Anda di halaman 1dari 2

“KISAH TANPA KATA MENYERAH DIDALAMNYA”

Mentari sudah terbangun dari peristirahatannya. Ayam pun mulai menjalankan tugasnya.
Kuambil handuk dengan cepat dan bergegas ke kamar mandi. Duhh… bisa telat nih. Ucapku
dengan diriku sendiri. Kunyalakan motor dan melaju ke Sekolah dengan kecepatan tinggi.
Alhamdulillah belum terlambat, aku menarik nafas lega. Jam pelajaran pun dimulai. Saat itu
aku sedang belajar ilmu resep, salah satu pelajaran yang sangat aku sukai. Entahlah jika
sudah berhubungan dengan resep, seketika rasanya aku langsung ingin mengobati banyak
orang.. hehe..
Jam pelajaran pun akhirnya selesai. Aku berjalan melwati lorong sempit menuju gang
untuk menumpangi angkot yang tujuannya ke rumahku. Tibanya di rumah, aku melihat sosok
lelaki yang sedang tertidur pulas dikamarku. “Kak itu siapa?”, Tanyaku kepada saudara laki-
lakiku. “itu Om Bayu dek.. tadi baru sampai dari Bogor”. Seketika air mataku rasanya tak
terbendung, aku berlari ke arah sosok itu dan memeluknya dengan sangat erat. Yaaa.. dia
ayahku yang sudah 11 tahun tidak bertemu denganku. Waktu terasa begitu cepat, baru
kemarin aku memeluknya dan hari ini ayahku harus kembali lagi ke Bogor. Setiap pagi harus
bisa kunikmati kembali tanpa pelukan hangat seorang ibu dan tanpa kekuatan seorang ayah.
Sekolahku berjalan dengan semestinya sampai aku tamat dari bangku persekolahan
dan aku diterima menjadi Mahasiswi disalah satu Universitas Negeri yang ada di Sumatera
barat. Aku dibesarkan dengan kasih sayang seorang nenek yang tak pernah kehabisan cara
dalam menyayangi, yang memberikan segala cintanya untukku. Nenek yang diberikan
amanah oleh almarhumah ibuku untuk merawatku. Hidupku berjalan baik selama 4 tahun aku
mengenyam pendidikan disana. Banyak yang kutemui, tentang persahabatan, kekeluargaan,
bahkan sampai tentang cinta yang berujung keikhlasan.
Saat itu, aku mempunyai komitmen dengan seorang laki-laki yang berasal dari dari
salah satu daerah yang ada di Sumatera Barat. Matahari dan bulan seolah tersenyum
menyaksikan sepasang kekasih yang berbagi tentang kisahnya. Hingga suatu hari, semuanya
patah, tak lagi indah. Siang seakan berubah menjadi malam yang kelam, tanpa cahaya
rembulan dan bintang. Hujan tak kunjung datang dan api tak kunjung padam. Sesak,
mencekam, oksigen tak lagi dapat kunikmati. Hubunganku harus berakhir, bukan karena
keegoisan apalagi tentang orang ketiga didalamnya. Adatku dengannya yang tak sejalan
membuat kami harus mengalah pada keadaan, sebab aku tak ingin hubungan yang
didalamnya ada keterpaksaan. Malam itu.. aku dan dia mengambil sebuah keputusan yang
berat hingga akhirnya menemui kata sepakat. Semua berakhir tepat ditanggal aku memulai
hubunganku dengannya.
Beberapa hari setelah kejadian malam itu, aku tetap berkomunikasi baik dengannya.
Masih menjalani hari seperti biasa, masih menikmati secangkir kopi dan es krim bersama.
Sebulan pasca wisuda, aku harus kembali ke kampung halaman di Pulau Sumatera bagian
Selatan. Kota tempat dimana lahirnya seorang tokoh wanita yang luar biasa, yang menjadi
saksi sejarah bahwa Bendera Indonesia pernah dijahit dengan cinta. Kupikir jika kamu paham
sejarah, kamu akan tahu dimana kampung halamanku. Kembali ke kota ini membuatku
merasa asing. Kembali mengingat dan menelusuri setiap titik yang ada. Amplop-amplop
cokelat sudah mulai menghiasi setiap sudut ruangan untuk dibagikan ke beberapa instansi dan
perusahaan yang disini. Beberapa panggilan untuk mengikuti wawancara, test tertulis kuikuti.
Sampailah pada waktu aku diterima disalah satu Perusahaan Distributor dikotaku. Sembari
bekerja, malamnya aku mengajar les private, mengunjungi rumah-rumah. Bertemu dengan
anak-anak, mengajarnya dengan cara yang berbeda agar mereka bisa menyerap pelajaran
dengan baik.
Aku yang aktif di Instagram, hari itu melihat salah satu story temanku bahwa akan
dilaksanakan social project tentang mengajar ke pelosok desa. Disana aku bertemu dengan
anak-anak yang luar biasa, memiliki semangat belajar dan cita-cita yang tinggi meski dengan
keterbatasan fasilitas. Aku termenung, malu rasanya pada diri sendiri yang masih sering
mengeluh. Tak ada kata selain rasa syukur yang tak henti berucap. Kunikmati beberapa hari
di sana, bertemu dengan banyak orang hebat. Namun, ada satu sosok yang membuatku
kagum dengan cara pandangnya, dia yang saat ini kusebut “Sahabat”. Membuka pola pikirku
tentang kehidupan yang jauh lebih luas dari apa yang selama ini kupikirkan. Membuatku
lebih percaya dengan apa yang tersembunyi di balik diriku. Terakhir, dia membuatku sadar
bahwa hidup untuk mati, bahwa jarak terdekat denganku adalah kematian. Bagaimana
mungkin aku hidup tanpa mempersiapkan bekal untuk kubawa nanti menemui Rabb-ku. Aku
percaya Tuhan itu adil. Ketika Dia mengambil sesuatu yang menurutku baik, Dia akan
menggantikan dengan sesuatu yang menurut-Nya baik.

Dwi Astuti Marantika. Lahir di Bogor pada 19 Mei 1996. Pernah menempuh pendidikan di
Universitas Andalas, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam.
Sekarang berdomisili di Bengkulu. Penikmat senja, hujan dan aroma petrichor. Motto
hidupnya “La tahzan Innallaha ma’ana dan berbuatlah baik dalam setiap langkah tanpa
karena”. Aktif di media sosial instagram dengan akun @dwibasti.

Anda mungkin juga menyukai