Anda di halaman 1dari 98

G.M.

SUDARTA (Mantan Pemeluk Katolik) :


Melihat Anakku Sejak Berusia 3 bulan Senang Mendengar Azan

Nama saya Geradus Mayela Sudarta, biasa disingkat G.M. Sudarta. Saya lahir
pada hari Rabu Kliwon di Desa Kauman, Klaten, Jawa Tengah tepatnya pada 20
February 1948. Saya putra bungsu dari pasangan Hardjowidjoyo dan Sumirah.
Keluarga besar saya, separo Katolik dan separo Islam. Ayah saya Islam Kejawen
atau kebatinan, sedangkan ibu saya muslimah. Sejak kecil sebenarnya saya
sudah bersyahadat, tapi dalam bahasa Jawa. Meski kemudian ketika menjelang
remaja saya dipermandikan (dibaptis). Ini mungkin karena pengaruh adik-adik
ayah (paman) yang beragama Katolik. Saya sering ikut ke Gereja bersama
mereka. Karena seringnya ke Gereja, saya pernah berujar, "Mendengarkan lagu
Gregorian itu sama indahnya seperi mendengar Adzan."
Walaupun saya sudah dibaptis dan sering diajak ke Gereja, namun saya seperti
tidak beragama Kristen Katolik saja, saya juga merasa sudah begitu akrab
dengan agama Islam. Ibu dan saudara-saudara ibu, juga berasal dari keluarga
muslim, jadi dapat saya katakan saya sudah begitu akrab dengan Islam.
Ketika saya di SMP saya bahkan pernah menjadi Ketua Rating PII (Pelajar Islam
Indonesia) di sekolah. Ketika SMA, saya terlbat dalam pendirian Teater Akbar
bersama Deddy Soetomo. Kebetulan, anggotanya kebanyakan dari PII. Teater
yang saya dirikan sering menjuarai Festiyal HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam).
Teater kami sering membawakan naskah-naskah karya Arifin C. Noer, salah
satunya adalah naskah yang berjudul mniah. Naskah ini sering kami pentaskan.
Bahkan dalam Kongres PII, Teater Akbar menjadi juara pada festiyal seninya.
Akibat kemenangan ini, sebuah surat kabar terbitan Semarang menulis, tidak
semua anggota Teater Akbar orang muslim. Posisi saya dalam teater ini menjadi
serba salah. Padahal saya hanya penata panggung dan kadang-kadang figuran.
Pernyataan surat kabar ini pastilah ditujukan kepada saya.
Bagi saya, ini bukan masalah, dalam hal ini saya beruntung dibela oleh
sastrawan O'Galelano. Menurutnya yang penting adalah estetikanya. Muslim
atau bukan, yang penting bagus.
Selain aktif di dunia teater, saya juga bergaul dengan teman-teman muslim. Dari
sanalah saya mulai membaca buku tentang keagamaan. Selain itu, saya juga
membaca buku-buku Tan Malaka dan sejenisnya, serta buku yang lebih bersifat
eksistensialis. Saya selalu bertanya, sehingga saya makin berfikir untuk mencari
sebab dan akibat kehidupan.
Saya hidup untuk apa? Apalagi anggota Pelukis Rakyat banyak mempengaruhi
saya, sehingga saya bersimpati pada perjuangan mereka, karena ada sebagian
anggota yang ikut menjawab pertanyaan saya. Tapi, itu tidak begitu lama.
Akhirnya saya terus berfikir untuk mencari tahu. Saya pernah berfikir, Tuhan ada
atau tidak ada, tidak menjadi soal.

Sering Ziarah
Untuk menjawab itu, saya sering pergi kebeberapa makan Sunan (Wali). Saya
sering tidur di makam Syekh Maulana Yusuf di Banten, makam Sunan Kudus,
bahkan sampai ke Gresik. Namun, pertanyaan itu makin gencar dalam hati saya,
walaupun saya sadar tidak akan terjawab. Saya banyak mencari-cari terutama
hal-hal yang musykil.
Perjalanan ziarah itu bukanlah untuk mencari apa-apa. Bahkan saya tidak tahu
untuk apa. Pertanyaan itulah yang menuntun saya mengunjungi atau menziarahi
makam para sunan, bahkan sampai tidur disana. Yang jelas saya mencari
pertanyaan yang tidak pernah terjawab tentang Tuhan.
Dari perjalanan mengunjungi makam para wali itu, saya pernah mengalaim
kejadian aneh. Di saat saya mengunjungi makan Syekh Maulana Yusuf di Banten,
saya di datangi seorang Arab berbaju putih dan bersorban, dengan logat yang
kaku ia berbicara tentang Nabi Isa As. Orangnya pintar sekali.
Selanjutnya orang itu menjabat tangan saya, anehnya bau wanginya selama
satu minggu tidak hilang, walaupun sering saya cuci. Dari situ saya mencari
orang itu sampai ke Kudus dan tempat lain. Saya mencari orang itu tapi tidak
ketemu.
Walaupun saya bukan seorang muslim, namun mengunjungi makam para wali
sangat berarti bagi saya. Selain mencari jawaban atas hakikat hidup, sekaligus
juga untuk mencari inspirasi dalam usaha kerja saya sebagai sorang kartunis
(Aktif dalam Harian Kompas, Red).
Dari perjalan ziarah inilah, saya menemukan kedamaian dan ketenangan.
Banyak hal yang saya temukan. Yang jelas saya kini mendapatkan ketenangan.
Walaupun saya masih dalam tahap mempelajari Islam, namun saya sudah
mendapatkan karunia itu. Oleh Tuhan saya dititipi sepasang anak kembar.
Dari semua itu semakin menyadarkan saya, bahwa pegangan yang sederhana
tetapi mempunyai kekuatan yang luar biasa adalah agama dan doa kita itu pasti
diterima dan dikabulkan Tuhan.
Agama, inilah jawaban yang saya terima dari perjalanan saya mengunjungi
makam para wali untuk mencari hakikat hidup. Saya benar-benar disadarkan
akan pentingnya sebuah pegangan hidup; Agama - yang menjadi pegangan
mengarungi lautan kehidupan.

Masuk Islam
Dari apa yang telah dititipkan Tuhan pada saya -- sepasang anak kembar -- saya
kembali disadarkan oleh rasa keberagamaan saya. Aryo Damar, anak saya yang
laki-laki, sejak berusia tiga bulan sampai sekarang, bila ada adzan Magrib di
televisi, ia tidak mau melepaskan diri dari depan kaca televisi. Kalaupun sedang
menangis, ia berhenti dahulu untuk mendengarkan adzan. Kejadian ini saya
rekam dan saya abadikan dalam kaset video. Kelakuan anak saya ini semakin
memperingatkan dan membuat saya yakin bahwa pegangan paling sederhana
dan mempunyai kekuatan adalah Agama.
Akhirnya, saya putuskan untuk menerima apa yang terjadi pada diri saya. Saya
mengikrarkan diri menjadi seorang muslim, dengan kata lain menerima Islam.
Perpindahan saya menjadi seorang muslim ini disambut baik oleh teman-teman
saya dan mereka memberi beberapa buku agama, tafsir Al-Qur'an dan buku Fiqih
Sunnah karya Saayid Sabiq lengka 12 jilid. Bahkan yang aneh ada teman saya
yang memberikan Al-Quran jauh sebelum saya mengucapkan dua kalimah
syahadat. Mungkin ia sudah mendapat firasat.
Selain itu, banyak pula teman-teman saya yang menyatakan penyesalannya atas
keputusan saya itu. Mereka menyesali perubahan yang terjadi pada diri saya.
Namun itu tidak membuat saya mundur. Saya tetap berkeyakinan untuk menjadi
seorang muslim.
Islam bagi saya adalah agama yang memiliki toleransi paling tinggi. Dengan
Islam saya menjadi lebih mantap memastikan pegangan hidup. Kini saya banyak
belajar dari istri untuk mendalami agama terutama belajar Al-Qur'an. Selain
kepada teman-teman saya juga sering mendiskusikan dengan para tokoh agama.
Hal ini saya maksudkan untuk memantapkan keimanan saya.

HAKMAN TUMANGGOR SOLON (Mantan Pemeluk Kristen) :


Kembali ke jalan yang Benar

Saya dilahirkan pada 16 Juli 1958 sebagai anak keenam dari delapan bersaudara
di desa Aeksidung, Kec. Pakkat, Kab. Tapanuli Utara, Sumatra Utara. Nama
lengkap saya Hakman Tumanggor Simbolon, Agama asli saya sebenarnya Islam,
Ayah saya juga muslim, sedangkan ibu, memang Kristen Protestan. Namun, sejak
kelas 3 SD, saya pindah ke agama Kristen Protestan, hal ini disebabkan oleh
kuatnya pengaruh lingkungan yang mengelilingi saya.
Seperti diketahui, daerah Tapanuli selama ini memang identik dengan Kristen.
Waktu itu saya belum tahu apa-apa. Tapi, saya bisa merasakan betapa
terasingnya menjadi muslim di sana. Bayangkan, di desa saya itu, yang
beragama Islam cuma dua keluarga. Termasuk keluarga saya. Selebihnya,
pemeluk Kristen yang taat. Akhirnya, keluarga kami bergabung dengan agama
kebanyakan di sana. Dan, ayah saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Selepas SMA, saya merantau ke Surabaya untuk mencari pekerjaan. Di ibu kota
jawa Tunur itu, saya tinggal di rumah paman. Pahit manisnya kehidupan saya
kecap di kota Pahlawan itu, Berbagai pekerjaan saya lakukan. Termasuk menjadi
tukang batu, juga pemah saya jalani.
Karena di Surabaya kurang prospektif, saya pindah ke Ngawi. Di Ngawi pun saya
tak mendapatkan pekerjaan yang pas. Setahun kemudian, saya pindah ke
Situbondo, bekerja di sebuah pabrik gula. Kali ini pekerjaan saya cukup
menyenangkan. Saya tinggal di perumahan yang disediakan untuk karyawan
pabrik tersebut.
Kebetulan, rumah dinas saya itu dekat dengan sebuah pesantren. Teman dan
lingkungan pergaulan saya banyak dari kalangan santri. Mereka baik sekali dan
ramah perilakunya. Islam benar-benar ditampilkan sebagai agama yang
bersahabat, sekaligus mengayomi pemeluk agama yang lain. Keadaan itu
menguakkan kembali nostalgia saya tentang Islam yang pernah saya peluk dulu.
Dan, kerinduan untuk mempertuhankan Allah mulai menggayuti hati saya.
Walaupun pekerjaan saya boleh dibilang mapan, tapi yang namanya keinginan
untuk meraih sesuatu yang lebih baik selalu tumbuh dalam jiwa saya. Karena itu,
pada tahun 1982, saya melamar ke Deperindag dan diterima. Saya lalu
ditempatkan di Deperindag Kab. Jember.
Di situlah saya berkenalan dengan seorang gadis muslim berdarah Malaysia.
Namanya Siti Nurjannah. Perkenalan itu berlanjut pada kesamaan hati untuk
bersama-sama merenda masa depan. Hubungan kami semakin lengket. Dalam
pada itu, keinginan saya untuk kembali ke pangkuan Islam semalan menggebu.
Lebih-lebih bila teringat pesan ayah bahwa di antara delapan orang anaknya,
hanya sayalah yang paling beliau harapkan untuk mewarisi keimanannya.
Dan memang, sejak lahir saya telah mengikuti agama ayah Sedangkan saudara-
saudara saya yang lain lebih tertarik pada agama ibu. Harapan ayah itu telah
sekian tahun saya sia siakan. Dan, saya merasa berdosa karenanya.

Kembali ke Islam
Akhirnya, pada 16 Juli 1983, saya mantapkan hati untuk setia dan mengikuti
ajaran Nabi Muhammad SAW., yang ditandai dengan membaca dua kalimat
syahndat di rumah calon istri saya di Kelurahan Gebang, Jember. Saya bahagia
sekali karena telah berhasil memenuhi harapan ayah. Tiga bulan setelah itu,
kami bersanding di kursi pelaminan.
Langkah pertama yang saya lakukan setelah kembali menjadi seorang muslim
adalah berusaha memahami secara benar apa dan bagaimana Islam itu. Sebab,
kendati saya pernah menjadi muslim, namun sedikit sekali yang saya tahu
tentang Islam. Justru yang kemudian banyak saya pelajari adalah keluhuran sifat-
sifat Yesus. Dan, itu ikut membentuk kepribadian saya.
Selain membaca buku-buku Islam, saya juga banyak berdialog dengan beberapa
tokoh (Islam) masyarakat. Adalah K.H. Baharudin Rasyid, mantan anggota DPRD.
Beliau adalah orang yang paling sering saya jadikan tempat bertanya tentang
hal-hal yang tak saya mengerti. Terutama soal-soal keislaman. Beliaulah guru,
sekaligus bapak angkat saya.
Temyata Islam itu amat luas. Ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan. Mulai
dari mau pasang alas kaki sampai mau berkumpul dengan istri semua ada
aturan atau tata caranya.
Dan yang penting, Islam itu tidak mengenal propaganda, apalagi memaksakan
kehendak dalam penyebaran dakwahnya. Hal ini berbeda sekali dengan agama
"tertentu". Yang kerap kutemukan, mereka sering menggunakan berbagai
propaganda untuk menarik simpati umat lain.
Ada semacam penyesalan atau perasaan bersalah karena cukup lama saya
berpaling dari Islam, yang kadang menusuk jiwa saya. Karena itu, ingin sekali.
saya menebusnya dengan memberikan yang terbaik untuk Islam. Termasuk
dalam rangka itu adalah mendidik dan membesarkan empat orang anak kami
sebagai generasi muda Islam yang tangguh.
Sejak kecil, mereka saya biasakan mengenal Islam. Saya tak ingin "kasus" yang
pernah saya alami di waktu kecil, menimpa mereka. Tapi, bukan berarti mereka
tak boleh bergaul dengan anak nonmuslim. Bagi saya, siapa saja boleh dijadikan
teman, namun dalam soal agama harus ada batas yang jelas. Kita sebagai orang
tua dituntut bisa menanamkan dasar keimanan yang kokoh dan senantiasa
memantau perkembangan anak-anak.
Selain itu, dari kelebihan rezeki yang saya dapat, saya dapat membantu
memperbaiki mushala. Sebulan sekali saya mensponsori penyelengaraan
pengajian keagamaan di mushala tersebut dan alhamduliilah, sampai sekarang
masih tetap berjalan. Sedangkan di masjid, saya bantu-bantu di bagian takmir.
Di sisi lain, saya tak putus asa untuk mencari ilmu dan menambah wawasan.
Akhirnya, saya berhasil meraih gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas
Moch. Sroeji, Jember. Ini semua saya beberkan bukan untuk menepuk dada,
tetapi sebagai perwujudan dari rasa syukur, karena saya telah kembali ke jalan
yang benar.
BREDLY NGONGOLAY (Mantan Pemeluk Katolik) :
Kematian Anak Membawa Hikmah

Bredly Ngongolay adalah nama asli saya sebelum memeluk Islam. Bredly adalah
nama kesayangan di keluarga saya, yang berasal dari Manado, Sulawesi Utara.
Saya dilahirkan di Kota mobagu, Manado, 28 April 1961. Sedangkan istri saya,
Lenda Polii, dilahirkan di kota Mogoyunggung, 18 Februari 1968.
Sewaktu masih menganut agama Kristen Katolik, saya memang rajin beribadah
ke gereja. Bahkan, saya senang sekali mendengarkan ceramah-ceramah dari
pendeta. Saya semakin yakin, karena Tuhan Maha kasih dan Sayang. Tapi, ada
sesuatu yang mengganjal di benak saya. Ketika itu anak saya yang pertama
sakit dan akhirnya meninggal. Namun aneh, dalam keadaan tertekan, karena
duka cita yang dalam, batin saya bertanya mengapa justru orang-orang muslim
yang mau peduli dan memperhatikan kesedihan saya itu?
Dari pengurusan jenazah sampai penguburan, semuanya diurus oleh orang
Islam. Sebenarnya saya sudah lama melirik agama Islam, dan ingin
memeluknya. Maka, di depan jenazah anak saya itu saya mengucapkan ikrar dua
kalimat syahadat.
Memang, tampaknya umat Islam lebih sering melakukan ibadah dan berdoa
ketimbang umat Kristen. Dalam Islam yang meninggal tidak boleh didandani,
apalagi dengan pakaian mewah, perhiasan yang indah, dan mahal. Itu tidak
boleh sama sekali. Apa sebenarnya yang dimaksudkan oleh Islam dengan
menetapkan peraturan seperti itu? Hati saya penuh diliputi tanda tanya.
Saya mulai bersimpati, karena agama Islam begitu indah, rapi, dan bersih.
Terutama apabila mau menghadap (ibadah) kepada Tuhan-Nya. Tata cara
ibadahnya pun lebih sering dikerjakan. Bahkan, setiap waktu tanpa henti. Begitu
juga mayat yang hendak dikubur tidak boleh lama-lama dan harus segera diurus,
dimandikan, lalu dikafani dengan kain putih Yang bersih, setelah itu dishalatkan.
Benar, setelah saya pikir-pikir, Islam itu indah dan enak. Sesampai di kuburan
untuk mengantar yang terakhir kali, umat Islam berdoa bersama-sama.
Sehingga, jika itu diresapi dalam hati, merinding bulu kuduk saya. Satu hal lagi
yang menarik hati saya kepada agama Islam ialah, karena Islam mempunyai
kitab suci yang tidak sama dengan kitab-kitab suci umat Kristen ataupun umat
lainnya. Karena bacaannya begitu indah dan merdu bila didengarkan. Sejak
turun ke bumi hingga sekarang, tetap tidak berubah. Tidak ada tangan-tangan
manusia yang dapat mengubahnya, walaupurn hanya satu ayat.
Maka, bacaan Al-Qur'an yang sangat indah itu dapat menggetarkan hati saya
bila mendengarnya. Tentu saja, semuanya itu tidak lepas dari bantuan kawan-
kawan dan teman-teman saya yang muslim. Sehingga, mereka dapat
mengantarkan saya kepada petunjuk dan hidayah Allah SWT.
Sebaliknya, di agama saya, malah nyanyi-nyanyi, main kartu, meminum
minuman keras, dan lain sebagainya. Ketika saya berkunjung dan berkonsultasi
dengan tetangga muslim, H. Insan Syaukani, kepada beliau saya sering bertanya
masalah ajaran Islam dan tata cara peribadatannya. Mulai saat itulah, saya
sudah meninggalkan semua kebiasaan buruk, seperti minum minuman keras,
mabuk-mabukan, hura-hura, dan lain-lain.

Masuk Islam
Singkat cerita setelah melalui pertimbangan-pertimbangan yang matang,
akhirnya saya mengucapkan dua kalimat syahadat, dengan dibimbing oleh H.
Insan Syaukani dan disaksikan umat Islam lainnya. Peristiwa amat bersejarah
dalam hidup saya itu terjadi pada tanggal 6 Mei 1998. Lalu saya menambah
nama saya menjadi Muhammad Bredly Ngongolay.
Selang sekian waktu, istri saya menyusul jejak saya mengucapkan dua kalimat
syahadat, setelah sekian waktu belajar tata cara ibadah dan agama Islam. Maka
tambah yakinlah saya kini setelah istri saya juga mau memeluk agama Islam
pada tanggal 14 Mei 1998. Namanya saya tambahkan menjadi Khadijah Lenda
Polii. Kini, keluarga kami benar-benar merasakan kebahagiaan. Ternyata,
kematian anak kami membawa hikmah, kami menemukan kebenaran Islam.
Kini, saya bercita-cita untuk mendidik anak kami yang nomor dua, Brelen, yang
saya beri nama Islam Abdul Rasyid Brelen (gabungan dari nama saya dan istri,
Bredly dan Lenda). la kini sedang belajar di sebuah TK dekat rumah kami.
Harapan kami, semoga kelak ia akan menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT.
Untuk mengisi kegiatan, kami pun sekeluarga selalu mengaji pada Senin malam,
Selasa malam, dan Sabtu malam. Selain itu, kami masih mendatangkan guru
khusus untuk memberikan pelajaran tentang Islam. Rasa syukur saya panjatkan
kepada Allah, sebab atas hidayah dan taufik-Nya jualah yang mengabulkan doa
kami. Tak lupa terima kasih kepada ikhwan dan akhwat yang telah rela berkorban
baik materiil maupun moral kepada kami.
GO BING CHING (Mantan Pemeluk Kristen) :
Ikut Khitanan Massal

Sesuatu yang wajar bila warga keturunan Cina menganut agama Kristen, seperti
saya yang lahir dari orang tua keturunan Cina. Papa saya, Go Liong Wat dan
mama Lu King Sang yang sama-sama menganut agama Kristen, tentunya
mempunyai pengharapan terhadap anak laki-laki yang dilahirkannya.
Walaupun papa dan mama bukan termasuk penganut Kristen yang fanatik, tetapi
saya mendapatkan bimbingan yang intens dalam mengenal agama keluarga
kami itu. Papa saya yang asli keturunan Cina walaupun lahir di Purwokerto, selalu
menanamkan cinta kasih terhadap sesama. Demikian juga mama, selalu
mengingatkan saya untuk taat kepada ajaran agama Kristen
Saya lahir di Semarang, Jawa Tengah, 22 Januari 1953, kota tempat papa saya
bekerja. Seingat saya, saya belum pernah menginjakkan kaki ke negeri leluhur
kami di Tiongkok, kerena papa dan mama saya segera membawa saya ke daerah
asal ibu di Dusun Barongan, Jetis, Bantul, Yogyakarta.
Setelah menetap di dusun itulah saya mulai merasakan perubahan cinta kasih
yang diberikan papa. Pasalnya, papa harus bekerja di Semarang, sementara saya
dan mama tinggal di dusun. Namun, di Dusun Barong inilah saya justru
menemukan iman yang baru.
Ketika papa saya jarang berkumpul dengan keluarga, maka perhatian dan cinta
kasih yang dulu selalu ditanamkannya, semakin pudar. Terlebih mama, beliau
selalu disibukan oleh dagangannya. Sehingga, tanpa saya sadari, saya yang
ketika kecil dulu selalu hafal dengan nyanyian-nyanyian gerejani, ketika itu larut
oleh suasana dusun yang islami.
Papa dan mama, seperti sudah saya katakan, bukan pengikut Kristen yang
fanatik. Oleh kerenanya mereka tidak pernah melarang saya, apalagi memarahi
jika melihat saya bergaul dengan kawan-kawan sebaya, dan kerap bermainmain
di masjid sebelah rumah. Mereka tampaknya sudah disibukkan oleh pekerjaan
mereka masing-masing. Barangkali mereka khawatir jika dilarang saya tidak
akan mempunyai kawan.
Ketika papa dan mama disibukkan dengan rutinitas kerja, maka pada saat itu
seakan-akan agama buat mereka hanya sekadar sebagai pengisi kolom agama
dalam KTP Karena itu tak mengherankan jika saya dimasukkan ke sekolah
Muhammadiyah Pulo Kadang, satu-satunya SD yang ada di sekitar Dusun
Barongan. Dan, di SD ini saya mulai mendapatkan sesuatu yang berbeda dengan
yang pernah disampaikan kedua orang tua saya.
Tuhan yang menurut kepercayaan Kristen melebur dalam 3 oknum (Tuhan Bapa,
Tuhan Anak, dan Roh Kudus) dan sering disebut sebagai trinitas, sedangkan
didalam Islam diyakini hanya satu (esa) dalam arti yang mutlak, yaitu Allah SWT.
Yesus yang oleh orang Kristen konon diyakini mati di tiang salib untuk menebus
dosa umatnya, temyata tidak demikian dalam pelajaran yang saya terima dari
guru di SD Muhammadiyah itu.

Ikut Khitanan Massal


Dengan suasana seperti itulah saya berkembang menjadi seorang remaja.
Walaupun saya sudah memahami tata cara shalat, tetapi saya belum
mengerjakannya. Sehingga, apa yang saya pelajari khususnya tentang Islam
baru bersifat pengetahuan belaka. Saya masih takut dengan ancaman Tuhan
Yesus yang dulu sering diceritakan papa dan mama saya.
Menginjak usia remaja, semua teman-teman saya yang laki-laki sudah dikhitan,
sedangkan saya belum. Saya jadi bingung, mengingat ajaran orang tua saya
tidak menganjurkan hal seperti itu. Rupanya kebingungan saya itu diketahui oleh
seorang guru yang mengajar anak-anak mengaji di masjid sebelah rumah.
Sehingga tanpa memberitahukan orang tua saya, saya didaftarkannya mengikuti
khitanan massal. Dan, pada saat khitanan itulah saya bersama anak-anak
lainnya dibaiat dengan cara mengucapkan dua kalimat syahadat.
Mengetahui kejadian itu papa dan mama saya seperti tidak ambil pusing. Mereka
tidak menampakkan kemarahan, walaupun tidak menampakkan kegembiraan.
Yang jelas sehabis mengucapkan syahadat itulah saya diberi penjelasan tentang
konsekuensi menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Mulai saat itulah saya
mulai mencoba apa-apa yang sudah saya pelajari, khususnya shalat. Tetapi
untuk mengerjakannya di rumah, saya belum berani, sehingga terpaksa saya
harus ke Masjid Nurul Huda atau ke rumah tetangga.

Ujian Iman
Menginjak usia 32 tahun, saya melangsungkan perkawinan secara Islam dengan
seorang gadis desa. Namanya Suratmi. Beberapa waktu lamanya tidak terjadi
sesuatu yang menyulitkan diri saya. Saya mulai berdagang kecil-kecilan dengan
membuka kios di Pasar Barongan, Jetis. Di samping itu, saya mulai aktif sebagai
anggota jamaah Masjid Nurul Huda.
Di saat-saat saya sedang aktif itulah, berbagai cobaan mulai muncul. Tetapi itu
says pikir bukan lantaran Aktifitas saya di Masjid Nurul-Huda, melainkan karena
status kewarganegaraan yang saya miliki.
Memang saya akui, sebelum aktif di jamaah Masjid Nurul Huda, hampir tidak
pernah terjadi kesulitan yang berarti pada diri saya. Saya diperlakukan
sebagaimana umumnya WNI yang lain: mendapat KTP, SIM, dan fasiiitas lainnya.
Tetapi setelah aktif di masjid, tiba-tiba saya mendapat surat dari pamong desa
yang isinya mencabut kepemilikan KTP atas nama saya. Mulai saat itulah
berbagai teror bermunculan.
Saya sering disebut-sebut sebagai penjajah di negeri orang. Saya sering
didatangi petugas. Mereka menteror saya macam-macam dengan alasan status
kewarganegaraan saya dipertanyakan. Bahkan, pemah seorang pejabat
pemerintah datang mengharuskan saya untuk selalu pasok upeti sebagai
imbalan atas domisili saya di tempat itu.
Lucunya lagi, beberapa petugas keamanan datang dengan masing-masing
mengendarai sepeda motor. Mereka minta pada saya untuk memenuhi bensin
sepeda motomya. Dan setelah penuh mereka pun pergi tanpa memberikan uang
sepersen pun. Hal-hal seperti itu masih sering terjadi sampai saat ini.
Untuk menyelesaikan proses kewarganegaraan, sebenamya sudah saya
usahakan. Tetapi hingga kini hasilnya tetap nihil. Beberapa upaya telah saya
tempuh, namun belum juga tampak hasilnya. Mereka mensyaratkan sesuatu
yang tidak mungkin bisa saya penuhi. Sebab, untuk mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari saja saya sudah ngos-ngosan.
Karena status kewarganegaraan itulah saya jadi tersiksa. Setiap langkah dakwah
yang saya kerjakan selalu mendapat rintangan. Saya dianggap hidup di negeri
orang. Dan yang paling menyakitkan, saya dianggap sebagai penjajah. Atas itu
semua saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya berserah din pada Allah.
Semoga saya yang lemah ini kuat menerima cobaan, Amin.
Setelah era reformasi ini, kini semua telah berjalan dengan baik dan cobaan-
cobaan itu telah berlalu, hal ini tentunya memang telah ditetapkan oleh Allah
SWT untuk hamba-hambanya yang berserah diri kepadaNya.

ISKANDAR WAWORUNTU (Mantan Pemeluk Kristen):


Islam Luar Biasa Indah

Sebetulnya, sejak kecil Iskandar Waworuntu bersinggungan dengan Islam.


Iskandar kecil sudah sering puasa, kendati hanya ikut-ikutan teman-temannya
yang beragama Islam. Bahkan waktu usia 12 tahun ia sudah mengucapkan
syahadat. ''Waktu itu ikut teman mengikuti ilmu kanuragan (bela diri-red) dan di
situ harus diislamkan. Jadi saya bersyahadat, tetapi hanya untuk kepentingan
yang sempit,'' tutur pemilik usaha di bidang pertanian organik ini.
Waktu itu ia belum tergerak untuk memeluk agama Islam. Apalagi, latar
belakang keluarganya pun tak ada yang mendukungnya untuk mengenal Islam
lebih jauh. Ayahnya, Wiya Waworuntu (almarhum), adalah seorang aktivis
lingkungan dan ibunya, seorang pelukis asal Inggris, Judith, adalah penganut
Kristen yang taat.
Bangku sekolah tak lagi menarik minat Iskandar di usianya yang ke-14. Ia
memutuskan untuk tidak meneruskan sekolah usai tamat SMP dan lebih memilih
hidup dengan caranya. Dia merantau dan berpetualang. Daerah 'jajahannya'
bahkan sampai Australia, dia tinggal beberapa waktu di negeri itu.
Selama petualangannya, hampir semua agama pernah ditekuninya, termasuk
Islam.''Saya lebih senang yang pendekatannya lebih ke spiritualisme,'' kata
pemilik usaha pertanian organik Pupuan Organic Farm di Bali ini tentang alasan
yang membuatnya jatuh hati pada suatu agama.
Tahun 1972 ia tinggal di Yogyakarta dan aktif di Bengkel Teater. Di sini ia pernah
mengawali membuat kerajinan kulit di Kasongan berupa tas, dompet, ikat
pinggang, dan aneka cindera mata lainnya. Sekitar tujuh tahun ia menekuni
usaha itu.
Tahun 1982 Iskandar mengikuti transmigrasi spontan bersama teman-temannya
dan membuka pertanian di Bengkulu. Di sinilah ia bertemu dengan belahan
jiwanya, Darmila. Pada tahun 1984 mereka menikah dan tahun 1987 pasangan
muda ini meninggalkan Bengkulu.
Kehidupan perkawinan menuntunnya untuk kembali dekat dengan Islam.
Isterinya seorang Muslim. Satu ucapan yang mengesankan dari istrinya tentang
agamanya adalah, ''Orang melihat Islam dari jauh sebagai agama yang paling
senang menakut-takuti.''
Ia kembali menyelami Islam setelah melihat ketekunan istrinya beribadah. Dan
yang terlihat di dalam Islam, kata Iskandar, berbeda sekali dengan wajah yang
selama ini tampak di permukaan. ''Mudah-mudahan itu bagian dari hidayah saya
menemukan Islam,''ungkap pendiri Yayasan Lingkungan Hidup Wisnu di Bali ini.
Iskandar mengakui semua tuntunan yang dicarinya sebagai seorang praktisi
lingkungan dalam konteks kedudukan manusia dan alam, justru ia temukan di
dalam Islam. Tuntunannya amat rapi dan komplet, kata ayah dari Tanri (19
tahun), Tanra (17 tahun), Krisna (12 tahun), dan Wiya (1).
Di dalam Islam, kata Iskandar, ia menemukan sesuatu yang terbaik yang
dicarinya. Bagi banyak orang yang belum kenal Islam, syariat Islam terkesan
berat: shalat lima waktu, puasa, belum lagi harus bersunat.
Sesudah jatuh cinta pada Islam, syariat itu menjadi sesuatu yang luar biasa
indah. ''Bagi saya, Islam itu bukan pilihan, tetapi hidayah yang tak habis-
habisnya kita syukuri. Bagi saya Islam sesuatu yang luar biasa indah karena saya
diberi tuntunan untuk bisa lebih dekat dengan Allah,''ungkap Iskandar yang baru
4-5 tahun ini betul-betul tekun beribadah menjalankan ajaran Islam.
Iskandar mengatakan isterinya sangat senang setelah ia betul-betul berislam
lahir batin. Namun, ketika Iskandar memutuskan memeluk agama Islam, anak-
anaknya sudah ada yang meningkat remaja. ''Sampai sekarang ada dua anak
saya yang masih dalam keadaan bimbang. Sedangkan anak yang ketiga malah
pernah masuk pondok pesantren,'' ujarnya yang mengaku tak letih mendoakan
agar anak-anaknya itu mendapatkan jalan dan hidayah seperti yang dia
harapkan.
Sekarang ia dengan beberapa teman sedang berusaha untuk membuat sebuah
pusat kajian lingkungan, khusus untuk menfasilitasi para santri di pondok
pesantren tradisional sebelum mereka kembali ke masyarakat. ''Sesudah mereka
di Pondok Pesantren selama 7-10 tahun, saya ingin mereka dapat melakukan
kegiatan yang berkaitan dengan ilmu-ilmu terapan dan semua bisa
dipertanggungjawabkan. Sehingga nanti bisa dipakai sebagai bekal kehidupan
mereka di masyarakat,''tutur dia.
Saat ini ia sedang menyiapkan tempatnya dan sudah punya tanah di daerah
Imogiri. ''Mudah-mudahan kami bisa mengumpulkan uang lebih cepat, sehingga
insya Allah tahun ini sudah bisa mulai. Mudah-mudahan ini menjadi cikal bakal
sebuah kebaikan tradisi untuk mendapatkan rezeki yang barokah,''kata Iskandar
yang senang belajar apa saja secara otodidak ini.
Ia pun saat ini sedang mencoba untuk melaksanakan keyakinannya yaitu
membuat rumah makan yang halalan thoyyiban sesuai tuntunan Islam, tetapi
juga bisa diterima secara umum. Rumah makan yang didirikan sejak Juni 2004 di
Yogyakarta tersebut berawal dari keprihatinannya terhadap hampir semua
industri yang punya tendesi zalim, yang mengabaikan kepentingan kesehatan
dan sosial.
''Usaha saya ini niatnya dalam rangka ibadah. Saya berharap Sobo menjadi
sebuah jalan. Bahan-bahan yang digunakan tetap berpegang dengan nilai-nilai
yang mau saya perjuangkan, yaitu thoyyiban, baik, dan bermanfaat bagi
kesehatan, serta berkeadilan. Selain itu tentu saja juga harus memberikan rasa
dan suasana yang enak,''tutur Iskandar yang lahir di Jakarta tahun 1954 ini.
Orientasinya pada bahan lokal. Bahan baku restorannya ditanam dengan cara
tidak merusak lingkungan dan bisa meningkatkan pendapatan petani. Semoga
berhasil.
SUKARNO (Mantan Pemeluk Katolik) :
Sejak Kecil Mengidamkan Jadi Seorang Muslim

Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, saya sudah tertarik untuk shalat
bersama dengan teman-teman sebaya, terutama bila melihat mereka shalat
berjamaah, baik di tempat tinggal saya maupun di sekolah pada saat pelajaran
agama. Tapi, hasrat untuk melakukan shalat itu sempat terbendung, karena saya
sadar, saya bukan seorang muslim. Harap maklum, saya anak ketiga dari enam
bersaudara. Ibu saya Karma dan ayah Dwijo Samino adalah pemeluk Katolik.
Saya sendiri lahir di Sleman, Yogyakarta, 3 Agustus 1967.
Sejak kecil, saya sudah ditanamkan ajaran Katolik yang dipeluk kedua orang tua.
Namun, entah mengapa, hati saya menolak menerimanya. Tentu saja, penolakan
itu harus saya pendam di dalam hati. Kadang-kadang saya suka nekat. Tanpa
sepengetahuan orang tua, saya sering meminta teman-teman yang muslim
untuk mengajarkan saya tata cara mengambil wudhu dan shalat. Ternyata,
mereka dengan senang hati mau mengajari, hingga saya dapat melakukan
gerakan shalat, walaupun belum bisa sepenuhnya membaca ayat ataupun
bacaan-bacaan lainnya.
Keinginan besar itu tidak pernah padam hingga saya diterima bekerja sebagai
pegawai negeri sipil (PNS) di instansi TVRI Semarang. Dalam menjalankan tugas
sebagai seorang kamerawan TVRI, bila meliput kegiatan keislaman, saya begitu
tertarik.
Bila ada waktu luang akan saya pergunakan untuk menambah wawasan tentang
Islam dengan bertanya kepada para kiai yang saya temui di lapangan. Dari
masukan yang saya dapatkan itu, semakin memperkokoh hasrat saya untuk
memeluk Islam. Tapi, tentu tidak semudah itu untuk melaksanakan keinginan itu.
Orang tua saya pasti akan menentang.
Sebenarnya, bisa saja saya langsung menjadi seorang muslim. Sebab bila
kemungkinan terburuk, misalnya saya dikucilkan dari keluarga, tentu sudah tidak
menjadi masalah. Sebagai seorang PNS, saya merasa sudah dapat membiayai
kehidupan saya sendiri tanpa harus terus bergantung kepada orang tua.
Tapi, saya bukan tipe orang sombong, yang mentang-mentang sudah mandiri,
lantas dengan begitu saja membuat keputusan tanpa memikirkan perasaan
orang tua yang sudah melahirkan dan membesarkan. Saya mencari waktu yang
tepat, sehingga tidak mengecewakan orang tua terlalu besar. Walau
bagaimanapun, mereka tentu kecewa kepada saya. Sebagai orang tua, mereka
tentu merasa kehilangan anaknya.

Menikah
Saya sempat bimbang, antara keinginan untuk memeluk Islam dan menjaga
perasaan orang tua. Saya merasa sudah cukup dewasa untuk menentukan
pilihan. Termasuk dalam hal memilih pasangan hidup. Muncul ide dalam benak
saya untuk memuluskan jalan menjadi seorang muslim, paling tidak, saya harus
beristrikan seorang muslimah.
Ternyata, Tuhan mempertemukan saya dengan wanita yang juga seorang PNS
asal Sukoharjo. Sri Supatmi, namanya. Saya kenal ia sekitar satu tahun yang lalu.
Calon istri yang saya idamkan dari keluarga muslim ini, tentu akan
memperlancar jalan saya untuk menjadi seorang muslim.
Namun, keinginan saya untuk menikahi Sri tertunda karena saya mendapat
panggilan tugas belajar ke Yogyakarta selama satu tahun. Tugas belajar dimulai
awal April 1999 lalu dan berakhir Januari 2000. Waktu yang cukup panjang untuk
dapat menikahi gadis pilihan saya itu.
Saat masuk asrama inilah saya bertemu teman-teman yang berasal dari seluruh
Indonesia dan mayoritas beragama Islam. Secara resmi saya memang belum
memeluk Islam, tapi saya sudah merasa sebagai pemeluk Islam. Bersama
teman-teman satu asrama, saya melaksanakan shalat berjamaah dan sekaligus
mendapat bimbingan dari mereka.
Teman-teman di asrama telah lebih dulu mengakui saya sebagai seorang
muslim, walaupun secara resmi belum disaksikan masyarakat luas dan disahkan
secara hukum. Atas bimbingan dan pandangan teman-teman serta motiyasi
mereka, membuat saya memutuskan untuk menikahi gadis idaman saya itu saat
tugas belajar. Hal ini dipercepat dari rencana semula. Sebenamya saya baru
akan menikah setelah pendidikan tahun 2000 mendatang.
Allah SWT telah mendatangkan jodoh bagi saya, sekaligus mempercepat proses
saya menjadi seorang muslim secara resmi. Termasuk di sini saya memberanikan
diri untuk menyatakan bahwa agama yang terbaik bagi saya adalah Islam,
kepada orang tua dan saudara-saudara saya.
"Bapak sedih, tapi bapak tidak bisa apa-apa, kamu sudah dewasa dan kamu
sendiri yang menentukan jalan hidupmu sendiri, " kata bapak saat saya
menyampaikan niat saya masuk Islam. Perasaan sedih juga terpancar dari wajah
ibu. Mungkin beliau kecewa.
Kebulatan tekad memberanikan diri saya berterus terang. Saya anggap ini
adalah saat yang paling tepat untuk mengutarakan serta memintakan restu
orang tua melamar gadis pilihan saya itu. Mereka pun tak bisa menolak.
Saya diislamkan di Masjid Syuhada Yogyakarta, usai shalat Jumat, 6 April 1999.
Suatu peristiwa bersejarah dalam hidup saya, disaksikan rekan-rekan satu
pendidikan, para dosen, pimpinan perguruan tinggi kedinasan. Dan yang paling
membahagiakan, sebagian besar jamaah Masjid Syuhada yang baru usai shalat
Jumat tidak mau beranjak menyaksikan pengislaman saya.
Alhamdulillah, saya mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lancar, dituntun
imam Masjid Syuhada. Tiba-tiba saat selesai mengucapkan syahadat, saya tak
mampu menahan haru yang teramat sangat, sehingga berkucuran air mata.
Tangis saya meledak saat melihat rekan saya yang hadir turut larut haru dan
mengucurkan air mata. Syahadat menggetarkan sesuatu dalam batin yang tak
dapat saya lukiskan dengan kata-kata. Saya pun resmi menjadi seorang muslim.
Sekitar satu bulan lebih setelah resmi memeluk Islam, saya dipertemukan jodoh
oleh Allah SWT dengan Sri Supatmi, dan akhimya kami menikah pada 27 Mei
1999. Kebahagiaan ganda pun saya rasakan. Keingginan saya memeluk Islam
dan menikah dengan seorang muslimah terwujud sudah. Puji syukur ke hadirat
Allah SWT untuk semua limpahan ini.
Sesuatu yang tidak saya duga sebelumnya, dan ini merupakan kebahagiaan
yang lain lagi. Saya rasa limpahan rahmat ini menambah kebahagiaan bagi saya,
karena salah seorang adik saya berniat akan masuk Islam. Insya Allah.

LIEM TJOEI SAN (Mantan Pemeluk Katolik) :


Islam Bukan Sekadar Percaya
Katolik memang menjadi agama resmi pilihan keluarga kami. Papa saya, Liem
King Seng, beserta Mama Among selalu mengajak kami, anak-anaknya pergi ke
gereja, karena di sanalah keluarga kami tercatat sebagai jemaat. Meskipun
begitu, papa bukan termasuk orang tua yang suka memaksakan kehendak,
termasuk dalam masalah agama. Menurutnya, yang penting ia sudah mengajari
agama Katolik. Seandainya anak-anaknya mempunyai pilihan lain, itu urusan
mereka sendiri.
Nama saya Liem Tjoei San, lahir tanggal 2 Juni 1962 di Jakarta. Kebetulan saya
anak ketiga dari 12 bersaudara. Sejak lahir, tentu ajaran Katolik yang paling saya
tahu dan sering saya jalani. Setiap hari saya menerima dogma-dogma Katolik
dan setiap hari pula saya melakukan kegiatan yang bernapaskan Katolik.
Pendidikan dasar yang saya lalui di SD peninggalan Belanda yang dikelola
sebuah yayasan Kristen. Masa-masa kecil memang masih berjalan di atas rel
(baca: wajar) dan belum begitu memahami pentingnya agama. Apalagi
mempertentangkannya. Sehingga, setamat SD papa tak begitu risau ketika saya
memilih masuk SMP Islam Wijaya Kusumo Jakarta, meskipun berbeda keyakinan
dengan keluarga kami.
Padahal, di samping rumah saya juga ada SMP Katolik, tapi saya tidak tertarik.
Selama tiga tahun saya mempelajari Islam. Bukan waktu yang singkat untuk
sekadar mengerti agama. Namun begitu, hati saya belum terbuka. Waktu itu
agama Islam hanya sekadar untuk pengetahuan belaka.
Setamat SMP saya masuk ke SMA Negeri 2 Jakarta Barat. Seperti di SMP, di sini
pun saya menganggap agama bukan sesuatu yang prinsipil. Setiap kali mengisi
data pribadi, termasuk memilih pelajaran agama, saya malah tidak
mencantumkan agama Katolik atau Islam. Tapi justru saya tulis Budha. Akhirnya
pelajaran agama yang saya ikuti dari sekolah juga pelajaran agama Budha.
Di sini pun saya belum tertarik pada ajaran Budha. Entahlah.Waktu itu saya
masih menekuni agama Katolik. Seperti biasanya tiap Minggu bersama papa dan
keluarga saya ikut kebaktian di gereja.
Setamat SMA saya melanjutkan pendidikan ke Universitas Parahyangan (Unpar)
Bandung. Saya mengambil jurusan Teknik Sipil. Belum genap satu tahun, saya
pindah kuliah ke Universitas Tarumanegara Jakarta, sekaligus mengambil dua
jurusan: Teknik Sipil dan Hukum. Di sini saya juga hanya sebentar. Kemudian
saya pindah lagi ke Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag), juga di Jakarta.
Pada saat menjadi mahasiswa itulah pikiran saya mulai resah. Keresahan muncul
akibat seringnya saya bergaul dan berdialog dengan mahasiswa yang beragama
lain. Ya, waktu itu memang paling asyik bagi saya untuk membicarakan masalah
agama. Keresahan yang saya alami justru berasal dari agama yang saya anut
sejak kecil, dus berarti agama resmi keluarga.
Saya memang tidak bermaksud membuka rahasia agama lain. Apalagi menjelek
jelekkan. Karena menurut saya menjelekkan agama adalah perbuatan yang
tercela dan bisa mengakibatkan persatuan bangsa menjadi goyah. Hanya saja,
secara pribadi saya menemukan kejanggalan pada agama Katolik yang selama
ini saya anut.
Setidaknya ada tiga kejanggalan yang saya temui. Pertama, soal dogma trinitas
dan kisah penyaliban Yesus. Kedua, soal penghapusan dosa seseorang yang
cukup dengan datang kepada pendeta seraya mengakui kesalahan. Kemudian
yang bersangkutan diguyur dengan air suci oleh pendeta maka dosanya pun
terampuni. Ketiga, adalah soal hidup sesudah mati. Dalam agama Katolik amat
ditekankan arti kematian seseorang. Bagi umat Katolik, yang mati akan langsung
masuk surga. Mengapa demikian? Karena Katolik memiliki juru selamat, yaitu
Yesus. Juru selamat seperti ini tidak dimiliki agama selain Kristen maupun
Katolik. Memang enak dan menggiurkan. Tapi entahlah, saya malah tak
mengerti.
Dalam kebingungan seperti itulah saya mencari jawaban yang memuaskan di
hati. Tapi tak kunjung bertemu: Akhimya saya malas menjalankan ajaran Katolik.
Ingin rasanya pindah agama. "Tapi agama mana ya?" kata saya membatin.

Memilih Agama
Bagaimana dengan Budha? Tampaknya saya kurang sependapat dengan agama-
lain. Sebab, untuk menjadi tokoh agama itu, syaratnya tidak boleh kawin.
Bagaimana dengan Islam? Ya, saya memang tertarik pada agama ini. Mula-mula
saya pergi ke masjid dan mushala sekadar ketemu teman-teman. Di situlah
simpati saya pada Islam timbul lagi. Dengan pengalaman pengetahuan di SMP
dulu, saya sering ber-tanya pada teman-teman. Semakin hari saya semakin
tertarik. Bahkan, apabila melakukan suatu kegiatan saya tak ubahnya seperti
seorang muslim sejati, seperti puasa atau pun shalat Id.
Meskipun begitu hidayah Allah belum saya terima sepenuhnya sebab saya belum
bersyahadat. Namun, setelah bertemu dengan K.H. Nur Muhammad Iskandar
S.Q., pengasuh Pondok Pesantren Asshiddigiyah Jakarta, minat dan niat saya
untuk masuk Islam semakin kuat. Meskipun begitu masih juga belum mampu
mengantarkan diri saya mengucapkan ikrar syahadat.
Tapi aneh, hidayah Allah muncul sekaligus setelah saya berkenalan dengan
Sutirah yang kebetulan kos di sebelah rumah. Perkenalan itu semakin
mendorong hasrat saya untuk masuk Islam. Akhirnya, pada suatu hari saya
diajak berkunjung ke kampung halamannya.
Singkat cerita, akhirnya dengan perlahan dan khusyu, dengan dibimbing oleh
Kiai Imron (Kepala Urusan Kesra) saya meng-ucapkan ikrar dua kalirnat
syahadat. Nama saya diubah menjadi Ahmad Ichsan. Sejak itulah saya menjadi
muslim. Sejak saat itu pula ajaran Katolik praktis saya tinggalkan. Kisah
selanjutnya saya menyunting Sutirah sebagai teman hidup.
Walaupun kini saya tinggal di kampung istri saya yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, namun bukan berarti tanpa hambatan. Teryata ada juga yang
tidak rela saya masuk Islam. Kebetulan ia masih satu desa dengan saya.
Berulang kali ia datang dan meminta agar saya "pulang kandang" alias kembali
lagi ke Katolik. Tetapi, dengan tegas saya tolak ajakannya itu karena dalam Islam
saya telah menemukan apa yang selama ini saya cari. Saya bukan sekedar
percaya, tapi betul betul meyakininya.
Meski hubungan keluarga di Jakarta tetap baik, namun saya telah memutuskan
untuk tinggal di desa istri saya, di Sidorejo, Kecamatan Brangsong, Kabupaten
Kendal. Di tempat ini saya mencoba membuka toko keperluan pertanian dan
rumah tangga. Mulai dari pupuk, obat-obatan, sabun, rokok, dan buku-buku
sekolah.
Di desa ini saya betul-betul menemukan kedamaian. Di samping hidup di tengah-
tengah kaum muslimin, yang lebih membanggakan lagi kini persis di depan ruko
(rumah toko) kami telah berdiri sebuah mushala sehingga saya tak perlu
khawatir lagi terlambat mengikuti shalat jamaah, serta kegiatan-kegiatan
keislaman Iainnya.

BAGIAN III
KESAKSIAN MANTAN PEMELUK HINDU, BUDHA DAN KONG HU CHU

KWEE SE KAY (Mantan Pemeluk Kong Hu Chu) :


Mulai Percaya dari Surat Al-Fatihah

Selama ini aku sudah bisa mengislamkan 60 orang non-Muslim, termasuk orang
Amerika, tapi istriku sendiri belum masuk Islam. Aku anggap ini suatu ujian yang
diberikan Allah kepadaku.
AKU bernama Kwee Se Kay, dilahirkan di Purwakarta tanggal 24 April 1952. Aku
dilahirkan dari buah perkawinan dari ayahku yang bernama Kwee Cang Lang dan
ibuku Sow Fe Ing. Orangtuaku bekerja sebagai wira usaha, dari situlah aku mulai
belajar mencari uang, sampai sekarang usaha foto copy dan alat-alat tulis
tersebut aku lanjutkan, usaha tersebut sudah cukup untuk membiayai keluarga.
Kalau orangtua saat itu masih memeluk agama Kong Hu Chu, aku juga masih
memeluk agama orangtuaku, dan aku juga pernah masuk agama kristen namun
hanya sebentar. Dari 13 bersaudara aku adalah anak yang ke-9, dan hanya aku
saja yang masuk Islam.
Walaupun kedua orangtuaku tidak menyetujui dan tidak memberikan respon,
berkat keyakinanku akhirnya aku mengikrarkan diri mengucapkan dua kalimah
syahadat, aku resmi memeluk agama Islam pada tahun 1985 di al-Hidayah
Purwakarta di bawah bimbingan Bapak Maksum Effendi BA, Bapak Komar
Nuryaman, dan Bapak Mukhtar. Beliau-beliau ini juga yang merupakan
pembimbingku dalam menekuni ajaran Islam. Kini aku telah berganti nama
menjadi Budi Mulia Sugiarto.
Sebenarnya, aku mulai tertarik terhadap agama Islam, pada waktu aku di
hadapkan pada suatu permasalahan besar yaitu aku harus berhadapan dengan
seseorang yang aku anggap masalah ini akan mengorbankan perasaan dan
keberanianku, di sini aku mencoba memecahkan masalah dengan membaca
surah al-Fatihah sebelum aku melangkah dari rumah, dan alhamdulillah masalah
ini dapat diselesaikan dengan baik, aku tidak menyangka bahwa dengan
membacakan surat al-Fatihah saja orang yang aku hadapi akan berbalik takut
padaku. Dari sini aku mulai berpikir, dengan membacakan surat al-Fatihah saja
masalahku ini dapat terselesaikan dengan baik, sedangkan saat itu aku belum
menjadi seorang muslim, begitu manjur, apalagi kalau aku sudah menjadi
seorang muslim mungkin akan lebih manjur lagi. Kejadian ini berkisar sekitar
tahun 1981.

Misi terhadap Keluarga


Misiku terhadap keluarga adalah untuk dapat mengislamkan keluarga, kebetulan
pada saat ini, istriku belum menjadi seorang Muslim. Tapi alhamdulillah berkat
hidayah dari Allah, ketika aku berdo'a di Multajam Mekkah di situ ada kejadian
aneh yaitu waktu aku meminta kepada Allah ada yang mengucapkan qobul-qobul
sampai tiga kali dan setelah aku lihat kesekelilingku orang yang mengucapkan
qobul tadi tidak ada, aku berharap yang menyebutkan qobul tadi adalah malikat.
Dan mudah-mudahan dengan do'a tadi istriku bisa masuk Islam, setelah aku
pulang ke Indonesia istriku ingin masuk Islam, insya Allah tahun depan kami
akan bersama-sama berangkat ke Makkah dan aku minta doa dari pembaca
sekalian mudah-mudahan kami bisa berangkat ke tanah suci sekaligus
mengislamkan istriku.
Aku menganggap hal ini merupakan cobaan dari Allah, karena dengan hal ini
merasa tersendat. Aku teringat dalam surat al-Ankabut ayat 2: "Apakah manusia
cukup (begitu saja) mengatakan, kami telah beriman, sedangkan mereka tidak di
uji". Maksudku di sini, selama ini aku sudah bisa mengislamkan nonmuslim
sebanyak 60 orang termasuk orang Amerika yang bekerja di Indosat yang
bernama Job Martin salah satunya, tapi istriku sendiri belum menjadi seorang
muslim. Aku anggap ini suatu ujian yang diberikan Allah kepadaku.
Pernah terjadi dialog ketika aku mengadakan pengajian ibu-ibu, ada seorang ibu
bertanya kepadaku, "Saya akui, dakwah yang bapak uraikan sudah mantap, tapi
kenapa istri bapak sendiri belum masuk Islam?" Aku menjawab, Allah berfirman
dalam surat al-Qosas ayat 56 yang berbunyi, "Sesungguhnya engkau
Muhammad, tidak akan memberikan petunjuk pada orang-orang yang engkau
cintai, kecuali aku (Allah) yang bisa memberikan petunjuk kepada orang yang
aku kehendaki". Karena taufik dan hidayah itu datang dari Allah. Jadi dalam hal
ini bukannya aku tidak bisa mengislamkan istriku, mungkin taufik dan hidayah
belum turun dari Allah, jangan kita mahkluk Allah yang biasa, Nabi Muhammad
pun tidak bisa mengislamkan pamannya sendiri. Jadi, di sini jelas sekali bahwa
manusia tidak berbuat apa-apa kecuali ada taufik dan hidayah dari Allah.
Kalau dalam keluarga alhamdulillah sudah dikaruniai dua orang anak dan kedua-
duanya juga sudah masuk Islam. Yang satu sudah masuk sekolah di SMPN I
Purwakarta bernama William Permana, dan yang satu lagi bernama Lena Karela
sekolah di SD Yosudarso Purwakarta, dan nama istriku Leni Herawati.

Konsep Hidup
Konsep hidup dalam keluargaku adalah harus hidup bagaikan lebah yang dapat
memberikan sari pati madu yang manis kepada setiap orang, dan dapat
memberikan contoh yang baik. Sehingga orang bisa mencontoh kelakuan baik
kita. Dan sekarang aku sangat bersyukur sekali kepada Allah bahwasanya
sampai saat ini aku dapat memberikan suri tauladan yang baik kepada
masyarakat. Sehingga orang yang non muslim pun ada yang mengikuti konsep
hidupku termasuk orang Amerika yang sudah aku sebutkan di atas. Karena Allah
berfirman dalam surah An-Nashr yang berbunyi, "Apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah
dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji tuhanmu dan
mohon ampun kepadanya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat". Maka
disinilah kita perlu ketahui bahwa Islam itu sesunguhnya adalah demi
kepentingan seluruh umat dan memberikan kehidupan yang lebih baik dan hal
ini juga sudah dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad Saw, yaitu memberikan
suri teladan yang baik, aku sebagai Muslim harus mempunyai pandangan ke
sana.
Setelah aku masuk Islam, tiga tahun kemudian aku disuruh menjadi imam dan
khotib shalat Jumat dan Idul Fitri, sampai sekarang pun insya Allah aku masih
melakukan dakwah. Juga yang sangat aku syukuri aku bisa membina umat
karena seperti dikatakan Nabi kita, "Sampaikanlah kepadaku walaupun satu
ayat". Dan Allah mengatakan bahwa jihad fisabilillah itu harus dibarengi dengan
harta, ini juga sudah aku lakukan walaupun sedikit dakwah yang dilakukan hanya
di Purwakarta saja, di kota lain pun aku pernah seperti di Brebes, Bandung, dan
kota lainnya.

LEE DJIE MEN (Mantan Pemeluk Kong Hu Chu) :


Mimpi Shalat Menyadarkan Diri Saya

Saya dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1946 di Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur.
Kami bertetangga dengan keluarga Bapak H. Harmoko, mantan Ketua DPR/MPR
RI. Beliau adalah sahabat saya sejak kecil. Meskipun akhirnya jalan hidup kami
berbeda, namun itu tak membuat jarak di antara kami. Kami tetap Akrab bila
bertemu.
Saya terjun ke bidang bisnis dan industri tekstil. Kisah saya jadi industriawan dan
pengusaha tekstil yang sukses saya mulai ketika menjadi pedagang tekstil kecil-
kecilan di Pasar Klewer, Solo. Waktu itu saya wara-wiri menjual tekstil eceran.
Lalu, meningkat sampai mempunyai sebuah kios tetap.
Rupanya, saya memang hoki berbisnis tekstil, sehingga lambat laun saya bahkan
bisa membuka pabrik tekstil sederhana yang berlokasi di Jl. Kiai Maja di tepi
Bengawan Solo. Dengan memiliki pabrik tekstil sendiri, usaha bisnis saya maju
kian pesat. Lalu, bersama kakak kandung saya, kami mendirikan pabrik tekstil
besar seluas 65 hektar dengan inyestasi 300 miliar rupiah. Pabrik tersebut kami
beri nama PT Sri Rejeki Isman (Sritex), berlokasi di Desa Jetis, Sukoharjo.
Karyawan yang berkerja di sini kurang lebih 20.000 orang.
Pada tanggal 3 Maret 1992, pabrik kami tersebut turut diresmikan oleh Bapak
Soeharto bersama 275 pabrik aneka indusri lainnya di daerah Surakarta, Jawa
Tengah. Bukan main bangganya kami ketika itu. Terutama saya tentunya. Cita-
cita saya untuk menjadi orang kaya, tercapai sudah. Kini orang tak bisa lagi
menghina diri saya seenaknya. Sebab, saya bukan lagi Lukminto yang dulu
(miskin). Lukminto hari ini adalah Lukminto yang kaya raya, bahkan berhak
menyandang gelar "Raja Tekstil".
Tapi benarkah saya bahagia? Secara lahiriah memang, saya tak kurang suatu
apa pun. Punya rumah mewah, punya harta berlimpah, punya pabrik modem
dengan ribuan karyawan, dan punya istri cantik yang setia. Kurang apa lagi?
Tapi, ada satu hal yang tidak pernah saya rasakan: batin saya tak pernah tenang.
Saya selalu diliputi kegelisahan, karena selalu berpacu mengejar materi.
Sebagaimana umumnya WNI keturunan Tionghoa, keluarga kami adalah
penganut agama Budha Konghucu, yakni agama Budha yang telah bercampur
dengan tradisi dan pandangan hidup leluhur kami. Tetapi, karena kami dari
keluarga miskin maka pendidikan agama kurang mendapat perhatian. Kami lebih
disibukkan untuk mencari uang. Sejak kecil saya telah diajar untuk berdagang.
Saya masih ingat, pulang sekolah, saya dan kakak langsung berdagang
makanan-makanan kecil, seperti kacang goreng, permen, rokok, dan lain-lain.
Kedua orang tua kami selalu menekankan kepada kami agar kelak harus menjadi
orang kaya. Sebab jadi orang miskin itu tidak enak, selalu jadi cemoohan dan
hinaan orang, begitu pesan mereka. Kami pun selalu dididik untuk tidak boleh
puas terhadap perolehan yang kami dapat. Kalau perolehan yang kami dapat
hari ini sama dengan yang kemarin, itu berarti rugi.
Karena dicambuk oleh hal-hal yang seperti itu, saya tumbuh menjadi anak yang
mandiri dan ulet. Saya tak punya cita-cita yang muluk-muluk sebagaimana
lazimnya teman teman seusia saya ketika itu jadi pegawai negeri, ABRI, polisi,
pilot, dokter, dan lain-lain. Saya cukup bercita-cita jadi orang kaya.
Mengapa begitu? Sebab, saya tahu diri. Sebagai WNI keturunan, nasib kami
nyaris ditentukan oleh usaha dan keuletan kami sendiri. Setelah saya beranjak
remaja, saya semakin sadar bahwa posisi kami "kurang beruntung" dibandingkan
saudara-saudara kami lainnya. Kami tak bisa jadi ABRI, kami tak boleh jadi
pegawai negeri. Padahal kami sudah lahir di negeri ini, dan mencintai negeri ini
sama besarnya seperti saudara-saudara kami dari suku-suku lainnya di Nusatara
ini. Tapi, itulah kenyataan.
Tak Punya Pegangan
Tak ada jalan lain bagi kami untuk dapat bertahan hidup, selain
mengonsentrasikan seluruh daya dan kemampuan kami dalam bidang
perdagangan. Itulah barangkali faktor yang membuat kami menjadi suku bangsa
yang ulet berdagang. Tapi, risikonya, ya itu tadi, perhatian terhadap kehidupan
beragama sangat kurang. Bahkan dalam soal yang satu ini, saya nyaris tak
punya pegangan yang pasti. Di rumah, saya beragama Budha Konghucu, tapi di
sekolah saya beragama Kristen.
Agama buat saya ketika itu, tak lebih hanya sebagai tempelan belaka. Sebagai
penganut Budha, saya nyaris tak pernah ke wihara untuk bersembahyang.
Begitu pun sebagai penganut Kristen, saya nyaris tak pernah ikut kebaktian di
gereja. Karena terlalu dikejar obsesi untuk menjadi orang kaya, saya jadi lupa
segalanya. Saya tak tahu lagi mana yang halal dan mana yang haram.
Semua cara akan saya tempuh untuk memperoleh kekayaan. Termasuk dengan
jalan "muja" ke Gunung Kawi. Di tempat yang dianggap keramat ini banyak
orang yang datang untuk minta pasugihan (kekayaan). Melalui petunjuk yang
diberikan kuncen, saya mulai nglakoni (menjalankan) beberapa persyaratan yang
tak bisa saya ceritakan di sini.
Alhasil, dalam tempo singkat usaha dagang saya maju pesat. Yang semula saya
hanya pedagang tekstil eceran, meningkat bisa membuka kios, lalu membuka
pabrik tekstil sederhana, sampai akhirnya mendirikan pabrik tekstil raksasa
seperti PT Sritex tersebut. Kendati sudah menjadi Raja Tekstil, namun batin saya
kosong dari siraman rohani. Saya tak pernah merasakan kebahagiaan dan
kedamaian, sebagaimana yang sering saya saksikan dari kehidupan kaum
muslimin.
Sebagian besar karyawan saya beragama Islam. Sering saya saksikan, di sela-
sela waktu istirahat makan siang, mereka tak lupa menunaikan sembahyang
(belakangan saya tahu itu disebut shalat). Meskipun waktu itu di pabrik ada
tempat khusus untuk shalat (mushala atau masjid), namun mereka tetap
mendirikan shalat di beberapa tempat seperti di gudang dan di lorong-lorong
pabrik.
Sering saya amati, usai shalat wajah mereka tampak begitu cerah. Seakan
terpancar dari jiwa mereka yang tenang. Padahal saya tahu pasti, gaji mereka
tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kekayaan yang saya miliki. Suatu
kali, secara iseng pernah saya tanyakan kepada salah seorang karyawan,
mengapa mereka begitu disiplin melaksanakan shalat. Apa jawabnya?
Jawabannya sungguh membuat saya terkejut. "Kami shalat semata-mata untuk
mencari keridhaan Allah, sebab hidup di dunia hanya sementara. Ada kehidupan
yang kekal di akhirat kelak, yang harus kami persiapkan sebelum mati," begitu
jawab mereka.
Sungguh, selama itu saya tak pernah berpikir tentang mati. Yang saya tahu,
kematian itu hanyalah akhir dari kehidupan. Sedangkan menurut karyawan saya
yang muslim tadi, kematian adalah pintu atau jalan antara untuk menuju alam
lain yang disebut akhirat, di mana segala perbuatan manusia akan
diperhitungkan sesuai baik-buruknya. Mengingat itu semua, bulu kuduk saya
berdiri. Sungguh, saya amat takut menghadapi kematian dalam keadaan saya
yang bergelimang dosa.
Mimpi Shalat
Sejak itu, saya jadi pendiam. Saya jadi lebih suka merenung dan berpikir tentang
diri saya sendiri. Saya pun mulai suka mengikuti siaran Mimbar Agama Islam
yang ditayangkan TVRI setiap Kamis malam. Begitu tenggelamnya saya dalam
perenungan, sehingga pada suatu malam, tepatnya 10 Januari 1994 bertepatan
malam 27 Rajab (Isra Mikraj), saya bermalam di vila kami yang sejuk di daerah
Tawangmangu (Solo). Dalam tidur saya bermimpi diberikan sehelai sajadah oleh
teman karib saya, lalu saya disuruh melaksanakan shalat.
"Saya nggak bisa shalat," jawab saya. Lalu, teman saya memberi contoh
bagaimana caranya shalat. Setelah paham, saya pun disuruh mengulangi
gerakan shalat yang ia peragakan. "Shalatlah kamu," katanya. Lalu, saya pun
shalat. Tapi, baru separo jalan, saya pun terjaga. Temyata, itu hanya mimpi.
Sejak bermimpi seperti itu, saya jadi gelisah. Istri saya pun sempat bingung
melihat diri saya. Tapi saya tak menceritakan mimpi itu kepadanya. Untuk
beberapa waktu lamanya, mimpi itu hanya jadi rahasia diri saya seorang. Tapi
lama-lama saya tak tahan juga untuk tidak bercerita.
Kebetulan, saya mempunyai tukang pijat pribadi, namanya Pak Edi. la seorang
muslim yang taat. Ketika pada suatu malam saya minta dipijat olehnya, saya
ceritakanlah mimpi itu kepadanya. Mendengar cerita mimpi saya itu, Pak Edi
spontan bergumam, "Subhanallah, insya Allah tak lama lagi Bapak akan masuk
Islam," katanya mantap. "Benarkah?" tanya Saya. "Insya Allah," jawabnya pasti.
Sejak itu, saya pun mulai dibimbingnya untuk melaksanakan shalat. Saya pun
mengikuti sarannya untuk berkhitan. Tapi itu semua saya lakukan secara
sembunyi-sembunyi. Saya bahkan dikhitan di Jakarta. Ketika masuk bulan suci
Ramadhan, saya pun ikut melaksanakan ibadah puasa dan mengeluarkan zakat
(mal).
Karena sudah merasa mantap dengan pilihan hati saya itu, Pak Edi menyarankan
agar keislaman saya itu harus segera diproklamirkan. Alasannya, agar semua
orang tahu bahwa saya sudah muslim. Sarannya itu pun saya terima.
Singkat cerita, pada tanggal 11 Maret 1994 bertepatan dengan peringatan
Supersemar, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di hadapan umat
Islam dan karyawan PT Sritex, dibimbing oleh pimpinan Pondok Pesantren al-
Mukmin, Ngruki, Ustadz H. Moh. Amir, S.H.
Alhamdulillah, istri saya pun kini telah menjadi seorang muslimah. Bahkan pada
tahun 1995 lalu, bersama istri dan 10 orang staf PT Sritex, kami berkesempatan
menunaikan ibadah haji.
TAN HOK LIANG (Mantan Pemeluk Kong Hu Chu) :
Menemukan Hidayah di Penjara

Nama saya Tan Hok Liang, tapi biasa dipanggil Kok Lien. Saya dilahirkan di Tebing
Tinggi, Sumatra Utara, 1 Oktober 1957, sebagai anak ke-2 dari 17 bersaudara.
Pada umur 8 tahun saya masuk SD Tebing Tinggi. Ketika saya sedang senang
senangnya menikmati dunia pendidikan, tiba-tiba dunia sakolah terpaksa saya
tinggalkan karena ibu menyuruh saya berhenti sekolah. Jadi, saya hanya tujuh
bulan menikmati bangku SD. Mulai saat itulah saya menjadi tulang punggung
keluarga. Saya sadar, mungkin inilah garis hidup saya. Saya terpaksa harus
meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja membantu mencukupi kebutuhan
keluarga sehari-hari
Pada usia 12 tahun, saya mulai merantau dan menjadi anak jalanan di Terminal
Tebing Tinggi. Sehari-hari saya menjadi calo, mencari penumpang bus. Suatu
ketika, saya berhasil mencarikan banyak penumpang dari salah satu bus. Tapi
entah mengapa, tidak seperti biasanya, saya tidak diberi upah.
Terbayang di mata saya wajah kedua orang tua, adik-adik, serta kakak saya yang
senantiasa menunggu kiriman uang dari saya. Saya terlibat perang mulut
dengan sopir bus tersebut. Tanpa sadar, saya ambil balok kayu dan saya
pukulkan ke kepalanya. Akhirnya, saya berurusan dengan pihak yang berwajib.
Di hadapan aparat kepolisian, saya tak mau mengaku bersalah. Saya menuntut
hak saya yang tak diberikan oleh sopir bus itu.
Sebetulnya, saya tak ingin berurusan dengan pihak yang berwajib. Saya ingin
hidup wajar-wajar saja. Tapi entah mengapa, kejadian di Terminal Tebing Tinggi
itu terulang kembali di Terminal Medan. Dulu, selama di Terminal Tebing Tinggi,
saya menjadi calo. Tapi, di Terminal Medan, saya beralih profesi menjadi pencuci
bus.
Suatu ketika, tak saya sangka, tempat yang biasanya saya jadikan tempat
menyimpan uang, ternyata robek. Uang saya pun ikut lenyap. Saya tahu siapa
yang melakukan semua itu. Saya berusaha sabar untuk tak ribut dengannya.
Saya peringatkan saja dia. Ternyata, mereka malah memukuli saya. Waktu itu
saya berumur 13 tahun. Lawan saya orang yang sudah dewasa dan tinggi besar.
Saya sakit hati, karena tak satu pun teman yang membantu saya. Tanpa pikir
panjang, saya ambit parang bergerigi pembelah es yang tergeletak di antara
kerumunan lalu saya bacok dia. Dia pun tewas. Lagi-lagi saya berurusan dengan
polisi. Saat itu saya diganjar empat tahun hukuman di Penjara Jalan Tiang Listrik,
Binjai. Masih saya ingat, ibu hanya menjenguk saya sekali saja.

Merantau ke Jakarta.
Setelah bebas dari penjara, saya pulang kampung. Tak pernah saya sangka,
ternyata orang tua saya tak mau menerima saya kembali. Mereka malu
mempunyai anak yang pernah masuk penjara. Hanya beberapa jam saya berada
di rumah. Setelah itu, saya hengkang, mengembara ke Jakarta dengan
menumpang KM Bogowonto.
Saya hanya mempunyai uang seribu rupiah. Tujuan utama saya ke Jakarta
mencari alamat paman saya yang pernah menyayangi saya. Berbulan-bulan
saya hidup menggelandang mencari alamat paman. Waktu itu alamat yang saya
ingat hanyalah daerah Mangga Besar. Dengan susah payah, akhirnya saya
temukan alamat paman. Sungguh tak saya sangka, paman yang dulu
menyayangi saya, ternyata mengusir saya. Hilang sudah harapan saya untuk
memperbaiki masa depan.
Tekad saya sudah bulat. Tak ada orang yang mau membantu saya untuk hidup
secara wajar. Mulailah saya menjadi penjahat kecil-kecilan. Kejahatan pertama
yang saya lakukan adalah menjambret tas dan perhiasan nenek-nenek yang
akan melakukan sembahyang di klenteng.
Mulai saat itu saya telah berubah seratus persen. Keadaan mendorong saya
untuk melakukan semua ini. Pelan-pelan dunia jambret saya tinggalkan. Saya
beralih ke dunia rampok. Perdagangan obat-obat terlarang mulai saya rambah.
Dan terakhir, saya beralih sebagai bandar judi. Saat-saat itulahsaya mengalami
kejayaan. Masyarakat Jakarta menjuluki saya Si Anton Medan, penjahat kaliber
kakap, penjahat kambuhan, yang hobinya keluar masuk penjara, dan lain-lain.

Proses mencari Tuhan


Tak terbilang berapa banyak LP (Lembaga Pemasyarakatan) dan rutan (rumah
tahanan) yang sudah saya singgahi. Karena sudah terbiasa, saya tahu seluk-
beluk rutan yang satu dengan rutan yang lain, baik itu sipirnya maupun fasilitas
yang tersedia.
Di tembok penjara itulah saya sempat menemukan hidayah Tuhan. Ketika
dilahirkan, saya memang beragama Budha. Kemudian saya berganti menjadi
Kristen. Entah mengapa, tatkala bersentuhan dengan Islam, hati saya menjadi
tenteram. Saya menemukan kesejukan di dalamnya.
Bayangkan, tujuh tahun saya mempelajari Islam. Pengembaraan saya mencari
Tuhan, tak lepas dari peran teman-teman sesama tahanan. Misalnya, teman-
teman yang terkena kasus Cicendo, dan sebagainya. Tanpa terasa, hukuman
yang begitu panjang dapat saya lalui. Akhirnya saya menghirup udara segar
kembali di tengah-tengah masyarakat. Tekad saya sudah bulat. Saya ingin
berbuat kebaikan bagi sesama.

Masuk Islam
Tapi, kenyataannya ternyata berlainan. Begitu keluar dari penjara, saya dipaksa
oleh aparat untuk membantu memberantas kejahatan. Terpaksa ini saya
lakukan. Kalau tidak, saya bakal di 810-kan, alias didor. Dalam menjalankan
tugas, saya selalu berhadapan dengan bandar-bandar judi kelas wahid. Sebutlah
misalnya, Hong-lie atau Nyo Beng Seng. Akibat ulah Hong-lie, terpaksa saya
bertindak keras kepadanya. Saya serahkan dia kepada pihak berwajib.
Dan akhirnya, saya menggantikan kedudukannya sebagai mafia judi. Sudah tak
terhitung berapa banyak rumah-rumah judi yang saya buka di Jakarta. Saya pun
merambah dunia judi di luar negeri. Tapi, di situlah awal kejatuhan saya. Saya
kalah judi bermiliar-miliar rupiah.
Ketidakberdayaan saya itulah akhimya yang membuat saya sadar. Mulailah saya
hidup apa adanya. Saya tidak neko-neko lagi. Saya ingin mengabdikan hidup
saya di tengah-tengah masyarakat. Untuk membuktikan kalau saya benar-benar
bertobat, saya lalu masuk Islam dengan dituntun oleh KH. Zainuddin M.Z.
Setelah itu, saya berganti nama menjadi Muhammad Ramdhan Effendi.
Kiprah saya untuk berbuat baik bukan hanya sebatas masuk Islam. Bersama-
sama dengan K.H. Zainuddin M.Z., K.H. Nur Muhammad Iskandar S.Q., dan
Pangdam Jaya (waktu itu) Mayjen A.M. Hendro Prijono, 10 Juni 1994, kami
mendirikan Majels Taklim Atta'ibin.
Sengaja saya mendirikan majelis taklim ini untuk menampung dan membina
para mantan napi (narapidana) dan tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke
jalan Yang benar. Alhamdulillah, usaha ini tak sia-sia. Pada tahun 1996, Majels
Taklim Atta'ibin mempunyai status sebagai yayasan berbadan hukum yang
disahkan oleh Notaris Darbi S.H. yang bernomor 273 tahun 1996.
Kini, keinginan saya hanya satu. Saya ingin mewujudkan pangabdian saya pada
masyarakat lebih jauh lagi. Saya ingin mendirikan pondok pesantren. Di pondok
inilah nantinya, saya harapkan para mantan napi dan tunakarya dapat terbina
dengan baik. Entah kapan pondok pesantren harapan saya itu bisa terwujud.
Saya hanya berusaha. Saya yakin nur Ilahi yang selama ini memayungi langkah
saya akan membimbing saya mewujudkan impian-impian itu.

TIO HAM LIEM (Mantan Pemeluk Budha) :


Karena Doa Anak Yang terlebih dahulu masuk Islam

Pengantar : Mempunyai anak saleh atau saleha, jelas merupakan aset yang
sangat besar. Terutama bagi kedua orang tuanya. Hal yang seperti ini dirasakan
oleh Tio Ham Liem alias Abdul Halim Darma Mandera, pemilik Apotek Tanjung di
daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara.Seperti umumnya orang Tionghoa, kesibukan
Tio Ham Liem sangat lekat dengan dunia bisnis (perdagangan), apalagi ia
alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI). Sehingga karena
kesibukannya mengejar materi (kekayaan), perhatiannya kepada istri dan ketiga
orang anaknya menjadi berkurang.
Karena kondisi yang seperti itu, rumah tangga kami menjadi tidak harmonis.
Pertengakaran kerap mewamai kehidupan rumah tangga kami. Ketiga orang
anak kami menjadi terbiasa menyaksikan pertengkaran papi-maminya. Di mata
mereka, saya dan istri saya, sudah tidak mempunyai wibawa lagi sebagai orang
tua yang seharusnya mereka taati dan hormati. Alhasil, rumah tangga kami
nyaris cerai-berai.
Jangan bertanya soal agama kepada saya, pasti saya tidak dapat menjawab
dengan tegas apa agama yang saya anut. Pada KTP (Kartu Tanda Penduduk)
tertulis bahwa saya beragama Budha. Tetapi, saya sering mengikuti kebaktian di
gereja Katolik, meskipun sampai saat itu saya belum dibaptis. Di lain waktu,
pada saat-saat tertentu sebagai orang Tionghoa, saya kadang-kadang ikut
upacara tradisi leluhur (Konghucu). Barangkali, agama buat saya--pada waktu
itu--hanya sekadar formalitas sebagai seorang warga negara Indonesia.
Sebagai seorang yang berpikiran pragmatis, saya tidak pernah mengembalikan
segala urusan kepada Tuhan. Dalam pikiran saya pada saat itu tidak ada konsep
"campur tangan" Tuhan dalam urusan manusia.
Dalam perjalanan hidup sebagai pengusaha, saya seringkali mendapatkan
musibah, seperti mobil pernah terbakar, bahkan pernah tabrakan yang nyaris
merenggut nyawa saya. Piutang saya yang cukup besar, pernah tidak dibayar
orang. Belum lagi apotek saya yang pernah disegel karena suatu perkara. Tetapi
sampai sejauh itu, saya tidak pernah menyadari bahwa itu merupakan cobaan
Tuhan kepada saya.
Dalam kekalutan karena musibah yang datang hampir beruntun itu, tidak juga
menyadarkan diri saya kepada Tuhan. saya malah semakin tidak terkendali. saya
menjadi cepat marah. Persoalan kecil dan sepele, baik yang timbul dari istri
maupun anak, sering menyulut pertengkaran yang berlarut-larut. Bagi ketiga
anak saya, rumah tidak lebih ibarat neraka, sehingga mereka tidak betah di
rumah dan mencari ketenangan di luar rumah.
Anak saya yang tertua, Yuliwati, sudah duduk di bangku SMA. Sebagai anak
tertua ia amat prihatin dengan keadaan keluarganya yang nyars cerai-berai.
Sebagai kakak, ia khawatir terhadap perkembangan jiwa kedua adiknya. Tanpa
sepengetahuan saya, Yuliwati sering berkunjung ke rumah salah seorang teman
sekolahnya sekadar untuk berkonsultasi.
Rupanya secara diam-diam Yuli mulai tertarik kepada Islam. la amat terkesan
dengan kehidupan keluarga sahabatnya yang dinilainya sangat harmonis. Dan
setelah dipelajari, ternyata hal itu bersumber dari ajaran Islam yang secara amat
rinci--melalui Al-Qur'an dan Hadits-yang telah meletakkan dasar-dasar
pembentukan rumah tangga sakinah (harmonis).
Dari sinilah Yuli mulai mempelajari ajaran Islam, seperti shalat, puasa, dan lain-
lain. Meskipun Yuli belum diislamkan secara resmi, tetapi ia secara sembunyi-
sembunyi sudah melaksanakan shalat. Dan, pada bulan puasa tahun 1981, Yuli
sudah melaksanakan shaum (puasa).
Sampai sejauh itu, baik saya sebagai orang tuanya maupun kedua orang adiknya
tidak menyadari bahwa Yuli sudah menjadi muslimah. Hingga, pada suatu ketika
secara tidak disengaja neneknya (ibu saya) mendapatkan Yuli sedang shalat.
Dan ketika Yuli diajak untuk makan siang bersama, dengan alasan masih
kenyang, ia menolak makan siang. Karuan saja ibu saya menjadi curiga. Dan, ia
merasa perlu untuk menyampaikan perihal cucunya itu kepada saya.
"Anak kamu itu sudah lama Islam, ya?" tanya ibu kepada saya. Saya yang karena
kesibukan hampir tidak sempat memperhatikan perkembangan anak-anak saya,
mendengar kabar anak saya sudah masuk Islam, tentu saja seperti tersengat
listrik. Dengan geram saya panggil anak saya ini. Ketiga saya interogasi, anak itu
tidak mengakui kalau ia sudah masuk Islam. Barangkali Yuli takut karena melihat
kemarahan saya. "Awas ya, kalau kamu masuk Islam," begitu ancam saya
kepada Yuli.

Ikut Penataran P4
Sebagai pengusaha swasta, saya terkena kewajiban mengikuti penataran P4.
Sebetulnya, saya tidak berminat ikut, karena dari segi waktu, jelas saya rugi.
Tetapi, karena khawatir timbul anggapan yang bukan-bukan, terpaksa saya ikuti
penataran itu. Pada bagian akhir penataran, saya seperti mendapatkan sesuatu
yang baru, yang tidak pemah terpikirkan selama ini, yaitu persoalan hidup
sesudah mati.
Sang manggala (pemandu penataran P4) yang rupanya seorang muslim
membawakan materi Falsafah Hidup Bangsa Indonesia dengan pendekatan
Islam. Dikemukakannya bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan
untuk mencapai kemajuan. Dicontohkannya, seorang pemuda seb'elum menikah
ia bercita-cita beristri. Setelah menikah cita-citanya ingin mempunyai rumah,
seterusnya ingin mempunyai kedudukan yang mapan, dan seterusnya. Setelah
semua yang dicita-citakan telah tercapai, what next? Mau ke mana setelah itu?
Ketika membahas pertanyaan what next itulah sang manggala memperkenalkan
konsep kehidupan setelah mati yang dalam terminologi Al-Qur'an disebut
sebagai yaumal akhirah (kehidupan akhirat).
Baru pada hari itulah saya mendapatkan wawasan tentang "akhirat", sesuatu
yang tidak pernah saya jumpai dalam ajaran agama Konghucu, Budha maupun
Katolik. Dalam ajaran Katolik memang ada kehidupan surga dan neraka, tetapi
ukurannya tidak jelas. Berbeda dengan konsepsi akhirat dalam Islam yang amat
jelas. Waktu itu sekitar bulan Februari 1982.
Tidak lama sesudah itu, suasana kampanye menjelang Pemilihan Umum
(Pemilu)1982 mulai menghangat. Pada sebuah poster salah satu kontestan
Pemilu tertera tulisan, Perjuangan ... (nama salah satu orsospol peserta Pemilu)
Adalah Amal Dunia dan Akhirat. Lagi-lagi saya terusik untuk berpikir tentang
kehidupan akhirat.
Kebetulan, pada saat saya berkunjung ke rumah famili yang sedang sakit, saya
berkenalan dengan seorang kiai yang sengaja datang untuk mengobati si sakit.
Dalam perkenalan itulah terjadi dialog yang cukup serius, sehingga Kiai Faqih,
demikian nama kiai dari Garut itu, berkesimpulan, saya seorang yang tidak
mempunyai agama yang jelas.
Akhirnya dengan penuh keyakinan, Kiai Faqih mengajak saya untuk shalat ashar
berjamaah. Semula saya agak kaget juga ada orang yang berani mengajak
sembahyang secara Islam, di samping saya memang belum mengetahui tata
caranya. Tetapi, Pak Kiai hanya meminta saya mengikuti saja apa yang
dilakukannya sambil membaca bismillah dan Allahu Akbar.
Sebelum shalat, saya disuruh berwudhu dulu. Meskipun saya tidak paham sama
sekali, tetapi saya ikuti juga ajakan Kiai Faqih, sekadar coba-coba. Singkatnya,
saya pun ikut shalat jamaah. Dan pada saat sujud pada rakaat terakhir, saya
merasakan keanehan yang tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata.
Keharuan tiba-tiba datang mengisi relung hati saya, sehingga tanpa terasa, saya
meneteskan air mata.
Setelah hal itu saya utarakan kepada Kiai Faqih, dengan spontan Pak Kiai
mengatakan bahwa itu hidayah Allah kepada saya. Meskipun saya belum paham
betul apa yang dimaksud kiai, tetapi saya memang merasakan ketenteraman
dan kedamaian batin yang selama ini tidak pernah saya rasakan. Ketika akan
pulang, kiai berpesan agar saya berpikir untuk masuk Islam.
Masuk Islam
Setelah berpikir masak-masak, saya berniat masuk Islam. Niat ini saya
sampaikan kepada istri saya, Kho Haui Mey dan anak gadis saya yang tertua,
Yuliwati. Istri saya setuju dan bersedia ikut masuk Islam. Terutama Yuliwati yang
sebetulnya memang sudah lama masuk Islam. Sedangkan kedua anak saya yang
lain, Melanie dan Febrianto, justru berniat menjadi Katolik.
Singkatnya, pada tanggal 20 Mei 1982, kami bertiga--saya, istri dan anak saya
Yuliwati-mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di Masjid Agung Al-Azhar,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sejak saat itu, kami resmi menjadi muslim dan
muslimah. Saya Tio Ham Liem setelah muslim menjadi Abdul Halim Darma
Mandera, sedangkan istri saya menjadi Enny Ratna Permata.
Setelah menjadi muslim, saya baru mengetahui bahwa anak saya selalu berdoa
agar papi-maminya masuk Islam. Setahun setelah itu, 1984, anak gadis saya
yang kedua, Melanie, mengikuti jejak kakaknya menjadi muslimah setelah
sebelumnya terserang suatu penyakit "aneh", dan baru dapat disembuhkan
setelah masuk Islam. Sementara anak saya yang ketiga, laki-laki, Febrianto,
masih tetap dalam iman Katoliknya.
Bulan September 1984, Allah menguji keimanan saya. Apotek Tanjung, yang
menjadi andalan usaha bisnis saya, habis dibakar massa yang tidak terkendali
pada "Peristiwa Priok" ; pertengahan September 1984. Apotek yang saya rintis
dari bawah, hancur menjadi puing-puing. Tetapi, apa mau dikata, tidak ada yang
dapat saya lakukan kecuali pasrah dan tawakal atas semua takdir Allah. Apotek
dan semua kekayaan yang ada pada saya, semuanya milik Allah. Saya hanya
orang yang diberi-Nya amanah untuk mengelolanya agar mempunyai manfaat
buat umat.
Dan, Allah tidak menyia-nyiakan hamba-Nya yang ikhlas menerima ketentuan-
Nya. Dalam waktu 6 bulan, saya berhasil membangun kembali apotek saya yang
telah terbakar. Ini tidak lain semata-mata karena karunia Allah.
YAP GIN LIANG (Mantan Pemeluk Kong Hu Chu) :
Mengikuti jejak Kakek

Pengantar : Satu lagi bukti yang memperkuat bahwa Islam adalah agama yang
tidak membedakan manusia berdasarkan. ras dan golongan, kecuali takwanya
kepada Allah SWT. Hal ini amat dirasakan seorang tokoh perfilman Indonesia
yang juga wartawan budaya Harian Indonesia. Nama aslinya Yap Gin Liang,
tetapi lebih dikenal dengan panggilan Hengki Nero.
Lahir di Jakarta,16 Mei 1937 dari keluarga Cina Hokkian. Sejak SD sampai SLTA is
bersekolah di lingkungan masyarakat Cina. Pendidikan SLTA-nya dilalui di
Chinesse Commercial School, sebuah sekolah khusus untuk mencetak kader-
kader pengusaha bagi pemuda-pemuda Cina. Tetapi, panggilan jiwanya yang
kuat kepada dunia seni telah membuyarkan harapan orang tuanya yang
menghendaki agar ia menjadi seorang pengusaha.
Karena pilihan saya yang total ke dalam dunia seni, menyebabkan ekonomi
keluarga jadi morat-marit. Selama hampir 10 tahun, sejak tahun 60-an, saya
tidak pemah merasa sebagai orang asing dalam lingkungan seniman. Menurut
saya, dunia seni tidak mengenal batasan golongan. Saya bisa menyaksikan,
sekaligus merasakan bahwa para seniman yang berasal dari WNI keturunan,
seperti juga diri saya, tidak pernah mendapatkan hambatan dalam
mengembangkan karir di dunia seni. Di antara mereka adalah Tan Ceng Bok alias
Mat Item, Yo Kim San alias Usman Effendi, Fifi Young, dan lain-lain.
Karena lingkungan pergaulan di sekolah, membuat saya akrab dengan agama
Kristen Protestan, tetapi tidak sempat membuat saya menjadi Kristen yang
saleh, karena banyak di antara dogma ajarannya yang tidak dapat diterima
pikiran. Akhirnya, saya lebih memilih menekuni dunia seni.
Tetapi, dunia seni pun ternyata tidak mampu memenuhi dahaga rohani saya
yang kehausan. Seni yang saya geluti selama itu, tidak mampu menjawab
persoalan hidup sesudah mati. Akan ke mana manusia sesudah mati?
Beruntung, salah seorang teman saya yang juga seorang muslim Tionghoa,
dapat menangkap kegundahan saya. Akhirnya kami sering terlibat dalam diskusi-
diskusi yang serius. Tanpa menggurui, sahabat saya yang Cina muslim itu mulai
memperkenalkan konsepsi kehidupan menurut ajaran Islam. Shalat misalnya,
merupakan media komunikasi yang sangat intens antara hamba dan Tuhannya.
Filosofi shalat menuntut seorang muslim untuk tunduk hanya kepada Sang
Pencipta.
Di samping itu shalat merupakan media pengawasan-semacam waskat--yang
paling ampuh untuk mengontrol tingkah laku seorang hamba agar selalu ingat
kepada Tuhannya. Dengan demikian, hidup seorang manusia (hamba) akan
selalu terpandu dengan nilai-nilai kebenaran.
Sebetulnya, saya tidaklah terlalu asing dengan Islam, karena kakek saya dari
pihak bapak yang menjadi seorang Bek (kepala kampung) di Cibinong tahun 40-
an adalah seorang Cina muslim. Hanya sayang, tidak ada satu pun di antara
anak dan cucunya yang mengikuti jejaknya.
Akhirnya, niat saya bulat sudah, saya ingin masuk Islam. Tetapi sebelum itu,
saya ingin meminta restu kepada orang tua saya. Setelah keinginan itu saya
utarakan kepada orang tua, mereka hanya berpesan, kalau mau masuk Islam
jangan karena motif untuk mencari keuntungan pribadi.
Betapa bahagianya saya mempunyai orang tua yang tidak menghalangi niat suci
saya. Mereka bahkan memberikan arahan. Singkatnya, pada bulan April 1980,
bertempat di rumah Buya Hamka (almarhum), Ketua Umum MUI pada waktu itu,
saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat.
Pada upacara pengislaman itu, turut hadir kawan-kawan saya sesama wartawan
dan juga dari kalangan seniman dan orang-orang film. Bahkan, kemudian saya
diangkat anak oleh Ny Eli Jamaluddin Malik (ibunda Camelia Malik), seorang
tokoh muslimah NU.
Setelah menjadi seorang muslim, saya yang mendapat nama Islam, Muhammad
Hassan, banyak mencari ilmu dari Prof. Amura (Rektor Universitas Ibnu Chaldun
Jakarta) dan Dr. Mulya Tarmizi. Dengan demikian, di antara keluarga saya, hanya
saya yang mengikuti jejak kakek saya, Ang Tek Hoat (Bek Cibinong), menjadi
penganut Islam.

Tidak Memaksa Istri


Di samping belajar kepada orang-orang tertentu, saya juga sering mengadakan
pengajian warga di rumah saya. Sampai saat itu, istri saya belum menjadi
muslimah. Sebagai suami, saya tidak pemah memaksa istri dan ketiga orang
anak saya untuk menjadi pengikut Muhammad Rasulullah saw, meski secara
halus saya pernah mengajak. Saya ingin agar kesadaran untuk masuk Islam
benar-benar keluar dari niat yang ikhlas, tanpa paksaan.
Alhamdulillah, dari seringnya mengadakan pengajian di rumah, akhirnya istri
saya, Le Bi Nio alias Herawati, mulai tertarik kepada Islam. Itu berkat
pergaulannya dengan ibu-ibu yang sering datang ke tempat pengajian di runah
kami, baru empat tahun kemudian, tepatnya ketika saya pulang dari menunaikan
ibadah haji tahun 1984, istri saya baru mengikuti jejak saya untuk menjadi
seorang muslimah. Allahu Akbar.
Akan halnya ketiga orang anak saya, hanya Indra, anak laki-laki saya yang paling
bungsu yang mengikuti jejak kami(ayah ibunya) Sedangkan dua orang kakak
Indra, tetap sebagai penganut Protestan.
Tentang ini, saya tidak ingin kedua orang anak saya masuk Islam dengan
terpaksa. Saya khawatir, kalau mereka tidak akan menjadi muslim/muslimah
yang baik lantaran terpaksa. Sebab hanya membuat malu, kalau mengaku
muslim tetapi tidak melaksanakan ajaran dan syariat Islam.
HAN HWIE KHING (Mantan Pemeluk Budha-Katolik) :
Dikucilkan dari Keluarga

Saya dilahirkan tahun 1941 sebagai anak pertama dari empat bersaudara di Kel.
Kepanjen, Kec. Kota Sumenep, Madura. Sebagai WNI keturunan, saya dan orang
tua menganut agama Budha, meski warga Madura terkenal sebagai masyarakat
yang memiliki tradisi keislaman yang cukup kental, namun kami sama sekali
tidak terganggu karenanya, karena Islam sangat memahami dan menghormati
perbedaan.
Saat saya berusia 17 tahun, tepatnya lahir tahun 1958, kami pindah ke
Bangkalan, yaitu di desa Petra, Kec. Tanah Merah Kepindahan kami ke sini
sebenarnya hanya untuk mencari penghidupan. Namun, akhirnya ada hal lain
yang saya dapat yang justru tak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Di sini saya banyak bergaul dan berdiskusi dengan teman-teman muslim. Di
antaranya adalah Muh. Badrun. Dialah yang banyak berjasa dalam menanamkan
benih-benih keislaman pada saya. Bahkan, saatitu nama saya diubah menjadi
Hanafi. Sebuah nama yang bernuansa Islam, padahal saat itu dan jauh
sesudahnya, saya masih belum ada niat untuk pindah agama. Saya sendiri
senang dengan nama itu lantaran mengindonesia.
Apa yang saya tangkap dari Islam sebenarnya masih merupakan keyakinan yang
mengambang. Hati saya masih bimbang dan suka membanding-bandingkan
Islam dengan agama lain. Dalam perkembangan selanjutnya, benih keyakinan
saya pada Islam mengalami kerusakan. Bahkan pada tahun 1964, saya pindah ke
agama Katolik. Saat itu, saya tinggal di Surabaya, ikut Bude yang juga beragama
Katolik.
Ternyata, baik Budha maupun Katolik tak memberi kepuasan dalam batin saya.
Benih-benih keyakinan kepada Islam tumbuh kembali, namun tak segera
menemukan tempat untuk berkembang. Di awal tahun 1967, orang tua saya
pindah ke jember untuk membuka usaha baru. Saya pun ikut bersama mereka.
Sejak saat itu sampai sekarang saya menetap di kota Suwar-Suwir ini, tepatnya
di Kampung Sawahan, Kel. Kepatihan, Kec. Kaliwetan. Di situ lingkungannya
cukup religius. Saya merasa sangat cocok hidup dalam lingkungan semacam itu.

Masuk Islam dan dikucilkan


Akhirnya, pada pengujung tahun itu juga (1967) secara resmi saya masuk Islam.
Adalah Ustadz Salmi dan H. Abdul Hamid yang membimbing saya dalam proses
pengislaman itu. Tapi sebelum dibaiat, saya tanpa ragu menjalani khitan. Tak ada
rasa malu ataupun takut yang menghantui. Sebab, saya sadar bahwa itu adalah
sebagian dari perintah Allah.
Setelah masuk Islam, saya mengalami cobaan yang cukup berat. Hidup saya
dikucilkan dan diboikot dari keluarga dan sanak kerabat. Sampai saya menikah
pun (1969) aksi boikot itu masih tetap saya rasakan. Saya seakan menjadi anak
haram di mata mereka. Cuma Ibu yang bisa mengerti posisi saya. Diam-diam
beliau mengasihi saya sama seperti dulu. Istri saya, Siti Hanafiah, juga selalu
setia mendampingi saya.
Saya benar-benar merasa tersiksa akibat boikot itu. Bayangkan, saya sudah
punya tanggung jawab yang tak ringan untuk menghidupi keluarga, namun saya
belum slap untuk mandiri. Sementara, sanak kerabat saya tak ada yang peduli
dengan nasib saya. Cukup lama hidup saya terombang-ambing dalam
ketidakpastian. Namun, saya tetap yakin bahwa pertolongan Allah pasti akan
datang.
Untuk menyambung hidup, saya mencoba berjualan dengan memakai gerobak
dorong--cikal bakal "Depot Hanafi" (1978), Berkeliling menelusuri kota dan baru
kembali setelah jualan habis adalah pekerjaan saya setiap hari. Saat itu, saya
besar-benar bekerja memeras keringat, banting tulang. Lambat laun usaha saya
berkembang. Hingga empat tahun kemudian berdirilah "Depot Hanafi" yang
terletak di timur alun-alun kota Jember. Alhamdulillah, sampai kini depot itu
masih bisa bertahan.
Rahmat Allah terns mengiringi hidup saya. Ekonomi saya kini sudah lebih dari
cukup. Keempat orang anak kami senantiasa saya didik dan dorong untuk
menjadi muslim yang baik Saya memang menaruh perhatian yang cukup besar
pada mereka. Sebab, merekalah pewaris cita-cita dan keimanan saya.
Sebuah cita-cita yang memang telah lama saya rindukan, akhirnya terkabul juga.
Tahun 1988, saya dan istri menunaikan rukun Islam yang kelima, pergi haji ke
Baitullah. Momentum itu saya pergunakan dengan sebaik baiknya untuk
bermunajat kepada Allah SWT. Saya benar-benar merasa telah menjadi hamba--
Nya. Saya bersama istri ditakdirkan untuk mencium Hajar Aswad. Sungguh, ini
merupakan karunia Allah yang patut saya syukuri.
I KADEK HENDRAWAN (Mantan Pemeluk Hindu) :
Al-Qur'an membuat saya berubah

Islam ternyata bukan seperti agama yang saya bayangkan, tapi Islam benar
benar memberi ketenangan jiwa yang tidak pernah saya temukan sebelumnya.
Islam juga mempunyai toleransi yang tidak pula saya temukan sebelumnya.
Islam mempunyai toleransi yang besar terhadap sesama umat manusia dan rasa
sosial yang tinggi, yang kadang kubanding bandingkan dengan agama lain.
Ruh Islam seakan jauh sekali dan hidup saya karena sejak usia kanak-kanak saya
sangat akrab dengan lingkungan agama Hindu. Tak heran, karena ayah saya
termasuk seorang Pemangku (sesepuh agama Hindu). Sejak usia dini, saya
sudah disibukkan dengan beragam Aktifitas ritual. Antara lain sembahyang
dengan berbagai sarana, seperti dupa, bunga-bungaan, serta air yang semuanya
merupakan alat menuju kekhidmatan kepada Sang Penjaga Alam. Kebiasaan ini
saya ikuti saja, hingga saya memasuki sekolah menengah atas (SMA) di
Singaraja, Bali.
Bulan Juni 1997, saya pindah ke Jakarta guna meneruskan pendidikan ke
perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan. Ayah sangat berharap saya menjadi
orang yang berpendidikan tinggi. Segeralah saya dikirim ke Jakarta guna
mewujudkan kemauan ayah.
Di Jakarta, saya sudah mulai kenal pergaulan kota metropolitan, yang mayoritas
penduduknya memeluk agama Islam. Pergaulan ini sangat jauh berbeda dengan
di kampung halaman saya yang hampir semua berbasis Hindu dan Budha.
Kebiasaan Fanatik beragama yang ditanamkan keluarga masih melekat kuat
dalam keseharian saya di Jakarta. Saya masih sempat mencari pura, tempat
untuk berdoa kepada Sang Hyang Widhi.
Karena saya sering bertemu pemeluk agama Islam, terlebih teman kuliah dan
sekamar yang juga pemeluk agama Islam yang aktif dalam melaksanakan
ibadah, maka saya merasa familiar dengan lingkungan Islam. Semua yang ada di
sekeliling lingkungan baru saya itu didominasi nuansa dan sarana-sarana
peribadahan umat Islam. Dan perilaku, ucapan, sampai dekorasi kamar juga
diwarnai ornamen-ornamen Islam. Pergaulan dengan teman yang muslim itu
berlangsung sangat akrab dan rukun, meskipun kami berbeda akidah dan
keyakinan.
Di kampus, saya diwajibkan mengambil mata kuliah dasar umum, yaitu mata
kuliah yang terfokus pada materi agama Islam. Karena saya harus melengkapi
SKS dan ujian negara, dengan berat hati saya harus mengambil dan mempelajari
materi itu, meskipun harus berlawanan dengan keyakinan saya. Saya berusaha
untuk memahaminya.

Mulai Berfikir
Menjelang tengah semester, saya sering bertukar pikiran bersama Totok--teman
sekamar saya--terutama tentang materi kuliah agama. Saya sering menemukan
kesulitan yang sama sekali tidak saya tahu jawabannya. Saya hanya tahu
sebatas tentang hubungan baik umat beragama.
Berkat bimbingan Totok, walaupun dengan sedikit pertengkaran, saya semakin
mengerti tentang Islam. Saya paham tentang tata cara orang Islam melakukan
peribadatan kepada Tuhannya. Berawal dari teman yang setiap waktu melakukan
shalat dengan gerakan-gerakan yang kesemuanya saya anggap lucu dan aneh.
Sekaligus saya sempat berpikir betapa kecilnya manusia di hadapan Tuhannya
sampai harus menundukkan kepala dan mencium tanah (sujud).
Setelah saya tanyakan, itulah yang disebut shalat. Umat Islam diwajibkan
melaksanakannya lima kali dalam sehari semalam. Sedangkan agama Hindu,
hanya dua kali dalam satu bulan, yaitu sembahyang nilem (awal bulan sampai
pertengahan bulan) dan purname (ketika bulan purnama tanggal 15 sampai
akhir bulan).
Tak jarang, dalam mempelajari materi kuliah, saya sering dihadapkan pada
sebaris tulisan Arab yang sulit membacanya, karena saya memang belum
pernah melihatnya. Untung, teman sekamar saya mau membantu membaca dan
menerangkan apa maksud tulisan itu. Saya bisa mengerti sebatas membaca
terjemahannya saja. Akhirnya, ujian tengah semester berhasil saya kuasai,
khususnya materi agama Islam yang saya sendiri tidak melakukan ajaran itu.
Rasa ingin tahu tentang Islam semakin kuat setelah saya sering mendengar ayat
Al-Qur'an yang dibaca teman saya sehabis melaksanakan shalat magrib. Rasa
penasaran tentang isi ayat itu berlarut setelah saya secara diam-diam membuka
terjemahan Al-Qur'an milik teman saya yang diletakkan di dalam rak buku ketika
dia sedang tidak di rumah.
Di situ saya temukan potongan kalimat yang isinya "(Kitab ini) tidak ada
keraguan di dalamnya dan merupakan petunjuk bagi orang-orang yang
bertakwa." Belum selesai berpikir tentang kalimat itu, betapa kagetnya saya
setelah teman saya itu masuk kamar secara tiba-tiba tanpa permisi.
Akhirnya, rasa penasaran itu saya bawa dalam lamunan tidur, meskipun saya
belum berani mengutarakan pertanyaan tentang siapakah orang yang bertakwa
itu. Rasa gelisah yang menyiksa batin saya itu membawa saya untuk lebih jauh
mengetahui isi kandungan Al-Qur'an. Apa sebenarnya kandungan ayat-ayat itu
yang diyakini oleh seluruh kaum muslimin sedunia.
Pagi harinya, saya keluarkan semua unek-unek yang mengganjal dalam benak
saya tentang kebenaran Islam. Saya ungkapkan semua keresahan yang
membuat saya tidak bisa tidur. Teman saya sangat terkejut menanggapi hasrat
saya yang dalam untuk menemukan Islam. Akhirnya, saya mulai
membandingkan dengan ajaran agama saya.
Dengan penjelasan yang cukup gamblang, ditambah pengetahuan yang saya
dapatkan dari dosen, ternyata saya semakin meragukan keyakinan saya selama
ini. Saya melihat banyak jalan buntu yang sering terjadi dalam agama Hindu.
Islam mampu memberikan jalan yang arif sesuai kemampuan umat manusia.
Segera saya utarakan niat untuk memeluk Islam. Teman saya itu masih
menanyakan, apakah saya benar-benar siap menerima Islam sebagai agama
saya? Dibawanya saya pada salah seorang ketua rohani Islam di kampus.
Dengan disaksikan semua anggota Lembaga Dakwah Kampus (LDK), saya
mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat. Saya sekarang menjadi seorang
muslim.
Rasa cinta terhadap Islam, kini semakin terasa setelah saya banyak belajar
tentang Islam melalui buku. Tak jarang di tengah jam kuliah, saya habiskan
waktu untuk membaca buku buku agama guna melengkapi pengetahuan saya
tentang Islam. Kini, hanya satu harapan saya, semoga kelak orang tua saya di
Bali, terbuka hatinya untuk menerima kebenaran Islam. Amin.
LIEM CHIE YUNG (Mantan Pemeluk Budha) :
Di Tempat Kerja, Saya Temukan Islam

Malam semakin larut. Suasana hening itu menjadi begitu damai, sehingga saya
terlelap dalam mimpi yang indah. Hanya sesekali terdengar suara cecak di
seputar dinding kamar. ltu tak membuat saya bergeming dari sisi pembaringan,
sayapun terus menyambung istirahat yang tertunda setelah seharian bekerja.
Hari sudah jauh malam. Dalam tidur sayup-sayup saya dengar orang sedang
membaca Al-Qur'an di masjid dekat tempat saya tinggal. Suara itu begitu lembut
dan indah, hingga merasuk dalam relung hati saya yang paling dalam. Bahkan,
menjalar ke sendi-sendi tubuh. Perasaan haru bercampur sedih menyelimuti
malam itu. Saya pun gemetar dibuatnya.
Ketika terjaga dari tempat pembaringan, saya merenungkan arti suara itu. Saat
adzan memanggil, saya merasakan ada sesuatu yang mengajak dan
membimbing saya untuk mengambil air wudhu dan melakukan shalat.
Mungkinkah ini hidayah Allah kepada saya?
Nama kecil saya Liem Chie Yung. Ketika remaja saya akrab dipanggil Yohannes
Liman. Saya lahir di Jakarta pada tanggal 7 Januari 1957. Saya anak ke-7 dari 11
bersaudara. Papi saya bernama Liem Yeh Ing asal Tiongkok. Sedang mami
bernama Chow Kwe, WNI keturunan yang lahir di Banjarmasin, Kalimantan
Selatan.
Keluarga kami penganut Budha yang taat. Waktu kecil saya sering diajak papi ke
wihara untuk sembahyang. Untuk membimbing kami sekeluarga mengenai
ajaran Budha, papi sengaja mendatangkan seorang pendeta Budha yang saleh.
Saya pun tak luput dari tuntunannya. Kendati papi orang tua yang taat dalam
beragama, beliau juga seorang yang demokratis dalam soal lainnya.
Terbukti, setelah dewasa kami bebas memeluk agama yang sesuai dengan
kepercayaan kami masing-masing. Satu per satu kakak dan adik saya memeluk
agama Kristen. Orang tua kami tidak melarang. Mereka hanya menasehati,
agama apa saja yang dianut harus diyakini sepenuhnya dan ajarannya mesti
ditaati.
Juga mengenai masalah ekonomi keluarga, papi selalu memberikan kesempatan
kepada kami untuk memecahkan secara bersama setiap ada persoalan yang
mengganjal. Inilah yang membuat saya bangga kepada papi yang begitu arif dan
bijaksana.

Simpati Pada Islam


Setelah tamat SLTP, saya memutuskan untuk tak melanjutkan sekolah, tapi ingin
bekerja untuk membantu beban keluarga. Akhirnya saya diterima bekerja pada
sebuah pabrik radio kaset. Saya senang bekerja di pabrik itu. Di samping dapat
banyak belajar mengenai radio, suasana tempat bekerja juga sangat
menyenangkan. Saya banyak bergaul dengan orang, terutama orang pribumi
yang beragama Islam.
Dari pergaulan itu saya banyak mengenal Islam lebih jauh, karena hampir rata-
rata teman-teman saya beragama Islam. Saya menyenangi mereka. Di sini, saya
benar-benar merasakan arti pergaulan yang sesungguhnya. Saya sadari, selama
ini kebanyakan teman-teman saya yang non-pri hanya mau bergaul jika
memberikan keuntungan materi. Kalau tidak menguntungkan, jangan harap bisa
diterima bergaul dengan mereka.
Sebaliknya, bergaul dengan orang-orang Islam di pabrik tempat saya bekerja,
membuat saya berpikir bahwa hidup ini bukan hanya mencari harta atau hanya
mengurusi soal perut semata, tapi ada yang lebih penting lagi, yakni mengenai
hubungan antara sesama manusia dan jugs terhadap Tuhan. Saya akui, selama
ini saya sudah jarang mengikuti kegiatan keagamaan di wihara. Saya merasa
sudah jauh dari Tuhan.
Kekaguman saya terhadap kehidupan teman-teman sekerja membuat saya suka
memperhatikan mereka. Pada waktu istirahat, saya lihat mereka melakukan
ibadah shalat. Mereka begitu tekun menjalankan ibadah. Di mata saya mereka
begitu suci. Wajah mereka seakan memancarkan sinar kesejukan, sehingga
memberikan rasa damai bagi siapa pun yang melihatnya.
Dalam kehidupannya, mereka begitu tabah menghadapi persoalan-persoalan
hidup sehari-hari. Sehingga, saya berusaha ingin mengetahui lebih jauh
mengenai agama Islam. Apalagi setelah saya mempunyai seorang kekasih yang
beragama Islam, Sofiah namanya. Maka dengan mudah saya bertanya mengenai
Islam kepadanya. Sofiah pun begitu antusias menerangkan setiap pertanyaan
saya.
Banyak sudah yang saya ketahui mengenai Islam, terutama mengenai Allah
SWT, kerasulan Muhammad saw., wahyu (Al-Qur'an), dan shalat.
Dalam Islam saya temukan kesucian. Kalau ingin shalat, kita harus mengambil
air wudhu terlebih dahulu. Waktunya pun sudah terjadwal, lima kali dalam
sehari. Sedangkan dalam agama Budha, sembahyang dapat dilakukan kapan
saja, dan untuk menghadap Tuhan, dalam keadaan kotor pun boleh. Ini yang
membedakan Islam dengan Budha.

Masuk Islam
Malam itu, setelah Saya mendengar orang mengaji dan panggilan adzan dari
masjid dekat tempat saya tinggal, saya pun merenung. Setelah melalui
pertimbangan yang panjang, akhirnya saya putuskan untuk memeluk agama
Islam. Singkat cerita, pada tahun 1982, saya mengucapkan ikrar dua kalimat
syahadat di Masjid al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tak lama kemudian
saya melangsungkan pernikahan dengan Sofiah. Hari demi hari saya jalani hidup
dengan kebahagiaan bersama keluarga.
Kini, saya sudah dikaruniai 3 orang anak. Ini merupakan rahmat Ilahi yang harus
kami syukuri. Dalam kegiatan keagamaan saya banyak dibimbing oleh saudara
istri saya, yaitu Ustadz Hasan. Saya akui, pertama kali menjadi seorang muslim,
menjalankan ibadah memang cukup berat, terutama puasa.
Tapi dengan ibadah secara ikhlas yang berat pun terasa ringan. Alhamdulillah;
sekarang saya sudah mempunyai usaha servis barang elektronik di rumah kami
sendiri di Jl. Makaliwe, Grogol, Jakarta Barat. Sebagai usaha yang bergerak di
bidang jasa, saya rasakan usaha ini belum mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Tapi saya percaya rezeki datang dari Allah, dan saya yakini ini merupakan ujian
dari-Nya. Hal ini membuat saya lebih tabah menjalani hidup di kota metropolitan
ini.
MEMEN MULYADI (Mantan Pemeluk Kong Hu Chu) :
Gerak Badan Umat Islam di Pagi Buta

Sungguh, seringkali saya tak habis pikir, mengapa umat Islam bila telah masuk
ke dalam masjid, sering "menyanyikan" lagu berbahasa Arab? Selain itu,
mengapa mereka selalu membersihkan dirinya dipancuran jika akan masuk ke
dalam masjid? Bahkan, terkadang saya dibuat kesal oleh suara "panggilan" dari
menara masjid pada dini hari, saat orang lain sedang terlelap tidur.
Tetapi, justru karena rasa ingin tahu itulah, yang mendorong saya secara
sembunyi-sembunyi mengintai apa sebenarnya yang dilakukan umat Islam di
pagi buta itu? Ternyata, sungguh mengagumkan. Pada saat orang lain masih
asyik tidur, umat Islam justru tengah "gerak badan" di dalam masjid. Saya
menyebutnya "olahraga pagi". Belakangan, saya baru tahu, itulah yang disebut
shalat subuh.
Tapi dari hal-hal yang asing seperti itu, justru semakin mendorong hasrat saya
untuk lebih mengenal Islam. Nama saya Memen Mulyadi, WNI keturunan
Tionghoa yang lahir di daerah Ciawi, Jawa Barat. Di lingkungan masyarakat
Sunda yang religius itu, saya biasa dipanggil Memen.
Masa kecil saya di kota Ciawi itu adalah masa-masa yang penuh warna dan
dinamika hidup yang cukup menarik untuk dikenang, sekaligus diambil
hikmahnya dalam proses mengenal, mengkaji, memahami, dan untuk
selanjutnya menjadikan Islam sebagai agama anutan yang hak, tanpa paksaan
dari siapa pun. Tak terkecuali ayah bunda saya, yang memang menganut agama
Konghucu yang cukup fanatik.
Saya adalah anak dari keluarga Cina yang kaya. Bila saya meminta sesuatu pada
orang tua, mereka pasti mengabulkan permintaan saya. Maklumlah, saya ini
anak yang paling disayang dan dimanja oleh mereka. Demikian pula di
lingkungan teman-teman bermain. Saya merupakan "anak kesayangan" dari
teman-teman main. Saya bisa mengatakan demikian, lantaran melihat fakta,
betapa kehadiran saya selalu disambut gembira. Tak pernah sekali pun diantara
kami bersitegang. Apalagi sampai berkelahi.
Kenakalan kami hanya terbatas pada kenakalan anak-anak kecil yang masih
wajar. Tak pernah kami berperilaku yang meresahkan orang tua. Selebihnya,
kelompok kami justru kelompok anak-anak yang kompak. Sambil bersenda-
gurau, kami melakukan permainan berebut bola, sepak bola, main layang-
layang, atau permainan anak-anak lainnya.
Singkat kata, persahabatan kami di masa kecil itu merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan, meskipun saya tahu di antara semua teman main hanya
saya yang suku Tionghoa dan menganut agama Konghucu. Sedangkan sisanya,
mereka semuanya beragama Islam.
Tapi, kami saling pengertian dan toleran. Pergaulan kami pun semakin akrab, tak
mengenal tempat dan waktu, tak terpisahkan, seiring-sejalan, senasib-
sepenanggungan, baik dalam suka maupun duka. Tak ada yang mampu
memisahkan kami, kecuali bila "suara aneh" itu telah tiba, dan memanggil-
manggil mereka lewat pengeras suara dari atas masjid. Ketika itu barulah kami
berpisah.
Teman-teman pun saya lihat berlarian sambil membawa sarung dan mengepit
kitab. Sekarang saya baru tahu, kitab itu adalah Al-Qur'an. Mereka menuju
pancuran di halaman masjid untuk membersihkan badan dan selanjutnya
melakukan "olahraga gerak badan" disambung dengan "menyanyikan" lagu
Arab.
"Men, kami bukan tengah menyanyikan lagu Arab. Tapi kami tengah belajar
mengaji, belajar membaca ayat suci Al-Quran, sambil memahami isi dan
artinya," begitu tutur teman-teman bila saya tanya maksud dan tujuan
"nyanyian" lagu Arab itu. "Dan kami melakukan sembahyang atau shalat, bila
panggilan azan telah tiba. Bukan'olahraga gerak badan' seperti kata kamu itu,"
sambung teman yang lain. Saya akhimya mengerti bahwa yang disebut olahraga
gerak badan itu adalah shalat yang wajib dilakukan umat Islam.
Sejak itulah, rasa jengkel bila mendengar azan di pagi hari, menjadi sirna. Diam-
diam hasrat saya untuk mengikuti langkah teman-teman masuk ke masjid dan
belajar tentang Islam, sekaligus melaksanakan shalat dan mengaji, semakin
menggebu-gebu.
Namun, hal itu tidaklah mudah. Sebagai penganut Konghucu, saya mencoba
membanding-bandingkan antara Islam dan agama yang saya anut selama ini.
Saya pun diam-diam menggali berbagai ajaran agama lain. Namun aneh, hati
saya semakin lama semakin tertarik kepada Islam.
Kesimpulan saya, Islam adalah agama yang agung dan luhur nilainya. Islam
agama yang universal, agama yang menjadikan kedamaian hidup dan
ketenangan hati. Islam adalah agama yang menyatukan manusia dalarn satu
kehidupan yang tenteram dan damai, tanpa membedakan warna kulit, suku,
keturunan, dan status sosial.
Akhirnya dengan penuh kesadaran hati, tanpa paksaan dari siapa pun, saya
mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di depan ulama dan para jamaah yang
menjadi saksi upacara pengislaman saya. Setelah resmi menjadi muslim, nama
saya disempurnakan menjadi Muhammad Amien.
Saya pun begitu gembira dan terharu, sebab kepastian agama yang saya yakini
sekarang ini, temyata mendapat dorongan (baca: pengertian) dari ayah bunda
dan juga keluarga. Lengkap sudah kebahagiaan yang saya miliki.
Saya tak salah menganut Islam, agama yang menjabarkan kasih sayang sesama
umat, mengajarkan kedamaian dan kebahagian dunia dan akhirat. Begitulah,
saya jalani keyakinan saya terhadap Islam dengan penuh kesadaran dan
kepasrahan serta keikhlasan yang penuh. Setiap hari saya menggali Islam, baik
dari buku bacaan, ceramah para ulama, diskusi dengan para ahli, dan mondok di
sebuah pesantren yang ada di daerah Sukasirna, Cangkudu, Singaparna,
Tasikmalaya.
TEE PING KIEN (Mantan Pemeluk Kong Hu Chu) :
Ingin Punya Anak Saleh

Walaupun Konghucu tidak tercatat, sebagai agama resmi di Indonesia, tapi sejak
kecil saya sudah meyakini kepercayaan leluhur itu. Keyakinan saya itu adalah
warisan orang tua, sebab ayah saya penganut kepercayaan bangsa Tionghoa
tersebut. Sedangkan, ibu saya pemeluk agama Kristen. Mungkin karena lebih
dekat dengan ayah, Konghucu lebih saya cintai dan menjadi pilihan saya untuk
berkomunikasi dengan sang pencipta (Tuhan) sebelum akhirnya memilih Islam
sebagai agama dan pedoman hidup. Sedangkan saudara saya (perempuan) satu-
satunya, mengikuti jejak ibu
Saya lahir di kota Jember, Jawa Timur, 30 Agustus 1946. Setelah menamatkan
SMAN I, saya melanjutkan studi ke Universitas Petra di Surabaya, mengambil
program teknik sipil. Tapi karena terbentur biaya, saya hanya bisa bertahan satu
tahun. Berbekal sedikit ilmu yang saya peroleh itu, saya kemudian membuka
bengkel sepeda motor RIMA di kota kelahiran saya.
Sebagai pengangguran, bengkel yang saya buka itu memang dimaksudkan
untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari. Saya sudah memutuskan
untuk menjadikan usaha itu sebagai sumber dapur. Tapi ternyata bukan hanya
itu yang saya peroleh. Saya juga mendapatkan sesuatu yang lain yang sangat
berharga dalam kehidupan, yaitu hidayah - petunjuk Allah dari bengkel itulah,
mulai muncul keinginan untuk masuk Islam.

Menikah
Merasa cukup punya modal, saya menyunting gadis pilihan saya, Djie Sien Mien,
yang saya nikahi pada tahun 1975. Sebagaimana lazimnya orang hidup berumah
tangga, saya ingin segera punya anak. Tapi keinginan tersebut belum juga
tercapai. Padahal, berbagai cara telah kami tempuh demi terpenuhinya
keinginan itu.
Pada suatu ketika, bengkel saya kedatangan seseorang untuk memperbaiki
sepeda motornya yang rusak. Dia bernama Muhammad Nur, sambil menunggu
sepeda motornya diperbaiki, saya dan dia terlibat perbincangan santai seputar
anak. Berbincang soal anak, bagi saya sangat menarik. Siapa tahu dari omong-
omong itu saya mendapatkan petunjuk bagairana caranya bisa mempunyai
keturunan.
Dari perbincangan itu saya samakin sadar, betapa keberadaan anak teramat
penting bagi orang tuanya. Namun, yang membuat saya "kaget" (baca: tertarik)
adalah bahwa dalam Islam keberadaan anak yang saleh bukan hanya sebagai
pewaris takhta dan gantungan hidup di hari tua saja; tapi yang lebih penting dari
itu, anak juga menjadi jaminan bagi kejayaan dan kebahagiaan orang tuanya.
Bukan hanya di dunia, malah hingga di alam kubur. jaminan lainnya adalah amal
jariyah dan ilmu yang bermanfaat.
Kebijakan Islam itu sungguh menarik bagi saya. Sebab, kendati saya penganut
Konghucu, tapi saya percaya bahwa sesudah mati masih ada kehidupan lagi.
Lalu bagaimana kalau nanti dalam Fase kehidupan itu tak ada yang menolong,
pikir saya. Tapi keberadaan anak tentu tak akan bisa menolong kalau dia tidak
menjadi muslim, yang otomatis tak bisa menjadi anak yang saleh.

Masuk Islam
Saya semakin ingin tahu lebih jauh tentang Islam, dan Bapak Muhammad Nur-lah
yang sering menjadi teman dialog saya. Berbagai buku Islam saya baca,
terutama tentang keesaan Allah. Setelah yakin akan keberadaan Islam, akhimya
pada akhir tahun 1997, saya resmi menjadi pengikut setia Nabi Muhammad saw.
Nama saya diganti menjadi Rasyid Hartono.
Hati saya lega, kendati istri saya yang masih Kristen merupakan kenyataan lain
yang menyita pemikiran tersendiri bagi saya. Saya tak bisa dan tak akan
memaksa dia masuk Islam. Saya hanya berusaha dan selalu berdoa agar
kegelapan hatinya segera mendapat sinar hidayah-Nya.
Akhirnya, dua tahun kemudian dia menyusul jejak saya, menjadi pemeluk agama
yang umatnya inayoritas di negeri ini. Dan, namanya saya ganti menjadi Lina
Hidayah. Syukurlah, keislaman kami tak menemui hambatan apa-apa. Kedua
orang tua kami juga mendukung.
Empat tahun setelah itu, Allah memberikan kurnia lagi. Istri saya melahirkan
anak kami yang pertama. Sungguh, saya bahagia sekali. Saya sudah bertekad,
anak-anak akan kami didik menjadi anak yang saleh dan taat pada agama.
Untuk mendalami ajaran Islam, saya membeli banyak buku dan kitab, seperti
Ihya' Ullumuddin, Tanbih al-Ghafilin, 40 masalah Agama, dan lain-lain. Di
samping itu, saya juga aktif di PITI (Persatuan Iman Tauhid Islam), sebuah
organisasi dakwah yang mewadahi para mualaf keturunan Cina. Saya
diamanahkan sebagai wakil bendahara.
Seiring dengan itu, kehidupan saya semakin mapan. Bengkel saya semakin maju.
Bahkan, saya mampu menggaji beberapa orang karyawan. Pada tahun 1985,
tibalah saat-saat yang paling membahagiakan sekaligus mengesankan dalam
hidup saya. Kami memenuhi panggilan Nabi Ibrahim a.s., menunaikan ibadah
haji ke Tanah Suci Mekah. Sungguh, ini suatu kurnia. Betapa tidak, hidup saya tak
begitu kaya, tapi ditakdirkan bisa naik haji. Sebaliknya, tak sedikit orang yang
hidupnya bergelimang harta, tapi belum bisa naik haji.
Kini, saya tinggal di Jalan Kertabumi 1 / 14 Jember bersama istri dan dua orang
anak kami. Dalarn keluarga, saya selalu berupaya menanamkan nilai-nilai agama
sedini mungkin. Alhamdulillah, mereka tak pernah lalai akan perintah Allah.
NI LUH SUNARMI (Mantan Pemeluk Hindu) :
Islam Agama Pemersatu

Dengan kekuasaan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, pada awal tahun 1975
saya lahir dengan selamat ke alam dunia ini. Saya adalah anak bungsu dari lima
bersaudara. Bapak saya bernama Nyoman Bakta, sedangkan ibu saya bernama
Nyoman Sembrog. Semua keluarga saya penganut agama Hindu Dharma yang
selalu taat mengabdi kepada Tuhan Sang Hyang Widi Washa.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa setiap anak yang lahir ke alam fana ini, sudah
barang tentu akan mengikuti ajaran agama yang dianut oleh kedua orang
tuanya. Demikian pula dengan diri saya yang sejak kecil hidup dalam lingkungan
pergaulan masyarakat yang menganut agama Hindu. Tepatnya kami tinggal di
Kampung Barnasi, Desa Buduh, Kecarnatan Mongui, Kabupaten Badung, Bali.
Menengok kehidupan masa kecil saya, teringat pula kehidupan keluarga saya
yang tergolong petani miskin. Kendati demikian, perhatian kedua orang tua saya
dalam masalah pendidikan buat anak-anaknya cukup membanggakan. Ini
terbukti dari keberhasilannya menyekolahkan semua anak-anaknya hingga
tamat SUP, termasuk saya.
Sejak masuk usia sekolah, sedikit demi sedikit saya mulai mengenal ajaran
agama Hindu yang dianut oleh seluruh keluarga kami, yakni suatu ajaran yang
menyembah kepada tuhan Sang Hyang Widi dengan cara melipat kedua tangan
tiga kali seraya berdoa kepada Sang Dewa yang menguasai alam jagat raya ini.
Konon, menurut para tetua Hindu yang pernah saya dengar, alam ini dikuasai
oleh banyak dewa yang bersemayam di mana-mana. Misalnya, di gunung-
gunung, di pohon kayu besar, di laut, dan sebagainya.
Setelah saya bisa membaca huruf latin yang diajarkan di sekolah, saya mulai
gemar membuka sekaligus mempelajari buku buku yang berkaitan dengan
agama Hindu. Kegemaran saya ini seiring dengan ketekunan saya datang ke
pura untuk melaksanakan persembahyangan dan acara-acara adat yang
dikerjakan oleh penganut Hindu.
Perlu diketahui, terutama dalam hal pendidikan agama bagi anak-anaknya,
agama Hindu jauh berbeda dengan agama Islam. Maksud saya, di agama Hindu
tidak ditemukan tempat khusus bagi anak-anak untuk memperdalam ilmu
agamanya sendiri. Sehingga tidak mengherankan, kalau sebagian penganutnya
tidak mengenal ajaran agamanya sendiri. Lain halnya dengan Islam yang setiap
waktu saya saksikan anak-anak, para remaja, dan orang tua berbondong-
bondong mendatangi tempat pengajian.

Bertemu Pemuda Muslim


Setelah tamat SD, saya melanjutkan studi ke SMP yang ada di tempat tinggal
saya. Di SMP inilah saya mulai mengenal beberapa orang teman yang memeluk
agama Islam. Mereka selalu ramah, sopan terhadap siapa pun tanpa
memandang agama dan kasta.
Sayangnya, setelah saya tamat SMP, ibunda tercinta dipanggil oleh Tuhan Yang
Mahakuasa untuk selama-lamanya. Sepeninggal ibu, hidup saya mulai terlunta-
lunta tanpa arah dan tujuan. Ketekunan saya datang ke pura pun mulai
berkurang. Niat saya ingin melanjutkan studi kandas di tengah jalan, karena tak
ada dukungan biaya.
Dengan bermodalkan ijazah SMP, saya mencoba mencari pekerjaan ke kota
kabupaten (Badung). Di kota inilah nasib mujur saya raih. Saya diterima bekerja
di sebuah toko penjahit pakaian. Di tempat saya inilah saya mengenal beberapa
orang teman Hindu yang sudah masuk Islam. Selain itu, saya juga berkenalan
dengan seorang pemuda muslim yang berasal dari Lombok dan bekerja sebagai
buruh bangunan.
Setelah beberapa bulan berkenalan, saya memberanikan diri untuk mengajak
pemuda yang bernama Miswadi ini untuk berdiskusi tentang ajaran agama
masing-masing. Secara jujur saya katakan, saya selalu kalah dalam setiap adu
argumentasi dengannya. Setiap pertanyaan saya selalu dijawabnya dengan
jawaban yang masuk akal.
Pada suatu ketika saya berjalan di dekat sebuah masjid. Ketika itu saya saksikan
sebuah pemandangan yang sangat menarik, dan tidak pernah saya lihat dalam
agama Hindu. Saat itu umat Islam sedang melaksanakan lbadah pada tengah
hari (shalat zuhur). Alangkah indahnya gerakan yang mereka lakukan, yakni
suatu gerakan yang sungguh menggetarkan batin saya. Seluruh jamaah di
masjid itu melakukan gerakan yang sama, dengan barisan yang lurus teratur,
mereka menunduk, lalu kepalanya menyentuh tanah.
Dengan menyaksikan itu, saya berkesimpulan bahwa Islam adalah agama
pemersatu bagi umat manusia. Islam adalah agama yang tidak memandang
suku, ras, dan kasta. Hal ini dibuktikan dengan cara mereka melakukan ibadah,
yakni shalat.

Masuk Islam
Sesudah menyaksikan apa yang dilakukan oleh umat Islam itu, kemudian saya
mencoba menemui Miswadi. Di depan pemuda muslim tersebut saya
mengutarakan niat saya memeluk agama Islam. Rupanya Miswadi tidak begitu
saja menerima niat saya itu. Saya pun kemudian diberondong berbagai
pertanyaan. la khawatir, jangan jangan setelah memeluk agama Islam, saya
akan murtad lagi, kembali ke agama semula.
Saya berusaha meyakinkan Miswadi. "Aku masuk Islam bukan karena ada
paksaan dari orang lain. Tetapi niatku ini benar-benar tulus, datangnya dari Allah
SWT," tegas saya mantap. Setelah mendengar jawaban saya itu, Miswadi pun
mengajak saya untuk pergi ke Lombok. Ajakannya ini pun saya ikuti. Di tengah
perjalanan pulang ke Lombok, Miswadi pun mengutarakan isi hatinya, yaitu kalau
saya sudah masuk Islam, dia bersedia menjadi pendamping hidup sekaligus
pembimbing saya.
Singkat cerita, pada tanggal 25 Oktober 1997, saya mengucapkan ikrar dua
kalimat syahadat, dibimbing Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Bayan, Bapak Sayid Aqil Alkaff, disaksikan Bapak Mustari, Nurmasari, dan Audi,
serta pegawai KUA lainnya. Dan ketika itu juga saya memperoleh nama baru
yaitu, Sri Wahyuni.
Alhamdulillah, setelah saya masuk Islam, Miswadi pun memenuhi janjinya. Dan,
pada tanggal 26 Oktober 1997 saya resmi menjadi istri Miswadi. Namun
ketahuilah, seperti apa yang saya katakan di atas, saya masuk Islam bukan
lantaran ingin menikah atau ada paksaan dari orang lain. Ini benar-benar karena
kemauan saya sendiri. Sebab, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa Islam adalah
agama yang hakiki, agama yang mempersatukan antara sesama, tanpa
memandang kasta dan lain sebagainya.
Akhirnya saya berharap semoga keluarga saya diberikan petunjuk oleh Allah
Yang Mahakuasa sehingga mereka mau mengikuti jejak saya untuk masuk Islam.
Dan, semoga Tuhan Rabbul Izzati memberikan keturunan yang saleh dan
salehah. Amin.
LIU LIE HWA (Mantan Pemeluk Budha) :
Mendengar Azan Saat Terbang dengan Pesawat

Kalau mengingat kembali saat pertama saya merasa terpanggil untuk menjadi
seorang muslimah, rasanya tidak mampu saya menahan perasaan kagum dan
takjub saya pada Ilahi Rabbi, Sang Pencipta Yang Maha Agung. Betapa tidak,
peristiwa terdengarnya suara azan di telinga saya saat berada di dalam pesawat
dengan ketinggian 300-3000 kaki (feet), adalah sesuatu yang--kalau dipikirkan
secara logika--sangat mustahil.
Terlebih lagi, saat saya sadari bahwa suara azan, yang entah dari mana asalnya
itu, hanya saya sendiri yang mendengar. Namun, saat detik itu, setelah saya
dengar dengan khusyu suara azan "gaib" selama hampir 15 menit itu, tertanam
niat di hati saya untuk masuk Islam.
Peristiwa di dalam pesawat yang terjadi beberapa tahun lalu itu, juga mengi

tkan saya pada masa lalu, yang terus terang saja, tidak terlalu menyenangkan.
Kehidupan yang saya jalani sebelum mengenal Islam adalah hari-hari yang
seakan tak pernah berakhir. Terasa panjang, berat, dan sepi.
Saya, Liu Lie Hwa, yang lahir di Medan, Sumatra Utara, tahun 1972 silam , sudah
harus bekerja keras banting tulang, agar pendidikan saya tidak berhenti di
tengah jalan. Meski saya anak bungsu dari lima bersaudara, tapi saya bertekad
untuk membiayai sendiri sekolah saya, setidak-tidaknya harus tamat SMU.
Itu terjadi karena kedua orang tua kami meninggal dunia pada saat saya masih
membutuhkan banyak biaya, terutama untuk pendidikan. Keempat kakak saya
sebenarnya mau menanggung semua kebutuhan saya, setidaknya hingga saya
merasa mampu untuk hidup mandiri. Tapi saya, dengan segala kerendahan hati,
meminta kepada mereka agar membiarkan saya berusaha sendiri lebih dulu.
"Bila aku nggak mampu, barulah kakak boleh membantuku," kata saya saat itu.
Nekat, memang. Tapi, saya tidak menyesal sedikit pun dengan keputusan itu.
Benar kata orang, di mana ada kemauan di situ ada jalan. Karena usaha keras,
saya berhasil sekolah sambil bekerja sebagai tenaga pembukuan di sebuah toko
kecil di kota Medan. Selain itu, saya yang kata orangpunya suara lumayan bagus
mencoba juga untuk meniti karier dibidang tarik suara. Saya menjadi penyanyi
amatir, sekadar untuk menambah uang saku. Lumayan, pikir saya. Dan selama
itu halal, saya tidak malu menjalaninya.
Begitulah kehidupan yang saya jalani saat itu. Dan, mengenai perjalanan batin
saya dalam mencari ketenangan lewat agama, sempat juga membawa saya
untuk berpaling dan agama semula, menjadi seorang pengikut Budha. Saya
terang-terangan masuk agama Budha, tahun 1987, saat duduk di kelas satu
SMU. Yang saya tahu saat itu, agama tersebut terasa lebih menarik untuk
ditelusuri. Ajaran yang dikandungnya terasa seperti air mengalir, dan lebih
banyak memberi saya ketenangan batin.

Hijrah Ke Jakarta
Setelah lulus SMU (1989), kegiatan saya sebagai penyanyi semakin meningkat,
karena lewat menyanyi segala kebutuhan saya lebih terjamin. Tawaran untuk
show dalam dan luar kota, selalu saya terima dengan tangan terbuka, terlebih
karena saya sudah tidak terikat lagi dengan waktu belajar.
Ketika datang tawaran untuk show di Jakarta bersama artis senior lainnya dari
kota Medan, saya tidak berpikir dua kali. Segera saya siapkan segalanya untuk
berangkat ke Jakarta, karena selain untuk urusan menyanyi, di Jakarta pun saya
ingin bertemu dengan paman dan tante yang sangat sayang pada saya
walaupun mereka tahu saya sudah memeluk agama Budha.
Paman dan tante saya sangat taat menganut agama Katolik --apalagi paman
adalah seorang penginjil. Namun, mereka tetap sayang kepada saya. Barangkali
yang menjadi pertimbangan mereka karena saya adalah anak yang sudah tidak
beribu dan berayah, yang patut dikasihani. Entahlah.
Singkatnya, saat ingin kembali ke Medan inilah, saya mengalami peristiwa azan
"gaib" di dalam pesawat. Benar-benar tidak pernah saya duga sebelumnya.
Bahkan malam hari sebelum peristiwa itu pun, saya tidak bermimpi apa-apa. Dan
anehnya, saya yang selama ini belum mengenal Islam, kecuali sepintas lalu, tapi
suara azan itu entah mengapa terasa tidak asing lagi di telinga saya. Saya
menikmatinya dengan sungguh-sungguh, hingga dalam benak saya terbetik
kata, "Mengapa tidak sejak dulu saya masuk Islam. Ientunya, suara azan seperti
ini akan senantiasa saya dengar."
Setelah suara azan dalam pesawat itu berlalu, saya yang tengah dilanda bingung
itu tidak kuasa untuk menanyakan perihal pendengaran saya itu kepada siapa
saja di pesawat itu yang mempunyai ciri-ciri seorang muslim atau muslimah.
Kebetulan, penumpang yang ada di samping saya adalah seorang bapak berusia
60-an, yang mengenakan topi haji berwarna putih.
Pikir saya, ia pasti seorang muslim. Tanpa banyak berpikir lagi, saya langsung
menyapanya, memperkenalkan diri, dan menceritakan sedikit mengenai
keajaiban yang baru saja saya alami.
Orang tua berperawakan sedikit gemuk, yang sebagian rambutnya sudah
berwarna putih itu, bernama Pak Rahmat. Ia ternyata benar-benar seorang
muslim yang baik, karena dengan segala keramahan dan kebijakannya ia
menanggapi segala cerita saya.
Tanpa sadar, selama perjalanan pulang Jakarta-Medan tersebut, saya
menceritakan keseluruhan riwayat hidup saya padanya. Beliau ternyata sangat
penyayang dan sangat memperhatikan setiap orang yang benar-benar tertarik
pada Islam.
Dikatakannya bahwa dalam rumahnya, ada juga beberapa mualaf yang untuk
sementara, selama belum bisa mandiri baik lahir maupun batin, tinggal di
rumahnya. "Seandainya kamu ingin masuk Islam dan perlu bimbingan, datanglah
pada kami. Bapak dan ibu, anggaplah seperti orang tuamu sendiri. Orang tuamu
yang seiman," ujarnya lembut.
Mendengar penuturan Pak Rahmat, saya tidak bisa tidak, jadi menangis tersedu
menahan haru. Betapa tidak, saya yang sejak usia muda ditinggal ayah dan ibu,
tiba-tiba mendapat seorang ayah angkat, dalam sebuah pesawat, dan di
perjalanan pulang yang singkat. Dan, semua itu membuat saya semakin yakin
bahwa kasih dan sayang Allah SWT pada saya semakin deras mengalir. "Aku
akan mengabdi pada-Nya dalam agama yang diridhai-Nya," ujar saya membatin.

Masuk Islam
Setelah sampai di Medan, tidak berapa lama kemudian saya datang
mengunjungi ayah angkat saya, Pak Rahmat. Benar saja, ia dan keluarganya
menyambut saya dengan keceriaannya yang tulus. Pada Pak Rahmat yang biasa
saya panggil Bapak, saya utarakan niat saya yang sudah mantap untuk masuk
Islam. Maka tidak berapa lama kemudian tepatnya pada tanggal 17 September
1991, saya resmi masuk Islam. Setelah menjadi muslimah saya berganti nama
menjadi Yenni Farida.
Sejak menjadi muslimah, otomatis segala Aktifitas menyanyi saya hentikan.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya bekerja kembali sebagai tenaga
pembukuan di sebuah perusahaan kecil. Selama setengah tahun saya tinggal
dengan keluarga Pak Rahmat. la tidak pemah menyinggung perasaan saya.
Sikapnya dan keluarganya, semua sangat baik pada saya. Tapi saya sadar, saya
tidak bisa selamanya menyusahkan mereka. Saya mulai berpikir untuk hidup
mandiri, dan tidak bergantung pada Bapak lagi.
Akhirnya saya putuskan untuk pergi merantau mencari pekerjaan di Jakarta. Niat
ini semula ditentang oleh Bapak, dengan alasan Jakarta kota besar yang tidak
selamanya ramah. la takut saya akan terjebak atau tanggelam oleh derasnya
arus kota Jakarta.
Namun, setelah saya yakinkan padanya bahwa saya bisa menjaga diri, terlebih
setelah saya katakan bahwa saya tinggal dengan om dan tante saya di Jakarta,
mereka lumayan tenang melepaskan kepergian saya. Namun, ada satu pesan
Bapak yang tidak akan pernah saya lupakan dan selalu saya laksanakan hingga
detik ini, yaitu agar saya jangan sampai lupa untuk melaksana kan shalat lima
waktu maupun shalat sunat lainnya. "Itu yang tetap menjadikanmu sebagai
muslimah, Anakku," ujarnya pada saya.

Menikah
Di Jakarta, saya cuma sebentar tinggal bersama tante, karena setelah
mendapatkan pekerjaan, saya segera pindah ke tempat kos di jalan Latumeten,
Jakarta Barat. Kepindahan saya ke tempat kos itu, ternyata punya arti tersendiri.
Di sanalah saya bertemu dengan seorang pemuda bersama Muhammad Majid,
asal Kebumen, Jawa Tengah yang kelak menjadi suami saya.
Sebagai perantau dan sekaligus "pendatang baru" dalam Islam, saya
membutuhkan seorang teman yang bisa membimbing saya untuk menjadi
seorang muslimah yang baik. Alhamdulillah, figur pembimbing tersebut ada pada
diri Muhammad Majid. Kami menjadi semakin Akrab, karena saya sering
berkonsultasi masalah-masalah keagamaan dengannya. Tanpa kami sadari, kami
jadi saling membutuhkan. Benih cinta mulai bersemi di antara kami berdua.
Singkat cerita, tak lama kemudian, pada tanggal 29 Januari 1992, saya dan dia
resmi menikah. Dan sejak saat itu, kebahagiaan saya menjadi Iengkap dengan
hadirnya seorang pendamping yang saleh, yang akan selalu ada di sisi saya.
Meski kami cuma hidup dari penghasilan suami saya yang guru agama, namun
hidup ini saya jalani dengan penuh keikhlasan.
TJHIE SENENG NIO (Mantan Pemeluk Kong Hu Chu) :
Atas Bimbingan Kakak

Dari nama saya saja, Anda tentu sudah bisa menebak siapa saya. Saya memang
lahir dari keluarga WNI keturunan Tionghoa di Parakan, Temanggung, Jawa
Tengah, pada 12 Februari 1932. Meskipun saya sudah mempunyai cicit (anak
cucu) dan hidup berkecukupan, namun tak pernah saya merasakan ketenangan
dan kedamaian batin
Harus saya akui, saya lebih memikirkan kehidupan duniawi ketimbang berpikir
tentang hidup sesudah mati. Jangankan itu, berpikir tentang siapa yang
menciptakan saya saja, saya tidak pernah. Mengapa? Sebab saya tidak
menganut agama secara ketat. Meskipun secara turun-temurun keluarga kami
menganut Konghucu, tetapi terus terang saja, saya tak pernah tahu siapa Tuhan
yang menciptakan, memberi hidup, dan memberi rezeki kepada manusia.
Berbeda dengan koko (kakak laki-laki) saya, Tjhie Tjing Tee. Meskipun sudah tua,
tapi hidupnya tampak bahagia. Bukan karena ia banyak harta. Bukan! Tapi,
seperti sering dikatakannya kepada saya, ia telah menemukan kebenaran yang
sejati, sehingga hidupnya damai, bahagia.
Koko saya itu beragama Islam. la sudah lama menjadi umat Mahammad SAW
dengan nama hijrah Muhammad Agus Sangaji. Tepatnya sejak 10 Juni 1983.
Dalam pergaulan, koko sangat supel, sehingga ia banyak mempunyai sahabat
dari berbagai kalangan. la juga sering diundang untuk memberikan ceramah
dalam pengajian di beberapa daerah di sekitar Temanggung.
Perlu juga saya informasikan, koko saya itu pernah malang melintang dalam
pengembaraan rohaninya mencari kebenaran. la pernah menjadi jemaat gereja
Protestan (GKI), kemudian pidah ke gereja Pantekosta. Terakhir, sebelum memilih
Islam, ia adalah anggota Pangestu (Paguyuban Ngestu Tunggal), salah satu sekte
aliran kepercayaan (kejawen).
Kakak saya itulah yang sering mengajak saya bertukar pikiran tentang masalah-
masalah keagamaan. la sering mengingatkan bahwa manusia tak selamanya
hidup. Suatu saat akan menemukan kematian suka atau tidak suka, kata kakak
saya itu. Ada hidup sesudah mati yang disebut hari berbangkit di mana manusia
secara pribadi dimintakan pertanggungjawabannya terhadap apa yang
dilakukannya selama hidup di dunia.
"Kalau kamu mau selamat, kamu harus memeluk agama Islam," katanya
mengunci semua pembicaraannya. Pada saat itu saya acuh tak acuh saja
menanggapi anjurannya. Semua anjuran koko saya itu hanya masuk dari kuping
kanan dan keluar dari kuping kiri. Padahal, hampir semua anak dan menantu
saya telah menjadi orang Islam.

Diingatkan Cicit
Meskipun di depan koko saya tampak acuh tak acuh, tetapi jika sedang sendiri,
apalagi pada saat menjelang tidur, kembali terngiang semua nasehat dan
anjurannya. Jika teringat itu, saya seperti disadarkan akan adanya kehidupan
akhirat - sesuatu yang tidak saya dapatkan dalam ajaran Konghucu.
Makin lama saya merasa makin tua. Terpikir oleh saya, bagaimana kalau saya
mati saat ini? Bukankah saya diminta pertanggungjawaban di akhirat? Tapi
sampai saat itu saya masih maju mundur, belum mantap. Hal ini berlangsung
cukup lama. Hingga akhirnya, ada suatu hal yang mengingatkan saya.
Bertepatan dengan hari ulang tahun yang kedua cicit saya yang kembar, Fajar
dan Fajri. Seakan-akan kedua cicit saya berkata, "Oma, ingatlah. Oma sudah
tua."
Bisikan nurani saya begitu kuat mendorong saya agar segera masuk Islam. Tanpa
menunda waktu lagi, saya sampaikan hasrat suci saya itu kepada kakak saya.
Tentu saja ia menyambut gembira, dan ia berjanji akan mengupayakan waktu
yang tepat agar upacara pengislaman saya dapat berlangsung.
Alhamdulillah, tepat pada hari Selasa, 26 April 1994, saya mengucapkan ikrar
dua kalimat syahadat dibimbing oleh Bapak K.H. Murtadho Sahid B.A., Kepala
KUA (Kantor Urusan Agama) Kecamatan Parakan dan disaksikan oleh ratusan
jamaah pengajian kaum ibu. Oleh K.H. Murtadho saya diberi nama hijrah,
Lasminah. Saya bersyukur diberi umur panjang, sehingga masih sempat bertobat
dan bersyahadat. Kepada para pembaca, saya mohon doa agar saya diberi
ketetapan dalam iman dan Islam sampai akhir hayat saya kelak. Amin.

ONG BOEK YOE (Mantan Pemeluk Kong Hu Chu) :


Meraih Keuntungan Ganda

Sebelum saya banyak bertutur, ada baiknya kalau kepada pembaca saya
kutipkan sebuah buku berjudul "Teman Harapan bagi Keturunan Tionghoa" yang
disunting oleh Drs. H. Junus Yahya, mantan Ketua PITI (Persatuan Islam Tionghoa
Indonesia). Dalam buku itu, antara lain tertulis : "Setelah seorang keturunan
Tionghoa menjadi muslim, maka keadaannya sungguh berlainan. Antara si
pribumi (yang umumnya beragama Islam) dan nonpri keturunan Tionghoa yang
masuk Islam, terjalin suatu hubungan batin yang luar biasa menakjubkan.
Persamaan agama, dalam hal ini Islam, menciptakan hubungan mesra dan
mengharukan sebagai saudara seagama. Berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits, arti
dan nilai saudara sekandung tidak lebih besar dari saudara seagama. Bahkan,
saudara sekandung bisa berbeda agama dengan segala konsekuensinya di
akhirat. Sedangkan, saudara seagama sifatnya abadi di dunia maupun di
akhirat."
Apa yang dipaparkan buku tersebut benar-benar saya rasakan setelah saya
beserta istri dan anak perempuan kami satu-satunya, masuk Islam. Keadaaan
yang digambarkan itu, secara nyata saya nikmati. Tidak ada lagi jarak dalam
bergaul sebagaimana terjadi ketika kami masih memeluk agama nenek moyang
kami, Konghucu. Kemesraan hubungan batin antara saudara seagama, sungguh
menakjubkan dan luar biasa.
Kalau Anda bertanya, apakah kepindahan saya kepada Islam semata karena hal
tersebut di atas? Jawabnya, tidak! Kepindahan saya kepada Islam bermula dari
dialog yang sehat. Tak ada kesan mengajak, apalagi memaksa, antara kami dan
papa yang telah lebih dahulu masuk Islam. Meskipun dari sorot mata papa terasa
ada getar yang menggambarkan keinginan seperti itu, namun sebagai orang tua
yang bijak beliau membawa kami pada dialog seputar masalah teologi Islam dan
syariatnya sembari membandingkannya dengan teologi agama nenek moyang
kami. Dan dialog yang sehat itu, saya lalu tertarik memeluk Islam sebagai satu-
satunya agama yang diridhai di sisi-Nya.
Bukti nyata papa tidak pernah memaksa kami ialah, dari 9 orang putra-putrinya
(2 orang meninggal dunia), cuma saya dan kakak saya sajalah yang mengikuti
jejak papa menjadi muslim. Sedangkan, saudara saya yang lain tetap dengan
keyakinan leluhur kami.
Tetapi, meskipun mereka belum atau tidak seiman dengan saya, namun simpati
mereka terhadap Islam membuat saya tidak pernah bosan mendoakan mereka.
Semoga Allah SWT segera berkenan memberikan hidayahNya kepada mereka.
Saya berkeyakinan bahwa persoalan hidayah, terutama yang menyangkut
masalah pindah agama (baca: masuk Islam) merupakan persoalan pokok. Tanpa
hidayah, pindah agama takkan terjadi pada diri seseorang. Sejarah hidup Abu
Thalib, paman Nabi Muhammad saw. menjadi contoh konkret. Dalam Al-Qur'an,
Allah berfirman, "Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi
petunjuk kepada orang yang engkau cintai. Dan sesungguhnya Allah akan
memberi petunjuk kepada yang dikehendaki."
Agaknya firman Allah itulah yang menjadi pegangan papa sehingga beliau tidak
serta-merta menyuruh atau mengajak kami pindah agama. Kalaupun papa
mengajak kami berdialog tentang agama baru yang diyakininya, itu tak lain
sekadar menunaikan kewajiban selaku orang tua kepada anak yang diamanatkan
Allah kepadanya.

Meluruskan Kekeliruan
Kalau bicara soal gangguan atau hambatan setelah masuk Islam, terutama dari
kalangan keturunan Tionghoa sendiri, sudah pasti ada. Tetapi semua itu saya
anggap sebagai cobaan yang wajar dalam hidup. Apalagi untuk hal yang prinsip,
amat wajar bila mengalami banyak cobaan. Dari sekian godaan, ada satu hal
menarik menyangkut kekeliruan pandangan yang selama ini berkembang di
masyarakat.
Kisahnya begini. Waktu tahun 1987, menjelang keberangkatan kami menunaikan
ibadah haji, tiba-tiba pejabat Kesra Kabupaten Sumenep memanggil saya dan
mengajukan pertanyaan yang rada aneh. "Saudara keturunan Cina, ya?"
tanyanya membuka pembicaraan. "Ya," jawab saya polos. Ia pun melanjutkan
pertanyaannya, "Apa betul kata orang, kalau orang Cina masuk Islam akan jatuh
miskin?" Spontan saya jawab bahwa anggapan seperti itu tidak benar dan tidak
berdasar. Lalu saya jelaskan kepadanya, justru dengan memeluk Islam
seseorang akan memperoleh keuntungan ganda, yaitu keuntungan di dunia dan
keuntungan di akhirat.
Saya katakan demikian, karena dalam Islam tidak terlarang untuk menjadi orang
kaya, asal diperoleh dengan cara benar dan dibelanjakan secara benar pula. Dan
memang, dalam berusaha saya tidak mendapat hambatan yang berarti. Justru
saya mendapat pegangan kuat yang menjadi kunci sukses saya dalam usaha.
Barangkali Anda bertanya tentang istri saya, apakah ia lantas menjadi muslimah
begitu saya menyatakan diri menjadi seorang muslim? Jawabannya, tidak Istri
saya yang amat saya cintai, menjadi muslimah setelah kira-kira satu tahun
setelah saya masuk Islam. Saya tidak pernah memaksanya mengikuti agama
saya. Sebagai seorang suami yang kelak akan dimintai tanggung jawab di
hadapan hakim Maha adil, saya menempuh cara dialogis seperti yang
dicontohkan papa terhadap saya. Alhamdulillah, dengan dialog yang intens
akhirnya dengan kesadaran sendiri ia menyatakan ingin masuk Islam.
Untuk tidak membuat Anda penasaran, baiklah saya perkenalkan diri saya. Saya
dilahirkan di Sumenep, Madura, tahun 1935. Orang tua memberi saya nama Ong
Boek Yoe. Setelah masuk Islam, nama saya diganti menjadi Makboel. Sepulang
dari Tanah Suci tahun 1987, nama saya menjadi Haji Ahmad Makboel Istri saya
yang juga keturunan Cina, semula bernama Tjoa Kim Soe, tetapi kini lebih akrab
dipanggil Haryati. Sekarang kami tinggal di Kecamatan Ganding, Kabupaten
Sumenep, Madura.
ENG MING CHIN (Mantan Pemeluk Kong Hu Chu) :
Kugapai Nur Islam Lewat Petualangan

Kala Allah SWT sudah menghendaki dan menakdirkan sesuatu, maka tak satu
pun selain Dia yang mampu mengubahnya. Contohnya saya, yang lahir dari
keluarga Tionghoa dan beragama Konghucu, kini telah memilih Islam sebagai
pembimbing jalan hidup, meski tantangan senantiasa membayangi langkah saya
Kala Allah SyyT sudah menghendaki dan menakdirkan sesuatu, maka tak satu
pun selain Dia yang mampu mengubahnya. Contohnya saya, yang lahir dari
keluarga Tionghoa dan beragama Konghucu, kini telah memilih Islam sebagai
pembimbing jalan hidup, meski tantangan senantiasa membayangi langkah
saya.
Eng Ming Chin adalah nama yang diberikan orang tua pada saat saya dilahirkan
pada tahun 1964. Sayang, saya tak sempat bermanja-manja dengan mama,
karena beliau meninggal dunia pada saat saya berusia dua tahun. Sedangkan
papa saya, Wie Chu Giat, adalah seorang nelayan yang berpenghasilan lumayan.
Kami waktu itu menetap di Desa Temeran, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Ketika masuk usia sekolah, saya dimasukkan ke SD Temeran. Di kelas satu itu
muridnya cukup majemuk, tcrdiri atas beberapa etnik yang berbeda agama dan
budayanya, seperti Melayu, Batak, dan Cina. Tapi, yang terbanyak tetap orang
melayu yang, beragama Islam.
Mata pelajaran agama yang diberikan pun adalah mata pelajaran agama Islam.
Oleh karenanya, setiap pelajaran agama tiba, teman-teman saye yang
nonmuslim, diizinkan untuk tidak mengikuti pelajaran. Semua teman saya yang
nonmuslim tadi keluar kelas, kecuali saya yang tetap tinggal.
Suatu saat bahkan saya disuruh keluar oleh Pak Yahya, guru agama SD Temeran.
Tapi, saya tetap tak peduli. Entah mengapa, saya menjadi begitu tertarik dengan
pelajaran agama Islam yang disampaikan Pak Yahya itu. Barangkali karena papa
saya sudah terlalu sibuk dengan urusannya, sehingga kurang memberikan
bimbingan keagamaan kepada saya. Kebiasaan mengikuti pelajaran agama Islam
itu tetap saya lakukan. Tanpa terasa sudah dua tahun berlalu. Setelah itu, entah
mendengar dari kabar siapa, akhirnya papa saya tahu juga kebiasaan saya di
sekolah itu (belakangan baru saya tahu bahwa teman saya sekelaslah yang
mengadukannya).
Tanpa menunggu waktu lagi saya dipanggil. Setengah mengancam papa
melarang saya mengikuti pelajaran agama Islam di sekolah. Tetapi, ancaman itu
tetap tak saya pedulikan. Saya tetap dengan kebiasaan itu. Karena sudah tak
mempan diancam, akhirnya papa mulai main tangan. Hampir setiap hari saya
mendapat pukulan dan tamparan dari papa. Hal itu berlangsung sampai saya
duduk di kelas empat SD, tahun 1974.
Setelah di kelas enam SD dan sudah lebih berani, setiap kali papa akan
menghukum, saya segera kabur dari rumah. Pernah sekali waktu saya melarikan
diri selama satu bulan ke Bantan Air, bersembunyi di rumah penghulu (Kepala
Kampung). Ketika saya pulang ke rumah papa memberi ultimatum, "Kalau kamu
masuk ke agama lain, kamu tidak berhak memperoleh harta warisan, dan kamu
akan dikeluarkan dari lingkungan keluarga."

Kabur ke Malaysia
Alhamdulillah, pada thn 1979 saya lulus SD setelah dua kali tinggal kelas dan
setahun tak masuk sekolah. Itu semua karena antara papa dan saya terjadi
konflik terbuka. Setelah lulus SD saya menjadi lebih nekat. Badan saya sudah
kebal dengan berbagai pukulan, mulai tangan sampai rotan. Bahkan, setelah itu
secara terus terang di hadapannya saya katakan kalau saya mau masuk Islam.
Sudah saya duga papa pasti akan marah besar. Kembali pukulannya mendera
badan saya. Tapi kali ini tekad saya sudah bulat. Saya harus pergi, apa pun
resikonya. Dengan bersepeda saya kabur ke Bengkalis. Setelah beristirahat
selama tiga jam, timbul pemikiran bare. "Percuma saya menetap di Bengkalis.
Papa dan pihak keluarga saya lambat laun pasti tahu," kata saya membatin.
Akhimya saya putuskan untuk pergi ke Bantan Tua, karena di sana hampir setiap
hari ada tongkang (perahu tempel) yang pulang pergi ke Malaysia untuk
membawa pekerja gelap atau "pendatang haram" ke negeri itu.
Dalam perjalanan menuju Bantan Tua saya berjumpa dengan Pak Basyiran,
seorang tua yang nekat mengadu nasib di negeri orang. Kepadanya saya
katakan bahwa saya pun siap untuk bekerja di sana. Waktu itu umur saya sudah
13 tahun. Singkatnya, saya berhasil diselundupkan ke Malaysia setelah tiga hari
tiga malam dalam pelayaran, dihempas gelombang dan gulung ombak yang
nyaris memporak-porandakan tongkang kami. Bersama kawan satu rombongan
saya ditempatkan di ladang Makasar. Di sanalah saya bekerja sebagai buruh.
Tepatnya sebagai tenaga kerja gelap tanpa perlindungan hukum.
Di sela-sela waktu istirahat, saya manfaatkan waktu untuk berdiskusi agama
dengan teman-teman sekerja yang seluruhnya orang Indonesia. Di antara
mereka ada yang bertanya, "Apakah Anda orang Islam?" Barangkali mereka
heran, ada pemuda bermata sipit berdiskusi tentang Islam. Lalu, saya jelaskan
bahwa saya belum masuk Islam dan justru ingin minta pertolongan untuk
menjadi seorang muslim.
Jawaban mereka hampir senada. Karena saya bukan warga negara Malaysia
maka mereka tak berani menolong. Saya mafhum, karena status mereka pun
sama dengan saya, pendatang haram. Karena keadaan saya yang seperti itu,
terpikir oleh saya bahwa saya harus kembali ke Bengkalis untuk memudahkan
niat masuk Islam.
Tahun 1984 saya putuskan untuk berhenti bekerja setelah genap lima tahun
mengadu nasib di perkebunan negeri jiran itu. Begitu pun halnya dengan Pak
Basyiran yang kembali pulang ke Bengkalis. Sedangkan saya, meskipun sudah
berhenti bekerja, tapi saya tak segera pulang ke Bengkalis. Saya justru ingin
mencari seorang alim yang dapat mem'bimbing saya ke jalan Islam.
Karena tekad saya itu akhirnya Allah mempertemukan saya dengan Haji Imam
Salim. Beliau seorang Imam Masjid al-Falah di Simpang Renggam. Setelah saya
ceritakan latar belakang kehidupan saya, termasuk liku-liku perjalanan saya
sampai ke Malaysia, beliau amat terharu.
Hanya saja, karena status saya itu ia tak bisa membantu saya untuk diislamkan
secara resmi melalui pejabat agama setempat. Tetapi secara tak resmi beliau
telah membimbing saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat. Di masjidnya
saya dibimbing untuk mengenal Islam secara serius dan tekun.
Beliau pulalah yang memperlihatkan kepada saya cahaya Islam sebagai pelita
kehidupan. Tak sekadar membimbing, beliau pun membantu saya mencari kerja
di sebuah perkebunan milik Tun Doktor Ismail, Simpang Renggam. Di waktu
istirahat setelah seharian bekerja, saya pergunakan untuk memperdalam agama
Islam.
Melihat dahaga saya terhadap ilmu agama, beliau menyarankan agar saya
melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren yang ada dl Jawa Timur, seperti
Tebu ireng dan Gontor. Beliau tidak menyebutkan pesantren yang ada di
Malaysia, sebab orang Malaysia justru lebih banyak belajar di Jawa
Singkat cerita, setelah kurang lebih empat tahun tinggal di rumah Haji Imam
Salim, akhimya saya pamitan untuk pulang kampung, sekaligus untuk mengurus
pengislaman saya secara resmi. Beliau amat mendukung niat saya itu. Sebagai
ungkapan duka cita atas kepergian saya, saya diberinya nama Khoirul Amri bin
Abdullah. Sejak itu saya bukan lagi Eng Ming Chin yang dulu. Waktu itu tahun
1988.
Dengan menumpang tongkang, akhirnya saya tiba kembali di Tanah Air, tepatnya
di Desa Bantar yang berhadapan dengan kota Selat Panjang, Tebing Tinggi,
Kabupaten Bengkalis. Di desa itulah saya berkenalan dengan Bapak Zainuddin,
orang yang banyak membantu proses pengislaman saya.
Ketika usia saya memasuki 24 tahun, dengan dibimbing Ustad Nawawi, Imam
Masjid Desa Bantar, disaksikan kepala desa, akhimya saya resmi menjadi
seorang muslim. Sejak itu, nama Khoirul Amri bin Abdullah, pemberian Haji Imam
Salim, resmi saya pergunakan dalam setiap urusan saya. Waktu itu tahun 1988.
Setelah resmi menjadi seorang muslim saya bermaksud menjumpai guru saya
untuk melaporkan ikhwal keislaman saya itu. Tetapi, karena tak punya ongkos
jalan, akhimya saya bekerja pada suatu kapal balak (kapal peng-angkat kayu
gelondongan yang akan diolah menjadi tripleks). Lewat kapal itulah akhirnya
saya bisa bertemu kembali dengan guru saya sekaligus menjadi orang tua
angkat saya di Simpang Renggam. Beliau pun tetap menyarankan agar saya
melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren yang ada di Jawa.

Mendapat Musibah
Untuk merealisasikan cita-cita saya itu, saya pun bekerja pada Restoran al-Amin
di Sigamat, Johor. Gaji yang saya peroleh saya kumpulkan sedikit-demi sedikit,
sehingga dalam tempo tiga tahun tabungan saya berjumlah 2287 ringgit
Malaysia (senilai satu juta enam ratus ribu rupiah, kurs ringgit saat itu).
Setelah saya rasa tepat waktunya, saya pun mohon pamit kepada Haji Imam
Salim untuk bertolak ke tanah jawa. Dalam perjalanan yia taut melalui Dumai
dan Selat Panjang, saya mendapat musibah. Seluruh uang hasil jerih payah
selama bekerja di Restoran al-Amin itu amblas dicopet orang. Karena musibah
itulah akhimya saya terdampar beberapa lama di Pulau Batam. Untuk
menyambung hidup saya bekerja di kantin milik Bea Cukai Batam.
Barangkali Anda dapat merasakan betapa pahitnya pengalaman hidup saya ini.
Empat belas tahun berpisah dengan keluarga, hidup berkelana dari satu negeri
ke negeri yang lain, ibarat orang yang terbuang. Tetapi syukurlah pengalaman
pahit saya di waktu kecil telah menempa saya menjadi orang yang tabah dan
tegar menghadapi cobaan. Kini, saya telah menemukan cahaya Islam yang
mengaliri seluruh jiwa raga sarnpai akhir hayat.
SIEN HIANG MING (Mantan Pemeluk Kong Hu Chu) :
Hikmah dari Usaha yang Collapse

Saya tak pemah menduga jika usaha saya akan menjadi collapse alias bangkrut,
sebagaimana saya tak pemah menduga jika akhirnya saya menjadi seorang
muslim. Memang, tak ada hubungannya antara pekerjaan dan soal keimanan.
Namun, justru saya dipusingkan oleh usaha saya yang amburadul. Akhirnya
iangkah saya tergiring untuk menuju pads suatu keadaan, yang kemudian
menggugah nurani saya untuk beriman kepada Allah SWT.
Saya dilahirkan di sebuah kota kecamatan, yaitu Kecamatan Mumbulsari, 20 km
sebelah tenggara kota Jember, Jawa Timur, pada tanggal 6 Juli 1949. Saya anak
kedua dari lima bersaudara. Kami semua menganut agama Kristen secara turun-
temurun. Sebagaimana umumnya WNI keturunan Tionghoa, mata pencarian
kami adalah berdagang.
Papa saya mempunyai toko bahan-bahan bangunan yang lumayan lengkap. Di
tengah kesibukannya, papa tak lupa mengingatkan anak-anaknya agar
mendekatkan diri kepada Tuhan. Tapi, saya sendiri memang tak begitu tertarik
dengan soal agama. Mama sampai menjuluki saya si bandel. Tapi, kalau soal
pekerjaan, saya terkenal ulet.
Setelah menikah, saya juga membuka toko bahan-bahan bangunan. Saya juga
mencoba menjadi kontraktor kecil-kecilan. Semakin lama, usaha saya semakin
berkembang. Tak sia-sia saya kuliah di ITS, meski tak sampai tamat. Untuk
kawasan Jember, CV saya sudah cukup terkenal. Sudah banyak proyek
pembangunan sarana fisik Pemda yang saya garap. Bahkan, beberapa kali saya
mendapat tender proyek di luar Jember.

Dapat Musibah
Suatu ketika saya memenangkan tender proyek pembangunan jembatan. Saya
masih ingat, waktu itu bulan September 1987. Dalam kalkulasi bisnis, saya akan
memperoleh keuntungan yang cukup besar dari proyek itu. Tapi sayang, setelah
hampir selesai dikerjakan, jembatan itu ambruk.
Hujan deras selama dua hari berturut-turut menyebabkan air sungai meluap.
Tiang penyangga jembatan tak kuat menahan gempuran banjir. Akhimya badan
jembatan bergeser dan kemudian roboh. Selang lima hari setelah itu, toko
material saya terbakar. Semua isinya ludes terbakar api.
Saya bingung sekali. Sejak saat itu, usaha saya terus melorot. Kendati saudara-
saudara saya beberapa kali memberi bantuan untuk mendongkrak usaha saya
tersebut, namun tetap tak berhasil. Utang saya menumpuk di bank. Kehidupan
saya semakin terpuruk.
Dalam kesulitan itu, atas petunjuk seorang teman, saya mendatangi seorang
ustadz namanya Ustadz Abu Bakar. Maksud saya, selain ingin minta nasihat
darinya, saya juga ingin tahu masa depan bisnis saya. Singkat cerita, beliau
menganjurkan agar saya meninggalkan usaha saya yang lama, dan beralih ke
bidang usaha agrobisnis.
Ternyata benar. Usaha baru ini cukup menguntungkan. Kehidupan saya pun
berangsur membaik, meski tidak sama dengan kejayaan yang pernah saya raih
dulu.

Membangun Mushola
Saya menyadari bahwa itu semua tak lepas dari "pertolongan" Ustadz Abu Bakar.
Karena itu, saya tak ingin berlagak seperti kacang yang lupa pada kulitnya.
Hampir setiap minggu saya berkunjung ke rumah beliau. Anehnya, beliau tak
suka kalau saya beri uang. Beliau menyarankan jika saya punya kelebihan rezeki
lebih baik disumbangkan untuk kepentingan umum. Akhirnya saya punya ide
untuk membangun mushala di samping rumah beliau.
Entah mengapa, setelah membuat mushala itu, jiwa saya lebih condong kepada
Islam. Kadang saya merasa malu dan heran, mengapa saya membangun
mushala? Padahal, saya bukan bagian dari pengisi tempat ibadah itu. Seakan
ada panggilan nurani yang mengajak saya ke pangkuan Islam.
Tanpa ada pengaruh dari siapa pun, akhirnya saya memutuskan untuk menjadi
pengikut Nabi Muhammad SAW. Di mushala yang saya bangun dengan ukuran 4
x 5 m itu, pada tanggal 1 Agustus 1996 saya mengucapkan ikrar dua kalimat
syahadat dengan dibimbing oleh Ustadz Abu Bakar dan disaksikan oleh beberapa
anggota jamaah pengajian. Nama saya pun diganti menjadi Ahmad Yasien.
Resmilah saya menjadi umat yang mengimani Al-Qur'an sebagai kitab sucinya.
Saya bersyukur sekali, karena kepindahan saya ke dalam agama Islam tidak
menimbulkan reaksi negatif dari sanak kerabat saya. Sebagian dari mereka
memang kecewa, namun tak sampai mengarnbil jarak, apalagi memutuskan tali
persaudaraan. Mungkin mereka memahami, atas dasar apa, dan karena siapa,
sehingga usaha saya bisa bangkit setelah sebelumnya collapse dan sempat
sempoyongan.
Setahun kemudian, istri saya yang telah memberi saya tiga orang anak juga
mengikuti jejak saya. Terus terang, hal ini memang sangat saya harapkan dan
says tunggu-tunggu. Sungguh, ini merupakan karunia tersendiri yang patut saya
syukuri. Hati saya lega sekali karena istri saya sudah seagarna dengan saya.
Sebab jika tidak, terlalu susah untuk menyeragamkan tujuan, ibarat di dalam
satu kapal dengan dua nahkoda.
JAW MEI HWA (Mantan Pemeluk Budha) :
Ancaman dan Siksaan Tak Menggogahkan Keislamanku

Saya dilahirkan dari keluarga Kristen yang fanatik, 23 April 1977 di Palembang,
Sumatra Selatan. Tetapi sebagai anak sulung, saya telah dipersiapkan menjadi
pewaris ajaran agama nenek moyang kami, yaitu Budha. Oleh karenanya, sejak
dini saya dididik dan ditempa dengan ajaran-ajaran Sidharta Budha Gautama
Sebaliknya, lingkungan masyarakat tempat tinggal kami didominasi penduduk
pribumi yang notabene kaum muslim. Mereka cukup konsisten dengan
agamanya. Itu dapat saya saksikan dengan Aktifitas kegiatan-kegiatan
keagamaan dan kemasyarakatan di masjid dekat rumah kami. Masjid menjadi
pusat kegiatan mereka. Dari anak-anak, remaja, kaum ibu, dan kaum bapak,
menggunakan masjid itu sebagai tempat pembinaan. Pokoknya, tiada had tanpa
kegiatan.
Ini amat berbeda dengan yang saya saksikan di wihara (rumah ibadah umat
Budha). Wihara tampak amat lengang dan sepi dari Aktifitas kemasyarakatan.
Entah dari mana asal mulanya, saya jadi sering membanding-bandingkan antara
Budha dan Islam.
Saya lihat kaum muslimin tampak begitu gembira setiap kali berada di masjid.
Dan yang paling berkesan buat saya, setiap kali mendengar mereka membaca
Al-Qur'an, hati saya seperti terang dan damai. Bahkan, dari bilik hati saya seperti
ada bisikan, "Mengapa kamu tidak mengikuti ajaran mereka. Pandanglah Islam
secara keseluruhan dan objektif."
Semakin saya bandingkan, saya semakin memahami kesempurnaan dan
kebesaran Islam. Sementara itu, orang tua saya tidak tahu pergolakan yang
terjadi di dalam hati saya ini, karena saya terlihat oleh mereka masih aktif pergi
ke wihara. Padahal, pada saat itu saya sedang mengalami krisis kepercayaan
terhadap ajaran Sang Budha. Contohnya, Tripitaka sebagai kitab suci umat
Budha, menurut nalar saya, tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang
menjadi ganjalan saya secara tuntas, seperti persoalan yang menyangkut
konsepsi ketuhanan dan kehidupan sesudah mati.
Berbeda dengan Al-Qur'an yang pernah saya baca terjemahannya dari pinjaman
teman saya. Kitab suci kaum muslimin itu, menurut saya, mampu menjawab
semua persoalan kehidupan dan kemanusiaan secara tuntas. Bahasanya mudah
dipahami dan dapat diterima akal. Meskipun hati saya diliputi kebimbangan
terhadap ajaran Budha, tetapi saya tetap aktif ke wihara. Tekad saya, sebelum
melepaskan keyakinan lama, saya hares terus menggali dan mencari keutamaan
agama Islam.
Dari konsepsi ketuhanannya, agama Islam dengan konsep tauhidnya mampu
menjelaskan kemahaesaan Tuhan dengan bahasa yang sederhana, namun lugas
dan tuntas. Terjemahan Al-Qur'an surat al-Ikhlas ayat 1-5 benar-benar membuka
mata hati dan nalar saya. Sementara, menurut agama Budha, Sidharta Gautama
sebagai pembawa ajaran Budha juga dianggap sebagai penjelmaan Tuhan. Ini
kan rancu, manusia dianggap Tuhan, begitu pikir saya.
Satu lagi, umat Budha percaya terhadap peristiwa reinkarnasi. Misalnya, jika
seorang manusia selama hidupnya berbuat jahat maka ketika ia mati rohnya
menitis ke dalam jasad hewan. lni menurut saya, sesuatu yang amat mustahil
dan tidak masuk akal.Tapi apabila saya masuk Islam, saya akan mendapat
siksaan.
Proses pencarian itulah yang menyebabkan saya mengerti keutamaan Islam.
Kesimpulan saya, Islam memang agama yang paling sempurna dibandingkan
agama-agarna lainnya di muka bumi. Setelah itu saya menetapkan diri dan
bertekad menjadi pemeluk Islam yang sejati, walaupun harus mendapat
tantangan dari orang tua dan keluarga. Entah bagaimana, timbul keberanian
saya untuk mengungkapkan kegelisahan dan keinginan memeluk Islam kepada
orang tua saya.
Demi mendengar keinginan saya itu, papa saya marah besar. Mulailah
penderitaan ini saya jalani. Siksaan demi siksaan fisik harus saya terima. Papa
mengancam akan mengusir saya, bahkan membunuh saya, apabila saya berani
masuk Islam. Saya tak bergeming dangan ancaman itu. Tekad saya sudah bulat,
walaupun harus mati, saya rela asal matt dalam kepastian selaku seorang
muslim.
Alhamdulillah, akhirnya niat yang suci itu terkabul juga. Singkat cerita, pada
bulan Desember 1992, secara resmi saya mengucapkan ikrar dua kalimat
syahadat di depan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Maryana,
Plaju, dengan saksi Dra. Yunimularsi dan Dra. Sri Astuti. Kedua orang akhwat itu
adalah aktivis remaja masjid dekat rumah saya.
Plong, rasanya. Saya seperti orang yang baru dilahirkan. Begitu perasaan saya
saat itu. Hari itu juga saya langsung pulang dan memberitahukan keislaman saya
kepada orang tua tanpa ada keraguan dan perasaan takut sedikit pun.
Mengetahui hal itu, papa semakin murka dan kembali menyiksa saya.
Sedangkan, mama diam tanpa bisa berbuat banyak. Siksaan fisik terus saya
jalani, tapi saya tetap tabah. Saya tak ingin menceritakan bagaimana bentuk
penyiksaan yang saya terima itu. Tetapi cukuplah, semua itu saya anggap
sebagai ujian iman.
Akhirnya, papa mengalah atas keteguhan hati saya. Rupanya, papa sudah putus
asa melihat kesungguhan dan ketabahan hati saya. Padahal, waktu itu usia saya
baru 15 tahun. Setelah memeluk agama Islam saya makin giat mendalami Islam
dan banyak bertanya kepada para kiai. Sewaktu saya masih sekolah di SMEA
Negeri 11 kelas 2 jurusan Akuntansi banyak teman-teman dan guru-guru
terutama guru agama banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada saya.
Hanya satu yang masih mengganjal, orang tua dan adik-adik saya belum lagi
tergugah untuk masuk Islam. Oleh karenanya, dalam setiap shalat senantiasa
saya mohonkan doa, semoga Allah SWT membuka pinto hati orang tua dan
saudara-saudara saya agar mereka mengikuti jejak saya memeluk agama Islam.
Amiin Allahumma Amin.
BAGIAN IV
KESAKSIAN ARTIS MANTAN PEMELUK KRISTEN-KATOLIK-BUDHA

IGA MAWARNI (Mantan Pemeluk Kristen) :


Islam Itu Agama Rasional

Islam lebih Realistis


Malam mulai turun di sebuah kamar kost di bilangan Depok, Jawa Barat, tahun
1993. Seorang perempuan cantik, hatinya bergejolak. Malam itu, seorang
mahasiswi Sastra Belanda Universitas Indonesia (UI), baru saja berdiskusi antar
teman, masing-masing mempertahankan pendapatnya. Sharing pendapat ini
bukan hal baru dilakukan, tetapi sudah sering berlangsung.
Hingga akhirnya, perdebatan itu menyisakan kepenasaran dan melahirkan
sebuah pemikiran logis. Di suatu malam itulah, wanita bersuara merdu itu harus
mengambil sebuah keputusan penting dalam hidupnya. Perempuan yang
dimaksud adalah artis penyanyi terkenal, Iga Mawarni, putri kelahiran Bogor,
tetapi berdarah Solo. Lagu Kasmaran sempat melambungkan nama Iga
Mawarni di tahun 1991. Tanpa dipengaruhi orang ketiga, penyanyi bersuara jezzi
ini, akhirnya memutuskan meninggalkan kepercayaan lamanya dan memeluk
Islam dengan pendekatan rasional. Ia melakukannya dengan sepenuh hati, tanpa
emosi sedikit pun.
Tidak ada pengalaman khusus yang saya temui untuk pindah keyakinan ini,
misalnya mendengarkan azan sayup-sayup lalu hati saya bergetar. Bukan
peristiwa itu. Keyakinan mengkristal justru berangkat dari lingkungan di mana
saya tinggal. Sebagai anak kost kami sering berdebat, ketika kami masih kuliah
di UI, cerita Iga Mawarni mengenang masa lalunya, ketika dihubungi PR, Rabu
(13/10), ia tengah berlibur di Yogyakarta bersama anaknya Rajasa (3.5).
Setelah berikrar memeluk Islam, persoalan pun muncul, terutama dari
keluarganya. Tadinya saya tidak ingin mengatakannya terus terang, tetapi
semakin saya tutupi, justru perasaan bersalah saya muncul, desahnya.
Keputusan untuk berterus terang kepada kedua orang tuanya itu, bukan tanpa
risiko. Semua orang tua pasti tidak rela anaknya berkhianat terhadap
agamanya. Saya memakluminya ketika ayah dan ibu saya menjauhi saya. Saya
harus kuat, Allah sedang menguji kekuatan saya saat itu. Dan saya berhasil
menerima ujian itu, kata Iga sedikit tersendat.
Yang membuat saya terharu, ketika pikiran saya mengingat mereka sebagai
orang tua yang telah melahirkan saya. Begitu kuat rasa hormat itu muncul,
tetapi di sisi lain saya seperti memperoleh kekuatan yang maha dahsyat untuk
tetap bersikukuh, berdiri berseberangan dalam menegakkan keyakinan. Tadinya
ada keinginan, semoga apa yang telah saya lakukan ini ditiru lingkungan
keluarga besarku di Solo, tetapi tentu itu tidak mudah, tetapi Alhamdulillah adik
kandung saya, sejak dua tahun silam telah mengikuti jejak saya menjadi
pengikut Muhammad SAW., kisah pengagum tokoh B.J. Habibie ini bahagia.

Dianggap tersesat
Konsekuensi memeluk Islam secara sadar, adalah perlakuan dari keluarga di Solo
yang tidak lagi ramah. Hubungan komunikasi pun nyaris putus, bahkan suplai
dana untuk biaya hidup di Jakarta dihentikan. Padahal saya butuh biaya untuk
kuliah, skripsi, biaya hidup. Tetapi Tuhan selalu memberi jalan pada umatnya.
Saat itu saya terus berdoa, semoga diberi kekuatan. Maka timbul ide untuk
bekerja secara part time di Jakarta. Tawaran nyanyi juga mengalir meski tidak
gencar. Dari sana saya semakin meyakini kebenaran itu selalu ada, tegas Iga.
Tujuh tahun, ia harus saling menjaga jarak dengan keluarga. Jika tidak dihadapi
dengan kepala dingin, mungkin segalanya bisa porak poranda. Iga berhasil
meredam semuanya dengan tanpa gembar-gembor. Tujuh tahun saya lewati
hari-hari saling menjaga perasaan, tidak pernah ada rasa gentar, atau takut.
Saya pernah dianggap sebagai anak tersesat oleh keluargaku di Solo. Saya tetap
menikmatinya sambil terus mempelajari kedalaman keyakinan saya lewat Al-
Quran, buku-buku penunjang lainnya, sehingga saya mengetahui mana yang
menjadi larangan dan mana yang dibolehkan, terang Iga.
Dalam pencarian memahami Islam itulah pada akhirnya ia dipertemukan dengan
seorang laki-laki yang kemudian menjadi suaminya sekarang, Charlie R. Arifin
(pengusaha) yang satu ihwan. Saya bersyukur Tuhan mengutus laki-laki
pendamping yang setia, saleh dan punya masa depan. Saat itu semakin teguh
keyakinan saya memeluk Islam secara tulus ikhlas.
Iga tak lagi sendiri mendirikan salat, atau berpuasa. Ia sudah menemukan imam
dalam rumah tangganya. Bersama Charlie dan Rajasa, buah kasih mereka,
terkadang melakukan salat berjamaah di rumah. Bila bulan Ramadan tiba,
mereka melaksanakan salat tarawih di masjid raya. Dipilihnya Masjid At-Tien TMII
Jakarta Timur, sebagai tempat salat terdekat dari rumah tinggalnya, di kawasan
Jakarta Timur.
Saat puasa tiba, sebenarnya bukan hal asing bagi saya. Karena ketika masih
menganut Nasrani, ada juga instruksi mendirikan puasa. Saya juga suka
melakukan puasa, hanya caranya yang berbeda, papar Iga yang mengaku
semoga tahun ini ia bisa melaksanakan puasa dengan tanpa kekalahan yang
berarti dan mendapat ampunan dosa-dosa dari Allah SWT.
PAQUITA WIJAYA (Mantan Pemeluk Protestan) :
Disuruh Membaca Surat Al-Fatihah

Paquita Wijaya, itulah namaku. Sejak lahir aku memeluk agama Kristen
Protestan. Kesempatan pernah mengenyam pendidikan Barat di Parsons School
of Design New York, membuat cara berpikirku sangat rasional. Apalagi aku
dibesarkan dalam kultur keluarga yang demokratis. Termasuk dalam menyikapi
agama. Namun setelah rasioku ditundukkan oleh kenyataan bahwa kekuasaan
Allah itu benar ada, aku pun bersyahadat dan masuk Islam.
Sudah lama aku tertarik dengan Islam. Kupikir, ini agama yang paling rasional.
Perlahan, aku tertarik dengan ritual Islam yang dijalankan Tanteku, seorang
muslimah yang sempat tinggal bersama keluargaku. Tapi hingga suatu saat aku
suting di pulau Nias, Sumatera Utara, aku belum juga memeluk Islam.

Inilah awalnya....
Pulau Nias tiap hari diguyur hujan lebat, disertai angin dan badai. Dua bulan tim
kami terperangkap di pulau itu. Tak ada pesawat yang berani terbang di tengah
cuaca buruk. Padahal, aku harus segera ke Jakarta.
Kepada teman-teman aku bilang, "Kalau hujannya berhenti, aku akan sholat."
Pernyataan itu muncul spontan. Eh, tiba-tiba saja hujan berhenti. Sungguh
menakjubkan. Hujan sederas itu benar-benar berhenti sama sekali, dan cuaca
langsung cerah.
Akupun bisa tiba di Jakarta tanpa kesulitan. Walaupun aku berulang-ulang
ditunjukkan 'sesuatu' yang sebelumnya tidak kupercayai, toh aku tidak langsung
masuk Islam. Rasioku berkata, "Bukankah semua itu terjadi karena kebetulan
saja." Hari-hari pun berjalan lagi. Membuat musik, mengajar di Institut Kesenian
Jakarta (IKJ) serta rutinitas lainnya. Namun sejak itu aku kerap memimpikan hal
yang menurutku aneh. Misalnya aku mimpi bertemu, bersapa-sapa dengan ayah
temanku yang sudah meninggal.
Meski aku mengenalnya dengan baik, menurutku ini agak aneh. Yang paling
seram, aku mimpi dicekik berkali-kali, sampai sesak nafas tanpa bisa berbuat
apa-apa. Gara-gara itu, tiga hari aku tak berani memicingkan mata.
Kutemui teman-temanku yang muslim. Kutanya mereka tentang cara ampuh
mengusir mimpi buruk. "Surat apa yang kamu hafal?" tanya mereka, sambil
menyebut beberapa nama surat dari Al-Quran. Kujawab, "Kecuali Al-Fatihah, tak
ada yang lain." Lantas mereka menyuruhku membaca Al-Fatihah tujuh kali
menjelang tidur. Sungguh, sejak saat itu aku tak mimpi aneh-aneh lagi.
Lain waktu aku bermimpi didatangi banyak orang. Mereka minta bantuanku.
Ingin sekali aku menolong mereka tapi tidak berdaya. Tahu-tahu, dalam mimpi
itu seperti ada yang menggerakkanku untuk sholat, hal yang sebelumnya tidak
pernah kulakukan. Entah bagaimana, setelah sholat, aku jadi mempunyai
kekuatan menolong orang-orang malang tadi. Dan ada kelegaan sesudahnya.
Akhirnya aku sampai pada suatu perasaan kekeringan hati. Dalam agamaku saat
itu, aku tak merasakan suatu spirit. Katakanlah keimanan. Aku teringat saat-saat
aku mengikuti tanteku berpuasa di bulan Ramadhan, saat itu aku masih seorang
Kristen. Tapi pengalaman batin yang kurasakan sungguh istimewa.
Demikian pula pengalaman batin yang kurasakan saat pelan-pelan aku mulai
lancar melafalkan Al Fatihah, karena kerap menyaksikan Tanteku menunaikan
Sholat. Aku pun sampai pada kesimpulan yang bulat. Iman Islam inilah yang
mengantarkanku pada sebuah kedamaian batin. Kesejukan iman Islam ini
menyirami jiwaku.
Dua tahun kujalani proses perenungan itu, akhirnya aku mengikrarkan
keIslamanku di sebuah masjid kecil di Jalan Kenari. Di hadapan seorang ustadz,
kenalan seorang teman. Saat kuucapkan dua kalimat syahadat, aku tak
mengalami kesulitan.
Selesai bersyahadat, hatiku lega. Hari-hari selanjutnya, semakin intens aku
memperdalam Islam lewat buku karena aku tak sempat ke pengajian. Selain itu,
aku juga belajar dari ibu pacarku yang memang seorang mubalighah di Solo.
Semula orang tuaku mengira aku masuk Islam lantaran pacarku, yang kebetulan
seorang muslim. Demi menjaga niat keIslamanku, aku putus dengan pacarku ini.
Hingga akhirnya aku menikah dengan seorang muslim lainnya. Ia pun rajin
beribadah. Melihat dia sholat, rasanya hati ini senang tak terperi. Aku bangga
memilih dan dipilih menjadi muslimah.
TIA AFI (Mantan Pemeluk Kristen) :
Kagum Lihat Orang Muslim Berjamaah

Nama Saya Theodora Meilani Setiawati, namun akrab dikenal dengan nama Tia
AFI, dilahirkan di sebuah kota yang tenang. Tepatnya di Kota Solo Jawa Tengah,
tanggal 7 Mei 1982 dari pasangan orang tua yang berbahagia. Ayahku bernama
Bambang Sutopo (46), sedangkan ibuku tercinta bernama Rini Sudarwati (42).
Kota ini tidak jauh dari Kota Yogyakarta, bila naik mobil bisa ditempuh selama
satu jam setengah. Ayahku seorang penganut agama Kristen yang sangat taat,
demikian pula ibuku. Sehingga, ketika aku dilahirkan 22 tahun yang silam, sudah
barang tentu saya hidup mengikuti agama keyakinan ayah dan ibuku. Bahkan
sesekali dalam napasku terbiasa dengan kalimat-kalimat yang mengagungkan
Tuhan. Bahkan ada yang berkumandang di sekelilingku dengan
memperdengarkan lagu-lagu puja-puji terhadap Tuhan.
Sebagai anak pertama dalam keluarga, konon ekonomi keluargaku belumlah
terlalu mapan. Keadaan saat itu memang serba sulit, tetapi ayah dan ibu tidak
putus asa. Saat dilahirkan, ibuku tidak bisa langsung membawa pulang sang bayi
yang montok dan cantik, karena tidak cukup untuk menebus biaya melahirkan di
rumah sakit.
Tetapi ayahku tidak kalah semangat, ia lalu meminjam uang secukupnya pada
seniman kawakan Srimulat, Bu Jujuk. Atas jasa beliaulah kemudian bayi yang
diberi nama lengkap Theodora Meilani Setiawati itu, bisa meninggalkan rumah
sakit.
Memasuki sekolah SD hingga SMP saya tumbuh sebagaimana anak kebanyakan.
Ayahku yang beda keyakinan dengan ibuku meski sama-sama Nasrani, melewati
hari-harinya dengan tetap saling menghormati satu sama lain. Ibu rajin ke
gereja, ayahku pun demikian. Mau tidak mau, saya pun sering diajak oleh ayah
atau ibu ke gereja.
Di sisi lain saya tentu tumbuh di lingkungan yang kedua orang tuaku berharap
kelak, dapat menjadi anak yang berguna bagi agama yang dianut oleh
keluargaku. Tetapi harapan tidak berarti sebuah anjuran. Karena ternyata di
dalam keluargaku, diberi kebebasan dalam memilih cita-cita di kemudian hari.
Juga bebas meyakini agama yang dianut masing-masing asal bisa bertanggung
jawab dengan agama yang diyakini tersebut.
Sifat demokrasi yang tumbuh dalam keluargaku inilah, mempermudah langkahku
dalam pencarian keyakinan yang mendekati kebenaran yang hakiki. Semua
agama memang sama. Agama adalah persoalan keyakinan, yang dipercaya
mampu membawa kemaslahatan. Membawa kita kearah kebaikan. Sebuah
pedoman agar kita tidak tersesat. Dan persoalan ketenangan batin.
Tetapi begitulah yang namanya hidayah jika sudah atas kehendak-Nya, insya
Allah dijalani dengan sebaik-baiknya oleh umat yang menjalaninya. Setelah saya
memeluk agama Islam, saya tidak ingin mengganti namaku, karena akan berefek
pada semua identitasku yang formal seperti keterangan dirapor sekolahku.
Biarlah namaku seperti yang sekarang. Toh tidak memberatkan.
Suatu hari di bulan Ramadan beberapa tahun silam, ketika itu saya masih duduk
di bangku SMA kelas satu. Tiba-tiba saja hatiku berdegup kencang karena
kekaguman yang sangat luar biasa. Ketika senja mulai turun, saat bedug magrib
bertalu dan suara azan berkumandang, berbondong-bondong orang-orang
bersatu untuk berbuka puasa dan shalat Maghrib. Lalu bersama-sama pula
berangkat ke masjid untuk shalat Isya dan Tarawih. Alangkah indahnya
kebersamaan itu, sambil mengenakan mukena warna putih. Pikirku alangkah
sucinya saat menghadap Tuhan.
Lingkungan sekolahku pun ikut mendukung, teman-temanku hampir semua
beragama Islam, tiba-tiba saya iri ingin menikmati kebersaman itu, yang
sebelumnya tidak saya temui di agama keyakinan terdahulu. Saya ingin
merasakan bagaimana puasa, bagaimana mendirikan shalat Tarawih bersama-
sama. Pertama-tama saya minta dituntun teman, tetapi lama-kelamaan saya
memperoleh kekuatan untuk bicara pada kedua orang tuaku. Sampai suatu hari
saya sampaikan niat untuk memeluk agama Islam. Kaget juga saat niat baik itu
disampaikan, terutama saya melihat reaksi ibu dan ayah.
Lama mereka terdiam. Kami tanpa kata-kata. Akhirnya ibu berkata tulus, kalau
kamu sudah yakin dengan pilihanmu, jangan sampai mempermainkan agama.
Dan asalkan kamu menjalankannya dengan segala tanggung jawab silakan saja.
Saya tahu ibu berat melepas anaknya untuk berseberangan keyakinan dengan
dirinya. Mungkin ibu menyadari, di antara mereka (ayah dan ibu) saja sudah
berseberangan, tetapi bisa hidup rukun.
Saya seperti memperoleh setetes air dipadang pasir yang gersang. Air itu saya
teguk dengan lahap, dan berdesis Allahu Akbar tanpa sadar saya bersujud,
karena kedua orang tuaku ternyata merestui akan pilihan keyakinanku.
Sebelumnya memang sudah saya bayangkan tidak akan sulit saya peroleh,
karena kehidupan beragama dalam keluargaku sudah tampak berwarna sejak
sebelum saya dilahirkan ke bumi. Maka begitu saya memperoleh izin dan tanpa
ada intervensi dari pihak luar, sejak itulah saya mengucapkan dua kalimat
syahadat yang dibimbing oleh seorang pemuka agama di Solo. Sejak itulah saya
terus belajar sendiri dan banyak bertanya pada teman-teman sepergaulanku.
Ketika saya putuskan untuk memeluk agama Islam, saya tidak dalam posisi
dipengaruhi oleh siapa pun, dan tidak juga oleh pacar yang kebetulan sekarang
ini sama-sama beragama Islam. Karena waktu itu saya belum bertemu Mas Endy
(30). Oleh sebab itu agama dalam keluargaku sekarang ini semakin berwarna.
Tetapi tetap rukun dalam tiga agama yang dianut, ada Islam, ada Katolik, dan
Protestan.
Sekarang dalam perjalanan keislaman saya yang masih banyak kekurangannya,
tidak henti-hentinya saya selalu memohon bimbingan-Nya agar saya senantiasa
diberi kekuatan untuk menjalankan agamaku dengan sepenuh hati. Puasa yang
kini saya jalani di Jakarta, memang nikmat, tetapi lebih nikmat saya menjalankan
puasa itu di rumah sendiri di Solo. Kalau di Solo, ibu selalu ikut bangun memasak
dan membangunkan untuk sahur, padahal ibu agamanya tidak sama dengan
saya. Saya terkadang rindu masakan ibu, saat-saat puasa seperti sekarang ini.
Di sini di Jakarta, saya masak seadanya, banyaknya beli jadi. Dan kebanyakan
pula disediakan di Indosiar untuk mengisi acara "Pondok AFI" saat sahur
menjelang. Saya hanya selalu berusaha agar puasa yang saya lakukan tiap
tahun meningkat kadar kualitas menjalankannya. Dan berharap dosa-dosa yang
pernah diperbuat dapat diampuni Allah SWT. Amin.
SANDRINA MALAKIANO (Mantan Pemeluk Kristen dan Hindu) :
Islam Sangat Menarik

Nama saya Alessandra Shinta Malakiano, Publik lebih mengenal saya dengan
nama Sandrina Malakiano, penyiar Metro TV. Saya lahir di Bangkok-Thailand, 24
November 1971. Saya sangat bersyukur dibesarkan di tengah keluarga
perpaduan dua negara. Ayah saya dari Armenia, Italia, yang beragama Kristen.
Sementara ibu dari Indonesia, seorang keturunan Jawa beragama Islam, yang
kuat dengan budaya kejawen.
Kombinasi dua budaya yang berbeda itu melahirkan kebebasan memeluk agama
apapun bagi anak-anaknya. Yang terpenting buat kami adalah percaya adanya
Tuhan. Kebebasan yang orang tua berikan membuat saya tidak tahu mana
agama yang benar dan bisa saya jadikan jalan hidup.
Hal itu membuat saya terus mencari dengan cara membandingkan berbagai
agama yang ada di negeri ini. Dalam pencarian tersebut saya mencoba
mempelajari beberapa agama yang ada di Indonesia.
Bahkan ketika tinggal Bali, saya sempat memeluk agama mayoritas penduduk
sana. Saya pun menjalaninya secara serius dan total. Saya tidak bisa melakukan
atau meyakini sesuatu setengah hati. Bagaimanapun, sesuatu yang dilakukan
dan diyakini setengah hati tidak akan terlaksana dengan baik dan benar. Apalagi
itu sebuah keyakinan yang harus diketahui kebenarannya.
Tahun 1998 saya pindah ke Jakarta. Di sanalah saya diberi kesempatan untuk
bisa melihat Islam lebih dekat. Bertanya tentang keislaman pun saya jadikan
rutinitas sehari-hari.
Sulit dijelaskan dengan kata-kata, semakin hari ketertarikan saya pada Islam pun
tumbuh. Keinginan untuk lebih banyak tahu pada Islam semakin menjadi.
Kerinduan untuk memeluk Islam pun semakin menggebu. Bersyukur saat saya
ungkapkan pada keluarga, saudara, dan teman-teman tentang kerinduan itu,
mereka mendukungnya.
Saya pun lebih giat lagi memperdalam Islam, termasuk belajar shalat. Dengan
semua modal itu, tanpa ada halang rintang yang berarti dan dengan niat serta
ketulusan hati, pada tahun 2000, bertempat di Masjid Al Azhar Jakarta, saya
memeluk agama Islam. Semoga ini jalan terbaik yang telah Allah tentukan untuk
saya.
Subhanallah, keteduhan, ketenangan, dan kedamaian terasa menyejukkan batin
ini. Saya telah menemukan kebenaran yang dicari selama ini. Dengan berusaha
sabar dalam menjalani ujian dan cobaan hidup ini, senang maupun sulit, dikala
lapang ataupun sempit, saya yakini semuanya sebagai pendidikan yang Allah
berikan pada saya. Tentu ada hikmah atau pelajaran yang terbaik dari-Nya.
Beberapa bulan yang lalu, hampir beberapa kali saya mimpi bertemu Aa Gym.
Aneh, tidak seperti biasanya. Mimpi itu sangat saya hafal detil kejadiannya.
Padahal, jika bermimpi, saya sering kali lupa kejadian mimpi tersebut. Pada
mimpi yang pertama, saya sakit dan Aa Gym mengobati sakit saya. Lalu mimpi
selanjutnya, kejadiannya di sebuah masjid. Dalam mimpi tersebut, banyak orang
yang ingin masuk ke dalam dan mendengarkan ceramah di dalam masjid
tersebut. Saya pun berusaha masuk ke mesjid itu seperti yang lainnya. Namun
berkali-kali saya mencoba masuk ke dalam, saya selalu terpental keluar, sampai
akhirnya saya memutuskan duduk di tangga luar. Lalu Aa Gym menghampiri
saya dan mengatakan, "Semua masalah itu ada jalan keluarnya. Dan yang
memberi jalan keluarnya itu adalah Allah." Subhanallah! Mimpi yang tidak
pernah saya lupakan. Saya pun semakin yakin pada Allah bahwa Allah akan
menolong setiap makhluk-Nya yang ada dalam kesusahan.
Saya berharap dan berdoa, di tahun 2004 saya bisa menjadi manusia lebih baik
di mata Allah, ibu yang baik bagi anak-anak, menjadi anak yang baik di mata
orangtua, serta menjadi pendamping yang baik di mata suami.

DAVINA YERONICA HARIADI (Mantan Pemeluk Kristen) :


Mendapatkan Petunjuk Allah Saat di Roma

Setelah Dian Sastro mengumumkan menjadi Mualaf. Diam-diam model cantik


Davina juga sudah menekuninya sejak tahun 2003. Bahkan dikabarkan sudah
sering mengikuti berbagai kegiatan yang bernafaskan Islami. Beberapa sumber
juga mengatakan, Davina lebih khusyu menjalaninya seperti pemeluk lainnya.
Tapi dikabarkan karena menjadi Mualaf Davina diprotes habis-habisan oleh
keluarga besarnya.
Gosip tersebut dikabarkan oleh beberapa kawan dekatnya Davina. Saat
dikonfirmasikan langsung kepada model ini, Davina mengiyakan dan
mengatakan memang sudah sejak tahun kemarin dirinya menjadi Mualaf. Saat
didesak kenapa, Davina menjawabnya dengan sangat hati-hati. Katanya, semua
itu adalah urusan dirinya dengan Tuhan. Walaupun ada yang memprotesnya.
"Saya memang sudah masuk agama Islam sudah dari tahun kemarin. Tapi maaf,
soal kenapa saya jadi Mualaf, saya tidak mau berkomentar karena semua itu
adalah urusan saya dengan Tuhan yang diatas," papar dara kelahiran Jakarta, 20
Oktober 1978 ini.
Ketika didesak soal bagaimana sampai mau menjadi Mualaf dan soal protes
tanggapan keluarga besarnya. Model yang membintangi film layar lebar berjudul
Sang Pialang ini mengungkapkan, sejauh pihak keluarga tidak bermasalah dan
masih baik-baik saja. Bahkan tidak ada yang memprotesnya. Pasalnya, keluarga
Davina adalah keluarga besar yang semuanya pemeluk agama lain yang taat.
"Keluarga saya tidak ada masalah kalau saya masuk ke agama lain. Soalnya
keluarga saya moderat dan membebaskan anak-anaknya memilih kepercayaan
sendiri saat menanjak remaja. Tapi kedua ortu saya mengharuskan kalau soal ini
jangan terlalu di ekspos besar-besaran karena soal ini bukan masalah karir. Tidak
ada tuh protes apapun dari keluarga saya," tuturnya menjelaskan, ditemui
Rileks.com diacara peluncuran butik di Dharmawangsa Square, Jakarta, Sabtu,
Model yang pernah menang Cover Girl majalah Mode, Juara III dan Juara Fayorit
ini juga mengungkapkan, saat di Roma Italia dirinya merasakan ada petunjuk
dari Tuhan untuk menjadi Mualaf. Tapi mengelak soal menjadi Mualaf karena
pacarnya. "Semuanya terjadi saat saya berada diluar negeri. Saya tidak terpaksa
dan juga tidak karena beberapa hal tapi memang dari hati saya pribadi menjadi
Mualaf," ucapnya pamitan.
Meski waktu untuk menekuni Agama Islam selalu kalah dengan waktu dunia
keartisannya, namun model cantik Davina mengaku selalu ingin menyempatkan
diri belajar, meski harus dengan mencuri-curi waktu luangnya. Katanya, rencana
untuk mendalami Agama dan belajar Al-Qur'an sebenarnya sudah lama, namun
karena selalu mendapatkan pekerjaan sebagai model yang memakan waktu,
untuk konsentrasi belajar selalu gagal. Davina adalah mu'alaf yang baru
memeluk Agama Islam dua tahun lalu.
"Beberapa waktu lalu aku sempet memikirkan belajar intensif dengan seorang
ustad. Namun karena aku selalu dapat job yang selalu memakan waktu luangku,
rencana itu selalu gagal. Aku maunya, jika belajar harus konsentrasi tanpa ada
pekerjaan lain. Mungkin ini cobaan kali ya?" paparnya saat ditemui di acara
syukuran film yang dibintangi oleh Davina, beberapa waktu lalu di Cipete,
Jakarta.
Selain itu, pemilik nama lengkap Davina Yeronica Hariadi mengaku sudah
merasakan hidup menjadi bermakna akan kebesaran Tuhan Allah SWT. Apalagi
jika selalu mengingat kejadian tragis yang pernah dialaminya. Bahkan karena
kejadian itu, Davina ingin selalu pasrah kepada Tuhan. "Aku kan pernah
kecelakaan mobil saat berada di Kalimantan. Padahal saat kecelakan mobil yang
merenggut 3 nyawa termasuk sopir, aku sedangn tidur. Bangun-bangun aku
sudah luka parah dan terbaring di rumah sakit," tuturnya.
Hal itulah membuat bintang film layar lebar berjudul Luyely Luna ini semakin
tahu akan kebesaran Tuhan. Katanya, walau manusia inginnya berkehendak lain,
namun Tuhan punya rencana lain. Seperti apa yang telah dia alami. "Kalau aku
ingat kejadian kecelakaan yang menurut aku sangat tragis itu, aku jadi berpikir,
manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi, buruk atau baik. Kalau
aku mengingat hal itu, aku sepertinya mendapatkan anugerah dan merasa hidup
kembali untuk yang kedua. Saat puasa ini aku jadi semakin tahu akan kebesaran
Tuhan. Mungkin agar aku hidup bisa lebih baik lagi," terang cewek dengan berat
berat 50 kg dan tinggi 173 cm ini.
TAMARA BLESZYNSKI (Mantan Pemeluk Katolik) :
Masuk Islam Melalui Penelitian yang Mendalam

Tamara Nathalia Christina Mayawati Bleszynski, itulah nama lengkap saya. Tapi
saya lebih dikenal dengan nama Tamara Bleszynski. Papa saya berasal dari
Polandia, Eropa Timur. Ia beragama Kristen Katolik. Sekangkan mama bernama
Farida Gasik, orang jawa Barat, beragama Islam. Karena orang tua saya bercerai,
akhirnya saya ikut papa dan sekaligus mengikuti agamanya.
Ketertarikan saya pada agama Islam, juga terpaut pada sisi ketaatan
pemeluknya. Hal semacam ini menurut saya jauh berbeda dibanding dengan
keyakinan saya yang lama. Saya juga penasaran dengan gambaran sosok Tuhan
dan nabi dalam Islam. Saya mengamati, dalam agama lain, sosok Tuhan dan nabi
digambarkan secara konkret. Walau pun demikian Tuhan dan Nabi sangat dekat
dengan mereka, lebih dekat dari urat leher manusia.
Berawal dari rasa penasaran dan ketertarikan itulah saya mulai mempelajari
beberapa buku mengenai Islam. Saya juga membaca Al-Qur'an untuk
mengetahui dan membandingkan ajaran yang saya peluk dahulu. Ternyata
ajaran-ajaran Al Kitab itu ada juga dalam Al-Quran, seperti kisah Nabi Isa.
Namun Al-Qur'an lebih komplit, dan sisi pandangannya berbeda dengan
keyakinan yang selama ini saya anut. Setelah melalui proses pengamatan dan
belajar selama beberapa bulan, akhirnya saya putuskan untuk memeluk agama
Islam.

Masuk Islam
Keinginan saya untuk masuk Islam saya sampaikan kepada mama. Keputusan itu
membuat mama bahagia. Mama menyambut baik keputusan saya itu. Papa pun
tak menghambat niat baik saya itu. Beliau memahami keputusan saya. Keluarga
kami memang sangat demokratis.
Walaupun papa seorang Katolik, toh ia sudah tinggal di Indonesia selama 40
tahun, dan memahami budaya kaum muslim. Papa sering menyumbang untuk
pembangunan masjid, dan pada bulan puasa papa suka menyediakan makanan
berbuka bagi orang yang berpuasa. Hal inilah yang membuat saya bangga
kepada papa. Singkat cerita, pada tahun 1995 lalu saya mengucapkan ikrar dua
kalimat syahadat.
Selanjutnya, dalam proses perpindahan agama, awalnya saya akui cukup berat
melakukan penyesuaian dengan agama baru itu. Berbagai cara saya lakukan
untuk mempelajari Islam, terutama shalat. Antara lain membaca berbagai buku
yang berisi tuntunan shalat.
Saya juga menggunakan kaset penduan shalat. Mula-mula saya shalat memakai
earphone, sambil mendengarkan petunjuk dari tape recorder. Tak sampai satu
bulan saya sudah hafat semua bacaan dan gerakan shalat. Alhamdulillah, saya
sudah dapat menjalankan shalat lima waktu.
Setelah masuk Islam saya merasakan berbagai perubahan yang mencolok dalam
hidup saya. Pikiran saya lebih tenang dan terbuka, karena saya punya pedoman
dalam menilai yang benar dan salah, yang haram dan halal, juga yang baik dan
yang buruk.

Mendapat Jodoh
Perubahan yang mencolok saya akui pada perubahan rezeki. Saya merasa rezeki
yang diberikan Allah SWT setelah masuk Islam, lebih memadai. Inilah yang patut
saya syukuri. Dan terbesar yang saya dapatkan adalah jodoh yang sesuai
dengan doa saya selama ini.
Saya berdoa agar dapat jodoh yang seiman dan mampu membimbing saya
dalam beragama. Ternyata Allah mengabulkan doa saya. Saya mendapatkan
seorang pemuda muslim dari keluarga keturunan Arab-Aceh. Namanya Teuku
Rafli Pasha, 24 tahun, anak kedua dari lima saudara. Rafli anak dari Teuku
Syahrul, mantan anggota DPR RI dan Ibu Cut Ida Syahrul. Saya tak menyesal
kawin muda, karena itu ibadah. Dan, suami saya ini sangat berperan dalam
memberikan pemahaman tentang Islam kepada saya.
Saya dan Rafli akhirnya melangsungkan pernikahan di Tanah Suci Mekah dengan
restu orang tua kami, setelah kami selesai melakukan Ibadah Umrah. Akad nika
berlangsung di Masjidil Haram, disaksikan mama, serta H. Cecep, guru ngaji saya
selama ini.
Saya dan Rafli sudah lama saling mengenal. Waktu itu kami bertemu di sebuah
restoran di Jakarta. Sejak perkenalan itu, dalam tempo satu bulan kami mulai
akrab, dan berusaha untuk lebih mengenal satu sama lain.
Akhirnya kami saling mencintai, dan juga mendapat restu dari orang tua kami,
sehingga kami memutuskan untuk sekalian meresmikan pernikahan menjadi
suami istri di Tanah Suci. Saya mendapatkan figur Rafli seorang yang ulet bekerja
walau ia adalah lulusan Nortuidge Military College dia meraih gelar master dari
Boston UniyersiTV, Amerika Serikat Tapi ia sangat taat beribadah. Ini yang saya
dambakan . Kini suami saya

kerja di Uninet Jakarta.


Suami saya menyadari bahwa saya yang dipersunting telah memiliki karir yang
cukup mapan sebagai model, model iklan, dan bintang sinetron, sehingga ia
tidak melarang karier yang sedang saya jalani ini. Walaupun demikian, saya
harus membatasi diri. Apa yang baik atau tidak baik untuk keluarga. Untuk itu
saya memohon doa dari para pembaca, semoga saya menjadi muslimah yang
baik dan dapat membina keluarga yang sakinah.
KI MANTEB OYE (Mantan Pemeluk Budha) :
Masuk Islam Karena Diajak Umrah ke Mekkah
Nama Ki Manteb agaknya identik dengan penampilannya yang mantap dalam
memainkan wayang kulit. Ia termasuk dalang yang digandrungi dan laris. Jadwal
pentasnya padat. Berikut ini kisah perjalanan spiritulanya dalam mencari
kebahagiaan yang hakiki. Terus terang, saya mendapatkan dorongan untuk
masuk Islam dari Gatot Tetuki, anak saya yang kedua dari istri kedua. Dahulu
saya beragama Budha. Sebelumnya saya tidak mau masuk Islam, karena
menurut saya agama itu berat. Saya tidak mau ikut-ikutan. Apakah untuk
menjadi seorang muslim itu harus keturunan? Menurut saya, menjadi muslim itu
harus diusahakan.
Demikianlah, saya harus banyak menimbang. Barulah ketika usai menghitankan
Gatot dan ia minta diberangkatkan umrah, hati saya mulai tersentuh. Itu saya
anggap sebagai panggilan Allah. Saya seperti diingatkan dan dibangunkan dari
tidur panjang. Langsung saja, ajakan Gatot saya terima. Sesudah itu, saya
mempersiapkan diri untuk masuk Islam.
Pada hari yang telah ditetapkan, saya mengundang Kiai Ali Darokah (Ketua MUI
Solo), H. Amir Ngruki, H. Alwi, dan kaum muslimin di sekitar tempat tinggal saya.
Mereka saya minta menjadi saksi upacara pengislaman saya.
Kemudian sesuai ajakan Gatot, saya melaksanakan umrah pada September
1995. Alhamdulillah, pada bulan April/Mei 1996, saya berkesempatan
menunaikan ibadah haji. Banyak manfaat yang saya peroleh dari pengalaman-
pengalaman tersebut. Semua itu, menambahkan kedewasaan berpikir dan
pengendalian diri.

Kejadian Aneh
Waktu beribadah haji, saya mengalami suatu kejadian sangat aneh. Sesampai di
Mekah dan akan kembali ke Madinah, sesudah tawaf wada' saya ingin sekali
mencium Hajar Aswad. Tetapi, mana mungkin? Padang Mina sudah menjadi
lautan manusia yang tumplek menjadi satu.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul seorang anak kecil berpakaian
khas Arap ngawe-awe (mengajak sambil melambaikan tangan) kearah saya.
Setelah saya hampiri, anak kecil itu mengucapkan, "Ahlan...ahlan..."(selamat
datang, selamat datang, red.).
Seperti ada tarikan kuat, saya berjalan mengikutinya. Anak itu berjalan
merunduk karena banyak orang. Oleh anak kecil itu, saya seperti ditunjukkan
jalan. Belok kanan-kiri dan akhirnya pas tiba di Hajar Aswad. Alhamdulillah, saya
dapat mencium Hajar Aswad sepuasnya. Saya menangis disitu. Saya bersyukur
sekali atas pertolongan anak kecil itu.
Beberapa saat kemudian saya teringat pada anak itu. Saya ingat masih
mengantongi uang 50 real. Saya berniat memeberikan uang tersebut kepada
anak kecil tadi. Tetapi begitu saya tengok, anak kecil tadi sudah tidak ada. Kalau
lari tidak mungkin. Sampai kini, siapa dan ke mana perginya anak kecil tadi
masih menjadi misteri.
Setelah memeluk Islam dan beribadah haji, hubungan dengan siapa pun tetap
baik. Demikian pula dengan para pengrawit (penabuh gamelan, red) rombongan
wayang kulit. Sebagian besar pengrawit sudah beragama Islam. Tinggal 3 orang
yang belum Islam. Dalah hal ini, saya mempersilahkan saja sesuai dengna
keyakinan mereka. Sebab, dalam memeluk Islam tidak boleh ada paksaan.

Merasa Tenteram
Sebelum memeluk Islam, jika tidak mendalang seminggu saja, saya selalu
merasa waswas. "Aku nek ra payu, piye?" Saya kalau sudah tidak laku lagi,
bagaimana? Begitu perasaan saya ketika itu.
Alhamdulillah, sekarang perasaan itu sudah tidak ada lagi. Saya berusaha taat
shalat. Hasilnya, saya menjadi lebih dapat mengendalikan diri. Saya menjadi
selalu berpikir positif ke pada Allah. Kalau memang sudah tidak ada rezeki lagi
buat saya, tentu Allah sudah memanggil saya. Mengapa harus bingung? Intinya,
pikiran sudah sumeleh. Alhamdulillah, keluarga saya sudah Islam semua.
Setelah masuk Islam, saya merasakan hasilnya. Keluarga semakin harmonis dan
tenteram. Tidak suka bertengkar. Tidak ada suasana saling mencurigai. Itu yang
saya rasakan dalam memeluk agama yang baru saya anut itu.
Beberapa kali saya diminta mengisi pengajian oleh masyarakat. Semampunya
saya penuhi. Bukan bermaksud menggurui, tetapi itu kewajiban seorang muslim.
Dalam pengajian, saya hanya menceritakan sejarah hidup saya yang dulu tidak
karu-karuan, mbejujak.
Alhamdulillah, ada beberapa orang yang akhirnya mengikuti jejak saya, yaitu
masuk Islam. Ketika berlangsung pengajian, ada jamaah yang bertanya, apa
kalau ceramah saya mendapatkan uang saku? Dengan jujur saya jawab tidak.
Sebab, kalau mau cari-cari uang, itu sudah saya dapatkan dari mendalang.
Setelah menjadi muslim, saya harus lebih banyak belajar dalam mendalami
Islam. Dalam hal ini, dirumah saya di Karang anyar, setiap bulan sekali saya
selalu mendatangkan mubalig, seperti Kiai Ali Darokah, H.Amir, H. Alwi dan yang
lainnya, untuk memberikan pengajian kepada masyarakat. Setelah itu, saya
teruskan dengan pentas wayang yang selalu saya sisipi dengan pesan-pesan
dakwah. Saya memang terobsesi oleh metode dakwah Wali Songo yang
menjadikan wayang kulit sebagai media dakwah.
CINDY CLAUDIA HARAHAP (Mantan Pemeluk Kristen) :
Kagum Melihat Fenomena Langit di Malam Hari

Allah SWT memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki. Begitulah
yang terjadi pada diri Cindy Claudia Harahap, putri sulung dari musisi veteran
Rinto Harahap. Saat usia belasan tahun, Cindy terombang-ambing hidup di
tengah-tengah keluarga Muslim dan non-Muslim. Keluarga ayahnya non-Muslim
sementara keluarga dari ibu beragama Islam.
Suatu saat, sekitar tahun 1991, penyanyi kelahiran Jakarta, 5 April 1975 ini
sedang tiduran tengah malam di atas rumput halaman asrama di Australia. Saat
itu, Cindy bersama sahabat karibnya yang juga artis papan atas Indonesia,
Tamara Blezinsky, sedang menempuh pendidikan di St Brigidf College. Setiap
hari mereka ngobrol karena hanya mereka berdua orang Indonesia. Mereka juga
mempunyai kondisi yang sama tentang orang tua.
Suatu malam Cindy benar-benar diperlihatkan keagungan Allah. Ketika
memandang ke langit yang cerah terlihat bulan sabit yang bersebelahan dengan
bintang yang indah sekali. ''Saya bilang sama Tamara, kayaknya saya pernah
lihat ini di mana ya, kok bagus banget. Kayaknya lambang sesuatu, apa ya?'',
kenang penyanyi dan pencipta lagu ini.
Tamara menjawab kalau itu lambang masjid. ''Jangan-jangan ini petunjuk ya
kalau kita harus ke masjid,'' jawab Cindy selanjutnya. Ia memang jarang sekali
melihat masjid selama di Australia. Cindy pun berfikir dan mengajak Tamara
masuk Islam. ''Suatu hari saya terpanggil untuk memeluk agama Islam,'' kata
sulung tiga bersaudara.
Setelah kembali ke Indonesia, Cindy dan Tamara pun lama berpisah. Saat
kemudian bertemu di Jakarta, ternyata mereka sudah sama-sama menjadi
mualaf. Pelantun tembang melankolis ini mengungkapkan inti dirinya masuk
Islam lebih pada panggilan jiwa dan hati. Karena, lanjutnya, orang memeluk
agama itu sesuatu yang tidak bisa dipaksakan, tergantung masing-masing
orang.
Selain dari diri sendiri adakah pihak lain yang mempengaruhi? Cindy
mengatakan selain mamanya juga Mas Thoriq (Thoriq Eben Mahmud, suaminya).
Dari awal saat pacaran, Cindy banyak belajar tentang Islam dari Thoriq, laki-laki
keturunan Mesir. Mereka sering berdiskusi dan Thoriq pun menjelaskan dengan
bijaksana dan kesabaran. Menurut Cindy, Thoriq tidak pernah memaksanya
bahkan dia sering membelikan buku-buku tentang Islam. ''Terkadang kayak anak
TK dibelikan juga buku cerita yang bergambar. Tapi justru jadi tertarik, sampai
akhirnya saya dibelikan Al-Quran dan benar-benar saya baca apa artinya,'' tutur
artis yang menikah 4 juli 1998.
Cindy melisankan Dua Kalimat Syahadat di hadapan seorang guru agama Islam
SMA 34 Jakarta. ''Di sebuah tempat yang sangat sederhana, tepatnya di
mushalla kecil sekolah itu, saya mulai memeluk Islam,'' katanya. Dalam proses
mempelajari Islam, istri mantan pilot Sempati ini mengakui tidak menghadapi
banyak kendala yang berarti, cuma memang harus menyesuaikan diri. Cindy
sudah terbiasa melihat ibadah keluarganya yang beragama Islam. Bahkan
sebelum masuk Islam, ia sudah sering ikut-ikutan puasa. Dalam belajar mengaji,
Cindy mendatangkan ustad ke rumah. Pada awalnya memang ada kesulitan, tapi
akhirnya bisa berjalan lancar.
Cindy mengatakan, keluarganya sangat toleran terhadap agama karena pada
dasarnya semua agama itu sama, mengajarkan yang baik hanya caranya yang
berbeda-beda. ''Papa pernah bilang apapun agama yang saya putuskan untuk
dianut itu terserah. Yang penting dilaksanakan dengan sungguh-sungguh'', ujar
artis yang sedang syuting sinetron untuk Ramadhan mendatang.
Sebelumnya, Cindy sempat berfikir menjadi Muslim sepertinya repot sekali.
Kalau mau masuk masjid untuk shalat, misalnya, harus wudhu dan harus pakai
mukena dulu. ''Mau shalat saja harus repot. Apalagi ada bulan Ramadhan yang
harus puasa. Saya sempat berfikir kalau Islam agama yang repot,'' ujar ibu dua
anak bernama Sabrina Aisya Putri (3) dan Aprilia Omar Syarif (1,5) ini.
Setelah mempelajari Islam dengan benar, Cindy menyadari itulah kelebihan
Islam bila dibandingkan dengan agama lain. ''Kalau kita hendak menghadap
Allah, kita harus benar-benar dalam kondisi yang bersih. Bersih jiwa dan bersih
diri,'' tuturnya. Cindy mengungkapkan, alangkah bahagianya kita sebagai umat
Islam dikasih bulan ramadhan, di mana kita diberi kesempatan untuk
membenahi diri. ''Menurut saya, bulan Ramadhan itu bulan bonus dan setiap
tahun saya merasa kangen dengan Ramadhan''.
Selama ini Cindy selalu berusaha membagi waktu sebisa mungkin tidak
meninggalkan ibadah. ''Kalau kita ada waktu ya ibadah harus dilakukan. Cuma
saya tidak munafik, sebagai manusia masih harus berusaha agar ibadah tidak
bolong dan tetap lancar,'' penyanyi yang sudah menelorkan enam album ini
menuturkan.
Ia mengakui bila jadwal syuting padat, ibadah shalat suka terlewatkan. Tapi bila
sedang berada di rumah, bersama suami menunaikan shalat jamaah. Cindy pun
sejak dini memperkenalkan kepada anaknya kehidupan agama dengan
memasukkan anak pertamanya ke TPA (Tempat Pendidikan Al-Quran) di masjid
dekat rumah.
Cindy mengisahkan beberapa bulan setelah menikah diberi hadiah pernikahan
oleh mertua berupa umrah bersama suami. Ia merasa sangat berkesan saat
pertama melihat Ka'bah karena sebelumnya hanya disaksikan lewat televisi atau
gambar saja.
Waktu itu, Cindy berangkat umrah bulan Ramadhan beberapa tahun lalu dan ia
sedang hamil enam bulan. Cindy mengaku justru bisa menunaikan ibadah puasa
di sana yang tadinya di Jakarta tidak bisa puasa. ''Alhamdulillah, sampai di sana
tidak ada kendala atau kejadian buruk apapun,'' kata penyanyi yang sedang
mempersiapkan album bernuansa dakwah.
Saat ini, Cindy bersama suami sedang membuat program umrsh bersama artis di
bulan Ramadhan mendatang. Rencananya beberapa artis akan berangkat seperti
Nia Zulkarnaen, Krisdayanti-Anang dan Ferry Irawan. Tapi rencana Cindy ini tidak
melulu khusus untuk kalangan artis. ''Siapa saja yang berminat dan ingin
bergabung, ayo,'' kata tokoh antagonis dalam sinetron 'Bidadari Yang Terluka' ini.
NATALIE SARAH (Mantan Pemeluk Kristen) :
Mimpi Disuruh Baca Surat Al-Fatihah

Tahun 2001 saya pernah bermimpi membaca surat Al Fatihah dan bertemu
dengan seorang kakek memakai jubah putih. Orang yang saya jumpai dalam
mimpi itu berpesan bahwa seandainya ketakutan, sakit atau apapun saya
disuruh membaca surat Al Fatihah.
Saya sama sekali tidak tahu apa makna Al Fatihah walapun ketika SD saya sering
mendengar teman-teman baca surat itu. saya tanya kepada teman maksud
mimpi saya disuruh membaca Al Fatihah. Akhirnya saya diberi Al-Quran
terjemahan dan saya baca artinya ternyata maknanya sangat mendalam. Saya
tahu bahwa Al Fatihah hanya milik umat Islam.
Mimpi itu barangkali tidak begitu mengusik bintang sinetron Natalie Sarah, bila
datang saat ini. Hanya saja, mimpi itu mengampiri saat ia berusia 18 tahun dan
belum menjadi seorang Muslimah. Tak lama setelah mimpi itu, ia menjadi mualaf.
Ketakutan bakal diusir dari keluarga, dijauhi teman-teman, dan saudara
menghantuinya begitu ia mengikrarkan memeluk Islam Juli 2001.
Gadis berdarah Aceh-Sunda kelahiran 1 Desember 1983 ini sadar, keluarganya
begitu fanatik memegang agamanya. Begitu juga keluarga besarnya. Sangat
sulit bagi mereka untuk menerima jika salah satu anggota keluarganya menjalani
keyakinan lain.
Tapi tekadnya sudah bulat. Ia pun memantapkan keyakinannya dalam pelukan
Islam. ''Jauh sebelum saya mengucapkan dua kalimah syahadat untuk masuk
Islam, sudah kepikiran nantinya bakal jadi urusan keluarga. Ternyata memang
benar. Semua mualaf mengalamai hal seperti itu,'' ujarnya, di sela-sela shooting
untuk acara Jelang Senja Ramadhan (JSR) yang dilakukan Jamaah Syamsu Rizal
(JSR) di kediaman Fahmi Darmawansyah, Senin (3/10).
Sarah menemukan Islam di usia belia. Saat itu, rumah tangga orang tuanya di
ambang perceraian. Tak ingin kehilangan sandaran, ia mencari pegangan hidup
sendiri. Beruntung, ia bertemu sahabat yang benar. Ia kerap mengikuti
sahabatnya mengaji di Pesantren Daarut Tauhid yang diasuh KH Abdullah
Gymnastiar. Lama-lama, ia menemukan damai dalam Islam.
Islam yang dipejarinya, adalah Islam yang sejuk. Islam yang mengajarkan
bagaimana menata hati. Hal itu bertolak belakang dengan pemahamannya
sebelumnya tentang Islam. ''Karena selama ini saya mendengar bagaimana
banyak ustadz ceramahnya hanya mendiskreditkan agama tertentu,'' akunya.
Bahkan di hari pertama mengaji, ia sudah menitikkan air mata. ''Ketika itu ada
segmen kembali kepada diri kita sendiri atau merenung, saya menangis di situ.
Waktu pengajiannya malam setelah shalat Isya.''
Sarah pun ketagihan mengaji pada Aa Gym, walaupun saat itu ia belum menjadi
Muslimah. Bahkan, saat temannya yang pertama kali mengajak mengaji mulai
jarang datang, ia tetap bersemangat. Ia sengaja mengikuti pengajian di malam
hari. ''Takut teman-teman lain yang tahu saya non-Muslim teriak, Sarah, elu
ngapain bukan Muslim ada di sini?'' ujarnya. Setelah sangat yakin dengan Islam,
ia pun memutuskan masuk Islam. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat di
Bandung saat masih duduk di bangku kelas tiga SMK, beberapa saat menjelang
kelulusan. Karena alasan takut itu, ia pun bersyahadat secara sembunyi-
sembunyi.
Hari-hari setelah menjadi Muslim dilaluinya dengan banyak cobaan. ''Komunitas
bermain saya sedikit-demi sedikit berubah,'' ujarnya. Di sisi lain, ada ketakutan
yang sangat akan sikap keluarganya. Lulus SMA, ia pindah ke Jakarta menemani
ibunya, NurmiaTV, yang sudah bercerai dengan ayahnya. ''Akhirnya, di sana
saya benar-benar seperti ayam kehilangan induk, karena nggak ada teman.
Sementara sejumlah keluarga mama sering datang ke rumah dan mengajak
pergi beribadat,'' ujarnya.
Sarah berusaha berkelit untuk tidak pergi dengan berbagai alasan; malas,
ketiduran, dan sebagainya. ''Tapi, lama-lama keluarga saya bisa curiga, kenapa
ini anak? Nanti bisa ketahuan.'' Lalu diatur lagi siasat setiap malam Minggu ia
menginap di rumah teman. Sesekali, ia turut ke tempat ibadat agama
keluarganya. Namun ia mengunci mulutnya sambil mengucapkan doanya sendiri
pada Allah SWT. ''Teman ada yang menegur, 'Sar, kamu kok nggak nyanyi?' Saya
bilang, 'Itu lagu baru, saya nggak hafal.' Dalam hati saya sibuk berzikir pada
Allah.''
Ia pun selama beberapa tahun sembunyi-sembnyi melakukan ibadah. Pernah
suatu hari tas miliknya diperiksa dan ternyata ada buku panduan shalat di
dalamnya. Mengetahui hal ini, ia berujar, ''Buku itu milik teman yang ketinggalan
dan saya bawa.'' Di kalangan teman-temannya, ia tetap mengaku sebagai
pemeluk agama lamanya. Begitu pula ketika ia memasuki dunia sinetron.
''Semua kru menganggap saya Kristen. Tapi, ada beberapa teman yang
membocorkan bahwa saya ini sudah masuk Islam tapi tidak mau mengaku.''
Ketika masuk waktu shalat, ia melaksanakan shalat sendirian secara sembunyi-
sembunyi setelah pemain dan kru lain selesai shalat. Sejak 2001 sampai
memasuki awal tahun 2003, ia beribadah secara sembunyi-sembunyi.
Tabir mulai terbuka pertengahan tahun 2003. Pamannya yang Muslim meninggal
dunia. Sama seperti dia, sang paman juga menyembunyikan identitas
kemuslimannya. Saat itu keluarga besarnya hampir menguburnya sebagai
seorang Kristen, sampai ditemukan identitas yang menunjukkan kemuslimannya.
Dari kejadian pamannya itu, Sarah seperti mendapat sindiran dari lingkungan
keluarga. ''Makanya kalau agama itu harus jelas. Islam ya ngaku Islam, kalau
Kristen ya Kristen. Kalau seperti kejadian ini serba tanggung jadi dikuburnya
bingung,'' tandas salah seorang keluarga seakan menohok dirinya.
Namun lagi-lagi, ia tak punya nyali untuk mengaku telah menjadi Muslimah pada
keluarganya. Ia hanya berpesan pada sahabatnya, ''Seandainya saya meninggal,
tolong dikuburkan secara Islam. Itu wasiat lisan kepada teman karena soal umur
siapa yang tahu.''Kini pertimbangannya bukan lagi takut diusir keluarganya.
Secara ekonomi, ia sudah mapan. Ia hanya kasihan pada mamanya, yang pasti
akan dihujat keluarga besarnya.
Ia menuturkan, tahun 2003 sebenarnya kabar keislamannya sudah tercium
media infotainment. ''Mereka memberitakan Natalia Sarah telah menjadi seorang
mualaf,'' ujar pemilik nama Natilia Sarah, namanya sebelum menjadi Muslim.
Untungnya jam tayangnya pagi hari, sehingga tak banyak orang-orang dekatnya
yang tahu. Memasuki 2004 berita itu semakin santer. Keluarganya banyak yang
tahu. Tapi mereka diam karena beranggapan nanti bakal balik lagi seperti artis
yang lainnya.
Namun, ''Juni 2005 saya punya keinginan kuat berumrah. Mendengar kabar saya
mau umrah, keluarga geger. Mereka pun datang ke rumah untuk menyidang
saya,'' ujarnya. Keinginan itu berawal dari sibuknya dia hingga jatuh sakit dan
tak berpuasa. Ia sempat pingsan sejenak dan tiba-tiba dia merasa tengah berada
di tengah lautan manusia yang sedang berthawaf. Bahkan sampai tersadar,
bibirnya masih melafalkan labaika Allahumma labaika. ''Sejak hari itu saya
menabung dan meniatkan berumrah.''
Ketika hendak berangkat, Sarah menemui keluarganya dan sempat menangis. Ia
berujar lirih, ''Ya Allah, masak saya tidak boleh untuk menginjakkan kaki ini ke
Tanah Suci-Mu.'' Kini, keluarga besarnya sudah memahami pilihannya memeluk
Islam. Mereka menghormati. Begitu juga mama dan adik-adiknya. Ia sungguh
bersyukur.
CHICHA KOESWOYO (Mantan Pemeluk Kristen) :
Tersentuh Islam Karena Mendengar Azan di TVRI

Nama Mirza Riadiani barangkali memang tidak dikenal. Tetapi nama penyanyi
cilik yang mencuat di tahun 70-an lewat lagu "Helly" nama seekor anjing kecil,
pasti semua orang sudah dapat menebaknya. Ya. siapa lagi kalau bukan Chicha
Koeswoyo yang sekarang lebih dikenal sebagai wanita karier. Chicha sekarang
memang Direktur PT Chicha Citrakarya yang bergerak di bidang Interior Design,
Enterprise, Grafic Design, dan Landscape. Yang jelas perbedaan antara Chica
cilik dan Chicha sekarang bukan pada penyanyi atau wanita karier; tetapi pada
keyakinan imannya. Chicha hari ini adalah Chicha yang muslimah, yang hatinya
telah terbimbing cahaya kebenaran Dinullah (Islam).
Perihal keislaman saya, beberapa majalah ibukota pernah mengangkatnya. Itu
terjadi tahun 1985. Singkatnya, saya tergugah mendengar suara azan dari TVRI
studio pusat Jakarta.
Sebetulnya saya hampir tiap hari mendengar suara azan. Terutama pada saat
saya melakukan olah raga jogging (lari pagi). Saat itu, saya tidak merasakan
getaran apapun pada batin saya. Saya memperhatikannya sepintas lalu saja.
Tetapi, ketika saya sedang mempunyai masalah dengan papa saya, saya
melakukan aksi protes dengan jalan mengurung diri di dalam kamar selama
beberapa hari. Saya tidak mau sekolah. Saya tidak mau berbicara kepada
siapapun. Saya tidak mau menemui siapapun. Pokoknya saya ngambek.
Pada saat saya mengurung diri itulah, saya menjadi lebih menghabiskan waktu
menonton teve. Kurang lebih pulul 18.00 WIB. siara teve di hentikan sejenak
untuk mengumandangkan azan magrib.
Biasanya setiap kali disiarkan azan magrib, pesawat teve langsung saya
matikan. Tetapi pada saat itu saya betul-betul sedang malas, dan membiarkan
saja siaran azan magrib kumandang sampai selesai. Begitulah sampai
berlangsung dua hari.
Pada hari ketiga, saya mulai menikmati alunan azan tersebut. Apalagi ketika
saya membaca teks terjemahannya di layar teve. Sungguh, selama ini saya telah
lalai, tidak perhatikan betapa dalam arti dari panggilan azan tersebut.
Saya yang sedang bermasalah seperti diingatkan, bahwa ada satu cara untuk
meraih kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat kelak, yaitu dengan shalat. Di
sisi lain, suara azan yang mengalun syahdu, sanggup menggetarkan relung hati
saya yang paling dalam. Hati saya yang resah, seperti di sirami kesejukan. Batin
terasa damai dan tenteram.
Kebetulan meskipun beragama kristen, tetapi saya sekolah di SMA Yayasan
Perguruan Islam Al-Azhar Kebayoran Baru. Sejak peristiwa itulah saya menjadi
sering merenung dan memperhatikan teman-teman yang melaksanakan shalat
di Masjid Agung Al-Azhar yang memang satu kompleks dengan sekolah saya.
Saya pun mulai sering berdiskusi dengan teman-teman sekelas, terutama
dengan guru agam saya Bp Drs. Ajmain Kombeng. Beliau orang yang paling
berjasa mengarahkan hidup dan keyakinan saya, sehingga akhirnya saya
membulatkan tekat untuk memeluk agama Islam. Apalagi menurut silsilah,
keluarga kami masih termasuk generasi kedelapan keturunan (trah) Sunan
Muria.
Alhamdulillah, rupanya, masuk islamnya saya membawa berkah bagi keluarga
saya dan keluarga besar Koeswoyo. Tahun 1986, saudara sepupu saya, Sari Yok
Koeswoyo, mengikuti jejak saya ke jalan Allah. Bahkan di awal 1989, adik
kandung saya, Hellen, telah berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat.
Alhamdulillah, tidak ada masalah yang berarti dengan keluarga kami.
Dengan Islamnya Hellen, saya merasa mempunyai teman untuk berkompetisi
mendalami ajaran Islam. Pada setiap Kamis sore, ba'da shalat ashar, kami
berdua tekun mendalami Islam kepada seorang guru mengaji yang datang
kerumah. Sekarang ini saya sedang tekun mempelajari Al-Qura'an. Meskipun
saya akui masih rada-rada susah.
Dari hasil pengkajian saya terhadap Islam dan Al-Qur'an, saya berpendapat
bahwa semua permasalahan yang ada didunia ini, jawabannya ada di dalam Al-
Qur'an. Sebagai orang yang baru merintis usaha, saya tentu pernah mengalami
benturan-benturan bisnis. Jika kegagalan dikembalikan kepada takdir Allah, maka
insya Allah akan ada hikmahnya. Menurut saya, manusia boleh saja
merencanakan seribu satu planning, tetapi yang menentukan tetap yang di atas
(Allah SWT).
Dakwah di Australia
Setelah tamat di SMU Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tahun 1987 saya
melanjutkan kuliah di Stamford Colege, mengambil jurusan Managerial
Principples. Selama satu tahun setengah, saya bermukim di Negeri Kanguru,
Australia. Setelah itu, selama setahun saya bermukim di Singapura, masih di
lembaga yang sama, Stamford College Singapore.
Selama di Australia, saya mempunyai pengalaman menarik. Misalnya, kalau saya
ingin shalat berjamaah ke masjid maka saya harus ke daerah Lucinda di negara
bagian Queensland. Jauhnya sama antara Jakarta-Puncak, sekitar 90 km.
Sewaktu saya shalat di apartemen, sahabat akrab saya orang Australia,
memarahi saya. "Ngapain kamu menyembah-nyembah begitu," katanya
bersungut sungut. Lalu saya jawab, "Sekarang saya jauh lebih tenang daripada
tadi, dari pada 5-10 menit yang lalu. "Setelah itu, kami terlibat diskusi serius
tentang perbedaan Islam dan Kristen.
Alhamdulilah, sejak saat itu kawan saya tampak serius mempelajari Islam.
Meskipun sampai saat ini, saya tidak tahu lagi apakah ia sudah masuk Islam atau
belum. Tapi buat saya sendiri, peristiwa itu memberikan kesan yang cukup
dalam. Meskipun kecil, terapi terasa telah berbuat sesuatu yang berarti bagi diri
saya dan agama saya, Islam.
Saya di lahirkan di Jakarta, 1 Mei 1968, putri sulung Nomo Koeswoyo, pencipta
lagu terkenal sekaligus produser rekaman. Setelah selesai studi di Australia dan
Singapura, saya melanjutkan di John Robert Power Jakarta, mengambil program
Public Relation.
Semua hanya rahmat Allah. Sebagai probadi saya juga ingin sukses. Saya ingin
juga mengabdi diri, supaya dapat menikmati kebahagian hidup. Soal materi bagi
saya ternyata tidak ada apa-apanya. Toh, kita menghadap Allah hanya dengan
kain kafan dan amal.

Chicha Koeswoyo Sedang 'Transit'


Jumat, 16 Agustus 2002 : Siapa yang tidak kenal Chicha Koeswoyo? Bagi mereka
yang pada tahun 1980-an seusia murid TK atau SD, Chica adalah idola.
Namanya, untuk masa kini, bisa disejajarkan dengan sederet penyanyi cilik yang
sedang beken seperti Sherina, Tasya, dan Miesy.
Lagu-lagu Chica seperti Helly dan Senam Pagi menjadi 'nyanyian wajib' buat
anak-anak saat itu. Nama bekennya itulah yang kemudian juga
mengantarkannya sebagai pemain film. Minimal tiga judul film telah
dibintanginya: Kartini, Chica, dan Break Dance. Sebuah terbitan untuk anak-anak
bahkan memakai namanya. Di situ ia duduk sebagai pengasuh tanya jawab
dengan sobat-sobat kecilnya.
Ya, itu dulu. Seiring dengan pertumbuhannya menjadi remaja dan kemudian
seorang gadis cantik, ia justru menepi dari kehidupan glamor. Apalagi saat itu ia
mulai merasakan nikmatnya menjalankan ajaran agama. Sejak itu secara pelan
ia pun surut dari kehidupan selebritis.
Dan, ketika ia kemudian melanjutkan pendidikan di Australia dan lalu Singapura,
nama putri sulung Nomo Koeswoyo, salah satu dedengkot Koes Bersaudara, ini
pun seolah 'ditelan bumi'. Nama Chica tak lagi mewarnai lembaran dunia
showbiz di tanah air.
Namun, menurut Mirza Riadiani Kesuma -- nama asli Chica Koeswoyo --, ia tak
menyesali meninggalkan lingkungan dunia selebritis. Semua itu ia lakukan
dengan kesadaran. Dan sejak pulang ke Indonesia, sosok Chica pun berubah
total.
Kini ibu dua anak ini lebih sering tampak di forum-forum pengajian. Pengajian
yang rutin didatangi adalah di tempat ibu mertua dan kakak ipar. ''Saya haus
dan butuh informasi aktual tentang ajaran agama karena hidup memang harus
berubah. Kalau tidak, kita akan jalan di tempat,'' kata mantan artis cilik ini.
Baginya, kehidupan dunia ini hanyalah terminal, dan ia mengaku sedang transit
di terminal itu. ''Yang kekal itu nanti, di akhirat,'' tuturnya.
Namun, ia melanjutkan, untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik harus
dilalui dengan kehidupan dunia yang baik pula. Kehidupan dunia yang tidak baik,
katanya, akan menyesatkan manusia dari jalan lempang.
Menurut Chicha, hidup ini perlu keseimbangan. ''Memang kita berjuang untuk
hidup, tapi ibadah juga jangan dilupakan. Apalagi hidup di kota besar hampir
setiap orang berambisi akan materi. Karena itu, harus ada balance,'' tutur wanita
yang ingin jadi entrepreneur ini.
Chicha merasa dunia ini sudah semakin tua dan seharusnya hal yang negatif
dihindari. Ada kecemasan terhadap kehidupan di kota. Alangkah lebih baik, lanjut
wanita yang mengaku sangat menikmati menjadi orang biasa ini, hidup diisi
dengan hal yang positif daripada yang mubazir.
Agar hidup bisa sejahtera, ujarnya, tiap manusia harus berupaya hidup lurus,
tidak saling menzalimi. ''Hal ini bisa diterapkan dalam keluarga dan tetangga
dengan memahami cara berfikir mereka,'' kata anak pertama dari tiga
bersaudara ini.
Sebagai ibu rumah tangga, Chica menuturkan semua pedoman tentang hidup
yang didapatkannya itu kini ingin juga ditularkan kepada keluarganya, khususnya
kepada anak-anaknya. Ini, katanya, karena anak-anak akan meniru apa yang
dilakukan orangtuanya. ''Orang tua adalah figur yang akurat bagi anak-anak,''
ujar mantan penyanyi cilik yang lincah melantunkan lagu 'heli, guk guk guk' itu.
Bila Chicha sedang shalat jamaah bersama suami, anak pertamanya yang masih
berusia tiga tahun akan diam, dan terkadang mengikuti apa yang dilakukan
kedua orang tuanya -- ikut berdoa, dzikir, dan menunggu saling cium tangan.
Mantan pelantun lagu anak-anak ini mengaku sering melakukan tafakur.
Biasanya, sehabis shalat Isya dan setelah menidurkan kedua anaknya. ''Saya
senang bertafakur di saat suasana hening,'' katanya.
Chica menyadari, apa yang dijalaninya kini belumlah sempurna sebagai seorang
muslimat. Namun, katanya, ia selalu berupaya menuju ke sana. Sebagai misal,
meski ia belum selalu memakai pakaian yang menutup seluruh aurat, tapi ia
berupaya berpakaian sopan.
Sejak menikah, ujar wanita kelahiran Jakarta 1 Mei 1968, memakai baju ketat
tidak cocok lagi. ''Rasanya tidak enak saja berpakaian seperti itu,'' tegas
pengagum cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid ini.
Chicha mengatakan sangat mengsyukuri apa yang didapatkannya dalam hidup
ini. Apalagi, katanya, Allah masih memberikan umur yang panjang sehingga ada
kesempatan untuk berbuat amal kebaikan. Ia pun selalu berdoa agar anak-anak
dan keluarganya dari hari ke hari diberi keselamatan. ''Bila ada apa-apa, saya
akan pasrahkan semua kepada Allah,'' ujarnya.
Menurutnya, pada waktu-waktu tertentu ia selalu berintrospeksi mengenai
kekurangan apa saja yang telah diperbuat hari ini. Bila ada kesalahan pada Allah
ia akan minta ampun. Bila ada kesalahan kepada orang lain, ia juga akan minta
maaf karena manusia memang tidak luput dari kesalahan.
Menurut pemilik nama asli Mirza Riadiani Koeswoyo, karena manusia tidak
mengetahui rencana Allah selanjutnya, maka dia berharap senantiasa diberi
kesadaran penuh dalam menghadapi hidup ini. ''Jangan sampai tidak diberi
kesabaran menghadapi cobaan hidup,'' ungkap Chicha yang mengaku sering
ditawari manggung dan main sinetron.
Biasanya, lanjut putri pasangan Nomo Koeswoyo dan Francisca, bila doanya
mendapat keridhoan Allah, esok harinya seperti ada jalan yang terbentang lebar.
''Saya akan tambah bersyukur,'' kata Chicha yang mengaku kehidupan sehari-
harinya dijadikan inspirasi oleh Nomo Koeswoyo, ayahnya.
Kini, setelah melakukan umrah di tahun 1992, Chica berkeinginan untuk dapat
melaksanakan kewajiban ibadah haji. Sayangnya, ketika niat dia dan suaminya
sudah bulat, ada saja rintangannya. Kebetulan sekarang ini ia sedang
mengandung anak ketiganya. ''Mudah-mudahan Allah memberikan jalan,'' doa
pengelola Kedai Bunga ini.
WS RENDRA (Mantan Pemeluk Kristen) :
Masuk Islam Karena Kawin Dengan Putri Kraton

Hijrah Keyakinan
Saya memang telah memilih jalan hidup saya sebagai seniman. Sejak muda,
saya telah malang-melintang di dunia teater. Bahkan, kemudian saya dikenal-
sebagai "dedengkot" Bengkel Teater sewaktu masih tinggal di Yogyakarta.
Melalui Bengkel Teater inilah saya telah mendapatkan segalanya: popularitas,
istri, dan juga materi. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dalam kemiskinan
sebagai seniman pada waktu itu, saya dapat memboyong seorang putri Keraton
Prabuningratan, BRA Sitoresmi Prabuningrat, yang kemudian menjadi istri saya
yang kedua.
Tetapi justru, melalui perkawinan dengan putri keraton inilah, akhirnya saya
menyatakan diri sebagai seorang muslim. Sebelumnya saya beragama Katolik.
Meskipun dalam rentang waktu yang cukup panjang-setelah memperoleh 4
orang anak--perkawinan saya kandas. Tetapi, keyakinan saya sebagai seorang
muslim tetap terjaga.
Bahkan, setelah perkawinan dengan istri yang ketiga, Ken Zuraida, saya semakin
rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan bukan suatu
kebetulan, jika saya kemudian bergabung bersama Setiawan Djodi dan Iwan Falls
dalam grup Swami dan Kantata Takwa.
Bagi saya, puisi bukan hanya sekadar ungkapan perasaan seorang seniman.
Tetapi lebih dari itu, puisi merupakan sikap perlawanan saya kepada setiap
bentuk kezaliman dan ketidakadilan. Dan, itulah manifestasi dari amar ma'ruf
nahi munkar seperti yang selalu diperintahkan Allah di dalam Al-Qur'an.
Sebagai penyair, saya berusaha konsisten dengan sikap saya. Bagi saya, menjadi
penyair pada hakikatnya menjadi cermin hati nurani dan kemanusiaan. Penyair
itu bukan buku yang dapat dibakar atau dilarang, bukan juga benteng yang bisa
dihancur leburkan. Ia adalah hati nurani yang tidak dapat disamaratakan dengan
tanah. Mereka memang dapat dikalahkan, tetapi tidak dapat disamaratakan
dengan tanah begitu saja.

Pergi Haji
Meskipun sudah menjadi orang Islam, tetapi saya masih suka meminum
minuman keras. Seenaknya saja saya katakan bahwa tidak ada masalah dengan
hal itu. Waktu itu, saya selalu katakan, kalau saya membaca
bismillahirrahmanirrahim, maka minuman keras menjadi air.
Ketika naik haji, apa saja yang saya tenggak terasa seperti minuman keras
merek Cheyas Regal. Minum di sini, minum di sana, rasanya seperti minuman
keras. Bahkan, air zamzam pun rasanya seperti Cheyas Regal, sampai saya
bersendawa, seperti orang yang selesai meminum minuman keras.
Lirih, saya memohon. "Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun,
ampun, ampun, ya Allah." Saya betul-betul merasa takut, kecut, malu, dan juga
marah, sehingga saya ingin berteriak, "Bagaimana, sih? Apa maksud-Mu? Jangan
permalukan saya, dong!" Saya baru merasakan air lagi dalam penerbangan dari
Jedah ke Amsterdam. Alhamdulillah! Saya betul-betul bersyukur. Setelah ini, saya
tidak akan meminum minuman keras lagi.

MONICA OEMARDI (Mantan Pemeluk Protestan) :


Tertarik Islam Karena Melihat Dian Nitami Sholat

Bulan suci Ramadhan merupakan bulan yang penuh hikmah buat saya. Saat itu,
saya memulai hidup baru sebagai seorang muslimah. Ini adalah hidayah Allah
pada saya dan saya sangat mensyukurinya. Sekarang, saya semakin mantap
dengan pilihan hati nurani saya itu. Saya siap lahir batin. Termasuk menjalankan
perintah dan menjauhi larangan-Nya. Saya ingin segera bisa menunaikan ibadah
umrah. Insya Allah.
Nama saya Monica Oemardi, lahir di Jakarta, 24 tahun lalu. Papa saya berasal
dari Blitar dan beragama Islam. Sedangkan mama berasal dari Cekoslowakia dan
beragama Kristen Protestan. Mungkin, sebagian pembaca tak asing lagi dengan
debut saya selama ini di dunia sinetron. Di antara sinetron yang telah saya
bintangi adalah Delima, Takhta, Intrik, Warteg, Misteri Gunung Merapi, Angling
Darma, dan lain sebagainya
Saya berasal dari keluarga Kristen Protestan yang cukup taat. Meskipun
demikian, keluarga kami sangat demokratis dalam masalah agama. Setelah
menikah, saya pindah agama ke Kristen Katolik, mengikuti suami saya yang
pertama. Sebenarnya, agama Islam tak asing lagi bagi saya. Sebab, kebanyakan
keluarga papa beragama Islam. Pada waktu kecil, pernah saya ikut-ikutan shalat
Id pada Hari Raya Idul Fitri di Bandung. Walaupun hanya sekadar gerakan shalat
saja, tapi kegiatan ritual itu sangat berkesan di dalam hati saya. Setelah shalat
Id, saya juga mengikuti nyekar (ziarah) ke makam leluhur papa dan mengikuti
tahlilan.

Mulai Tertarik
Memang, saya sudah lama ingin masuk Islam, tepatnya sekitar bulan Februari-
Maret 1998 lalu. Ketika itu, sahabat saya sesama artis, Vinny Alvionita dan Dian
Nitami, mengunjungi saya di rumah kos. Ketika kami sedang asyik ngobrol, tiba-
tiba terdengar suara azan magrib dari masjid sekitar rumah kos.
Sahabat saya, Dian Nitami yang muslimah itu, langsung ingin shalat. Tapi,
terlebih dulu ia meminta izin kepada saya. Saya dan Vinny beringsut dari tempat
duduk untuk menggelar sajadah, karena tempat kos memang sempit. Di dalam
kamar kos yang kecil itu, saya perhatikan Dian ketika usai mengambil air wudhu,
ia mengeluarkan mukenah putih, kemudian memakainya. Hal itu membuat saya
terkesima dan berpikir, Islam itu amat suci, mau menghadap Allah harus
menyucikan diri terlebih dulu. Saya amati terus saat Dian melakukan shalat.
Hingga tiba-tiba dari mulut Saya terlontar permintaan kepada sahabat saya,
Vinny, untuk mengajarkan saya tata cara shalat.
Tentu saja Vinny terkejut mendengar permintaan saya itu. Saya pun tak mengerti
apa yang mendorong saya hingga melontarkan ucapan demikian. Dengan wajah
tak percaya, Vinny memandangi saya. Saya disuruhnya mengulangi lagi
permintaan saya tadi itu.
Mungkin Vinny tak percaya, karena selama ini saya tak pernah minta diajari
shalat kepada teman-teman yang sering datang ke tempat kos saya. Tetapi, tiba
giliran Dian yang shalat, saya malah minta diajari. ini mungkin hidayah bagi saya
melalui kedua sahabat saya itu.
Sejak itu, Vinny memberi saya beberapa buku bacaan. Salah satunya berjudul,
"Lentera Hati" yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Quraish Shihab, MA. Setelah
membaca buku tersebut, saya semakin terpukau dan mengagumi Islam. Saya
pun semakin mendalami Islam lewat buku-buku yang diberikan Vinny, di
samping bertanya kepada mamanya Dian Nitami dan keluarga Vinny.
Walaupun saya terus mempelajari Islam melalui buku-buku yang diberikan oleh
Vinny, saya masih sering ke gereja. Bahkan, yang mengantarkannya adalah
Vinny sendiri: Memang, dalam bersahabat kami saling menghargai, terutama
soal agama. la pernah berpesan kepada saya bahwa tak ada paksaan dalam
Islam. Kalau ingin masuk Islam, harus dengan pikiran dan hati yang bersih dan
sesuai dengan hati nurani.
Hari demi hari, saya terus mempelajari Islam secara mendalam, hingga setelah
tak ada keraguan sedikit pun di hati, pada bulan puasa, Januari 1998, hati saya
semakin bergetar. Saya menunggu-nunggu kapan waktu yang tepat untuk
memeluk Islam.
Gelora hati untuk memeluk Islam mengalahkan segala kesibukan dan persiapan
untuk menyambut Hari Natal. Dulu, saya paling suka mempersiapkannya.
Bahkan, sebulan sebelumnya saya sudah sibuk merapikan rumah, mencari kado
buat mama dan keluarga, dan selalu siap membantu mama mempersiapkan kue-
kue Natal. Tetapi, pada saat itu, saya tak melakukan semua itu. Walaupun saya
belum memeluk Islam, tapi saya sudah menjalani ibadah puasa.

Masuk Islam
Pada malam menjelang Tahun Baru, 31 Desember 1998 lalu, saya mengucapkan
ikrar dua kalimat syahadat dibimbing oleh Prof. Dr. H. Quraish Shihab di
kediaman seorang pengusaha elektronik, Rachmat Gobel, di kawasan Jalan
Saharjo, Jakarta Selatan, dalam acara buka puasa bersama.
Setelah membaca rukun Islam yang pertama itu, saya tak dapat menahan rasa
haru, sehingga saya tak mampu lagi membendung air mata. Rasanya dada ini
plong sekali, seperti bayi yang baru lahir. Jadi, tahun 1999 itu, buat saya,
merupakan tahun untuk memulai "hidup baru" sebagai seorang muslimah.
Walaupun sudah resmi masuk Islam, tapi Pak Quraish Shihab dalam kesempatan
itu, juga berpesan agar saya segera meresmikan status keislaman saya itu.
Katanya, mengucapkan dua kalimat syahadat berkali-kali, tak apa-apa. Maka,
pada hati Jumat tanggal 8 Desember 1999, dengan dilengkapi prosedur
administratif, saya mengucapkan ikrar dua kaliniat syahadat di hadapan para
saksi di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat.
Mengetahui saya masuk Islam, mama sempat marah. Bukan apa-apa, tapi
karena beliau ingin supaya saya dalam hidup ini mempunyai prinsip. Setelah
saya jelaskan, beliau pun akhimya menerima keputusan saya itu. Beliau
berpesan supaya saya benar-benar menjaga keislaman saya. Tidak simpang siur
dan tidak boleh main-main.
Setelah masuk Islam, kehidupan saya terasa lebih tenang. Apalagi setelah
perceraian dengan suami pertama yang membawa kabur anak saya, Antonius
Joshua (6 tahun). Selama bulan suci Ramadhan tersebut, saya terus menjalankan
ibadah puasa. Dan ternyata, puasa dengan dilandasi niat, berbeda sekali dengan
puasa tanpa niat. Saya rasakan puasa tanpa niat itu terasa sangat berat.
Jangankan menjalaninya, untuk bangun sahur saja berat sekali. Tapi, setelah
masuk Islam, saya selalu membaca niat puasa setiap sahur, puasa pun menjadi
terasa ringan.
Selama ini saya sahur sendiri. Anehnya, saya bisa dengan mudah terbangun,
tanpa ada perasaan yang berat. Dan setelah sahur, saya tidak langsung tidur.
Saya hidupkan teve dan mengikuti kuliah subuh. Dari siaran tersebut, saya
banyak memperoleh masukan-masukan yang bermanfaat. Saya bertekad untuk
menjadi muslimah yang baik, tentunya dengan diiringi doa para pembaca. Insya
Allah.
IGNATIUS IKHSAN NUR RAMADHAN (Mantan Pemeluk Kristen) :
Ditolak Main Organ Oleh Pastur

Sejak kecil, saya sudah mengenal Islam. Ketika itu, saya sering melihat
pembantu kami sedang melakukan shalat. Meskipun saya dan kedua orang tua
saya beragama Kristen Katolik, namun kakek saya adalah seorang muslim. Harus
saya akui, saat mendengar gema azan dan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an,
hati saya terasa damai. Pernah suatu ketika, seorang teman kuliah berkata
kepada saya bahwa Tuhan itu satu, la tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan. Mendengar itu, saya acuh tak acuh saja. Hati saya belum tergerak
untuk mencari kebenaran ajaran Islam
Semasa kuliah di Riau, saya aktif di gereja. Pernah, saya mengajukan
permohonan kepada seorang pastur, agar saya bisa menjadi pengiring organ
gereja. Tapi, apa yang terjadi? Permohonan saya itu ditolak mentah-mentah,
bahkan pastur bertanya kepada saya, apakah saya punya sertifikat dari sekolah
musik atau tidak? Tujuannya, untuk membuktikan saya bisa bermain organ
dengan baik.
Karena memang tidak punya sertifikat, saya hanya menjawab apa adanya bahwa
saya bisa bermain organ secara otodidak. Tapi, lagi-lagi, pastur malah berkata
kasar, "Bila tidak punya sertifikat, bisa-bisa permainan musikmu malah bikin
kacau dan suasana ibadah di gereja menjadi tidak khusyu" Akibat penolakan itu,
saya kecewa berat, sekaligus benci kepada pastur itu. Sampai pada akhirya,
saya mencari kegiatan lain di luar gereja.
Pada tahun 1996 saya pindah ke Jakarta. Di kota metropolitan inilah saya
mendapat pekerjaan di McDonald. Pada akhir 1998, saya kos di gang H. Sairnin,
Ciputat. Di lingkungan kos, saya sering nimbrung dengan teman-teman yang
beragama Islam. Seorang pemuda bemama Hans adalah salah satu teman
terdekat saya. Biasanya, saat kumpul kami selalu diskusi tentang agama. Selain
ngobrol, kami berlatih bermain musik di sebuah garasi. Karena sering berlatih,
kami membentuk grup musik yang diberi nama "Garasi".
Suatu hari, kami kedatangan H. Sofwan Muzamil, temannya Bang Hans tadi. Saat
itu, saya nimbrung saat mereka berdiskusi tentang ajaran Islam. Entah mengapa,
saya tiba-tiba mulai tertarik dengan Islam. Karena tertarik, saya berterus terang
kepada Pak Haji (panggilan H. Sofwan) bahwa saya ingin masuk Islam.
Mendengar keterusterangan saya itu, Pak Haji malah mengatakan, "Sebelum
masuk Islam, kamu harfus mempelajari agama Islam lebih dulu. Lagi pula Islam
itu bukan agama paksaan."
Beberapa hari kemudian, saya memutuskan untuk bertemu lagi dengan Pak Haji
untuk berdiskusi soal Islam. Sebelum berdiskusi, saya memang sudah
mempersiapkan diri. Melalui buku-buku agama Islam yang saya baca, ditambah
dengan seringnya saya berdiskusi dengan Pak Haji, membuat keinginan saya
masuk Islam begitu kuat.

Masuk Islam
Menjelang Lebaran, tepatnya pada 17 Januari 1999, di sebuah mushala di
Ciputat, dengan dibimbing oleh H. Sofwan Muzamil, saya mengucapkan ikrar dua
kalimat syahadat. Tanpa sepengatahuan keluarga, saya masuk Islam secara
resmi. Nama baptis saya yang semula Ignatius diganti menjadi Ikhsan Nur
Ramadhan.
Resmi menjadi muslim, saya menghadapi cobaan yang luar biasa. Saya ditolak
habis-habisan oleh keluarga saya. Terutama sekali oleh ibu dan kakak. Ceritanya,
begitu kakak saya melihat nama baptis di KIP saya sudah tidak ada lagi, karena
telah saya ganti menjadi Ikhsan Nur Ramadhan, ia betul-betul terkejut.
Karena kaget, kakak menginterogasi saya secara kasar. "Mengapa namamu kau
ganti?" hardiknya ketus. Dengan tenang saya hanya menjawab ringkas bahwa
saya sudah masuk Islam. Sejak itulah, oleh kakak, diri saya dianggap tidak
menghargai orang tua lagi. Padahal, tak sedikit pun saya bermaksud untuk
menyakiti ibu.
Meski akidah kami kini berbeda, namun saya tetap menaruh hormat kepada
mereka. Bukankah ajaran Islam mengajarkan demikian? Apa pun yang terjadi,
saya pasrah Saya tetap dengan keislaman saya. Saya pun yakin, Allah akan
menolong hamba-Nya. Saya senantiasa berdoa agar Allah meneguhkan
pendirian dan kesabaran kepada saya. Setelah masuk Islam, saya bergabung
dengan tim Nasyid Snada yang namanya lumayan populer bagi pecinta nasyid.

Anda mungkin juga menyukai