar ash-Shiddîq al-
Qurasyiy at-Taimiy, (wafat pada tahun 107 H). Seorang ulama di
zamannya di kota Madinah bersama Sâlim dan ‘Ikrimah. Beliau
adalah seorang pemimpin, ulama, berkedudukan tinggi, ahli fiqih,
memiliki sifat wara’, dapat dipercaya, dan meriwayatkan banyak
hadits.
4. Sa‘îd adalah anak al-Musayyib.
5. Abubakar adalah al-Imam Abubakar bin Abdurrahman al-
Makhzûmiy (wafat pada tahun 94 H). Beliau seorang ulama, ahli
fiqih, dermawan, meriwayatkan banyak hadits, kedua matanya
buta, dan dijuluki rahib karena banyak melakukan shalat. Beliau
termasuk orang yang berkedudukan dalam kabilah Quraisy.
Sebagian ulama menggantikan posisinya dalam tujuh ulama
yang terpandang ini dengan Sâlim bin Abdullah bin Umar bin
al-Khattab.
6. Sulaiman adalah al-Imam al-Faqih Sulaiman bin Yasâr al-Madaniy
(wafat pada tahun 107 H). Beliau termasuk cawan ilmu hingga
sebagian ulama lebih mengutamakannya dibanding Sa‘îd bin
al-Musayyib.
7. Khârijah adalah Abu Zaid Khârijah bin Zaid bin Tsabit al-Anshâriy
al-Madaniy (wafat pada tahun 99 H). Beliau adalah seorang
imam anak dari imam, salah satu ahli fiqih yang merupakan

416
tokoh dari tujuh ulama yang terpandang. Ketika berita tentang
kematian beliau sampai kepada Umar bin Abdulaziz, maka dia
mengucapkan kalimat istirjâ’ (innâ lillâh wa innâ ilaihi raji‘ûn),
lalu menepuk tangannya dengan tangannya yang lain dan berkata,
“Demi Allah, terjadi keretakan di dalam Islam.”
496. Abu Hafsh Harmalah bin Yahya an-Nujîbiy al-Mishriy (166-243 H).
beliau adalah seorang imam yang ahli dalam fiqih, dan muhaddits
yang jujur. Meriwayatkan dari Ibn Wahab banyak sekali, begitu juga
dari asy-Syafi‘i yang merupakan tempat beliau menimba ilmu dan
memperdalam ilmu fiqih.
497. Semua nama-nama di atas telah disebutkan biografinya kecuali
Qatâdah. Qatâdah adalah al-Imam al-Kabîr Abu al-Khattab Qatâdah
bin Di‘âmah as-Sadûsiy al-Bashriy adh-Dharîr (60-118 H). Termasuk
tokoh dari kalangan ahli hadits dan tafsir di zamannya. Beliau termasuk
cawan ilmu dan termasuk seseorang yang kekuatan hafalannya di
jadikan barometer.
498. Seorang pemimpin yang mengetahui segala permasalahan, pedang
sunnah, pemimpin ulama tauhid dan ushûl, al-Qâdhi Abubakar
Muhammad bin ath-Thayyib al-Bâqillâniy al-Bashri dan al-Baghdâdiy
(wafat pada tahun 403 H). Beliau menjadi julukan bagi sifat cerdas dan
pandai. Merupakan salah satu tiang yang kuat bagi ahl as-Sunnah. Beliau
seorang yang memiliki sifat wara’ yang tinggi, memegang teguh agama.
Merupakan pedang yang terhunus bagi kaum mu’tazilah, rafidhah,
orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk, yahudi dan
nasrani, serta kelompok dan agama lainnya yang menyimpang.
499. Matahari para imam Abubakar bin Muhammad bin Ahmad bin Sahl
as-Sarkhasiy (wafat pada tahun 483 H). Beliau adalah seorang qadi,
mujtahid, dan termasuk pembesar dari para pemimpin mazhab Hanafi.
Beliau dipenjara karena menasihati al-Khâqân. Ketika dibebaskan beliau
menempati Farghânah hingga wafat di sana.
500. Al-Hâfizh al-‘Âlim, guru besar Irak Abu Hafsh Umar bin Ahmad al-
Baghdâdiy al-Wâ‘izhi (297-385 H). Beliau adalah orang jujur dan
dapat dipercaya. Karya tulis beliau mencapai tiga ratus kitab, dan beliau
memiliki kitab tafsir Musnad yang di tulis dalam seribu juz.
501. Al-Imam al-Jalîl Muhammad bin Ahmad Abubakar bin al-Haddad
al-Mishriy (264-354 H). Beliau lahir di hari wafatnya al-Muzaniy.
Merupakan seorang imam ilmu fiqih di zamannya, mendalami makna,
menguasai sejarah dan tarikh, syair, dan nasab. Beliau juga ahli ibadah,

417
dan setiap harinya mengkhatamkan Al-Qur’an. Menjabat sebagai qadi
dan menulis beberapa karya tulis yang bagus.
502. Abu Ya’qub Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad al-Hanzhaliy al-Marwaziy
(161-238 H). Seorang imam, menggabungkan antara ilmu hadits, fiqih
dan sifat wara’. Beliau adalah tokoh yang menghafal banyak ilmu.
503. Kitab as-Safînah ini termasuk beberapa warisan ‘Alawiyyin yang hilang.
Tetapi Allah membangkitkan, seorang sayyid dari keluarga al-Habsyi
yang merupakan penuntut ilmu, mengumpulkan setiap bagiannya
yang terdapat di beberapa tempat yang terpisah, dan mendapatkannya
dalam dua belas jilid. Semoga Allah membalas kebaikan kepadanya dan
memberikan taufik untuk beramal saleh.
504. As-Sayyid asy-Syarif al-Imam al-‘Arifbillah al-Waliy al-Kabîr Abubakar
bin Abdullah bin Thâlib al-Attas al-‘Alawiy al-Husainiy al-Huraidhiy.
Lahir di kota Huraidhah pada tahun 1215 dan wafat di sana pada tahun
1281 H. Beliau merupakan imam yang berpengetahuan dan menjadi
panutan. Menimba ilmu dari orang-orang yang memiliki kedudukan
tinggi dan bertemu dengan as-Sayyid Ahmad bin Idris al-‘Arâ-isyiy dan
lain-lainnya. Mereka yang menimba ilmu darinya dan merupakan hasil
didikannya adalah; anak beliau Abdullah, Salim, al-Habib Ahmad bin
Hasan, al-Habib Ali al-Habsyi, asy-Syaikh Hasan Mukhaddam, Ali al-
Ad‘aj, serta lain-lainnya.

418
6
Biografi Empat Imam dan
Hujjah al-Islam al-Ghazali

Imam yang agung Abu Hanifah bin


Tsâbit al-Kûfiy  
505

Beliau ra. adalah ahli fiqih yang dikenal dengan keutamaannya.


Seorang yang sabar dalam pengajaran ilmu di malam dan siang
hari. Banyak diam dan sedikit berbicara, kecuali ketika datang
kepadanya masalah mengenai halal dan haram. Beliau adalah orang
yang memiliki sifat wara’, hingga beliau tidak duduk di bawah
teduh dinding orang yang berhutang kepadanya dan berkata,
“Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah riba.”
Al-Imam asy-Syafi‘i rhm. berkata, “Manusia dalam fiqih
kembali di bawah naungan Abu Hanifah.” Ali bin ‘Âshim
berkata, “Jika ditimbang akal Abu Hanifah dengan akal setengah
penduduk bumi, maka pasti beliau akan lebih unggul daripada
mereka.”
Ibn al-Mubârak mengatakan bahwa al-Imam Abu Hanifah
melakukan shalat fardhu lima waktu setiap harinya selama empat
puluh lima tahun dengan satu wudhu. Beliau dipecut di kepalanya
hingga robek wajahnya, agar memegang jabatan sebagai qadi,
namun beliau tetap menolak. Bahkan beliau berkata, “Pecut di
dunia lebih ringan bagiku daripada palu besi di akhirat.” Sebab
itulah beliau di penjara, dan wafat di penjara itu.
Beliau mengkhatamkan Al-Qur’an di tempat beliau wafat
sebanyak tujuh ribu kali, tidak berbuka selama tiga puluh tahun,
shalat Subuh dengan wudhu Isya selama empat puluh tahun.
Kadang tangisnya terdengar di pertengahan malam, hingga
tetangganya iba terhadapnya. Sebagian dari mereka berkata,
“Aku melihat Abu Hanifah mengkhatamkan Al-Qur’an di
bulan Ramadhan sebanyak enam puluh kali di malam hari dan
enam puluh kali di siang hari.” Diriwayatkan pula bahwa beliau
membangun tujuh masjid di Irak.
Beliau ra. berkata, “Apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya
kami terima di atas kepala dan mata (dengan segala hormat). Apa
yang datang dari para sahabat kami pilih yang paling terbaik dan
kami tidak keluar dari pendapat mereka. Apa yang datang dari para
tabi‘in, mereka adalah orang-orang besar dan kami juga orang-
orang besar.” Semua ini disebut dalam kitab Syarh al-‘Ainiyyah.

Imam Kota Hijrah (Madinah)


Abu Abdullah Mâlik bin Anas  
506

Beliau ra. seorang yang memiliki sifat wara’, zuhud, tenang,


dan tunduk, serta sangat mengagungkan ilmu agama. Al-
Qâdhiy ‘Iyâdh, dalam kitab asy-Syifâ` menyebutkan dari Ibn
al-Mubârak, berkata, “Aku pernah di tempat Mâlik dan dia
sedang menyampaikan hadits kepada kami. Tiba-tiba terdapat
kelajengking yang menyengatnya dengan enam belas sengatan
dan wajah beliau berubah pucat, tetapi tidak memutuskan
hadits, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku menahannya karena
pengagunganku terhadap hadits Rasulullah Saw.’”
Jika hendak menyampaikan hadits, beliau ra. masuk ke
kamar mandinya terlebih dahulu, lalu memakai minyak wangi,

420
mengenakan baju baru, dan mengenakan serbannya. Kemudian
duduk di tempat yang tinggi, dengan diliputi kekhusyuan, dan
dupa terus dinyalakan hingga beliau selesai menyampaikan hadits.
Beliau ditanya tentang perbuatannya itu, maka dijawabnya, “Aku
ingin mengagungkan sabda Rasulullah Saw.
Beliau ra. berjalan di gang-gang kota Madinah tidak mengenakan
alas kaki, dan beliau juga pernah berkata, “Aku malu kepada Allah
Swt., jika mengendarai tunggangan di atas tanah yang di dalamnya
dimakamkan Rasulullah Saw.” Suatu ketika ditanyakan kepada
saudara perempuan Malik, “Apakah pekerjaannya di rumah?” Maka
dia menjawab, “Al-Qur’an dan bertilawah.”
Al-Imam asy-Syafi‘i rhm. berkata, “Jika kau menyebut para
ulama, maka Malik adalah bintang yang cahayanya menembus.”
Beliau juga berkata, “Jika bukan karena Mâlik dan Ibn ‘Uyainah,
hilanglah ilmu penduduk Hijaz.”
Diriwayatkan bahwa al-Imam Mâlik menulis dengan
tangannya seratus ribu hadits. Beliau duduk mengajar dalam
usia sembilan belas tahun. Pada saat itu manusia berdesak-
desakkan di depan pintu rumahnya untuk menimba ilmu fiqih
dan hadits, seperti mereka yang berdesak-desakkan di depan
pintu pemimpin.
Abu Hurairah meriwayatkan hadits secara marfu’, “Akan
tiba suatu masa, orang berjalan mencari ilmu, namun mereka tak
menemukan seorang ulama yang lebih berilmu daripada seorang
ulama Madinah.”507  Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Dia (yang
dimaksud oleh hadits di atas) adalah Malik bin Anas ra..”

Al-Imam al-Muththalibiy Abu Abdillah


Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i  
508

Beliau hafal Al-Qur’an al-Karim pada usia tujuh tahun, hafal


kitab Muwaththa‘ Mâlik pada usia sepuluh tahun, menjadi mufti
pada usia lima belas tahun, dan Allah membukakan baginya

421
sesuatu yang tak dibukakan bagi yang lain. Diriwayatkan dalam
sebuah hadits, “Seorang yang berilmu dari suku Quraisy yang
akan memenuhi permukaan bumi dengan ilmu.” Dan ulama
condong—seperti al-Imam Ahmad—bahwa yang dimaksud
dalam hadits itu adalah asy-Syafi‘i ra. Al-Imam Ahmad rhm.
berkata, “Asy-Syafi‘i seperti matahari bagi dunia dan seperti
kesehatan bagi manusia. Maka lihatlah, apakah bagi kedua hal
ini ada tebusan atau penggantinya?”
Al-Imam asy-Syafi‘i rhm. membagi malamnya menjadi tiga
bagian; sepertiga yang pertama untuk menulis, yang kedua untuk
shalat, dan yang ketiga untuk tidur. Beliau mengkhatamkan
Al-Qur’an setiap harinya satu kali, dan di bulan ramadhan
mengkhatamkannya enam puluh kali semuanya di dalam shalat.
Beliau ra. berkata, “Aku tak pernah berdusta sama sekali, aku
tak pernah bersumpah dengan nama Allah baik jujur maupun
dusta, aku tak pernah meninggalkan mandi di hari jumat dalam
cuaca dingin, di waktu perjalanan atau di situasi lainnya, dan
aku tak pernah kenyang sejak enam belas tahun, kecuali satu kali
kenyang yang aku buang dari waktuku.”
Al-Humaidiy509  berkata, “Asy-Syafi‘i rhm. dari Shan‘â`
menuju ke Makkah dengan membawa sepuluh ribu dinar.
Kemudian beliau membangun tenda di luar Makkah. Maka
orang-orang mendatanginya, dan tidaklah beliau beranjak dari
tempatnya hingga membagikan uang itu semuanya.” Disebut
oleh an-Nawawi rhm. dalam kitab Tahdzîb.
Sebagian yang lain berkata, “Sesungguhnya Allah mengutus
untuk umat ini di setiap seratus tahun, seseorang yang
memperbaharui perkara agama mereka. Dan seratus tahun
pertama adalah Umar bin Abdulaziz, seratus tahun kedua
Muhammad bin Idris asy-Syafi‘I, semoga Allah memberi manfaat
melaluinya.”

422
Imam Para Ahli Hadits
Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal  
510

Beliau ra. menghafal satu juta hadits, dan menulis kitab al-Musnad dan
menghimpun di dalamnya hadits-hadits yang tidak dicapai oleh yang lain.
Beliau melakukan shalat setiap harinya tiga ratus rakaat. Ketika
tubuhnya sudah mulai lemah, beliau melakukan shalat sebanyak
seratus lima puluh rakaat. Tidurnya hanya tidur yang ringan setelah
shalat Isya, kemudian bangun hingga waktu Subuh dalam keadaan
shalat dan berdoa. Beliau mengkhatamkan Al-Qur’an disetiap tujuh
hari satu kali khatam, dan di setiap tujuh malam satu kali khatam.
Beliau berdiam selama tiga hari tidak makan, bahkan kadang-
kadang selama delapan hari tidak makan. Dalam keadaan lapar
beliau mengambil serpihan roti kering, lalu membersihkannya dari
debu, kemudian mengguyurinya air hingga basah dan memakannya
dengan garam. Lauk pauk beliau yang tersering adalah cuka.
Bisyr bin al-Hârits rhm. berkata, “Ahmad di uji, setelah
dimasukkan ke dalam alat peniup api tukang besi, hingga keluarlah
emas merah.” Ucapan ini mengisyaratkan ujian yang menimpa beliau.
Karena beliau rhm. dipenjara selama dua puluh delapan bulan, dan di
sana beliau sering dipukul dengan pecut hingga pingsan, dan dicucuk
lambungnya dengan pedang lalu di lempar ke tanah dan diinjak. Beliau
terus menerus dalam kondisi demikian hingga al-Mu’tashim mati dan
digantikan oleh al-Wâtsiq yang lebih memperburuk kondisi Ahmad.
Kemudian digantikan oleh al-Mutawakkil yang mengangkat hukuman
itu dari Ahmad, serta memerintahkan agar beliau ra. dimuliakan.

Manfaat:
Bilal al-Khawwas rhm. berkata, “Dulu aku pernah
tersesat seperti Bani Israil. Tiba-tiba datanglah
seseorang menunjukkan jalan kepadaku. Aku
merasa heran, lalu aku mendapat ilham bahwa
dia adalah al-Khidhir. Maka aku menanyakan

423
kepadanya, ‘Demi kedudukan yang Mahabenar, siapakah
engkau?’ Dia menjawab, ‘Saudaramu al-Khidhir.’ Aku bertanya,
‘Aku ingin bertanya kepadamu.’ Dia menjawab, ‘Bertanyalah.’
Maka aku bertanya, ‘Apakah pendapatmu tentang asy-Syafi‘i?’
Dia menjawab, ‘Dia adalah al-Autâd.’ Aku bertanya, ‘Apakah
pendapatmu tentang Mâlik bin Anas?’ Dia menjawab, ‘Dia
adalah imam para imam.’ Aku bertanya, ‘Apakah pendapatmu
tentang Ahmad bin Hambal?’ Dia menjawab, ‘Dia adalah orang
yang memiliki keteguhan.’ Aku bertanya lagi, ‘Menurutmu
dengan sarana apakah dia mencapai kedudukan itu?’ Dia
menjawab, ‘Dengan baktinya terhadap ibunya.’” Semua ini
disebutkan dalam kitab Syarh al-‘Ainiyyah.

Hujjah al-Islam Abu Hâmid Muhammad bin


Muhammad al-Ghazali
Beliau ra. adalah ulama tertinggi di zamannya. Kedudukannya
di atas orang-orang besar di zamannya, disertai oleh sifat yang
dikhususkan oleh Allah padanya dari penampilan yang baik,
kebersihan hati, dan keistiqamahan yang sempurna. Setiap ulama
tidak berbeda pendapat, bahwa beliau adalah seorang pembaharu
dalam agama di abad kelima. Beliau ra. memiliki beberapa
karya tulis yang agung yang sebelumnya tidak ada yang menulis
seperti itu, seperti al-Ihyâ. Dari sebagian syaikhnya yang menjadi
rujukan, al-Imam an-Nawawi berkata, “Karya tulis al-Imam al-
Ghazali jika dibagi dengan hari-hari pada umurnya, maka setiap
hari terhitung menulis empat karârîs (1 kurrâs adalah sepuluh
lembar).”
Sebagian ulama berkata, “Jika Allah mengutus seorang Nabi
setelah Nabi kita Muhammad Saw., maka Dia akan mengutus al-
Ghazali, dan pastilah mukjizatnya pada kitab beliau ra.” Maksud
dari ucapan ini adalah jika itu mungkin terjadi, tetapi hal itu
mustahil. Asy-Syaikh Abu al-Hasan asy-Syadzili ra. berkata

424
kepada para sahabatnya, “Barangsiapa yang memiliki hajat yang
akan dipinta kepada Allah, hendaklah dia bertawassul kepada al-
Imam al-Ghazali ra.
Asy-Syaikh al-Quthb Abdullah al-‘Aidarûs, semoga Allah
memberi manfaat melaluinya, berkata, “Para ulama dan para
‘Arifbillah telah sepakat bahwa tidak ada sesuatu yang lebih
bermanfaat untuk hati dan lebih mendekatkan kepada ridha
Allah daripada mengikuti al-Ghazali dan mencintai kitabnya.
Kitab al-Ghazali adalah intisari al-Kitab dan as-Sunnah, serta
intisari segala logika dan kutipan. Dan Allahlah pelindung bagi
segala yang kuucapkan.”

Catatan Akhir
505. Banyak para imam yang menulis buku tersendiri mengenai biografi
Imam yang agung Abu Hanifah ra., di antaranya empat tokoh ulama
mazhab Syafi‘i;
1. Al-Imam Syamsuddîn adz Dzahabiy (wafat pada tahun 738 H):
kitab Manâqib al-Imam Abi Hanîfah Wa Shâhibaih. Telah dicetak.
2. Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthi (wafat pada tahun 911 H): kitab
Tabyîdhu ash-Shahîfah Fi Manâqib al-Imam Abi Hanîfah. Telah
dicetak.
3. Al-Muhaddits Muhammad bin Yusuf ash-Shâlihiy (wafat pada
tahun 942 H): kitab ‘Uqûd al-Jimân Fi Manâqib al-Imam Abi
Hanîfah an-Nu’mân. Telah dicetak.
4. Al-Faqîh Ibn Hajar al-Haitamiy (wafat pada tahun 974 H): kitab
al-Khairât al-Hisân Fi Manâqib al-Imam Abi Hanîfah an-Nu’mân.
Telah dicetak.

425
506. Di antara mereka yang menulis manaqib beliau ra. dalam kitab
tersendiri adalah; al-Hâfizh Ibn Hibbân al-Bustiy, Mufti al-Maghrib
Abubakar bin al-Lubbâd, Abubakar ad-Dînauriy, Syaikh mazhab
Mâliki di Mesir Abu Ishâq bin Syu’bân, al-Imam adz-Dzahabiy dan
Ibn ar-Râ‘iy al-Andalûsiy serta lain-lainnya.
507. HR. Ahmad dalam musnadnya (2: 299), Turmudzi (2680), dan Ibn
Habbân (9: 53). Disampaikan oleh Abu Hurairah ra..
508. Di antara mereka yang menulis manaqib beliau ra. dalam kitab tersendiri
adalah; al-Huffâzh; Ibn Abi Hâtim, al-Âburiy, al-Hâkim, al-Baihaqiy,
Ibn Hibbân, al-Khatîb, Ibn al-Jauziy, Ibn an-Najjâr, adz-Dzahabiy, Ibn
Katsîr dan lain-lainnya. Begitu juga al-Imam Fakhruddîn ar-Râziy dan
lain-lainnya.
509. Seorang imam yang agung, syaikh kota haram (Makkah), Abubakar
Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi al-Makkiy (wafat pada tahun
219 H). Beliau penulis kitab al-Musnad, dan merupakan ulama yang
memiliki hafalan kuat. Beliau adalah salah satu murid al-Imam asy-
Syafi‘i ra. dan merupakan salah satu guru al-Bukhari.
510. Di antara mereka yang menulis manaqib beliau ra. dalam kitab
tersendiri adalah; al-Huffâzh; Ibn Abi Hâtim, ath-Thabrâniy, Ibn
Mundih, al-Baihaqiy, Abdullah bin Yusuf al-Jurjâniy, Ibn al-Jauziy, dan
lain-lainnya.

426
Penutup
Menjaga Ilmu dan Wafatnya
Para Ulama

Al-Imam al-Baghawiy dalam kitab tafsirnya Ma‘âlim at-Tanzîl,


tentang firman-Nya Swt.,

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya


Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi
daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?”
(QS. al-A’raf: 41)

menuliskan bahwa Atha` dan sekelompok jemaah berkata,


“Pengurangannya adalah dengan kematian para ulama dan
hilangnya para ahli fiqih.”
Tentang firman Allah,

“Demi bintang ketika terbenam.”


(QS. an-Najm: 1)

an-Nasafiy511  berkata, “Allah bersumpah dengan ulama jika mati.”


‘Amr bin ‘Âsh ra. berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda, ‘Allah tidak mencabut ilmu dari hambanya secara total.
Tetapi Dia mencabutnya dengan mencabut para ulama. Hingga
jika tidak tersisa orang yang berilmu, manusia menjadikan orang
yang bodoh menjadi pemimpin. Mereka bertanya kepadanya,
lalu dia akan berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka pun sesat dan
menyesatkan.”512 
Abdullah bin Mas‘ud ra. berkata, “Kematian seorang
ulama adalah lubang di dalam Islam, dan tak ada yang dapat
menambalnya sepanjang bergantinya malam dan siang.” Beliau
ra. juga berkata, “Carilah ilmu sebelum dicabut. Dan dicabutnya
dengan kematian orang-orangnya.”
Ali Krw. berkata, “Sesungguhnya permisalan untuk para ahli
fiqih, adalah seperti telapak tangan. Jika di potong salah satunya,
maka tak dapat tumbuh kembali.” Salman ra. berkata, “Manusia
masih terus berada dalam kebaikan, sepanjang generasi pertama
masih ada hingga belajar generasi berikutnya. Jika generasi
pertama di binasakan sebelum generasi berikutnya belajar, maka
binasalah manusia.”
Ditanyakan kepada Sa‘îd bin Jubair, “Apakah tanda-tanda
kehancuran manusia?” Beliau menjawab, “Kematian ulama
mereka.”
Ibn Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Jika
seorang ulama mati, Allah mewujudkan ilmunya di kuburnya,
menentramkannya hingga hari Kiamat, dan menolak serangga
tanah.” Umar ra. berkata, “Kematian seribu ahli ibadah, yang
bangun di malam hari dan puasa di siang hari, lebih ringan
daripada kematian satu ulama yang memahami hal-hal yang
dihalalkan dan yang diharamkan oleh Allah.” Riwayat dan
ucapan ini disebutkan dalam penutup kitab Majma’ al-Bahrain
Fi Manâqib al-Imam Muhammad bin Zain (bin Sumaith).
Di antara ucapan al-Habib al-Quthb al-Imam Ahmad bin
Zain al-Habsyi ra., “Sesungguhnya manusia menyayangi badan
ini. Terasa berat baginya setiap yang menimpanya dengan puncak
beban serta lelah dengan puncak kelelahan. Lalu dia berusaha

428
untuk menghilangkan semua itu sekuat kemampuannya. Akan
tetapi jika penyakit itu terdapat pada agama dan hatinya, dan dia
mengetahuinya secara mutlak, dia tidak mempedulikan dan tidak
menggubrisnya. Apakah semua itu disebabkan jasad dan badannya
lebih mulia dan besar daripada hati dan agamanya yang dengannya
dia mencapai kehidupan yang kekal? Dan sesungguhnya akan
hilang darinya, jasad yang sebenarnya untuk tanah. Manusia di
zaman ini jika bertemu ulama, menuju dan mendekat nya untuk
bertanya kepadanya tentang perkara pengobatan dan hal-hal yang
berkaitan dengan manfaat duniawi. Tidak ada di antara mereka
yang bertanya tentang pengobatan hati.”
Sungguh indahsyair ini,

  
        
              
Telah mati 
suatu kaum, namun tak mati kemuliaan mereka
   Dan  mati
telah  suatu
kaum,
  namun
  mereka
hidup
diantara
manusia


Orang-orang yang bodoh, mereka adalah mayat-mayat sebelum kematian
        mereka    
  
        
  Sedangkan  para ulama,
  walaupun
  mati
  mereka
 tetap
hidup
   
              
                
Sebagian Orang yang memiliki keutamaan berkata,
         
         
           
           
                 
             

                
                  
         
         
           
              
                 
                

                  
       
                  
                
          429
Jika engkau hendak menangis karena kehilangan seorang manusia
Meratapinya  dengan ratapan Nabi yang mulia
    Maka
janganlah
  kaumenangis    kecuali
atas kematian
 ulama
Yang menyampaikan pengajaran untuk para pelajar
  Dan kematian
    pemimpin
 yang  adil  terhadap
 rakyatnya
  
Dengan 
hukum syariat Allah bukan dengan penguasaan
Dan kematian dermawan yang tak jemu memberi
      
    
Melapangkan sekelompok kegundahan dari kemiskinan
 
  Dan
 kematian
  sang   pemberani
   lagi bersabar
  jihadnya
dalam 
  Telah  tersiar
  namanya
  di  bagian
 terdepan
   
Dan kematian sang wali lagi saleh dan memenuhi tanggung jawab
     Taat pada Tuhan
 semesta lagi   mengagungkan-Nya
      
  Merekalah
  lima yang
 pantas
 ditangisi,
dan selain
mereka
 
Menuju kepada diletakkannya perjalanan mereka oleh kematian
     
     
 
 Asy-Syaikh
 al-Imam
 Abdulaziz
   ad-Dîrîniy
  ad-Damîriy
      513 
berkata,

                 
         
              
              
                          
      
          


Jika seorang ulama lagi bertakwa mati
 
    Maka
 sebuah
 celah
 telah
 melubangi

 Islam

    
Dan kematian sang ahli ibadah yang diridhai, adalah
  
     kekurangan
  
  
Karena dalam melihatnya terhembuslah rahasia-rahasia 

430
             
               
  Dan  kematian
 seorang
   pemimpin
 yangadil, memimpin
  
Dengan hukum yang benar, adalah bencana dan kebinasaan
           
Dan kematian pahlawan pemberani, adalah kehancuran
   Berapa
 banyak
kemauannya
  menyaksikan
    pertolongan
    baginya
   
Dan kematian seorang yang banyak memberi, adalah keburukkan
Karena kehidupannya adalah kesuburan dan kenikmatan
    Cukuplah
   
bagimu
  lima
 yang

  
pantas   
ditangisi
   kematian
selain
mereka
adalah keringanan
 dan
rahmat
 
514 
Dan

Ketahuilah,
 sesungguhnya
    seorang
  yang  berilmu
 
  lagi
   ilmunya
mengamalkan termasuk
   mereka
  yang
 tak  dimakan

  
jasadnya oleh bumi setelah kematiannya. Dan mereka—seperti
              
yang dikatakan oleh sebagian ulama—adalah lima orang; para
   
       
 ulama,
nabi, para

  syahid,
 
  penghafal
  Al-Qur’an,
   dan muadzin

 
yang mengharap ridha Allah. Semuanya dihimpun dalam bait di
bawah ini,

 
        
  
    
  
       
  
Bumi tak memakan jasad para nabi, juga 
Jasad para ulama, dan para syahid dalam peperangan
Tidak juga penghafal Al-Qur’an, serta muadzin
Yang mengharap ridha Allah yang mengedarkan bintang

Manfaat:
Disebutkan dalam sebagian surat asy-Syaikh al-
Musnid al-‘Allamah Hasan al-‘Ujaimiy515 , yang
maknanya sebagai berikut: Seseorang yang menulis
biografi orang yang memiliki keutamaan dan
kesempurnaan, maka dia berada dalam syafaat
ulama itu.

431
Dalam kitab Tahqîq ash-Shafâ karya Muhibbuddîn ath-
Thabariy disebutkan, “Sesungguhnya mereka yang menulis
biografi seorang yang beriman, lebih-lebih lagi seorang yang
berilmu dan mengamalkan ilmunya, maka seakan-akan dia
menghidupkannya. Dan barangsiapa menghidupkannya, maka
seakan-akan dia menghidupkan manusia seluruhnya.” Dinukil
dari kitab an-Nafs al-Yamâniy karya al-‘Allamah Abdurrahman
bin Sulaimân al-Ahdal.

Hikayat Kematian Orang-orang yang Mendapat


Pertolongan dan Mimpi Mereka
Disebutkan dalam kitab Shifah ash-Shafwah516 , bahwa ketika
wafat al-Imam Abdullah bin Abbas ra. di Thâ‘if tahun enam
puluh delapan hijriyah, lalu diletakkan ke dalam keranda untuk
dishalatkan, datanglah seekor burung putih lalu masuk ke
dalam kafannya dan tidak keluar. Burung itu dicari tetapi tidak
didapatkan. Kemudian ketika tanah diratakan di atas kuburnya,
terdengarlah suara ghaib,

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu


dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah
ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam
surga-Ku.”
(QS. al-Fajr: 27-30)

Ketika beliau wafat, Muhammad ibnu al-Hanifah berkata, “Hari


ini wafat manusia yang dekat dengan Tuhan dari umat ini.”
Ar-Rabi’517  bekata, “Aku melihat di dalam tidurku bahwa
Adam wafat. Maka aku bertanya tentang takwil mimpiku itu. Dan
pertanyaanku di jawab, ‘Itu adalah kematian orang yang paling
berilmu di muka bumi. Karena Allah mengajarkan kepada Adam
seluruh nama-nama.’ Tidak lama setelah itu wafatlah asy-Syafi‘i rhm.”

432
Sebagian yang lain di malam wafatnya asy-Syafi‘i bermimpi
mendengar seorang berkata, “Malam ini wafat Nabi Saw.” Disebut
oleh an-Nawawi dalam mukaddimah Syarh al-Muhadzdzab.518
Al-Imam al-Yâfi‘i menyebutkan dalam kitab Nasyr al-Mahâsin
dari ar-Rabî’ bin Sulaiman rhm. beliau berkata, “Aku memimpikan
al-Imam asy-Syafi‘i setelah wafatnya, maka aku bertanya kepadanya,
‘Wahai Abu Abdillah, apakah yang diperbuat oleh Allah terhadapmu?’
Beliau menjawab, ‘Dia mendudukkanku di atas kursi emas dan
membentangkan untukku mutiara dan kesejukan.’”
Seseorang bermimpi asy-Syaikh al-Imam Abu Ishaq asy-
Syiraziy ra. setelah wafat beliau, dalam keadaan mengenakan
pakaian putih, dan di atas kepalanya terdapat mahkota. Maka
ditanyakan kepadanya, “Apakah pakaian putih ini?” Beliau
menjawab, “Kemuliaan amal taat.” Lalu ditanyakan, “Dan
Mahkota itu?” Beliau menjawab, “Keagungan ilmu.”
Diceritakan dari sebagian sahabat al-Imam Ahmad bin
Hanbal ra. memimpikan beliau ra. setelah wafatnya, dalam
keadaan berjalan dengan penuh kegagahan. Lalu dia menanyai
beliau, “Wahai saudaraku, jalan apakah ini?” Beliau menjawab,
“Ini adalah jalan para pembantu di surga.” Lalu dia bertanya,
“Apakah yang diperbuat oleh Allah kepadamu?” Beliau menjawab,
“Dia mengampuniku dan mengenakan kepadaku dua alas kaki
dari emas, serta berfirman kepadaku, ‘Ini adalah balasan bagi
ucapanmu, “Al-Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan,
bukanlah makhluk.” Lalu Dia berfirman, ‘Bangkitlah wahai
Ahmad sesuka hatimu.’ Maka aku masuk ke dalam surga, dan
aku dapati Sufyan ats-Tsauri ra., dia memiliki dua sayap yang
berwarna hijau, dan terbang dengan keduanya dari pohon kurma,
ke pohon kurma yang lain, sambil membaca,

Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada


kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang
kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di

433
mana saja yang kami kehendaki; maka syurga itulah sebaik-
baik balasan bagi orang-orang yang beramal.”’
(QS. az-Zumar: 74)
Disebut dalam kitab Nasyr al-Mahâsin.
Diriwayatkan bahwa ketika al-Imam Ahmad bin Hanbal
wafat, yang menghadiri jenazahnya diperkirakan laki-laki
sebanyak delapan ratus ribu orang dan kaum wanita sebanyak
enam puluh ribu, selain yang berada di jalan, kapal, dan di atap
rumah. Jika mereka ikut diperhitungkan, maka menjadi lebih
banyak dari satu juta orang. Diriwayat yang lain disebutkan
jumlah mereka mencapai dua juta lima ratus orang. Dan di hari
itu dua puluh ribu orang yahudi, nasrani, dan majusi masuk
Islam. Dikutip dari Syarh al-‘Ainiyyah.
An-Nawawi di dalam kitab Tahdzîb al-Asmâ‘ menyebutkan
dari Bisyir bin Mubasysyir, beliau berkata, “Aku memimpikan
Yahya bin Ma‘în,519  maka kutanyakan kepadanya, ‘Apakah yang
Allah perbuat kepadamu?’ Beliau menjawab, ‘Dia menikahkanku
dengan empat ratus bidadari dari usahaku mempertahankan
sabda Rasulullah Saw. dari kedustaan.’” Beliau rhm. wafat di
Madinah, dan dimandikan jenazahnya di tempat pembaringan
yang digunakan untuk memandikan Rasulullah Saw. dan ketika
diangkat terdengar seruan, “Ini jenazah Yahya bin Ma‘în penjaga
sabda Rasulullah Saw. dari kedustaan.” Dan manusia saat
itu menangis. Pada saat itu jumlah manusia yang berkumpul
menghadiri jenazahnya tak terhingga.520 
Diriwayatkan oleh al-Yâfi‘i dengan sanad yang berasal
dari asy-Syaikh al-Kabîr Ahmad bin ash-Shiyâd al-Yamaniy az-
Zabîdiy ra. berkata, “Suatu ketika beliau bermimpi duduk di
pintu langit yang terbuka. Tiba-tiba sekelompok malaikat turun
ke bumi dengan membawa pakaian hijau dan tunggangan. Lalu
mereka berhenti di depan sebuah kubur. Kemudian mereka
mengeluarkan seseorang dari dalam kubur dan mengenakan
untuknya pakaian itu dan menaikkannya ke atas tunggangan,

434
lalu naik ke langit. Kemudian mereka terus naik dari langit ke
langit hingga mencapai tujuh langit semuanya dan setelah itu
menembus tujuh puluh tirai. Aku heran melihat kejadian itu,
dan ingin mengenali siapakah penunggang itu. Maka dikatakan
kepadaku, ‘Ini adalah al-Ghazali.’ Aku tak tahu sampai di mana
dia mencapai puncaknya.”
Abu Muhammad al-Juwainiy rhm.521  berkata, “Aku
memimpikan Ibrahim al-Khalil as., lalu aku ingin mengecup
kedua kakinya. Maka dia mencegahku melakukan perbuatan itu,
dan aku mengecup tumitnya, dan aku mentakwilkannya bahwa
keberkahan akan terdapat di tumitku.” Ibn as-Subki berkata,
“Manalagi keberkahan yang dapat melebihi anaknya yaitu Imam
al-Haramain, dan imam segala imam baik bangsa arab atau pun
‘ajam secara mutlak?”522 

Catatan Akhir
511. Beliau adalah pemimpin, ahli tafsir, ahli fiqih, penjaga agama, Abu
al-Barakât Abdullah bin Ahmad an-Nasafiy al-Hanafiy (wafat 710 H).
Merupakan penulis tafsir yang agung; Madârik at-Tanzîl, al-Manâr
dalam ilmu usul, dan Kanzu ad-Daqâ‘iq dalam ilmu fiqih, serta karya-
karya tulis lainnya yang sempurna.
512. HR. al-Bukhari (100) dan Muslim (2673). Disampaikan oleh Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Âsh ra..
513. Seorang guru besar, panutan, bersifat zuhud dan memiliki seorang ‘arif,
serta memiliki kondisi spiritual dan karamah, Abdulaziz bin Ahmad bin
Sa‘îd ad-Damîriy ad-Dîrîniy (613-694 H). Berpenampilan compang-

435
camping dan kasar serta memiliki hati yang bersih dan berakhlak mulia.
Manusia mengambil berkah darinya. Beliau banyak menggubah syair,
dan menulis beberapa kitab yang bagus dalam tasawuf, yang diberinya
judul, Thahârah al-Qulûb Fi Dzikri ‘Allâm al-Ghuyûb. Buku ini telah
dicetak.
514. Bait-bait ini disebut oleh at-Tâj as-Subki dalam kitab Thabaqât asy-
Syâfi‘iyyah al-Kubrâ (8: 201).
515. Pencatat biografi, ahli hadits, Abu al-Baqa’ Hasan bin Ali al-‘Ujaimiy
al-Makkiy al-Hanafiy (1039-1113 H). Beliau keturunan Yaman, lahir
di kota Makkah dan wafat di Thâ‘if. Karya beliau adalah Khabâya ar-
Razâya, yang di dalamnya beliau menulis biografi guru-guru besar kami
dan mereka yang bertemu dengannya. Beliau juga menulis Ihdâ’ Li ath-
Thâ‘if Min Akhbâr ath-Thâ‘if, dan lain-lainnya. Beliau juga memiliki
dalil-dalil yang terhimpun.
516. Karya al-Imam Abu al-Faraj bin al-Jauziy, tentang biografi para
pendahulu yang saleh sejak zaman para sahabat.
517. Ibn Sulaiman al-Muradiy, seorang murid al-Syaifi‘i.
518. Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab (1: 8).
519. Al-Imam al-Hâfizh al-Jahbadz Abu Zakariya Yahya bin Ma‘în al-
Baghdadiy (158-233 H). Guru besar ahli hadits, dan salah satu tokoh
para imam peneliti rangkaian silsilah sanad hadits, pengetahuan
terhadap perawi hadits, dan kritikannya.
520. Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughât (2: 157-158).
521. Al-Imam Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Juainiy dijuluki
dengan tiang islam (wafat pada tahun 438 H). Beliau adalah ayah dari
Imam al-Haramain. Beliau merupakan satu-satunya orang yang paling
berilmu, taat beragama, dan bersifat zuhud. Memiliki pengetahuan
yang sempurna dalam ilmu fiqih, ushul, nahwu, tafsir, dan kesusastraan.
Karena ketaatannya yang luar biasa dalam beragama, beliau menjadi
berwibawa dan tak ada pembicaraan di hadapannya kecuali ilmu dan
ucapan yang baik.
522. Thabaqât asy-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ. (5: 75).

436
437

Anda mungkin juga menyukai