Saya hanyalah seorang perempuan muda yang tidak terbiasa hidup susah. Setiap hari
saya selalu berharap kapan saya bisa keluar dari keadaan ini, masa-masa yang rapid an
indah sangat saya rindukan.
Saat bisnis bapak runtuh, saya dan nusa memlih tinggal di rumah Rama (ayahanda
nusa), setelah saya masuk sebagai keluarga besar nusa, ternyata rama sedang sakit.
Satu demi satu asset milik rama habis karena menjadi sengketa. Rama diserang dari
berbagai penjuru baik oleh kolega bisnis maupun keluarga sendiri.Akan tetapi rama tidak
pernah melibatkan nusa dalam bisnisnya, sehingga nusa tetap steril.
Terempas ke titik nol
Saya seperti dihempaskan ke titik nol. Dari keadaan yang serba punya, mewah, menjadi
tuna wisma. Saya terobsesi untuk bisa memiliki lagi kehidupan saya yang hilang, kami
melihat semua yang terjadi adalah sebuah scenario jahat yang sudah memlaing harta
benda dan kenyamanan kami. Saya tidak bisa melihat bahwa kami sedang meluncur
menuju taraf kehiduoan nol.
Saya sedih sekali ketika nusa mengatakan bahwa kami harus kembali ke bandung.
Shocked dan cemas telah berulang kali melanda saya, capek dengan semua rasa cemas
ini dan lelah berulan kali kecewa pada perbaikan ekonomi yang tak kunjung datang
Ujian cinta dan komitmen
Saudara saya di Surabaya tidak bisa banyak membantu. Melihat kehidupan saya yang
semrawut, mereka capek juga. Beberapa kerabat dan sesepuh pun mulai menimpakan
semua ini kepada nusa, beberpa dari mereka bahkan meyuruh saya untuk bercerai.
Saya sedih, marah, dan merasa terhina. Bagi saya bercerai bukanlah jalan keluar.
Dengan menahan rasa sakit dalam hati. Saya memilih untuk tidak mengikuti nusa ke
bandung, sebenarnya saat itu saya berharap agar nusa bersikeras memaksa say untuk
ikutkemanapun dia pergi. Pada hari itu, semua bangunan kepercayaan saya kepada
perkawiana runtuh, saya seperti ditantang untuk mendiri. Dogma yang selam ini
diajarkan bahwa laki laki adalah kepala rumah yang melindungi, mempin dan membina
istri dan anaknya hancur REMUK. Semua itu hanya mitos. Dihadapan saya sekarang
terbentang jalan panjang dimana sya harus mebesarkan anak-anak.
Pamit!
Paman saya menawarkan bantuan, ia hidup sendiri pada usia senja, akhirnya saya
bersama anak-anak pergi ke Blitar menemui paman. Paman saya membuatkan sebuah
rumah kecil. seorang sepupu berkata bahwa seharusnya saya harus bisa mandiri, ia
mengingatkan bahwa saya dulu gemar mebuat kue lalu ia mengatakan bahwa
keterampilan itulah yang seharusnya bisa menopang kehidupan saya. Kami memulai
kehidupan yang tenang. Di sekolah dasar tempat silmi sekolah, saya pertama kali mulai
berjualan makanan, setiap malam saya membungkusi makana. Sambil mengantar silmi
sekolah saya menitipkan jajanan itu ke warung yang ada disekolah. Lalu saya mulai
menerima pesanan masakan dari paa guru, pesanan ini semakin terus bertambah.
Anak-anak sering mrindukan nusa, saya hanya bisa mengatakan bahwa ayah mereka
sedang bekerja demi kehidupan kami, saya hanya bisa mengatkan hal positif agar
memupuk semangat mereka.
Setelah tiga tahun seorang saudara kemabali menagtakan bahwa apa tidak seharusnya
saya bercerai dengan nusa. Pernytaaan itu mengagetkan saya. Saya hanya dapat
beroikir praktis. Nusa adalah bapak dari anak saya. Anak anak juga perlu figure seorang
bapak yang baik dan bertanggung jawab. Kelak setelah anak anak dewasa, mereka akan
mengerti dengan situasi kelurga.
Hadiah hadiah besar
Masa-masa sulit telah kami lewati. Saat ini, hidup kami teratur dan tentram dengan
usaha saya berjualan kue. Nusa masih bolak balik keluar kota, bagi saya asal ia bisa
memperoleh penghasilan, yang penting halal dari pada dia hanya duduk diam dirumah.
Hasil berappun tak masalah asal anak-anak tau bapak mereka bekerja.
Rasa kecewa kepada nusa, yang pernah bercokol di hati saya selam bertahun tahun. Kini
sudah hilang. Memelihara rasa kecewa, hanya menyakiti diri sendiri. Klau hati sakit, tak
berapa lama badan pun akan ikut sakit, saya tidak mua itu terjadi. Keikhlasan
merelakan apa yang telah terjadi, membuat saya punya berlipat keyakinan. Saya tidak
merasa taku kehilanagansesuatu yang sifatnya materi. Harta termahal saya adalah anak
anak, kesehatan, rasa damai, harapan, dan semangat hidup yang tak dapat dilukiskan
dengan kata-kata. Sayab bisa melihat bahwa pertolongan bisa dalam bentuk apapun,
bukan hanya materi. Saya juga mendapat pelajaran yang sngat berharga bahwa
mendidik anak baik laki dan perempuan harus sama. Tidak boleh kesempatan untuk
perempuan dikurangi dan kepada laki laki dilebihkan. Kita tidak tahu apa yang akan
terjadi pada anak kita kelak. Tak kurnag cerita bahwa permouan harus bekerja lebih
keras dan memikul beban keluarga, serta tidak selamanya laki laki bisa diharapkan
dalam memimpin dan menopang kehidupan perempuan.
Menjadi ibu di Negeri Orang
Ketika anak dan suami datang, saya harus mebuat jadwal sedemikian rupa agar dapat
menggeluti tugas kuliah. Meskipun harus menulis laporan dengan kondisi tidak Mood,
kalau tidak demikian saya akan ggal memenuhi deadline. sang dealine bukan lagi tuhan
bagi saya, karena bisa saja pas dealine menjelang. Salah seorang anggota keluarga tiba
tiba sakit. Gagallah saya mengejar dealine atau memnuhi appointmen dengan professor.
Kecemasan pertma adalah untuk mendapatkan english eligibility untuk yasa. Kalau tidak
mempunyai English eligibility, maka anak-anak harus bersekolah dengan bahasa prancis.
Mau tak mau kami harus pergi ke English montreal school. Saya mulai kebingungan
dengan bagimana membawa dua anak ke EMSB, saya beruha menggendong danial
dengan selendang. Mengending danial dengan kain batik panjang itu sering membuat
orang montreal melihat saya dengan penasaran seperti melihat makhluk asing. Tetapi
saya cuek. Lama lama saya menjadi terbiasa dengan stroller bayi. Dan lama lama
kepercayaan diri saya tumbuh bahwa saya bisa menghandle dua anak saya.
Apartemen kebakaran
Kecemasan yang ke 2 adalah ketika apartemen yang kita tinggali mengalami kebakaran.
Terdapat 60 aprtemen dengan berbagai macam orang yang tinggal, mulai dari
gelandangan tak jelas, pensiunan guru, dan para mahasiswa miskin seperti saya.
Pagi itu sekitar jam delapan pagi, alarm tanda kebakaran berbunyi. Karena terbiasa
dengan fake alarm, saya masih bersantai. beberapa menit kemudian dari arah balkon
ada pemuda yang berteriak “fire”. Saya masih tenang saja. Dasar mabuk! Pikir saya.
Secara refleks saya memandangi koridor. Wah. Asap hitam! Saya panic dan langsung
keluar. Diluar ada pemadam kebakaran, ambulans, polisi, penghuni apartemen dan
kerumuna orang. Pakaian kami tidak karuan bahkan kami tidak memekai sandal. Saya
memutuskan untuk membawa danial ke tempat Daycare nya. Di sana ia punya jatah
makan pagi, siang dan snack. Dengan pakain tidak karuan sopir bus mengizinkan kami
menaiki bus setelah melihat dan menyadari bahwa kami tidak memekai alas kaki.
Sampai di Daycare danial langsung ditangani oleh gurunya setelah kejadian yang
menimpa kami. Setelah itu saya dan yasa kembali, Akhirnya seluruh penghuni building
dibawa ke tempat penampungan sementara. Terbenak di pikiran saya bagaimana
kedaan danial akhirnya saya putuskan untuk menjemput danial. Alhamdulillah, saya dan
anak anak bisa bertemu kembali. Kami pun menuju aprtemen seorang teman dari
Indonesia untuk menginap dalam bebrapa hari. Disana, orang indinesia menyambut
kami dengan silaturrahmi. Setelah tiga hari akhirnya building kami siap ditempati
kembali.
Dibanding kebanyak ibu, mungkin tugas saya yang paling unik. Tugas saya adalah
menjawab setiap konfirmasi kartu kredit yang masuk ke telepon rumah saya. Anak
pertama saya paling banyak memiliki kartu kredit. Katanya kalau digabung cukup untuk
membeli rumah atau cukup untuk uang muka mobil. Tentu saja sebagai orang tua say
merasa bahagia. Tidak jarang si sulung memberi hadiah kepada saya jika kartu
kreditnya disetujui.
Hari hari yang unik telah selesai. Dengan datangnya seorang laki laki yang menggedor
rumah saya sambil berteriak. Lelaki itu marah dan melemparkan sebuah dokumen
kepada sang ibu Karena anak sulungnya enam bulan tidak membayar. Lalu sang ibu
memberikan alamat anak sulungnya kepada sang debt collector.
Malam harinya. Si sulung ngomel karena telah memberikan alamatnya kepada debt
collector. Ia mengajari berbagai trik kepada ibunya untuk menghindari debt collector
bahkan sang anak tidak keberatan kalau sendainya mengatakan dia anak durhaka. Asala
si debt collector percaya dan tidak datang lagi ke rumah ibunya.
Hari hari berikutnya sang ibu mencoba berbagai trik itu alhasil trik itupun gagal karena
debt collector sudah berpengalaman. Tidak hanya itu, kini yang datang tidak hanaya
satu debt collector, tetapi dua orang, tiga orang bahkan lebih. Sang ibu pun melakukan
berbagai cara untuk melindungi anaknya. Hari hari penuh ketegangan. Setiap pintu
diketuk, telepon berdering, tidak akan pernah dibuka mauoun diangkat.