Anda di halaman 1dari 5

MATERI MENTORING

PERTEMUAN 4
MATERI : MENJADIKAN HIDUP SELALU POSITIF DENGAN TN-ITS (TAZKIYATUN
NAFS IKHTIAR TAWAKAL DAN SYUKUR)
A. Tujuan
1. Peserta mengetahui apa saja yang dimaksud dengan Takziyatun Nafs (penyucian jiwa)
dan pengawasan Allah (muraqabatullah).
2. Peserta memahami urgensi ikhtiar.
3. Peserta memahami urgensi tawakal.
4. Peserta memahami urgensi syukur dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-
hari
5. Keterkaitan Tazkiyatun Nafs dan Ikhtiar,Tawakal dan Syukur
6. Peserta memahami kisah tawakal seorang Muslimah
B. Rincian pembahasan
a. Mengenal Diri dan Melejitkan Prestasi
Manusia dan agama Islam kedua-duanya merupakan ciptaan Allah yang sesuai
dengan fitrah yang telah Allah tetapkan. Mustahil Allah menciptakan agama Islam
untuk manusia yang tidak sesuai dengan fitrah tersebut (QS.30:30). Ayat ini
menjelaskan kepada kita bahwa manusia itu diciptakan sesuai dengan fitrah Allah yaitu
memiliki naluri beragama (agama tauhid: al-Islam) dan Allah menghendaki manusia
untuk tetap dalam fitrah itu. Kalau ada manusia yang tidak beragama tauhid, itu
hanyalah karena pengaruh lingkungan (Hadits, ”Tiap bayi terlahir dalam keadaan fitrah
(Islam) orangtuanyalah yang menjadikan ia sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”).
Sesuai dengan fitrah Allah, manusia memiliki tiga potensi, yaitu al-jasad (jasmani),
al-aql (akal), dan ar-ruh (ruhani). Islam menghendaki ketiga dimensi tersebut berada
dalam keadaan tawazun (seimbang). Perintah untuk menegakkan neraca keseimbangan
ini dapat dilihat pada Q.S 55:7-9. Ketiga potensi ini membutuhkan makanannya
masing-masing, yaitu:

Jasadiyah (Jasmani)
Jasmani atau fisik adalah amanah dari Allah Swt, karena itu harus kita jaga. Dalam
sebuah hadits dikatakan, “Mu’min yang kuat itu lebih baik dan disukai Allah daripada
mu’min yang lemah.” (HR.Muslim), maka jasmani pun harus dipenuhi kebutuhannya
agar menjadi kuat. Kebutuhannya adalah makanan, yaitu makanan yang halalan
thoyyiban (halal dan baik) (QS.80:24,2:168), beristirahat (QS.78:9), kebutuhan
biologis (QS.30:20-21) dan hal-hal lain yang menjadikan jasmani kuat.
Aqliyah (pemikiran)
Yang membedakan manusia dengan hewan adalah akal. Akal pulalah yang
menjadikan manusia lebih mulia dari makhluk-makhluk lainnya. Dengan akal manusia
mampu mengenali hakikat sesuatu, mencegahnya dari kejahatan dan perbuatan buruk.
Membantunya dalam memanfaatkan kekayaan alam yang oleh Allah diperuntukkan
baginya supaya manusia dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifatullah fil-ardhi
(wakil Allah di atas bumi) (QS.2:30;33:72). Kebutuhan akal adalah ilmu (QS.3:190)
untuk pemenuhan sarana kehidupannya.

Ruhiyah (hati/jiwa)
Kebutuhannya adalah dzikrullah (QS.13:28;62:9-10). Pemenuhan kebutuhan
ruhani sangat penting, agar ruh/jiwa tetap memiliki semangat hidup, tanpa pemenuhan
kebutuhan tersebut jiwa akan mati dan tidak sanggup mengemban amanah besar yang
dilimpahkan kepadanya. Dengan keseimbangan, manusia dapat meraih kebahagiaan
hakiki yang merupakan nikmat Allah, karena melaksanakan syariah sesuai dengan
fitrahnya. Untuk skala ketawazunan akan menempatkan umat Islam menjadi umat
pertengahan/ummatan wasathon (QS.2:143), yaitu umat yang seimbang.
b. Ikhtiar
Setiap diri kita menantikan sebuah kebaikan dari Allah apapun keinginan kita akan
tetapi untuk mencapai apa yang kita inginkan membutuhkan pengorbanan yang tidak
sedikit bahkan kita pun harus merelakan apa yang kita sukai untuk diganti dengan
sesuatu yang jauh lebih baik dari Allah azza wa jalla dan kita pasti percaya bahwa Allah
tidak akan mendholimi hamba-hambaNya yang bertaqwa. Sebuah keinginan
membutuhkan kerja, membutuhkan sebuah tindakan yang real agar apa yang kita
inginkan tidak hanya sebatas mimpi belaka.
Dalam pencapaian sebuah keinginan itu pula di butuhkan keyakinan terhadap Allah
karena Allah tergantung prasangka hamba-Nya, sehingga setelah berjuang untuk
meraih sebuah keinginan tersebut maka layaknya seorang hamba menyerahkan hasil
sepenuhnya kepada Allah dengan keyakinan yang kuat bahwa Allah telah menyiapakan
hasil yang terbaik, paling tidak ketika mendapatkan hasil yang akan Allah berikan
kepada kita, kita merasa pantas terhadap kerja keras kita sehingga Allah pun juga pantas
memberikan hasil yang terbaik kepada kita dengan rahmat-Nya, tidak layak seorang
hamba mengharapkan sesuatu yang lebih sedangkan dirinya tidak maksimal dalam
berusaha bahkan tidak memiliki azam (keinginan) yang kuat terhadap Allah. Allah
berfirman yang berbunyi: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya”. (QS An-Najm: 39)
Dikisahkan dahulu saat perkembangan Agama Islam, Sayidina Umar bin Khattab
pernah menegur seorang pemuda yang kerap dilihatnya berdoa dalam mesjid. Tidak
siang tidak malam, pemuda itu selalu duduk tekun untuk berzikir, berdoa, berzikir lagi,
berdoa lagi. Karena penasaran, suatu ketika Sayidina Umar menanyainya: “Apa
sesungguhnya yang engkau doakan, anak muda?” “Begini, Tuan. Saya berdoa supaya
Tuhan membukakan pintu rejeki untukku upaya keluargaku mendapat berkah makanan
dan pakaian yang cukup. Supaya…..” “Kalau begitu,” Sayidina Umar menyelanya,
“Pergilah engkau dari hadapanku. Disini bukan tempat untuk meminta roti dan pakaian.
Pergi, sana, bekerja! Menggembala ternak, bercocok-tanam, atau apa saja yang bisa
engkau lakukan dengan tangan dan kakimu!” Pemuda itu beringsut pergi dengan malu,
menyadari kekeliruannya. Sejak saat itu ia rajin bekerja, sampai akhirnya ia berhasil
memiliki harta kekayaan.
c. Tawakal
Tawakal adalah membebaskan diri dari segala ketergantungan kepada selain Allah
dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya. Dalam kehidupan kita
sebelum mencapai tingkat tawakal maka di butuhkan ikhtiar dalam mencapai apa yang
kita inginkan. Langkah yang tidak kalah pentingnya dalam tawakal adalah berdo’a
kepada Allah. Sesungguhnya Allah akan mengabulkan doa seorang hamba bukan
terhadap apa yang dia inginkan tetapi terhadap apa yang dia butuhkan dan Allah Maha
Mengetahui terhada apa yang dibutuhkan hamba-Nya. “Dan kepunyaan Allah-lah apa
yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya dikembalikan urusan-urusan
semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-sekali
Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan” (QS Hud: 123).
Tawakal adalah salah satu buah keimanan. Setiap orang yang beriman akan
meletakkan semua urusan kehidupan dan semua manfaat serta mudharat kepada Allah,
dia juga akan menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya dan ridha dengan segala
kehendak-Nya. Hati orang beriman yang bertawakal akan selalu tenang dan tentram
dan tidak takut menghadapi masa depan. “….” Berkatalah dua orang diantara orang-
orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya:
"Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu
memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu
bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS Al Maidah: 23).
Buah dari tawakkal
✓ Bertawakal kepada Allah akan memberikan ketenangan dan kepercayaan diri
kepada seseorang dalam menghadapi masa depan tanpa ada rasa takut dan cemas.
✓ Allah mencukupkan keperluannya. “..Dan barangsiapa yang bertawakal kepada
Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluan-nya” (QS At Thalaq: 2-3).
Ada sebuah ringkasan yang menarik untuk di simak bahwa ada sebagian manusia
melihat bahwa orang-orang muslim justru mengalami kesempitan dalam masalah
finansial sedangkan orang-orang kafir justru diluaskan rizkinya dan kekuatannya.
Sehingga mereka saling bertanya, di manakah sebenarnya sunnatullah yang sudah pasti
benar itu? Jawabannya adalah (1) Allah sedang menguji orang-orang beriman; (2) Allah
tahu bahwa jika orang itu diberikan kekayaan akan membuat dia lalai, sehingga
digantikan diakhirat; (3) Nikmat bukan kaya harta tapi kesehatan, ketenangan,
kataatan; (4) Dan orang-orang kaya yang kafir/ durhaka, kekayaannya adalah istidraj.
d. Syukur
Setelah manusia mencapai tawakal maka selanjutnya adalah syukur atas segala
karunia-Nya berupa apapun di dunia ini terlebih iman yang melekat di dalam hati,
karena iman yang nantinya menjadi bekal kita dalam kehidupan akhirat, iman pula yang
dapat menjadi saksi atas segala pertanyaan Allah terhadap kita serta dengan iman yang
sehat kita mampu meraih ridho Allah dan rahmat-Nya yang seluas langit dan bumi.
Terkadang seringkali manusia terlena dengan segala sesuatu yang kecil yang ia dapat
juga menganggap sepele segala sesuatu sehingga ia lupa untuk mengucap syukur
terhadap Allah dan akibatnya ia terancam sebagai hamba Allah yang kufur nikmat.
Syukur mempunyai 3 dimensi, yaitu: hati(mengakui nikmat dalam batin), lisan
(dengan mengucapkan tahmid) dan jawarih/ anggota badan (melakukan sesuatu atau
memanfaatkan nikmat yang diterima pada jalan yang diridhai Allah, baik untuk
keperluan sendiri, keluarga, umat atau untuk fiisabilillah lainnya). Sehingga seseorang
baru bisa dikatakan telah bersyukur bila telah melakukan dan memenuhi ke-3 dimensi
tersebut. Allah memerintahkan untuk bersyukur semata-mata bukan untuk kepentingan
Allah, tetapi justru untuk kepentingan manusia sendiri. Allah berfirman dalam surat
Luqman ayat 12 “…dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka
sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak
bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
Bersyukur kepada Allah harus tercermin dalam hati, lisan dan anggota tubuh,
karena dengan hati itulah kita merasakan, mengetahui, menyambut dan membicarakan
nikmat-nikmat Allah.Nikmat bisa berubah menjadi Naqmah (siksaan). Dalam hadist
yang diriwayatkan Imam Turmudzi disebutkan: “Seorang hamba pada hari kiamat tiada
melangkahkan kedua kakinya, sehingga ditanyakan kepadanya empat perkara, yaitu
tentang umurnya dihabiskan untuk apa, tentang ilmunya diamalkan untuk tentang
ilmunya diamalkan untuk apa, tentang hartanya darimana diperoleh dan untuk
kepentingan apa dihabiskan masa mudanya.”
Nikmat bisa menjadi naqmah karena berbagai perkara, antara lain: Jika melakukan
kemaksiatan dan berbuat dosa, yaitu membalas nikmat Allah dengan hal-hal yang
dimurkai-Nya. (QS 30: 49; 4: 39). Meyakini bahwa anugrah yang dimilikinya bukan
dari Allah tapi atas usahanya sendiri atau dari selain Allah (QS. 28:78, QS. 16:53-
54,84). Sikap sombong, merasa diri lebih mampu dari orang lain sehingga ia menecela
orang lain dan membangga-banggakan apa yang di milikinya baik harta, sawah ladang,
ilmu, atau kedudukan.(QS. 104:1- 3).
e. Keterkaitan Tazkitay Nafs dengan Ikhtiar, Tawakal dan Syukur
❖ Berkaitan dengan tazkiyah al-nafs, Azra (Isma’il, 2008: ix) menjelaskan bahwa
kegiatan pokok mengamalkan tasawuf itu terfokus pada tiga kegiatan sebagai
berikut: (1) tazkiyat an-nafs, yakni membersihkan diri dari dosa besar dan dosa
kecil, serta membersihkan diri dari berbagai penyakit hati dan sifat-sifat tercela; (2)
taqarrub ila Allah, yakni memberikan perhatian serius kepada usaha-usaha untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Memang Allah itu dekat
dengan hamba-hamba-Nya, bahkan lebih dekat daripada urat nadi yang ada di leher
(QS.50:16). Persoalannya, kedekatan Allah dengan manusia tidak selalu dapat
dirasakan manusia; (3) hudlur al-qalb ma'a Allah, yakni menfokuskan diri kepada
usaha untuk merasakan kehadiran Allah dan melihat-Nya dengan mata hati, bahkan
merasakan persatuan dengan Allah.
❖ Menurut Solihin (Isma’il, 2008: 1318) bahwa tazkiyah al-nafs mempunyai posisi
esensial dalam kegiatan bertasawuf. Masalah ini telah menjadi agenda penting para
sufi, baik sufi-sufi klasik maupun kontemporer. Misalnya, Al-Ghazali seorang
pemikir kharismatik yang banyak mengkaji tazkiyah al-nafs yang tersebar dalam
beberapa buku tasawufnya, memandang bahwa penyucian jiwa itu dapat dilakukan
melalui proses takhalli (menghilangkan sifat-sifat tercela) sembari mengisi dengan
sifat terpuji (tahalli). Tazkiyah al-nafs juga berarti penyucian jiwa dari sifatsifat
kebinatangan dan sifat-sifat setan, kemudian mengisi dengan akhlak ketuhanan
(rabbaniah). Tazkiyah alnafs berusaha mengobati penyakit jiwa (asqam al-nufus).
C. KISAH
Di masa Rasulullah SAW, ada seorang muslimah yang memiliki anak kecil. Meski
tidak bisa membaca dan menulis, wanita itu mukminah sejati. Imannya memenuhi jantung
hatinya. Keimanannya dibuktikan dalam kesabaran ketika menghadapi ujian. .Suatu hari
anaknya sakit, sementara suaminya sedang berada jauh untuk bekerja. Anak kecil itu
akhirnya meninggal dunia ketika suaminya bekerja. Istri itu duduk disamping anaknya dan
menangis sejenak. Ia terjaga dari tangisannya. Ia menyadari sebentar lagi suaminya akan
pulang.
Ia bergumam, “Kalau aku menangis terus menerus disamping jenazah anakku ini,
kehidupan tidak akan dikembalikan kepadanya dan aku akan melukai perasaan suamiku.
Padahal, ia akan pulang dalam keadaan lelah." Kemudian ia meletakkan anaknya yang
sudah meninggal itu di kamar. Tibalah suaminya dari tempat kerjanya yang jauh. Ketika
suaminya hendak masuk ke rumah, istri itu menyambutnya dengan senyum ramah. Ia
sembunyikan kesedihannya. Ia sambut suaminya dengan mengajaknya makan.
"Mana anak kita yang sakit?" tanya suaminya. "Alhamdulillah ia sudah lebih baik,"
jawab istrinya. (Wanita itu tidak berbohong karena anaknya memang sudah berada di surga
yang keadaannya jauh lebih baik). Istri itu terus berusaha menghibur suaminya yang baru
datang. Ia mengajak suaminya untuk tidur hingga terbangun menjelang waktu subuh. Sang
suami bangun, mandi, dan shalat qobla Subuh. Ketika ia akan berangkat ke masjid untuk
shalat berjamaah, istrinya mendekat sambil berkata, "Suamiku, aku punya keperluan."
"Sebutkanlah, "kata suaminya.
Sang istri berkata " Kalau ada seseorang yang menitipkan amanah kepada kita, lalu
pada saatnya orang itu mengambil amanah tersebut dari kita, bagaimana pendapatmu kalau
amanah itu kita tahan dan kita tidak mau memberikan kepadanya?" "Pastilah aku menjadi
suami yang paling buruk akhlaknya dan khianat dalam beramal,"Jawab suaminya. "Itu
merupakan perbuatan yang sangat tercela. Aku wajib mengembalikan amanah itu kepada
pemiliknya!" Lalu istrinya berkata, "Sudah tiga tahun Allah menitipkan amanah kepada
kita. Kemarin, dengan kehendakNya, Allah mengambil amanah itu dari kita. Anak kita kini
sudah meninggal dunia. Ia ada di kamar sebelah. Sekarang berangkatlah engkau dan
lakukanlah shalat.”
Suaminya pergi ke kamar untuk menengok anaknya yang telah meninggal. Ia lalu
pergi ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah di masjid. Pada waktu itu Nabi
menjemputnya seraya berkata, "Diberkatilah malammu tadi itu." Malam itu adalah malam
ketika suami-istri itu bersabar dalam menghadapi musibah.

Anda mungkin juga menyukai