Anda di halaman 1dari 7

Seperti roda yang berputar

Saya dan kehidupan mewah


Saya anak ke5 dari 6 bersaudara, kami lahir dan dibesarkan dari sebuah keluarga kaya,
ayah saya adalah pengusaha minyak. Semua kehidupan kami sangatlah mewah, segala
fasilitas lengkap dan berlimpah bagaikan seorang raja. Di rumah kami setiap kata dan
yang bapak ucapkan adalah mutlak tidak bisa ditawar dan dibantah beliau juga mampu
mengatasi banyak masalah,berwibawa, galak dan kaku (bila berbicara sampai
menembus dinding), sedangan ibu adalah sosok pelengkap. Sebenarnya kami anak-anak
bapak adlah pribadi yang lemah (tidak mandiri, terbiasa hidup mewah, banyak diatur,
segala kebutuhan dapat dipenuhi dengan mudah).

Pernikahan saya dengan nusa


Setahun sebelum studi saya di bandung selesai, saya dan nusa memutuskan untuk
menikah. Setelah kelahiran anak kami yang ke-3, kami dlam keadaan yang benar-benar
bangkrut, bahkan saya harus melepas subang kecil dari telinga silmi dan nafis untuk
menukar nya dengan beras,gula,teh dan bahan makanan lain. Bahkan saat silmi dan
nafis bertanya tentang subangnya saya harus menjawab bahwa subang mereka terjatuh.

Saya hanyalah seorang perempuan muda yang tidak terbiasa hidup susah. Setiap hari
saya selalu berharap kapan saya bisa keluar dari keadaan ini, masa-masa yang rapid an
indah sangat saya rindukan.

Runtuhnya kerajaan bisnis bapak


Sudah berganti wajah wajah pemain bisnis peminyakan. Begitu pula dengan bapak saya,
bagaikan roda yang berputar, nasib bapak telah berubah. Pebisnis baru yang sama kuat
bahkan lebih kuat mulai mendominasi layaknya orang yang lapar,mereka saling
memangsa satu sama lain.

Saat bisnis bapak runtuh, saya dan nusa memlih tinggal di rumah Rama (ayahanda
nusa), setelah saya masuk sebagai keluarga besar nusa, ternyata rama sedang sakit.
Satu demi satu asset milik rama habis karena menjadi sengketa. Rama diserang dari
berbagai penjuru baik oleh kolega bisnis maupun keluarga sendiri.Akan tetapi rama tidak
pernah melibatkan nusa dalam bisnisnya, sehingga nusa tetap steril.
Terempas ke titik nol
Saya seperti dihempaskan ke titik nol. Dari keadaan yang serba punya, mewah, menjadi
tuna wisma. Saya terobsesi untuk bisa memiliki lagi kehidupan saya yang hilang, kami
melihat semua yang terjadi adalah sebuah scenario jahat yang sudah memlaing harta
benda dan kenyamanan kami. Saya tidak bisa melihat bahwa kami sedang meluncur
menuju taraf kehiduoan nol.

Kami benar benar bangkrut


uang pemgaian warisan tidak berumur panjang, kebutuhan semakin meningkat dari
waktu ke waktu sementara tidaka ad penghasilan, saya mulai menjual barang barang
yang kami bawa dari rumah rama untuk memenuhi. Kami gagal dalam membentuk
rumah tangga di bandung, saya sudah begitu putas asa. Bahkan,seringkali saya
berharap dapat menemukan uang dalam tepi lipatan Koran yang menjadi alas tumpukan
baju dlam almari, semua kantong tas, kotak pensil, bahkan laci meja sudah saya
jelajahi. Saya mulai menangis dan tidak dapat harus berkata apa, gelar sarjan belum
dapat saya raih karena setelah menikah, rencana kuliah terkesampingkan.

Menemukan titik terang di bogor


Nusa mendapat sebuah proyek di kota Bogor, saya seperti melihat satu titik cerah. Tapi
kebiasaan kami belum banyak berubah, kami terlalu optimis. Di lain pihak tidak strategis
dan santai. Kami bahagia sekaligus merasakan beratnya keuangan keluarga. Ternyata,
proyek di bogor inipun tidak sebagus yang kami bayangkan, pembagian hasil kerja tidak
sesuai kontrak. Hidup kami benar benar seadanya. Saya harus menukarkan bebrapa
lembar kebaya dan busana demi mencukupi kebutuhan sehari-hari tanpa sepengetahuan
nusa.

Berharap menemukan jalan keluar di malang


Nusa mendapat tawaran proyek baru di malang, maka kami pun segera menuju malang.
Saya sangat terhibur karena biaya hidup di sini murah. Sekalipun demikian, kami masih
hidup pas-pas an karena penghasilan nusa dgunkan untuk menutp hutang. Beberapa
bulan dari ulang tahun edam, proyek itu berhenti. Ada beberapa masalah perijinan dan
sengketa. Tak habis pikir, Suami sayakah yang terlalu baik tak bisa berpolitik sehingga
selalu tersingkir? Ataumia salah memilih rekan usaha sehingga selalu tertipu? Nusa
adalah orang pendiam dan supel dalam bergaul. Nusa hamper tidak pernah
menceritakan dengan lenkap masala masalah yang ia hadapi.

Saya sedih sekali ketika nusa mengatakan bahwa kami harus kembali ke bandung.
Shocked dan cemas telah berulang kali melanda saya, capek dengan semua rasa cemas
ini dan lelah berulan kali kecewa pada perbaikan ekonomi yang tak kunjung datang
Ujian cinta dan komitmen
Saudara saya di Surabaya tidak bisa banyak membantu. Melihat kehidupan saya yang
semrawut, mereka capek juga. Beberapa kerabat dan sesepuh pun mulai menimpakan
semua ini kepada nusa, beberpa dari mereka bahkan meyuruh saya untuk bercerai.
Saya sedih, marah, dan merasa terhina. Bagi saya bercerai bukanlah jalan keluar.

Dengan menahan rasa sakit dalam hati. Saya memilih untuk tidak mengikuti nusa ke
bandung, sebenarnya saat itu saya berharap agar nusa bersikeras memaksa say untuk
ikutkemanapun dia pergi. Pada hari itu, semua bangunan kepercayaan saya kepada
perkawiana runtuh, saya seperti ditantang untuk mendiri. Dogma yang selam ini
diajarkan bahwa laki laki adalah kepala rumah yang melindungi, mempin dan membina
istri dan anaknya hancur REMUK. Semua itu hanya mitos. Dihadapan saya sekarang
terbentang jalan panjang dimana sya harus mebesarkan anak-anak.

Pamit!
Paman saya menawarkan bantuan, ia hidup sendiri pada usia senja, akhirnya saya
bersama anak-anak pergi ke Blitar menemui paman. Paman saya membuatkan sebuah
rumah kecil. seorang sepupu berkata bahwa seharusnya saya harus bisa mandiri, ia
mengingatkan bahwa saya dulu gemar mebuat kue lalu ia mengatakan bahwa
keterampilan itulah yang seharusnya bisa menopang kehidupan saya. Kami memulai
kehidupan yang tenang. Di sekolah dasar tempat silmi sekolah, saya pertama kali mulai
berjualan makanan, setiap malam saya membungkusi makana. Sambil mengantar silmi
sekolah saya menitipkan jajanan itu ke warung yang ada disekolah. Lalu saya mulai
menerima pesanan masakan dari paa guru, pesanan ini semakin terus bertambah.

Anak-anak sering mrindukan nusa, saya hanya bisa mengatakan bahwa ayah mereka
sedang bekerja demi kehidupan kami, saya hanya bisa mengatkan hal positif agar
memupuk semangat mereka.

Cinta saya pada nusa


Setiap kehidupan bisa berbalik 180 derajat. Apa salah saya. Apa salah anak-anak.
Membuat beban batin dan saya semakin kurus dan hitam, tapi anak-anak tumbuh sehat.
Sesekali nusa pulang. Itu menjadi kabar gembira. Keadaan nusa dan sya tidak jauh
berbeda, kami lebih cepat menua dari yang seharusnya. Nusa selalu bungkam setiap kali
saya bertanya tentang rencana apa yang akan dia temouh untuk anak-anak.

Setelah tiga tahun seorang saudara kemabali menagtakan bahwa apa tidak seharusnya
saya bercerai dengan nusa. Pernytaaan itu mengagetkan saya. Saya hanya dapat
beroikir praktis. Nusa adalah bapak dari anak saya. Anak anak juga perlu figure seorang
bapak yang baik dan bertanggung jawab. Kelak setelah anak anak dewasa, mereka akan
mengerti dengan situasi kelurga.
Hadiah hadiah besar
Masa-masa sulit telah kami lewati. Saat ini, hidup kami teratur dan tentram dengan
usaha saya berjualan kue. Nusa masih bolak balik keluar kota, bagi saya asal ia bisa
memperoleh penghasilan, yang penting halal dari pada dia hanya duduk diam dirumah.
Hasil berappun tak masalah asal anak-anak tau bapak mereka bekerja.

Rasa kecewa kepada nusa, yang pernah bercokol di hati saya selam bertahun tahun. Kini
sudah hilang. Memelihara rasa kecewa, hanya menyakiti diri sendiri. Klau hati sakit, tak
berapa lama badan pun akan ikut sakit, saya tidak mua itu terjadi. Keikhlasan
merelakan apa yang telah terjadi, membuat saya punya berlipat keyakinan. Saya tidak
merasa taku kehilanagansesuatu yang sifatnya materi. Harta termahal saya adalah anak
anak, kesehatan, rasa damai, harapan, dan semangat hidup yang tak dapat dilukiskan
dengan kata-kata. Sayab bisa melihat bahwa pertolongan bisa dalam bentuk apapun,
bukan hanya materi. Saya juga mendapat pelajaran yang sngat berharga bahwa
mendidik anak baik laki dan perempuan harus sama. Tidak boleh kesempatan untuk
perempuan dikurangi dan kepada laki laki dilebihkan. Kita tidak tahu apa yang akan
terjadi pada anak kita kelak. Tak kurnag cerita bahwa permouan harus bekerja lebih
keras dan memikul beban keluarga, serta tidak selamanya laki laki bisa diharapkan
dalam memimpin dan menopang kehidupan perempuan.
Menjadi ibu di Negeri Orang

Ketika deadline sudah tak menjadi tuhan


Ketika sampai di montreal. Masalah yang dating sama banyaknya dengan kesenangan
yang kami dapatkan. Dari apartemen yang belum siap huni sehinnga kami terpaksa
mengungsi di apartemen lain. Saya sebagai ibu rumah tangga, hidup sendirian tanpa
keluarga dengan hidup bersama keluarga sangatlah jauh berbeda. Dari ibu rumah
tangga yang biasanya dibantu oleh keluarga dan tetangg, kini harus merawat anak-anak
dengan tangan sendiri. Saya hanya bisa dapat membiarkan hidup saya mengalir begitu
saja. Mengandalakan mood untuk megerjakan tugas kuliah, meghabiskan pagi hari
untuk tidur dan sore hari ke kampus untuk kuliah atau ke perpustakaan. Makan juga apa
adanya. Telur rebus dan sambal adlah andalan saya.

Ketika anak dan suami datang, saya harus mebuat jadwal sedemikian rupa agar dapat
menggeluti tugas kuliah. Meskipun harus menulis laporan dengan kondisi tidak Mood,
kalau tidak demikian saya akan ggal memenuhi deadline. sang dealine bukan lagi tuhan
bagi saya, karena bisa saja pas dealine menjelang. Salah seorang anggota keluarga tiba
tiba sakit. Gagallah saya mengejar dealine atau memnuhi appointmen dengan professor.

Adnya keluarga menjadi kebahagiaan tersendiri. Anak-anak saya mengejutkan saya


mulai dari yasa yang menyiapkan dua kartu untuk Mothers day sampai nyaris setiap
ahad danial mengatakan “I have made a chocolate sandwich only for you mommy.”
Kalau sudah begitu akan ada kerja ekstra untuk mbersihkan meja dan member cermah
kepada danial. Untung suami saya termasuk siaga, tidak pernah mebedkan mana
pekerjaan pria dan wanita. Dia bisa membantu pekerjaan rumah tangga padahal saya
tahu kalau dia sendiri juga kelelhan setelah sepuluh jam bekerja di kantor.

Kecemasan-kecemasan saat mengasuh anak


Ribuan teori sudah saya telan, akan tetapi yang saya hadapi sekarang adalah saya benar
benar menghadapi anak sendirian dari pagi sampai sore. Sementara suami mulai
bekerja, karena mengandalkan uang beasiswa pun takkan cukup.

Kecemasan pertma adalah untuk mendapatkan english eligibility untuk yasa. Kalau tidak
mempunyai English eligibility, maka anak-anak harus bersekolah dengan bahasa prancis.
Mau tak mau kami harus pergi ke English montreal school. Saya mulai kebingungan
dengan bagimana membawa dua anak ke EMSB, saya beruha menggendong danial
dengan selendang. Mengending danial dengan kain batik panjang itu sering membuat
orang montreal melihat saya dengan penasaran seperti melihat makhluk asing. Tetapi
saya cuek. Lama lama saya menjadi terbiasa dengan stroller bayi. Dan lama lama
kepercayaan diri saya tumbuh bahwa saya bisa menghandle dua anak saya.
Apartemen kebakaran
Kecemasan yang ke 2 adalah ketika apartemen yang kita tinggali mengalami kebakaran.
Terdapat 60 aprtemen dengan berbagai macam orang yang tinggal, mulai dari
gelandangan tak jelas, pensiunan guru, dan para mahasiswa miskin seperti saya.

Pagi itu sekitar jam delapan pagi, alarm tanda kebakaran berbunyi. Karena terbiasa
dengan fake alarm, saya masih bersantai. beberapa menit kemudian dari arah balkon
ada pemuda yang berteriak “fire”. Saya masih tenang saja. Dasar mabuk! Pikir saya.
Secara refleks saya memandangi koridor. Wah. Asap hitam! Saya panic dan langsung
keluar. Diluar ada pemadam kebakaran, ambulans, polisi, penghuni apartemen dan
kerumuna orang. Pakaian kami tidak karuan bahkan kami tidak memekai sandal. Saya
memutuskan untuk membawa danial ke tempat Daycare nya. Di sana ia punya jatah
makan pagi, siang dan snack. Dengan pakain tidak karuan sopir bus mengizinkan kami
menaiki bus setelah melihat dan menyadari bahwa kami tidak memekai alas kaki.
Sampai di Daycare danial langsung ditangani oleh gurunya setelah kejadian yang
menimpa kami. Setelah itu saya dan yasa kembali, Akhirnya seluruh penghuni building
dibawa ke tempat penampungan sementara. Terbenak di pikiran saya bagaimana
kedaan danial akhirnya saya putuskan untuk menjemput danial. Alhamdulillah, saya dan
anak anak bisa bertemu kembali. Kami pun menuju aprtemen seorang teman dari
Indonesia untuk menginap dalam bebrapa hari. Disana, orang indinesia menyambut
kami dengan silaturrahmi. Setelah tiga hari akhirnya building kami siap ditempati
kembali.

Pagi yang semrawut


Hidup memang penuh dengan persoalan yang silih berganti. Suasan pagi apartemen
kami memang rawut dan tidak nyambung sama sekali. Ada saya yang dikejar deadline
untuk menyerahkan paper hari itu juga, danial yang masih bermain mobil-mobilan dan
tidak lekas ke kamar mandi. Danial berlari kesana kemari seolah saya musuh yang mau
menangkapnya. Acara makan pun tiba, semua makan sambil menyaksikan tv channel 17
yan membicarakn temperature hari ini. Saya melotot pada Daniel yang menumpahkan
makanannya. Jam sudah menunjukkan pukul 7.45 pagi, semua sudah siap. Berlarian
kami bertiga menuju pemberhentian bus. Pemberhentian bus 63 sudah melaju
diakrenakan mengambil lunch box yasa yang tertinggal. Beruntung bus 90 yang suka
terlambat itu tiba tepat waktu. Mata terbelalak melihat paper yang harus saya serahkan
tenyata tidak ada. Ruoanya saya salah menaruh di tas lain. Saya menhela napas lega
karena meng upload file paper ke yahoo. Cepat cepat saya buka…. Ternyata saya salah
meng upload file. Ah, ini hanya sekelumit pagi-pagi yang menimoa saya. Tetapi saya
yakin. Dengan cinta keluarga dan ijin allah, semuanya akan bisa saya atasi. kata saya
dalam hati sambil meminta izin professor dengan muka saya yang manis-maniskan.
Melindungi anak-anak,
No matter what…

Dibanding kebanyak ibu, mungkin tugas saya yang paling unik. Tugas saya adalah
menjawab setiap konfirmasi kartu kredit yang masuk ke telepon rumah saya. Anak
pertama saya paling banyak memiliki kartu kredit. Katanya kalau digabung cukup untuk
membeli rumah atau cukup untuk uang muka mobil. Tentu saja sebagai orang tua say
merasa bahagia. Tidak jarang si sulung memberi hadiah kepada saya jika kartu
kreditnya disetujui.

Hari hari yang unik telah selesai. Dengan datangnya seorang laki laki yang menggedor
rumah saya sambil berteriak. Lelaki itu marah dan melemparkan sebuah dokumen
kepada sang ibu Karena anak sulungnya enam bulan tidak membayar. Lalu sang ibu
memberikan alamat anak sulungnya kepada sang debt collector.

Malam harinya. Si sulung ngomel karena telah memberikan alamatnya kepada debt
collector. Ia mengajari berbagai trik kepada ibunya untuk menghindari debt collector
bahkan sang anak tidak keberatan kalau sendainya mengatakan dia anak durhaka. Asala
si debt collector percaya dan tidak datang lagi ke rumah ibunya.

Hari hari berikutnya sang ibu mencoba berbagai trik itu alhasil trik itupun gagal karena
debt collector sudah berpengalaman. Tidak hanya itu, kini yang datang tidak hanaya
satu debt collector, tetapi dua orang, tiga orang bahkan lebih. Sang ibu pun melakukan
berbagai cara untuk melindungi anaknya. Hari hari penuh ketegangan. Setiap pintu
diketuk, telepon berdering, tidak akan pernah dibuka mauoun diangkat.

Anda mungkin juga menyukai