Bagaimana sih rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama?
Apalagi pertanyaan ini diberikan ke anak sekolah dasar di tahun 2015 silam. Jika dia pintar berkata-kata, mungkin kalimatnya saat ini sudah menjadi sebuah puisi. "Zahra" panggilan dari wali kelas nya pada anak perempuan yang mulai jatuh cinta pada sosok "Hakim", seseorang yang di sukai nya sampai saat ini. Laki laki yang disukai sebenernya biasa saja, umum seperti lelaki lainnya yang mempunyai wajah tampan, paras yang gagah, badan yang tinggi dan peduli terhadap sekitar. Tapi entah mengapa ada ketertarikan tersendiri bagi Zahra saat melihat sosok Hakim. Kisah ini berawal dari keadaan sekolahku yang sedang mengungsi ke sekolah lain karena sedang dalam tahap renovasi. Betapa senangnya aku karena pada saat kelas 5 SD bisa sekelas dengan Hakim. Dari kelas 1 sampai kelas 4 kami selalu berbeda kelas yang waktu bertemunya hanya saat pulang sekolah. Aku mempunyai 1 sahabat bernama Nurul. Nurul orang yang sangat cerewet namun baik hati. Awalnya, dia yang menyukai Hakim. Semua temanku mengetahui hal itu dan dijadikan bahan candaan bahwa Nurul dan Hakim cocok. Aku pun setuju saja dan ikut mendukung walaupun pada nyatanya tidak ada yang mengetahui perasaan suka ku pada Hakim. Waktu sudah sampai rumah, Hakim mengirim pesan kepadaku lewat aplikasi BBM. "PING!!!", pesan dari Hakim. “Ada apa ya Hakim mengirim pesan padaku?”, batinku bertanya. Setelah ku jawab pesannya, tanpa perintah atau secara tiba tiba dia menjelaskan kepadaku bahwa dia tidak menyukai Nurul, dia menyukai ku sejak kelas 2 SD. Aku terkejut membaca pesannya dan aku tidak menyangka bahwa cintaku akan terbalas walau ku pikir di waktu yang belum tepat. Aku segera memberi pesan untuk memberitahu Nurul. “Yaa sudah ambil saja Kay, lagipula aku hanya suka dan sebatas mengagumi Hakim saja..” respon dari Nurul setelah kuceritakan tentang pesan dari Hakim saat itu. “Bukannya kamu juga menyukai Hakim? Bagus kan kalau kalian saling suka.” Pikirku. Di satu sisi aku senang karena ternyata perasaanku terbalas. Namun, di sisi lain aku sedikit sedih bahwa nyatanya aku harus menyukai orang yang sama dengan sahabatku. Singkat cerita akhirnya aku dan Hakim menjalin hubungan, aku ingat sekali waktu itu tepat di bulan November tanggal 27 tahun 2017. Belum genap satu hari, bunda Hakim mengetahuinya. “Zahra, biarkan Hakim untuk fokus belajar dulu ya.. kalian masih kecil, jangan pacaran dulu. Kejar cita-cita kalian dan banggakan kedua orang tua terlebih dahulu ya.” Aku terkejut saat mendapat pesan dari bunda Hakim. Yang aku pikirkan sepertinya percakapan antara aku dengan Hakim terbaca oleh bundanya. Keesokan harinya, Hakim tidak ada dikelas. Aku tanyakan kabarnya yang ternyata pada hari itu Hakim sakit. Setelah kejadian ditegur oleh bunda Hakim lewat pesan, keesokan harinya Hakim menghubungi ku lewat chat yang bermaksud untuk meminta maaf dan berkata bahwa bunda nya mengetahui hal itu karena saat malam dia lupa menghapus pesan obrolan diantara kita. Aku sih sedikit memakluminya, namun aku bertanya, “Sekarang kita bagaimana?”. Dia bilang, dia tidak tau harus apa. Aku mengusulkan ide untuk kita tetap menjalin hubungan tetapi secara diam-diam yang maksudnya saat di sekolah seperti teman biasa saja jangan menunjukkan sikap yang terlihat kalau kita seperti orang yang pacaran. Akhirnya dia setuju dengan hal itu dan tidak lupa aku mengingatkan untuk menghapus pesan obrolan ini setelah kita selesai chat. Hari demi hari terus berlalu berjalan seperti biasa, tidak ada yang istimewa. Semua temanku satu persatu akhirnya mengetahui adanya hubungan antara aku dengan Hakim. Sampai 6 bulan kemudian, hubungan kami memiliki masalah. Di chat kami bertengkar hanya karena kesalahpahaman. Hakim lebih percaya omongan sahabatnya, Putri dibandingkan diriku. Tiba- tiba aku terbawa emosi dan segera memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini. Semakin kesal rasanya karena ternyata dia setuju saja tanpa bujukan atau rayuan kepadaku. Akhirnya hubungan kami selesai sampai disitu. Keesokan harinya saat sekolah, kami berdua bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa apa dan mulai dari situlah Hakim bersikap cuek seperti tidak peduli lagi terhadapku. Awalnya aku tidak terima, namun ku pikir ini juga sudah menjadi keputusanku untuk mengakhiri hubungan antara kita. Tidak terasa waktu cepat berlalu, kami sudah naik ke kelas 6 SD. Aku dan Hakim di tempatkan di satu kelas lagi. Aku sudah bersikap biasa saja berusaha tidak perduli pada Hakim, memandangnya acuh sebisa mungkin. Aku tidak tau bagaimana kesehariannya yang sekarang disekolah atau dirumah. Aku hanya fokus belajar dan bermain bersama teman-temanku. Sampai tiba di moment kenaikan kelas, aku sadar dan sedikit menyesali karena waktu sangat cepat berjalan dan sebentar lagi kami akan berpisah ke sekolah menengah pertama yang pastinya berbeda pilihan. Dengan proses yang panjang, akhirnya aku masuk ke SMP impianku yaitu SMPN 48 Jakarta. Bundaku mengajar disana, beliau adalah guru matematika. Abangku pun bersekolah di tempat yang sama, umurnya hanya terpaut satu tahun beda nya denganku. Saat masuk SMP aku tidak lagi memikirkan teman-teman SD. Aku sibuk mengikuti organisasi yang berangkat lebih pagi dan pulang lebih sore. Di SMP aku lupa semua kisah kasih saat SD. Aku juga sudah mendapat gantinya Hakim yaitu Rizki. Cukup lama aku menjalin hubungan dengan Rizki dari kelas 7 sampai kelas 8. Hubungan kami tidak selamanya berjalan baik, beberapa kali timbul permasalahan karena berbagai penyebab. Sampai kelas 8 semester dua timbul lah kebijakan dari pemerintah untuk memberhentikan proses belajar mengajar semua sekolah di Indonesia karena kasus pandemi covid-19 saat itu sedang tinggi. Hal tersebut juga berdampak pada hubunganku dengan Rizki yang selesai begitu saja karena jarangnya berkomunikasi. 2 tahun itu aku tidak pernah sekali pun berkomunikasi dengan Hakim, padahal rumahku dan Hakim tidak terlalu jauh jaraknya. Setelah beberapa hari berpikir, akhirnya aku memberanikan diri untuk menstalking akun sosial media Hakim. Untungnya aku tidak pernah menghapus nomor dia, meskipun kita tidak pernah saling bertukar kabar lagi setelah perpisahan SD. Dengan percaya diri yang tinggi aku nekat untuk mengirim pesan kepada Hakim dengan awalan bertanya kabarnya, bersekolah dimana, kabar keluarganya, dan mengajak sedikit flashback ke cerita masa SD yang terjadi diantara kita. Hakim merespon chat ku dengan baik bahkan dia bertanya balik bagaimana kabarku. Aku baru mengetahui bahwa dia bersekolah di SMP 29 Jakarta yang secara kebetulan juga dia satu kelas dengan temanku. Aku bertanya kesehariannya, ternyata dia mengikuti sekolah sepak bola bersama saudaranya. Dia juga memberitahuku kapan saja jadwal dia latihan. Aku dan Hakim sering janjian setiap Minggu sore, bertemu di Taman Bendi dekat jalan rel kereta. Disana dia dan teman-temannya bermain bola dan selesai sampai datangnya adzan maghrib. Kalau kami bertemu hanya saling sapa, itupun dari jauh karena dia sedang di lapanganndan aku hanya sekedar lewat untuk melihatnya. Di suatu hari, dia membuat status dalam keadaan berduka. Aku bertanya ada apa dan dia bercerita bahwa neneknya sudah meninggal. Aku sering kali lewat depan rumah Hakim dan selalu melihat juga menyapa neneknya yang berjualan sayur. Yang ku kenal nenek Hakim ramah pada siapapun, hanya saja karena sudah lanjut usia jadi pikirannya sudah kurang baik. Aku mengucapkan turut berduka dan turut mendoakan almarhumah nenek Hakim. Waktu terus berlalu tidak terasa aku sudah mau masuk SMA. Aku berharap di jenjang SMA ini bisa satu sekolah dengan Hakim di SMA impian yaitu SMA 47 Jakarta yang letaknya juga tidak jauh dari rumah kita. Tapi ternyata peraturan dari pemerintah berubah di satu hari sebelum pendaftaran, yang lebih memprioritaskan zona, umur, setelah itu nilai. Pilihan 47 pun tidak tercantum dalam pilihanku. Pupus sudah harapanku karena selain tidak bisa sekolah di SMA incaran pasti aku juga tidak bisa satu sekolah lagi dengan Hakim. Akhirnya aku harus ikhlas dan tetap senang karena dapat sekolah di SMA 29 Jakarta. Hakim yang dulu dengan Hakim yang sekarang sangatlah berbeda, entah dari sikap atau pun kesehariannya. Hakim yang dulu aku kenal sangat ramah namun Hakim yang sekarang sangatlah pendiam. Kalau bertemu denganku kita hanya bertatap mata dan berlalu begitu saja. Aku sering mencoba mengirim pesan kepada dia lewat berbagai media sosial contohnya whatssapp, instagram, line tapi terkadang pesan ku hanya dibaca begitu saja. Kalau pun dibalas, pesan dariku dibalas dengan seadanya dengan respon yang lama. Aku berpikir positif sih mungkin saja dia sangat sibuk atau dia bingung saat ingin membalas pesanku. Tidak lupa juga setiap tahun di waktu kelahirannya, di waktu ulang tahunnya, aku berusaha menjadi orang pertama yang memberi ucapan dan doa ku ke Hakim meskipun hanya sekedar lewat chat. Beberapa kali aku meminta bantuan kepada saudaranya untuk menanyakan detail kabar tentang Hakim. Ku pikir lucu rasanya karena aku sudah seperti penguntit dirinya karena terus terusan ingin tau keseharian dan kesibukan Hakim. Selalu ngestalk akun sosial medianya dan bahkan kalau ada wajah dia di story seseorang selalu aku simpan. Terlintas dipikiranku bahwa, “Aku tidak boleh seperti ini, seperti cewe yang tergila gila pada cowo saja! Bahkan ku pikir cowo itu menganggap ku ada saja belum tentu.” Tekanku. Awalnya, aku sedih dan aku terus berharap selalu bisa bersama atau bertemu dengan Hakim. Karena Hakim cinta pertamaku, dia banyak mengajariku berbagai hal, mungkin itu yang membuat aku semakin tertarik dengan dia. Tapi aku sempat berpikir bahwa sebenernya aku ini jatuh cinta atau hanya terobsesi dengan dia? Tiap hari aku terus memikirkan itu, dia yang seperti tidak mengaggap kehadiran ku, dia yang terlihat tidak tertarik dengan ku. Banyak sudah air mata yang aku keluarkan hanya karena dia. Aku juga sadar bahwa disini bukan dia yang salah, tapi aku. Mungkin ini semua karena aku yang menyukai, mencintai dia dengan berlebihan. Sampai saat ini aku paham bahwa tidak semua cinta bisa kita miliki, tidak semua cinta harus kita paksakan dan tidak semua cinta harus terbalaskan. Semakin besar, semakin dewasa aku tersadar bahwa mencintai itu bukan dengan cara seperti ini. Cara mencintai yang benar itu diam, tidak berisik. Dunia tidak perlu tau, hanya kita saja, turut mendoakannya yang baik untuknya mungkin sudah termasuk hal yang benar. Dalam sadarku berpikir, “Mau dia mengetahui atau tidak itu urusan belakangan, yang penting kita yakin selama mencintai dia bukan di jalan yang salah, kenapa tidak?”. Hakim, bertemu dengan mu adalah satu dari banyaknya hal yang patut ku syukuri dalam hidup. Dengan mu atau tidak, semua akan berjalan baik baik saja. Kita telah melewati berbagai hal dan fase sampai masing masing diri melepaskan rasa yang akhirnya pernah menjadi “kita” meskipun dengan waktu yang singkat. Aku ingin berterimakasih karena sudah mengajariku apa arti cinta sebenarnya. Hakim, terima kasih sudah menjadi salah satu sosok yang mengisi cerita di kehidupanku. Senang rasanya bisa mengenalmu. Aku berharap di ‘waktu selanjutnya’ masing-masing dari kita akan hidup diliputi banyak kebahagiaan. Aku sudah mengikhlaskan bahwa hidup tak harus sesuai dengan harapanku dan berjanji untuk hidup dengan baik sebagaimana berjalan dengan semestinya.