Anda di halaman 1dari 4

Bersyukur

Bersyukur adalah bentuk terima kasih kita kepada Allah SWT.  Marilah kita senantiasa
menunjukkan rasa syukur kita atas segala karunia yang telah Allah SWT berikan kepada kita.
Karunia yang sangat banyak yang sampai-sampai Allah SWT sendiri mengatakan dalam Al-
Quran, jikalau kamu menghitung-hitung nikmat Allah niscaya kamu tidak akan mampu
menghitungnya.

Karena banyaknya nikmat-nikmat yang diberikan kepada kita, hingga jikalau seluruh air yang
ada di lautan dijadikan tinta, kemudian seluruh kayu dan pepohonan yang ada di muka bumi
ini dijadikan pena untuk menuliskan semua nikmat tersebut, niscaya tidak akan cukup.
Begitulah barang kali gambaran tentang nikmat-nikmat Allah subhanahu wataala.

Secara garis besar ada lima nikmat Allah yang wajib kita syukuri.  Pertama nikmat fitriyah,
adalah nikmat yang ada pada diri kita sendiri.  Kedua, nikmat iktiyariyah yaitu berupa nikmat
dari usaha kita.  Ketiga, nikmat Alamah adalah nikmat alam sekitar kita.  Keempat, nikmat
Diiniyah yaitu nikmat agama Islam dan nikmat iman.  Kelima, nikmat ukhrowiyah adalah
nikmat akhirat.

Tentu saja semua yang melekat pada diri kita adalah nikmat-nikmat dari Allah SWT. Nikmat
kesehatan, nikmat anggota badan, nikmat penghidupan yang layak, nikmat kecerdasan akal,
nikmat jabatan, lebih-lebih nikmat iman dan Islam.

Di dalam uraian Kitab Al hikam, Syaikh Ibnu Athaillah menerangkan, di antara nikmat Allah
itu ada nikmat iijad dan nikmat imdad. Nikmat iijad itu adalah nikmat penciptaan kita di alam
dunia ini. Karena sejatinya yang ada itu hanyalah Allah, sedangkan selain-Nya itu diadakan
oleh Dzat yang wajibul wujud atau yang wajib adanya yakni Allah SWT.

Manusia dan seluruh alam semesta diwujudkan oleh Dzat yang Maha Esa. Diawali dari
penciptaan Nur Muhammad Sawyang mulia, maka kemudian dari nur Muhammad itu
dicabangkanlah penciptaan demi penciptaan, kejadian demi kejadian hingga kepada
penciptaan makhluk yang bernama manusia.

Nikmat kedua adalah nikmat imdad. Setelah diciptakan tentu tidak mungkin manusia
dibiarkan begitu saja sebagaimana yang dilakukan si pembuat arloji yang membiarkan begitu
saja hasil buatannya. Allah SWT dengan sifat-sifat rububiyyahnya senantiasa mengurusi
setiap ciptaannya.

Manusia diberikan segala fasilitas yang menunjang kehidupannya. Mulai dari kecukupan
rizki, kesehatan, kekuatan, kecerdasan, hidayah, hingga penjagaan dan perlindungan.
Manusia yang pada dasarnya serba lemah, tak mampu berbuat apa-apa kemudian baru bisa
menjalani hidupnya berkat nikmat imdad dari Allah SWT.

Nikmat imdad ini yang tak kan pernah terhitung jumlahnya. Tentu hanya orang-orang yang
pandai bertafakkur atau pandai mengolah akalnya untuk merenungi apa-apa yang ada di alam
semesta yang peka terhadap banyaknya nikmat imdad ini.

Bayangkan saja, ketika manusia tidur itu ibarat separuh nyawanya ditahan oleh Sang
Pencipta. Jangankan untuk bangun, untuk sekedar membuka mata saja manusia yang lemah
ini membutuhkan pertolongan Allah. Karena manusia tidak akan mampu membuka matanya
kecuali setelah kesadarannya yang semula ‘digenggam’ Allah itu dikembalikan kepadanya.

Setelah itu pun dibutuhkan lagi kekuatan untuk mengangkat kepala hingga badan.
Pertanyaannya, dari mana kekuatan itu ada? Tentu dari Dzat yang Maha Kuat. Karena
sungguh tidak ada kekuatan melainkan kekuatan Allah. Allah semata yang memiliki
kekuatan. Manusia tidak punya.

Kekuatan ini pulalah yang dititipkan kepada manusia untuk bisa beraktivitas. Baik aktivitas
untuk urusan duniawinya lebih-lebih urusan akheratnya. Dari mulai yang sepele hingga yang
penting. Dari yang biasa hingga yang mendatangkan pahala. Semua bisa terjadi berkat
pertolongan Allah.

Kaidah laa haula wala quwwata illa billah

Laa haula, dalam ilmu tashawuf diartikan, tidak ada daya yang mampu menghindarkan
manusia dari tindak durhaka dan dosa.  Wa laa quwwata, yaitu dan tidak ada kekuatan yang
mampu mendorong manusia untuk berbuat amal ibadah.  Kalimat illa billah, bermakna
kecuali dengan pertolongan Allah subhanahu wataala.  Setiap tarikan nafas kita, setiap
gerakan anggota badan kita, baik di dalam menjalani aktivitas-aktivitas duniawi ataupun
amal-amal ibadah, itu semua tidak terlepas dari rahmat dan pertolongan Allah. Bahkan
dorongan hati yang membuat seseorang berniat untuk melakukan amal ibadah, itu juga
berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Manusia tanpa pertolongan Allah ibarat bumi tanpa sinar matahari. Tanpa matahari bumi
akan gelap. Bumi bisa terang karena adanya matahari. Begitu pula manusia, bisa terlihat
hebat, terlihat pandai, terlihat cemerlang itu semata-mata karena pertolongan Allah. Tanpa
pertolongan-Nya, manusia kembali pada tabiatnya yang serba lemah, hina serta tak mampu
berbuat apa-apa.

Kita bisa membayangkan pada saat sedang terlentang di atas ranjang rumah sakit. Sekedar
untuk menguyah saja tidak mampu, apalagi untuk bangun dan berjalan. Maka seperti itulah
gambaran tabiat aslinya manusia. Lemah, hina, serta butuh pada yang lainnya. Pada intinya,
semua yang melekat pada diri kita merupakan nikmat-nikmat dari Allah rabbul alamin yang
wajib direnungkan.

Di dalam Al-Qur’an diterangkan, pada surat Al Kautsar Allah telah memberikan kepada Nabi
Saw al-kautsar. Apa itu al-kautsar? Di dalam tafsirnya Imam Jalalain dijelaskan, bahwa al-
kautsar itu adalah kebaikan yang banyak, mulai dari diutusnya baginda Nabi Muhammad
Saw, diturunkannya Al-Qur’an juga syafaat Nabi Muhammad Saw dan yang semisalnya.

Meskipun seruan ayat ini tertuju pada Baginda Nabi Muhammad Saw, akan tetapi
sebagaimana yang dijelaskan para ulama, ibrah atau petikan maknanya berlaku untuk semua
umatnya. Sehingga al-kautsar ini juga merupakan anugerah yang luar biasa untuk seluruh
umat Nabi Muhammad shollallahu alayhi wassalam.

Maka maha benarlah Allah atas segala firman-Nya yang di awal tadi memfirmankan, jikalau
kamu mencoba menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu
menghitungya. Kenapa demikian?  Sebab setiap helaan nafas adalah nikmat, setiap gerakan
anggota badan adalah nikmat, setiap kunyahan dan tegukan adalah nikmat, setiap kedipan
juga adalah nikmat.

Setiap kebaikan yang kita lakukan adalah nikmat, setiap dzikir kita juga adalah nikmat.

Oleh karena itu, maka marilah kita perbanyak  syukur kita kepada Allah SWT atas semua
limpahan karunianya kepada kita.

Hakikat bersyukur itu sebagaimana diajarkan oleh para ulama tashawuf adalah bentuk
kesadaran pada diri bahwa semua yang ada di tangan manusia semata-mata hanyalah
anugerah dari Allah SWT.   Dimana manusia pada hakikatnya tidak memiliki andil
sedikitpun, sehingga yang layak dipuji hanyalah Allah, bukan malah memuji dirinya sendiri.
Juga bukan malah menyombongkan diri karena merasa apa yang ada merupakan hasil jerih
payahnya sendiri, lupa bahwa kehebatan dan kecerdasan hanyalah milik Allah SWT.

Di dalam Al-Quran banyak sekali kisah yang termaktub mengisahkan orang-orang yang
senantiasa bersyukur kepada Allah. Di antaranya kisah Nabi Sulaiman alayhis sholatu
wassalam. Dikisahkan bahwa Nabi Sulaiman adalah seorang nabi yang juga seorang raja.
Kekuasaannya terbentang antara sungai nil hingga Eufrat. Pasukannya meliputi golongan jin,
manusia hingga hewan. Kekayaanya juga sangat melimpah.

Itulah nabi Sulaiman, hidupnya bergelimang nikmat. Tetapi beliau sangat menyadari bahwa
semua itu sesungguhnya hanyalah milik Allah. Sehingga dikatakan olehnya, “hadza min
fadhli robb”i, semua ini dari anugerah Tuhanku, untuk menguji diriku, apakah aku akan
bersyukur ataukah aku akan kufir nikmat.

Bersyukur atas nikmat Allah itu bukan hanya diucapkan, tetapi direalisasikan dalam
perbuatan. Orang yang menyadari nikmat pemberian Tuhan tentu akan menyadari, bahwa
nikmat-nikmat yang diberikan itu ibarat modal bagi pebisnis. Ibarat bekal bagi mereka yang
menempuh perjalanan hidup. Tentu nikmat-nikmat itu adalah bekal bagi kita untuk mengabdi
pada Sang pemberi nikmat. Beribadah kepadaNya sebagai mana tujuan kita diciptakan tidak
lain kecuali untuk beribadah dan mengadi kepadaNya.

Orang yang senantiasa bersyukur akan senantiasa mentafakkuri semua yang telah
dianugerahkan kepadanya kemudian berterima kasih kepada Allah dengan cara memuji
Allah, lalu mewujudkan rasa terimakasihnya dalam bentuk amal-amal kebajikan. Itulah
hakikat bersyukur. Termasuk juga dalam peribadahan. Seorang hamba sejatinya tidak akan
mampu menjalankan ibadah melainkan berkat pertolongan Allah SWT. Sebagaimana
diikrarkan di dalam setiap rokaat sholat, yaitu kalimat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin,
hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon
pertolongan dalam menjalankan ibadah kami.

Sesungguhnya manusia itu tidak akan pernah mampu beribadah kecuali setelah diberikan
nikmat hidayah, juga taufik bahkan keikhlasan dan kekhusyukan itu juga semata-mata
anugerah dari Allah. Sehingga seorang hamba sejatinya seperti tidak memiliki andil apa-apa
dalam ibadahnya yang layak untuk diganjar. Tidak lain karena semuanya berkat rahmat dari
Allah SWT.

Sekali lagi ini mesti kita syukuri dengan cara menyadari ini semua min fadhli robbi, seraya
berterima kasih kepada-Nya dengan cara menambah kuantitas dan kualitas amal ibadah
sebagai bekal untuk menghadap kepada-Nya di hari akhir nanti. Mudah-mudahan kita semua
termasuk hamba yang pandai bersyukur, aamiin.

Anda mungkin juga menyukai