Anda di halaman 1dari 5

TASAWUF PERENNIAL, KEARIFAN KRITIS KAUM

SUFI MENYIBAK HAKIKAT KEAGAMAAN

Ditulis pada April 13, 2008 oleh SufiMuda

(Ahmad Risdianto,ST)
Pengantar
Perennial adalah kebijaksanaan abadi, hikmah abadi atau dapat disebut dengan hakikat
abadi. Terma ini karena mengandung makna yang mengkerucut sebagai kebajikan yang banyak
ingin dicapai oleh manusia, oleh agama, maka dia mengejawantah dan menjelma menjadi sebuah
aliran yang banyak digeluti dan diminati oleh para pemikir. Karena digeluti oleh para pemikir
yang tentunya punya kerangka dan metodologi tertentu yang logic, rasional, empiris maka
terbawalah perennial ini menjadi berpadan dengan filsafat, karena filsafat sendiri adalah sebuah
kerangka atau metodologi berfikir yang logis, sistematis, empiris dan radix, yang membicarakan
sebuah persoalan secara radikal (sampai keakar) sebuah permasalahan.

Filsafat Perennial cenderung dipengaruhi oleh nuansa spiritual yang kental. Hal ini
disebabkan oleh tema yang diusungnya, yaitu “Hikmah keabadian” yang hanya bermakna dan
mempunyai kekuatan ketika ianya dibicarakan oleh agama. Makanya tidak mengherankan baik
di barat maupun Islam, bahwa lahirnya filsafat perennial adalah hasil telaah kritis para filosof
yang sufi (Mistis) dan sufi (mistis) yang filosof pada zamannya. Filsafat perennial telah ada sejak
kemunculan agama, yang mengandung banyak sekali kebajikan.

Perennial lahir oleh perpaduan antara Filsafat sebagai sebuah metodologi berfikir dengan
mistisisme sebagai Spiritual Experience yang penuh hikmah dan ketersingkapan. Dalam Hikmah
abadi, - yang dalam terminologi bahasa Arab disebut al-hikmah al-atiqah -, memberikan
gambaran bahwa dimensi spiritual dalam agama adalah sesuatu yang sangat penting karena
Spiritualitas yang berdimensi pada empati dan kasih sayang adalah jantung agama dan jantung
agama adalah dimensi esoterik (qalb/batini) yang mencerminkan kasih sayang TUHAN, yang
memungkinkan manusia meninggalkan sifat egoisme, kerakusan, kekerasan, dan
ketidaksantunan. [i]
Aldous Huxley dalam bukunya The Perennial Philosophy menjelaskan bahwa yang
pertama sekali menggunakan Frase “Perennial Philosophy” adalah Leibniz, walaupun pada
hakikatnya telah ada sejak dulu kala. Berkat Huxleylah Filsafat Perennial menjadi terkenal di
Barat. Tetapi, bagi Seyyed Hossen Nasr – yang juga seorang tokoh filsafat perennial- sebagai
sebuah mazhab filsafat dan mistisime, menjadi terkenal dan terus diperbincangkan sampai hari
ini dikalangan Barat dan Islam adalah berkat kerja keras para pionirnya yang disebut Seyyed
sebagi the Master (Para Guru) yaitu Rene Guenon, Ananda Coomaraswamy dan Fritjof Schuon.
[ii]
Tentang filsafat perenial atau Hikmah Abadi, Huxley menjelaskan: “Prinsip-prinsip dasar
Hikmah Abadi dapat ditemukan diantara legenda dan mitos kuno yang berkembang dalam
masyarakat primitif di seluruh penjuru dunia. Suatu versi dari Kesamaan Tertinggi dalam teologi-
teologi, dulu dan kini, ini pertama kali ditulis lebih dari dua puluh lima abad yang lalu, dan sejak
itu tema yang tak pernah bisa tuntas ini dibahas terus-menerus, dari sudut pandang setiap tradisi
agama dan dalam semua bahasan utama Asia dan Eropa.”
Jadi, jelas, bahwa tema utama Hikmah Abadi adalah ‘hakikat esoterik’ yang abadi yang
merupakan asas dan esensi segala sesuatu yang wujud dan yang terekspresikan dalam
bentuk ‘hakikat-hakikat.[iii]
Hikmah abadi kalau kita telusuri secara mendalam akan berujung dan berpangkal pada
Yang Maha Transenden dan IaNya adalah TUHAN. Disinilah segala Keabadian berawal dan
berpuncak karena segala keabadian adalah TUHAN itu sendiri. Pengetahuan ini hanya dapat
diperoleh melalui jalan spiritual sebagai ilmu yang utama diantara ilmu-ilmu lain. Seperti
dikatakan Guenon bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu yang
lain harus dicapai juga, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan
ilmu spiritual. Menurut Guénon, substansi dari ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan
transenden (TUHAN).[iv]
Nurcholish Madjid mengatakan bahwa manusia menurut fitrahnya adalah makhluk
agama. Sifat itu berpangkal dari naluri alamiahnya untuk menyembah atau mengabdi kepada
suatu objek atau wujud yang dipandangnya lebih tinggi daripada dirinya sendiri atau
menguasai dirinya. Dan naluri ini sesungguhnya merupakan penyaluran dari dorongan
yang jauh dibawah sadarnya yang mendalam, yaitu dorongan gerak kembali kepada
Tuhan akibat adanya perjanjian primordial dengan penciptanya itu di alam ruhani. Inilah
hakikat filsafat perennial sebenarnya.[v]

Wujud nyata pengaruh pengalaman spiritual manusia yang amat jauh dibawah sadar itu
ialah dorongan batin yang amat kuat untuk menyembah. Dalam diri mnusia ada kerinduan yang
besar sekali untuk kembali kepada Tuhan, memenuhi janjinya dalam kalimat persaksian tersebut
tadi, inilah – sekali lagi - hakikat dari filsafat perennial yaitu dorongan untuk beragama.
Sehingga membendung dorongan itu ialah pekerjaan melawan alam atau natur manusia, maka
tidak akan berhasil. Contohnya ialah eksperimen komunisme yang kini terbukti gagal.

Karena dorongan itu tidak dapat dibendung, ia akan mencari saluran mana saja. Jika tidak
tersalurkan dengan baik, dorongan itu akan muncul dalam bentuk-bentuk amalan dan praktik
penyembahan yang merugikan diri manusia sendiri. Menurut rancangan Ilahi, manusia adalah
puncak ciptaan Tuhan, makhluk yang paling mulia. Karenanya manusia janganlah sampai
melakukan sesuatu yang mengurangi harkat dan martabatnya sebagai makhluk yang paling mulia
itu, dengan tidak tunduk atau menyembah kepada apapun selain Allah, Tuhan yang Maha Esa
saja.[vi]

Tasawuf Perennial vis a vis Filsafat Perennial

Salah satu saluran yang penting untuk mengapresiasikan dan mengamalkan segala bentuk
penyembahan atau pengabdian atas wujud yang dirasa lebih dari diri manusia yaitu Tuhan
sebagaimana tujuan dari Filsafat Perennial adalah Tasawuf. Dalam Islam, tasawuf adalah praktek
keagamaan yang penuh dimensi esoterik, hikmah-hikmah abadi agama hanya akan tersingkap
melalui jalan ini. Sedangkan jalan Syari’at adalah jalan yang penuh eksoterik (tampilan luar,
Formalitas, kulit) yang tidak akan pernah bisa menjangkau hikmah dan tujuan abadi agama,
apalagi dalam fenomena ketersingkapan.

Kautsar Azhari Noer mendefinisikan bahwa tasawuf perennial adalah Tasawuf yang
ideal, tasawuf mistis, tasawuf yang benar-benar tasawuf, tasawuf sufi, tasawuf yang bersumber
dari al-Quran dan sunnah, yaitu tasawuf sebagai jalan spiritual menuju Allah, berintikan akhlak
mulia, mendekatkan manusia pada Allah, tetap setia pada Syari’at, menekankan keseimbangan
antara aspek-aspek lahiriah dan batiniah, material dan spiritual, duniawi dan ukhrawi, berpihak
pada orang-orang lemah dan tertindas..[vii]

Tasawuf adalah dimensi spiritual tertinggi dalam Islam. Spiritualitas adalah sunnatullah dan
hukum alam yang tidak bisa dilawan, dia berasal dari sesuatu yang ada (maujud) untuk mengenal
dan mengetahui yang maujud itu. Yang selalu membicarakan yang Suci (The Secred), Yang satu
(The One). Seperti distingsi (pembagian) filsafat yang dilakukan Huston Smith, yang membagi
filsafat kepada dua tradisi besar yang sangat kontras, yaitu “filsafat tradisional” dan filsafat
modern. Dimana filsafat tradisional yang lebih terkenal dengan “the perennial philosophy”
adalah filsafat yang selalu membicarkan yang suci dan yang satu dalam seluruh manifestasinya,
seperti dalam agama, filsafat, sains dan seni. Sedangkan filsafat modern, justru sebaliknya, yaitu
membersihkan “Yang Suci” dan “Yang Satu” dari alam pemikiran agama, filsafat, sains dan seni,
sehingga keeempat alam tersebut telah benar-benar dikosongkan dari “Yang Suci” atau
dilepaskan dari kesadaran terhadap “Yang Satu”. [viii]

Berdasarkan pembagian Huston Smith diatas, maka jelaslah dimana urgensitas tasawuf itu
sebenarnya. Disinilah letak ketinggian tasawuf bahkan dari Filsafat tradisional sekalipun. Karena
selalu membicarakan Yang Satu, Yang Suci tanpa ada sebuah praktik, metode dan jalan
adalah sesuatu yang belum final, sehingga perlu ada kelanjutan dan finalisasi dari itu semua
dan itu adalah tasawuf. “The Perennial” yang sebenarnya ada dalam tasawuf, bukan dalam
filsafat, karena dalam tasawuf punya metodologi yang jelas, terarah untuk tidak hanya
membicaran, tetapi juga mengenal secara realitas,Logis dan empiris “Yang Suci” dan “Yang
Satu” dan selalu berada bersama “Yang Satu” dan “Yang Suci” dalam segala masa, konteks,
ruang dan waktu. Bukankah metodologi mengenal dan menciantai “Yang Satu” dan “Yang
Suci” dalam tasawuf telah memenuhi syarat-syarat sebuah pengetahuan modern ?.

Tasawuf dengan para sufi sabagai pionernya adalah golongan-golongan yang kritis dan berjasa
dalam menyibak hakikat-hakikat kegamaan untuk mencerahkan umat. Betapa banyak orang yang
tekun menjalankan perintah-perintah agama, akan tetapi tanpa tahu apa maknna hakikat dari
ibadah yang dilaksanakan, hanya golongan sufilah yang bisa menjelaskan ini dan hanya dengan
jalan sufi yang terorganisasikan dalam thariqat yang mampu memuaskan dahaga pengetahuan
umat yang ingin mengetahui dan mengenal Tuhan sebagi “Yang Punya” segala hakikat, kalau
sudah kenal dengan “Yang Punya” segala hakikat, otomatis akan mengetahui segala
hakikat keagamaan. Ini adalah hukum logis, “dekat dengan api pasti panas” , kalau tidak panas
bukan api “dekat dengan es pasti dingin”, kalau tidak dingin bukan es.

Ilmu tasawuf adalah ilmu yang sepadan dan menjangkau segala jenis ilmu, mulai dari yang
social sampai dengan yang eksact. Karena Islam itu adalah Ilmu dan amal, memadukan
kecerdasan akal dengan kepekaan hati. Dan sufi bukanlah orang yang meninggalkan
dunia, tetapi mereka ingin mengguncangkannya, mereka tidak menghindari masalah,
tetapi menyonsong dan menyelesaikannya. Mereka tidak membenci rasio, mereka malah
meningkatkan dan memperluas kemampuan rasio. [ix]

[i]. Azyumardi Azra, Filsafat Perennial, Kolom Resonansi Harian Kompas ( 12 September 2006)
[ii] Adian Husiani, Hikmah Abadi: Apa Itu ? Catatan Akahir Pekan (CAP) www.Hidayatullah.Com ( 14
Oktober 2006)
[iii] Ibid
[iv] Ibid
[v]. Nurcholis Madjid, dalam Budhy Munawar Rahman : Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman, Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada, 2004, Kata Pengantar,… Hal. xv
[vi]. Ibid
[vii]. Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perennial. Kearifan Kritis Kaum Sufi,Penerbit PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2003, hal. 13
[viii] Budhi Munawar Rahman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Penerbit : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004, hal 103
[ix] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, ceramah-ceramah di kampus, Penerbit : Mizan, 20004, Hal. 99

Anda mungkin juga menyukai