Anda di halaman 1dari 3

KISAH NYATA TA’ARUF

@RinduRembulan(YOUTUBE)
1 tahun yang lalu

Dulu saya jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang akhwat jelita yang baru
lulus SMA, cantik, berhijab syar'i, pintar, mandiri dan aktif di kegiatan sosial, dan yang
paling penting sangat menjaga pergaulannya. Bagiku begitu sempurna. Tapi saya adalah
lelaki waras yang tahu diri, masih kuliah dan kerja seadanya. Maka harapan itu hanya saya
simpan di dasar hati, dan justru saya menghindarinya, tak sanggup bila harus menatapnya,
walau hati sangat ingin menafkahinya.. :D Beberapa kali kita pernah dalam kegiatan yang
sama, tapi tak ada tegur sapa apalagi saling bicara. Saya pikir sekalian saja tak perlu
mengenalnya. Mungkin setelah sekian waktu perasaan ini akan berubah, dan lama-lama
hilang. Bagi saya jatuh hati pada lawan jenis itu biasa tapi pilihannya hanya dua,
HALALKAN atau LUPAKAN. Sebagai lelaki normal waktu sekolah dulu saya juga pernah
tertarik pada teman atau adik kelas perempuan, ya berteman biasa saja.
Tapi dengan akhwat yang satu ini saya merasa gak bisa sekedar berteman, padahal
dengan teman-teman akhwat yang seangkatan dengannya saya biasa saja berkomunikasi
dengan mereka. Anehnya, meskipun saya coba menghindar, kabar dan cerita tentang akhwat
itu selalu saja silih berganti menghampiriku, tanpa diminta. Saat saya bicara dengan
temannya ada saja yang mereka ceritakan tentang gadis itu yang membuatku makin jatuh hati
padanya. Pernah suatu ketika saya beristirahat bersandar di tiang Masjid, ada sekelompok
teman lelaki berkumpul di sana ternyata mereka sedang membicarakan si gadis cantik yang
susah ditaklukkan hatinya oleh para lelaki. Argh.., pesonanya telah merasuk terlalu dalam di
hatiku. Hingga 3 tahun berlalu, saya tahu banyak sekali lelaki yang juga mengharapkan
akhwat tersebut, mulai dari teman kuliah, ustadz muda, manajer BUMN, pegawai pemerintah
dan lainnya, dan saya tahu mereka adalah orang baik, kalau dibuat daftar peringkat mungkin
saya akan berada dalam urutan paling bawah.
Tapi saat itu belum satupun yang ditanggapi oleh akhwat tersebut, sekedar taarufpun
dia tak mau, dengan alasan masih mau fokus belajar memperbaiki diri dan menyelesaikan
kuliah. Waktu itu saya anggap ini ujian dari Allah, seberapa besar saya ikhlas dalam beramal.
Justru dalam sholat, saya sering menitikan air mata, mengapa begitu rapuhnya hati ini atas
sebuah ujian yang bernama "wanita". Di organisasi dan di lapangan mungkin saya terlihat
gagah dan kuat, tapi ternyata hati ini begitu lemah untuk menghilangkan bayang-bayangnya.
Saya telah gagal mengabaikannya, justru semakin lama semakin terbayang sepertinya dia
adalah wanita yang tepat untuk menjadi ibu bagi anak-anak saya.
Hingga suatu malam, selepas sholat tiba-tiba di hati ini seperti ada yang membisikkan,
"Hei, jangan-jangan akhwat itu memang jodoh kamu, dan kamu tak akan pernah tahu kalau
kamu tak pernah bertanya padanya. Memang kamu masih kuliah, kerja seadanya, tapi apakah
kamu meragukan janji Allah. Justru ini menguji ketulusanmu apakah kamu ingin menikah
karena Allah atau karena yang lain." Maka keesokan paginya saya bertekad bulat
menghubungi teman si akhwat ini untuk menyampaikan maksud hati mengajaknya taaruf,
dan ini adalah pertama kalinya dalam hidup saya "menembak" wanita.
Tapi ternyata akhwat itu minta waktu 3 hari untuk menjawabnya. Ya sudahlah, saya
benar2 dalam kondisi pasrah pada Allah, karena memang tak ada yang dapat saya banggakan,
bahkan tabungan saya pun sebenarnya tak kan cukup untuk walimah yang layak. Saya sudah
berfikir dia akan menolak saya, setidaknya itu akan membuat jauh lebih mudah bagi saya
untuk membuang harapan itu selamanya, toh saya belum pernah berinteraksi langsung
dengannya, bahkan mendengar suaranya langsung dari jarak dekat pun saya belum pernah.
Setelah 3 hari, di luar dugaan, bukannya dia menjawab ajakan taaruf saya, tapi akhwat itu
justru meminta saya melamar ke bapaknya jika memang serius. Ternyata dalam 3 hari itu dia
minta ijin kepada Ayah-Ibu-nya untuk menikah. Tapi akhinya kami tetap melakukan taaruf
sekaligus nadzor di rumah guru ngajinya, dan itu adalah pertemuan pertama dan satu-satunya
yang kami lakukan sebelum menikah, setelah itu saya langsung melamar ke orang tuanya.
Alhammdulillah akhirnya kami menikah dengan acara walimah yang sederhana namun cukup
meriah, bagi kami itu begitu indah.
Setelah menikah itulah sebenarnya kami mulai melakukan taaruf yang sesungguhnya,
kita menyebutnya taaruf dan pacaran seumur hidup. Hari itu kami bersanding di pelaminan,
akhwat sholihah yang pertama kali saya lihat 3 tahun lalu itu kini sah menjadi istriku. Sambil
melingkarkan tangan di lengan dan menyandarkan kepalanya di pundak dia berkata lirih,
"kenapa Mas baru datang sekarang, padahal aku sudah menunggumu sejak pertama kita
bertemu." Sejak itu kami jadi bucin tak terpisahkan, tiap hari kencan, ngobrol di warung kopi
sampai warungnya tutup, kemana-mana selalu bergandengan tangan. Sampai dilihatin orang
pas naik bus atau sedang di mall, ada yang nanya "baru jadian ya mas?", kita hanya jawab
dengan senyuman.
Ada yang mengira kami mahasiswa yang sedang pacaran, memang benar sih, lebih
tepatnya, kami adalah mahasiswa yang sudah menikah dan menjadi pacar yang halal. Kini
selain kuliah, saya harus bekerja lebih keras untuk masa depan kami berdua. Tapi baru saja
sampai kantor, pacar halalku itu sudah mengirimkan SMS, "Mas aku kangen...". Ya salam,
rasanya pingin langsung pulang balik lagi ke rumah. "Ya Allah tolonglah hambamu ini,
bagaimana aku bisa konsentrasi bekerja, jika hatiku selalu merindukan kamu," sesaat
kemudian istriku membalas "biarin aja, ini hukuman buat Mas, karena dulu nyuekin aku,
coba kalau 3 tahun lalu langsung melamarku, gak akan kena hukuman gini.. hehehe"
"Baiklah, kuterima hukuman ini dengan ikhlas :), biarlah hatiku terbelenggu rindu dan
tersandera cinta padamu... selamannya." Akhirnya saya tahu, saat dulu saya jatuh hati pada
pandangan pertama, ternyata istri saya ini juga punya simpati yang sama, dan saat itulah kami
sama-sama saling mencari tahu nama.
Tapi rasa itu kita anggap tak ada dan tak pernah terkata, tak juga bertegur sapa, tak
pernah bicara meski sering jumpa, tak ada cerita antara kita, hingga rasa itu bermetamorfosa
terselip dalam doa. Ternyata banyak momen-momen yang membuat rasa simpati itu makin
tumbuh, misalnya ketika dulu saya harus menghadapi preman dalam sebuah kegiatan, diam-
diam dia memperhatikan apa yang saya lakukan, begitupun sebaliknya. Jadi sejak pandangan
pertama itu, sebenarnya kami saling memperhatikan, tapi kami juga saling menyimpannya
rapat-rapat. Bahkan teman saya yang satu kamar kos dan satu organisasi pun tak
menyadarinya. Kini kami telah menyatu, merangkai masa lalu ketika saling membisu, saat
hati beradu rindu walau tak saling tahu, ketika cinta tak terkata meski hati telah merasa,
hanya saling mendoa semoga kita bisa bersama hingga ke JannahNya.
Ternyata Allah memang punya rencana indah, agar kami terlebih dahulu belajar tentang
hidup dengan lebih matang, agar mampu menyandarkan hati padaNya sebelum mengikatkan
hati membangun rumah tangga. Allah memang maha mengatur segalanya, termasuk hari
ketika saya memutuskan untuk mengutarakan niat meminang calon istri saya, itu seperti
keputusan tiba-tiba yang bahkan saya sendiri heran, kenapa saya bisa senekat itu, hampir
tanpa persiapan. Padahal saya mahasiswa ilmu komputer, sambil kerja jadi programmer, saya
berprinsip setiap keputusan penting dalam hidup harus melalui perhitungan yang matang, tapi
kali ini sepertinya saya hanya mengandalkan naluri dan keyakinan saja.
Tapi ternyata itu memang waktu di mana saya harus melakukannya, karena setelah
menikah saya baru tahu, seandinya hari itu saya tidak meminangnya, maka 3 hari berikutnya
dia harus melakukan proses taaruf dengan seorang ikhwan yang sudah dipersiapkan oleh guru
ngajinya, dan bisa saja berlanjut menikah dengannya. Karena beberapa hari sebelum saya
mengajaknya taaruf, sang guru ngaji sudah menyodorkan seorang ikhwan yang kali ini tak
ada alasan baginya untuk menolaknya, tapi entah pikiran dari mana, dia meminta waktu 2
pekan untuk istikhoroh. Sang guru ngaji sempat heran, karena biasanya seseorang akan
melakukan istikhoroh setelah taaruf.
Dan di hari-hari terakhir ketika waktu itu akan habis, tiba-tiba tak ada angin tak ada
hujan, temannya memberi tahu bahwa saya juga mengajaknya taaruf, mungkin itu jawaban
dari istikhorahnya. Maka di sisa 3 hari itu dia langsung menghubungi ayahnya untuk meminta
ijin menikah dengan saya, dan entah bagaimana ceritanya beliau langsung yakin dan
mengijinkan anaknya untuk menikah dengan saya.
Jadi di hari ke-3 itu sebenarnya dia mengabarkan kepada guru ngajinya bahwa dia tidak
bisa menerima ajakan taaruf ikhwan itu sekaligus menyampaikan bahwa dia akan taaruf
dengan saya. Don't get me wrong, ikhwan yang mengajaknya taaruf adalah lelaki sholeh yang
baik, dan sang guru ngaji itu saya yakin beliau sangat tulus ingin membantu binaannya
mendapatkan seorang suami yang terbaik, saya sangat mengerti dan saya sangat respect
kepada mereka. Seandainya saya tahu bahwa Ikhwan itu sudah meminta (meski belum
dijawab) untuk taaruf, mungkin saya akan berfikir dua kali untuk melakukannya, karena
penilaian objective saya sebenarnya dia lebih siap, termasuk masalah maisyah dan nafkah.
Tapi itulah, Jalan cinta memang rahasia.... Jodoh adalah takdir Allah, Ikhtiar dan doa adalah
kewajiban manusia, tapi jodoh itu rahasia Allah.
Entah sekarang, lusa, atau nanti Allah pertemukan jodoh kita, hanya Allah yang tahu,
karena itu sepenuhnya hak mutlak Allah. Kini kami telah memiliki beberapa anak, semua
yang lelaki saya beri nama Ibrahim, sebagai doa semoga menjadi lelaki tangguh seperti Nabi
Ibrahim yang rela berkorban demi cintanya yang hakiki, yang perempuan kami titipkan doa
dalam namanya agar menjadi wanita yang "menjaga kehormatan dan selalu bersyukur".
Semoga kita semua istiqomah di jalan Allah..

Anda mungkin juga menyukai