Anda di halaman 1dari 4

SAHABAT SENJAKU

Namaku Giffari Laili Mardliah, aku biasa dipanggil dengan sebutan Giffari. Aku anak
kedua dari dua bersaudara, aku memiliki seorang kakak laki – laki yang sekarang berumur
sekitar 27 tahun. Aku dilahirkan pada Februari 2003 dari keluarga yang sederhana. Aku
dibesarkan oleh kedua orang tuaku dengan penuh kasih sayang, hingga sampai saat ini aku
telah memasuki masa remaja, duduk di bangku SMA seperti layaknya anak umur 17 tahun
yang lain. Melewati 17 tahun selama hidup bukanlah waktu yang singkat bagiku, aku harus
menempuh pendidikan yang berkesinambungan, mulai dari taman kanak-kanak, sekolah
dasar, sekolah menengah pertama hingga sampai saat ini sekolah menengah atas / kejuruan.
Banyak cerita yang telah aku lewati dari cerita suka maupun cerita duka.
Cerita duka ini sangat aku rasakan saat aku duduk di bangku SMP. Aku masuk di
salah satu SMP terbaik di kotaku yaitu SMP NEGERI 1 TAYU. Saat itu aku merasa senang
karena tidak semua anak dapat mejadi bagian dari Sekolah Adiwiyata tingkah Provinsi Jawa
Tengah ini serta setidaknya aku dapat mewujudkan impian kedua orang tuaku yang sangat
menginginkan anaknya masuk di SMP yang memiliki almamater jas biru. Lingkup
pendidikan Sekolah Menengah Pertama yang kupikir merupakan masa yang menyenangkan
ternyata tidak sepenuhnya seperti itu. Awal mula aku masuk di lingkungan ini, aku harus
banyak beradaptasi dari lingkungan ku yang sebelumnya . Proses adaptasi ini berjalan cukup
singkat, hingga aku menemukan teman – teman dari berbagai wilayah dan tentunya dengan
karakter dan ciri khas yang berbeda – beda. Aku menjalani masa – masa SMP dengan penuh
keceriaan setiap harinya, walaupun SMP ku tergolong SMP dengan aturan yang sangat ketat
tapi aku dapat menyikapinya dengan santai. Kelas VII SMP ku jalani dengan santai walaupun
siswa angkatan baru memang masih suka penakut. Tahun 2017 aku naik ke kelas VIII.
Pada tahun kedua ini aku mulai mengenal pergaulan yang cukup luas, mulai acuh
terhadap aturan yang saking ketatnya kadang juga membuat kita tertekan dan merasa ingin
bodo amat. Tetapi di kelas VIII ini aku menemukan teman – teman yang benar – benar tulus
berteman denganku, bahkan dapat kusebut sahabat. 5 sahabat yang selalu dekat denganku itu
bernama Dhini, Salwa, Putra, Andika, dan Vito. Kemana – mana kita selalu bersama – sama,
mulai dari sarapan di kantin setiap pagi yang selalu bersama, pergi keluar bersama – sama,
bolos les dan pergi bermain game, bermain sepeda dan lain – lain. Intinya apapun yang
terjadi kita selalu berusaha bersama dan saling bertukar cerita. Banyak yang mengira bahwa
kita adalah 3 pasangan yang memang sengaja triple date, lucu sekali bukan mulut – mulut
netizen . Karena memang waktu kita banyak dihabiskan untuk bermain hingga nilai kita di
kelas VIII turun. Bahkan Dhini yang biasanya mendapat peringkat pertama di kelas pun
menjadi merosot peringkatnya, begitu pula dengan aku, Salwa, Putra, Andika, dan Vito.
Hingga seiring berjalannya waktu semakin dekat pula dengan kenaikan kelas IX kita sadar
bahwa wktu bermain kita harus dikurangi dari porsi yang sebelumnya. Ayah Dhini yang
terkenal dengan sifat over nya itu bahkan sampai melarang Dhini bermain dengan kita lagi.
Kita tentu merasa sedih kehilangan 1 orang teman kita itu .
Hingga saat kita naik kelas IX karena pembagian kelas yang selalu diacak, kita
berlima berpisah . Bahkan sedihnya aku masuk di IXB sedangkan 4 sahabatku lainnya masuk
di IXA. Aku sempat merasa terkucil di antara mereka karena mulai dari berbeda kelas itu
kegiatan yang biasanya dapat kita lakukan bersama – sama sekarang menjadi tidak bisa,
ditambah lagi Dhini yang sekarang tidak seperti dulu lagi . Hingga dari waktu ke waktu yang
berjalan sahabatan kita mulai renggang. Hingga pada saat itu terdapat berbagai tawaran
bimble dari berbagai pihak di sekolah kita, Salwa dan Dhini dituntut orang mereka untuk
bimble di Pati karena lebih terjamin katanya, sedangkan aku justru dilarang orangtuaku
karena jaraknya yang jauh dan hanya capek diperjalanan saja kata orang tuaku. Putra memilih
mengambil bimble di Emka Pintar sedangkan Andika dan Vito tidak bimble. Saat itu aku
bingung harus bagaimana, di satu sisi aku ingin bimble di Pati tetapi di sisi lainnya aku tidak
mungkin menentang perintah orang tuaku. Aku berusaha merayu ayahku dan berhasil, aku
diizinkan ikut bimble di Pati yaitu di Ganesha Operation. Aku merasa senang dan aku
berjanji pada diriku sendiri aku akan bersungguh – sungguh .
Selama 1 bulan aku menajalani bimble di GO ternyata benar apa kata orang tuaku,
aku merasa sangat lelah sekali dan pada akhirnya aku memutuskan keluar dan melepaskan
uang 4jt itu secara percuma. Aku sedih, aku merasa gagal dan telah mengecewakan kedua
orang tuaku. Tetapi aku sadar aku harus tetap bimble hingga aku masuk di Emka Pintar yang
jaraknya hanya sekitar 5m dari rumahku. Aku bimble di sana bersama Putra, sahabatku. Kita
sengaja mengambil jadwal bimble yang sama agar kita dapat berangkat dan pulang bersama .
Walaupun kita berbeda kelompok tetapi kita selalu dapat berangkat dan pulang bersama.
Putra selalu menjemputku saat ada jadwal bimble dan selalu mengantarkanku pulang juga,
kebetulan rumah kita memang searah . Putra memang baik sekali kepadaku. Jadwal pulang
bimble kita memang sore sekitar pukul 17.45 namun walaupun begitu kita tidak langsung
pulang kita selalu jalan – jalan melihat matahari terbenam, karena kata Putra senja itu indah.
Selalu saja seperti itu, banyak hal aneh yang kita lakukan bersama. Sejak itu aku sadar aku
tidak mau kehilangan Putra, aku tetap ingin menjadi sahabat senjanya sampai tua .
Waktu ke waktu berjalan baik – baik saja seperti biasanya, hingga pada bulan
Februari tanggal 20 tepatnya di hari ulang tahunku Putra dan sahabatku lainnya memberikan
kejutan kepadaku, sejak hari itu aku merasa ada hal yang aneh terhadap Putra, dia
memperlakukanku sangat spesial . Bahkan di hari Minggu yang harusnya dia beribadah di
gereja tetapi dia membagi waktunya dan menyempatkan mengajakku pergi. Hari itu aku
senang sekali karena bisa seharian dengan Putra dan diajak jalan – jalan padahal awalnya aku
menolak karena pada saat itu sedang musim hujan tetapi Putra berhasil merayuku. Kita hujan
– hujan bersama hingga baju kita basah semua, membakar ikan dan yang paling terkenang
sampai saat kita berdua duduk di tepi pantai sambil main ayunan dan Putra bercerita banyak
hal kepadaku termasuk menyangkut kematian. Aku sama sekali tidak berpikiran apa – apa
saat itu karena aku tau Putra orangnya jail jadi aku tidak berfikir lebih. Tiga hari setelah itu
aku sakit dan tidak masuk selama 2 hari. Pada hari Jum’at-nya aku ada jadwal bimble waktu
itu bimble matematika terakhir menjelang UN, Putra mengajakku berangkat tetapi aku
menolak karena aku masih belum sehat. Setelah itu Putra berngkat sendirian.
Dua hari setelah itu, pada hari Sabtu aku chattingan dengan putra sampai jam 23.15
setelah itu aku tertidur karena handphone ku lowbat. Betapa aku tidak mengira saat aku
bangun jam 08.00 aku mendapat kabar dari temanku bahwa Putra meninggal dunia tadi
malam pukul 23.45 karena menginjak kabel listrik. Aku tidak percaya dengan berita itu, aku
buru-buru kerumah Putra dan saat aku sampai di rumahnya ternyata memang benar Putra
sudah terbujur kaku di dalam peti mayat. Aku benar-benar tidak percaya dengan keadaan ini.
Saat itu aku benar – benar linglung, merasa sangat kesepian bahkan sampai UN pun aku
benar – benar tidak fokus mengerjakannya . Aku merasa kehilangan, benar – benar seperti
mimpi orang yang selama ini bersamaku meninggal dunia dengan cara sesimpel itu. Aku
sempat putus asa dan berfikir berkali – kali apakah aku akan menemukan orang serpertinya
lagi atau tidak .
Namun aku sadar aku harus kuat supaya Putra tidak tersiksa disana. Aku selalu
menyempatkan waktu untuk datang ke makamnya dan membawakannya bunga agar ia harum
karena hanya itu yang dapat aku lakukan, aku tidak bisa berdoa untuknya karena dia berbeda
keyakinan denganku .
Hingga kini aku berhasil menjadi diriku sendiri, menjalani hidup sendiri tanpa Putra
yang dulunya selalu menemaniku. Aku berharap besar sebelum Putra meninggal ia telah
menyebut syahadat seperti yang ku ajarkan saat ia masih hidup. Dari kehilangan Putra untuk
selamanya- lamanya ini aku banyak belajar bahwa Sang Maha Pencipta dapat mengambil
umur kita kapanpun dan dengan cara bagaimanapun itu kuasa-Nya, belajar bahwa betapa
berartinya seseorang sebelum ia pergi, belajar betapa pentingnya dia saat masih ada di dunia.
Dan yang paling penting belajar bahwa puncak mencintai yang tertinggi adalah
mengikhlaskan. Aku ikhlas kehilangan dia karena mungkin ini yang terbaik. Aku selalu
mengingat pesan – pesan Putra yang terahkhi yang disampaikan padaku, salah satunya ia
berkata bahwa kelak aku akan menemukan orang sepertinya. Aku percaya kata – kata Putra
itu dan akan aku ingat selalu .

Anda mungkin juga menyukai