Anda di halaman 1dari 13

SYETAN PUN HAPAL AYAT KURSI

Ditulis pada Nopember 13, 2008 oleh SufiMuda


Kita semua meyakini bahwa ayat kursi apabila dibaca maka syetan lari terbirit-
birit berdasarkan beberapa hadist dan riwayat namun tidak semua orang mau
me-riset apakah benar syetan itu lari ketika dibacakan ayat Kursi? Dan apakah
ayat Kursi yang kita bacakan sudah memenuhi persyaratan yang diperlukan agar
setan bisa hilang? Tentu pertanyaan ini tidak harus dijawab namun
yang lebih penting tahukah anda bahwa syetan pun hapal ayat Kursi?
Lho kok bisa?!
ini bukan cerita khayalan akan tetapi memang fakta yang terjadi di zaman nabi
berikut kisahnya:
Abu Hurairah RA bercerita : Suatu hari Rasulullah SAW menugaskanku untuk
menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki
melihat-lihat makanan dan langsung mengambilnya. Aku lalu menegurnya,
“Jangan dulu mengambil, sebelum kusampaikan tentangmu kepada Rasulullah”.
Laki-laki itu menjawab, “Aku sudah berkeluarga dan saat ini betul-betul
membutuhkan makanan untuk mereka”. Mendengar itu aku akhirnya
mengizinkan dia mengambil makanan itu.
Ketika pagi tiba, Rasulullah bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang kau
lakukan kemarin?”
Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, seorang laki-laki mengadukan kesusahan
keluarganya dan dia memohon harta zakat pada saat itu juga, lalu aku
persilahkan dia mengambilnya”.
Rasulullah SAW bersabda kembali, “Dia telah mengelabuimu, wahai Abu
Hurairah, dan besok akan kembali lagi”.
Karena tahu dia akan kembali lagi, keesokan harinya aku mengawasi secara teliti
dan ternyata betul apa yang disampikan Rasulullah, dia telah berada di ruang
harta zakat sambil memilih-milih harta zakat yang terkumpul lalu ia
mengambilnya.
Melihat itu, aku berkata kembali, “Jangan kau ambil dulu harta itu sampai ada
izin dari Rasulullah SAW”.
Laki-laki itu menjawab, “Aku betul-betul sangat membutuhkan makanan itu
sekarang, keluargaku kini sedang menunggu menahan lapar. Aku berjanji tidak
akan kembali lagi esok hari.” Mendengar itu, aku merasa kasihan dan akhirnya
aku persilahkan kembali dia mengambil harta zakat.
Keesokan harinya Rasulullah bertanya kembali, “Apa yang kau lakukan kemarin,
wahai Abu Hurairah?”
Aku menjawab, “Orang kemarin datang lagi dan meminta harta zakat. Karena
keluarganya sudah lama menunggu kelaparan, akhirnya aku kembali
mengizinkan dia mengambil harta zakat tersebut.”
Mendengar itu, Rasul bersabda kembali, “Dia telah membohongimu dan besok
akan kembali untuk yang ke tiga kalinya.”
Besoknya ternyata laki-laki itu kembali lagi. Seperti biasanya, dia mengambil
harta zakat yang telah terkumpul di dalam gudang. Melihat itu, kembali aku
menegur, “Janan mengambil dahulu, aku akan memohon izin kepada Rasulullah
SAW terlebih dahulu. Bukankah kau berjanji tidak akan kembali lagi, tapi kenapa
kini kembali juga?”
Laki-laki itu menjawab, “Izinkanlah untuk terakhir kalinya aku mengambil harta
zakat ini dan sebagai imbalan aku akan ajarkan kepadamu sebuah kalimat yang
apabila kamu membacanya, Allah akan selalu menjagamu dank au tidak akan
disentuh dan didekati oleh setan sehingga pagi hari”.
Aku tertarik dengan ucapannya. Aku pun menanyakan kalmat apa itu. Dia
menjawab, “Apabila kau hendak tidur, jangan lupa membaca Ayat Kursi
terlebih dahulu karena dengannya Allah akan menjagamu dan kau tidak akan
didekati setan hingga pagi tiba.” Kali inipun aku mengizinkannya mengambil
harta zakat.
Keesokan harinya Rasulullah kembali menanyakan apa yang telah kulakukan
kemarin dan kukatakan, “Ya Rasulullah, aku terpaksa membolehkannya kembali
mengambil harta zakat setelah dia mengajarkanku kalimat yang sangat
bermanfaat dan berfaedah.”
Rasul bertanya, “kalimat apa yang diajarkannya?”
Aku menjawab bahwa dia mengajarkan ayat Kursi dari awal sampai akhir dan dia
katakana bahwa kalau aku membacanya Allah akan menjagaku sampai pagi hari.
Rasulullah SAW lalu bersabda,”Kini apa yang dia sampaikan memang betul
namun tetap saja dia sudah berhasil mengelabuimu dengan mengambil harta
zakat. Tahukah kau siapa laki yang mendatangimu tiga kali itu?”
Aku menjawab, “Tidak, aku tidak tahu”
Rasulullah SAW kembali bersabda, “Ketahuilah, dia itu setan.” (HR. Bukhari)

SYETAN PUN HAPAL AYAT KURSI (bag. 2)


Ditulis pada Nopember 17, 2008 oleh SufiMuda
Berbicara tentang syetan memang tidak akan habis-habisnya karena memang
dari zaman Nabi Adam sampai sekarang syetan selalu menjadi simbol
perlawanan bagi manusia terhadap kejahatan. Kalau malaikat merupakan simbol
kebaikan maka sebaliknya syetan merupakan symbol kejahatan. Kalau menyimak
pengalaman salah seorang sahabat Nabi bernama Abu Hurairah yang diperdaya
oleh syetan yang berwujud manusia seperti yang diceritakan dalam tulisan
Syetan pun Bisa Hapal Ayat Kursi, padahal Abu Hurairah itu sedang
menjalankan perintah Nabi yaitu menjaga harta zakat sudah pasti merupakan
bagian dari ibadah lalu bagaimana dengan kita yang hidup di zaman 1400 tahun
setelah Nabi, tentu akan lebih mudah lagi diperdaya. Pernahkah kita berfikir
jangan-jangan kita telah berulang kali berhubungan dengan syetan tanpa kita
sadari atau bisa jadi syetan telah lama bersemayam dalam diri kita juga tanpa
kita sadari.
Pepatah lama mengatakan, “Jari telunjuk lurus jari kelingking berkait”, saya lupa
persis pepatah tersebut kalau salah kata-katanya tolong dikoreksi, inti nya kita
sering kali dengan mudah menuduh orang lain berbuat salah karena sifat dasar
manusia itu tidak mau disalahkan, jarang sekali manusia mau mengoreksi diri
sendiri, memperbaiki kesalahannya. Tidak ada manusia yang mengatakan,
“Dalam diri saya masih banyak Syetannya ” pasti dengan mudah kata-
kata yang di ucapkan adalah, “kamu itu syetan” atau “kamu penyembah
syetan” dan lain-lain kata yang tidak mengenakkan. Seperti hal nya seseorang
yang telah mengirim email kepada saya, mula-mula berkenalan, namun setelah
mengetahui bahwa antara saya dengan dia berbeda Mursyid dengan serta merta
dia menasehati menuduh saya, “hati-hati anda disesatkan oleh Iblis”.
Saya mengucapkan terimakasih karena telah mengingatkan saya, mudah-
mudahan atas do’a dan kasih sayang Guru saya yang terus menerus
membimbing dan menuntun saya semoga Allah akan selalu menjagakan hati
yang lemah ini agar tetap lurus dan tidak tersesat. Kalau yang menulis email
kepada saya membaca tulisan ini semoga juga akan terbuka hati nya bahwa di
dunia ini Mursyid tidak harus satu dan kita tidak mungkin memaksakan seluruh
manusia untuk ber Mursyid kepada satu orang karena begitu banyak nya
manusia yang ada dimuka bumi ini. Diperlukan kearifan dan kebijaksanaan
kepada kita semua untuk bisa menerima perbedaan, baik dikalangan sesama
pengamal Tarekat maupun diluar Tarekat demi memperkuat tali persaudaraan
sesama muslim sebagai mana yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW.
Sufi Muda hadir bukan untuk mengatakan bahwa Mursyid saya yang paling
benar dan Mursyid lain salah. Sufi Muda hadir sebagai jembatan penghubung
diantara sesama pengamal tasawuf, sesama pengamal Tarekat, sebagai media
untuk bisa saling tukar pikiran dan mudah-mudahan bisa saling berbagi kasih
sayang yang merupakan ajaran pokok tasawuf yaitu cinta kepada Allah dan cinta
kepada sesama makhluk-Nya. Kalau pun saya mengatakan bahwa Guru saya
adalah hebat itu merupakan hal yang wajar, sudah pasti setiap murid akan
membanggakan Guru nya dan itu merupakan salah satu Adab dalam Tarekat.
Yang selalu saya hindari adalah mengatakan Guru Mursyid lain itu salah dan
sesat karena itu bukan hak saya. Guru saya selalu berpesan bahwa, “ jangan
sekali-kali kamu mencaci seorang wali karena itu sama dengan
minum racun, niscaya kau akan mati pelan-pelan dan tidak akan
beruntung dunia dan akhirat”. Nasehat itu selalu melekat dalam diri saya,
karena itu saya berusaha untuk tidak menjelek-kelakkan Tarekat lain apalagi
menjelek-jelakkan Guru Mursyid nya. Saya masih ingat cerita Guru saya saat
Beliau masih ber Guru, suatu hari Beliau melaporkan kepada Guru nya bahwa
ada orang yang ingin belajar Tarekat akan tetapi Guru Beliau tidak mau
menerima orang tersebut sebagai murid. Kemudian Guru saya memberanikan
diri untuk bertanya kepada Gurunya, “ Guru, kenapa dia tidak diterima
menjadi murid?” Kemudian Guru Beliau menjawab, “Anakku, dia tidak
mungkin bisa menjadi murid wali karena dulu kakeknya adalah
orang yang pernah mencaci seorang wali bahkan memusuhinya ”.
Kembali ke masalah syetan, kalau syetan bisa masuk kedalam diri manusia dan
menyerupai persis seperti manusia tentu syetan juga akan bisa masuk ke dalam
air, tanah, pohon, api dan lain-lain, seluruh benda bisa dimasuki dan diserupai
oleh syetan. Kalau begitu tidak menutup kemungkinan syetan bisa masuk ke
dalam sajadah kita, peci yang kita pakai untuk shalat, kain sarung dan baju, lalu
bagaimana kita bisa tahu ada unsur syetan di dalam nya, apa alat pengukur kita?
Disinilah perlunya ilmu Kerohanian yang dikenal dengan Tarekat, karena dengan
ilmu syariat tidak akan bisa menyelesaikan problem tersebut. Untuk bisa
mendeteksi syetan tentu syarat utama adalah dalam diri kita harus tidak ada
unsur syetannya. Bagaimana cara membersihkan unsur syetan dalam diri kita?
Bisakah kita sendiri membersihkanya?.
Sayang nya kita tidak bisa membersihkan unsur-unsur syetan yang mengendap-
endap dalam dada kita yang sudah ada sejak lahir. Syetan dalam diri kita hanya
bisa dihilangkan oleh dimensi yang lebih tinggi yaitu Nur Allah. Dengan Nur
Allah tersebut maka segala unsur kejahatan dalam diri kita yang di istilahkan
sebagai syetan akan lenyap dan hilang. Dari mana kita bisa mendapatkan Nur
Allah sebagai unsur tak terhingga tersebut? Nur Allah dititipkan kedalam diri
Rasulullah SAW yang kemudian dikenal dengan Nur Muhammad yang kemudian
diteruskan kepada sekalian Para Sahabat dan diteruskan oleh para Aulia Allah
para Guru Mursyid yang membawa wasilah berupa Nur Allah dan kemudian
disalurkan juga ke dalam dada kita sehingga dengan itulah maka segala unsur
kejahatan dalam diri kita akan hilang. Begitu pentingnya ber-wasilah sehingga
Allah mewajibkan kepada orang-orang yang beriman untuk mencarinya sebagai
mana firman Allah SWt dalam surat al-Maidah, 35 :
“Hai Orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
carilah Wasilah (Jalan, metode, frekwensi yang bisa mendekatkan
diri kepada-Nya), dan bersungguh-sungguh lah pada jalan-Nya,
supaya kamu mendapat kemenangan/sukses.”
Kalau dalam diri kita masih banyak unsur syetan nya bagaimana mungkin kita
bisa menghilangkan syetan yang ada diluar kita, ibarat sebuah komputer yang
ber virus tentu tidak akan bisa membersihkan virus, mesti ada program anti virus
diluar komputer tersebut yang akan membersihkannya. Kalau dalam diri kita
belum dihilangkan unsur-unsur jin sebagaimana yang disebutkan dalam Surat
An Naas lalu kita merasa bisa menghilangkan jin diluar kita, mengusir jin di
pohon, pemburu hantu dan lain-lain bukankah itu sama dengan iklan yang ada di
TV, “Masa Jeruk Minum Jeruk?” “Masa Jin ngusir Jin?” he he he.
Ada baiknya kita menfokuskan diri untuk menghilangkan syetan yang ada dalam
diri kita daripada kita sibuk mengurus syetan di luar diri kita. Karena yang bisa
menghilangkan syetan itu hanya Nur Allah yang otomatis bagian dari Allah maka
yang harus kita cari adalah wasilah yang bisa menghubungkan diri kita dengan
Allah agar Nur Allah tersebut bisa tersalur kedalam diri kita. Seluruh wajah
manusia bisa ditiru syetan kecuali wajah Rasulullah SAW dan wajah
para Guru Mursyid yang dalam dirinya ada Nur Allah . Dengan demikian
kalau ingin dada anda dibersihkan dari unsur syetan maka nya carilah Guru
Mursyid yang akan menyinari dada anda dengan Nur Ilahi dengan demikian
ketika Nur itu terus menerus ber tajalli dalam diri anda secara otomatis syetan
tidak akan betah disana. Setelah dada anda terisi dengan Nur Allah, maka secara
otomatis rohani anda akan terbawa ke alam yang disekelilingnya hanya ada satu
unsur yaitu Nur Allah, itulah Alam Rabbani dimana seorang hamba akan
begitu dekat dengan Tuhannya. Semoga Allah Yang Maha Rahman dan Maha
Rahim berkenan membimbing kita untuk bisa sampai kepada-Nya, Amien Ya
Rabbal ‘Alamin.

Sufi Kota Mencari Tuhan


Ditulis pada Oktober 11, 2008 oleh SufiMuda

NAMANYA Rumi Cafe. Berlokasi di Jalan Iskandarsyah yang mengarah ke


Kemang, kawasan elite di Jakarta Selatan, ia diharapkan menjadi tempat
hangout terbaru untuk kaum belia Ibu Kota. ”Saya berniat menjerat anak muda
masuk surga,” kata Arief Hamdani, Presiden Haqqani Sufi Institute of Indonesia,
sembari tertawa.
Rumi Cafe memang bukan seperti kafe biasa. Tempat ini tidak menyediakan
minuman beralkohol. Namun nuansa tenang dan damai langsung menyapa siapa
saja yang datang. Hot spot ini digadang-gadang Arief sebagai tempat bertemu,
berdiskusi, sekaligus menikmati sema atau whirling dervishes, tarian sufi yang
berputar-putar itu, yang diperkenalkan Jalaluddin Rumi, sufi agung abad ke-13.
Kafe kaum spiritualis ini menempati sebuah rumah toko berlantai dua. Dinding
interiornya dicat abu-abu tua. Sejumlah buku dan foto tokoh sufi, termasuk
Rumi, dipajang berjajar di etalase. Begitu hendak menaiki tangga, ups, ada
manekin pria berbusana whirling dengan topi khas, sorban, dan jubah hitam.
Setiap akhir pekan, di sini diperagakan tari whirling. ”Siapa pun yang terjebak
macet pasti ingin tahu sajian kami,” kata Arief.
Rumi, whirling, tasawuf? Inilah gejala sosial yang pada Ramadan ini kian marak:
sufi perkotaan. Tak usah berburu jauh-jauh ke Bagdad atau Istanbul untuk asyik-
masyuk dengan dunia kaum sufi yang menjanjikan kedamaian dan cinta ini.
Cukuplah nikmati cara baru berzikir dan ”mencari Tuhan” di Jakarta. Ini tentu
saja tak lepas dari gaya hidup para eksekutif, konsumen utama gejala urban ini.
Coba lihat di Padepokan Thaha atau Majelis Taklim Misykatul Anwar di Jalan
Senopati, Jakarta. Di situ, pekan lalu, Anand Krishna menyampaikan pikirannya
tentang sufisme dewasa ini. Di dalam ruangan 10 x 10 meter persegi yang penuh
pendengar serius, penulis puluhan buku spiritual itu berujar, ”Sufi harus berani
hadir ke pasar, ke market place.” Malam itu, Anand didaulat sebagai pembicara
tamu di Padepokan Thaha.
Ia membuka pembicaraan dengan pertanyaan yang memancing: mengapa kaum
sufi gagal membuat dunia semakin damai? Ya, Anand tidak lagi berbicara
tentang tasawuf sebagai jalan pembebasan individual, melainkan pembebasan
pada tingkat sosial politik. Ia berbicara tentang gerakan-gerakan yang kehilangan
toleransinya terhadap perbedaan pandangan di kota-kota besar, tentang langkah
mereka yang agresif, dan pentingnya kaum sufi bangkit dengan pesan damai.
Anand seolah berbicara kepada para penghuni kota besar yang bosan dengan
dugem, yang tidak sanggup melepaskan diri dari belitan masalahnya. Pengajian
itu tertuju pada para seeker yang tak kunjung menjumpai kebenaran di jalan-
jalan dan bangunan kota yang riuh rendah, atau yang sekadar menunggu redanya
lalu lintas macet. Semua digiring dan dihimpun pada malam-malam tertentu ke
sejumlah titik di Ibu Kota.
Mereka para profesional, para eksekutif, yang senantiasa ada di sekitar kita dan
tak mencolok mata. Berpakaian laiknya orang kantoran, dengan kemeja lengan
panjang dan pantalon gelap, seperti biasa, penampilan fisik mereka tak hendak
mewakili identitas kelompok pengajian—yang biasanya berpakaian serba putih,
baju koko, plus songkok putih pula.
Lihatlah Ahmad Rizal Tarigan, 39 tahun. Presiden Direktur PT Penta Manunggal
Mandiri ini rajin mengunjungi zawiyah (padepokan) tarekat Naqsabandiyah
Haqqani setiap Kamis malam. ”Dengan berzikir, kita mengendalikan ego,”
katanya. Rizal hanya berbaju batik, tidak berjanggut, dan tak ada simbol-simbol
tarekat, tulisan Allah ataupun Muhammad, pada mobil Nissan X-Trailnya.
Identitasnya sebagai pengikut tarekat Naqsabandiyah Haqqani baru ”terbongkar”
bila kita mengunjungi kantornya yang terletak di daerah elite Jalan Sudirman,
Jakarta, atau rumahnya di kawasan Kayu Putih, Pulomas. Foto yang sama
terpajang apik di dua tempat itu: foto ketika ia bersama Syekh Nazim Kabbani,
tokoh spiritual gerakan tarekat ini. Rizal memilih tarekat ”tradisional” di puncak
karier.
Tapi ada pula Saraswati Sastrosatomo, 36 tahun, Senior Council Chevron
Indonesia Company, yang masuk tarekat Qadiriyah di kawasan Ciawi, Bogor.
Alkisah, Saraswati, yang begitu mudah memperoleh segala yang diinginkannya
dari dunia profesional dan akademis, akhirnya suatu kali jatuh terduduk. ”Saya
pernah bekerja di lembaga bantuan hukum, law firm, hingga corporate. Sekolah
ke Amerika dan Belanda pun sudah saya jalani. Pokoknya, dunia bagi saya sudah
cukup. Lantas apa lagi?” tuturnya.
Perempuan yang menamatkan pendidikan S-1 di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan pendidikan pascasarjana di Universitas Leiden ini pun sudah
jenuh dengan jalan keluar selepas kerja: clubbing di klub malam Ebony,
Dragonfly, dan banyak lagi.
Enam tahun silam, ia mencoba sesuatu yang baru: bergabung dengan klub kajian
Paramadina dan kajian tasawuf Tazkiya. Dan rupanya itulah mukadimah dari
sesuatu yang hingga kini tak pernah lepas dari hidupnya. Ia melebur dalam
tarekat. Tiap akhir pekan kita bisa mendapati Saraswati bertafakur di padepokan
syekhnya. ”Saya butuh charge setelah Senin hingga Jumat berurusan dengan
dunia,” katanya. Di dinding apartemennya di Puri Casablanca, Kuningan,
Jakarta, terpampang sembilan potret idolanya, Wali Songo. Di samping mereka,
terdapat foto Syekh Abdul Qadir Jaelani dan Sunan Kalijaga.
Tarekat Naqsabandiyah Haqqani dan Qadiriyah sama-sama ”tradisional”.
Keduanya ditopang lima komponen dasar tarekat: mursyid (guru), murid, wirid,
tata tertib, dan tempat. Dua dasawarsa silam, masyarakat kota lebih bisa
menerima tasawuf kontemporer seperti yang ditawarkan Paramadina dan
Tazkiya ketimbang pola-pola pengajaran tradisional di pesantren, di desa-desa.
Baiat atau komitmen spiritual yang mengikat dan kemudian mengukuhkan
hubungan hierarkis mursyid-murid mungkin tak menarik bagi orang kota yang
demokratis. Uzlah alias mengundurkan diri dari dunia orang banyak justru
menumbuhkan waswas bahwa tasawuf sama saja dengan mengasingkan diri. Dan
zuhud atau asketisisme, pantangan terhadap kesenangan duniawi, tentu saja
terlalu jauh dari gaya hidup hedonis orang kota.
Kini dunia kita seakan berubah. Ungkapan tasawuf yes, tarekat no yang demikian
tepat mewakili periode itu seakan sudah berlalu. Dan mungkin tasawuf yes,
tarekat yes cukup mengena di hati orang kota.
Di Padepokan Thaha, setiap usai tausiyah, para murid langsung menyerbu sang
mursyid, Syekh Sayid Hidayat Muhammad Tasdiq, yang biasa dipanggil Kiai
Rahmat. Dalam suasana yang cair, masing-masing murid mengungkapkan rasa
takzim dengan mencium tangan guru yang karismatis dan berilmu itu. ”Beliau
mudah tune-nya,” kata Pardamean Harahap, salah seorang pengurus padepokan
itu, menjelaskan karakter sang guru yang komunikatif. Kamis malam itu, di
padepokan, Kiai Rahmat mengenakan baju hem putih tanpa dasi dengan balutan
jas biru dan celana biru. Ia memakai peci hitam dengan renda air emas di
sekeliling; suaranya ringan seperti beraksen Sunda, kulitnya agak gelap.
Bayang-bayang suram hubungan mursyid-murid yang menuntut kepatuhan total
sang murid sesungguhnya belum juga terbang jauh. Menurut Jalaluddin
Rakhmat, dosen komunikasi Universitas Padjadjaran yang ikut melahirkan
pengajian Tazkiya, kelompok pemujaan atau cult sering kali membungkus niat
buruknya dengan aksesori tasawuf. Lalu murid yang silau dengan penampilan
luar itu pun kerap menjadi korban penipuan. Memakai istilah sufi seperti hakikat
dan makrifat, sang guru menawarkan paket-paket instan yang tak masuk akal.
seperti ”bertemu Tuhan dalam seminggu”.
Namun coba bedakan dengan tarekat Akmaliyah. Tarekat yang berada di Kota
Malang ini mengambil jalan pintas: memangkas pendek hubungan mursyid-
murid yang sangat berat sebelah. Gerakan sufi yang meneruskan ajaran Syekh
Siti Jenar dan kemudian dipopulerkan oleh Sultan Hadiwijoyo (alias Joko
Tingkir, Raja Pajang) ini berangkat dari pemikiran tunggal: setiap manusia
berhak bertemu dengan Tuhannya.
Akmaliyah tak mengenal mursyid (guru) sebagaimana aliran tarekat lain,
melainkan sekadar sosok koordinator belaka. Lelakunya ringan, jumlah zikirnya
tak dibatasi bilangan, cukup disesuaikan dengan kemampuan. Tarekat ini juga
tidak mengenal tradisi pemondokan dan baiat. Setelah berdiskusi dengan
koordinator untuk meluruskan persepsi, jemaah bisa membaca wirid sendiri di
rumah.
Tasawuf perkotaan kontemporer selama dua dekade telah menyodorkan jalan
lebih ”aman”, tapi dengan pendekatan yang mengingatkan kita pada kursus body
language, bahasa Inggris tiga bulan lancar, dan sejenisnya. Ada pelatihan salat
khusyuk, lokakarya tiga jam untuk mengalami hakikat syahadat tanpa tarekat,
dan masih banyak lagi.
Instan memang. Bahkan, menurut Bambang Pranggono, dosen Fakultas Teknik
Universitas Islam Bandung, gejala ini memperlihatkan ”indikasi betapa
materialisme merasuk ke dalam semua sendi keislaman, ketika semua harus
dinilai dengan uang, dari syahadat, salat, hingga haji”—seperti tertulis dalam
makalahnya, ”Sufisme Perkotaan”, yang dibacakannya pekan lalu di Bandung.

DI sebuah hotel di Jalan Pelajar Pejuang, Bandung, anak-anak muda pengikut


pengajian tasawuf berkumpul untuk menyambut sesuatu yang besar: lailatul
qadar. Ritual yang berawal pada pukul 21.00 itu ditutup dengan doa Kumail (doa
khusus Nabi Khaidir), lalu Jausyan Kabir pada pukul 02.00, hanya beberapa saat
menjelang sahur.
Tasawuf, yang selama beratus tahun divonis sebagai sumber keterbelakangan,
kini memiliki citra yang baru—ia wisdom dari desa yang kemudian dimodifikasi
sesuai dengan selera kota. Tiga tahun mengikuti Paramadina, Rara Rengganis
Dewi, 45 tahun, yang menyukai musik Scorpion, Queen, Hadad Alwi, dan Opick,
membuat kesimpulan menarik. ”Saya lebih mampu berbahagia dan menikmati
kehidupan,” katanya. Rara, yang tinggal di Jakarta dan gandrung tasawuf,
mengambil magister Islamic Mysticism ICAS (Islamic College for Advanced
Studies).
Melalui kajian yang sama, Arief Aziz, 25 tahun, kemudian memahami perbedaan
antara Ibn Arabi dan Jalaluddin Rumi. Anak muda ini mengenal sejumlah nama
besar dengan gagasan besar: Rabiah al-Adawiyah, Rumi, Arabi, juga martir yang
kontroversial seperti Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Arief juga mengaku
menerapkan zuhud dalam kehidupan kesehariannya. Memakai telepon seluler
tua, ia berpegang pada asas manfaat dan menolak ikut latah.
Sufisme perkotaan merupakan anak modernisme. Kehadirannya berdampingan
dan berinteraksi dengan produk-produk modernisme lain: liberalisme, ateisme,
feminisme, konsumerisme, materialisme, dan sebagainya. Ada yang berdiri
dalam tarekat tradisional, ada pula yang tanpa tarekat. ”Semua bisa kita pahami
dengan penuh empati sebagai kegelisahan setetes air yang rindu akan
kebahagiaan, bersatu lagi dengan lautan,” demikian Bambang Pranggono
mengakhiri makalahnya.
Idrus F. Shahab, Sita Planasari, Munawwaroh, Iqbal Muhtarom, Alwan Ridha Ramdan

JANGAN KAU SOMBONG GAJAH!


Ditulis pada September 27, 2008 oleh SufiMuda
Seorang Syekh (Mursyid Thariqat) berceramah di depan para ulama dalam
sebuah acara. Ceramah Beliau berisi tentang kehebatan Al Qur’an ditinjau dari
segi ilmu metafisika eksakta. Diantara yang hadir termasuk salah seorang yang
sudah banyak sekali mempelajari tentang segala hal yang berhubungan dengan
Islam, mulai dari sejarah sampai kepada hokum-hukum Islam dan ayat-ayat Al-
Qur’an sudah hapal diluar kepala juga telah membaca ratusan kitab-kitab klasik
dan merasa dirinya sudah banyak tahu tentang agama dan menganggap
ceramah Syekh itu masih sangat rendah dibandingkan dengan ilmu yang
dipelajarinya. Dalam hati orang yang sombong tadi berkata, “Kalau begini
ceramahnya, aku sudah banyak tahu, lebih baik Syekh itu turun aja dari
mimbar”.
Seorang Syekh (Muryid) diberi kerunia oleh Allah SWT untuk mengetahui isi hati
orang lain dikarenakan hatinya telah bersih sehingga mampu menangkap sinyal
atau gelombang apa saja yang datang termasuk gelombang kesombongan yang
dipancarkan dari hati ulama itu. Tiba-tiba Tuan Syekh berkata, “Sekarang aku
mau cerita tentang gajah. Ada seoekor gajah yang besar badannya. Suatu hari
ada orang yang mau memberikan minum kepada sekawanan gajah termasuk
gajah yang besar tadi dengan memakai selang air sebesar kelingking. Sang
gajah protes, Bagaimana mungkin kami bisa cukup minum dari selang yang kecil
ini, untuk saya sendiri saja tidak cukup”. Tuan Syekh tadi diam setelah ceritanya
sampai kepada gajah besar yang protes, tiba-tiba Beliau berkata sambil
menunjuk ulama yang sombong tadi, “Jangan kau sombong gajah, selang ini
memang hanya sebesar kelingking, akan tetapi selang ini tersambung
langsung dengan lautan yang sangat luas, seribu gajah sepertimu tidak
akan sanggup menghabiskan air ini”. Orang yang di tunjuk tadi merasa
tersindir dan malu, kemudian menyadari bahwa apa yang terlintas dalam hatinya
diketahui oleh Syekh, dan setelah acara ceramah ulama tadi mendatangi Tuan
syekh dan menyatakan diri ingin berguru. “Pandangan mata batin tuan tajam
sekali, saya mohon maaf atas kesombongan saya dan mohon sudi kiranya tuan
menerima saya menjadi murid”.
Seorang Guru Mursyid kadangkala secara zahir nya sama seperti manusia lain
tidak terkecuali bentuk ceramahnya, akan tetapi setiap yang diucapkannya
memgandung Nur Ilahi yang tersambung langsung kehadirat Allah SWT lewat
“selang-Nya” sehingga apapun yang diucapkan oleh Guru Mursyid merupakan
ucapan Allah SWT.
Bagi pengamal thariqat, tidak terkecuali saya sendiri, seringkali mengalami hal-
hal yang ajaib saat bersama Guru Mursyid. Bimbingan yang diberikan oleh Guru
Mursyid berbeda sekali dengan bimbingan yang diberikan oleh Guru pada
tataran syariat. Seorang Mursyid sangat mengetahui isi hati dari muridnya,
sehingga walaupun jumlah muridnya ribuan bahkan jutaan pelajaran yang
diberikan tidak sama.
Seringkali Mursyid berceramah dan didengar lebih seratus orang, nanti ke-
seratus orang itu akan mengambil kesimpulan yang berbeda. Seorang Guru
Mursyid yang kamil mukamil bahkan membimbing dan menuntun muridnya
secara 24 jam, zahir dan batin dan tidak mengenal tempat karena sesungguhnya
rohani dari Guru Mursyid itu telah larut kedalam zat dan fi’il Allah sehingga
seluruh gerakannya adalah gerakan Tuhan semata.
Seringlah kita ucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas karunia yang tidak
terhingga yang telah memperkenalkan seorang kekasih-Nya kepada kita dan
lewat kekasih-Nya itu pula terbuka dengan lebar sebuah pintu yang langsung
berhubungan dengan Allah SWT.
Al-Qur’an memberikan gambaran yang sangat lengkap tentang Para Guru
Mursyid sebagai orang-orang yang diberi izin oleh Allah SWT untuk membimbing
manusia ke jalan-Nya.
“Dan kami jadikan mereka ikutan untuk menunjuki manusia dari perintah
kami dengan sabar serta yakin dengan keterangan Kami” (Surat Asajadah,
ayat 24 juz 21).
“Mereka itulah orang yang telah diberi Allah petunjuk, maka ikutlah Dia
dengan petunjuk itu” (Surat An Am ayat 10 juz 7)
“Barangsiapa yang berjanji teguh dengan engkau (Dia) sebenarnya mereka
telah berjanji teguh dengan Allah, tangan Allah diatas tangan mereka”
(Surat Al Fathu ayat 10 juz 26).
Guru Mursyid membimbing murid-muridnya tanpa pamrih dan bukan semata-
mata mengharapkan harta, beliau membimbingnya dengan ikhlas tidak peduli
siapapun kita, dari mana kita berasal, anak siapa kita tetap akan dibimbing oleh
Beliau dengan kasih sayang dan penuh keikhlasan. Ini digambarkan dalam al-
Qur’an :
“Ikutilah orang yang tiada meminta upah kepadamu itu, karena mereka
mendapat pimpinan yang benar” (Surat Yasin ayat 21 juz 23)
Semoga kita semua diberi karunia oleh Allah SWT untuk menerima Nur Ilahi
sebagai sumber kebenaran hakiki lewat dada seorang Kekasih Allah yang akan
membimbing kita dari dunia sampai akhirat, Amien ya Rabbal ‘Alamin

CINTA RABIAH AL-ADAWIYAH


Ditulis pada April 17, 2008 oleh SufiMuda

Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan
bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun meleblhl
gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?”
“Tidak,” jawab Rabiah dengan suara sangar. Pada kali yang lain seorang lelaki datang
pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka
seluas gurunlah tebaran dosa saya.

Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. T etapi sekarang
saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah
dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tldak berkenan menerlma tobat seorang
hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti darl dosa,
jangan simpan kata “akan atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan
niatmu.”

Memang ucapan sufi perempuan dari kota Bashrah itu seringkali menyakitkan telinga
bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia bahkan pernah mengatakan, “Apa
gunanya meminta ampun kepada Tuhan kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluar
dari hati nurani?” Barangkali lantaran ia telah mengalami kepahitan hidup sejak awal
kehadirannya di dunia ini. Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah.
Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota
Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada
disamping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha
meminta bantuan kepada para tetangganya.

Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pundari mereka yang terjaga.
Dengan lunglai Ismaill pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau
minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan . Dengan perasaan putus
asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan
apa yang terjadi di bilik itu.

Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan. siapa-siapa
. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan
menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya
yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan
kemiskinan. Ismail tetap tldak punya apa-apa Kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang
masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib
dlrinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.

Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya


yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih
segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu
kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa
kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak
melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu,
ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.

Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa
Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat
sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400
rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismall diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai
dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah
sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari
kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta
itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci
atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.

Tiap malam ia bermunajat kepada Tuhan dengan doanya, “Wahai, Tuhanku. Di langit
bintang-gemintang makin redup, berjuta pasang mata telah terlelap, dan raja-raja sudah
menutup pintu ger- bang istananya. Begitu pula para pecinta telah menyendiri bersama
kekasihnya. Tetapl, aku kini bersimpuh di hadapan-Mu, mengharapkan cinta-Mu karena
telah kuserahkan cintaku hanya untuk-Mu.”
Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai
sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan
bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi
para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk menekatkan diri kepada Tuhan.
Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran
ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya
semua itu.

Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia


menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Setelah selesai salat isa, ia terus
berdiri mengerjakan salat malam. Pernah ia berkata kepada Tuhan, “Saksikanlah, seluruh
umat manusia sudah tertidur lelap, tetapi Rabiah yang berlumur dosa masih berdiri di
hadapan-Mu. Kumohon dengan sangat, tujukanlah pandangan-Mu kepada Rabiah agar ia
tetap berada dalam keadaan jaga demi pengabdiannya yang tuntas kepada-Mu.”

Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa
dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai,
seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat
selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku
mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah
terikat dengan-Mu.”

Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan
matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan
burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu.
Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala
guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.

Tentang masa depannya ia pemah ditanya oleh Sufiyan at-Thawri: “Apakah engkau akan
menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan keharusan bagi mereka yang
mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada
Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah
kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami
tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan
keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”

Profesor Termuda di Dunia


Ditulis pada April 28, 2008 oleh SufiMuda

Profesor Termuda di Dunia


ALIA SABUR, Wanita kel ahiran New York USA pada tanggal 22
February 1989 ini, yang usianya saat ini baru 19 tahun, namun wanita ini telah mencetak rekor
sebagai profesor paling muda dalam sejarah di dunia.

Gadis asal Northport, New York ini memang luar biasa. Dia mulai bicara dan membaca
ketika masih berumur 8 bulan! Alia menyelesaikan pendidikan SD pada usia 5 tahun.

Dia kemudian masuk kuliah pada umur 10 tahun. Dan pasa umur 14 tahun, Alia meraih
gelar sarjana sains dalam bidang matematika aplikasi dari Universitas Stony Brook,
wanita paling muda dalam sejarah AS yang berhasil melakukannya.

Pendidikan Alia berlanjut ke Universitas Drexel dan meraih gelar M.S. dan Ph.D.
dalam sains dan engineering.

“Saya benar-benar senang mengajar,” kata Alia seperti dilansir MSNBC, Sabtu
(26/4/2008). “Ini hal di mana Anda bisa membuat perberdaan. Ini bukan cuma apa yang
bisa Anda lakukan, tapi Anda bisa membuat banyak orang menjadi berbeda,” imbuh
wanita muda itu.

Dikatakan Alia, yang ingin dilakukannya hanyalah membagi semua yang telah
dipelajarinya. “Saya merasa saya bisa membantu banyak orang,” tuturnya.

Selain prestasi akademiknya yang mengagumkan, Alia juga merupakan pemain musik
dan pemegang sabuk hitam olahraga bela diri taekwondo.

Pada tanggal 19 February 2008 dia dinobatkan dalam the Guinness Book of World
Records sebagai Professor Termuda di Dunia. Mengagumkan, FANTASTIQUE

Anda mungkin juga menyukai