Anda di halaman 1dari 46

Mukadimah

Rasulullah saw bersabda: "Wahai Bani Hasyim! Janganlah sampai orang-orang lain menghadap padaku pada hari kiamat nanti dengan berbagai amal shaleh (baik), sedangkan kalian menghadapku hanya dengan membanggakan nasab (keturunan)." Ali Bin Abi Thalib berkata: "Barangsiapa yang bermalas-malasan (menangguhkan) amalnya, tidaklah tertolong atau dipercepat naik derajat karena mengandalkan nasab (keturunan)." Diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri, beliau berkata bahwa Daud al-Thoi pernah mendatangi Jafar alShaddiq untuk minta pendapat dan nasehat, padahal beliau adalah seorang imam sufi ahli zuhud pada masanya. Daud al-Thoi: Wahai anak Rasulullah saw, wahai cucu nabi saw, Engkau adalah orang termulia, nasehatmu wajib menjadi pegangan kami, sampaikanlah/ berikanlah nasehatmu kepada kami. Jafar al-Shaddiq: Sungguh aku takut, datukku akan memegang tanganku di hari kiamat nanti, dan berkata: mengapa engkau tidak mengikuti jejakku dengan sebaik-baiknya. Demikian jawaban al-Shaddiq kepada Daud al-Thoi, padahal beliau tidak pernah meninggalkan jejak datuknya, Rasulullah saw. Maka menangislah Daud al-Thoi dan berkata: "Ya Allah, Ya Tuhanku, jika demikian sifat orang dari keturunan Nabi saw, berakhlaq dan berbudi seperti datuknya dan Fathimah al-zahra, dalam kebingungan, khawatir belum sempurna dalam mengikuti jejak Nabi saw, bagaimana halnya dengan aku, Daud ini, yang bukan dari keturunan Nabi saw.

PERSEMBAHAN
Kepada sumber cinta dan kasih sayang Tempat berlindung dari rasa takut menuju rasa aman Sumber petunjuk dan ilham Kepada yang surga diletakkan di bawah telapak kakinya Kepada ibunda Semoga aku mendapatkan doa dan mencapai keridhaannya.

Aidarus Alwee Almashoor

Kata Pengantar

Alhamdulillah puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi, shalawat serta salam semoga Allah curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat dan keturunannya. Buku kecil yang ada di hadapan saudara ini berjudul: "BUNGA RAMPAI KEUTAMAAN DZAT AHLUL BAIT" berisi gambaran secara ringkas tentang proses penciptaan dzat ahlul bait yang mulia dari mulai dijadikannya nur Muhammad sampai dengan kelahiran Rasulullah saw. Di samping itu, buku ini juga menceritakan mengenai pendapat para imam madzhab tentang keharaman zakat untuk ahlul bait, dan kafaah syarifah, yang merupakan upaya pensucian dan menjaga kemuliaan dzat Ahlul Bait. Dapat dikatakan haramnya zakat untuk ahlul bait adalah usaha untuk menjaga kesucian dzat secara zhohir, sedangkan kafaah syarifah usaha untuk menjaga kemuliaan dzat ahlul bait secara bathin. Dalam buku ini juga diuraikan pujian imam ahlul bait terhadap sahabat. Tujuan disusunnya buku ini adalah untuk menambah pengetahuan dan memperluas wawasan kita tentang keutamaan ahlul bait di tengah-tengah umat dan buku ini disebarkan hanya untuk kalangan sendiri/terbatas, dengan harapan semoga usaha ini mendapatkan ridha dan rahmat dari Allah swt. Dalam kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan buku ini khususnya kepada Sayid Alwi bin Abdullah Al-Masyhoer dan kalangan ulama alawiyin lainnya, pengelola perpustakaan Jamiat Kheir, melalui mereka penulis mendapat banyak masukan sehingga tersusunnya buku ini. Penyusun menyadari bahwa buku ini jauh dari sempurna, untuk itu dimohon sumbang saran terhadap perbaikan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat.

Jakarta, Ramadhan 1424 H/November 2003

Penyusun.

NUR MUHAMMAD Proses Penciptaan dzat Ahlul Bait Nabi saw


1. Pengertian Nur. Menurut bahasa Arab arti nur adalah cahaya, yaitu sesuatu yang menyinari suatu objek, sehingga objek itu menjadi jelas dan terang. Menurut Ibrahim Anis (seorang ahli bahasa) dalam al-Mu'jam al-Wasit, nur adalah cahaya yang menyebabkan mata dapat melihat. Sementara itu, Muhammad Mahmud Hijazi, seorang ahli tasawuf mengatakan bahwa nur adalah cahaya yang tertangkap oleh indera, dan dengannya mata dapat melihat sesuatu. Selanjutnya pengertian ini berkembang dengan makna petunjuk dan nalar. Menurut Tabataba'i, penulis tafsir al-Mizan, pengertian awal dari kata 'nur' itu adalah sesuatu yang tampak dengan sendirinya, dan juga menyebabkan lainnya yang bersifat sensual (naluriah, implisit) menjadi tampak. Kemudian arti ini berkembang lebih luas, yaitu setiap indera dipandang sebagai nur atau mempunyai nur, dan dengannya hal-hal yang sensual dapat terlihat. Selanjutnya, pengertian ini berkembang lagi hingga mencakup yang nonsensual, termasuk akal juga dikatakan sebagai nur karena ia dapat menyingkap hal-hal yang abstrak. Ibnu Sina, ketika ditanya tentang pengertian nur pada surah al-Nur ayat 35, menjawab bahwa kata 'nur' mengandung dua makna, yang esensial dan metaforikal. Yang esensial berarti kesempurnaan kebeningan karena nur itu pada dirinya bersifat bening. Adapun makna metaforikal harus dipahami dalam dua cara, yaitu sebagai sesuatu yang bersifat baik, atau sebagai sebab yang mengarahkan kepada baik. Al-Isfahani, seorang ahli tafsir, membagi pengertian 'nur' atas arti material (duniawi) dan arti spiritual (ukhrawi). Nur dalam arti material adalah cahaya yang dapat dilihat/ditangkap di dunia, dan arti ini dibedakan menjadi dua, yaitu arti abstrak (ma'qul) yakni cahaya yang hanya dapat ditangkap oleh mata hati (bashirah), dan arti konkret atau sensual (mahsus) yakni cahaya yang dapat ditangkap oleh mata kepala. Adapun nur dalam arti spiritual ialah cahaya yang akan dilihat di akhirat. Dalam alquran, kata 'nur' disebutkan 43 kali dan paling tidak memiliki arti dalam tiga kemungkinan, pertama berarti cahaya itu sendiri, misalnya pada surah Yunus ayat 5. Kedua berarti petunjuk, misalnya pada surah al-Hadid ayat 9. Ketiga berarti alquran, misalnya pada surat al-Taghabun ayat 8. Makna dasar kata 'nur' itu adalah petunjuk, karena nur dalam arti cahaya itu sendiri, petunjuk, ataupun alquran berfungsi sebagai petunjuk bagi orang yang tersesat jalan atau orang yang sedang mencari kebenaran. Maka Nabi Muhammad saw disebut juga nur, karena beliau diyakini sebagai orang yang membawa petunjuk atau menunjukkan jalan yang benar. Hal ini disebutkan pula dalam kamus alMunawwir yang menjelaskan bahwa arti kata nur itu adalah Rasulullah saw. Al-Ghazali dalam kitab Misykat al-Anwar mengatakan bahwa kedudukan alquran bagi mata akal sama seperti kedudukan cahaya matahari bagi mata lahiriah. Sebab hanya dengan itulah sempurna penglihatan. Dengan itu pula alquran lebih patut menyandang nama nur sebagaimana sinar matahari biasa dinamakan cahaya. Al-Ghazali menjelaskan bahwa kata nur atau cahaya memiliki empat pengertian. Pertama, cahaya yang mewujudkan sesuatu sehingga dapat dijangkau oleh penglihatan sedang nur itu sendiri tidak dapat melihat diri, misalnya cahaya matahari. Kedua, cahaya penglihatan, ia menampakkan segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh penglihatan dan ia sendiri dapat melihatnya. Nur ini lebih mulia dari yang pertama. Ketiga, cahaya aqli yaitu yang mewujudnyatakan segala sesuatu yang rasional yang tersembunyi bagi penglihatan pada kegelapan kenyataan, dan nur ini dapat menjangkau dan melihatnya. Keempat, nur al-Haq (Allah swt) yang mewujudnyatakan segala sesuatu yang tidak tampak dan tersembunyi bagi penglihatan pada ketidakadaan, seperti malaikat. Menurut al-Ghazali, hakikat nur yang sebenarnya hanyalah Allah swt, sedang sebutan cahaya bagi selainNya hanyalah kiasan, tak ada wujud sebenarnya. Karena itu al-Ghazali membedakan makna nur di kalangan orang awam dan di kalangan orang khusus. Nur dalam pengertian orang awam menunjuk kepada sesuatu yang nampak. Ketampakan itu adalah sesuatu yang nisbi. Ada kalanya sesuatu tampak dengan pasti bagi suatu pandangan di saat ia tersembunyi bagi pandangan lainnya. Cahaya adalah sebutan sesuatu yang tampak dengan sendirinya ataupun yang membuat tampak benda lainnya. Nur dalam pengertian orang khusus adalah 'jiwa yang melihat'. Rahasia cahaya adalah ketampakannya bagi suatu daya cerap. Akan tetapi pencerapan bergantung, selain pada adanya cahaya, juga pada adanya mata yang memiliki daya lihat. Meskipun cahaya disebut sebagai sesuatu yang tampak dan menampakkan sesuatu, namun tidak ada suatu cahaya yang tampak dan menampakkan sesuatu bagi orang buta. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa 'jiwa yang melihat' sama dengan cahaya yang tampak dalam kedudukannya sebagai unsur yang harus ada bagi pencerapan. Bahkan, berdasarkan hal ini, 'jiwa yang melihat' lebih tinggi kedudukannya karena memiliki daya cerap dan dengannya pula suatu pencerapan dapat terwujud. Selain kata nur, perlu pula dikemukakan pengertian kata Muhammad. Muhammad yang dimaksud dalam tyulisan ini adalah Nabi Muhammad saw. Di kalangan sufi, pribadi Nabi Muhammad mempunyai penilaian tersendiri. Al-Tustury misalnya, berpendapat bahwa Nabi Muhammad adalah merupakan sumber dasar terciptanya tanah yang mulia yang merupakan sumber kejadian. Nabi Muhammad adalah azali karena ia merupakan bahagian dari Allah swt yakni dari nur-Nya. Pendapat lain dikemukakan oleh Amin al-Qurdy, yang mengatakan bahwa Muhammad adalah manusia 'Ain al-Wujud' yang wujudnya merupakan sumber segala sesuatu sementara para nabi yang mendahuluinya adalah pengganti dan pembantunya. Dari beberapa keterangan di atas agaknya dapat dipahami bahwa nur Muhammad disandarkan kepada Nabi Muhammad saw yang memiliki kemulian dan keutamaan, baik dari segi jasmaniah maupun dari segi ruhaniah. Ibnu Khatib mengatakan bahwa dengan Muhammad dan dari cahayanyalah maka bulan itu bercahaya dengan sempurna, begitu pula matahari bersinar dengan perantaraan cahaya Muhammad. 2. Konsep Nur Muhammad Nur Muhammad dalam tasawuf merupakan makhluq yang pertama sekali diciptakan oleh Allah swt dan setelah itu baru diciptakan alam yang lainnya. Nur Muhammad sering juga disebut Hakikat Muhammad atau Ruh Muhammad. Untuk pertama kalinya, konsep Nur Muhammad dibawa oleh seorang sufi bernama al-Hallaj. Ensiklopedia Islam menyebutkan bahwa Nur Muhammad atau Cahaya Muhammad, dalam filsafat tasawuf adalah paham bahwa yang pertama diciptakan Allah swt adalah Nur Muhammad dan dari Nur Muhammad inilah segala yang lain diciptakan. Nur Muhammad terdapat bukan hanya dalam diri Muhammad saw, tetapi juga dalam diri nabi-nabi yang lain. Nur Muhammad muncul pertama kali dalam diri Adam, kemudian dalam diri nabi-nabi lain, tetapi belum mencapai kesempurnaan. kesempurnaannya baru tercapai dalam diri Nabi Muhammad saw. Maka Nabi Muhammad saw dalam istilah sufi adalah al-Insan al-Kamil, manusia sempurna. Tidak ada manusia lebih sempurna dan lebih mulia dari Nabi Muhammad saw. Gagasan Nur Muhammad pertama kali dicetuskan oleh seorang tokoh sufi dari Iraq yang bernama Sahal Abdullah alTusturi pada abad ke sembilan masehi. Selanjutnya dikembangkan oleh al-Hallaj, Ibnu Arabi dan Abdul Karim al-Jilli. Gerhard Bowering dalam buku Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, dalam telaah mendasarnya tentang peranan Nabi saw dalam teologi al-Tusturi menulis: "Allah, dalam keesaan-Nya yang mutlak dan realitas transenden-Nya, ditegaskan oleh Tusturi sebagai misteri yang tak tertembus dari cahaya Ilahi yang bagaimanapun juga mengungkapkan dirinya sendiri dalam perwujudan pra keabadian dari 'persamaan cahaya-Nya' (matsalu nurihi), yaitu 'persamaan cahaya Muhammad' (Nur Muhammad). Asal-usul Nur Muhammad dalam pra keabadian dilukiskan sebagai suatu masa bercahaya dari pemuliaan primordial di haribaan Allah yang mengambil bentuk suatu tiang tembus cahaya (amud), cahaya Ilahi dan membentuk Muhammad sebagai ciptaan utama Allah. Dengan demikian, dalam menjelaskan tentang terminologi ayat cahaya itu, Tustari berkata: Ketika Allah berkehendak untuk menciptakan Muhammad, Dia memunculkan sebuah cahaya dari cahaya-Nya. Ketika ia mencapai selubung keagungan (hijab al-azhamah), ia membungkuk dan bersujud di hadapan Allah. Allah menciptakan dari sujudnya itu sebuah tiang yang besar bagaikan kaca kristal dari cahaya, yang dari luar maupun dari dalam dapat ditembus pandang." Yang menarik, Tusturi juga mengaitkan surat al-Najm dengan cahaya Muhammad. Dia tidak menafsirkan surah ini dengan peristiwa penglihatan permulaan Nabi atau perjalanannya ke langit, tetapi justru menyatakan bahwa kata-kata 'Dan dia melihat-Nya lagi di waktu yang lain' mengandung arti pada awal waktu, ketika tiang cahaya Muhammad berdiri di hadapan Allah, jelasnya sebagai berikut: 'Sebelum dimulainya penciptaan selama sejuta tahun, dia berdiri di hadapan-Nya untuk memuja-Nya, dengan keteguhan iman, dan (kepadanya) diungkapkan misteri oleh misteri itu sendiri 'di pohon Sidrah di Tapal Batas', yaitu pohon di mana pengetahuan setiap orang berakhir.' Lalu, ketika penciptaan dimulai, Allah menciptakan Adam dari cahaya Muhammad, sebagai berikut: 'Cahaya para nabi berasal darinya, dari cahaya Muhammad, dan cahaya kerajaan langit, malakut, adalah dari cahayanya, dan cahaya dunia ini dan dunia yang akan datang berasal dari cahayanya.' Selanjutnya Bowering melanjutkan penafsirannya atas doktrin Tusturi: 'Akhirnya ketika kemunculan para nabi dan alam raya spiritual di dalam pra keabadian telah sempurna, Muhammad dibentuk tubuhnya, dalam bentuk temporal dan teresterial, dari lempung Adam, yang telah diambil dari tiang Nur Muhammad dalam pra keabadian. Dengan demikian, penciptaan cahaya pra keabadian telah disempurnakan: manusia pertama itu dicetak dari cahaya Muhammad yang telah terkristal dan mengambil sosok pribadi Adam."

Seperti telah dikatakan oleh Ibnu Arabi tiga abad setelah Tusturi, bahwa Nabi saw adalah seperti benih umat manusia. Dan para penyair tak henti-hentinya melukiskan tentang peristiwa itu, yaitu bahwa Muhammad ternyata ada lebih dahulu dibanding Adam dalam esensinya, meskipun secara lahiriah dia adalah keturunannya. Ibnu Arabi berkata: 'Ketahuilah bahwa cahaya-cahaya alam semesta ini, dari arsy, farsy (hamparan), langit, bumi, surga, hijab, hingga lebih atas lagi, atau dibawahnya, jika seluruhnya dikumpulkan, maka hanya sepadan dengan sebagian cahaya Nabi saw. Seluruh cahaya Nabi saw, seandainya diletakkan di arsy, maka arsy akan terbelah. Seandainya cahaya itu diletakkan di atas tujuh puluh hijab, maka ia akan berserakan. Seandainya seluruh makhluq dikumpulkan dan di atasnya diletakkan cahaya agung, niscaya akan berterbangan dan jatuh.' Konsep Nur Muhammad berhubungan dengan pencapaian manusia (sufi) pada derajat insan kamil (manusia sempurna), yaitu manusia yang sudah mencapai tingkat tertinggi dari sifat kemanusiaannya atau manusia yang telah memiliki Nur Muhammad, Hakikat Muhammad atau Ruh Muhammad tersebut. Menurut al-Jilli dalam kitabnya Insan Kamil, benda-benda yang diciptakan dari Nur Muhammad adalah benda-benda yang diciptakan dari Nur Tuhan. Jadi dalam setiap benda terdapat Nur Muhammad, hanya yang sempurna terdapat pada diri nabi-nabi, dan yang paling sempurna adalah pada diri Nabi Muhammad saw. Nur Muhammad bukan Nabi Muhammad saw dan Nabi Muhammad saw bukan Nur Muhammad. Tetapi Nur Muhammad mengambil bentuk pada diri Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, meskipun Nabi Muhammad saw telah wafat, Nur Muhammad tetap abadi dan dapat menampakkan diri pada seseorang yang masih hidup yang dikehendakinya, seperti pada para sufi besar, terutama pada keluarga dan keturunan Nabi Muhammad saw. 3. Nur Muhammad saw: Makhluq pertama yang diciptakan. Banyak ulama, dalam kitab-kitab manaqib mereka menyebut kekhususan dan keistimewaan junjungan kita Nabi Muhammad saw. Di antara kekhususan dan keistimewaan yang mereka sebutkan antara lain adalah: 'Pertama kali makhluq yang diciptakan oleh Allah swt adalah Nur Muhammad'. Di samping itu ada pula ulama yang mengatakan: 'Alam wujud ini diciptakan Allah swt demi Rasulullah saw'. Sebagian ulama berbeda pendapat mengenai makhluq apakah yang pertama sekali dijadikan Allah swt. Mereka berpendapat bahwa makhluq yang pertama kali dijadikan Allah swt ialah 'Nur Muhammmad'. Ada pula yang berpendapat Nur Akal dan pendapat lain mengatakan bahwa yang pertama kali diciptakan oleh Allah swt adalah Qalam dan Lauh al-Mahfudz. Dalam kitab Kunuz al-Sa'adah al-Abadiyah fi Anfas al-Aliyah al-Habsiyah, kitab yang berisi untaian mutiara kalam al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein al-Habsyi yang dihimpun oleh al-Habib Muhsin bin Ahmad bin Muhsin al-Seggaf, menerangkan bahwa: sesungguhnya makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah swt adalah Nur Muhammad. Sebagaimana hadits Rasulullah saw:

"Pertama yang dijadikan oleh Allah saw adalah cahayaku". Selanjutnya beliau menerangkan bahwa: sesungguhnya Nabi Muhammad saw itu sendiri adalah alLauh dan al-Qolam, yang tidak ada makna lain lagi yang dimaksud oleh kedua kata diatas selain nabi yang ma'sum, Rasulullah saw. Menurut al-Jilli, nur Muhammad mempunyai banyak nama sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh dan malak, bila dikaitkan dengan ketinggiannya. Tidak ada kekuasaan makhluq yang melebihinya, semua tunduk mengitarinya karena ia kutub dari segenap falaq. Ia disebut al-haq al-makhluq bih (al-haaq sebagai pencipta), karena darinya tercipta segenap makhluq. Ia disebut amr (urusan) Allah, karena hanya Allah yang tahu hakikatnya secara pasti. Demikian pula ia disebut al-qalam al-a'la (pena yang tertinggi) dan al-aql al-awwal (akal pertama), karena merupakan wadah pengetahuan Tuhan terhadap alam maujud dan melaluinya Tuhan menuangkan sebagian dari pengetahuan-Nya kepada makhluq. Adapun sebutan al-ruh al-Ilahi (ruh ketuhanan) ialah karena keterkaitannya dengan ruh alquds (ruh yang suci) ruh al-amin (ruh yang jujur) adalah karena ia merupakan perbendaharaan ilmu Tuhan dan dipercayai-Nya. Nama itu pula yang dipakai untuk menamai malaikat Jibril, yang secara langsung berasal dari nur Muhammad tersebut. Di antara perkataan yang bersesuaian dengan pendapat bahwa makhluq yang pertama diciptakan oleh Allah swt adalah Nur Muhammad saw adalah perkataan Ibnu Arabi, beliau menerangkan bahwa: "Hakikat Muhammad (Nur Muhammad) yang menjadi inti insan kamil (manusia sempurna) adalah sebagai penyebab penciptaan alam". Dan selanjutnya ia berkata pula: "Wadah pertama sebagai tempat Nur Muhammad mengidentifikasikan dirinya secara sempurna ialah jasad Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan Tuhan". Hal tersebut sesuai dengan hadits nabi yang diriwayatkan dari Jabir:

"Sesungguhnya Allah saw telah menciptakan nur nabi Muhammad saw dari nur-Nya dan kemudian dijadikan alam raya ini dari nur nabi Muhammad saw". Di samping itu terdapat pula hadits yang diriwayatkan oleh Umar dan Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa hakikat Muhammad (Nur Muhammad) adalah sebagai penyebab penciptaan alam, Rasulullah saw bersabda:

.
"Wahai Umar, apakah engkau ingin tahu siapa saya? Saya adalah yang Allah pertama kali ciptakan cahayaku sebelum segala sesuatu, maka sujudlah cahayaku itu kepada Allah hingga tujuh ratus tahun dan tidak sombong. Wahai Umar, apakah engkau ingin tahu siapa saya? Saya adalah yang dari cahayaku Allah telah ciptakan qolam, lauh, arsy, kursi, akal pertama dan cahaya iman". Dari Jabir, Rasulullah bersabda:

: .

"Dari Jabir berkata: Demi ayah dan ibuku, Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang suatu yang diciptakan Allah swt sebelum segalanya yang lain. Rasulullah menjawab: Wahai Jabir, sesungguhnya Allah telah menciptakan nur Nabimu dari nur-Nya sebelum sesuatu yang lain. Maka dijadikan nur itu berkeliling sesuai dengan yang dikehendaki Allah swt, dan tidaklah dijadikan pada saat itu qalam, lauh, arsy, kursy, malaikat, ruh, surga, neraka, langit, bumi, matahari, bulan, manusia, dan jin. Dan ketika Allah swt menghendaki untuk menciptakan makhluqnya, maka nur tersebut dibagi menjadi empat bagian. Dari bagian pertama diciptakan qalam, dari bagian kedua diciptakan lauh, dari bagian ketiga diciptakan arsy, dan dari bagian keempat, nur tersebut dibagi lagi menjadi empat bagian, dari bagian pertama diciptakan isi arsy, dari bagian yang kedua diciptakan kursy, dari bagian yang ketiga diciptakan malaikat, kemudian dari bagian keempat, nur tersebut dibagi menjadi empat bagian, dari bagian pertama diciptakan surga dan neraka, dari bagian kedua diciptakan langit, dari bagian ketiga diciptakan bumi, dan dari bagian keempat dibagi menjadi empat bagian, dari bagian pertama diciptakan matahari, bulan dan bintang, dari bagian kedua diciptakan planet dan benda-benda langit, dari bagian yang ketiga diciptakan akal dan penglihatan dan cahaya iman". Dari Jabir bin Abdillah al-Anshari berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah, apakah yang pertama diciptakan oleh Allah swt? Rasulullah menjawab: 'Nur Nabimu wahai Jabir, kemudian Allah swt menciptakan segala kebaikan dari nurku'. Nur Muhammad itulah yang menjadikan sebagian manusia menjadi insan kamil. Akan tetapi insan kamil yang muncul dalam setiap zaman semenjak nabi Adam, tidak dapat melebihi keutamaan Nabi Muhammad saw, hal tersebut dibuktikan dalam alquran surah al-Ahzab ayat 21:

"Sesungguhnya pada pribadi Rasulullah saw terdapat suri tauladan yang baik bagimu."

Dalam surah al-Qalam ayat 4 disebutkan:

"Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah pribadi yang agung". Selain ayat alquran, hal tersebut terdapat pula dalam hadits:

"Saya adalah penghulu keturunan Adam pada hari kiamat".

"Saya telah menjadi nabi dan Adam masih berada antara air dan tanah, antara ruh dan jasad". Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi menuliskan riwayat tentang nur Muhammad sebagai awal penciptaan makhluq dalam kitab maulidnya yang berjudul Simthu al-Duror, sebagai berikut: "Telah sampai kepada kami dalam hadits-hadits yang masyhur bahwa sesuatu yang mula pertama diciptakan Allah swt ialah nur yang tersimpan dalam pribadi agung (Muhammad saw) ini. Maka nur insan tercinta inilah makhluq pertama yang muncul dalam penciptaan-Nya. Darinya berasal seluruh wujud alam ini yang baru datang ataupun yang sebelumnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdurrazak dengan sanadnya sampai kepada Jabir bin Abdullah al-Anshori, bahwasanya ia pernah bertanya: Demi ayah dan ibuku, Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang diciptakan Allah sebelum segala makhluq yang lain. Rasulullah menjawab: Wahai Jabir, sesungguhnya Allah swt telah menciptakan nur nabimu Muhammad dari nur-Nya sebelum sesuatu yang lain. Dan telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya nabi Muhammad telah bersabda: Aku adalah yang pertama di antara nabi dalam penciptaan, namun yang terakhir dalam kerasulan. Banyak pula riwayat lain yang menyatakan bahwa beliau adalah makhluq pertama yang diciptakan oleh Allah sebelum adanya makhluq lain dan termulia di antara mereka semua. Dan manakala kebahagiaan abadi menampakkan pengamatannya yang tersembunyi mengkhususkan manusia yang dipilihnya dengan kekhususan yang sempurna, dititipkannya nur berderang ini pada berbagai sulbi dan rahim yang dimuliakan di antara penghuni jagat raya dan berpindah-pindah dari sulbi Adam, Nur dan Ibrahim sehingga pada akhirnya sampailah ia ke ayahnya yang terpilih menerima kehormatan tiada terhingga Abdullah bin Abdul Muthalib yang bijak dan berwibawa serta ibundanya Aminah yang mulia, yang selalu merasa aman dan tenteram meskipun di tengah apa saja yang menggelisahkan." Berdasarkan hadits-hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa 'nur Muhammad saw' merupakan makhluq yang pertama diciptakan sebelum makhluq-makhluq lainnya, dan hal tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Nabi Muhammad saw melalui nur Muhammad saw yang diciptakan dari nur Allah swt, memiliki nilainilai keutamaan yang utuh. Dari itu tentulah ia tidak dapat disejajarkan dengan insan kamil lainnya. 4. Nur Muhammad saw dan penciptaan Adam Sesungguhnya Allah yang tidak ada tuhan selain-Nya, awal pertama menciptakan makhluq adalah nur kekasihnya Muhammad saw empat ratus ribu tahun sebelum menciptakan air, arsy, kursy, langit, bumi, lauh, qolam, surga, neraka, malaikat, Adam dan Hawa. Ketika Allah swt menciptakan nur nabi Muhammad saw, nur itu berada di sisi Allah swt selama seribu tahun sambil terus bertasbih dan bertahmid kepada Allah swt. Pada saat Allah swt melihat kepada nur Muhammad, maka berfirman: 'Wahai hambaku, engkaulah sebaik-baiknya ciptaanku, kemuliaan dan keagunganku jika tidak karena engkau tidak Aku ciptakan alam semesta, siapa yang mencintai engkau, maka Aku mencintainya, siapa yang membenci engkau, maka Aku membencinya. Maka nur itu bersinar membumbung naik dan sinarnya menyebar ke segala sisi'. Setelah itu Allah swt menciptakan dua belas hijab: hijab Qudrah, hijab Uzmah, hijab Izzah, hijab Haibah, hijab Jabarut, hijab Rahmah, hijab Nubuwah, hijab Kibriya', hijab Manzilah, hijab Rafa'ah, hijab Sa'adah dan hijab Syafa'ah. Kemudian Allah swt memerintahkan nur Muhammad untuk masuk ke dalam hijab Qudrah selama dua belas ribu tahun sambil membaca 'Maha suci Tuhan yang maha tinggi'. Kemudiaan masuk ke dalam hijab Uzmah selama sebelas ribu tahun sambil membaca 'Maha suci Tuhan yang mengetahui segala yang nyata dan yang tersembunyi'. Kemudian masuk ke dalam hijab Izzah selama sepuluh ribu tahun sambil membaca 'Maha suci Tuhan yang menguasai dan pemurah'. Kemudian masuk ke dalam hijab Haibah selama sembilan ribu tahun sambil membaca 'Maha suci Tuhan yang maha kaya dan tidak pernah miskin'. Kemudian masuk ke dalam hijab Jabarut selama delapan ribu tahun sambil membaca 'Maha suci Tuhan yang mempunyai kemuliaan'. Kemudian masuk ke dalam hijab Rahmah selama tujuh ribu tahun sambil membaca 'Maha suci Tuhan yang mempunyai arsy yang agung'. Kemudian masuk ke dalam hijab Nubuwah selama enam ribu tahun sambil membaca 'Maha suci Tuhan yang mempunyai kemuliaan'. Kemudiaan masuk ke dalam hijab Kibriya' selama lima ribu tahun sambil membaca 'Maha suci Tuhan yang mempunyai keagungan'.

Kemudian masuk ke dalam hijab Manzilah selama empat ribu tahun sambil membaca 'Maha suci Tuhan yang maha mengetahui dan mulia'. Kemudian masuk ke dalam hijab Rafa'ah selama tiga ribu tahun sambil membaca 'Maha suci Tuhan yang mempunyai malak dan malakut'. Kemudian masuk ke dalam hijab Sa'adah selama dua ribu tahun sambil membaca 'Maha suci Tuhan yang dapat mengubah dan tidak berubah'. Kemudian masuk ke dalam hijab Syafa'ah selama seribu tahun sambil membaca 'Maha suci Tuhan dengan segala pujian dan keagungannya'. Kemudian Allah swt menciptakan dua puluh lautan dari nur Muhammad, pada setiap laut terkandung ilmu dan hanya Allah swt saja yang mengetahuinya. Kemudian Allah swt berfirman kepada nur Muhammad: 'Turunlah ke dalam lautan Izzah, lautan Sabar, lautan Khusu', lautan Tawadhu', lautan Ridho, lautan Wafa', lautan Hilim, lautan Taqwa, lautan Khosyyah, lautan Inabah, lautan Amal, lautan Mazid, lautan Huda, lautan Shiyanah, lautan Haya', hingga lautan yang ke dua puluh'. Setelah itu nur Muhammad keluar dari lautan-lautan tersebut, dan Allah swt berfirman: 'Wahai kekasihku, penghulu semua rasulku, awal ciptaanku, akhir para rasulku, engkau adalah pemberi syafa'at di padang mahsyar'. Serta merta nur Muhammad bersujud kepada Allah swt kemudian bangun, keluarlah tetesan dari nur Muhammad saw yang berjumlah 124.000 tetesan. Kemudian Allah swt jadikan dari setiap tetesan nur Muhammad para nabi, kemudian semua nur para nabi mengelilingi nur Muhammad saw sebagaimana para jamaah haji thawaf mengelili Ka'bah sambil mengucapkan tasbih dan tahmid seraya berkata: Maha suci Tuhan yang maha mengetahui dan tidak bodoh, Maha suci Tuhan yang maha sabar dan tidak tergesa-gesa, Maha suci Tuhan yang maha kaya dan tidak miskin. Kemudian Allah swt memanggil semua nur, dan berfirman: Apakah kamu semua kenal siapa Aku? Nur Muhammad paling dahulu menjawab: Engkau adalah Allah yang tidak ada tuhan selain Engkau, Engkau adalah Tuhan yang satu dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Kemudian Allah swt menjawab: 'Engkau adalah kesucianku, kekasihku, sebaik-baiknya ciptaanku, umatmu sebaik-baiknya umat yang dikeluarkan kepada manusia'. Kemudian dari nur Muhammad, Allah menciptakan mutiara dan membaginya menjadi dua bagian. Setelah itu, Allah memandang kepada bagian yang pertama dengan pandangan kebesaran, maka jadilah air yang segar, dan memandang kepada bagian yang kedua dengan pandangan kasih sayang, maka jadilah arsy yang bersemayam di atasnya air, kemudian dijadikan kursy dari cahaya arsy, kemudian dari cahaya kursy dijadikan lauh, kemudian dari cahaya lauh dijadikan qalam. Kemudian Allah swt berfirman kepada qalam: 'Tulislah keesaanku'. Maka qalam menulisnya terus menerus selama seribu tahun. Dan ketika pada puncaknya Allah swt berfirman: 'Tulislah'. Qalam berkata: Wahai Tuhanku apa yang harus aku tulis? Allah swt berfirman: 'Tulislah, tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah'. Dan ketika qalam mendengar nama Muhammad saw, ia langsung bersujud, dan berkata: Maha suci Tuhan yang maha tunggal dan maha perkasa, maha suci Tuhan yang mempunyai keagungan, kemudian qalam bangkit dari sujudnya dan menulis: Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah. Selanjutnya qalam bertanya: Wahai Tuhanku siapakah Muhammad yang namanya disebutkan bersamaan dengan namamu? Allah berfirman: 'Wahai qalam, jika bukan karena Muhammad, maka Aku tidak ciptakan engkau, dan tidak pula aku ciptakan makhluq kecuali karena dia. Sesungguhnya dia adalah pemberi peringatan dan kabar gembira, pelita yang bercahaya, pemberi syafa'at'. Dan mulai saat itu qalam menikmati manisnya menyebut nama Muhammad saw, kemudian qalam berkata: Assalamu'alaika Ya Rasulullah. Maka Allah swt menjawab salam qalam: 'Wa alaika salam minni warahmatullahiwabarakatuh'. Selanjutnya Allah berfirman: 'Tulislah qodho' dan qadar-Ku, sesungguhnya Aku ciptakan dia sampai hari kiamat'. Kemudian Allah swt menciptakan malaikat yang selalu bersholawat kepada Muhammad dan keluarganya, memohonkan ampun untuk umat Muhammad sampai hari kiamat. Kemudian dari nur Muhammad Allah menciptakan surga dan menghiasinya dengan keagungan, keperkasaan, kedermawanan dan amanah, yang disiapkan untuk auliya' dan yang taat kepada-Nya. Kemudian Allah swt memandang kepada sisa mutiara dengan pandangan keperkasaan, maka melelehlah mutiara itu dengan mengeluarkan asap, dan dari asap tersebut Allah swt jadikan langit dan dari intinya Allah swt jadikan bumi, kemudian dijadikan gunung dan lainnya. Selanjutnya dari arsy, Allah swt jadikan dua cahaya, yang pertama keutamaan dan yang kedua keadilan. Dari kedua cahaya itu dijadikan dua bagian, dari kedua bagian itu diciptakan akal, kelembutan, ilmu dan kedermawanan. Kemudian dari akal diciptakan rasa takut, dari ilmu diciptakan keridhaan, dari kelembutan diciptakan rasa kasih sayang, dari kedermawanan diciptakan rasa cinta. Semua yang dijadikan tersebut berasal dari nur Muhammad saw. Sesudah itu Allah swt menjadikan arwah orang-orang mu'min dari umat Muhammad, kemudian dijadikan matahari, bulan, bintang, malam, siang, terang, gelap dan semua malaikat yang kesemuanya itu diciptakan dari nur Muhammad saw. Dan ketika sempurna penciptaan itu, maka nur Muhammad diletakkan di bawah arsy selama tujuh puluh tiga ribu tahun, kemudian nur Muhammad berpindah ke surga selama tujuh puluh ribu tahun, kemudian berpindah lagi ke sidratul muntaha selama tujuh puluh ribu tahun, kemudian pindah ke langit ketujuh,

langit keenam, langit kelima, langit keempat, langit ketiga, langit kedua dan akhirnya nur Muhammad pindah ke dunia hingga Allah swt menciptakan Adam. Kemudian Allah swt memerintahkan malaikat Jibril turun ke dunia dan mengambil segenggam tanah dari bumi untuk menjadikan Adam. Sebelum Jibril sampai di bumi, iblis telah mendahuluinya turun ke bumi dan berkata kepada bumi: Sesungguhnya Allah akan menciptakan darimu makhluq yang akan disiksa dengan api neraka. Jika datang kepadamu malaikat-Nya, maka katakan kepada malaikat tersebut: Saya berlindung kepada Allah darimu yang akan mengambil dariku sesuatu dan akan disiksa dalam neraka. Kemudian Jibril datang kepada bumi, selanjutnya bumi berkata kepada malaikat: Saya berlindung kepada yang telah mengutus engkau, yang akan mengambil dariku sesuatu. Kembalilah Jibril dengan tangan hampa dan berkata kepada Allah: Ya Rabb, sesungguhnya bumi telah berlindung dariku dengan nama Engkau. Begitu pula ketika Allah mengutus Mikail, Israfil, kembali dengan tangan hampa. Kemudian Allah mengutus malaikat Izrail dan berkata kepada bumi: Saya berlindung dengan kemuliaan Allah dari penentanganmu. Selanjutnya Izrail menjalankan yang diperintah Allah untuk mengambil sesuatu dari bumi. Kemudian Allah swt berkata kepada malaikat Izrail: 'Apakah bumi tidak berlindung dengan namaku darimu?' Izrail menjawab: Ya, dan aku tidak memperlihatkan belas kasihanku kepadanya. Ketaatanku kepada-Mu melebihi rasa belas kasihku kepada bumi. Allah berkata kepada Izrail: Jika engkau tidak mempunyai rasa belas kasih kepada bumi berarti engkau tidak mempunyai rasa belas kasih kepada sahabat-sahabatmu. Malaikat Izrail menjawab: Ketaatanku kepada-Mu lebih utama. Kemudian Allah berfirman: 'Sesungguhnya aku akan menciptakan dari bumi para nabi dan kaum sholihin dan lainnya. Begitu juga Aku akan jadikan arwah-arwah mereka sebagian darimu'. Maka menangislah malaikat Izrail dan berkata: Engkau benar wahai Tuhanku. Allah swt berfirman: Mengapa engkau menangis? malaikat Izrail menjawab: Jika demikian, semua makhluq akan membenciku. Allah swt berkata: 'Jangan takut, sesungguhnya Aku akan menjadikan perantara yang mengantarkan mereka kepada kematian'. Setelah itu, Allah memerintahkan Jibril yang diiringi oleh para malaikat mendatangi bumi dan mengambil segenggam tanah dari tempat yang mulia di bumi. Kemudian Jibril membentuknya dengan air surga, air keagungan, air kemuliaan, air kasih sayang, air keridhoan, dan air kemaafan. Allah jadikan kepala Adam dari hidayah-Nya, dadanya dari belas kasih-Nya, telapak tangannya dari kemurahan-Nya, hatinya dari kesabaran-Nya, farajnya dari keterpeliharaan-Nya, kakinya dari kemuliaan-Nya, hatinya dari keyakinanNya, nafas-nafasnya dari kebaikan-Nya, kemudian bagian-bagian tersebut dicampur dengan tanah Adam. Ketika Adam telah dijadikan, Allah swt berfirman: 'Sesungguhnya Aku telah menciptakan manusia dari tanah dan Aku telah tiupkan ruh-Ku kepadanya, maka jadilah engkau dari golongan orang-orang yang sujud kepadanya'. Kemudian Malaikat membawa jasad Adam dan meletakkannya di pintu surga dalam keadaan tanpa ruh. Para malaikat menunggu kapan mereka diperintahkan untuk bersujud, karena saat itu hari Jum'at setelah zhuhur. Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk sujud kepada Adam, maka bersujudlah mereka kecuali iblis la'natullah. Setelah itu Allah jadikan ruh dan berkata kepadanya: 'Masuklah kepada jasad ini'. Dengan merasa sempit, maka ruh itu masuk ke dalam tubuh Adam dan berhenti. Kemudian Allah swt berkata: 'Paksakanlah untuk masuk dan paksakanlah untuk keluar'. Kemudian ruh itu masuk ke kepala, ke mata yang menjadikan ia dapat melihat dirinya sendiri. Terdengarlah tasbih para malaikat, dan ketika ruh sampai ke batang hidung, Adam bangkis dan Allah memerintahkan Adam untuk memuji-Nya. Maka Adam berkata: Alhamdulillah. Dan itu merupakan kalimat pertama yang diucapkan Adam. Selanjutnya Allah swt berkata: 'Semoga Allah memberi kasih sayang kepadamu Adam, hal itu Aku jadikan untukmu dan untuk anak cucumu'. Kemudian Adam membuka matanya dan melihat ke arah arsy yang nampak padanya tulisan 'Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah'. Ketika ruh masih diantara lutut dan mata kaki, Adam berdiri, padahal ruh belum sampai ke telapak kaki. Dengan kejadian ini Allah berfirman: Sesungguhnya dijadikan manusia (bertabiat) tergesa-gesa. Imam Ja'far al-Shaddiq berkata: Sesungguhnya ruh berada di kepala Adam selama seratus tahun, di dadanya selama seratus tahun, di punggungnya selama seratus tahun, di kedua pahanya selama seratus tahun dan di kedua kakinya selama seratus tahun. Dan ketika Adam telah berdiri tegak, Allah memerintahkan para malaikat untuk sujud kepadanya. Hal itu terjadi pada hari Jumat setelah zhuhur. Para malaikat sujud kepada Adam sampai waktu ashar tiba. Dan ketika Adam mendengar tasbih dari nur Rasulullah saw di tulang punggungnya seperti bunyi burung mengibas-ngibaskan sayapnya, ia bertanya: Wahai Tuhanku apa ini? Allah swt menjawab: 'Wahai Adam, itu adalah tasbih Muhammad al-Arabi, penghulu para nabi dan rasul dari mulai pertama sampai yang terakhir'. Kemudian Allah jadikan Siti Hawa dari tulang rusuknya. Adam berkata: Siapa engkau? Berkata: Saya adalah Hawa yang Allah telah jadikan untukmu. Adam berkata: Kebaikan apa yang terdapat pada penciptaanmu. Allah swt berfirman: 'Hawa adalah umatku dan engkau wahai Adam adalah hambaku, Aku jadikan kalian berdua untuk suatu tempat yang bernama surga, maka bertasbihlah dan bertahmidlah kepada-Ku'. Selanjutnya Allah swt berfirman: 'Wahai Adam pinanglah Hawa dan berikanlah mahar kepadanya. Adam bertanya: apa mahar untuknya wahai Tuhanku? Allah swt menjawab: 'Bersholawatlah kepada kekasihku Muhammad sepuluh kali'. Kemudian Adam berkata: Terima kasih wahai Tuhanku. Pada kejadian tersebut, Allah merupakan qadhi yang maha benar, dan yang mengaqidkan pernikahan itu adalah Jibril, disaksikan oleh para malaikat. Pada peristiwa itu para malaikat berkumpul di belakang Adam,

dan ia bertanya: Wahai Tuhanku untuk apa mereka berkumpul di belakangku. Allah swt berfirman: 'Mereka berkumpul untuk melihat nur anak cucumu yaitu Muhammad'. Adam berkata: Wahai Tuhanku, letakkanlah dia (nur Muhammad) di depanku sehingga para malaikat dapat berhadapan denganku. Maka Allah meletakkan Nur Muhammad di dahinya dan para malaikat berbaris di depan Adam. Berkata Ibnu Arabi: ketika nur Muhammad saw diciptakan di kening Adam, para malaikat menyambutnya dan memberi salam kepada nur Muhammad, sementara Adam sendiri tidak tahu. Lalu ia berkata kepada Tuhannya, 'Ya Tuhan, saya senang bila bisa melihat nur (cahaya) anak saya, Muhammad saw. Maka hendaknya Engkau memindahkannya ke salah satu bagian tubuh saya, agar saya dapat melihatnya'. Akhirnya Allah memindahkan nur Muhammad ke telunjuk jarinya sebelah kanan. Adam pun melihat cahaya gemerlapan di jari telunjuknya, lalu ia mengangkatnya sambil berkata: 'Saya bersaksi, bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah.' Oleh karenanya, jari telunjuk disebut al-musabbihah (alat untuk bertasbih). Dan ketika Adam akan mendatangi istrinya, ia memerintahkan kepada Hawa untuk bersuci, dan berkata kepadanya: Wahai Hawa, Allah telah memberi karunia dan kedudukan yang khusus kepadamu disebabkan oleh nur ini (Nur Muhammad), Dia adalah titipan Allah dan janji-Nya. Nur Muhammad tersebut berada dalam sulbi Adam hingga Hawa mengandung Syits alaihi salam, berpindahlah nur itu ke sulbi Syits hingga akhirnya sampai ke sulbi Abdullah bin Abdul Muthalib. 5. Allah swt menciptakan Muhammad saw dan keturunannya dari tanah Arsy. Diriwayatkan bahwasanya nabi Adam pernah mendengar tasbih dari nur Rasulullah saw di tulang punggungnya seperti bunyi burung mengibas-ngibaskan sayapnya. Dan ketika Siti Hawa mengandung puteranya Syits, nur itu berpindah kepada Siti Hawa, kemudian kepada Syits pula. Kemudian nur itu seterusnya berpindah-pindah dari satu sulbi yang suci ke sulbi yang lain dan dari satu rahim yang bersih ke rahim yang lain, hingga Rasulullah saw dilahirkan dari kedua ibu bapaknya yang mulia itu, tiada disentuh sedikitpun kenistaan atau kecemaran kaum jahiliyah. Nabi saw bersabda:

"Aku dilahirkan dari nikah, dan tidak pernah dilahirkan dari zina". Di lain riwayat Imam Ja'far pernah ditanya: Wahai cucu Rasulullah dimanakah kalian berada sebelum Allah swt menciptakan langit dan bumi. Berkata Imam Ja'far: Nur kami terbentang di sekitar Arsy, Allah swt mensucikannya selama lima belas ribu tahun sebelum diciptakannya Adam. Maka ketika Adam diciptakan, nur tersebut dipindahkan ke sulbinya, dan tidaklah perpindahan itu keluar dari sulbi yang suci ke rahim yang disucikan, hingga Allah swt membangkitkan Muhammad saw. Al-Abbas, paman Rasulullah saw membuat serangkaian sajak yang memuji beliau, di antaranya:

Sebelum itu wujudmu telah sempurna di dalam naungan Dalam tempat simpanan ketika tubuh insan terbungkus dedaunan Lalu engkau turun ke bumi, bukan dalam rupa manusia Bukan pula segumpal darah, ataupun segumpal daging Bahkan masih nutfah, bersama Nuh dalam bahteranya Menempuh bah besar yang menenggelamkan berhala Nasr dan para penyembahnya Engkau terus berpindah-pindah dari sulbi kepada rahim Apabila suatu alam hilang yang lain pun tumbuh berganti Dan kemudian ia berkata:

Hingga engkau ditempatkan dalam kandungan yang penuh keberkahan Dari seorang ibu yang bernasab tinggi, kesuciannya tidak diragukan. Perpindahan nur Muhammad dari sulbi para nabi diabadikan dalam alquran surat al-Syu'ara ayat 218, yang berbunyi:

"Dia yang memperhatikan engkau ketika berdiri, dan perpindahanmu di antara orang-orang yang (biasa) sujud". Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: bahwa yang dimaksud dengan 'perpindahanmu di antara orang-orang yang sujud' yaitu berpindah-pindahnya nur Muhammad saw dari sulbi seorang nabi ke sulbi nabi yang lainnya, seperti Adam, Syits, Nuh, Ibrahim, Ismail, dan hal ini tiada syak dan tiada diragukan lagi. Dari Ibnu Abbas, bersabda Rasulullah saw: Allah swt menempatkan nurku di bawah Arsy sebelum Adam diciptakan selama dua belas ribu tahun. Maka ketika Allah swt menciptakan Adam, diletakkan nur tersebut ke sulbi Adam, selanjutnya nur tersebut berpindah dari sulbi ke sulbi, hingga kami berpisah di sulbi Abdullah bin Abdul Muthalib dan sulbi Abi Thalib. Maka Allah swt menciptakan aku dari nur tersebut akan tetapi tidak ada lagi nabi sesudahku. Imam Ja'far al-Shadiq pernah ditanya mengenai maksud kalimat 'perpindahanmu di antara orang-orang yang sujud'? Beliau menjawab: 'Diperhatikannya perpindahan nur Muhammad dari sulbi para nabi, hingga ia dikeluarkan melalui sulbi ayahnya dengan pernikahan yang tidak tercemar sedikitpun oleh kekotoran'. Dalam kitab al-Ghuror karangan al-Imam Muhammad bin Ali bin alwi al-Khirrid diriwayatkan bahwa Nur Muhammad telah diciptakan dua ribu tahun sebelum diciptakannya nabi Adam. Kemudian Allah menciptakan Adam dan memindahkan nur itu ke dalam sulbi Adam, dari sulbi Adam berpindah ke sulbi Nuh, sulbi Ibrahim hingga akhirnya sampai ke sulbi Abdul Muthalib. Kemudian nur tersebut terbagi menjadi dua, dua pertiga bagian berada di sulbi Abdullah yang melahirkan Rasulullah, dan sepertiga bagian berada di sulbi Ali bin Abi Thalib. Dari Rasulullah, nur tersebut berpindah kepada Fathimah. Dari nur yang berada pada Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah maka lahirlah al-Hasan dan al-Husein yang diciptakan dari nur Muhammad, nur Allah swt. Dari Ibnu Fari, ia berkata: Sesungguhnya makhluq yang pertama diciptakan oleh Allah swt itu adalah nur Muhammad, sebagaimana hadits:

"Sesungguhnya yang pertama dijadikan Allah swt ialah cahayaku". Selanjutnya Allah berfirman: 'Hai nur Muhammad, sujudlah engkau kepada-Ku selama sepuluh ribu tahun. Kemudian cahayaku itu sujud kepada Allah swt selama sepuluh ribu tahun lamanya. Kemudian Allah berfirman: Hai nur Muhammad, bangkitlah engkau dengan firmanku, maka cahayaku itu bangkit dari tempat sujudnya'. Sesungguhnya dari cahayaku itu kemudian Allah swt menjadikan seekor burung yang sangat indah bentuknya. Maka dari kepala burung itu diciptakan Ali bin Abi Thalib, dari lehernya diciptakan Siti Fathimah al-Zahra, dari mata kanannya diciptakan Imam Hasan dan dari mata kirinya diciptakan Imam Husein. Dalam kitab Syajarah al-Kaun karangan Ibnu Arabi dijelaskan bahwa jari jemari pada setiap tangan dan kaki jumlahnya lima, demikian pula sendi-sendi syariat Islam, di mana rukun Islam ada lima. Rasulullah berkata saw bersabda: 'Islam didirikan di atas lima perkara, syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah mendirikan shalat, memberikan zakat, pergi haji ke Baitullah dan puasa Ramadhan.' Sementara lima yang kedua adalah shalat fardhu yang jumlahnya lima, sedangkan lima yang ketiga adalah zakat yang pada nisabnya juga lima, lima yang keempat adalah Rasulullah saw bersama para sahabat pendukungnya, yaitu Abubakar, Umar, Usman dan Ali. Adapun lima yang kelima adalah ahlul bait, mereka adalah Muhammad saw, Ali, Fathimah, Hasan dan Husein. Diriwayatkan bahwa dalam peristiwa Mi'raj, terjadi dialog antara nabi Muhammad saw dengan para Malaikat tentang penciptaan keluarga Rasulullah saw dan kecintaan para Malaikat kepada Rasullah saw, sebagai berikut: Nabi saw: "Wahai para Malaikat Tuhanku, apakah engkau benar-benar mengenal kami (ahlul bait)?" Malaikat: "Wahai Nabi Allah, bagaimana kami tidak mengenal kalian (ahlul bait) sedangkan engkau adalah makhluq pertama yang diciptakan Allah swt. Kalian telah dijadikan berupa cahaya yang berasal dari cahaya-Nya, cahaya kemuliaan-Nya, cahaya kebesaran-Nya. Dan dijadikan pula bagimu kedudukan di antara alam malakut dan Arsy-Nya sebelum terciptanya langit dan bumi." "Kemudian dijadikan langit dan bumi dalam enam hari, sesudah itu diangkatnya Arsy sampai langit ke tujuh, maka bersemayam di atas Arsy-Nya dan kalian berada di depan Arsy-Nya dalam keadaan disucikan dan diagungkan, kemudian dijadikan malaikat pertama dari nur yang telah terbagi-bagi. Dan kami adalah

10

bagian dari kalian (ahlul bait) yang selalu bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir, maka kami pun selalu bertasbih, bertahmid, bertahlil dan bertakbir dengan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir kalian. Maka apa saja yang diturunkan dan ditambahkan oleh Allah kepada kalian, maka kami pasti mengenalnya." Kemudian Nabi saw mi'raj ke langit ke tujuh dan ketika para malaikat melihat nabi saw, terdengar suara para malaikat berkata: 'Maha suci Allah yang benar janjinya'. Kemudian para malaikat menemui nabi dan memberi salam. Nabi saw: "Wahai para malaikat Tuhanku, saya mendengar kalian berkata 'Maha Suci Allah yang benar janjinya', mengapa demikian?" Malaikat: Wahai nabi Allah, sesungguhnya Allah swt ketika menciptakan cahaya dari cahaya kemuliaan-Nya dan kebesaran-Nya, dan dijadikan bagimu kedudukan di alam malakut yang merupakan kekuasaan kalian atas kami, cahaya yang meneguhkan hati kami. Oleh sebab itu kami mengadu kepada Allah akan cinta kami kepadamu, maka Allah menepati janjinya dengan memperlihatkan engkau kepada kami di langit ini. Itulah sebabnya kami berkata demikian. Dari Muadz bin Jabal, bersabda Rasulullah saw: Sesungguhnya Allah telah menciptakan aku, Ali, Fathimah, Hasan dan Husein, tujuh ribu tahun sebelum Allah menciptakan dunia. Aku (Muadz bin Jabal) bertanya: Dimanakah selama itu engkau berada. Nabi menjawab: Di Arsy, dimana Allah swt bertasbih memuji, mensucikan serta mengagungkannya. Ali, Fathimah, Hasan dan Husein, mereka adalah 'aal Muhammad' yang telah disucikan, sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Ahzab ayat 33:

"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan kotoran (rijs) dari kalian hai ahli al-bait, dan hendak mensucikan kalian sesuci-sucinya". Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam kitabnya 'al-Saraf al-Muabbad li Aali Muhammad' berkata: "Betapa tidak, mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai hubungan silsilah dengan Rasulullah. Mereka itu seasal dengan beliau, yakni silsilah yang menurunkan beliau dan juga menurunkan orang-orang yang dekat dengan beliau. Tidak diragukan lagi, bahwa mencintai beliau saw adalah wajib bagi setiap orang yang bertauhid. Adapun tebal-tipisnya kecintaan seseorang kepada Rasulullah saw merupakan ukuran tentang tebal-tipisnya keimanan yang ada pada orang itu. Orang yang mengaku beriman, tetapi ia tidak mencintai Rasulullah saw, sama artinya dengan berdusta, bahkan layak disebut munafik. Kecintaan kepada Rasulullah saw membawa konsekuensi wajib mencintai keluarga beliau, yakni ahli al-bait beliau, anak cucu keturunan beliau dan kaum kerabat beliau". Hal tersebut sesuai dengan hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, Turmudzi, Nasai dan alHakim dari al-Muthallib bin Rabi'ah, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

"Demi Allah, iman tidak akan masuk ke dalam hati seorang muslim sehingga ia mencintai kalian (keluarga nabi saw) karena Allah dan karena hubungan keluarga denganku". Di samping itu terdapat pula hadits yang memerintahkan kepada umat Islam untuk mencintai Rasulullah saw dan keluarganya seperti yang diriwayat oleh Turmudzi, Thabrani dan al-Hakim dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda:

,
"Cintailah Allah karena nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan-Nya, dan cintailah aku karena kecintaan (kamu) kepada Allah, serta cintailah ahlu al-baitku karena kecintaan (kamu) kepadaku". Anak cucu keturunan Rasulullah saw merupakan keberkahan bagi umat Islam. Mereka selalu ada pada tiap zaman, sebab dengan keberadaan mereka itu Allah swt menghindarkan umat manusia dari malapetaka. Kecuali jika umat manusia sudah memilih jalannya sendiri yang sesat menuju kehancuran. Keturunan Rasulullah ibarat cahaya bintang yang menunjukkan arah bagi bahtera yang sedang berlayar di tengah samudera dalam keadaan gelap gulita. Thabrani meriwayat hadits dalam kitab al-Ausath dari Abu Said alKhudri, ia berkata Rasulullah saw bersabda:

, ,
"Perumpamaan (kedudukan) ahlu al-baitku seperti bahtera Nuh. Barang siapa menaikinya dia akan selamat dan barang siapa meninggalkannya dia akan tenggelam. Dan perumpamaan ahlu al-baitku di antara kamu

11

seperti pintu pengampunan di antara Bani Israil, barang siapa memasukinya maka dosa-dosanya akan diampuninya". Orang yang hidup sezaman dengan mereka dan dengan kata-kata indah menyatakan kecintaan kepada mereka, tetapi tidak disertai perbuatan nyata, pernyataannya hanya kosong belaka, hampa dan tak berarti apa-apa, semua itu tidak membawa arti apa-apa. Akan tetapi lebih celaka lagi orang yang gemar mengungkit-ungkit mereka dengan lisan atau tulisan dan dengan tangan atau mata melakukan perbuatan untuk mengurangi dan merendahkan martabat mereka karena kebencian atas keutamaan yang mereka dapatkan dari Allah swt, dapat dipastikan bahwa orang tersebut akan masuk neraka, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, al-Hakim dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda:

, (

, )

"Maka sekiranya seseorang berdiri di antara salah satu sudut Ka'bah dan maqam Ibrahim, lalu ia shalat dan puasa, kemudian meninggal sedangkan ia adalah pembenci keluarga (ahlu al-bait) Muhammad, pasti ia masuk neraka". Orang yang mengakui dirinya mencintai Rasulullah saw tetapi bersamaan dengan itu ia merusak citra dan martabat ahlu al-bait beliau, jelas ia adalah orang yang sangat jauh menyeleweng dari rel agama. Mereka adalah golongan yang tidak mengerti, termakan oleh ajaran sesat, hingga terbenam di dalam semangat kebencian terhadap anak cucu keturunan Rasulullah. Mereka menta'wilkan ayat-ayat alquran dan hadits nabi yang berkaitan dengan keutamaan keluarga Muhammad saw. Mereka menebak-nebak akar risalah, menduga-duga turunnya wahyu Ilahi dan mengira-ngira sumber hikmah. Dari bunyi harfiah ayat-ayat dan nash-nash hadits mereka menetapkan kesimpulan menurut pendapat dan selera mereka sendiri, yang sama sekali jauh dari kebenaran. Meskipun mereka telah berbuat sejauh itu, mereka masih juga mengaku cinta kepada Rasulullah saw. Mereka tidak sadar, bahwa dengan perbuatan itu mereka telah menyakiti hati beliau dengan berbagai macam tusukan. Tidak diragukan lagi bahwa 'aal Muhammad' yang dalam zaman kita sekarang ini terkenal dengan sebutan kaum Alawiyin, merupakan orang-orang yang memiliki fadhilah dzatiyyah (keutamaan dzat) yang dikarunia Allah swt kepada mereka melalui hubungan darah dengan insan pilihan-Nya. Sangat naif sekali anggapan yang menyamakan mereka dengan orang-orang dari keturunan lain, karena anggapan demikian itu sama artinya dengan menyamakan pribadi Rasulullah saw dengan pribadi lain. Fadhilah dzatiyyah yang mereka miliki bukan fadhilah yang dibuat-buat dan bukan berdasarkan fadhilah amalan baik mereka dan bukan pula atas keinginan mereka, melainkan telah menjadi qudrat dan iradat Ilahi sejak azal, yaitu sejak pertama kali Allah menciptakan keluarga Rasulullah dari nur Muhammad saw, di mana nur Muhammad saw tersebut dijadikan dari nur Allah swt. Dari Hasan bin Ali berkata, aku mendengar kakekku Rasulullah saw bersabda:

, ,
"Saya dijadikan dari nur Allah azza wa jalla, dan dijadikan ahlu al-baitku dari nurku, dan dijadikan para pencinta mereka (ahlu al-bait) dari nur mereka (ahlu al-bait), sedangkan yang lainnya berada dalam neraka". Dari Ja'far al-Shaddiq, bersabda Rasulullah saw: Wahai Jabir, Sesungguhnya Allah swt, tidak ada tuhan selain-Nya, awal pertama menciptakan makluq-Nya adalah menciptakan Muhammad saw, dan menciptakan ahlu al-bait dari nur keagungan-Nya. Kemudian ditempatkan di bawah perlindungan-Nya, di mana pada saat itu belum ada langit, bumi, malam, siang, matahari, bulan dan semua tempat. Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitabnya al-Kabir, dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda:

"Mereka adalah keturunanku dan diciptakan dari tanahku serta dikaruniai pengertian dan ilmuku. Celakalah dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka, dan memutuskan hubungan denganku melalui (pemutusan hubungan dengan) mereka. Allah tidak akan menurunkan syafa'atku kepada orang-orang seperti itu". Tanah sebagai asal penciptaan Rasulullah dan keturunannya bukanlah tanah biasa yang dipijak setiap saat di bumi ini, akan tetapi tanah untuk penciptaan Rasulullah saw dan keturunannya bersumber dari arsy Allah swt, di lain pendapat tanah tersebut bersumber dari Illiyin, hal ini disebutkan dalam beberapa riwayat diantaranya: Dari Abu Abdillah, Ja'far al-Shaddiq, berkata:

12

"Sesungguhnya Allah telah menciptakan Muhammad dan keturunannya dari tanah Arsy. Dari Abdurahman bin Hajjaj, berkata:

"Sesungguhnya Allah swt menciptakan Muhammad dan keluarganya dari tanah Illiyin, dan menjadikan hati mereka dari tanah yang lebih tinggi dari tanah Illiyin". Ketika Allah hendak menciptakan Muhammad, berfirman Allah kepada para malaikatnya: 'Sesungguhnya aku ingin menciptakan makhluq yang akan Aku utamakan dan muliakan dari semua makhluq, dan Aku jadikan dia sebagai nabi yang pertama dan terakhir, Aku akan memberikan syafa'at pada hari kiamat karena dia, jika bukan karena dia, tidak aku jadikan keindahan surga dan kekejaman neraka. Aku akan memuliakannya dengan kemuliaanku, dan mengagungkannya dengan keagunganku'. Berkata para Malaikat: Wahai Tuhan kami, tidak sekali-kali para hamba menentang Tuhannya, kami semua mendengar dan patuh kepada-Mu. Maka Allah memerintahkan malaikat Jibril, al-shafi al-a'la dan malaikat Arsy untuk mengambil tanah Rasulullah dari sumbernya, maka dijadikan beliau saw dari tanah, dimatikan dan dikuburkan ke dalam tanah, dibangkitkan melalui tanah. Dari tanah itu, kemudian Jibril membawa dan membenamkannya di mata air Salsabila sehingga bersih seperti mutiara yang putih. Dari hari ke hari tanah tersebut dibenamkan ke semua mata air yang ada di surga, dan setelah diangkat keluarlah cahaya tanah tersebut, kemudian diperlihatkan kepada malaikat lainnya, para malaikat menyambutnya dengan sikap hormat dan memuliakannya. Ketika Jibril membawa tanah tersebut mengelilingi para malaikat, mereka berkata: Wahai Tuhanku, jika engkau perintahkan untuk sujud, maka kami akan sujud. Maka para malaikat sujud dan memuliakan tanah tersebut sebelum Adam diciptakan. Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri: Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah saw, datanglah seorang lelaki berkata, Ya Rasulullah beritahukanlah kepadaku tentang firman Allah swt kepada Iblis:

"Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang lebih tinggi?" (Shaad: 75) Siapakah mereka Ya Rasulullah, orang yang lebih tinggi kedudukannya dari para Malaikat? Rasulullah menjawab: Saya, Ali, Fathimah, Hasan dan Husein. Kami dijadikan sebagai kemah Arsy, bertasbih para malaikat dengan tasbih kami dua ribu tahun sebelum Allah menjadikan Adam. Dan ketika Allah swt menjadikan Adam, diperintahkan kepada para malaikat untuk bersujud kepadanya, maka seluruh malaikat sujud kecuali iblis, mereka menolak untuk bersujud kepada Adam, berfirman Allah swt: Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang lebih tinggi? Dari Ali bin Abi Thalib, Rasullulah saw bersabda:

, ,

, ,

"Wahai Ali, Allah telah menciptakan manusia dari berbagai jenis pohon, dan Allah menciptakan aku dan engkau dari pohon yang satu, saya pangkalnya dan engkau cabangnya, maka beruntung bagi hamba yang berpegang pada pangkalnya dan makan dari cabangnya". Dari Jabir bin Abdillah al-Anshari berkata: Ketika kami dan Ali sedang berada di Arafah bersama Rasulullah saw, beliau memanggil Ali: Wahai Ali mendekatlah dan letakkanlah telapak tanganmu di atas telapak tanganku, setelah itu Rasulullah bersabda:

, ,
"Wahai Ali, Aku dan engkau diciptakan dari satu pohon, Saya pangkalnya dan engkau cabangnya, al-Hasan dan al-Husein rantingnya. Maka siapa yang bergantung dengan ranting dari ranting-ranting pohon itu, pasti masuk surga". Dan ketika Allah swt menciptakan Adam, terdengar dipunggungnya tasbih dari nur Muhammad seperti burung mengibaskan sayapnya. Berkata Adam: Wahai Tuhanku, apakah ini? Allah swt menjawab: Wahai Adam, ini adalah tasbih Muhammad al-Arabi, sayyid al-awwalin wa al-akhirin, berbahagialah bagi siapa yang mengikuti dan patuh kepadanya, dan akan celaka bagi siapa yang menentangnya, peganglah janji-Ku ini wahai Adam, dan tidaklah Aku pindahkan nur itu kecuali ke sulbi-sulbi lelaki yang suci dan rahim para wanita yang menjaga kehormatan dan kesucian dirinya.

13

Kemudian Adam berkata: Wahai Tuhanku, telah Engkau tambahkan kepadaku kemuliaan, cahaya, keindahan, kehormatan dengan sebab kelahiran nur Muhammad ini. Ketika Adam ingin mendatangi Siti Hawa, beliau memerintahkan untuk mensucikan diri, dan berkata kepadanya: Sungguh Allah telah memberi rizki dan keistimewaan kepadamu dengan nur ini, karena nur ini merupakan titipan dan janji Allah swt. Adapun kalimat yang berbunyi 'dikaruniai pengertian dan ilmuku' pada hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitabnya al-Kabir tersebut, sesungguhnya adalah ilmu yang dimiliki oleh keturunan Rasulullah saw pada hakikatnya adalah ilmu Rasulullah. Menurut Ibnu Taimiyah, Allah swt menganugerahkan ilmu secara khusus bagi keturunan Rasulullah saw, yakni ilmu yang tidak diberikan kepada manusia selain mereka. Sehingga tidak seorangpun yang lebih alim dari mereka tentang namanama Allah, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan, hukum-hukum, pahala dan siksa, syariat, peristiwa-peristiwa yang diridhai dan dimurkai oleh-Nya, para malaikat dan seluruh makhluq-Nya. Maha suci Allah yang telah menganugerahkan ilmu kepada mereka baik yang terdahulu maupun yang datang kemudian. Para keturunan Rasulullah saw memiliki sesuatu yang lebih dibanding orang lain, yaitu hubungan (nasab dan keilmuan) dengan Nabi saw. Diantara mereka ada yang alim ibnu alim ibnu alim hingga Nabi saw, ada yang wali ibnu wali ibnu wali hingga Nabi saw, ada yang saleh ibnu saleh ibnu saleh hingga Nabi saw. Di dunia ini, di manakah dapat ditemukan hal seperti ini? Ibnu Hajar dalam al-Shawaiq al-Muhriqah mengatakan bahwa: 'Mereka (keturunan Rasulullah saw) adalah gudang-gudang ilmu Islam dan hukum-hukum syara'. Kalau saja para keturunan Rasulullah saw yang jahil akan ilmu agama berusaha untuk belajar, niscaya mereka tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menjadi alim. Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata: 'Kita ahlul-bait, jika bertawajjuh untuk menuntut asrar, akan berhasil dengan waktu singkat. Yang menyebabkan kita tertinggal adalah karena kita menelantarkan diri kita sendiri, Barang siapa menelantarkan dirinya, ia akan hilang tersesat. Semoga Allah membimbing kita ke jalan para salaf kita yang saleh dan mengembalikan barakah dan asrar mereka kepada kita'. 6. Kekhususan dan keistimewaan keluarga Rasulullah saw. Banyak kitab yang menulis tentang kekhususan dan keistimewaan keluarga Rasulullah saw, diantara kekhususan dan keistimewaan itu adalah: Pertama, Diharamkannya sedekah atas mereka, karena sedekah itu termasuk kotoran manusia. Sebagai gantinya mereka mendapatkan seperlima dari seperlima harta fai dan ghanimah/rampasan perang. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan pada bagian lain. Kedua, Dituntut untuk menunjukkan sikap memuliakan, menghormati, mengutamakan serta memaafkan kesalahan-kesalahan mereka yang didasari ketulusan. Dan harusdii'tikadkan bahwa orang-orang fasik di antara mereka akan mendapat hidayah dari Allah swt. Semua itu adalah karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah saw, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sebagian hadits, dan ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat al-Ahzab ayat 33, yang berbunyi:

"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan kotoran (rijs) dari kalian hai ahli al-bait, dan hendak mensucikan kalian sesuci-sucinya". Dalam bukunya al-Futuhat al-Makiyah bab ke 29, Ibnu Arabi membicarakan keagungan Nabi Muhammad saw dan ia memberikan pendapat bahwa beliau saw dan keluarganya telah disucikan sesuci-sucinya dan telah dibersihkan dari al-rijs, yaitu semua perkara yang dapat mencemarkan kemuliaan mereka. Abu Ja'far Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, dalam buku tafsir al-Thabari mengatakan bahwa sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan al-suuk (kejelekan) danal-fahsya (kekejian) dari mereka dan mensucikan mereka sesuci-sucinya dari kotoran yang timbul akibat maksiat. Dalam kitabnya al-Shawaiq al-Muhriqah, Ibnu Hajar al-Haitsami menjelaskan bahwa ayat itu adalah sumber keutamaan keluarga Nabi saw, sebab ia memuat beberapa keindahan, keutamaan mereka dan perhatian Allah swt atas mereka. Ayat tersebut diawali dengan kata (hanya) yang berfungsi sebagai pembatas kehendak Allah untuk menghilangkan al-rijs (yang berarti dosa atau ragu terhadap apa yang seharusnya diyakini) hanya dari mereka saja dan mensucikan mereka sesuci-sucinya dari semua akhlaq dan tingkah laku yang tercela. Diriwayatkan dan disahihkan oleh al-Hakim, Rasulullah saw bersabda:

"Hai Bani Abdul Muthalib, sesungguhnya aku telah memohon kepada Allah untuk kalian tiga perkara: - Agar Allah menetapkan orang-orang yang istiqamah di antara kalian.

14

- Agar Allah menunjukkan orang-orang yang sesat di antara kalian - Agar Allah mengajarkan orang-orang yang bodoh di antara kalian". Para ulama telah menjelaskan bahwa sebaiknya penduduk negeri Nabi saw itu tetap dimuliakan sekalipun tampak bid'ah atau yang serupa di kalangan mereka, demi menjaga kehormatan ketetanggaan dengan Nabi. Maka betapa pula dengan keturunan Nabi saw yang merupakan darah daging beliau, walaupun di antara mereka dan beliau itu ada beberapa perantara (keturunan).

Telah diriwayatkan tentang firman Allah: (sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh), bahwa kata 'ayah' yang dimaksud dalam ayat itu adalah: yang karena memuliakannya sehingga harta benda anak yatim itu terpelihara, adalah moyang ketujuh atau kesembilan dari anak yatim tersebut. Seyogyanya orang yang fasik di antara keluarga Nabi saw itu sekalipun perbuatannya itu dibenci, namun mereka tetap harus dihormati karena adanya ikatan kekerabatan mereka dengan Rasulullah saw. Telah disebutkan dalam beberapa hadits yang bersumber dari banyak jalan bahwa mereka itu diharamkan dari api neraka, seperti yang diriwayatkan oleh al-Bazzar, Abu Ya'la, al-Uqaili, al-Thabrani dan Ibnu Syahin dalam al-Sunnah dari Ibnu Mas'ud berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

,
"Sesungguhnya Fathimah telah menjaga kesuciannya, oleh karena itu Allah mengharamkan dia dan keturunannya dari (sentuhan) api neraka". Ibnu Jarir meriwayatkan dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah swt:

"Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas". Ia berkata: Di antara kepuasan Muhammad saw adalah agar tidak seorangpun dari keluarganya (keturunannya) yang masuk ke dalam api neraka". Dari Imran bin Hushain, ia mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda:

"Aku telah memohon kepada Tuhanku supaya tidak memasukkan seorangpun dari ahlul baitku (keturunanku) ke dalam neraka, dan Dia (Allah swt) mengabulkan permohonanku". Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda:

,
"Sesungguhnya Fathimah telah menjaga kesuciannya, karena itu Allah swt akan memasukkannya bersama keturunannya ke dalam surga". Pernah Rasulullah saw berkata dalam khutbahnya: 'Mengapa orang mengatakan bahwa kekerabatanku tidak berguna di hari kiamat?! Sesungguhnya kekerabatanku itu tersambung baik di dunia maupun di akhirat'. Umar bin Khattab telah melamar Umi Kulsum untuk dirinya dari ayahnya Ali bin Abi Thalib. Ketika itu Ali menjawab bahwa puterinya itu masih terlalu kecil dan juga sudah dipersiapkan buat calon isteri putra saudaranya, Ja'far. Namun Umar bersikeras hendak menyuntingnya juga, ia naik ke atas mimbar dan berkata: 'Saudara-saudara, demi Allah, tidak ada yang mendorongku memaksa Ali dalam perkara putrinya itu, melainkan bahwa aku pernah mendengar Nabi saw bersabda: Semua sebab, nasab dan periparan terputus pada hari kiamat kelak, kecuali sababku, nasabku dan periparanku!. Dan akhirnya Ali menikahkan putrinya itu dengan Umar. Dari perkawinan tersebut, lahir seorang putra yang diberi nama Zaid, dan meninggal setelah dewasa. Semua hadits yang menyebutkan manfaat kekerabatan dengan Rasulullah di atas tidaklah menafi'kan hadis-hadis lain yang menganjurkan ahlul bait beliau agar takut dan taat kepada Allah swt, dan bahwa yang dekat dengan beliau pada hari kiamat kelak hanyalah dengan takwa dan bahwa beliau tidak berdaya apa-apa bagi mereka dari kekuasaan Allah swt. Seperti yang disebutkan dalam hadits sahih, ketika turun firman Allah swt dalam surat al-Syu'ara ayat 214:

"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat" maka beliau mengundang para kerabatnya, setelah berkumpul beliau mengatakan kepada mereka supaya mereka menolong diri mereka masing-masing dari ancaman api neraka, hingga akhirnya beliau berkata: 'Wahai Fathimah binti Muhammad, wahai Shafiyah binti Abdul Muthalib, wahai Bani Abdul Muthalib, aku tidak memiliki apa-apa untuk kalian terhadap kekuasaan Allah, hanya saja kalian mempunyai

15

hak kekerabatan yang mana akan aku sambungkan dengannya'. Selanjutnya seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abu Syaikh, Rasulullah saw bersabda: 'Wahai Bani Hasyim, janganlah sampai orangorang datang di hari kiamat kelak dengan membawa amal akhirat di pundak mereka, sedangkan kalian datang sambil memikul dunia di pundak kalian. Kalian tidaklah berdaya apa-apa terhadap kekuasaan Allah. Diriwayatkan oleh al-Thabari bahwa Nabi saw tidaklah memiliki upaya apa-apa, baik kemanfaatan maupun kemudharatan, tetapi Allah swt memberikan kepadanya kemanfaatan untuk sanak kerabatnya, bahkan untuk seluruh umatnya, yaitu dengan syafa'at umum dan khusus. Jadi, beliau tidak mempunyai hak apaapa kecuali apa yang sudah dan akan diberikan Allah swt kepadanya, seperti ucapan beliau saw: 'Tetapi kamu mempunyai ikatan kekerabatan yang akan aku hubungkan dengannya'. Demikian pula dengan makna ucapan beliau: 'Aku tidaklah berdaya apa-apa bagi kalian di hadapan kekuasaan Allah, selain dari kemurahan Allah yang diberikan kepadaku (seperti syafa'at atau maghfirah dan lainnya)'. Beliau mengucapkan kata-kata itu kepada sanak kerabatnya adalah untuk memelihara maqam takhwif dan mendorong agar berbuat amal kebajikan serta menginginkan mereka menjadi manusiamanusia utama dan paling banyak bagiannya dalam hal ketaqwaan dan ketakutan kepada Allah swt. Kemudian beliau memberi ketenangan dengan mengingatkan mereka akan hak kekerabatan mereka dengan Rasulullah saw. Ketiga, Mereka adalah manusia yang mulia dari segi nasab dan manusia yang paling utama dari segi asalusul. Yusuf bin Ismail al-Nabhani mengatakan: 'karena kemuliaan nasab dan asal-usul mereka, maka tidak ada satupun manusia yang sekufu' (sepadan) untuk menikah dengan mereka, dan hal ini telah banyak dijelaskan oleh para ulama pemimpin umat.' Misalnyanya Jalaludin al-Sayuthi dalam kitab Khosois-nya mengatakan bahwa tidak ada satu manusia pun yang sekufu' untuk menikah dengan keluarga Rasul saw.

ZAKAT, HALAL ATAU HARAM? Upaya Menjaga Kesucian Dzat Ahlul Bait saw Proses Penciptaan dzat Ahlul Bait Nabi saw
1. Makna Zakat Arti kata zakat menurut bahasa adalah tumbuh. Di dalam syariat, zakat ialah sedekah wajib dari sebagian harta. Sebab dengan mengeluarkan zakat maka pelakunya akan tumbuh (mendapat kedudukan tinggi) di sisi Allah swt dan menjadi orang yang suci dan disucikan. Makna yang demikian ini diisyaratkan oleh firman Allah swt dalam surah at-Taubah ayat 104:

Artinya: Ambillah sedekah dari harta mereka agar menyucikan dan membersihkan mereka. Firman Allah swt dalam surah al-Hajj ayat 41:

...
Artinya: (Yang dinamakan orang mu'min ialah) orang-orang yang bila Kami tempatkan di bumi, maka mereka mengerjakan sholat dan mengeluarkan zakat. Rasulullah saw bersabda: "Tiga macam, yang karenanya saya bersumpah menceritakan kisah yang sebenarnya terjadi, yaitu: harta tidak berkurang karena disedekahkan, tidaklah teraniaya hamba Allah yang bersabar, kecuali tambah kemuliaannya di akhirat, dan Allah tidak membukakan suatu pintu tempat meminta, kecuali dibukakan-Nya pula pintu kefakiran." Bila orang yang mengeluarkan zakat memperhatikan bagaimana gembiranya orang yang menerima zakat, maka ia akan mempunyai hati yang halus, bagaikan seorang gadis yang baru menyiram bunganya yang sedang layu, maka bunga tersebut segar kembali. Sebenarnya bila Allah swt membukakan pintu pahala bagi orang kaya, maka dijadikan-Nya orang-orang yang meminta kepadanya, bila semua manusia kaya, maka si kaya tidak akan dapat menambah pahalanya. Kepada siapa mereka akan memberikan hartanya. Semua itu merupakan kejadian yang harus diambil hikmahnya. Anas menceritakan, bahwa seorang laki-laki dari suku Tamim datang dan mengatakan kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya ini mempunyai kekayaan yang banyak, mempunyai keluarga dan banyak teman yang menjadi tamu. Bagaimana seharusnya saya mengeluarkan zakat saya? Rasulullah saw menjawab: "Keluarkan zakat itu dari harta milikmu sendiri, karena zakatnya itu bagaikan pencuci yang mensucikan kamu, menghubungkan tali silaturahmi kepada kerabatmu, di samping itu kamu juga mengakui adanya hak fakir miskin, tetangga dan orang yang meminta-minta". Selanjutnya Rasulullah bersabda:

Artinya: Siapa saja yang telah membayarkan zakat hartanya, maka telah dilenyapkan daripadanya hal-hal yang jahat. 2. Pendapat ulama tentang Ghanimah dan Fa'i.

16

Berdasarkan sumber hukum, semua keturunan ahlul bait Rasulullah saw termasuk Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutholib diharamkan menerima sedekah atau zakat dalam bentuk apapun juga. Mereka diberi hak untuk memperoleh bagian dari ghanimah atau dari harta kekayaan umum (baitul mal). Akan tetapi dalam zaman kita dewasa ini tidak ada lagi ghanimah dan tidak ada pula dana baitul mal sebagaimana yang dahulu pernah terjadi pada zaman pertumbuhan Islam. Dengan terjadinya perkembangan yang demikian jauh dibanding dengan zaman Rasulullah saw, maka sebagai akibatnya para keturunan ahlul bait Rasulullah saw yang hidup kekurangan tidak dapat menerima tunjangan yang oleh syariat telah ditetapkan sebagai hak mereka. Lagi pula banyak sekali di antara mereka yang hidup bertebaran di negeri atau daerah-daerah terpencil. Dalam keadaan seperti ini apakah oleh syariat mereka diperkenankan menerima sedekah atau zakat dari orang-orang kaya setempat untuk meringankan beban hidup mereka sehari-hari? Untuk menjawab masalah ini, dipandang perlu kita mengetahui dalil-dalil tentang hal tersebut, baik yang diambil dari alquran, hadits maupun ijtihad para ulama. Mudah-mudahan uraian ini dapat membantu menghantarkan dalam upaya membahas masalah halal atau tidaknya keluarga Rasulullah saw menerima sedekat/zakat, dan dengan membaca uraian ini diharapkan pula dapat menghasilkan jawaban yang menghapus keragu-raguan selama ini di antara sebagian keturunan Rasulullah saw tentang boleh atau tidaknya mereka menerima sedekah/zakat.

Artinya: Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Dalam kitab tafsir Fath al-Qadir dan Ibnu Katsir disebutkan pendapat yang mengatakan bahwa khumus adalah untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil. Selain itu disebutkan pula pendapat yang mengatakan bahwa khumus tersebut dibagi enam, dan bagian yang keenam untuk Ka'bah. Perbedaan pendapat terjadi pula atas bagian rasul dan kerabat setelah rasul wafat, ada yang mengatakan bagian rasul untuk khalifahnya, pendapat lain mengatakan bagian tersebut tetap untuk kerabat nabi saw, pendapat lain mengatakan bagian kerabat nabi diperuntukkan kerabat khalifah. Dalam kitab Majma' al-Bayan disebutkan bahwa khumus merupakan hak dari keluarga Rasulullah, yaitu anak-anak yatim keluarga Muhammad, orang-orang miskin dari mereka, dan ibnu sabil dari kalangan mereka. Hal tersebut sesuai dengan yang diriwayatkan oleh al-Thabari dari Zainal Abidin Ali bin Husin, sesungguhnya khumus adalah hak kami. Allah berfirman:

Yang dimaksud dengan ayat di atas adalah anak-anak yatim kami, orang-orang miskin dan ibnu sabil dari kalangan kami. Hal itu disebabkan mereka telah diharamkan menerima sedekah yang merupakan daki/kotoran manusia, sebagai gantinya yaitu khumus. Menurut Syafii dan Hambali: "Harta rampasan perang itu, yaitu seperlima (khumus) dibagi ke dalam lima bagian. Satu bagian adalah untuk rasul, dan dipergunakan untuk kemaslahatan dan perbaikan umat Islam. Dan satu bagian diberikan untuk kerabat (keluarga), yaitu keluarga dari keturunan Bani Hasyim, baik yang kaya maupun fakir, tak ada bedanya. Dan tiga bagian lainnya dikeluarkan untuk anak-anak yatim, orangorang miskin dan ibnu sabil, baik mereka dari keturunan Bani Hasyim maupun bukan." Menurut Hanafi: "Bagian untuk Rasulullah telah gugur dengan wafatnya. Kalau para kerabat (famili), mereka seperti yang lain dari kalangan orang-orang fakir. Mereka diberi karena kefakiran mereka, bukan karena mereka menjadi kerabat (famili) Rasulullah saw. Menurut Maliki: "Masalah khumus (seperlima) ini kembali atau diserahkan kepada imam (pemimpin) agar dipergunakan untuk kemaslahatan umat." 3. Siapa keluarga ( ) Muhammad saw?

Berkata Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fath al-Bari, dan al-Syaukani dalam kitabnya Nail-alAuthar mengenai makna keluarga ( keluarga ( ) Muhammad saw. Para ulama berbeda pendapat mengenai makna

) Muhammad saw, sebagai berikut:

Pendapat Imam Syafii, Ahmad, Abu Tsaur, Mujahid, Qatadah, Ibnu Juraij dan Muslim bin Kholid: Sesungguhnya yang dimaksud dengan ( ) Muhammad saw adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Hal itu dikarenakan Bani Mutholib dan Bani Hasyim berserikat dalam bagian dzawil qurba, dan Nabi saw tidak

17

memberi bagian tersebut kepada siapapun dari suku Quraisy, selain kepada mereka. Pemberian itu adalah sebagai ganti, karena mereka diharamkan untuk menerima sedekah. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jubair bin Math'am:

: : !
Artinya: "Saya berjalan bersama Usman bin Affan ke tempat Nabi saw, lalu kami berkata Wahai Rasulullah saw, engkau telah memberi Bani Mutholib seperlima bagian dari harta rampasan Khaibar dan engkau tinggalkan kami, padahal kami dan mereka sama. Lalu Rasulullah bersabda: Bani Mutholib dan Bani Hasyim adalah satu." Pendapat Abu Hanifah, Malik dan Hadawiyah: Mereka adalah Bani Hasyim saja. Dan yang dimaksud dengan Bani Hasyim adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja'far, keluarga Abbas dan keluarga Harits. Keluarga Abu Lahab tidak termasuk didalamnya, hal tersebut disebabkan tidak ada satupun keluarga Abu Lahab yang beragama Islam pada masa Rasulullah saw hidup. Akan tetapi dalam kitab Jami' al-Ushuldisebutkan bahwasanya anak Abu Lahab yang bernama Utbah dan Mu'tab masuk Islam ketika penaklukan kota Makkah, mereka meninggal dalam perang Hunain dan Thaif. 4. Bolehkan Keluarga Rasulullah saw menerima sedekah?

: , ( )

Artinya: Dari Abdul Mutholib bin Rabi'ah bin Harits berkata, bersabda Rasulullah saw: Sesungguhnya sedekah tidak pantas (tidak halal) bagi keluarga Muhammad, karena sedekah itu adalah daki (kotoran) manusia. Dalam suatu riwayat Muslim dari Abdul Mutholib, Rasulullah saw bersabda:

Artinya: Sesungguhnya sedekah itu tidak halal bagi Nabi Muhammad dan bagi Keluarga Muhammad saw. Hadits tersebut memberikan pengertian bahwa lafadz itu beliau maksudkan "tidak halal" yang berarti memberikan pengertian haram. Hadits tersebut sebagai dalil yang menunjukkan haram sedekah bagi Nabi Muhammad dan keluarganya. Mengenai haramnya zakat bagi pribadi Nabi saw para ulama telah sepakat. Abu Hurairah menceritakan, bahwa pernah Hasan bin Ali mengambil sebiji kurma dari hasil zakat, maka berkata Rasulullah kepadanya:

Artinya: Hai Hai! (maksudnya agar dibuang). Apakah kamu belum tahu, bahwa kita tidak boleh memakan hasil dari zakat. Imam Ja'far al-Shaddiq pernah ditanya, apakah sedekah halal bagi Bani Hasyim. Beliau menjawab: "Sedekah wajib tidak halal bagi kami, adapun selainnya tidak apa-apa". Berkata Ibnu Qudamah: Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa sesungguhnya Bani Hasyim tidak dihalalkan untuk menerima sedekah wajib/zakat. Hal itu disebutkan dalam kitab alIjma karangan Ibnu Ruslan. Abdullah bin Nuh menulis, menurut madzhab Syafii, dalam keadaan bagaimanapun juga mereka mutlak diharamkan menerima sedekah atau zakat. Akan tetapi sebagian ulama Syafiiyah membolehkan keluarga Nabi saw menerima sedekah atau zakat. Ibnu Jarir al-Thabari menukil akan kebolehan Bani Hasyim menerima sedekah dari Imam Hanafi, begitu pula dari Imam Malik dan sebagian ulama Syafiiyah. Menurut Abu Yusuf, sesungguhnya mereka dihalalkan menerima sedekah dari mereka untuk mereka bukan dari yang lainnya. Artinya keluarga Bani Hasyim dihalalkan menerima sedekah dari yang diberikan dari Bani Hasyim juga. Jika keluarga Bani Hasyim menerima sedekah dari bukan Bani Hasyim maka hal itu tidak dibolehkan. Begitu pula pendapat dari Zaid bin Ali, Abi Abbas dan Imamiyah.

18

Menurut Ibnu Hajar al-Asqolani: Menurut ulama Malikiyah terdapat empat pendapat: membolehkan, melarang, membolehkan menerima sedekah sunnah dan melarang menerima sedekah wajib (zakat), membolehkan menerima sedekah wajib dan melarang menerima sedekah sunnah. Adapun dalil yang menghalalkan pemberian sedekah dari Bani Hasyim ke Bani Hasyim, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hakim:

: :
Artinya: Abbas bin Abdul Mutholib berkata: "Saya berkata kepada Rasulullah saw; Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau mengharamkan sedekah manusia untuk kami, apakah engkau menghalalkan sedekah yang diberikan dari kami untuk kami? Rasulullah berkata: Ya." Dalam kitab fiqih Hanafiah yang berjudul Majma' al-Anhar, berkata Imam Hanafi: Tidak mengapa mencampuradukan semuanya (sedekah wajib dan sedekah sunnah) dan memberikannya kepada mereka. Di lain riwayat Imam Hanafi berkata: Boleh memberikan zakat kepada mereka. Sedangkan Imam Muhammad mengatakan mereka boleh menerima sedekah, dikarenakan pengharaman untuk menerima sedekah kepada mereka hanya berlaku pada zaman Rasulullah masih hidup. Dan dalam kitab Dar al-Muntaqo, beliau berpendapat bahwa Bani Hasyim boleh menerima zakat pada zaman setelah Rasulullah saw. Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: Bani Hasyim boleh menerima zakat yang dikeluarkan oleh Bani Hasyim. Imam Ja'far al-Shaddiq berkata: "Sesungguhnya Allah swt telah menjadikan fuqara dan aghniya (orangorang kaya) bersekutu di dalam memiliki harta kekayaan, maka tidak dibenarkan mereka (orang-orang kaya) membelanjakan harta kepada selain sekutunya (para fuqara)." Muhammad Abduh Yamani berkata: Jika keluarga Rasul saw tidak boleh menerima zakat dan dengan menerima sedekah atau zakat mereka berdosa, sebenarnya yang berdosa itu adalah orang-orang kaya yang tidak peduli akan hak-hak keluarga Rasul saw yang telah disebutkan dalam alquran dan ditetapkan dalam hadits-haditsnya. Rasulullah saw bersabda:

, , ,
Artinya: Sesungguhnya Allah swt mewajibkan atas semua orang kaya muslimin mengenai harta mereka agar mengeluarkan zakat sekedar untuk melapangi orang-orang fakir mereka, sehingga orang fakir tidak kelaparan atau kesulitan, kecuali karena sikap orang-orang kaya mereka (tidak mau mengeluarkan zakat). Ketahuilah, bahwa Allah akan memperhitungkan harta mereka itu dengan ketat (di akhirat) dan akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih. Imam Ja'far al-Shaddiq berkata: "Sesungguhnya Allah swt telah mencukupi bagi fukara' harta yang dapat mencukupi hidup mereka di dalam harta orang-orang kaya. Jika Allah swt tahu hal itu tidak akan mencukupi, tentu Allah swt akan menambahnya. Mereka menjadi fukara' bukan karena tidak ada bagian dari Allah swt untuk mereka, tetapi karena orang-orang (kaya) itu tidak mau memberikan hak para fukara' tersebut. Seandainya setiap orang (kaya) menunaikan kewajiban mereka, maka mereka (para fukara') akan hidup dengan baik". Berdasarkan riwayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa kefakiran datangnya dari bumi, bukan dari langit, dari kezaliman manusia (orang kaya yang tidak mau mengeluarkan zakat) yang satu terhadap yang lain (orang miskin), bukan dari Allah yang maha agung dan bijaksana. Terhadap orang kaya yang enggan mengeluarkan zakat, Allah swt berfirman dalam surat al-Taubah ayat 34-35 yang artinya: Dan orang-orang yang menyimpan (harta) emas dan perak, dan tidak membelanjakannya untuk kepentingan agama Allah , maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih. Pada hari itu dipanaskan semua (harta) emas dan peraknya itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.'

19

Mengenai orang-orang yang merasa berat untuk mengeluarkan hartanya dijalan Allah swt (berzakat), Rasulullah saw bersabda: Siapa yang telah dikarunia Allah swt harta, tetapi tidak dibayarkan zakatnya, maka hartanya itu nanti akan dirupakan pada hari kiamat sebagai seekor ular yang siap melahap orang tersebut, dengan perkataan ancaman: Sayalah simpanan dan hartamu dahulu.' Salah satu nasehat Nabi saw yang disampaikan kepada kaum Muhajirin, bahwa kalau tidaklah karena rasa belas kasihan Allah swt kepada binatang, maka Allah swt tidak akan menurunkan hujan yang disebabkan keengganan orang-orang kaya dalam mengeluarkan harta. Jadi menurut hadits ini orang-orang kaya yang tidak mau mengeluarkan zakat mempunyai saham atas kekeringan yang terjadi di seluruh dunia dan Indonesia khususnya. Sadar dan pikirkanlah wahai para orang kaya! 5. Bolehkan keluarga Rasulullah menerima sedekah, setelah khumus tidak ada lagi? Imam Ja'far al-Shaddiq berkata: "Ketika Allah saw mengharamkan sedekah bagi kami maka Allah swt menurunkan khumus untuk kami. Sedekah haram bagi kami, tetapi khumus adalah hak kami." Menurut sebagian ulama Malikiah: Dimungkinkan untuk memberi hak Bani Hasyim dari baitul mal, dimana jika tidak diberikan akan menjadikan mereka orang-orang yang faqir. Dan memberikan hak Bani Hasyim dari baitul mal lebih utama daripada memberikannya kepada selain mereka. Sebagian lagi berpendapat bahwa kebolehan pemberian tersebut dikarenakan darurat, yaitu sekedar diperbolehkannya manusia memakan bangkai dalam keadaan darurat. Artinya, mereka tetap diharamkan untuk menerima sedekah, kecuali dalam keadaan darurat maka mereka boleh menerimanya. Berkata Abu Said al-Asthakhri al-Syafii: Sesungguhnya ketiadaan hak mereka dari khumus, membolehkan pemberian sedekah kepada mereka, dikarenakan mereka diharamkan menerima zakat dan hak mereka ada pada khums al-khumus. Jika tidak ada yang diberikan kepada mereka dari khumus, maka wajib memberikan zakat kepada mereka. Berkata al-Nawawi dari al-Rafii: Sesungguhnya Imam al-Ghazali memberikan fatwa yang sama. Ibnu Taimiyah dan al-Qadhi Ya'kub al-Hanabilah menjelaskan kebolehan mengambil dari zakat manusia, jika tidak ada khumus ghanimah dan fa'i. Sesungguhnya hal tersebut untuk memenuhi hajat yang darurat. Akan tetapi jumhur ulama masih belum bersepakat mengenai kebolehan pemberian zakat kepada Bani Hasyim walaupun tidak ada khumus. Mereka berdalil bahwa zakat diharamkan untuk mereka karena kemuliaan mereka yang merupakan kemuliaan Rasulullah saw. Pengharaman tersebut berlaku walaupun tidak ada khumus. Sebagaimana kita membaca bahwa pemberian zakat untuk keluarga dekat Rasulullah dalam zaman sekarang berdasarkan pembahasan terdahulu, diperbolehkan. Hal itu disebabkan tidak ada lagi hak mereka dari seperlima bagian ghanimah dan fa'i, dimana hak tersebut selalu diberikan pada zaman Rasulullah saw sebagai pengganti dari Allah dikarenakan mereka diharamkan untuk menerima sedekah. Bagian dzawil qurba telah disebutkan dalam alquran:

Artinya: Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Dan firman Allah swt:

,
Artinya: Apa saja harta rampasan (fa'i) yang diberikan Allah kepada rasul-Nya yang berasal dari kota-kota maka adalah untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Menurut pendapat Yusuf al-Qardhawi, yang mengatakan bahwa zakat diharamkan atas mereka dikarenakan kemuliaan mereka, tidaklah kuat, hal itu terutama disebabkan pemberian zakat kepada mereka untuk membantu mereka. Sedangkan gugurnya pengganti dari bagian dzawil qurba dikarenakan beberapa alasan, yaitu ketiadaan baitul mal, keputusan hakim yang mengharamkan pemberian zakat kepada mereka atau diperbolehkan karena alasan darurat. Banyak ulama yang berpendapat bahwa bagian dzawil qurba dari baitul mal gugur setelah wafatnya Rasulullah saw, begitu pula yang dilakukan pada zaman khalifahnya, dimana bagian dzawil qurba tersebut dipergunakan untuk berjihad menyebarkan agama Islam. selanjutnya para ulama membolehkan kerabat rasul menerima zakat.

20

Selanjutnya Yusuf al-Qardhawi berkata: Mengenai pendapat yang terdapat dalam beberapa hadits yang dijadikan dalil oleh jumhur ulama akan keharaman zakat untuk Bani Hasyim dan Bani Mutholib hingga hari kiamat, bahkan menjadikan maula Bani Hasyim sama kedudukannya dengan mereka dalam hukum adalah pendapat yang tidak jelas. Yang benar adalah dalam mengeluarkan pendapat terhadap hadits-hadits tersebut harus mengesampingkan rasa ashobiyah dan mengikutinya tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Menurut Yusuf al-Qardhawi, harus ada penjelasan terhadap hadits-hadits Rasulullah mengenai keharaman keluarganya dalam menerima sedekah. Menurutnya hadits yang berbunyi: menunjukkan bahwa perbuatan itu dibenci dan diusahakan untuk tidak dilakukan. Menurutnya, banyak ulama madzhab yang membolehkan keluarga Rasulullah saw menerima zakat. Hal itu disebabkan Bani Hasyim yang menjadi Amil zakat berhak menerima bagiannya dalam zakat tersebut. Sesungguhnya keluarga Rasulullah saw baik yang dekat maupun yang jauh dalam hal keharaman mereka menerima sedekah bukanlah dikarenakan kemuliaan nasab, tetapi untuk memberikan contoh kepada manusia bahwa mereka bukanlah orang yang tamak. Jika hal itu disebabkan karena kemuliaan nasab, maka maula mereka tidak akan dimasukkan ke dalam orang-orang yang diharamkan menerima sedekah. Seorang amil hendaknya bukan dari kalangan Bani Hasyim, sebab zakat dari selain Bani Hasyim tidak halal bagi Bani Hasyim. Imam Ja'far al-Shaddiq berkata: Orang-orang dari Bani Hasyim datang kepada Rasulullah saw meminta kepada beliau agar mempekerjakan mereka pada zakat ternak. Mereka berkata, agar kami mendapat bagian yang Allah tentukan bagi para amil. Kami lebih berhak untuk itu'. Maka Rasulullah saw berkata: Wahai Bani Abdul Muthalib ! sesungguhnya zakat tidaklah halal bagiku dan tidak juga bagi kalian. Akan tetapi aku telah dijanjikan untuk memberi syafat'. Dengan demikian, zakat tersebut tidak halal bagi mereka walaupun sebagai imbalan atas jerih payah mereka. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Hasan bin Ali berkaitan dengan sabda Rasulullah saw: , hal tersebut bukan saja ditujukan kepada keluarga Rasulullah saw tetapi juga kepada para pemimpin kaum muslimin saat itu, sebagaimana diriwayatkan bahwasanya Umar bin Khotob minum susu dari pemberian sedekah, maka ia memuntahkan kembali susu tersebut. Suatu saat Umar bin Khottob diberi sesuatu, beliau menolaknya, akan tetapi Rasulullah bersabda:

Artinya: Wahai Umar, jika Allah memberimu harta padahal kamu tidak memintanya, maka terimalah. Jika kamu membutuhkannya, gunakanlah. Jika kamu tidak membutuhkannya, berikanlah kepada orang lain. Mengenai etika pemberian sedekah/zakat kepada yang berhak, Imam Muhammad al-Bagir pernah ditanya bahwa salah satu orang merasa malu untuk menerima zakat yang menjadi haknya. Beliau menjawab: "Berilah, dan tidak usaha kau sebutkan bahwa itu adalah zakat, dan janganlah kau menghinakan seorang muslim." Habib Alwi bin Tohir Al-Haddad dalam kitab Al-Qaul al-Fashlu berpendapat bahwa keharaman menerima zakat bagi keluarga Rasulullah saw disebabkan untuk membersihkan kedudukan mereka dan mensucikan dzat mereka sebagai ahlul bait, dikarena zakat merupakan kotoran manusia yang dikeluarkan untuk membersihkan harta mereka. 6. Batas yang diperbolehkan seorang menerima zakat atau sedekah! Para ulama berbeda pendapat mengenai batas kecukupan yang memperbolehkan seseorang menerima zakat atau sedekah, diantaranya adalah cukup untuk makan sehari semalam. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin al-Hanzhaliyyah, bahwa: "Rasulullah saw melarang meminta-minta bagi siapa yang berkecukupan". Ketika ditanya tentang batas kecukupan itu, beliau menjawab: "Yang cukup untuk makan siang serta makan malamnya". Sebagian ulama mengatakan bahwa seorang mustahiq boleh mengambil dari uang zakat sebatas yang mencapai nisab zakat. Hal ini mengingat bahwa Allah swt tidak mewajibkan zakat kecuali atas diri orangorang yang berkecukupan, yakni yang memiliki lebih dari nisab. Karena itu ia boleh mengambil untuk dirinya sendiri dan untuk setiap orang anggota keluarga yang menjadi tanggungannya, sampai sebatas nisab untuk masing-masing orang. Imam Ja'far al-Shaddiq berkata: "Zakat haram hukumnya bagi orang yang mempunyai biaya hidup satu tahun, dan orang yang memiliki biaya hidup setahun ini wajib mengeluarkan zakat fithrah". Beliau ditanya tentang seorang yang mempunyai biaya makan untuk sehari, apakah dia boleh menerima zakat? Beliau menjawab: "Orang tersebut boleh mengambil dari zakat, sekedar yang dapat mencukupi hidupnya untuk satu tahun, walaupun saat itu dia mempunyai biaya hidup untuk satu bulan, sebab zakat ialah dari tahun ke tahun".

21

Adapun mengenai batas sampai kecukupan untuk makanan sehari semalam' adalah berkaitan dengan tidak disukainya perbuatan meminta-minta atau kebiasaan mengemis dari pintu ke pintu. Yakni, orang yang masih memiliki makanan untuk sehari semalam, hendaknya tidak meminta-minta dengan mendatangi pintu-pintu rumah orang lain. Sebab yang demikian itu adalah perbuatan yang sangat tidak disukai dalam agama. Ibnu Mas'ud meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda:

Artinya: Barangsiapa meminta-minta sedangkan ia memiliki harta yang mencukupi, kelak pada hari kiamat ia akan datang dengan wajah yang penuh noda. Dari Abu Daud dan Ibnu Hibban dalam sahihnya, Rasulullah saw bersabda:

Artinya: Barangsiapa meminta sedangkan ia memiliki apa yang mencukupi, Maka sesungguhnya ia telah memperbanyak bara api jahanam bagi dirinya sendiri. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda:

Artinya: Orang yang senantiasa minta-minta pada orang-orang hingga hari kiyamat, maka pada mukanya tidak ada daging sekerat pun. Diriwayatkan dari Samurah bin Jundab, Rasulullah saw bersabda:

Artinya: Minta-minta itu suatu garutan seseorang terhadap mukanya sendiri. Diperbolehkan meminta-minta, jika seseorang dalam keadaan sangat miskin, sakit keras, dan hutangnya mencekik, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Qubaishoh:

Artiya: Tidak halal (haram) meminta-minta kecuali karena 3 (tiga) sebab, yaitu: orang yang sangat miskin, orang yang sakit keras dan orang yang mempunyai hutang mencekik. Kebanyakan para fukaha mengatakan bahwa seorang yang mampu bekerja mencari uang tidak boleh diberi zakat, sebab dia dianggap kaya. Imam Muhammad al-Bagir berkata: "Sedekah tidak halal untuk orang yang mampu bekerja, dan tidak juga untuk orang yang sehat jasmani yang mampu menanggung jerih payah kerja". Di kalangan ulama Syafiiyah terdapat dua macam peminta-minta, yaitu: 1. 2. Peminta-minta yang masih mampu bekerja mencari nafkah. Orang semacam ini haram memintaminta. Peminta-minta yang makruh (dibenci), yaitu yang memenuhi tiga syarat: bahwa dia tidak menghina dirinya dengan meminta-minta, dia tidak merengek-rengek/memaksa dalam meminta, dia tidak menyakitkan hati orang yang dimintai. Jika dari ketiga syarat ini tidak terpenuhi, maka ulama Syafiiyah sepakat akan keharamannya.

Sebagai penutup pembahasan tentang boleh atau tidaknya menerima zakat, semua tergantung kepada penerima zakat itu sendiri, karena yang dapat menentukan dia boleh atau tidak menerima zakat hanyalah dirinya sendiri, sebagaimana hadits Rasulullah saw:

Artinya: Mintalah fatwa dari hati nuranimu sendiri, apapun yang difatwakan kepadamu oleh orang lain. Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, Rasulullah saw bersabda:

.
Artinya: Tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah (penerima). Barangsiapa yang mampu menjaga diri (dari meminta-minta), maka Allah akan menjaga dirinya, dan barangsiapa yang merasa cukup (puas dengan apa yang ada tanpa meminta-minta), niscaya Allah akan mencukupkan kebutuhannya.

KAFA'AH SYARIFAH Upaya Menjaga Kemuliaan Dzat Ahlul Bait Nabi saw

22

1. Pengertian Kafa'ah. Arti dari kata Kafa'ah adalah: Sama, sederajat, sepadan atau sebanding. Dalam perkawinan, yang dimaksud dengan kufu' yaitu laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlaq, kekayaan dan keturunannya. 2. Dasar Hukum Kafa'ah. Menurut Imam Syafei, masalah kafa'ah pertama kali diistinbat berdasarkan hadits dari Bariroh. Bariroh dikawinkan dengan lelaki yang tidak sekufu' dengannya, beliau mengadu kepada Rasulullah saw dan Rasulullah saw memberikan hak untuk memilih kepadanya. Hadits yang diriwayatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersabda:

"Wahai Ali ada tiga perkara jika tiba waktunya tidak boleh ditunda-tunda: shalat jika telah masuk waktunya, jenazah jika telah hadir untuk dishalatkan dan wanita jika telah datang jodoh yang sekufu' dengannya". Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra, bersabda Rasululullah saw:

"Pilihlah wanita sebagai wadah untuk menumpahkan nutfahmu, carilah mereka yang sekufu' denganmu dan kawinilah mereka". Hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah An-Anshori, bersabda Rasulullah saw:

"Janganlah engkau menikahi wanita kecuali dengan izin walinya, dan janganlah engkau menikahinya kecuali dengan yang sekufu'. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, Rasulullah saw bersabda:

"Pilihlah wanita sebagai wadah untuk menumpahkan nutfahmu, janganlah letakkan nutfahmu ke (rahim) wanita yang tidak sekufu'. 3. Ijtihad ulama tentang kafa'ah. Mengenai kafa'ah, para fuqaha telah sepakat bahwa faktor agama termasuk dalam pengertian kafa'ah, kecuali pendapat dari Muhammad bin Hasan yang tidak memasukkan faktor agama dalam pengertian kafa'ah. Tidak diperselisihkan lagi di kalangan madzhab Maliki, bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamr atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan antara keduanya. Begitu pula halnya apabila ia dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata "talaq". Fuqaha berselisih pendapat tentang faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafa'ah atau tidak. Begitu pula tentang faktor kemerdekaan, kekayaan dan keselamatan dari cacat (aib). Menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab dan mengenai hal itu ia beralasan dengan firman Allah: "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah swt ialah yang paling bertaqwa diantara kamu." Akan tetapi dalam perkawinan antara hamba sahaya tersebut Imam Malik dan pengikutnya mempunyai dua pendapat,: Pertama: jika hamba sahaya berkulit putih kawin dengan wanita merdeka maka perkawinannya kufu'. Kedua: jika perkawinan antara hamba sahaya berkulit hitam dengan wanita merdeka maka perkawinannya tidak sekufu' dan itu merupakan aib. Sufyan ats-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya. Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula. Silang pendapat ini disebabkan pendapat mereka tentang mafhum (pengertian) dari Sabda Nabi saw: "Wanita itu dinikahi karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya, maka carilah wanita yang taat kepada agama, niscaya akan beruntung."

23

Segolongan fuqaha ada yang memahami bahwa factor agama sajalah yang dijadikan pertimbangan. Demikian itu karena didasarkan kepada sabda Nabi saw: maka carilah wanita yang taat kepada agama. Segolongan yang lain berpendapat bahwa factor Nasab (keturunan) sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan. Dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafa'ah kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma', yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa'ah. Semua fuqaha yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat, mereka akan menganggap keselamatan dari cacat termasuk dalam lingkup kafa'ah. Berdasarkan pendapat ini ada yang memasukkan kecantikan sebagai lingkup kafa'ah. Di kalangan madzhab Maliki, tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan (pada pihak lelaki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya, begitu pula faktor kemerdekaan (bukan budak). Mengenai mahar mitsil (yakni mahar yang semisal ukurannya), maka Imam Malik dan Imam Syafii berpendapat bahwa hal tersebut tidak digolongkan sebagai kafa'ah. Oleh karenanya seorang ayah boleh mengawinkan anak gadisnya dengan mahar yang kurang dari mahar mitsil. Sedangkan Imam Hanafi memasukkan mahar mitsil sebagai kafa'ah. 4. Kafa'ah nasab dalam pernikahan. Semua Imam madzhab dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah sepakat akan adanya kafa'ah walaupun mereka berbeda pandangan dalam menerapkannya. Salah satu yang menjadi perbedaan tersebut adalah dalam masalah keturunan (nasab). Dalam hal keturunan orang Arab adalah kufu' antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya orang Quraisy dengan Quraisy lainnya. Karena itu laki-laki yang bukan Arab (Ajam) tidak sekufu' dengan wanitawanita Arab. Laki-laki Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy tidak sekufu' dengan wanita Quraisy. Hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar , bahwa Rasulullah saw bersabda:

, ...
Hadits riwayat Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda:

"Orang-orang Arab sekufu' satu dengan yang lainnya. Kabilah dengan kabilah lainnya, kelompok yang satu sekufu' dengan kelompok yang lainnya, laki-laki yang satu sekufu' dengan yang lainnya "

...
"Orang-orang Arab satu dengan yang lainnya adalah sekufu'" Menurut Imam Hanafi: Laki-laki Quraisy sepadan (kufu') dengan wanita Bani Hasyim. Menurut Imam Syafi'i: Laki-laki Quraisy tidak sepadan (tidak sekufu') dengan wanita Bani Hasyim dan wanita Bani Muthalib. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:

"Bahwasanya Allah swt memilih Kinanah dari anak-anak Ismail dan memilih Quraisy dari Kinanah dan memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan memilih aku dari Bani Hasyim " Akan tetapi kebanyakan ahli fiqih berpendapat bahwa kafa'ah merupakan hak bagi perempuan dan walinya. Seorang wali tidak boleh mengawinkan perempuan dengan lelaki yang tidak kufu' dengannya kecuali dengan ridhanya dan ridha segenap walinya. Jika para wali dan perempuannya ridha maka ia boleh dikawinkan, sebab para wali berhak menghalangi kawinnya perempuan dengan laki-laki yang tidak sepadan (tidak kufu'). Imam Syafi'i berkata: Jika perempuan yang dikawinkan dengan lelaki yang tak sepadan (tidak sekufu') tanpa ridhanya dan ridha para walinya, maka perkawinannya batal. Imam Hanafi berkata: Jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat (tidak sekufu') tanpa persetujuan walinya, maka perkawinan tersebut tidak sah dan wali berhak untuk menghalangi perkawinan wanita dengan pria yang tidak sederajat tersebut, karena yang demikian itu akan menimbulkan aib bagi keluarga. Imam Ahmad berkata Perempuan itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridha dikawinkan dengan laki-laki yang tidak sederajat (tidak sekufu'), maka ia berhak membatalkan. Riwayat lain dari Ahmad, menyatakan: bahwa perempuan adalah hak Allah, sekiranya seluruh wali dan perempuannya sendiri ridha menerima laki-laki yang tidak sederajat (tidak sekufu'), maka keridhaan mereka tidaklah sah. 5. Kewenangan wali dalam pernikahan. Para ulama telah sepakat bahwa wanita yang waras dan dewasa dapat melaksanakan semua aqad kecuali aqad nikah, dan juga dapat mewakilkannya kepada siapa yang dikehendakinya tanpa ada hak sanggah bagi siapapun terhadapnya. Mereka sepakat pula bahwa aqad nikah wanita merdeka yang baligh dan

24

berakal, apabila dilaksanakan oleh walinya menurut hukum syara' dengan persetujuan wanita yang bersangkutan, adalah sah. Adapun apabila wanita sendiri yang melaksanakannya atau mewakilkan kepada orang lain yang melaksanakannya, maka para ulama berbeda pendapat tentang sahnya. Abu Hanifah, Abu Yusuf menurut lahir riwayat dan Zufar berpendapat bahwa nikah itu sah, hanya wali mempunyai hak sanggah, selama belum melahirkan atau belum hamil yang nyata, apabila perkawinan itu dilangsungkan dengan tidak sekufu'. Dan diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf pendapat bahwa nikah itu hanya sah kalau dengan yang sekufu' saja dan batal kalau bukan dengan yang sekufu'. Sedangkan Daud dan orang-orang yang sefaham dengan dia mengambil dalil dengan hadits:

"Wanita tsayyib (janda) lebih berhak mengenai dirinya daripada walinya". Mengenai perbedaan hukum antara wanita perawan dan wanita janda, terdapat hadits:

"Tidak ada urusan wali mengenai wanita janda". Mereka mengatakan: Kedua hadits ini adalah tegas mengenai seluruh urusan wanita janda terserah kepadanya sendiri, dan di antaranya ialah aqad nikah. Dan kedua hadits itu juga jelas menunjukkan perintah minta izin wanita perawan. Maka dengan demikian, si perawan tidak ada haknya kecuali memberi izin mengenai nikahnya, dan hal itu menunjukkan bahwa yang menguasai nikah adalah orang lain dari pada dia, yaitu walinya yang meminta izin kepadanya. Abu Tsaur mengambil dalil dengan hadits Asiyah Ayyuma imra-atin dan selanjutnya mengenai syarat hanyalah izin wali saja. Hadits itu menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh wanita sendiri hanya batal apabila walinya tidak mengizinkan. Apabila ia mengawinkan dirinya dengan seizing walinya, maka nikah itu sah. Muhammad berpegang pada hadits ini juga mengenai pendapatnya bahwa sahnya aqad itu tergantung pada izin wali. As-Sya'bi dan Az-Zuhry mengambil dalil tentang aqad itu sah kalau sekufu' dan tidak sah kalau tidak sekufu'. Malik, Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan kebanyakan para ulama berpendapat bahwa nikah tidak sah dengan dilaksanakan oleh wanita sendiri atau wakilnya. Jumhur ulama kalangan Ahlus Sunnah sepakat bahwa salah satu syarat sahnya pernikahan adalah wali. Adapun alasan tersebut berdasarkan pada ayat 32 Surat An-Nuur:

...
"Nikahkanlah orang-orang yang tidak bersuami/tidak beristeri dari padamu". Ayat tersebut ditujukan kepada wali di mana mereka diminta supaya menikahkan orang-orang yang belum bersuami atau orang-orang yang belum beristri. Ini menunjukkan bahwa urusan pernikahan adalah urusan wali. Kalau tidak demikian halnya, tentulah khitab ayat tersebut tidak ditujukan kepada mereka (para wali). Hal ini diperkuat oleh hadits yang datang mengenai sebab turun ayat itu. Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab sahihnya, juga Abu Daud, dan Turmudzy telah mensahihkannya, dari Ma'qal bin Yassar bahwa ayat itu turun mengenai dia. Ia berkata: Aku telah mengawinkan saudara perempuan, kemudian suaminya menceraikannya. Sesudah habis iddahnya bekas suaminya datang meminang nya lagi, maka aku katakan kepadanya: Aku telah mengawinkanmu, telah kuberi tempat kepadamu dan telah aku muliakanmu, tetapi kamu menceraikannya, kemudian kamu datang meminangnya lagi. Tidak, demi Allah, ia tidak boleh kembali kepadamu selama-lamanya. Bekas suami itu adalah seorang laki-laki dimana bekas istrinya ingin kembali kepadanya. Allah mengetahui hajat laki-laki itu kepada bekas isterinya dan hajat perempuan itu kepada bekas suaminya, maka Allah swt menurunkan ayat: Wa Idzaa Thallaqtumu an-nisaa dan seterusnya. Maka aku berkata: Sekarang saya kerjakan Ya Rasulullah. Ia berkata bahwa: ia mengawinkannya kepada bekas suaminya. Mereka mengatakan: Kalaulah wanita dapat mengawinkan dirinya, tentulah saudara perempuan Ma'qal telah melakukannya, karena ia suka kepada bekas suaminya. Dan berdasarkan ini, maka jauhlah pendapat yang mengatakan bahwa khitab dalam ayat itu ditujukan kepada suami. Hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Turmuzy dan Ibnu Majah:

"Tidak ada pernikahan melainkan dengan wali". Dan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daruqutny dan Baihaqy dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw:

25

"Wanita tidak dapat mengawinkan wanita dan ia tidak dapat mengawinkan dirinya, maka sesungguhnya wanita penzinalah yang mengawinkan dirinya". Adapun dalil logika ialah bahwa nikah mempunyai maksud yang bermacam-macam, sedang nikah itu adalah ikatan antara keluarga. Wanita dengan kekurangannya dalam hal memilih, tentulah tidak dapat memilih dengan cara yang baik, lebih-lebih lagi karena wanita itu tunduk kepada hukum perasaan halus yang kadang-kadang menutupi segi-segi kemaslahatan. Maka untuk menghasilkan tujuan-tujuan ini dengan cara yang lebih sempurna, maka dilaranglah wanita mencampuri langsung aqad nikah. Menurut riwayat yang masyhur Imam Malik berpendapat serupa dengan Imam Syafii, tetapi yang diriwayatkan oleh Ibnu Al-Qasim dari beliau, bahwa mengenai wanita yang tidak mempunyai kedudukan (wanita biasa) dapat menikahkan dirinya sendiri dan aqad nikah wanita yang mempunyai kedudukan (wanita bangsawan) yang dilakukan oleh seorang muslim yang tidak berfungsi sebagai wakil wali, sahnya akad nikah tersebut tergantung kepada restu wali atau qadhi. Mengenai janda yang sah mengucapkan sighat ijab aqad nikahnya bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Thabari. Thabari berkata: Tentang riwayat Hafsah, ketika ia dalam status janda diaqadkan oleh Umar dan bukan yang berkepentingan mengaqadkan dirinya sendiri. Peristiwa ini membatalkan pendapat yang menyatakan bahwa wanita yang sudah dewasa dan mampu mengurus dirinya sendiri dapat mengawinkan dan mengaqadkan dirinya sendiri tanpa wali. Andaikata memang demikian, tentu Rasulullah saw meminang Hafsah secara pribadi (langsung) saja karena ia lebih berhak atas dirinya daripada ayahnya dan beliau tidak usah melamar lewat orang lain yang tak berhak mengurus persoalannya serta mengaqadkan nikahnya. Di dalam kitab Usdu al-Ghabah diterangkan berita dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib, katanya: Pada waktu Umu Kulsum telah menjadi janda sepeninggalan Umar bin Khattab, Imam Ali berkata kepada Umu Kulsum: Anakku, sebenarnya Allah swt sudah menetapkan bahwa engkau sekarang ini berhak memilih jodohmu, namun saya ingin sekali kalau engkau menyerahkan pilihan itu kepadaku. Umu Kulsum menjawab: Ayah! Saya ini hanyalah wanita biasa, yang tentunya menginginkan apa yang biasa diinginkan oleh kaum wanita. Saya ingin memilih sendiri siapa yang akan menjadi jodoh saya. Imam Ali ra menjawab: Tidak! Demi Allah, wahai anakku, sungguh ini bukan buah pikiranmu sendiri!. Hasan dan Husein berkata: Dik Umu Kulsum! Serahkanlah urusan jodohmu itu kepada Ayah kita. Umu Kulsum menjawab: Ya ayah! Saya mengikuti apa yang ayah katakan tadi. Kemudian Imam Ali berkata: Ya, baiklah! Sekarang aku menikahkan engkau dengan 'Aun bin Ja'far bin Abi Thalib. 6. Dalil-dalil yang mendasari kafa'ah syarifah. Pada dasarnya ayat-ayat Alquran yang menyebutkan keutamaan dan kemuliaan ahlul bait secara umum merupakan dalil yang mendasari pelaksanaan kafa'ah dalam perkawinan syarifah. Begitu juga ayat yang terdapat dalam alquran surat al-An'am ayat 87, berbunyi:

...
"(dan kami lebihkan pula derajat) sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudarasaudara mereka " ayat di atas jelas memberitahukan kepada kita bahwa antara keturunan para nabi (khususnya keturunan nabi Muhammad saw) dengan keturunan lainnya terdapat perbedaan derajat keutamaan dan kemuliaan, hal ini didasari oleh sabda Rasulullah saw:

"Kami Ahlul Bait tidaklah bisa dibandingkan dengan siapapun.", begitu pula dengan perkataan Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab 'Nahjul Balaghoh', bahwa: "Tiada seorang pun dari umat ini dapat dibandingkan dengan keluarga (aal) Muhammad saw". Tentang keluarga Nabi, Imam Ali mengatakan bahwa tiada orang di dunia ini yang setaraf (sekufu') dengan mereka, tiada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam hal kemuliaan. Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Abbas bin Abdul Mutthalib, ketika Rasulullah ditanya tentang kemuliaan silsilah mereka, beliau menjawab: "Allah menciptakan manusia dan telah menciptakan diriku yang berasal dari jenis kelompok manusia terbaik. Kemudian Allah menciptakan kabilah-kabilah terbaik, dan menjadikan diriku dari kabilah yang terbaik. Lalu Allah menciptakan keluarga-keluarga terbaik dan menjadikan diriku dari keluarga yang paling baik. Akulah orang yang terbaik di kalangan mereka, baik dari segi pribadi maupun dari segi silsilah." Baihaqi, Abu Nu'aim dan Tabrani meriwayatkan dari Aisyah, Disebutkan bahwa Jibril as pernah berkata:

26

,
"Aku membolak balikkan bumi, antara Timur dan Barat, tetapi aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad saw dan akupun tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan Bani Hasyim." Dalam Alquran disebutkan bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sebagai contoh para sahabat nabi, mereka adalah orang-orang yang mulia walaupun mereka bukan dari kalangan ahlul bait. Memang benar, bahwa mereka semuanya sama-sama bertaqwa, taat dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Persamaan keutamaan itu disebabkan oleh amal kebajikannya masing-masing. Akan tetapi ada keutamaan yang tidak mungkin dimiliki oleh para sahabat nabi yang bukan ahlul bait. Sebab para anggota ahlul bait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah mempunyai keutamaan karena hubungan darah dan keturunan dengan manusia pilihan Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. Hubungan biologis itu merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain. Lebih-lebih lagi setelah turunnya firman Allah swt dalam surah Al-Ahzab ayat 33 dan wasiat Rasulullah saw berupa hadits Tsaqalain, di samping itu beliau sendiri telah menegaskan:

,
"Hai manusia bahwasanya keutamaan, kemuliaan, kedudukan dan kepemimpinan ada pada Rasulullah dan keturunannya. Janganlah kalian diseret oleh kebatilan." Walaupun para ahlil bait Rasulullah menurut dzatnya telah mempunyai keutamaan, namun Rasulullah tetap memberi dorongan kepada mereka supaya memperbesar ketaqwaan kepada Allah swt, jangan sampai mereka mengandalkan begitu saja hubungannya dengan beliau. Karena hubungan suci dan mulia itu saja tanpa disertai amal saleh tidak akan membawa mereka kepada martabat yang setinggi-tingginya di sisi Allah. Dengan keutamaan dzatiyah dan keutamaan amaliyah, para ahlul bait dan keturunan Rasul memiliki keutamaan ganda, keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Keutamaan ganda itulah (khususnya keutamaan dzatiyah) yang mendasari pelaksanaan kafa'ah di kalangan keturunan Rasullulah. Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai kafa'ah syarifah, marilah kita perhatikan hadits yang menceritakan tentang adanya kafa'ah di kalangan wanita Arab. Telah diceritakan dalam kitab syarah alWasith: bahwa Umar bin Khattab akan menikahkan anak perempuannya kepada Salman al-Farisi, kemudian berita tersebut sampai kepada Amr bin Ash, dan beliau berkata kepada Salman: Saya lebih setara (sekufu') dari pada engkau. Maka Salman berkata: Bergembiralah engkau. Dan selanjutnya dengan sikap tawadhu' Salman berkata: Demi Allah, saya tidak akan menikah dengan dia selamanya. Keputusan yang diambil oleh Salman berdasarkan hadits Rasulullah saw:

,
"Dari Salman, sesungguhnya Rasulullah telah melarang kami untuk memimpin (mengimami) kamu atau menikahi wanita-wanita kamu." Dari hadits tersebut jelaslah bahwa di kalangan wanita Arab telah ada kafa'ah nasab dalam perkawinan. Hal tersebut dibuktikan oleh penolakan Salman al-Farisi yang berasal dari Persi ketika hendak dinikahkan dengan wanita Arab. Jika dalam pernikahan wanita Arab dengan lelaki non Arab saja telah ada kafa'ah, apalagi halnya dengan kafa'ah dalam pernikahan antara syarifah dimana mereka adalah wanita Arab yang mempunyai kemuliaan dan keutamaan. Kemuliaan dan keutamaan yang didapatkan tersebut dikarenakan mereka adalah keturunan Rasulullah saw. Hadits tersebut sekaligus juga merupakan jawaban yang mengeliminir perkataan Imam Ali yang berbunyi: Mu'min kufu' antara sesama mu'min, Arab dengan Ajam, Quraisy dan Bani Hasyim bila mereka telah Islam dan beriman." Sedangkan hadits Rasulullah yang memberikan dasar pelaksanaan kafa'ah syarifah adalah hadits tentang peristiwa pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana kita telah ketahui bahwa mereka berdua adalah manusia suci yang telah dinikahkan Rasulullah saw berdasarkan wahyu Allah swt. Hadits tersebut berbunyi:

, ,
27

"Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa yang kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah swt). Kemudian Rasulullah memandang kepada anakanak Ali dan anak-anak Ja'far, dan beliau berkata: "Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami". Menurut hadits di atas dapat kita ketahui bahwa: Anak-anak perempuan kami (syarifah) menikah dengan anak-anak laki kami (sayid/syarif), begitu pula sebaliknya anak-anak laki kami (sayid/syarif) menikah dengan anak-anak perempuan kami (syarifah). Berdasarkan hadits ini jelaslah bahwa pelaksanaan kafa'ah yang dilakukan oleh para keluarga Alawiyin didasari oleh perbuatan Rasul, yang dicontohkannya dalam menikahkan anak puterinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyin menjaga anak puterinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini. Di zaman Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin beliau diangkat menjadi 'Naqib al-Alawiyin' yang salah satu tugas khususnya adalah menjaga agar keluarga Alawiyin menikahkan putrinya dengan lelaki yang sekufu'. Mustahil jika ulama Alawiyin seperti Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam, Syekh Abdurahman al-Saqqaf, Syekh Umar Muhdhar, Syekh Abu Bakar Sakran, Syekh Abdullah Alaydrus, Syekh Ali bin Abi Bakar Sakran dan lainnya, melaksanakan pernikahan yang sekufu' antara syarifah dengan sayid hanya berdasarkan dan mengutamakan adat semata-mata dengan meninggalkan ajaran datuknya Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah bagi umat, padahal mereka bukan saja mengetahui hal-hal yang zhohir tapi juga mengetahui hal-hal bathin yang didapat karena kedekatan mereka dengan Allah swt. Para ulama Alawiyin mempunyai sifat talazum (tidak menyimpang) dari alquran dan seruannya, mereka tidak akan berpisah meninggalkan alquran sampai hari kiamat sebagaimana hadits menyebutkan mereka sebagai padanan alquran, dan mereka juga sebagai bahtera penyelamat serta sebagai pintu pengampunan. Rasulullah mensifatkan mereka ibarat bingkai yang menyatukan umat ini. Berpegang pada mereka dan berjalan di atas jalan mereka adalah jaminan keselamatan dan tidak adanya perpecahan serta perselisihan, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: "Bintang-bintang adalah sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam (di lautan) dan ahlil baitku sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari perselisihan." Tidaklah alquran memperkenalkan mereka kepada umat, melainkan agar umat itu memahami kedudukan mereka (dalam Islam) serta agar umat mengikuti dan menjadikan mereka rujukan dalam memahami syariah, mengambil hukum-hukumnya dari mereka. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam syairnya menulis: Ahlul Bait Musthofa, mereka Mereka pemberi keamanan Mereka ibarat bintang-bintang Demikianlah sunnatullah yang telah ditentukan Mereka ibarat dari segala topan Maka menyelamatkan Dan berpegang teguhlah serta memohon pertolongan-Nya adalah di yang orang-orang muka suci bumi bercahaya

bahtera (bahaya) dirilah kepada berguna dengan atas

yang Allah

penyelamat menyusahkan kepadanya swt mereka mereka mereka

Wahai Tuhanku, jadikanlah kami orang yang Tunjukkanlah kepada kami kebaikan Cabutlah nyawa kami di Dan selamatkanlah kami dari berbagai macam fitnah.

atas berkah kehormatan jalan

Mengapa para ulama Alawiyin mewajibkan pernikahan tersebut?, hal itu bertujuan agar kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah saw yang telah ditetapkan dalam alquran dan hadits Nabi saw, tetap berada pada diri mereka. Sebaliknya, jika telah terjadi pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid, maka anak keturunan selanjutnya adalah bukan sayid, hal itu disebabkan karena anak mengikuti garis ayahnya, implikasinya keutamaan serta kemuliaan yang khusus dikarunia oleh Allah swt untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat disandang oleh anak cucu keturunan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid. Hadits-hadits lain yang menjadi dasar pelaksanaan kafa'ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi'i: "maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan syafa'atku."

28

Makna yang terkandung dalam hadits ini adalah: mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan nabi saw kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak dan tidak akan terputus nasab seorang anak kalau bukan disebabkan perkawinan syarifah dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada nabi saw. Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa'atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah melalui perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan sayid. Sejarah menginformasikan kepada kita bahwa khalifah Abu Bakar dan Umar bersungguh-sungguh untuk melamar Siti Fathimah dengan harapan keduanya menjadi menantu nabi. At-Thabary dalam kitabnya yang berjudul Dzakhairul Uqba halaman 30 mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah meminang Siti Fathimah oleh Rasulullah dijawab: "Allah belum menurunkan takdir-Nya". Demikian pula jawaban Rasulullah kepada Umar bin Khattab ketika meminang Siti Fathimah ra.. Mengapa mereka ingin menjadi menantu nabi? Dua orang sahabat itu meminang Fathimah, semata-mata ingin mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah dan karena keutamaan-keutamaan yang diperoleh keluarga nabi menyebabkan mereka ingin sekali menjadi menantunya. Mereka mendengar Rasulullah bersabda:

"Semua hubungan nasab dan shihr (kerabat sebab hubungan perkawinan) akan terputus pada hari kiamat kecuali nasab dan shihr-ku". Al-Baihaqi, Thabrani dan yang lain meriwayatkan bahwa ketika Umar bin Khattab ra meminang puteri Imam Ali ra yang bernama Ummu Kulsum, beliau berkata: "Aku tidak menginginkan kedudukan, tetapi saya pernah mendengar Rasulullah saw berkata: 'Sebab dan nasab akan terputus pada hari kiyamat kecuali sababku dan nasabku. Semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fathimah, akulah ayah mereka dan kepadaku mereka bernasab.' Selanjutnya Umar ra berkata lebih lanjut: Aku adalah sahabat beliau, dan dengan hidup bersama Ummu Kulsum aku ingin memperoleh hubungan sabab dan nasab (dengan Rasulullah saw)." Orang lain saja (khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar) ingin menjadi menantu nabi karena ingin mendapatkan keutamaan dan kemuliaan melalui perkawinan dengan keturunan Rasulullah saw , sebaliknya ada sebagian keturunan Rasulullah yang dengan sengaja melepas dan menghilangkan keutamaan dan kemuliaan itu pada diri dan keluarganya khususnya kepada keturunannya hanya karena mereka mengikuti nafsu untuk bebas memilih dan menikahkan anak perempuannya dengan seorang lelaki yang tidak sekufu' (bukan sayyid). Seharusnya para keturunan Rasulullah yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah, karena melalui kakeknya Nabi Muhammad saw mereka menjadi manusia yang memiliki keutamaan dan kemuliaan, bukan sebaliknya mereka kufur ni'mat atas apa yang mereka telah dapatkan dengan melepas keutamaan dan kemuliaan diri dan keturunannya melalui pernikahan yang mengabaikan kafa'ah nasab dalam perkawinan anak dan saudara perempuannya, yaitu dengan mengawinkan anak dan saudara perempuannya sebagai seorang syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid. Sebelum pernikahan kedua manusia suci itu, Siti Fathimah pernah dilamar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lamaran tersebut tidak diterima oleh Rasulullah dengan alasan Allah swt belum menurunkan wahyu-Nya untuk menikahkan Siti Fathimah. Begitu pula dengan Umar bin Khattab, beliau juga melamar Siti Fathimah, akan tetapi lamaran itu pun tidak diterima Rasulullah dengan alasan yang sama ketika menolak lamaran Abu Bakar Ash-Shiddiq. Akan tetapi ketika Ali bin Abi Thalib melamar Siti Fathimah kepada Rasulullah, saat itu juga Rasulullah menerima lamaran Ali bin Abi Thalib dan Rasulullah berkata: " Selamat wahai Ali, karena Allah telah menikahkanmu dengan putriku Fathimah ". Secara selintas memang peristiwa tersebut merupakan pernikahan biasa yang dialami nabi sebagai seorang ayah, dan sebagai utusan Allah yang senantiasa menerima wahyu dari Tuhannya. Akan tetapi dibalik peristiwa itu, terkandung nilai-nilai yang disampaikan Allah kepada nabinya yaitu berupa hukum kafa'ah dalam perkawinan keluarga Rasulullah, dimana Allah mensyariatkan pernikahan Imam Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah yang keduanya mempunyai hubungan darah dengan Rasulullah dan mempunyai keutamaan ganda yang tidak dimiliki oleh Abu Bakar dan Umar. Mereka adalah ahlul bait, dimana Allah telah menghilangkan dari segala macam kotoran dan membersihkan mereka dengan sesuci-sucinya. Generasi Nabi saw lahir dari putrinya Fathimah ra. Beliau sangat mencintai mereka, al-Hasan dan al-Husein disebut sebagai anaknya sendiri, bahkan kepada menantunya, suami dari Fathimah ra, Rasulullah saw mengatakan: "Seandainya Ali bin Abi Thalib tidak lahir ke bumi maka Fathimah tidak akan mendapatkan suami yang sepadan (sekufu'), demikian pula halnya dengan Ali, bila Fathimah tidak dilahirkan maka Ali bin Abi Thalib tidak pula akan menemukan istri yang sepadan (sekufu'), mereka dan anak-anaknya diriku dan diriku adalah diri mereka." Abu Abdillah Ja'far al-Shaddiq mengatakan, "Seandainya Allah tidak menjadikan Amirul Mukminin (Imam Ali) maka tidak ada yang sepadan (sekufu') bagi Fathimah di muka bumi, sejak Adam dan seterusnya."

29

Para ulama seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafii dalam masalah kafa'ah sependapat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan: "Aku melarang wanita-wanita dari keturunan mulia (syarifah) menikah dengan lelaki yang tidak setaraf dengannya." Menurut mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan selain Bani Hasyim, maka mereka itu berdosa. Sebaliknya, Imamiyah tidak mensyaratkan adanya kafaah dalam pernikahan. Menurut mereka sikap muslim yang baik adalah kufu' dengan wanita muslimah yang baik. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Wanita keturunan mulia (syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu', maka ia berhak membatalkan. Bahwa wanita (syarifah) hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (syarifah) itu sendiri ridho menerima laki-laki yang tidak sekufu', maka keridhaan mereka tidak sah." Seorang ulama yang terkenal yang dianggap pendobrak kebekuan pemikiran kaum muslimin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang Syarif yang putrinya dikawinkan dengan seorang bukan Syarif padahal si ayah tidak setuju, apakah nikah tersebut sah? Ibnu Taimiyah menjawab: "Kafaah dalam hal nasab tidak merupakan persyaratan bagi Imam Malik. Adapun menurut Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya kafaah adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kafu, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafaah adalah " hak Allah "dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafaah." Dalam kitabnya 'Bughya al-Mustarsyidin' al-Allamah Sayid Abdurahman bin Muhammad bin Husein alMasyhur, berkata: "Seorang syarifah yang dipinang oleh orang selain laki-laki keturunan Rasulullah, maka aku tidak melihat diperbolehkannya pernikahan tersebut. Walaupun wanita keturunan Ahlul Bait Nabi SAW dan walinya yang terdekat merestui. Ini dikarenakan nasab yang mulia tersebut tidak bisa diraih dan disamakan. Bagi setiap kerabat yang dekat ataupun jauh dari keturunan sayyidah Fatimah Az-Zahra adalah lebih berhak menikahi wanita keturunan Ahlul Bait Nabi tersebut." Selanjutnya beliau berkata: "Meskipun para fuqaha mengesahkan perkawinannya, bila perempuan itu ridho dan walinya juga ridho, akan tetapi para fuqaha leluhur kami mempunyai pilihan yang para ahli fiqih lain tidak mampu menangkap rahasianya, maka terima sajalah kamu pasti selamat dan ambillah pendapatnya, jika kamu bantah akan rugi dan menyesal." Dijelaskan oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi): "Dalam perkara kafa'ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu' apalagi perempuan itu seorang syarifah maka yang bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah namun para ulama ahlul bait mempunyai ijtihad dan ikhtiar dalam perkara syara' yang tiada di dapati oleh para fakih lain. Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini berlaku secara umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid." Selanjutnya beliau berkata: "Daripada yang menjadi godaan yang menyakitkan hati Sayidatuna Fathimah dan sekalian keluarga daripada sayid, yaitu bahwa seorang yang bukannya dia daripada bangsa sayid Bani Alawi, ia beristerikan syarifah daripada bangsa Bani Alawi, demikian juga orang yang memfatwakan harus dinikahkannya, demikian juga orang yang menjadi perantaranya pernikahan itu, karena sekaliannya itu telah menyakitkan Sayidatuna Fathimah dan anak cucunya keluarga Rasulullah saw." Mufti Makkah al-Mukarromah, Sayid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf , menjelaskan dalam kitabnya 'Tarsyih alMustafidin Khasiyah Fath al-Mu'in': "Dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada satupun anak keturunan Bani Hasyim yang sederajat (sekufu') dengan anak keturunan Siti Fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan Rasulullah saw, karena anak keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab kepada beliau dalam hal kafa'ah dan lainnya." Pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama keturunan Rasulullah saw tersebut merupakan dalil hukum syariat yang dapat dijadikan pedoman dalam pernikahan seorang syarifah. Mengapa demikian? Dikarenakan mereka adalah hujjah-hujjah Ilahi yang berusaha menjaga umat ini dan memelihara kelurusan terhadap penyimpangan dari aspek-aspek ibadah dan lain-lain. Oleh karena itu, umat ini seyogyanya berpegang teguh kepada mereka serta tidak mendahului dan tidak mengabaikan mereka. Orang yang bersandar dan mengikuti mereka tidak akan tersesat, sebagaimana tidak akan tersesat orang

30

yang bersandar pada alquran, hal tersebut adalah jaminan Rasulullah kepada ummatnya, sebagaimana sabda beliau saw yang dinamakan dengan hadits al-Tsaqalain: "Kepada kalian kutinggalkan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat: Kitab Allah sebagai tali yang terentang dari langit sampai ke bumi, dan keturunanku, ahlul baitku. Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh (sorga). Perhatikanlah kedua hal itu dalam kalian meneruskan kepemimpinanku." Mengenai ucapan Rasulullah saw: "Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh" dan ucapan beliau: "jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat" yang dimaksud adalah para ulama yang berasal dari keturunan ahlul bait, tidak berlaku bagi orang-orang selain mereka. Mereka mempunyai keistimewaan sebagai teladan dan berada pada martabat lebih tinggi daripada yang tidak mempunyai keistimewaan sebagai teladan. Kita wajib berteladan kepada ulama dari kalangan mereka, dengan menimba dan menghayati ilmu-ilmu mereka yang telah dijamin oleh Allah swt. Rasulullah saw dengan ucapannya menunjuk anggota-anggota keluarga keturunan beliau, dikarenakan mereka mempunyai keistimewaan dapat memahami apa yang diperlukan (hikmah-hikmah yang terkandung dalam suatu perkara, yang tidak dapat dipahami oleh ulama selain mereka). Sebab kebaikan unsur penciptaan yang ada pada mereka dapat melahirkan kebaikan akhlaq, dan kebaikan akhlaq akan menciptakan kebersihan dan kesucian hati. Manakala hati telah bersih dan suci ia akan memberikan cahaya terang dan dengan cahaya itu dada akan menjadi lebih cerah. Semuanya itu merupakan kekuatan bagi mereka dalam usahanya memahami apa yang harus dilakukan menurut perintah syariat. Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang berjudul al-Aqidah al-Wasithiyah memberi tanggapan terhadap hadits tsaqalain sebagai berikut: "Dua kalimat hadis tsaqalain yang menyatakan 'dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh', dan 'jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat', hal tersebut tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulullah saw saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari keluarga keturunan beliau, baik yang awam maupun yang khawas, yang menjadi Imam maupun yang tidak." Perkataan Ibnu Taimiyah semakin menjelaskan bahwa masalah kafa'ah yang dilaksanakan oleh para keturunan Rasulullah -baik ia seorang ulama ataupun ia seorang awam- di mana status mereka sebagai padanan alquran, bukanlah suatu yang bertentangan dengan ajaran Islam atau berdasar kepada adat semata-mata. Disamping itu, hal itu dilakukan berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam alquran, diantaranya surat Surat al-Ra'du ayat 21: "dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungan (mengadakan hubungan silaturahmi dan tali persaudaraan), dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk." Surat Muhammad ayat 22-23: "Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?. Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka." Sebagai pelengkap uraian di atas, seorang hakim pengadilan Mesir memfasakhkan pernikahan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid seperti yang terdapat dalam Fatawa al-Manar, Juz VII, hal 447 ditulis: "Sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus peradilan di Mesir pada sekitar tahun 1904, mengenai perkawinan Syekh Ali Yusuf, pemimpin majalah al-Mu'ayyad dengan sayidah Shofiyah binti sayid Abdul Khaliq al-Saadat. Hakim syar'i menetapkan batalnya akad berdasarkan tidak adanya kafa'ah. Karena si perempuan dari golongan Alawiyah sedang syekh Ali Yusuf bukan orang Alawi." Sungguh patut disesalkan jika seseorang dalam suatu pernikahan mengangkat wali kuasa sebagai wali nikah (wali hakim) dan dengan sengaja menikahkan wanita tersebut tanpa seizin wali terdekatnya, apalagi tidak sekufu' serta seorang syarifah yang kawin lari dengan laki-laki yang bukan sayid dikarenakan orang tua mereka tidak menyetujui pernikahan tersebut. Tindakan tersebut merupakan suatu hal yang mengganggu Rasulullah SAW dan menyakitinya apabila terjadi suatu perkawinan terhadap putri-putri dari keturunan beliau dengan tanpa pertimbangan kafa'ah terlebih dahulu, melalaikan amanat dan tidak memperhatikan serta tidak menjaga perihal hubungan nasab keturunan beliau. Sehubungan dengan itu, Allah SWT berfirman dalam Alquran: "Tidak boleh bagi kalian menyakiti diri Rasulullah SAW dan tidak boleh mengawini isteri-isterinya selamalamanya setelah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar dosanya di sisi Allah SWT." Dari ayat tersebut kita dapat memahami dan mengambil kesimpulan, bahwa apabila isteri-isteri Nabi saw saja dilarang bagi orang-orang lain untuk mengawini mereka karena dianggap akan mengganggu Rasulullah saw, di mana ikatan mereka dengan Rasul karena adanya hubungan pernikahan, apalagi terhadap anak cucu beliau yang bersambung karena hubungan nasab , darah dan kefamilian.

31

Jika kita membaca sejarah, ketika anak perempuan Abu Lahab meninggalkan orang tuanya dan hijrah ke Madinah, beberapa orang dari kaum muslimin berpendapat bahwa hijrah mereka ke Madinah tidak ada gunanya sama sekali, karena orang tua mereka adalah umpan api neraka. Ketika anak perempuan Abu Lahab melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah, beliau bersabda: "Kenapa masih ada orang-orang yang masih menggangguku melalui nasab dan kerabatku? Barang siapa mengganggu nasabku dan kaum kerabatku berarti ia menggangguku, barang siapa menggangguku berarti ia mengganggu Allah SWT" Begitu pula sabda Rasulullah SAW:

"Amat keras murka Allah SWT atas orang-orang yang menyakiti aku di dalam hal keturunanku " 7. Penafsiran tentang makna dzurriyah. Sebagaimana telah dketahui bahwa "keturunan Rasulullah" ialah mereka yang telah diberi karunia besar berupa martabat kemuliaan dari Allah swt. Siapakah keturunan Rasulullah itu? Beberapa ulama memberi definisi dan batasan mengenai keturunan Rasulullah saw, sebagai berikut: Syaikhul Islam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata dalam kitabnya 'Jala' al-Afham' halaman 138 menjelaskan beberapa makna 'aal Muhammad saw' (keluarga Nabi) yang mengklasifikasikan menjadi empat pendapat. Di antara pendapat tersebut mengatakan bahwa 'aal Muhammad' ialah: khusus anak cucu Rasulullah saw dan para isteri beliau. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik berasal dari Nu'aim bin Mujmar. Akan tetapi pendapat yang mengatakan 'aal Muhammad' ialah isteri-isteri Nabi tidak didukung oleh dalil-dalil yang kuat. Menurut Sayyid Alwi bin Thahir Al-Haddad: "Jika ayat itu turun untuk istri-istri Nabi tentunya pembicaraan akan tetap tertuju kepada mereka sebagaimana dalam ayat sebelumnya. Akan tetapi penggunaan dhamir mudzakkar menunjukkan bahwa pembicaraan (khitab) bukan dengan mereka. Adapun peletakan ayat ini di tengah ayat-ayat yang membicarakan istri-istri Nabi menunjukkan adanya hikmah pada perintah-perintah yang diwajibkan atas istri-istri Nabi tersebut dan ini cukup sebagai alasan peletakannya dan sekaligus menggugurkan alasan mereka yang menjadikan siyaq al-ayat sebagai dalil bahwa ayat itu untuk istri-istri Nabi". Di dalam riwayat Muslim disebutkan: Kami bertanya, "Apakah istri-istri Nabi saw termasuk Ahlul Bait?" Ia menjawab, "Tidak, karena istri tinggal bersama suami hanya beberapa saat saja. Kemudian jika ia diceraikan, ia kembali kepada keluarganya. Ahlul Baitnya adalah keluarga yang haram menerima sedekah sepeninggal Nabi." Dalam riwayat lain disebutkan: "Sesungguhnya telah aku tinggalkan untukmu sesuatu yang jika kalian ambil, kalian tidak akan tersesat sepeninggalku, yaitu ats-Tsaqalain.Pertama, Kitab Allah sebagai tali yang terbentang di antara langit dan bumi. Kedua, keluargaku, Ahlul baitku. Keduanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di al-Haudh. Hal ini menjelaskan bahwa istri-istri Nabi tidak termasuk ke dalam keluarga atau ahlul baitnya. Juga ditegaskan bahwa keluarga atau ahlul bait itu keluarga yang senasab saja. Hal ini sesuai dengan pendapat Mufti Makkah Syeikh Muhammad Said bin Muhammad Babushail, yang mengemukakan pendapatnya dalam kitab 'Al-Durar al-Naqiyah Fi Fadha'ili Dzurriyati Khair al-Barriyah'. Dalam kitab tersebut ia mengatakan bahwa: 'Kaum kerabat Nabi saw (termasuk anak cucu keturunan beliau) adalah keluarga yang mempunyai pertalian nasab.' Setelah makna 'aal Muhammad' bukan ditujukan untuk istri-istri Nabi, maka makna 'aal Muhammad' tersebut tertuju kepada anak-cucu (keturunan) Rasulullah saw. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan: Tidak ada perbedaan di kalangan ahli bahasa bahwa makna Dzurriyah itu adalah keturunan baik yang masih anak-anak maupun yang sudah dewasa. Sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya surat Al-Baqarah ayat 124: "Dan ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa nikmat, maka ia menunaikannya. Allah berfirman: Aku akan menjadikan kamu Imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata dan dari keturunanku " Kemudian Ibnu Qayyim berkata: Jika hal ini ditetapkan maka Dzurriyah adalah anak-anak dan anak-anak mereka. Lalu apakah anak-anak perempuan termasuk ke dalam dzurriyah? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Keduanya berdasarkan dua riwayat dari Ahmad: Pertama, memasukkan anak-anak wanita ke dalam Dzurriyah Mereka berpendapat bahwa ummat Islam sepakat anak-anak dari Fathimah adalah Dzurriyah Nabi saw, yang kepada mereka ini Allah memerintahkan bershalawat. Karena tak ada seorang pun dari puteri-puteri Nabi saw kecuali Fathimah yang mempunyai keturunan, maka tidak ada orang yang bernasab kepada Rasulullah kecuali dari Fathimah saw. Oleh karenanya nabi berkata: Sesungguhnya puteraku ini sayyid. Mereka berkata: "Dan juga Allah swt berfirman akan hak Ibrahim as (Surat Al-An'am ayat 84-85):

32

"dan kepada sebahagiaan dari keturunan (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas, semua termasuk orang-orang yang saleh" Dan alquran surat Ali Imran ayat 61: "Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu". Kedua, adapun orang yang tidak memasukkan anak wanita ke dalam Dzurriyah, ia berhujjah bahwa anakanak dari anak perempuan, mereka pada hakikatnya hanya bernasab kepada ayahnya. Karena jika puteri Bani Hasyim menikah dengan selain Bani Hasyim kemudian mempunyai keturunan, maka anaknya itu bukan keturunan Bani Hasyim, sebab ia bernasab kepada ayahnya. Karena itu seorang penyair mengatakan:

Keturunan kami adalah keturunan dari anak laki-laki dan wanita kami, Keturunan dari puteri kami adalah keturunan dari laki-laki yang terjauh. Mereka berkata: adapun masuknya Fathimah ke dalam Dzurriyah Nabi saw karena kemuliaannya, keagungan dan martabat ayahnya Muhammad saw yang tidak ada satupun manusia yang sama dengannya di dunia. Dengan demikian maka Dzurriyah Nabi dari puterinya itu merupakan kelanjutan dari keluhuran dan kemuliaan martabat Nabi saw, sebagaimana Thabrani meriwayatkan hadits dari Siti Fathimah ra, bahwasanya Rasulullah menegaskan:

Semua anak yang dilahirkan oleh ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali Fathimah, akulah wali mereka, akulah nasab mereka dan akulah ayah mereka. Kita mengetahui bahwa kemuliaan dan keagungan seperti itu tidak dapat kita temukan pada para pembesar, raja-raja dan lainnya karena mereka tidak memandang keturunan dari anak perempuan mereka sebagai Dzurriyah yang meneruskan kebesaran dan kemuliaan mereka. Mereka berkata: Adapun alasan dengan masuknya Al-Masih (Isa as) dalam keturunan Ibrahim as, bukan merupakan argumentasi yang kuat, karena sesungguhnya Al-Masih tidak memiliki seorang ayah, maka nisbatnya dari pihak ayahnya mustahil, hingga ibunya menempati posisi ayahnya (oleh karena itu Allah swt menisbatkannya kepada ibunya). Demikian juga setiap orang terputus nasabnya dari ayahnya, baik karena sumpah li'an ataupun yang lainnya, maka ibunya menempati posisi ayahnya sekaligus sebagai ibunya dalam nasab. Itu adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan itu sesuai dengan tuntutan nash. Dan pendapat Ibnu Mas'ud ra dan lainnya, menurut kaidah pendapat itu benar, karena nasab seseorang asalnya kepada ayahnya. Jika nasabnya terputus dari arah ayahnya, ia kembali kepada ibunya walaupun kembalinya dari ayahnya telah ditentukan, ia tetap kembali dari ibunya kepadanya. Demikian juga, sebagaimana yang disepakati mayoritas umat atasnya dalam kewalian, bahwasanya ia adalah milik wali bapak, jika kembalinya ia kepada mereka sulit, maka ia berada dalam kewalian ibunya namun jika kembalinya ia kepada mereka dimungkinkan, ia kembali dari ibu kepada sumbernya dan asalnya. Sehubungan dengan masalah tersebut, pada dasarnya yang dimaksud dengan keturunan ahlul bait khususnya mereka yang berasal dari keturunan Al-Hasan dan Al-Husein, bukan keturunan dari dua orang saudara perempuan mereka, kendatipun semuanya adalah putri-puteri Fathimah binti Muhammad saw. Ketentuan tersebut didasarkan pada sebuah hadits shahih berasal dari Jabir ra, diketengahkan oleh AlHakim di dalam 'Mustadrak' dan oleh Abu Ya'la di dalam Musnadnya ; bahwasanya Siti Fathimah ra meriwayatkan ayahandanya saw berkata:

,
Semua anak Adam dilahirkan oleh seorang ibu termasuk di dalam suatu Usbah yakni kelompok dari satu keturunan kecuali dua orang putera Fathimah. Akulah wali dan 'usbah mereka berdua. Yang dimaksud "dua orang putera Fathimah" dalam hadits tersebut ialah al-Hasan dan al-Husein. Dengan memperhatikan lafazd hadits tersebut, dapat diketahui dengan jelas bagaimana Rasulullah mengkhususkan pengelompokkan al-Hasan dan al-Husein sebagai keturunan beliau, sedangkan dua orang saudari perempuan mereka (Zainab dan Ummu Kulsum) dikecualikan dari pengelompokkan nasab tersebut di atas, karena anak-anak dari dua orang puteri Siti Fathimah itu bernasab kepada ayahnya masing-masing yang bukan dari ahlul bait Rasulullah saw. Itulah sebabnya kaum salaf dan khalaf memandang anak lelaki seorang syarifah (wanita keturunan ahlul bait Rasulullah saw) tidak dapat disebut sayyid atau syarif jika ayahnya bukan seorang sayyid atau syarif. Kalau pengkhususan tersebut di atas berlaku umum bagi semua anak yang dilahirkan oleh anak cucu

33

perempuan Rasulullah, tentu anak lelaki seorang syarifah adalah syarif yang diharamkan menerima shadaqah, walaupun ayahnya bukan seorang syarif. Karena itu pula Rasulullah saw menetapkan kekhususan tersebut hanya berlaku bagi dua orang putera Siti Fathimah, tidak berlaku bagi puteri-puteri Rasulullah selain Siti Fathimah , karena kakak perempuan Siti Fathimah yaitu Zainab binti Muhammad saw tidak melahirkan putera lelaki tetapi hanya melahirkan anak perempuan yaitu Amamah binti Abul 'Ash bin Rabi' seorang pria bukan dari kalangan ahlul bait Rasulullah. Ketentuan itu diambil oleh Rasulullah semasa hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak Amamah tidak bernasab kepada Nabi saw, karena Amamah adalah anak perempuan dari puteri beliau Zainab yang menjadi isteri seorang pria bukan dari ahlul bait, sedangkan Zainab sendiri jelas bernasab kepada Rasulullah. Seumpama Zainab melahirkan anak lelaki dari suami seorang ahlul bait, tentu bagi anak lelakinya itu berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi Al-Hasan dan Al-Husein yaitu bernasab kepada Rasulullah saw. Dalam mengomentari keutamaan keturunan Rasulullah saw melalui Siti Fathimah , al-Allamah Ibnu Hajar dalam kitabnya 'Al-Shawaiq al-Muhriqah', menerangkan sebagai berikut: Barang siapa mengganggu salah seorang putera Fathimah, ia akan menghadapi bahaya karena perbuatannya itu membuat marah Siti Fathimah ra. Sebaliknya barang siapa mencintai putera-putera Fathimah ra, ia akan memperoleh keridhoannya. Para ulama khawas (yakni ulama yang mempunyai keistimewaan khusus) merasa di dalam hatinya terdapat keistimewaan yang sempurna karena kecintaan mereka kepada Rasulullah saw dan keturunannya disebabkan mereka (keturunan Nabi saw) mempunyai dzat mulia yang diciptakan dari nur Muhammad sebelum Allah menciptakan bumi dan langit. Sebagaimana Nabi saw bersabda: Allah telah menciptakan cahaya Fathimah sebelum menciptakan bumi dan langit. Sebagian sahabat bertanya, "ya Rasulullah! Bukankah dia adalah manusia biasa? Rasulullah menjawab: "Dia adalah bidadari berbentuk manusia." Dan diantara tanda-tanda bidadari yang ada pada dirinya adalah bahwa dia tidak pernah melihat darah yang keluar dari rahim. Demikianlah Fathimah ra, ia suci dari haid dan nifas seperti yang disepakati oleh kaum muslimin. Yang menjadi pertanyaan, apakah seorang anak yang lahir dari perkawinan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid mendapat keutamaan dan kemuliaan sebagai ahlul bait? Jawabnya sangat jelas, bahwa anak tersebut tidak mendapatkan keutamaan dan kemuliaan sebagai ahlul bait dan keistimewaannya sebagaimana yang disebutkan dalam alquran dan hadits, disebabkan anak yang mereka lahirkan tidak tergolong ahlul bait (keturunan) nabi, melalui puterinya Siti Fathimah ra dan kedua puteranya Al-Hasan dan Al- Husein. Rasulullah saw mengkhususkan pengelompokkan Al-Hasan dan Al-Husein sebagai keturunan beliau, sedangkan dua orang saudari perempuan mereka (Zainab dan Ummu Kulsum) dikecualikan dari pengelompokkan nasab tersebut di atas, karena anak-anak dari dua orang puteri Siti Fathimah itu bernasab kepada ayahnya masing-masing yang bukan dari ahlul bait Rasulullah saw. Berdasarkan nash-nash tersebut dan ijma ulama, maka ditetapkan bahwa anak yang dilahirkan oleh seorang syarifah (wanita keturunan ahlul bait Rasulullah saw dari puterinya Siti Fathimah serta puteranya Al-Hasan dan Al-Husein) tidak dapat disebut sayyid atau syarif jika ayahnya bukan seorang sayyid atau syarif.

CINTA AHLUL BAIT, CINTA SAHABAT Pujian Imam Ahlul Bait Terhadap Sahabat Nabi saw Upaya Menjaga Kemuliaan Dzat Ahlul Bait Nabi saw
1. Definisi Sahabat. Sahabat adalah sebutan bagi siapa saja yang pernah bertemu atau melihat Nabi Muhammad saw dan memeluk Islam. Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna sahabat. Ada yang berpendapat bahwa orang yang hanya sekali melihat Rasulullah saw adalah sahabat rasulullah saw. Maka kaum muslimin yang berada di Madinah dan Mekkah setelah penaklukan adalah sahabat, atau baru lahir pada haji wada' akhir Zulkaidah sebelum Nabi saw sampai ke Mekkah pada tahun 10 Hijriyah dan tiga bulan sebelum wafat Nabi saw, atau orang yang hidup pada masa Nabi saw dan beriman tetapi tidak berjumpa dengannya, atau menjumpainya setelah wafat Nabi saw dengan hanya melihat jenazahnya, bisa juga dikatakan sebagai sahabat Nabi saw. Batasan yang ketat berpendapat bahwa seseorang bisa dikatakan sebagai sahabat Nabi saw bila ia lama bergaul dengannya. Al-Bukhari dalam kitab shahih-nya memberikan pengertian bahwa yang dinamakan sahabat nabi adalah orang muslim yang hidup bersama nabi atau pernah melihatnya. Menurut Zain al-Iraqi mengatakan bahwa sahabat adalah yang bertemu Rasulullah dalam keadaan muslim dan meninggal dalam Islam. Said bin Musayyab berpendapat bahwa sahabat adalah orang yang pernah tinggal dan hidup bersama nabi saw selama satu tahun penuh atau setidak-tidaknya pernah ikut perang bersama nabi saw. Ibnu Hajar alHaitsami mengatakan bahwa sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi saw dalam keadaan beriman kepada beliau saw dan (sampai) meninggal (ia berada) dalam Islam, baik orang itu meriwayatkan hadits atau tidak dari Nabi saw, atau orang yang tidak pernah melihat beliau saw karena buta. Ahmad bin Hanbal mengatakan sahabat rasul adalah orang yang pernah hidup bersama beliau, sebulan atau sehari atau sesaat atau hanya dengan melihatnya.

34

Menurut mayoritas ulama hadits, seseorang dapat dikatakan sahabat apabila ia tetap dalam keadaan beriman sampai ia wafat bahkan sekalipun seseorang yang telah mendapat gelar murtad, tetapi ia kembali beriman, ia masih tetap dikatakan sahabat. Ulama lain berpendapat bahwa seseorang dikatakan sahabat jika ia bergaul lama dengan Nabi saw. Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi atau Imam Muslim, seorang ahli hadits terkenal, mengelompokkan sahabat-sahabat Rasulullah saw k e dalam dua belas peringkat berdasarkan peristiwa yang mereka alami atau saksikan. Peringkat pertama adalah al-Sabiqun al-Awwalun (mereka yang pertama sekali masuk Islam), dimulai dari Abubakar, Umar, Usman, Ali bin Abi Thalib dan seterusnya. Peringkat kedua, mereka yang tergabung dalam Dar al-Nadwah (gedung pertemuan bagi orang-orang Quraisy pada masa sebelum dan awal Islam), yang ketika Umar menyatakan keislamannya mereka membawanya menghadap Rasulullah saw, lalu memba'iatnya. Peringkat ketiga, mereka yang ikut hijrah ke Habasyah. Peringkat keempat, mereka yang memba'iat Nabi saw di Aqabah pertama. Peringkat kelima, mereka yang memba'iat Nabi saw di Aqabah kedua. Peringkat keenam, orang-orang Muhajirin yang pertama menemui Nabi saw ketika beliau tiba di Quba sebelum memasuki kota Madinah pada waktu hijrah. Peringkat ketujuh, mereka yang ikut serta dalam perang Badar. Peringkat kedelapan, mereka yang berhijrah ke suatu tempat antara Badar dan Hudaibiyah. Peringkat kesembilan, mereka yang tergabung dalam kelompok ba'iat alRidwan (ba'iat yang dilakukan kaum muslimin ketika terjadi gazwah/perjanjian Hudaibiyah). Peringkat kesepuluh, mereka yang ikut hijrah antara al-Hudaibiyah dan al-Fatah (penaklukkan Mekkah). Peringkat kesebelas, berdasarkan urutan masuk Islam. Peringkat kedua belas, para remaja dan anak-anak yang sempat melihat Rasulullah saw pada waktu penaklukkan kota Mekkah dan haji Wada' serta di tempattempat lain. Jumlah orang yang mendapat predikat sahabat pada waktu Nabi saw wafat sekitar 144.000 orang, yakni para pengikut Nabi saw dan secara nyata melihatnya lalu memeluk Islam. Tentang penilaian terhadap para sahabat, juga terdapat beberapa pendapat. Pendapat jumhur mengatakan bahwa para sahabat Nabi saw adalah manusia-manusia arif, mujtahid, yang integritas kepribadiannya dijamin oleh alquran dan sunnah. Mereka menurut al-Razi, adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw yang menyaksikan wahyu, mengetahui ta'wil dan tafsir, memahami semua ajaran yang disampaikan Allah swt kepada Rasul-Nya dan yang disunnahkan dan disyariatkan Nabi saw. Allah swt telah menjadikan mereka teladan bagi umat. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Hajar al-Haitsami, Ibnu Hazm, al-Ghazali dan lainnya. Menurut pendapat Muktazilah, semua sahabat'udul (adil) kecuali mereka yang terlibat dalam perang Siffin (perang antara Ali dan Muawiyah). Menurut pendapat sebagian kecil ulama, semua sahabat, seperti semua periwayatan yang lain, harus diuji 'adalah-nya. Para sahabat itu tidak berbeda dari manusia lainnya dalam hal ketidakmustahilannya berbuat salah dan alpa. Ke-'adalah-an mereka bukan secara umum seperti kaidah pendapat jumhur yang mengatakan: al-Sahabat kulluhum 'udul (sahabat semuanya adil), tetapi secara perorangan, karena tingkat pengetahuan, penguasaan terhadap agama, dan kemampuan mereka tidak sama. Jadi, bila ada sahabat yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw, maka 'adalah-nya harus diteliti untuk menerima atau tidak hadits tersebut. Sebab, bila pendapat jumhur diterima, maka semua hadis sahih. Al-Allamah al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas dalam kitabnya yang berjudul Tanwir al-Aglas berkata: 'Para sahabat adalah manusia utama setelah para nabi, dan sahabat yang paling utama adalah khalifah yang empat, yaitu Abubakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib. Semua mereka 'udul dan bersih dari kesalahan. Mereka dibagi menjadi tiga, Muhajirin, Anshor dan sahabat yang beriman kepada Rasul saw dan sahabatnya. Walaupun definisi tentang sahabat dan penilaian terhadap mereka diperdebatkan oleh para ulama, namun mereka menduduki posisi penting dalam pewarisan ajaran Islam dan penyebaran Islam. Sebab, mereka adalah generasi pertama umat Islam yang memelihara hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah Nabi saw wafat. Mereka sampaikan kepada generasi kedua (tabi'in), dan tabi'in kepada tabi'at al-tabi'in (generasi ketiga), hingga sampai kepada kita. Para Imam ahlul bait menerima semua yang disebutkan dalam kitab alquran dan sunnah nabi tentang keutamaan-keutamaan mereka, dan meyakini bahwa mereka adalah generasi terbaik, seperti yang disabdakan Rasulullah saw: "Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku, kemudian yang datang setelah itu, kemudian yang datang setelah itu, kemudian yang datang setelah itu." Selain itu, mereka berpencar ke seluruh penjuru negri, mereka memasuki kota-kota besar yang sudah takluk di bawah pemerintahan Islam. Di antara mereka ada yang menjadi khalifah, gubernur, hakim atau jabatn-jabatan penting lainnya. Di situlah mereka semua menyebarkan ajaran Rasulullah saw. Mereka mengeluarkan fatwa-fatwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan penuh keikhlasan dan kebersihan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah saw. Itulah kedudukan para sahabat Nabi saw yang pasti dan dan tak dapat dipungkiri. 2. Perintah mencintai Sahabat Nabi saw. Ketahuilah, bahwa kecintaan terhadap Ahlul Bait tidak mempunyai arti, jika tidak terdapat kecintaan terhadap para sahabat Nabi saw. Sesungguhnya para sahabat Nabi saw, mereka telah menemani Nabi saw dalam segala keadaan, baik dalam keadaan sukacita maupun dalam keadaan duka cita. Mereka rela untuk menyerahkan nyawa dan semua hartanya untuk mendukung perjuangan Rasulullah saw. Mereka lebih menyintai Rasulullah saw dan keluarga dibandingkan kecintaan mereka terhadap keluarganya sendiri. Berkata Fakhrurozi, Allah swt berfirman:

35

, ayat tersebut tidak saja pujian Allah swt kepada keluarga Rasulullah saw, tetapi juga pujian kepada para sahabatnya, disebabkan Allah swt berfirman dalam ayat yang lain: sesungguhnya orang-orang yang taat kepada Allah swt (para sahabat) mempunyai tempat yang dekat di sisi Allah swt. Sebagaimana telah diketahui bahwa keluarga Rasulullah saw mempunyai tempat yang dekat di sisi Allah swt, begitu pula para sahabat beliau juga mempunyai tempat yang dekat di sisi Allah swt. Walhasil, para imam ahlul bait telah bersepakat bahwa kewajiban mencintai keluarga Rasul saw harus bersamaan dengan sikap mencintai para sahabatnya, sebagaimana Rasulullah saw telah bersabda:

"Perumpamaan ahlul baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh as, barangsiapa yang menaikinya (mengikutinya) akan selamat."

"Sahabatku ibarat bintang (yang memberi petunjuk), barang siapa di antara kalian yang mengikuti mereka, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk." Jika seorang mengarungi lautan, ia memerlukan petunjuk untuk sampai dengan selamat di tempat tujuan. Begitu pula saat ini, semua manusia sedang mengarungi lautan dunia yang memerlukan petunjuk agar selamat ke negeri akhirat. Dalam mengarungi lautan, seorang pelaut memerlukan dua petunjuk yaitu perahu dan bintang. Begitu pula manusia, jika ingin selamat dalam mengarungi lautan dunia agar selamat ke negeri akhirat harus memerlukan dua petunjuk yaitu perahu Nuh as (ahlul bait) dan bintang (para sahabat). Secara umum keutamaan sahabat terdapat dalam alquran dan hadist Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda: - Peliharalah kecintaan terhadapku dengan kecintaan kepada sahabat dan sihr-ku. Barang siapa yang memelihara kecintaan terhadapku, maka Allah swt akan memeliharanya dalam dunia dan akhirat. Dan bagi orang-orang yang tidak memelihara kecintaan kepada mereka, maka Allah swt akan mencampakkannya. - Muliakan sahabatku sesungguhnya mereka orang-orang yang terbaik di antara kamu. - Janganlah kalian mencela seorangpun dari sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada dalam kekuasaannya, Jika saja seorang di antara kalian menginfaqkan emasnya sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan sama walau sedikitpun atau setengahnya. - Sesungguhnya Allah swt telah memilihku dan memilihkan untukku sahabat, dan menjadikan untukku di antara mereka seorang wazir, penolong dan sihr. Barang siapa yang mencela mereka, maka Laknat Allah swt, para malaikat dan semua manusia kepadanya, dan Allah swt tidak akan menerima amalnya baik yang wajib dan yang sunnah. - Allah, Allah selalu menaungi sahabatku. Janganlah kalian berbuat sesuatu yang buruk kepada mereka setelah aku tiada. Barang siapa yang mencintai mereka berarti mencintaiku, barang siapa yang membenci mereka berarti membenciku. Siapa yang menyakiti mereka berarti menyakiti aku, siapa yang menyakiti aku berarti menyakiti Allah swt. - Sesungguhnya manusia itu banyak, tetapi sahabatku sedikit. Janganlah kalian mencela mereka. Allah swt telah melaknat orang-orang yang mencela mereka. - Sesungguhnya seberat-beratnya siksa Allah swt terhadap hambanya di hari kiamat, bagi mereka yang suka mencaci maki para nabi kemudian sahabatku dan kaum muslimin. - Jika Allah swt menghendaki kebaikan kepada umatnya, niscaya akan diberikan rasa cinta kepada sahabatku di dalam hatinya. - Jika kalian melihat suatu kaum mencela sahabatku, maka katakanlah: Laknat Allah swt atas kejahatan kalian! - Seburuk-buruknya umatku adalah mereka yang mencaci maki sahabatku. - Aku memohon kepada Allah swt terhadap sahabatku setelah aku tiada. Maka Allah swt memberitakan kepadaku: Ya Muhammad, sesungguhnya sahabatmu mempunyai kedudukan seperti bintang di langit, yang satu menjadi bagian yang lainnya. - Syafa'atku akan aku berikan secara umum, kecuali kepada mereka yang mencaci maki sahabatku. - Tidak seorangpun dari sahabatku yang wafat di bumi, niscaya akan dibangkitkan sebagai pemimpin dan cahaya di hari kiamat nanti. - Jika dibicarakan di antara kamu (tentang masalah yang diperselisihkan) sahabatku, maka diamlah kamu.

36

- Akan datang suatu kaum yang mencela dan mencaci maki sahabat. Jika kalian bertemu, janganlah kalian duduk, minum, makan dan menikah dengan mereka. - Siapa yang mencela para nabi maka perangilah, dan siapa yang mencela sahabatku maka cambuklah. - Kedudukan mereka (sahabat) sesaat lebih baik dibandingkan amal perbuatan kalian sepanjang hidup. - Siapa yang menjaga (perkataan dan sikap dari mencaci maki) sahabatku, maka akan berkumpul bersamaku di telaga Haudh. Dan siapa yang tidak menjaga (perkataan dan sikap dari mencaci maki) sahabatku, tidak akan berkumpul denganku di telaha Haudh, bahkan sama sekali tidak akan melihatku. - Perumpamaan sahabatku seperti garam terhadap makanan, tidak akan terasa lezat makanan kecuali dengan garam. - Bintang merupakan penyelamat bagi langit, jika bintang lenyap maka akan datang apa yang dijanjikan kepada langit (gelap gulita). Sahabatku adalah penyelamat bagi umatku, jika sahabatku lenyap maka akan datang apa yang dijanjikan kepada umatku (kesesatan). - Siapa yang berkata dengan perkataan yang baik mengenai sahabatku sesungguhnya dia telah terbebas dari sifat munafik, dan siapa yang berkata dengan perkataan yang jelek mengenai sahabatku sesungguhnya dia telah menyalahi sunnahku, dan akan dimasukkan ke dalam neraka yang merupakan seburuk-buruk tempat. - Siapa yang mencintai sahabat-sahabatku, bermaula kepada mereka dan memintakan ampun untuk mereka, maka Allah swt akan memasukkannya bersama para sahabat ke dalam surga. Berkata Ibnu Hajar al-Haitsami dalam kitab Asna al-Matholib Fi Shilat al-Aqorib, bahwa wajib bagi setiap muslim untuk bersikap baik dan ridho terhadap para sahabat dan ahlul baitnya, mengenal keutamaan dan hak-hak mereka, menahan dari mengeluarkan pendapat negatif terhadap peristiwa yang terjadi di antara mereka. Al-Hafidz al-Suyuthi dalam risalahnya Ilqomu al-Hajar Liman Zaka Saba Abubakar Wa Umar, bahwa jika seorang menganggap halal mencela sahabat maka ia kafir karenanya. Jika ia tidak menganggap halal maka ia fasik karenanya. Qadhi Iyadh dalam kitab al-Syifa berkata: Haram hukumnya bagi orang yang mencela dan mencaci maki sahabat dan pelakunya dilaknat. Ibnu Hanbal berkata: 'Apabila kamu melihat seseorang menyebut-nyebut sahabat Rasulullah saw dengan kejelekan, maka curigailah dia menumbangkan Islam.' Imam Malik bin Anas, berkata: 'Barang siapa mencela Nabi saw maka perangilah mereka, dan siapa yang mencaci maki sahabat beliau saw maka berilah hukuman yang membuat jera.' Ibnu Taimiyah berkata: 'Barang siapa menganggap murtad sahabat sepeninggalan Nabi saw kecuali beberapa orang saja atau dikira mereka semuanya fasik, maka tidak ada keraguan mengenai kekafiran orang itu.' Abu Zur'ah al-Razi berkata: 'Apabila kamu melihat seseorang mencela sahabat Nabi saw, maka ketahuilah bahwa dia itu zindik.' Ibnu Abidin berkata: 'Barang siapa mencaci maki Abubakar dan Umar atau memfitnah keduanya, maka kafirlah ia dan taubatnya tak diterima.' 3. Sikap Imam Ahlul Bait Terhadap Sahabat. Berkenaan dengan para sahabat nabi, Ahlu Sunnah mempunyai hati yang lurus dan bersih dengan mengatakan bahwa persahabatan dengan Nabi saw adalah suatu kemuliaan yang tidak ada bandingannya. Mereka menjaga baik-baik wasiat Nabi saw tentang para sahabat: 'Janganlah kalian mencaci-maki para sahabatku', oleh karena itu mereka tidak pernah mencaci-maki seorang pun dari kaum Muhajirin dan Anshor. Begitu pula dengan sikap para imam ahlul bait terhadap sahabat-sahabat Rasulullah saw. Mereka tidak pernah mencaci maki para sahabat, bahkan mereka banyak memuji dan mengakui keutamaan para sahabat Rasulullah saw. Imam Ali bin Abi Thalib berkata: "Aku telah melihat para sahabat Muhammad saw, tak satupun ada orang yang kulihat yang menyamai mereka. Siang hari mereka sujud dan berdiri menghadap Allah swt. Mereka pergunakan malam untuk shalat dan tidur secara bergantian. Mereka bagaikan di atas bara api karena mengingat hari akhir, seolaholah pada mata mereka ada bulu kambing karena banyak sujud. Apabila disebut nama Allah, bercucuran air matanya, sehingga membasahi dadanya. Hati mereka selamanya goncang, seperti goncangnya pohon diterpa angin kencang karena takut pada siksa Allah dan mengharap pahala-Nya". Imam Ja'far al-Shiddiq meriwayatkan bahwa seorang pria dari suku Quraisy datang kepada Ali bin Abi Thalib di masa ia menjadi khalifah. Orang itu berkata kepada Imam Ali bin Abi Thalib: "Wahai amirul mukminin! Aku pernah mendengar engkau berkata dalam suatu pidato: Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami hamba-Mu yang saleh sebagaimana Engkau telah jadikan khulafaur rasyidin hamba-

37

hamba-Mu yang saleh. Siapakah gerangan mereka itu? sambil air matanya berlinang, ia biarkan air matanya menetes. Lalu Imam Ali menjawab: Mereka adalah orang-orang yang kucintai. Mereka pamanpamanmu. Abubakar dan Umar adalah sebagai imam hidayah, syekh Islam dan para penuntun setelah Rasulullah saw. Barangsiapa yang mengambil tauladan dari mereka akan terpelihara. Barangsiapa mencontoh prilaku mereka mendapat prtunjuk jalan yang lurus. Barangsiapa berpegang teguh pada jalan mereka akan masuk golongan (hizb) Allah swt. Dan golongan Allah itu adalah orang-orang yang selamat". Riwayat lain menceritakan bahwa seorang lelaki datang menghadap Imam Ali seraya berkata: Wahai amirul mukminin! pada saat aku melewati segolongan manusia terdapat di antara mereka yang membicarakan hal-hal yang tidak pantas mengenai Abubakar dan Umar. Sejenak kemudian, Ali pun naik mimbar mengucapkan khutbah dan ia berkata: "Demi dzat yang menciptakan biji-bijian dan membebaskan jiwa! sebenarnya mereka itu (Abubakar dan Umar) sungguh mukmin yang luhur. Tidaklah ada siapapun manusia yang benci kepada mereka dan melawan mereka, melainkan orang itu jahat dan durhaka. Mencintai mereka berarti dekat kepada Allah swt. Dan membenci mereka berarti durhaka kepada Allah swt. Mengapakah mereka mengunjing saudarasaudara Rasulullah, pembantu dan para sahabat beliau? Mereka adalah kepala-kepala Quraisy dan tokohtokoh Islam. Aku tidak akan melepaskan diri dari orang yang mengunjingkan Abubakar dan Umar, bahkan mereka akan mendapat ganjaran balasan yang setimpal. Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Maukah kalian kuberitahukan siapa orang yang terbaik bagi umat ini setelah Nabi Muhammad saw? Lalu beliaupun berkata: Abubakar setelah itu Umar". Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata tentang Usman: "Sesungguhnya orang-orang mencercanya, sedang aku dari golongan muhajirin, banyak memohon keridhoannya". Ketika Imam Hasan bin Ali ditanya, apakah mencintai Abubakar dan Umar sunnah hukumnya? beliau menjawab: "Bukanlah semata-mata sunnah, tetapi wajib hukumnya". Telah datang seorang laki-laki kepada Imam Ali Zainal Abidin dan bertanya: Bagaimanakah kedudukan Abubakar dan Umar di sisi Rasulullah saw? Beliau menjawab: "Kedudukan mereka sekarang ini sebagai pedamping Rasulullah saw di pembaringannya". Dalam kitab Hilyah al-Aulia, telah diriwayatkan oleh Abu Nuaim, Imam Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib berkata: Telah datang kepadaku beberapa orang dari Iraq dan mereka bercerita tentang Abubakar, Umar dan Usman. Setelah mereka selesai bercerita berkata Imam Ali bin Husein kepada mereka: Ali bin Husein: Maukah kalian memberitahu aku, apakah kalian termasuk kaum Muhajirin yang terdahulu, yang hijrah dari tempat mereka dan membelanjakan hartanya demi untuk mendapatkan keutamaan dan keridhoan Allah swt, dimana mereka membantu Allah dan Rasul-Nya, dan mereka termasuk orang-orang yang benar? (Al-Hasyr:8) Ahlul Iraq: Tidak. Ali bin Husein: Apakah kalian termasuk orang-orang yang telah menempati kota Madinah (Anshor) dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka, dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)? (Al-Hasyr: 9) Ahlul Iraq: Tidak. Ali bin Husein: Jika kalian tidak termasuk ke dalam dua golongan tersebut, Maka saksikanlah bahwa kalian tidaklah termasuk dalam firman Allah: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor) dan berdoa: "Wahai Tuhan kami, beri ampun kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman (Al-Hasyr: 10). Keluarlah kalian! Diriwayatkan dari Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, beliau berkata: "Wahai ahlul Iraq, cintailah kami sebagaimana kalian mencintai Islam. Demi Allah, tidak akan bergeser kecintaan kalian kepada kami hingga kalian mencampuradukan kecintaan kalian kepada kami dan membenci Abubakar dan Umar serta mencaci maki mereka berdua". Imam Ali Zainal Abidin berdoa untuk para sahabat Rasulullah saw yang telah membantu beliau saw dalam perjuangan menegakkan agama Islam sebagai berikut: "Ya Allah, untuk sahabat-sahabat Muhammad saw, khususnya mereka yang terjalin persahabatan dengan baik bersama beliau saw dan mereka yang telah berjasa mendukungnya, mereka yang bahu-membahu bersama Rasulullah saw dan telah berusaha secepatnya dalam mendukung dan segera dalam menerima ajakan Rasul saw kepada mereka, dari hujjah risalah-Nya, mereka yang sudi dan tahan berpisah dari anakanak dan istrinya demi menegakkan dan menyebarkan kalimat haq, mereka yang juga tidak segan-segan memerangi anak-anak dan ayah mereka sendiri untuk mengukuhkan nubuwahnya, mereka adalah orangorang yang dikucilkan oleh suku dan famili mereka hanya karena bergantung pada tali beliau, Muhammad

38

saw, dan terputuslah hubungan kerabat yang sebelumnya terjalin erat sesama mereka dan mengajaknya menjadi anggota kerabat beliau. Ya Allah, betapa banyak yang telah mereka tinggalkan serta mereka berikan kepada-Mu, dengan segala kerelaan, balaslah hijrah mereka dari rumah tangganya menuju rumah-Mu. Mereka tinggalkan kehidupan yang makmur dan sentosa, lalu memilih kehidupan yang sederhana dan penuh tantangan." Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin, berkata: "Memutuskan hubungan dengan Abubakar dan Umar tidak lain arti melainkan memutuskan hubungan dengan Ali bin Abi Thalib". Beliau berkata pula: 'Barangsiapa yang mencela Abubakar dan Umar, maka Allah swt, para malaikat dan semua manusia akan melaknatnya'. Begitu juga sikap Ja'far al-Shadiq terhadap para sahabat, seperti yang diriwayatkan dari Salim Ibnu Abi Hafsah berkata: Ketika aku mengunjungi Imam Ja'far al-Shadiq Ibnu Muhammad yang sedang sakit, maka beliau berkata: "Ya Allah sesungguhnya aku mencintai Abu Bakar dan Umar, dan akupun bermaula kepada keduanya. Ya Allah, jika perasaan yang ada dalam diriku berbeda dengan apa yang aku ucapkan, semoga aku tidak mendapatkan syafa'at dari Muhammad saw". Kemudian beliau berkata: "Wahai Salim, pantaskah jika ada seseorang yang mencaci maki kakeknya, sesungguhnya Abu Bakar ra adalah kakekku, sesungguhnya aku tidak mengharap syafa'at dari seorangpun , kecuali aku mengharap syafa'at yang sepertinya dari Abu Bakar." Bahkan ia pernah berkata: "Aku berlepas tangan dari orang-orang yang mengatakan sesuatu sesudah Nabi saw tentang Abu Bakar dan Umar kecuali yang baik." Imam Ja'far al-Shadiq ditanya tentang Abubakar dan Umar, beliau menjawab: 'Aku berlepas diri terhadap orang-orang yang berlepas diri dari keduanya'. Kemudian beliau ditanya lagi, apakah anda bersikap taqiyyah? Imam Ja'far al-Shadiq menjawab: 'Jika aku bersikap seperti itu, maka aku akan berlepas diri dari Islam dan aku tidak akan mengharap syafaat kakekku Muhammad saw'. Selanjutnya beliau berkata: 'Allah swt berlepas diri terhadap orang-orang yang berlepas dari Abubakar dan Umar'. Begitu pula sikap ayah al-Shaddiq, Imam Muhammad al-Baqir. Beliau sangat cinta kepada Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, beliau sangat memujinya dan berkata: "Siapapun yang tidak mengucapkan al-Shiddiq di belakang nama Abu Bakar, maka Allah tidak akan membenarkan ucapannya". Selanjutnya beliau berkata: "Sesungguhnya aku berlepas diri dari orang yang membenci Abu Bakar dan Umar, andaikata aku berkuasa, pasti aku akan mendekatkan diri kepada Allah swt dengan menumpahkan darah orang yang membenci Abu Bakar dan Umar. Demi Allah, sesungguhnya aku mencintai keduanya dan akupun senantiasa memohonkan ampun bagi keduanya, tidak seorangpun dari ahlil baitku kecuali ia akan mencintai keduanya." Ibnu Fudhail meriwayatkan dari Salim Ibnu Hafsah, berkata: Aku pernah bertanya kepada Abu Ja'far dan puteranya tentang Abu Bakar dan Umar, maka keduanya menjawab: "Wahai Salim, keduanya adalah pemimpin yang adil, cintailah keduanya dan berlepas diri dari siapa saja yang memusuhi keduanya, sesungguhnya keduanya di hadapanku adalah petunjuk yang harus diikuti." Seorang wanita menemui Imam Ja'far al-Shaddiq, lalu bertanya kepadanya tentang Abubakar dan Umar, beliau menjawab: "Jadikanlah keduanya sebagai pemimpinmu". Wanita itu berkata: Bila berjumpa dengan Tuhanku, aku akan mengatakan kepadanya, engkau yang memerintahkanku menjadikannya sebagai pemimpin. Imam Ja'far menjawab: "Ya". Muhammad al-Bagir bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, berkata: Barang siapa yang tidak mengenal keutamaan Abubakar dan Umar, maka ia tidak mengenal sunnah. Ketika beliau ditanya tentang suatu kaum yang mencaci maki Abubakar dan Umar, beliau menjawab: "Sesunguhnya kaum itu telah keluar dari ajaran Islam, maka barangsiapa yang ragu terhadap keduanya, maka ia ragu terhadap sunnah nabinya, barangsiapa yang membencinya maka ia termasuk dari kaum munafik". Diriwayatkan oleh Mufadhal bin Umar dari ayahnya dari kakeknya, berkata: Imam Ja'far al-Shadiq ditanya tentang sahabat, beliau menjawab: 'Sesungguhnya Abubakar al-Shiddiq hatinya dipenuhi oleh musyahadah al-rububiyah, beliau menyaksikan tidakada tuhan selain Allah, sehingga ia banyak berdzikir , sedangkan Umar selalu menganggap kecil sesuatu selain Allah swt dan tidak tunduk kecuali kepada Allah swt, sehingga ia banyak berdzikir , sedangkan Usman melihat segala sesuatu selain Allah swt mempunyai sebab akibat dan beliau selalu mensucikan Allah swt, sehingga ia banyak berdzikir , sedangkan Ali bin Abi Thalib selalu melihat keberadaan alam semesta adalah .

ciptaan Allah swt dan semuanya akan kembali kepada Allah swt, sehingga ia banyak berdzikir

Dari sangat cintanya Imam Ali kepada ketiga khulafaur rasyidin, beliau menamakan anak-anaknya dengan nama mereka, yaitu: Abubakar bin Ali bin Abi Thalib, Umar bin Ali bin Abi Thalib dan Usman bin Ali bin Abi Thalib, dan beliau juga mengawinkan puterinya Ummu Kulsum dengan Umar bin Khottob. Al-Hasan dan alHusain juga menamakan anak-anak mereka dengan Abubakar dan Umar, semua itu untuk dilakukan demi rasa cintanya kepada kedua sahabat Rasulullah saw.

39

Imam Musa bin Ja'far meriwayatkan dari ayahnya , ketika beliau ditanya tentang Abubakar dan Umar: "Abubakar adalah kakekku dan Umar adalah suami nenekku (suami Ummu Kulsum bin Ali bin Abi Thalib), apakah ada orang yang membenci kakek dan suami neneknya? Imam Musa bin Ja'far, juga memberikan nama salah satu anak lelakinya dengan Abubakar, anak perempuannya juga dinamakan Aisyah, seperti juga kakeknya Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib menamakan putrinya dengan Aisyah. Begitu pula dengan Imam Ali bin Muhammad al-Hadi mempunyai anak perempuan yang dinamakan dengan Aisyah. Al-Daruqutni meriwayatkan dari Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang bergelar al-Nafsu al-Zakiyah, ketika ditanya tentang Abubakar dan Umar, beliau menjawab: "Mereka berdua lebih utama dari Ali bin Abi Thalib". Imam Abdullah al-Mahdi bin Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, berkata: "Allah swt tidak akan menerima taubat seseorang hamba yang berlepas diri dari Abubakar dan Umar". Hasan bin Ali bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang Abubakar dan Umar, beliau menjawab: 'Keduanya adalah orang-orang yang utama dan aku selalu memintakan ampun untuk keduanya'. Kemudian beliau ditanya, apakah ini taqiyyah? Beliau menjawab: Aku tidak akan mendapat syafaat Muhammad saw, jika apa yang aku katakan berlainan dengan hatiku'. Ibnu Syihab dalam kitabnya Raspah al-Shodi mengatakan: 'Wajib atas semua manusia dan ahlul bait alsyarif khususnya, menghormati dan mengagungkan para sahabat Rasulullah saw dan mencintai semuanya, disebabkan mereka adalah nujum al-hidayah dan rijal al-riwayah wa al-dirayah, mereka manusia yang paling utama setelah para nabi, dan Allah telah memuji atas mereka di dalam kitab-Nya dan telah diceritakan dalam hadits-hadits shahih.' 4. Kaum Rafidhah Dan Sahabat. Dari segi bahasa Rafidhah mempunyai beberapa makna diantaranya menolak, yang murtad keluar dari agamanya atau golongan yang meninggalkan pimpinannya dalam pertempuran (deserter). Di sebut kaum Rafidhah karena kaum tersebut menolak keutamaan Abubakar dan Umar. Mereka berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari Abubakar dan Umar. Bermula sebutan Rafidhah adalah sikap memihak sebagian kelompok kepada Ali bin Abi Thalib dan lebih mengutamakannya dari pada Usman. Dalam kitab Taqwiyah al-Iman,Sayid Muhammad bin Aqil bin Yahya menulis bahwa syaikh Abdul Qadir Jailani berkata: 'Rafidhah adalah suatu kelompok yang berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari Usman.' Syaikh Ibnu Taimiyah menjelaskan, telah mutawatir sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib bahwa ia berkata: 'Sebaik-baiknya umat sesudah nabinya adalah Abubakar kemudian Umar. Dan ini pun disepakati oleh kalangan Syiah generasi terdahulu, semua menganggap utama Abubakar dan Umar. Hanya saja perselisihan terjadi pada Ali bin Abi Thalib dan Usman. Sedangkan mengenai Abubakar dan Umar, seluruh umat sepakat menerima mereka termasuk golongan Khawarij.' Dalam kitabnya Minhaj al-Sunnah Ibnu Taimiyah menceritakan seorang tokoh syi'ah Syarik bin Abdullah ditanya oleh salah seorang: "Siapakah yang lebih utama, Abu Bakar atau Ali? Syarik menjawab: Abu Bakar. Ia bertanya lagi: Bagaimana anda dapat mengatakan yang demikian itu, padahal anda seorang Syi'ah? Syarik menjawab: Ya, barangsiapa tidak mengatakan yang demikian itu, maka ia bukanlah seorang Syi'ah. Demi Allah, hal tersebut telah dikumandangkan oleh Ali ra, ia berkata: 'Ketahuilah, bahwasanya sebaik-baiknya orang dalam ummat ini, sesudah Nabinya, adalah Abu Bakar kemudian Umar.' Syarik berkata: Bagaimana kami (kaum syi'ah) dapat menolak perkataan itu? Bagaimanakah pula kami dapat mendustakannya, sedang ia (Ali bin Abi Thalib), demi Allah bukanlah seorang pendusta." Abu Abdullah al-Mazari pernah menerangkan bahwa pada suatu hari Imam Malik ditanya, manakah orangorang yang utama setelah Nabi saw? Beliau menjawab: 'Abubakar sesudah itu Umar, kemudian ia terdiam. Lalu yang bertanya mengatakan bahwa Imam Malik ragu, dan penanya meminta kepastian antara Ali dan Usman. Imam malik menjawab: Saya belum pernah mendapati seorang sahabat yang membeda-bedakan keutamaan antara Usman dan Ali.' Pada zaman Zaid bin Ali Zainal Abidin, kaum Rafidhah lebih dikenal dengan penolakan mereka terhadap keutamaan Abubakar dan Umar. Mereka berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari Abubakar dan Umar. Sebutan Rafidhah dikarenakan terjadinya dialog antara Zaid bin Ali dengan beberapa orang Kufah. Mereka bermaksud mendukung perjuangan Zaid bin Ali melawan penguasa zholim saat itu, tetapi mereka memberikan syarat kepada Zaid bin Ali agar beliau mengakui bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari Abubakar dan Umar. Zaid bin Ali menolak syarat yang diajukan oleh orang-orang Kufah tersebut. Maka sejak itulah orang-orang tersebut dikenal dengan sebutan Rafidhah. Menurut Sayid Husain al-Musawi, Imam Ja'far al-Shaddiq berkata bahwa Rafidhah adalah suatu nama yang langsung diberikan oleh Allah swt, sebagaimana perkataan beliau dalam kitab Raudhah al-Kafi 5/34: 'Tidak Demi Allah, bukan mereka yang menamainya dengan nama tersebut (Rafidhah) tetapi Allah-lah yang menamai mereka dengan nama itu.' Rasulullah saw telah memperingatkan dan mengkhabarkan akan kelahiran mereka (Rafidhah) di masa yang akan datang, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam

40

musnadnya, Daruquthni, al-Dzahabi, Uqaili, Qadhi Iyadh yang diriwayatkan dari banyak sahabat diantaranya Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah, Ummi Salamah, al-Hasan, Jabir al-Anshari, Ibnu Abbas, Iyadh al-Anshari, dimana mereka semua mendengar dan meriwayatkan dari Rasulullah saw, beliau bersabda:

.
"Akan datang sesudah kepergianku, suatu kaum yang mempunyai julukan Rafidhah. Maka jika kalian menemukan mereka maka perangilah, karena sesungguhnya mereka adalah golongan orang-orang yang mempersekutukan Tuhan". Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh al-Hasan, Rasulullah saw bersabda:

Kelak di akhir zaman terdapat suatu kaum yang disebut Rafidhah, di mana mereka meninggalkan Islam. Maka perangilah mereka karena mereka adalah golongan orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Diriwayatkan dari Daruquthni, Ali bin Abi Thalib berkata:

:
"Maka aku bertanya tentang ciri-ciri mereka (kaum Rafidhah). Maka Rasulullah saw menjawab: 'Mereka seakan-akan mencintai keluarga Nabi, sementara mereka tidaklah begitu. Dan tanda-tanda dari itu adalah mereka gemar mencaci maki Abubakar dan Umar." Dalam riwayat lain dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersabda:

, , . :

"Wahai Ali, kamu akan masuk surga, Wahai Ali, kamu akan masuk surga, Wahai Ali, kamu akan masuk surga. Dan kelak ada suatu kaum yang disebut Rafidhah, jika kamu menemukan, perangi mereka. Ali bin Abi Thalib bertanya, wahai nabi Allah, apa tanda-tanda mereka. Nabi saw menjawab: 'Mereka tidak pernah terlihat berjamaah, tidak melakukan shalat Jum'at dan mereka mengumpat Abubakar dan Umar." Diantara salah satu Pemuka Madzhab Fiqih dalam Ahlu Sunnah yang kita kenal adalah Imam Syafii. Sebagaimana kita ketahui bahwa Imam Syafii adalah seorang mujtahid yang mempunyai kecintaan kepada ahlul bait nabi saw yang dapat dilihat dari syair-syairnya. Di samping itu beliau juga cinta kepada sahabatsahabat nabi saw. Imam Syafii berkata: "Allah Tabaraka wa Ta'ala telah menyampaikan pujian kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw di dalam Alquran, taurat dan Injil. Dan telah lebih dahulu disampaikan tentang keutamaan mereka melalui lisan Rasulullah saw, sesuatu yang tidak dimiliki oleh seorangpun setelah mereka. Maka, Allah pun menyangi mereka dan menempatkan mereka pada setinggi-tinggi derajat dan kedudukan yaitu kedudukan orangorang yang jujur, para syuhada dan orang-orang saleh. Merekalah yang telah menyampaikan kepada kita sunnah-sunnah Rasulullah saw dan merekalah yang menyaksikannya. Ketika wahyu diturunkan kepada Rasulullah saw, mereka mengerti apa yang dikehendaki oleh Rasul dalam keadaan umum maupun khusus, dan mereka mengerti apa yang dikehendaki oleh Rasul dalam keadaan umum maupun khusus, dan mereka mengetahui dari sunnahnya apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui. Dan mereka berada di atas kita dalam bidang ilmu pengetahuan, ijtihad, sikap wara', serta perkara yang dapat difahami oleh ilmu dan disimpulkannya. Pemikiran-pemikiran mereka untuk kita lebih terpuji dan lebih utama daripada pemikiran-pemikiran yang datang dari kita untuk kita. Jika seseorang di antara mereka menyatakan pendapatnya, kemudian tidak seorangpun yang menyalahkannya, maka kita pun akan mengambil pendapatnya." Berkata Imam Syafii: "Saya tidak melihat orang yang dicoba dengan tindakan mencela para sahabat Rasulullah saw, melainkan dengan celaan itu Allah swt menambahkan kepada mereka (sahabat) pahala di saat sudah terputusnya amal perbuatan mereka (setelah meninggal dunia)." Imam Syafii berkata tentang keutamaan para khalifah yang empat dan derajat mereka di kalangan para sahabat: "Manusia paling utama sesudah Rasulullah saw, yaitu Abubakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib." Setelah itu beliau bersyair:

41

Aku telah bersaksi bahwa Allah, tiada sesuatu selain-Nya Dan aku bersaksi bahwa kebangkitan itu haq dan aku ikhlas Bahwa pakaian iman itu adalah ucapan yang baik Perbuatan yang bersih yang terkadang bertambah dan berkurang Bahwa Abubakar itu adalah khalifah Ahmad Sedang Abu Hafsh terhadap kebaikan, berusaha sungguh-sungguh Aku mempersaksikan Tuhanku bahwa Usman itu utama Bahwa Ali mempunyai keutamaan yang khusus Imam-imam kaum, yang diikuti tuntunan mereka Semoga Allah swt memberikan keselamatan kepada orang yang didiskreditkan Mengapa orang-orang sesat itu mencaci maki dalam kebodohan Dan apa yang datang dari orang bodoh itu tidak dijawab tapi harus diludahi. Imam Syafii mengambil rujukan tentang keutamaan Abubakar dengan beberapa perkara, antara lain melalui sejumlah hadits dari Nabi saw yang mengisyaratkan keutamaannya, diantarannya dari hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah al-Yamani, bahwa Nabi saw bersabda: "Ikutlah kalian kepada dua orang sesudahku, Abubakar dan Umar" Selanjutnya Imam Syafii berkata bahwa tidak berselisih pendapat seorangpun dari kalangan sahabat dan tabi'in tentang pengutamaan Abubakar dan Umar dan mendahulukan mereka atas semua sahabat. Dalam hal ini bukan berarti Imam Syafii merendahkan Ali bin Abi Thalib, beliau menyebutkan bahwa seorang lakilaki dari suatu kaum berkata: 'Tidaklah pergi orang-orang dari Ali kecuali karena ia tidak memperdulikan seseorang'. Secara perlahan Imam Syafii berkata: 'karena pada dirinya terdapat empat macam budi pekerti, tidak satu pekerti pun darinya ada pada seseorang kecuali merupakan hak baginya untuk tidak memperdulikan terhadap orang lain. Ali bin Abi Thalib adalah seorang zahid Orang zahid itu tidak memperdulikan dunia dan penghuninya Dia adalah orang berilmu dan orang berilmu tidak memperdulikan terhadap seorang Dia adalah pemberani dan orang pemberani tidak akan memperdulikan siapa pun Dia adalah orang mulia dan orang mulia tidak memperdulikan terhadap seorang Terhadap kaum Rafidhah Imam Syafii berpendapat: 'Belum pernah saya saksikan di kalangan manapun orang-orang yang begitu berani menjadi pembual dan memberikan kesaksian palsu seperti golongan Rafidhah.' Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata: Kita harus meyakini keutamaan para sahabat Nabi saw dan urutan keutamaan mereka. Mereka adalah orang-orang yang adil, baik dan pantang berdusta. Mereka tidak boleh dicerca dan dicela. Khalifah yang benar sepeninggalan Rasulullah saw ialah Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali bin Abi Thalib. Mengenai urutan keutamaan sahabat, Imam al-Haddad pernah ditanya oleh kaum syi'ah: Untuk apa anda mendahulukan orang lain daripada sesepuh anda sendiri, Ali bin Abi Thalib? Imam al-Haddad menjawab: Dia (Ali bin Abi Thalib) sendirilah yang mendahulukan orang lain (Abu Bakar ra) dan memandangnya lebih utama ketimbang dirinya. Karena itulah kami juga mendahulukannya (Abu Bakar) dan memandangnya lebih utama. Dalam hal itu kami mengikuti jejak sesepuh kami (Ali bin Abi Thalib). Imam al-Haddad kemudian berbicara tentang ahlu-rafdh (kaum Rafidhah). Beliau berkata: Mereka itu orang-orang bathil, tidak ada orang-orang yang menyebut-nyebut mereka dan tidak ada pula yang menagisi mereka. Meskipun pada mereka terdapat sekelumit kebenaran, tetapi mereka mencampurnya dengan kebatilan. Imam al-Haddad di dalam suratnya kepada saudaranya Al-Hamid di India, antara lain menyatakan: Tidak ada yang lebih buruk, lebih keji, dan lebih memalukan daripada munculnya orang-orang yang berunjuk rasa menyatakan kebencian terhadap dua orang syaikh, al-Shiddiq dan al-Faruq. Mereka yang membenarkan sikap menolak (dua khalifah tersebut) sungguh sangat tercela, baik menurut syariat maupun menurut akal, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un 5. Dialog Imam Ja'far al-Shaddiq dengan Kaum Rafidhah. Diriwayatkan oleh Ali ibnu Soleh, telah datang seorang lelaki dari kaum Rafidhoh kepada Imam Ja'far bin Muhammad al-Shaddiq, kemudian ia berkata: Rafidhi: Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Imam Ja'far: Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Rafidhi: Wahai anak Rasulullah, siapakah manusia yang terbaik sesudah Rasulullah saw? Imam Ja'far: Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu anhu. Rafidhi: Apa hujjah atas yang demikian itu.

42

Imam Ja'far: Allah swt berfirman:

. ,

, , .

'Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita'. Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah maha Perkasa lagi maha Bijaksana. Imam Ja'far: Selain mereka berdua yang utama, apakah ada diantara manusia yang lebih utama dari Abu Bakar selain Nabi saw? Rafidhi: Ali bin Abi Thalib, karena beliau tidur di pembaringan Rasullulah untuk menggantikannya tanpa sedikitpun merasa gelisah, cemas, khawatir dan takut. Imam Ja'far: Begitu pula Abu Bakar, sesungguhnya ia bersama Nabi saw tanpa sedikitpun merasa gelisah, cemas, khawatir dan takut. Rafidhi: Sesungguhnya Allah swt telah berfirman berlainan dengan apa yang engkau katakan! Imam Ja'far: Apa bunyinya?

Rafidhi: Allah berfirman: yang berarti Abu Bakar mempunyai perasaan gelisah, cemas khawatir dan takut?

Imam Ja'far: Tidak! karena kata sedih ( ) bukanlah gelisah, cemas, khawatir atau takut. Abu Bakar merasa sedih karena Nabi saw akan dibunuh, sehingga beliau tidak akan dapat lagi membela dan melayani agama Allah swt. Abubakar tidak bersedih karena memikirkan dirinya sendiri, ketika ia disengat lebih dari seratus sengatan ular, ia bertahan merasakan sengatan itu, tidak gelisah, tidak bangun dari tempatnya bahkan tidak bergerak sedikitpun. Rafidhi: Allah swt berfirman:

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Ayat tersebut turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib ketika ia sedang ruku', ia memberikan cincinnya sebagai sedekah. Dan Rasulullah saw bersabda:

(segala puji bagi Allah yang telah menjadikan pahala sedekah itu untuknya dan untuk keluarganya). Imam Ja'far: Ayat yang turun sebelumnya pada surah tersebut mempunyai keutamaan yang lebih besar lagi. Allah swt berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. Yang dimaksud di atas adalah murtad setelah Rasulullah saw wafat. Sebagian orang Arab murtad dan tidak mau menyerahkan zakat setelah Rasulullah wafat. Kaum kafir tersebut berkumpul di Nahawan dan berkata: Orang yang yang telah menyebarkan agama Allah telah meninggal. Sehingga Umar bin Khottob berkata kepada Abubakar: 'Terimalah sholat mereka, tinggalkanlah zakat mereka'. Abubakar berkata: 'Jika saja mereka menolakku untuk mengambil zakat mereka walaupun sekedar tali leher onta sebagaimana pernah diperintahkan oleh Rasulullah saw, maka akan aku perangi mereka, sekalipun mereka semua berkumpul melawanku, tetap akan aku perangi sendirian'. Ayat tersebut menunjukkan bahwa Abubakar lebih utama. Rafidhi: Sesungguhnya Allah saw telah berfirman:

43

Orang-orang yang menginfaqkan hartanya pada waktu malam dan siang Dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan. Ayat tersebut turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib yang menginfaqkan hartanya sebesar empat dinar. Beliau menginfaqkan satu dinar pada malam hari, satu dinar pada siang hari, satu dinar dengan cara rahasia dan satu dinar lagi beliau infaqkan dengan terang-terangan. Imam Ja'far: Abu Bakar Shiddiq lebih utama lagi dari peristiwa tersebut. Alquran menggambarkan beberapa ayat yang turun berkenaan dengan Abu Bakar Shiddiq. Allah swt berfirman:

, , (Abubakar), , ,

, , ,

,
(Abubakar)

,
(Abubakar)

(Abubakar)

Abubakar Shiddiq telah menginfaqkan hartanya kepada Rasulullah saw sebesar empar puluh ribu dinar hingga ia menjadi orang yang fakir. Maka Malaikat Jibril pun diutus Allah swt untuk bertemu Nabi saw, dan berkata: 'Sesungguhnya Allah swt menyampaikan salam kepadamu'. Kemudian Jibril berkata: 'Sampaikan salamku kepada Abu Bakar. Dan tanyakan kepadanya, apakah engkau (wahai Abubakar) ridho atas kefakiranmu ini ataukah tidak? Abu bakar menjawab: Apakah aku pantas tidak ridho kepada Allah swt? Sesungguhnya saya sangat ridho! (diucapkan tiga kali). Dan Allah akan memenuhi janji kepada orang yang diridhoi-Nya. Rafidhi: Akan tetapi Allah swt berfirman berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib:

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus masjidil haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Imam Ja'far: Begitu pula dengan ayat alquran yang turun berkenaan dengan Abubakar. Allah swt berfirman:

Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Haddid: 10) Sesungguhnya Abubakar adalah orang pertama yang menginfaqkan hartanya kepada Rasulullah saw, pertama kali yang berjihad bersama Rasulullah saw. Ketika orang-orang musyrik datang menganiaya Nabi saw hingga berdarah di Makkah, berita tersebut terdengar oleh Abubakar, segera beliau mendatangi Nabi saw dan seraya berkata kepada kaum musyrikin: 'Celakalah kamu, apakah kamu sekalian ingin membunuh seorang yang berkata Allah swt adalah Tuhannya di mana kebenaran itu telah datang kepadamu melalui Tuhanmu?' Maka kaum musyrikin tersebut meninggalkan Nabi saw dan membawa Abubakar serta memukulnya hingga tidak terlihat jelas hidung di wajahnya ( karena tertutup oleh darah akibat pukulan kaum musyrikin). Abubakar adalah orang yang pertama berjihad di jalan Allah swt. Orang yang pertama berperang bersama Rasulullah saw, orang yang pertama menginfaqkan hartanya, sehingga Rasulullah saw bersabda: 'Tidaklah bermanfaat bagiku suatu harta sebagaimana harta Abubakar'. Rafidhi: Akan tetapi Ali bin Abi Thalib tidak pernah menyekutukan Allah swt sekejap matapun. Imam Ja'far: Sesungguhnya Allah swt telah memuji kepada Abubakar dengan berbagai macam pujian. Allah swt berfirman pada surat al-Zumar 33:
(Rasulullah saw)

(Abubakar)

Ketika kaum musyrikin saat itu berkata kepada Nabi saw:

44

'engkau adalah seorang pendusta' , tetapi Abubakar berkata kepada Nabi saw: 'engkau adalah seorang yang benar'. Maka turunlah ayat ini yang merupakan ayat tashdiq (pembenaran) yang khusus ditujukan kepada seorang yang taqwa, suci, ridho dan diridhoi, dan menunaikan segala amanah. Rafidhi: Akan tetapi cinta kepada Ali bin Abi Thalib diwajibkan dan hal itu terdapat dalam kitabullah. Allah swt berfirman dalam surat al-Syura ayat 23:

Tidaklah aku minta kepada kalian, kecuali kecintaan kalian kepada keluargaku. Imam Ja'far: Begitu pula dengan Abubakar. Allah swt berfirman dalam surat al-Hasyr 10:

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor),mereka berdoa: 'Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau maha penyantun lagi maha penyayang. Abubakar termasuk orang-orang terdahulu dalam beriman, maka istighfar baginya adalah wajib, cinta kepadanya adalah wajib, dan benci kepadanya adalah suatu perbuatan kufur. Rafidhi: Nabi saw bersabda:

Hasan dan Husein adalah penghulu pemuda ahli surga, dan ayahnya lebih baik dari keduanya. Imam Ja'far: Abubakar mempunyai kedudukan yang lebih utama dari yang demikian itu, sebagaimana ayahku meriwayatkan kepadaku dari kakekku dari Ali bin Abi Thalib: "Ketika aku bersama Nabi saw dan tidak ada orang selain diriku, datanglah Abubakar dan Umar, maka Nabi saw berkata:

'Wahai Ali kedua orang ini adalah penghulu orang dewasa dan pemuda penghuni surga, janganlah engkau beritahukan kabar ini selama keduanya masih hidup'. Maka tidak aku beritahukan hal itu kepada salah seorang pun hingga mereka berdua meninggal dunia. Rafidhi: Mana yang lebih utama, Fathimah binti Rasulullah saw atau Aisyah binti Abubakar Shiddiq? Imam Ja'far:

). (

, )

),(

Saya bertanya kepada anda mana yang lebih utama Yasin atau Haa miim? Berdasarkan hal itu mana yang lebih utama Fathimah binti Nabi saw atau Aisyah binti Abubakar Shiddiq, bacalah alquran?! Aisyah binti Abubakar Shiddiq bersama Rasulullah saw di surga, dan Fathimah binti Nabi saw adalah penghulu kaum wanita penghuni surga. Allah swt melaknat hambanya yang mencemarkan kehormatan isteri Rasulullah saw serta membinasakan hambanya yang membenci Fathimah binti Rasulullah saw. Rafidhi: Aisyah telah membunuh Ali bin Abi Thalib, padahal ia adalah isteri Rasulullah saw. Imam Ja'far: Sungguh celaka engkau! Allah swt berfirman (Al-Ahzab 53):

Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah. Rafidhi: Abubakar, Umar, Usman dan Ali, apakah kekhalifahan mereka terdapat dalam alquran? Imam Ja'far: Ya, bahkan dalam kitab Taurat dan Injil. Allah swt berfirman:

Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi dan Dia yang meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat.

45

Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan menjadikanmu (manusia) sebagai khalifah di muka bumi?

Dan Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka khalifah (berkuasa) di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka khalifah (berkuasa), dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoi-Nya untuk mereka. Rafidhi: Wahai anak Rasulullah, di mana dalam kitab Taurat dan Injil yang menceritakan kekhalifahan mereka? Imam Ja'far: Allah swt berfirman:

(Abubakar) (Usman)

, ,

(Umar) (Ali)

,
(para sahabat Nabi saw)

, ,

Apa makna yang terdapat dalam Taurat dan Injil tersebut? Yaitu: Muhammad adalah seorang Rasul dan khalifahnya sesudahnya Abubakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib. Tampak wajah Rafidhi itu belum dapat menerima penjelasan Imam Ja'far, maka beliau berkata: 'Celakalah engkau! Allah swt berfirman:

(Abubakar) (Usman)

(Umar)

(Ali bin Abi Thalib) (para sahabat Rasulullah saw)

Rafidhi: Wahai anak Rasulullah, apakah hal ini terdapat dalam alquran? Imam Ja'far: Ya. Allah swt berfirman:

(Abubakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib)

Rafidhi: Wahai anak Rasulullah, Apakah Allah swt akan menerima taubatku yang telah membedakan keutamaan antara Abubakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib? Imam Ja'far: Ya, pintu taubat selalu terbuka, maka perbanyaklah istighfar bagi mereka. Jika engkau selalu membeda-bedakan di antara mereka, maka engkau akan meninggal bukan dalam kesucian Islam, dan kebaikan engkau seperti amalan para orang-orang kafir yang tidak bermanfaat. Setelah peristiwa dialog itu, Rafidhi tersebut bertaubat.

46

Anda mungkin juga menyukai