Anda di halaman 1dari 4

Kehadiranmu

Karya Rhozifah Asmi


Memandangi langit senja selalu berlabuh takjub dengan segala ciptaan Nya. Betapa garis-
garis kuning kemerahan yang berpadu dengan cahaya yang seolah mengintip ini terlihat
menakjubkan. Betapa senja dan sunset selalu terlihat baru dan tidak pernah sama dengan hari
sebelumnya. Tapi senja ini sunset dan senja sedikit terlewat, justru ingatan tentang masalalu
yang mendominasi benakku.
Sejak SMA kelas 10 aku memang sudah memiliki pacar. Sangat banyak yang sudah kami
lalui. Termasuk menikmati sunset bersama. Berkhayal tentang masa depan yang selalu kami
perjuangkan. Tentang keluarga kami berdua yang sudah sama-sama setuju dengan hubungan
kita. Semua itu sudah terbangun apik dalam waktu yang sangat lama.
Meski kini aku termasuk mahasiswa yang mudah bergaul, aku tetap setia dengan pacar
pertamaku. Tak sedikit yang bertanya kenapa sampai sekarang aku bertahan dengannya. Padahal
sudah sangat lama kami pacaran, sudah lebih dari 4 tahun. Karena aku merasa sayang dengan
apa yang telah aku bangun dan cita-citakan bersama mas Dio ku.
Hingga ketika semester empat, aku terdampar di seubuah kost aneh. Aku sudah muak
dengan kost lama ku yang selalu berisik dan ribut. Aku nekat pindah kost dan mencari-cari kost
sendiri. Aku menemukan sebuah kost yang cukup dekat dengan kampus dengan harga yang
masih bisa aku jangkau. Harganya cukup murah, sesuai dengan kondisiku yang harus mulai
survive dengan uang beasiswaku. Tapi kost aneh ini dari luar terlihat begitu tua seperti rumah
hantu. Awalnya aku tak yakin dengan kos ini. Akan tetapi, setelah survey dan melihat
lingkungan di dalam kost Yasmin ini, aku memutuskan untuk mencoba ng ekos disini.
Kost aneh ini ternyata benar-benar aneh. Banyak sekali aturan ribet. Diantaranya kita
harus pulang sebelum jam 8 malam, harus ikut sholat berjamaah, ikut dzikir al ma’tsurat
bersama-sama setiap pagi dan sore, dan satu lagi, tidak boleh ada laki-laki yang masuk kost.
Tidak berhenti disitu, diantar pulang kost oleh teman laki-laki juga tidak boleh.
Awal-awal tinggal di kost Yasmin adalah hari-hari anehku. Aku merasa menjadi alien.
Semua penghuni kos ini berjilbab kecuali aku. Aku masih sangat canggung untuk berkunjung ke
kamar mbak-mbak aneh ini. Tapi ternyata kos ini terasa sangat sejuk dengan lantunan suara
tilawah setiap malam. Mbak-mbaknya juga ramah-ramah. Mereka sering mengajakku ngobrol,
belajar bersama, sampai tak jarang juga diajak berangkat kajian pagi di kampus.
Ternyata aku tak butuh waktu lama untuk menyatu dengan tenman-teman di kos Yasmin.
Hanya bulan bulan pertama yang aku lalui dengan sangat berat, harus pacaran diam-diam, di
antar mas Dio sampai di gang yang agak jauh dari kos, janjian dengan mas Dio di tempat yang
tidak terdeteksi mbak-mbak kos. 3 bulan kemudian, aku mulai berjilbab dan sudah jarang minta
di antar dan ketemuan dengan mas Dio.
Kos Yasmin. Dia memang membawa banyak perubahan untukku. Hingga suatu sore aku
terpaksa ikut mengajar di TPQ mushola cahaya. Waktu itu aku merasa terpaksa dan tidak punya
alasan untuk mangkir dengan ajakan mbak-mbak kos. Tak bisa dipungkiri, hanya aku yang tidak
punya kerjaan di sore hari. Mbak-mbak yang lainnya sudah sibuk, ada yang ngajar les, ngajar
TPQ, sibuk ngurusi bisnis, ada juga yang sibuk organisasi di kampus. Apalagi mbak Fafa juga
bilang bacaan Qur’an ku bagus, sayang kalau ilmunya tidak diajarkan. Akhirnya aku mau ikut
ngajar TPQ di mushola cahaya dengan syarat dipinjami rok dan jilbab yang agak lebar. Sore itu,
mbak Fafa meminjamiku rok dan jilbab, lalu memboncengkanku ke mushola cahaya. Disitulah
aku bertemu dengan banyak anak-anak yang sampai sekarang selalu mengajarkanku semangat
untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Semangat untuk terus menuntut ilmu. Mereka adalah
anak-anak yang tinggal di bantaran sungai. Tapi semangat belajar mereka lebih besar daripada
anak-anak kota.
Ramadhan ini, setahun sudah aku dan mas Dio hilang kontak. Setahun yang lalu, sesaat
setelah beliau merasa keberatan dengan penampilanku yang mulai sering memakai rok dan jilbab
yang agak lebar. Aku merasa mas Dio justru tidak mendukung perubahan baikku. Aku merasa
mas Dio selalu menghindar dan tiba-tiba meninggalkanku. Tak kurang sering aku
menghubunginya waktu itu. Tapi, mas Dio tak pernah meresponku. Dia justru menyalahkanku.
Dia merasa tidak suka dengan penampilan dan sikapku yang berubah. Ada sakit yang menganga
sangat lebar di hatiku saat itu.
Senja ini, aku tidak tertarik untuk menikmati buka bersama adik-adik hebat di mushola
cahaya. Aku lebih tertarik dengan sunset yang selalu menawan dan selalu menghadirkan banyak
kenangan. Ah, memandangi langit senja selalu berlabuh takjub dengan segala ciptaan Nya.
Betapa garis-garis kuning kemerahan yang berpadu dengan cahaya yang seolah mengintip ini
menakjubkan.
Ketika aku sudah banyak berubah, ketika aku sudah hampir melupakannya. Ketika
duniaku sudah begitu bermakna meski tanpa mas Dio, tiba-tiba dia hadir dengan sikap yang
sangat berbeda. Sekarang dia mendukung dengan perubahanku. Bahkan dia sekarang juga sudah
sering berangkat kajian-kajian di masjid kampus. Kemarin mas Dio menelpon dan mengajakku
menjalin hubungan ta’aruf agar kita bisa menikah seperti rencana kita dulu. Kehadirannya di
ramadhan ini membuatku linglung. Ada getar kebingungan di hatiku. Di satu sisi aku tetap ingin
menikah dengan mas Dio, di sisi lain aku sudah merasa sakit hati dengan kejadian setahun yang
lalu.
Mbak Fafa mengetuk pintu kamarku jam 2 pagi. Beliau mengajakku sholat lail sebelum
sahur. Usai shalat lail, tiba-tiba beliau bertanya
“Dek Icha, beberapa hari ini kenapa diam? Ada masalah kah?”
“Nggak kok mbak”
“Emm, mbak merasa ada apa-apa dek. Tapi, yasudah kalau tidak mau cerita.”
“Mbak, aku sebenarnya pengen cerita. Emm, mas Dio mbak”
“Iya, ada apa dengan mas Dio yang dulu itu dek?”
“Dia ngajak saya nikah mbak.”
“Nikah?”
“Iya mbak.”
“Kalau menurut mbak, ya di istikarah i dulu aja dek. Tidak menutup kemungkinan beliau adalah
jodohmu meski dulu sudah menjadi mantan pacarmu. Mungkin sekarang adalah kesempatan
yang kalian berdua sama-sama sudah lebih baik. Bisa ada ta’aruf. Tapi ingat, jangan lama-lama.”
“Maksudnya mbak?”
“Ya kalau niat proses mau nikah ya di segerakan. Kalau lama-lama ya takutnya jadi pacaran lagi,
kan sayang kamu sudah berubah sejauh ini. Jangan terlena buta, harus ditanya lebih lanjut.
Benar-benar mau ta’aruf atau hanya pacaran tapi dengan label taaruf.”
“Iya juga ya mbak.”
Beberapa hari ini aku istiharah dan yang selalu kepikiran adalah kata-kata mbak Fafa
tentang ta’aruf beneran atau pacaran berlabel ta’aruf. Ada sisi yang membuatku tetap ingin
kembali dengan mas Dio, karena 4 tahun bukan waktu yang singkat. Tapi, kalau di pikir-pikir,
pun setahun belakangan ini aku juga bisa menjalani hidup yang terasa lebih bermakna tanpa mas
Dio. Aku ingin mengakhiri kegalauan ini. Akhirnya aku bertanya pada mas Dio tentang kapan
rencana kita nikah. Dan aku mendapat jawaban. Beliau bercerita kira-kira 2 tahun atau mungkin
3 atau mungkin juga 4 tahun sampai mas Dio keterima PNS.
Luruh sudah hartiku. Bulat sudah keputusanku. Tenyata memang ada benarnya kata-kata
mbak Fafa. Aku tak boleh terlena dengan ajakan menikah yang belum jelas kapan. Aku takut
godaan cinta di ramadhan terindahku kali ini justru akan mengembalikan aku seperti yang dulu
lagi. “Maaf mas, saya tidak bisa bertaaruf dengan Mas Dio 2-4 tahun. Terima kasih atas semua
kebaikan selama ini. Dan semoga mas Dio bisa mendapat jodoh yang terbaik nanti.” Sms ini aku
kirim dan menjadi sms terskhir diantara kita, dan aku bisa fokus ibadah di sisa-sisa beberapa hari
terakhir ramadhan. 1 minggu penuh aku mengikuti i’tikaf di masjid kampus. Aku ingin kembali
menikmati indahnya ramadhan tahun ini yang hampir berakhir.
Lebaran hari ke 3, mbak-mbak kos Yasmin main kerumahku dengan membawa undangan
nikah mbak Fafa dan mas Isal. Aku tahu mereka berperoses dengan baik dan prosesnya tidak
lama. Alhamdulillah, proses mereka dimudakhan Alloh. Beginilah proses yang bersih gumamku.
Sambil aku berdoa semoga bisa menjalani proses yang bersih pula suatu saat nanti.
Pertanyaan mbak Fafa terakhir saat pamitan. “Kapan bisa mulai ngajar adik-adik di
mushola cahaya lagi Cha?” Pikirannku melayang kesana ke tempat aku bertemu dengan adik-
adik mungil yang sholih sholihah. Tempat yang menyibukkan aku dengan kebaikan. “Nanti
mbak minta tolong kamu ngajari dik Ghozy untuk tilawah di walimahan mbak ya.” “Siap mbak!”
Ada setumpuk rindu dengan adik-adik di mushola cahaya. Ada setumpuk kebahagiaan dengan
kabar bahagia mbak Fafa dan mas Isal. Ada setumpuk kelegaan karena godaan cinta ramadhan
tak membuatku jauh, justru lebih dekat dengan Nya. Terima kasih ya Robb.
 ……………………………………………….. 

Rhozifah Asmi. Penulis yang masih banyak belajar untuk berkarya. Bermain dan belajar bersama
anak-anak adalah salah satu hobinya. Bekerja sebagai salah satu pendidik di sebuah kelompok
bermain dan taman kanak-kanak islam terpadu di solo. Lahir di klaten, dan sejak kecil bercita-
cita menjadi seorang pendidik. Beberapa karyanya dapat di lihat di syifaasmi.tumblr.com

Anda mungkin juga menyukai