Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

AKAL DAN WAHYU

OLEH

Maya Amelia Paradise

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


STAI AL-ANDINA SUKABUMI
PROVINSI JAWA BARAT
2021 M/1442 H
BAB I

PENDAHULUAN

Akal berasal dari bahasa Arab, dari kata: ‘aqala, ya’qilu, ‘aqlan. Secara etimologis

bermakna mengikat atau menahan, mengerti, dan membedakan. Berangkat dari

pengertian ini, maka akal merupakan daya yang terdapat dalam diri manusia untuk

dapat menahan atau mengikat manusia dari perbuatan jahat dan buruk. Demikian

juga akal adalah salah satu unsur yang membedakan manusia dengan makhluk

yang lain, lantaran akal dapat membedakan dan mengerti antara perbuatan yang

baik dan buruk. Term akal sudah melebur dalam bahasa Indonesia sudah dipahami

secara umum diterima, yaitu pikiran. Artinya, pikiran identik dengan akal.

Wahyu berasal dari bahasa Arab, al-wahy dan kata al-wahy, menurut Harun

Nasution, adalah kata Arab asli dan bukan merupakan kata pinjaman dari bahasa

asing. Wahyu berarti suara, api dan kecepatan. Sementara itu wahyu mengandung

pengertian pemberian secara sembunyi-sembunyi dan cepat. Tetapi kemudian

wahyu lebih dikenal sebagai penyampaian firman Allah kepada orang pilihan-

Nya agar disampaikan kepada manusia untuk dijadikan pedoman dan pegangan

hidup di dunia dan akhirat. Dalam Islam wahyu Allah yang disampaikan kepada

Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam al-Qur’an (Harun Nasution,

1986a: 5).

Dan pada umumnya, dipahami bahwa wahyu dan akal masing-masing dipandang

sebagai objek dan subjek. Satu ilustrasi yang menarik yang diberikan oleh

Fathurraman Jamil (1995: 20) prihal akal dan wahyu. Di mana wahyu sebagai
sumber hukum diandaikan sebagai “fail foto” yang akan menjadi dasar bagi

terwujudnya sebuah foto. Sementara akal diibaratkan sebagai ”tukang cuci cetak foto”

yang ikut serta menentukan hasil cetakan, apakah baik atau buruk hasilnya.

Ditambahkan, tanpa negatif film tukang cuci cetak tidak dapat mencetak foto yang

dimaksud. Namun, perlu juga diingat bahwa tanpa tukang cuci, maka negatif foto

selamanya akan tetap menjadi negatif foto, gelap dan sulit untuk diketahui apa

sesungguhnya yang ada di dalamnya.

Karenanya, kalau intrepretasi wahyu atas wahyu lebih dominan akan bersifat

objektif; sebaliknya kalau intrepretasi akal atas wahyu lebih dominan akan bersifat

subjektif. Sehingga pada gilirannya, sumber pengetahuan dan petunjuk kebenaran

yang didasarkan atas wahyu bersifat absolut dan mutlak


BAB II

PEMBAHASAN

A. Akal dan Wahyu Menurut al-Qur’an dan Hadis

Al-Qur’an pada dasarnya memberikan apresiasi dan penghargaan terhadap

penggunaan akal yang dimiliki oleh manusia. Sehigga rasionalitas

menjadi ukuran dan pembeda hakiki antara manusia dengan makhluk

hidup yang lain (Nurcholish Madjid, 1997: 162). Akallah yang memberikan

kemampuan kepada Adam (manusia), misalnya, untuk mengenal dunia

sekelilingnya. Atas dasar kemampuan itulah manusia dipilih oleh Tuhan

sebagai khalifahnya di bumi; dan bukan malaikat meskipun senatiasa

bertasbih memuji Allah dan mensucikaannya (Q.S. al-Baqarah [2]: 30-34).

Dengan begitu, al-Qur’an mengakui keunggulan manusia dan memberikan

kebebasan untuk menguasai dan mengatur alam (Ali, t.th: 403). Tetapi

meskipun begitu, di balik kebebasan manusia tersebut harus diiringi dengan

tanggung jawab, baik sosiologis (kemasyarakatan) maupun teologis

(Ketuhanan).

Dalam pada itu, Nabi Muhammad sendiri dalam memaknai firman Allah

tersebut juga memberikan kebebasan kehendak dan keharusan penggunaan

akal sebagai-mana yang termaktub dalam sabda-sabdanya Sabda-sabda

Nabi itu sangat berbekas di kalangan para sahabat, sehingga kebebasan dan

rasionalitas mula-mula tumbuh di Madinah. Gagasan kebebasan dan


rasionalitas ini mendapat bentuk yang lebih tepat lewat kata-kata Ali bin

Abi Thalib. Kemudian, dari sini gagasan ini menyebar ke Basrah dan Kufah

dan pada akhirnya sampai di Baghdad lewat sarjana-sarjana Islam liberal

dan rasional, seperti Ja’far al-Shadik dan Hasan Basri serta Washil bin Atha’,

pendiri aliran rsionalisme secara formal, Mu’tazilah.

Berkenaan dengan ini, banyak indikasi yang menunjukkan bahwa Islam

pada masa klasik telah terlibat dalam perdebatan yang cukup luas dan ramai,

dalam suasana kehidupan intelektual yang lebih bebas dan terbuka

daripadamasa-masa sesudahnya.

B. Akal dan Wahyu menurut Ahli Fiqh

Dalam Islam sumber hukum yang paling otoritatif adalah Allah semata-

mata. Semua orang, termasuk Rasulullah, tunduk kepada hukum- hukum

Allah. Dilihat dari segi ini, maka Rasulullah bertugas melaksa- nakan dan

menyampai perintah- perintah Allah kepada ummat manusia (Amiur

Nuruddin, 1987: 69). Kare- nanya, segala ketentuan yang bersumber dari

Allah, al-Qur’an; dan yang diperinci, diberi contoh dan tafsirkan oleh

Rasulullah, as-Sunnah, harus dilaksanakan. Jadi al-Qur’an dan as-Sunnah

merupakan sumber hukum (Ahmad Hasan, 1984: 103).

Dalam posisinya sebagai al- mubayyinah (pemberi penjelasan), Rasulullah

sudah barang tentu terlibat dalam berbagai aspek kehidupan ummat Islam.

Karena sedemikian kompleksnya persoalan yang dihadapi ummat Islam,

maka Rasulullah membuat penggarisan (Amiur Nuruddin, 1987: 70).

Rasulullah menggariskan dalam sabdanya:


Sesungguhnya aku adalah manusia. Bila aku memerintahkan suatu tentang agamamu,

maka terimalah itu. Dan bila aku menyuruh tentang sesuatu berdasarkan pendapatku,

maka aku adalah manusia (Muslim, Juz IV, t.th: 95).

Sewaktu Islam sudah merambah ke mana-mana, maka persoalannya

menjadi lain. Nabi sendiri “membatasi dirinya” hanya persoalan-persoalan

agama dan masalah yang jelas ada nash al-Qur’annya. Sementara persoalan-

persoalan kemasyarakatan yang tidak tersentuh secar eksplisit oleh al-Qur’an

dan Hadits semakin menuntut peran yang besar dari akal yang diwujudkan

dalam bentuk Ijtihad. Untuk itu, Rasulullah sering memberikan “mandat”

kepada sahabat-sahabatnya untuk memutuskan suatu perkara, sekalipun

itu terjadi di hadapan beliau sendiri (Ibn Hazm, Juz IV, 1345 H: 25).

Di antara sahabatnya yang diberikan kepercayaan untuk memutuskan

suatu perkara adalah ‘Amr Ibn al-‘Ash. Diriwayatkan bahwa pada suatu kali

Rasulullah berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Ash, agar memutuskan suatu

persoalan hukum. Lalu ‘Amr bertanya: “Apakah saya akan berijtihad, padahal

engkau ada Rasulullah menjawab: “Ya, jika engkau betul (dalam berijtihad), maka

bagimu dua pahala. Tetapi jika engkau salah (dalam berijtihad), maka

engkau mendapat satu pahala” (Amiur Nuruddin, 1987: 54).

Di samping ijtihad, term yang sering dipergunakan untuk menggam- barkan

pendapat pribadi yang orisinil adalah al-ra’y. Muhammad Anis Ubaidah,

Ketua Jurusan Fiqh Perbandingan pada Universitas Al-Azhar, dalam bukunya,

Tarikh al-Fiqh al-Islami, seperti yang dikutip oleh Amir Nuruddin, telah
memberikan gambaran yang cukup baik tentang hubungan ijtihad dan al-

ra’y. Ia mengatakan:

Ijtihad sahabat (di samping pengertiannya) mencakup pengistimbatan

hukum dari al- Kitab dan al-Sunnah, juga mencakup pengambilan hukum

atas dasar pertimbangan yang benar (al-ra’y al-shahih), baik pertimbangan

itu didasarkan kepada Qiyas, penyamaan hukum sesuatu yang tidak

disebutkan teksnya kepada selainnya, termasuk penetapan hukum atas

dasar al- Mursalah. Oleh sebab itu, ijtihad mengandung pengertian yang

luas (umum), sementara dari al-ra’y adalah bagian dari ijtihad, dan Qiyas

adalah bagian dari al-ra’y (Amiur Nuruddin, 1987: 56).

Di samping riwayat itu, banyak lagi riwayat-riwayat lain yang

menggambarkan penggunaan ijtihad. Di antaranya yang paling populer adalah

hadits taqriri, yang memberikan persetujuan kepada Mu’adz Ibn Jabal, ketika

Rasulullah mengangkatnya sebagai hakim di Yaman. Rasulullah bertanya

kepadanya: “Dengan apa engkau nantinya menghakimi perkara?” “Dengan Kitab

Allah,” jawab Mu’adz Ibn Jabal. “Kalau tidak terdapat petunjuk dalam kitab

Allah?” “Dengan Sunnah Rasulullah”.

Kemudian Rasulullah bertanya bagaimana kalau dalam sunnah Rasul tidak

diketemukan petunjuk. Muadz menjawab bahwa dalam keadaan demikian

dia akan berijtihad dengan mempergunakan akalnya. “Segala puji bagi Allah

yang telah memandu utusan Rasulullah kepada (kebajikan) yang diridha’inya,”

seru Rasul dengan puas.


Dari dialog Rasulullah dengan Mu’adz Ibn Jabal di atas, secara implisit

mengungkapkan bahwa tiada tempat bagi akal jika terdapat nash dan tiada

takwil bagi ayat-ayat muhkamat atau mutasyabihat;24 akal baru dapat berfungsi,

sekali lagi, kalau kita cermati dialog di atas, bila ditemukan persoalan-

persoalan kontemporer yang senantiasa menuntut jawaban dalam hukum

Islam.

Untuk itu, di kalangan ahli ushul fiqh sepakat bahwa domain ijtihad hanya

dapat berlaku pada persoalan di mana secara eksplisit tidak terdapat al-

Qur’an dan Hadits; dan masalah-masalah yang terdapat dalam al- Qur’an dan

Hadits, tetapi termasuk kategori zhanni al-dalalat. Karenanya, pendapat yang

menyatakan bahwa ijtihad adalah upaya mencari hukum suatu masalah

yang sudah terdapat dalam nash qath’i tidak dapat mereka terima begitu

saja. Kalau ditelusuri ijtihad ahli fiqh dari zaman ke zaman, ternyata

mereka tidak memasuki lahan yang sudah diatur dengan jelas dalam teks al-

Qur’an dan Hadits. Masalah-masalah yang tidak termaktub dalam nash;

ataupun terdapat dalam nash tetapi masuk kategori zhanni dhalal perlu

ditangani dengan cara merujuk kepada sumber utama ajaran agama, al-

Qur’an dan Hadits. Kemudian melakukan interpretasi sesuai dengan

masalah yang sedang diselesaikan. Interpretasi itu dilakukan dengan

memperhatikan jangkauan arti lafadz atau kalimat yang terdapat dalam teks

al-Qur’an dan Hadits (Fathurrahman Djamil, 1995: 15-16).

Dari apa yang diutarakan di atas, para ahli fiqh memberikan peranan yang

dominan dan besar pada wahyu dalam menetapkan hukum. Karena itu
mereka menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama dalam

pembentukan hukum Islam. Al- Qur’an hakekatnya dalah wahyu Allah yang

tertulis, sedangkan Hadits merupakan penjelasan Nabi terhadap wahyu

Allah itu. Sementara akal hanya digunakan sebagai alat untuk memahami

apa yang dimaksud oleh wahyu Allah tersebut (Fathurrahman Djamil,

1995: 20).

Namun sebaliknya, penggunaan akal tidak dapat dihindarkan sekalipun ada

wahyu dan Rasulullah di sisi sahabat, sebagaimana riwayat di mana

Rasulullah memberikan otoritas kepada sahabat ‘Amr ibn ‘Ash, seperti yang

disinggung di atas. Menurut Ahmad Hasan, alasannya jelas, bahwa wahyu

tersebut harus ditafsirkan, bahkan dita’wilkan (makna elagoris) supaya dapat

diterapkan. Dan ternyata metode ta’wil ini sangat berarti dalam menyelesaikan

masalah-masalah fiqh. Bahkan ta’wil, menurut Abu Zahrah, seperti yang

dikutip oleh Fathurraman Jamil (1995: 15), termasuk aspek-aspek istinbath

yang piawai dalam menangani masalah-masalah hukum.

Penerapan ta’wil sangat urgen dan signifikan di dalam memahami nash al-

Qur’an (termasuk Hadits Nabi), ada beberapa bentuk dalam menangkap

hukum Tuhan dalam al-Qur’an, misalnya;

(i) Hukum yang tersurat secara harfiah dalam al-Qur’an;

(ii) Hukum yang tersirat di balik lafadz al- Qur’an;

(iii) Hukum yang tersembunyi di balik al-Qur’an (Ismail Muhammad Syah,

1992: 54).
Untuk yang pertama barangkali akal tidak dibutuhkan, tetapi bagaimana

dengan yang kedua, apalagi yang ketika; di situ peran akal sangat dibutuhkan

dan kedudukan akal menjadi dominan dalam memahami nash al-Qur’an dan

Hadits.

Karenanya tidaklah benar bila dikatakan bahwa akal dipergunakan hanya

bila tidak ada wahyu mengenai suatu persoalan (Ahmad Hasan, 1984:

106). Bahkan menurut As-Syafi’i, perbedaan- perbedaan sangat

memungkinkan sekalipun pada wahyu yang qath’i (Ahmad Hasan, 1984:

106).25 Pernyataan as-Syafi’i sangat jelas bila kita kembali merujuk kepada

apa yang pernah dilakukan oleh sahabat Umar Ibn Khattab. Namun ada

pula yang berpandangan bahwa apa yang dilakukukan oleh Umar tersebut

tidak lebih sebagai ijtihad tathbiqi (dimungkinkan untuk tidak

memberlakukan nash tertentu dikarenakan adanya nash lain yang

menghendaki demikinan) dan bukan melakukan ijtihad istinbathi

(Fathurraman Jamil, 1995: 15).


BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Akal (fikiran) adalah faktor yang membedakan antara manusia dennfan

makhluk lain sehingga dengan akal tersebut manusia bisa membedakan

baik dan buruk.

2. Wahyu adalah penyampaian firman Allah kepada orang pilihan- Nya

agar disampaikan kepada manusia untuk dijadikan pedoman dan

pegangan hidup di dunia dan akhirat. Dalam Islam wahyu Allah yang

disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW

3. Akal dan wahyu dapat dipandang sebagai subyek dan obyek. Akal

adalah pelaku yang menginterpretasikan wahyu dan wahyu adalah

obyek yang di interpretasikannya.

4. Akal adalah yang membedakan manusia sehingga dipilih oleh Allah

sebagai kholifah dan mengalahkan makhlik-makhluk lain

5. Akal dipergunakan dalam bentuk ijtihad ketika persolan-persoalan

kemasyarakatan tidak secara tegas dijelaskan dalam Al-Quran dan

Hadits.

6. Pendapat peribadi yang orisinil disebut al-ra’yu

7. Qiyas adalah penyamaanhikum sesuatu yang tidak disebutkan teksnya

kepada selainnya.
8. Ijtihad mengandung pengertian luas (umum) sementara al-ra’yu

adalah bagian dari ijtihad dan qiyas adalah bagian dari al-raa’yu

9. ada beberapa bentuk dalam menangkap hukum Tuhan dalam al-Qur’an,

misalnya;

(i) Hukum yang tersurat secara harfiah dalam al-Qur’an;

(ii) Hukum yang tersirat di balik lafadz al- Qur’an;

(iii) Hukum yang tersembunyi di balik al-Qur’an

Untuk yang pertama barangkali akal tidak dibutuhkan, tetapi

bagaimana dengan yang kedua, apalagi yang ketika; di situ peran akal

sangat dibutuhkan dan kedudukan akal menjadi dominan dalam

memahami nash al-Qur’an dan Hadits

Anda mungkin juga menyukai