Anda di halaman 1dari 27

BAB II

KONSEP NUR MUHAMMAD DALAM PEMIKIRAN TRADISI SUFISME

A. Konsep Nur Muhammad

1. Pengertian Nur Muhammad

Nur Muhammad terdiri dari dua kata, yaitu Nūr dan Muhammad, secara

etimologi menurut Ibnu Mandzur, al-nūr bermakna cahaya (matahari, bulan dan

lampu) dan lawan dari kegelapan (al-dhulmat).1 Kata ‫ الّن ور‬berarti cahaya yang bisa

dilihat dengan penglihatan. Lalu secara majaz digunakan untuk makna-makna yang

benar dan nampak. Misalnya ‫( كالم له ن""ور‬perkataan yang memberikan penjelasan).2

Menurut al-Jurjani Nur ialah cahaya yang melaluinya semua objek lain akan terlihat. 3

Lebih lanjut Al-Raghib al-Ashfahany menjelaskan bahwa Nur adalah “sinar

yang terpancar yang bisa membantu penglihatan”.4 Menurut Mirza Noor Qadhy

dalam buku Man Antum Waliman Antum dijelaskan bahwa Nur, yaitu:

‫َناٌر َيُنْو ُر ُنْو ًر ا ِنَياًر ا‬

1
Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, Juz VII (Mesir: al-Dar al-Mishriyah li al-Ta’lif wa al-
Tijjariyah, t.t), 99.
2
Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi vol 12, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 641.
3
Ali ibn Muhammad Al-Jurjani, Kitab At-Ta’rifat (Al-Haramain: Al-Aqsha, t.t), 242.
4
Raghib Al-Asfahany, Mufradât Alfâz Al-Qur’ân (Damaskus: Dâr al-Qalam, t.t), 783.

18
19

Maknanya “Cahaya yang amat putih, bersinar tanpa ada bayangan, atau baik

budi pekertinya tanpa ada cela karena sesuatu”.5

Secara syari’at Nur diartikan petunjuk atau hidayah dan Nur juga bagian dari

Asmâ al-Husnâ yaitu al-Nūr, sedangkan Nur pada hakikat ialah diri dzat Allah yang

mulia, orang dulu mengatakan Nur Dzat.6

Dari penjelasan di atas, maka penulis menyimpulkan Nur berarti cahaya yang

membuat sesuatu yang sebelumnya tidak nampak menjadi nampak, sesuatu yang

sebelumnya terdinding menjadi tersingkap, melalui Nur (Allah memberikan petunjuk

untuk dapat mengenali-Nya).

Sedangkan kata Muhammad secara etimologi artinya sangat terpuji, secara

syari’at Muhammad yang dimaksudkan disini ialah Nabi Muhammad SAW yang

memiliki sifat terpuji dan nama bagi Nabi dan Rasul. Hal ini dikarenakan Rasulullah

merupakan Insan Kamil yang dapat mengimplementasikan Nur Muhammad dalam

dirinya, sehingga penisbahan Nur Muhammad kepada dirinya.

Nur Muhammad merupakan kajian yang membahas asal-mula dari sesuatu

yang maujud, kajian ini sebenarnya telah diperbincangkan oleh kalangan filsuf

Yunani. Salah satu filsuf Yunani yang membincangkan terkait ciptaan pertama atau

limpahan pertama dari Tuhan adalah Plotinus. Plotinus menamakan limpahan

pertama tersebut nous, kemudian oleh para filsuf muslim yaitu al-Farabi dan Ibnu

5
Mirza Noor Qadhy, Man Antum Waliman Antum (Surabaya: Nur lmu, 2009), 50-51.
6
Mahmud Hashil, Simpanan Berharga (Palangkaraya: Pesantren Sunan Jati, 2019), 200.
20

Sina dinamai dengan nama akal pertama, Husein ibn Mansur menamainya Nur

Muhammad, kemudian Ibnu Arabi menamakannya Al-Haqiqatu al-Muhammadiyyah

dan Suhrawardi menamakannya Nur Pertama.7

2. Nur Muhammad dalam Tradisi Sufisme

Secara umum dipahami Nur Muhammad sebagai ciptaan Allah yang paling

awal, paling tinggi, paling mulia dan paling utama. Nur Muhammad adalah Nur

Tuhan tetapi bukan diri Tuhan, sehingga tidak bisa disamakan Nur Muhammad

dengan Tuhan. Ada beberapa surah yang dijadikan oleh kaum Sufi sebagai dalil

adanya Nur Muhammad, diantaranya dalam Q.S an-Nûr (24) ayat 35.

“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti
sebuah lobang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar, pelita itu di dalam kaca
(dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan
minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur
(sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”

Dalam kitab tafsir Ath-Thobari dijelaskan bahwa ada yang berpendapat

maksud lafazh ‫ الّن ور‬adalah Muhammad, lalu dhamir ĥa pada ayat ‫ مث ل نوره‬kembali

kepada nama Allah. Adapun yang berpendapat demikian ialah Ibnu Abbas yang

datang kepada Ka’ab Al-Ahbar lalu berkata kepadanya: beritahu aku mengenai

firman Allah “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi” kemudian Ka’ab

7
Muhammad Asywadie Syukur, Filsafat Tasawuf dan Aliran-Alirannya (Banjarmasin:
Antasari Press, 2008), 70.
21

berkata, “Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, perumpamaan

Muhammad SAW, seperti misykah”.8

Allah menciptakan segala sesuatu dan Allah juga yang telah menciptakan akal

(cahaya/Nur Muhammad) sebagai cahaya dan pemberi petunjuk. 9 Selain Q.S Nur (24)

ayat 35 dalil yang menunjukkan adanya Nur Muhammad juga terdapat dalam Q.S Al-

Maidah (5) ayat 15:

“Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu
banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan”

Dalam kitab tafsir Ath-Thobari dijelaskan bahwa cahaya dari Allah tersebut

dimaknai dengan Nur Muhammad SAW, melaluinya Allah menyinari kebenaran,

menampakkan Islam, dan membatalkan kemusyrikan dengannya. Ia merupakan nur

untuk orang yang mendapat cahaya, yang akan menjelaskan kebenaran. Adapun di

antara cahayanya kepada kebenaran ialah penjelasannya kepada orang-orang Yahudi

mengenai isi Al Kitab yang mereka sembunyikan.10

Quraish Shihab dalam karya tafsir Al-Mishbâhnya menjelaskan maksud dari

“cahaya dari Allah” yakni Muhammad SAW. Adapun maksud dari “kitab yang

menerangkan” yaitu Al-Qur’an yang mana menerangkan segala yang muskil (sulit)

dan tersembunyi dari apa-apa yang dibutuhkan terkait kehidupan beragama

8
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsîr Al-Thabarî: Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
Al-Qur’ân, Jil. 11, (Beirut: Dâr al-Kotob al-‘Ilmiyyah, 2009), 9.
9
Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurtuby, Tafsir al-Qurthubi Jil. 12 (Beirut:
Dâr al-Kotob al-‘Ilmiyyah, 2010), 170.
10
Ath-Thabari, Tafsir Al-Thabari Vol. 8,,, 618.
22

manusia.11 Dari penjelasan diatas menurut Achmad dan M. Muhtarom Ilyas sudah

jelas pengertian cahaya dari Allah itu adalah Nabi Muhammad SAW, sedangkan

“Nabi Muhammad saw adalah cahaya atau wujudnya adalah cahaya, atau yang

diciptakan pertama kali adalah Nur (cahaya) Nabi Muhammad saw., maka itu hanya

sangkaan orang-orang sufi”.(Achmad & Ilyas, 2015, p. 73)

Selain terdapat dalam Al-Qur’an, dalil adanya Nur Muhammad juga terdapat

dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jabir yang terdapat dalam kitab Madârij al-

Shu’ūd ilâ Iktisâi al-Burūd karya Syekh Nawawi al-Bantani yang artinya:

“Sebagaimana tersebut dalam hadis riwayat sahabat Jabir ra bahwa ketika


ditanya perihal makhluk pertama yang diciptakan Allah, Rasulullah SAW
menjawab: “Sungguh, Allah menciptakan Nur Nabimu sebelum segala
sesuatu. Allah menjadikan Nur (cahaya) itu beredar dengan kuasa Allah sesuai
kehendak-Nya. Saat itu belum ada Lauh, Qalâm. Surga, Neraka, Malaikat,
Manusia, Jin, Bumi, Langit, Matahari dan Bulan atas dasar ini Nur itu adalah
substansi (esoterik) bukan aksiden (eksoterik)”.12

Menurut Syekh Ahmad As-Shawi dalam kitabnya Tafsir Al-Shâwî juz awal

halaman 137:

‫(قوله وروح منه) وامنا من لالبتداء على حد ان اهلل خلق نور نبيك من نوره واملعىن خلقه بال‬

.‫واسطة ماّدة‬

11
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, jilid 3
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), 53.
12
Muhammad Nawawi al-Bantani, Madârij al-Shu’ūd ilâ Iktisâi al-Burūd (Kediri: PP
Kwagean Kediri, t.th), 6.
23

Artinya: Dan bahwasanya Allah SWT telah menjadikan ia akan Nur Nabi
engkau daripada Nur-Nya dengan tiada perantara.13
Kitab Al-Dasuqî halaman 10:

.‫ألّن نوره عليه السالم اصل لكل موجود فقد خلق اهلل من نوره‬

Artinya: Bahwasanya Nur Nabi Muhammad SAW yaitu asal bagi tiap-tiap
yang maujud, maka sesungguhnya telah menjadikan Allah daripada Nurnya (Nur
Muhammad) akan sekalian yang maujud.14
Kitab Al-Bajurî juz awal halaman 275:
“Bahwasanya ia dijadikan daripada Nur-Nya, maka jika dikata orang
bahwasanya segala sesuatu sekaliannya dijadikan daripada Nur-Nya, dijawab dengan
bahwasanya ia dijadikan daripada Nur-Nya dengan tiada perantara”.
B. Dinamika Nur Muhammad

1. Asal Mula dan Perkembangan Nur Muhammad

Asal mula berkembangnya ajaran Nur Muhammad dari Muqattil Ibn

Sulayman (702-767 M) seorang teolog, ahli tafsir dan tasawuf abad ke-6 M yang

hidup sejaman dengan Imam Abu Hanifah, yang menafsirkan surat Al-Nūr (24): 35.

Menurutnya kata mishbah (lampu/pelita) dalam ayat ini merupakan

permisalan tepat bagi Nabi Muhammad. Hal ini dikarenakan melalui Nabi

Muhammad cahaya ilahi dapat menyinari dunia atau melalui Nabi Muhammad

kejahilan, kebodohan, kegelapan akal pikiran dapat berubah menjadi sebaliknya.

Berkat Nabi Muhammad SAW seluruh umat manusia dituntun menuju sumber

cahaya yakni sumber kebahagiaan yang kekal abadi. Kata “tidak dari Timur dan dari

13
Abdullah Nafiah, Al-Qami’ah (Alabio: t.p, 1975), 3.
14
Abdullah Nafiah, Al-Qami’ah ,,, 4.
24

Barat” mengacu tugas kerasulan Nabi Muhammad saw yang rahmatan lil ‘alamiin,

maksudnya tugas kerasulan tidak terbatas di Timur dan di Barat, melainkan tugas

Rasul meliputi alam dunia dan alam akhirat berupa pemberian syafaat kepada

umatnya yang mana mukijizat ini tidak diberikan kepada seorangpun kecuali kepada

beliau.

Pemikiran dari Muqattil ini dikembangkan oleh tokoh sufi yang bernama Sahl

al-Tustari (w. 896 M) guru dari Husein ibn Mansur al-Hallaj. Sahl al-Tustari

berpikiran bahwa hakikat Muhammad disebut tiang cahaya (amud al-nūr) yaitu ruh

yang diemanasi dari Tuhan, yang mana ruh atau jasad halus tersebut

membungkukkan dirinya kepada Tuhan-Nya sebagai bentuk penghormatan dan

pengagungan atas dzat Allah dan ketidak berdayaan dirinya, ia membungkukkan

dirinya selama satu juta tahun sebelum makhluk-makhluk lain diciptakan-Nya.15

Murid Sahl al-Tustari yang sering dikenal dengan nama al-Hallaj 16 (w. 922

M)17 mengembangkan ajaran Nur Muhammad, al-Hallaj dalam karyanya Al-Thawasin

menjelaskan bahwa seluruh cahaya kenabian (nubuwah) asalnya dari cahayanya. Di

antara cahaya-cahaya itu, cahaya Muhammadlah yang paling nyata dan mutlak 18

Lebih lanjut dikatakan bahwa Allah ‘ada’ bersamanya dan bersamanya adalah

15
Nur Fauzan Ahmad, Sejarah Timbulnya Gagasan Nur Muhammad Sampai Masuknya ke
Nusantara, 1
16
Nama lengkapnya Husein ibn Mansur (L. 244–W. 309 H/L. 858-W. 922 M)
17
Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya (Bandung: Yayasan Nurul Islam, 1978),
111-112.
18
Qosim Muhammad Abbas, Al-Hallaj al-a’mal al-kâmilah (Beirut: Riad El-Rayyes, 2022),
162.
25

hakikat. Ia yang pertama dalam kesatuan (penciptaan) dan terakhir yang diutus

sebagai Rasul, yang hakikatnya bersifat batin, dan ma’rifatnya bersifat lahir.19

Oleh karena itu Husein ibn Mansur al-Hallaj berpendapat bahwa Nabi

Muhammad memiliki dua hakikat dalam hal kejadian dirinya, hakikat pertama ia

dijadikan dari Yang Qadim yaitu Tuhan lewat proses yang dinamakan emanasi dalam

pelajaran filsafat. Oleh karena ia diemanasi langsung dari diri Tuhan maka bisa

dikatakan ia juga qadim, ia ada sebelum makhluk ciptaan Tuhan yang lain ada dan

bisa dikatakan ialah ciptaan Tuhan yang pertama. Hakikat pertama menjadi sumber

daripada ilmu dan ‘irfan serta sebagai sumber penciptaan semua Nabi dan auliya

Allah.20 Hakikat kedua yaitu ia sebagai insan atau manusia pada umumnya.

Konsepsi Nur Muhammad berkaitan dengan hulul. Manusia dalam pandangan

al-Hallaj akan menempati posisi yang sangat terhormat atau sangat sempurna apabila

ia mampu melepaskan sifat kemanusiaannya. Ketika telah bisa menghilangkan sifat-

sifat kemanusiaan atau telah bisa memfanakan dirinya, maka sifat-sifat ketuhanan

akan bersemayam dalam dirinya, sehingga terpancarlah dari dirinya sifat-sifat

kesempurnaan. Nabi Muhammad SAW yang disandarkan kepadanya Nur Muhammad

adalah manusia yang paling sempurna. Dia sempurna bukan karena manusia atau

lingkungannya tetapi ia mencapai kesempurnaan itu karena telah disempurnakan oleh

Allah SWT.21
19
Qosim Muhammad Abbas, Al-Hallaj al-a’mal al-kaamilah,,, 163.
20
Sahabuddin, Nur Muhammad: Pintu Menuju Allah (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu,
2002), 64.
21
Sahabuddin, Nur Muhammad: Pintu Menuju Allah,,, 71-72.
26

Tokoh selanjutnya yang mengembangkan ajaran Nur Muhammad ialah Ibnu

Arabi lahir di daerah Mursiyh Andalusia pada tahun 560-635 H/1165-1240 M. 22

Menurut Ibnu Arabi Al-Haqîqat al-Muhammadiyah (Nur Muhammad) adalah zat

ketuhanan dalam bentuk tanazul (penurunan)-Nya yang pertama kali yang akan

menjadi sumber tanazul-tanazul berikutnya. Dialah tempat tajalli Tuhan yang paling

sempurna. Kemudian dalam pandangan Ibnu Arabi, Nabi Muhammad SAW

merupakan nuskhah (duplikat) yang paling tepat dari al-Haq terhadap alam semesta.23

Menurut Ibnu Arabi Tuhan adalah wujud mutlak, wujud mutlak ini bertajalli

dalam tiga martabat, yaitu martabat ahadiyah, martabat wahidiyah dan martabat

tajalli syuhudi:

a. Martabat Ahadiyah

Martabat Ahadiyah adalah suatu martabat yang mana Allah belum

menciptakan segala sesuatu, hanya ada Allah dalam kesendirian-Nya, dalam

sebuah hadis martabat ini sering disebut perbendaharaan tersembunyi (kuntu

kanzan makhfiyyan) pada martabat ini hanya hanya zat Allah semata yang

ada, sifat dan asma belum ada. Martabat ahadiyah ini juga bisa disebut la

ta’yun (tidak terjangkau apapun, tidak ada penampakan)

b. Martabat Wahidiyah

22
Muhyiddin Ibn Al-‘Arabi, Al-Futûhât Al-Makkiyyahi: Risalah tentang Ma’rifah Rahasia-
rahasia Sang Raja dan Kerajaan-Nya, jilid. 1, terj. Harun Nur-Rosyid (Yogyakarta: Darul Futuhat,
2018), xv.
23
Sahabuddin, Nur Muhammad: Pintu Menuju Allah,,, 77.
27

Pada martabat ini Allah sudah bertajalli melalui sifat dan asma. Proses

ini disebut kenyataan pertama (ta’ayun awwal). Kenyataan pertama ini Ibnu

Arabi menyebutnya Al-Haqîqat al-Muhammadiyyah.

c. Martabat Tajalli Shuhudi

Pada martabat hakikat alam yang sebelumnya masih konseptual kini

menjadi aktual.24 Inilah yang dinamakan martabat tajalli shuhudi yang

penampakan Tuhan atau tajalli Tuhan lewat alam semesta (makrokosmos) dan

alam insan (mikrokosmos)

Nur Muhammad bertajalli dari Nur Zat-Nya. Sehingga bisa dipahami bahwa

Nur Muhammad merupakan ta’ayun awwal yang berada pada martabat wahidiyah,

namun Nur Muhammad masih belum nyata atau gaib. Kenyataan Nur Muhammad

terjadi pada martabat ketiga dari versi Ibn Arabi yaitu martabat tajalli shuhudi.

Pada martabat tajalli shuhudi alam semesta sudah tercipta, bahan utama

penciptaan alam semesta dan segala isinya dari Nur Muhammad. Alam semesta ini

disebut pula alam makrokosmos, alam semesta ini belum mampu menjadi cermin

Tuhan di muka bumi, tajalli Tuhan yang lebih sempurna terwujud pada manusia, atau

disebut pula alam mikrokosmos. Kelebihan manusia daripada makhluk ciptaan Allah

yang lain adalah dikaruniainya akal yang dapat menjadi alat untuk mengenal Allah.

24
Sahabuddin, Nur Muhammad: Pintu Menuju Allah,,, 79-80.
28

Setelah Syaikh Ibnu Arabi, tokoh sufi selanjutnya yang mengembangkan Nur

Muhammad ialah al-Jilli ia lahir sekitar tahun 767 H/1365 M. ia seorang sufi dari

kota al-Jilan, Persia. Ia meninggal tahun 832 H/1428 M.

Pandangan al-Jilli terhadap teori Nur Muhammad terlihat pada proses tajalli

(tanazul) Tuhan kepada alam semesta dan taraqqi al-khalq untuk menggapai Nur

Muhammad.25 Al-Jilli membagi tajalli Tuhan, pada lima martabat, yaitu: Martabat

uluhiyah, ahadiyah, wahidiyah, rahmaniyah, dan rububiyah.

Dari uraian al-Jilli mengenai lima tingkatan tajalli tuhan, Nur Muhammad

berada pada tingkat wahidiyah yang masih dalam bentuk potensial, pada tingkat

rahmaniyah wujud Nur Muhammad yang berupa potensial menjadi aktual, dan pada

tingkat rububiyah Nur Muhammad sudah mesra pada elemen-elemen alam semesta

seluruh isi alam semesta.

Salah satu tajalli Nur Muhammad yang paling mampu mengimplementasikan

ke dalam alam ini ialah Insan Kamil yaitu manusia sempurna yang sudah bisa

menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya, dan sifat-sifat ketuhanan bertajalli dalam

dirinya. Akan tetapi bagi al-Jilli bagaimanapun manusia bisa mencontoh sifat-sifat

Tuhan, tetap tidak bisa dirinya dikatakan Tuhan.

Menurut al-Jilli, manusia merupakan tajalli Tuhan yang sesungguhnya, hal ini

disebabkan karena sifat-sifat Tuhan dapat tercermin pada diri manusia. Dan Nabi

25
Abdul Karim al-Jilli, al-Insân al-Kâmil fî Ma’rifah al-Awâkhir wa al-Awâil juz 1(Mesir:
Maktabah Muhammad Ali, t.th), 23.
29

Muhammad adalah contoh yang luhur tentang Insan Kamil. Oleh karena itu

hendaknya menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai panutan dan contoh tauladan

dalam setiap amalan dan tindakan, baik berupa akhlak, latihan rohani, ataupun

musyahadah.

Setelah al-Jilli sufi selanjutnya yang mengembangkan Nur Muhammad ialah

al-Burhanpuri (w. 1030 H/1620 M). Ajaran al-Burhanpuri dikenal dengan Martabat

Tujuh, karyanya yang terkenal ialah Tuhfat al-Mursalat ilâ al-Rūh al-Nabi.

Pandangan al-Burhanpuri terhadap Nur Muhammad dijelaskan dalam konsep

martabat tujuh, al-Burhanpuri mengembangkan tingkatan tajalli Tuhan menjadi tujuh

martabat, yaitu:

Martabat pertama yaitu Ahadiyah dikenal juga dengan martabat la ta’yun

artinya tiada kenyataan-Nya yakni hanya Allah dalam kesendirian-Nya, sehingga

pada martabat ini dinamai juga gaib al-guyūb.

Martabat kedua yaitu Wahdah dikenal juga dengan martabat ta’yun awwal

atau kenyataan pertama, hal ini dikarenakan pada martabat ini diciptakan materi yang

pertama yang dikenal dengan nama Nur Muhammad atau al-Haqîqat al-

Muhammadiyyah.

Martabat ketiga yaitu Wahidiyah dikenal juga dengan ta’yun tsani, karena

pada tahapan ini diciptakan materi yang kedua. Martabat ini disebut juga al-Haqîqat
30

al-Insâniyah. Martabat yang pertama sampai ketiga bersifat qadim, sedangkan

martabat yang keempat sampai ketujuh bersifat baharu.

Martabat keempat alam arwâh yaitu ibarat daripada segala sesuatu yang

masih tunggal, tiada murakkab, daripada madah, yang zahir ia pada segala zatnya dan

pada segala baginya.26

Martabat yang kelima alam mitsâl yaitu ibarat daripada segala sesuatu yang

dijadikan murakkab, lagi lathif yang tiada menerima suku dan tiada menerima

setengahnya, dan tiada menerima fisik.27

Martabat keenam adalah alam ajsâm (jasmani atau kebendaan) yaitu ibarat

segala sesuatu yang dijadikan murakkab lagi kasyaf atau zahir pada dunia.

Dan terakhir martabat yang ketujuh adalah martabat insan (kamil) disebut

juga martabat jami’ah (penghimpun) yaitu yang menghimpunkan segala martabat

yang tersebut di atas tadi.

Pada konsep martabat tujuh yang dikemukakan al-Burhanpuri, Nur

Muhammad berada pada martabat kedua yaitu martabat wahdah pada martabat ini

diciptakan materi yang pertama atau ta’ayun awwal yakni Nur Muhammad tadi.

Martabat inilah yang membentuk sifat-sifat Tuhan yang terlingkup dalam hakikat

26
Muhammad ibn Fadhlullah al-Burhanpuri, Tuhfatul Mursalah, terj. Wan Mohd Shaghir
Abdullah, (Selangor: Khazanah Fathaniyah, 2019), 11.
27
Muhammad ibn Fadhlullah al-Burhanpuri, Tuhfatul Mursalah,,, 11.
31

Muhammad yang menjadi asal mula terjadinya alam semesta.28 Jadi ruh Nabi

Muhammad SAW menyeluruh pada martabat wahdah dan terurai pada martabat

wahidiyah.29

Setelah al-Burhanpuri sufi selanjutnya yang berbicara tentang Nur

Muhammad ialah al-Nabhani, ia berpendapat bahwa Nur Muhammad selain ciptaan

pertama ia juga merupakan tempat tajalli Tuhan. Nur Muhammad sumber pikiran

(al-‘aql) dan sumber semua ruh (abu al-arwah). Bahkan Syekh Yusuf al-Nabhani

mempunyai ciri tersendiri, yakni al-Haba materi pertama yang diciptakan Allah di

muka bumi dan menjadi sumber penciptaan bumi.30

Dari pernyataan al-Nabhani di atas dapat kita jelaskan bahwa Nur Muhammad

menjadi ciptaan pertama yang darinya segala sesuatu baik di dunia ataupun akhirat,

dan al-haba’ atau debu merupakan sebuah materi yang berasal dari Nur Muhammad

yang mana dari debu tersebut menjadi materi pokok daripada diciptakannya bumi.

2. Nur Muhammad Qadim atau Huduts (Baharu)

Apakah Nur Muhammad qadim atau huduts memang jadi perbincangan

dikalangan para ulama sufi, ada yang mengatakan qadim karena Nur Muhammad

limpahan (faydh) dari Nur Tuhan dan Tuhan, sehingga disebabkan limpahan dari

Yang Qadim maka Nur Muhammad juga qadim.

28
Nur Kolis, Ajaran Tauhid Wujudiyah di Kalimantan Selatan: Kajian Filologi Manuskrip
Ambulung (Ponorogo: CV. Nata Karya, 2019), 141.
29
Sahabuddin, Nur Muhammad: Pintu Menuju Allah,,, 114.
30
Sahabuddin, Nur Muhammad: Pintu Menuju Allah,,, v-vi.
32

Namun, beberapa ulama juga ada berpendapat bahwa Nur Muhammad itu

baharu (huduts), hal ini didasarkan atas dalil dalam tafisr al-Shâwî “Awwalumâ

khalaqallâhu Nūr Muhammadi…” dan “khalaqahu bilâ wâsithah maddah”. Dalam

risalah al-Qâmi’ah karya Syekh Abdullah bin Nafiah al-Alabi dijelaskan bahwa jika

Nur Muhammad di iktiqadkan tidak baharu, maka ia akan mensyarikatkan Allah

ta’ala pada bersifat qadim dan rusak aqidah Islamnya.31

Dalam hal ini al-Jilli berpendapat bahwa Nur Muhammad qadim, Ibnu Arabi

juga berpendapat bahwa Nur Muhammad qadim dalam ruang lingkup ilmu Tuhan dan

Nur Muhammad juga bisa dikatakan muhaddats ketika ia berwujud makhluk. Lebih

lanjut Ibnu Arabi mengatakan ada dua macam qadim, yaitu qadim dari segi dzat dan

qadim dari segi sesuatu itu masuk ke wilayah ilmu Tuhan. Qadim zat yaitu

dinisbahkan kepada Allah SWT, sedangkan Nur Muhammad menurut Ibnu ‘Arabi

masuk kategori qadim jenis kedua, yaitu bagian dari ilmu Tuhan (qadim al-

hukmi/dihukumkan qadim) bukan dalam qadim al-dzati. Dengan demikian, Nur

Muhammad bisa dianggap qadim dalam perspektif qadim al-hukmi, namun juga dapat

dianggap sebagai baharu dalam perspektif qadim al-dzati.32

3. Relasi Nur Muhammad dengan Teori Emanasi

Teori Nur Muhammad dan teori emanasi sama-sama menjelaskan tentang

penciptaan alam dan materi yang berasal dari Tuhan Yang Esa. Teori Nur

31
Abdullah Nafiah, Al-Qâmi’ah (Alabio: t.p, 1972), 4.
32
Prof. Nasaruddin Umar dalam https://www.republika.co.id/berita/m16m7j/apa-itu-nur-
muhammad-1, diakses 16 November 2022.
33

Muhammad dianut oleh kalangan Ulama Sufi, sedangkan teori emanasi dianut oleh

kalangan filosof.

Di dalam salah satu sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an maupun di dalam

ajaran teologi tidak dijelaskan secara detail bagaimana Tuhan mewujudkan alam ini.

Al-Qur’an hanya menyebutkan bahwa alam diciptakan oleh Allah. Kemudian di

dalam ajaran teologi dijelaskan bahwa alam diciptakan oleh Allah dari tiada kepada

ada.33

Teori Nur Muhammad menurut Ibnu Arabi dibagi menjadi tiga martabat,

yaitu martabat Ahadiyyah, Wahidiyyah, dan Tajalli Shuhudi. Dalam filsafat Yunani,

Plotinus membagi tiga prinsip mengenai metafisika, yaitu Yang Esa atau Yang Satu

(The One), akal (mind) atau dalam filsafat dikenal dengan istilah nous, dan jiwa

universal (Psyche/the soul).

Prinsip pertama adalah The One ia disebut Tuhan menurut pandangan filosof,

The One tidak bisa dipikirkan lewat ilmu sains dan akal pikiran, akan tetapi ia bisa

dihayati dan dirasakan. Oleh karena Ia tidak bisa dipikirkan sebagaimana kita bisa

memikirkan hal-hal yang ada definisinya. The One merupakan puncak tertinggi dari

setiap yang ada dan yang selainnya berada di bawahnya, hakikat-Nya tidak mungkin

bisa diketahui, namun Ia bisa dikenali dan didekati lewat tanda-tanda dari alam

33
Hadariansyah, Pengantar Filsafat Islam (Banjarmasin: Kafusari Press, 2019), 35-36.
34

semesta dan segala isinya. 34 Adapun alam semesta dan segala isinya pun keluar atau

tercipta dari-Nya, sehingga ia bisa dikenali lewat ciptaan-Nya.35

Prinsip kedua adalah nous, suatu istilah yang dapat disebut juga mind. Ia merupakan

limpahan pertama dari The One, dalam bahasa rohani “Dari permenungan Tuhan

bahwa Ia ‘ada’, maka tercipta atau keluarlah nous tersebut tadi dari The One, namun

menurut filosof terciptanya nous tadi terjadi begitu saja tanpa dikehendaki atau

disengaja”.36 Hal ini nampaknya berlawanan dari pendapat para sufi.

Prinsip ketiga Psyche/the soul/jiwa universal, sebagaimana The One yang

keluar darinya nous, dari nous juga tercipta jiwa universal, jiwa universal memiliki

dua hubungan, yaitu hubungan ke atas pada nous dan hubungan ke bawah pada

materi yang gelap. Hubungan ke atas pada nous menghasilkan pengenalan dan

kedekatan pada The One yang menimbulkan sikap atau perilaku terpuji karena

diterangi hatinya dengan cahaya The One dan hubungan ke bawah pada materi gelap

bisa menghasilkan kebutaan dan terdinding pada The One yang mana bisa

menimbulkan sikap tercela karena hatinya tidak dapat sinar cahaya dari The One, oleh

karenanya fungsi jwa universal menjadi semacam penghubung antara nous dan

materi.37

34
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2005), 68.
35
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 67.
36
Poerwantana, A. Ahmadi, M.A. Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Rosdakarya,
1994), 79.
37
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,,, 69.
35

Sebagaimana dari The One tercipta nous dari nous tercipta jiwa universal,

maka limpahan dari jiwa universalpun menciptakan materi, materi tidak mampu

mengadakan limpahan yang lain lagi, oleh karena itu materi ini adalah hasil limpahan

terakhir dari The One. Ibarat di analogikan The One merupakan sinar matahari yang

terang benderang, maka semakin jauh ia dari The One semakin sedikit pula menerima

cahaya hakikat dan bahkan bisa tidak sampai kepadanya cahaya hakikat tersebut.38

Kesimpulannya manusia ada memiliki tiga esensi dalam dirinya, sebagaimana

telah disebutkan di atas tadi, yaitu nous, jiwa universal, dan materi atau bisa disebut

tubuh. Ketiganya saling bersinergi, yang mana tubuh merupakan alat badani, jiwa

tempat kesadaran sebagai pusat pergerakan dan penentuan, dan nous merupakan akal

yang selalu memikirkan The One. Plotinus berkata bahwa tubuh merupakan penjara

bagi roh dan jiwa, apabila seseorang terperangkap akan materi (tubuh) maka ia akan

terdinding pada nous dan The One sehingga seseorang itu akan mementingkan

kenikmatan jasmani, maka untuk itu harus ada upaya untuk mencegah hal tersebut

dan inilah juga tujuan utama penciptaan manusia, yaitu bersatu kembali kepada

asalnya sehingga memperoleh kebahagiaan yang hakiki, dan jalan kembali tersebut

dapat diupayakan dengan tiga tahap yaitu berfilsafat, melakukan kebajikan, dan

bersatu dengan Tuhan.39

38
Fajar Hamzah, Pengaruh Neo-Platonisme dalam Wahdatul Wujud Ibnu ‘Arabi, Skripsi
(Makassar: Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin Makassar, 2010), 66.
39
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam,,, 69.
36

Apabila diamati lebih lanjut terdapat kemiripan antara teori Nur Muhammad

dengan teori emanasi, pada martabat Ahadiyyah dan The One Tuhan bersifat mutlak,

tiada sifat dan tiada predikat, ia tidak bisa dipahami dan tidak bisa dijangkau dengan

akal pikiran, kemudian pada martabat Wahidiyah Tuhan ingin dikenal, maka bertajalli

pada sifat dan asma-Nya inilah yang dinamakan ta’ayyun awwal atau kenyataan

pertama atau disebut juga Nur Muhammad oleh al-Hallaj atau Hakikat

Muhammadiyyah menurut Ibnu Arabi, dalam teori emanasi kenyataan pertama ini

disebut nous atau akal pertama, nous merupakan limpahan dari The One, karena

Tuhan ingin dikenal maka terciptalah Nur Muhammad atau nous tersebut.

Kemudian pada martabat Tajalli Shuhudi Tuhan bertajalli lewat asma dan

sifat-Nya dalam kenyataan indrawi, dengan kata “Kun”. Maka a’yan tsabitah (hakikat

alam) yang sebelumnya merupakan wujud dalam zat ilahi, menjadi kenyataan aktual

dalam berbagai citra alam indra. Dalam teori emanasi, Tajalli Shuhudi ini bisa juga

disebut realitas ketiga dari emanasi yaitu jiwa yang mana dari jiwa tersebut

melahirkan hal-hal yang ada di alam raya ini.

C. Epistemologi dan Implikasi Nur Muhammad

1. Epistemologi Nur Muhammad

Epistemologi merupakan suatu prosedur dalam memperoleh ilmu

pengetahuan, bisa terkait prosesnya, hal-hal yang diperhatikan agar memperoleh ilmu

yang berguna, bagaimana kriterianya, dan cara atau sarana yang dapat membantu
37

mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut.40 Epistemologi dapat juga dipahami sebagai

suatu konsep ilmu yakni suatu pengetahuan yang dapat mengantarkan seseorang

kepada pemahaman tentang kebenaran.(Harahap, 2020, p. 14)

Menurut al-Jabiri epistemologi dibagi tiga yaitu epistemologi bayani,

epistemologi burhani dan epistemologi ‘irfani. epistemologi bayânî sumbernya dari

nas (al-Qur’ân dan hadîts), epistemologi ‘irfânî pada kasyf yaitu penyingkapan tabir

gaib oleh Tuhan, sehingga orang yang memperoleh kasyf tersebut, ia memperoleh

ilmu langsung dari Tuhan atau laduni (ilham), dan epistemologi burhânî yakni

pengetahuan diperoleh dari akal pikiran. 41 Dari penjelasan tersebut, kiranya Nur

Muhammad masuk dalam epistemologi ‘irfani karena hakikat Nur Muhammad hanya

bisa diperoleh dengan kasyf atau penyingkapan dari Tuhan, sehingga bisa dikatakan

bahwa Nur Muhammad termasuk dalam ilmu laduni (Ilmu dari sisi Allah).

Kata dari “ladunî” bermakna jika dipahami dari segi ilmu alat menunjukkan

zharaf dan disandingkan dengan dhamir mutakallim wahdah yang menunjukkan

kepada Allah SWT.(Sapitri, 2020, p. 93) Ladunî berarti dari sisi-Ku yang

menunjukkan kepada Allah sehingga bisa dimaknai “pemberian Allah”. ilmu ladunî

diberikan kepada seseorang yang dikehendaki Allah, yang mana tentunya orang itu

40
Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2009), 33.
41
Abdul Mukti Ro’uf, Kritik Nalar Arab Muhammad ‘Abid Al-Jabiri (Yogyakarta: LKis,
2018), 119.
38

pasti memiliki hati yang bersih dan akhlak terpuji, sehingga Allah mengaruniai suatu

ilmu kepadanya lewat rasa (dzauq) dan penyingkapan (kasyf).42

Landasan filsafat Ilmu ladunî, yaitu: Dari sisi ontologis, yakni ilmu yang

pembahasannya terkait perihal Ketuhanan, sehingga orang yang memperoleh ilmu ini

orientasinya selalu ingin kenal Tuhan, dekat dengan Tuhan, dan bersama dengan

Tuhan. Dari sisi epistemologis yakni ilmu yang didapatkan dengan mujâhadah

(sungguh-sungguh dalam berjuang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan) riyâdah

(melatih diri dalam melakukan kebaikan dan menyucikan jiwa) dan mukâsyafah

(penyingkapan dinding penghalang antara dirinya dengan Tuhan). Dari sisi aksiologis

yakni ilmu yang dapat memperindah akhlak seseorang, menggapai ridha ilahi dan

memperoleh kebahagiaan yang sesungguhnya.(Ulum, 2016, p. 84)

Jadi untuk memperoleh pengetahuan tentang ilmu laduni harus terlebih dulu

membersihkan hati dengan cara mujahadah, riyadah dan mukasyafah agar

pengetahuan dari sisi Allah dapat terisngkap, maka untuk memperoleh pengetahuan

tentang Nur Muhammad, manusia juga harus berusaha, sehingga untuk memperoleh

atau mengaktifkan Nur Muhammad tidak hanya semata-mata berdiam diri atau

menunggu Tuhan menyingkapkan tabirnya (kasyf).

42
Amatullah Armstrong, Khazanah Istilah Sufi : Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, trans. M.S
Nashrullah dan Ahmad Baiquni (Bandung : Mizan, 1996), 153-154.
39

Pada kitab Risalah Amal Ma’rifah dijelaskan bahwa cara memperoleh ilmu

laduni dibagi dua, yaitu: Pertama menyempurnakan tauhid43 adapun yang dimaksud

tauhid disini ialah tauhid al-Af’âl, tauhid al-Asmâ’, tauhid ash-Shifât, dan tauhid

Dzat. Kedua yaitu takwa kepada Allah dan beramal dengan ilmu yang telah ada.

Sebagaimana dalam sebuah hadis Nabi dikatakan siapa saja melakukan amal

kebajikan dengan ilmu yang telah diperolehnya, maka Allah akan memberikan

kepadanya, ilmu-ilmu yang belum ia ketahui atau biasa disebut ilmu ladunî,

maksudnya apabila ia telah istiqamah mengerjakan ibadah dengan ilmu-ilmu yang

telah diperolehnya dan berusaha menyempurnakan ibadahnya dan beramal dengan

rajin, yang membuat hatinya menjadi bersih sehingga cahaya ilmu Allah dapat masuk

ke dalam hatinya, maka dengan cahaya ilmu Allah itulah ia bisa mengetahui ilmu-

ilmu yang tidak ia ketahui sebelumnya dan puncaknya ia bisa kenal dengan Allah

dengan sebenarnya pengenalan.

Makrifat yang sempurna kepada Allah inilah dambaan setiap sufi atau para

salik, mereka inilah sebenarnya orang yang berakal yang menyadari hakikat

kehidupannya di dunia ini dan sadar akan tempat kembalinya, dan bagi para sufi tiada

tempat kembali yang terbaik kecuali berjumpa kepada Sang Khalik Tuhan semesta

alam dan bersamanya dalam setiap keadaan.

Adapun memesrakan Nur Muhammad adalah dengan cara sering bershalawat

kepada Nabi Muhammad SAW, karena bershalawat kepada Nabi merupakan jalan
43
Abdurrahman Shiddiq, Risalah Amal Ma’rifah Mengesakan Allah Ta’ala (Kuala Lumpur:
Khazanah Fathaniyah, 2019), 12.
40

yang dapat menyampaikan kepada Tuhan dan berkat shalawat dapat menghubungkan

ruh orang yang bershalawat kepada Nabi dengan diri Nabi (Nur Muhammad).44

Dalam kitab Simpanan Berharga karya Mahmud Hashil diterangkan

bagaimana cara mengenal dan memesrakan Nur Muhammad, yaitu: meyakini dengan

sebenarnya akan dirinya semuanya ialah Nur Muhammad, mengerjakan riyâdhah

yang sempurna, fana dan istigrak yang benar pada Nur Muhammad untuk mencapai

tauliyah al-haqq (Anugerah daripada Tuhan yang sebenarnya).45 Memperbanyak

bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.46

Fahruddin Faiz mengatakan memandang wajah guru (mursyid) atau

memandang foto guru juga dapat memesrakan Nur Muhammad, karena guru

manifestasi yang sudah mampu membangkitkan atau menghidupkan Nur

Muhammad, semoga dengan melihat guru bisa juga mengaktifkan Nur Muhammad,

itulah sebabnya para murid dalam tarekat sering memasang foto guru (mursyid) di

rumahnya.47

Sedangkan Buya Ar-Razy Hasyim mengatakan cara mengaktifkan Nur

Muhammad itu yakni dengan menjadi hamba di antara hamba-hamba lainnya, yaitu

dengan menjalankan kewajiban sebagai umat Islam, meneladeni sifat dan sikap Nabi

Muhammad SAW, dan menjalankan sunah beliau. Selain itu perlu memahami asmaul

44
Mahmud Hashil, Waja Sampai Kaputing (Palangkaraya: Pesantren Sunan Jati, 2017), 449.
45
Mahmud Hashil, Simpanan Berharga,,,256.
46
Mahmud Hashil, Simpanan Berharga,,,196.
47
Buya Arrzay Hasyim tentang memesrakan Nur Muhammad,
https://www.youtube.com/watch?v=QgYtldAGzfU, diakses 17 November 2022.
41

husna sebab dari ke-99 nama Allah itu ada rahasia-rahasia Allah, dengan menemukan

rahasia-rahasia Allah itu, atas izin-Nya kita dapat mengaktifkan cahaya Muhammad. 48

2. Implikasi Nur Muhammad

Melalui Nur seseorang bisa membuka ilmu makrifah, Imam al-Ghazali

mengatakan bahwa makrifat didapat melalui ilham, yakni Allah memasukkan Nur ke

dalam hati seseorang yang bersih lagi suci, yang mana dengan Nur tersebut ia bisa

mengetahui rahasia-rahasia daripada Ketuhanan dan hakikat segala sesuatu.49

Melalui Nur Muhammad dapat menjadi penghubung antara Allah dan

hambanya (wasilah), contohnya dalam shalat: kaitan Nur Muhammad dengan shalat

ialah bahwa dalam shalat itu ada dialog antara hamba dengan Tuhan melalui rukun

qauli, rukun fi’li dan rukun qalbi. Maka, untuk mengetahui hakikat dari bacaan dan

dialog tersebut dengan perantaraan suatu ilmu yang hanya bisa diperoleh dengan Nur,

dan Nur ini berasal dari Nur Muhammad. Jadi, penghayatan terhadap hakikat shalat

bisa dirasakan dengan perantaraan Nur Muhammad.50

Penghayatan hakikat shalat tidak mungkin bisa diperoleh tanpa adanya Nur

yang menerangi hatinya dan menyingkap dinding kegelapan di dalam hatinya, maka

apabila sudah ada Nur tersebut di dalam hatinya serta mesra pada dirinya,

implikasinya ia akan memperoleh ketenangan jiwa dan kedekatan dengan Allah,

48
https://www.youtube.com/watch?v=RGv3ioEO1Uk, diakses 17 November 2022.
49
Asmaran As, Teori Makrifah al-Ghazali: Sebuah Karakteristik Epistemologi Islam
(Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2013), 79.
50
Sahabuddin, Nur Muhammad dalam Tradisi Sufisme,,, 66.
42

sehingga apabila ia beribadah tidak lagi berdasarkan aturan-aturan syari’at akan tetapi

berdasarkan cinta dan kerinduan yang mendalam kepada Tuhan dan berdasarkan

kesadaran bahwa dirinya tidak bisa apa-apa, lemah dan tak berdaya tanpa kuasa dan

daya upaya Allah yang diberikan kepadanya.

Barangsiapa mengenal diri yang sebenarnya yaitu Nur Muhammad dengan

tahqîq dan tamkîn51 atau pengenalan yang sempurna. Maka akan terpelihara Iman dan

Islamnya.52 Selain itu manfaat istiqamah di Nur Muhammad, yaitu diri dekat dengan

Tuhan, mendapat rahmat dan ridha Tuhan.

Orang yang sudah mengenal dan memesrakan Nur Muhammad, maka ia akan

mendapatkan maqam tawassu’iyyah, pandangan orang yang berada pada maqam ini

ia tidak hanya memandang dirinya saja Nur Muhammad, tetapi pandangan orang

yang berada pada maqam ini semua yang dilihat dan semua yang diraba serta yang

tidak dilihat dan tidak diraba adalah daripada Nur Muhammad SAW, maka

sempurnalah dirinya dan sempurna juga pandangannya. Adapun implikasinya yaitu.

a. Pandangannya menghubungkan alam yang dipandangnya dengan nama Tuhan

(Nur) dan dengan nama Nabi (Muhammad), maka selamat ia dari siksa alam.

Alam yang dipandangnya senang dan gembira dan memohonkan keampunan

dan alam mendoakan agar orang itu bahagia dan sukses.

51
Tahqiq dan tamkin ialah orang yang sudah wushul atau sudah sampai pengenalannya
terhadap Tuhan dan inilah sifat orang yang ahli dalam ilmu hakikat.
52
Mahmud Hashil, Simpanan Berharga,,,256.
43

b. Jika ada orang kemasukkan jin maka dipandangnya diri orang yang

kemasukkan jin itu Nur Muhammad SAW dengan pandangan yang keras dari

atas kepala dan ujung kaki terus-menerus. Kemudian baca surah al-fîl sampai

ayat tarmîhim bihijâratim min sijjîl baca tujuh kali dan faja’alahum ka’ashfim

ma’kūl tujuh kali, keyakinan melontar jin dengan batu neraka sijjîl. Dan

semoga Allah menjadikan seperti daun kayu dimakan ulat. Kemudian pegang

tangan kanan mulai ibu jari sampai kelingking jari kemudian tangan kiri

seperti itu juga.

c. Maka apabila ada orang sedang sakaratul maut pada syari’at baca ayat Al-

Qur’an, namun jangan lupa pandang diri yang sedang sakaratul maut juga Nur

Muhammad, terus supaya bisa mudah dan tenang menghadapi sakaratul maut

hubungkan diri dengan Tuhan dan Nabi atau pandang Nur Muhammad agar ia

aman dari gangguan, agar dirinya selamat, agar dirinya dalam rahmat Tuhan.

d. Dan jika sudah meninggal secara syari’at dibacakan surah yasin dan al-mulk,

tahlil, takbir, dan shalawat kepada Nabi ini namanya membantu secara

syari’at, jangan lupa bantu dengan jalan hakikat. Dirinya Nur Muhammad

SAW benar-benar hubungkan dirinya dengan Tuhan dan Nabi. InsyaAllah dia

dalam ridha dan rahmat Allah serta dalam syafaat Nabi.

e. Juga maqam tuwassi’iyyah ini digunakan untuk keperluan kebaikan diri dan

orang lain dan keperluan usaha hidup.

f. Bisa juga gunakan kepada anak-anak yang panas.


44

g. Dapat juga digunakan ketika ingin mandi baca shalawat kepada Nabi dan

pandang air itu Nur Muhammad, supaya bercahaya nanti.

h. Juga perlu jika kita ziarah kubur pandang itu kuburan dan yang di dalamnya

Nur Muhammad.53

i. Mendapat berkah dalam kehidupan dan usahanya serta mendapat keselamatan

di akhirat, selalu dalam taufik dan hidayah dari Allah.

j. Matinya dalam keadaan Islam dan Iman serta dalam kesempurnaan atau mati

dalam keadaan husnul khotimah.

k. Disenangi manusia dan disukai para malaikat serta tenang dalam kehidupan.54

53
Mahmud Hashil, Waja Sampai Kaputing,,, 411-413.
54
Mahmud Hashil, Simpanan Berharga,,, 197.

Anda mungkin juga menyukai