Anda di halaman 1dari 2

Allah Tidak Pernah Tidur

Menjadi seorang mualaf tak pernah terbesit dalam benak saya. Apa lagi saya
dibesarkan di lingkugan keluarga Katolik yang taat. Pandangan saya tentang Islam
ketika itu adalah rasa benci, bahkan merasa jijik ketika melihat perempuan berjilbab.
Pendidikan agama Katolik dari keluarga membawa saya menjadi aktivis gereja
yang taat. Saya kerap mengukuti hampir semua kegiatan gereja di kampung kelahiran
saya, Pulau Samosir, Danau Toba, Sumatera Utara.
Hingga suatu ketika saya menikah dengan seorang pemuda Kristen dan
memutuskan ikut agamanya. Keluarga saya setuju saja karena Katolik dan Kristen tak
jauh berbeda, sama-sama masih bisa makan babi dan tak bertantangan dengan adat
istiadat di kampung kami.
Ketika itu saya merasa hidup saya sudah sempurna, tambah sempurna ketika saya
mulai mengandung anak pertama saya.
Namun, tenyata kesempurnaan itu tak berlangsung lama. Ketika masa kehamilan
saya masuk enam bulan, suami saya meninggal dunia. Rasanya ketika itu langit
runtuh menimpa saya. Bagaimana saya bisa bertahan? Hidup saya betul-betul
dirundung duka berkepanjangan. Saya mengunci diri di kamar beberapa minggu
hingga mengganggu kesehatan saya. Keluarga saya terus menguatkan saya hingga
masa persalinan.
Meskipun batin saya terganggu, saya bersyukur anak saya lahir dengan sehat
walaupun tetap saja ia tidak bisa melihat wajah ayahnya. Anak saya adalah motivasi
baru untuk kembali bangkit.
Tak ingin berlarut dalam kesedihan, saya memoboyong anak saya merantau ke
Sleman, Jawa Tengah. Di sana saya memulai hidup baru, tetap aktif di gereja dan
menjadi seorang penginjil di kaki gunung Merbabu dan Merapi.

Hidayah Itu Datang


Meski sudah berkali-kali menginjil, bahkan saya sempat memurtadkan beberapa
orang, saya merasa kekosongan di hati. Saya merasa rindu, amat sangat rindu, tapi
saya tak tahu kepada siapa saya rindu. Rasa itu berlangsung sangat lama. Berkali-kali
saya berdoa di gereja, tetap saja rasa itu tak kunjung hilang.
Hinggah saya melihat sebuah tayangan di televisi yang menampilakan sebuah
keluarga Muslim yang hidup dalam keadaan miskin, tetapi mereka rukun dan damai,
beribadah bersama meskipun banyak orang yang memfitnah mereka. Melihat itu,
seakan-akan hal itu yang saya rindukan selama ini.
Di akhir tayangan, keluarga itu mendapatkan kehidupan yang bahagia, sedangkan
yang memfitnah mereka mendapat ganjaran yang setimpal. Kemudian saya berfikir,
berarti Tuhan orang Islam itu tidak tidur. Mulai saat itu saya mulai penasaran dengan
Islam.
Saya pun diam-diam tanpa sepengetahuan gereja mulai mempelajari Islam. ketika
merasa mantap dengan Islam. Di tahun 2016, saya membuat keputusan besar yang tak
pernah saya pikirkan selama ini, menjadi seorang muslimah. Alhamdulillah, anak
saya yang masih kelas 4 SD ketika itu mengikuti jejak saya menjadi mualaf.
Kemudian saya menikah dengan seorang pria muslim. Saya berharap apa yang
digambarkan dalam tayangan televisi itu bisa saya rasakan sendiri.

Cobaan Silih Berganti


Kabar keislaman sampai ke telinga keluarga saya di Samosir. Mendengar hal itu
mereka marah besar, hingga sampai titik dimana mereka sudah tak menganggap saya
lagi sebagai keluarga.
Hal ini juga sampai di telinga teman-teman saya sesama penginjil di gereja.
Cacian dan makian hingga teror terus menerus saya dapatkan hingga saat ini. Bahkan
ada yang berkali-kali datang membujuk anak saya dengan uang ketika lagi di
sekolahnya agar ia kembali menjadi Kristen.
Ketika itu, saya merasa ini adalah konsekuensi yang harus saya terima karena
memilih menjad mualaf.
Namun rumah tangga yang saya damba-dambakan pun tak sesuai harapan.
Berbagai permasalahan rumah tangga saya dapatkan, sampai titik dimana suami saya
tak memberikan nafkah. Bahkan keluarga suami saya pun tak menghiraukan keadaan
kami.
Saya kemudian memutuskan untuk bercerai dan meninggalkan rumahnya. Ketika
itu saya tidak tahu harus kemana, hanya anak saya satu-satunya yang saya miliki.
Terpaksa saya bermalam beberapa hari di sebuah masjid.
Kemudian ada seorang dermawan yang mengajak kami unutk tinggal dirumahnya
sementara. Sambil numpang di rumah orang, saya berusaha mencari kerja, dari jualan
keliling hingga menjadi pembantu rumah tangga.

Allah Tidak Tidur


Pengalaman saya menjadi penginjil tidak saya sia-siakan. Saya kerap sekali
mendatangi lereng Merapi , kali ini menjadi seorang pendakwah. Alhamsulillah
mereka yang pernah saya murtadkan kini kembali lagi menjadi muslim. Hampir setiap
hari saya ke gunung untuk berdakwah sesuai kempuan saya. Saya mengajari ngaji
orang-orang tua yang sudah sepuh.
Hingga suatu ketika saya dipertemukan dengan seorang lelaki yang umurnya jauh
di atas saya. Kami kemudian menikah. Cobaan dan fitnahan ternyata belum juga usai,
banyak yang memfitah saya menikah dengannya karena uang, bahkan ada yang bilang
saya sudah berzina sebelum menikah.
Ditengah keresahan saya atas fitnahan tersebut, datang sebuah telefon dari sebuah
agen travel menyatakan saya agar segera menyiapkan paspor dan beberapa berkas
lainnya, karena nama saya terdaftar sebagai peserta umroh.Saya tidak percaya karena
tidak merasa mendaftar, tapi mereka meyakinkan saya bahawa itu benar-benar saya.
Rasa syukur sedalam-dalamnya, saya tak pernah terpikir untuk ke Baitullah
karena untuk makan sehari-hari saja kami masih memeras keringat. Saya merasa
selama ini Allah selalu bersama saya, Dia tidak pernah tidur. Yang membuat saya
penasaran adalah hingga balik dari umroh bahkan hingga sekarang saya tidak tahu
siapa yang membiayai umroh saya.
Alhamdulillah, dari berbagai cobaan itu saya bersyukur ternyata selalu ada himah
dibalinya. Apa yang saya rindukan selama ini pun sudah tercapai. Suami baru saya
selalu menjadi penopang dan imam yang baik. Bahkan ia selalu menemani setiap saya
berdakwah di lereng gunung, hampir setiap hari, padahal usianya sudah tak mudah
lagi. Anak saya pun saat ini sedang mondok di salah satu pesantren dan telah
menghafal 3 juz Al-Qur’an.

* Seperti dikisahkan Dosmauli Simbolon kepada Suara Hidayatullah

Anda mungkin juga menyukai