Anda di halaman 1dari 9

JUDUL NOVEL : Perjalananku {Yaa Allah Rengkuhlah Aku}

Tokoh Utama : Fathia

Sinopsis Cerita
Hidup bukan untuk ditangisi, namun disyukuri. Seberapa besar pun ujian yang
dihadapi takkan terselesaikan apabila masih ada rasa keraguan dan ketidakikhlasan dalam
menjalaninya. Suatu hal yang kita rasakan dan alami merupakan nikmat dan anugerah Tuhan
yang patut disyukuri. Roda kehidupan ini terus berputar. Takkan pernah berdiam diri
mematung tanpa arti. Jikapun dirasa hidup kita tak pernah berubah, itu artinya ada hal yang
harus kita usahakan lebih keras dari usaha sebelumnya, tentu dilengkapi dengan do’a-do’a
yang melangit.

Apapun yang kita rasakan, belum tentu orang lain dapat merasakannya. Setiap
manusia yang diberi akal sempurna oleh-Nya, pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing, dan tentu kepecayaan beban ujian yang dihadapinya pun berbeda-beda sesuai
kesanggupannya masing-masing. Dan ingat bahwa Allah takkan membebani sesorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya, QS. Al-Baqarah: 286. Semua masa akan bergulir
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan-Nya. Semua makhluk telah memiliki takarannya
masing-masing entah itu dari rezeki, usia, jodoh, dan mautnya.

Prinsip hidup yang tak pernah kulupakan ialah, H2JN (Hadapi, Hayati, Jalani, dan
Nikmati). Rasanya apabila prinsip itu menjadi landasan dan pondasi, maka segala yang kita
hadapi akan terasa ringan dijalani. Kuncinya ialah sabar dan syukur. Bersabar ketika
mendapat ujian dan menerimanya dengan lapang dada. Bersyukur tatkala mendapat nikmat
dari-Nya. Sebab dengan rasa syukurlah kenikmatan yang kita rasakan akan semakin
bertambah.

Perjalanan hidup yang penuh dengan kerikil namun tak menutup kemungkinan jika
ditemani dengan secercah cahaya kemenangan atas hikmah di dalamnya. Persoalan hidup
kerap kali datang silih berganti mewarnai garis takdir di sepanjang perjalanan ini. Akankah
diriku mampu melewatinya? Keyakinan dalam dirilah yang akan menjawab seutuhnya.
Perjalanan panjang ini akan segera dimulai. Menjadi saksi atas perubahan diri yang
diharapkan menurut kehendak-Nya. Yaa Allah rengkuhlah aku di sepanjang jalan ini.
Merajut Asa
Cuaca dingin yang dirasa, menusuk tajam pada permukaan kulitku yang terkesan tipis
ini. Angin yang berembus dari balik ventilasi jendela, mengudara bebas memasuki rumah
kami yang nampak sederhana jauh dari kata mewah. Ya, kurang lebih seukuran persegi
rumah sewa pada umumnya atau semacam rumah susun yang cukup menampung lima orang
saja. Tiada penyekat antara kamar dan ruang tamu kecuali disekat oleh barisan lemari yang
disusun Bapak dengan rapihnya. Cukup hanya ada sekatan kamar mandi dan dapur saja.
Namun kami sudah terbiasa tinggal di berbagai tempat dalam suasana kondisi yang berbeda.
Keluargaku sudah terbiasa pula hidup sebagai nomaden (berpindah-pindah tempat tinggal),
dimulai dari kampung ke kampung, kota ke kota hingga ke luar pulau sekaligus. Dan ini
sudah dijalani selama 23 tahun lamanya. Warisan yang diharapkan sebagai akhir dari
kebiasaan nomaden ini, tak bisa diandalkan sebab adanya ketidaksamaan dalam pendapat satu
sama lain, yang pada akhirnya status warisan itu menjadi tanah sengketa. Bapak merupakan
keturunan dari keluarga tuan tanah yang terbilang cukup banyak menyimpan warisan tanah
dan harta pada zamannya di pulau Sulawesi, namun kini warisan itu tak kunjung diurus
kembali. Bapak pun sudah lelah membahas perkara itu, apalagi Ibu yang sudah habis rasa
kepercayaan dirinya dalam mendapatkan rumah impian yang diidamkannya sejak lama. Yang
bisa dilakukannya kini ialah mencoba membangun usaha sendiri melalui jualan baso ayam di
depan rumah. Dan berhenti berharap pada yang tidak pasti akhirnya seperti apa.

Namaku Fathia. Si anak sulung perempuan satu-satunya yang memiliki dua adik laki-
laki yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Di usia 18 tahun ini, aku genap menjalani
semester akhir di bangku kelas XII SMA. Akhir dan awal yang akan menentukan arah hidup
selanjutnya. Tuntutan yang kini harus dijalani, sedikit demi sedikit sudah menjadi kewajiban
yang akan dijalankan, layaknya seorang dewasa yang mandiri.

Harapan yang dilangitkan bersama do’a-do’a tak pernah lepas dalam genggamanku.
Cita-cita yang sudah menjadi tujuan, sudah mandarah daging dalam usaha yang selama ini
selalu ditekuni. Tak mengenal terik panas matahari dan tak kenal dinginnya hembusan angin
yang kini tengah dirasakan. Suara adzan awal di shubuh hari telah berkumandang mengakhiri
keheningan malam yang berlalu di telan gelapnya malam seharian. Ucap rasa syukur yang
kupanjatkan tak pernah terputus dari mulut ini. Bersyukur sebab Allah masih memberikan
kesempatan untuk terus menghirup udara segar nan sejuk di pagi hari, jauh dari polusi udara,
sebelum dipenuhi banyaknya asap kendaraan di siang harinya. Nikmat Tuhanmu manakah
yang kamu dustakan? Satu ayat Al-Qur’an yang sudah menjadi landasan atas nikmatnya rasa
syukur.

Kembali membiasakan bangun di sepertiga malam, dan menunaikan dua rakat sholat
tahajjud. Meminta pada-Nya agar setiap langkah dan ikhtiar yang kujalani di hari ini penuh
dengan keridhoan dan juga kelancaran di dalamnya. Sudah menjadi tugasku di pagi hari
untuk mempersiapkan bekal makanan, memasak secukupnya sesuai bahan masakan yang ada
di lemari makan, kemudian mempersiapkan aneka jualan hari ini. Gadis SMA ini sudah
terbiasa berjualan di sekolah. Berbagai menu sudah pernah dibuat. Dimulai dari roti gulung
sosis, pangsit selimut sosis, tofu, pudding cup, banana choco lumer, sosis sembunyi, oreo
goreng dan masih banyak menu lainnya yang sudah dijajakan di sekolah. Pendapatannya tak
seberapa, namun setidaknya bisa mncukupi uang bekal sekolah, ongkos dan keperluan
sekolah lainnya. Dan sisanya bisa ditabung untuk keperluan mendadak lainnya yang tak
terduga.

Kedua adikku tak lupa juga mendapatkan bagian dari hasil jerih payah yang
dihasilkan, walaupun cukup untuk uang jajan mereka. Selebihnya Ibu lah yang memenuhi
perlengkapan sekolah dan keperluan mereka berdua, dari hasil jualan baso ayam yang kini
dijalaninya. Kemudian Bapak yang saat ini bekerja sebagai seles alat pengaman listrik yang
ditempatkan di Sukabumi, hanya bisa pulang sebulan sekali. Betapa mandirinya kami hidup
tanpa kehadiran Bapak. Akan tetapi Ibu selalu menguatkan kami, anak-anaknya yang tengah
berjuang dan berusaha menyikapi hidup dengan hemat dan menghargai hasil jerih payah
sendiri.

Gadis sepertiku, tentu tak lepas dari kata tren mode anak zaman now. Apalagi teman-
teman sekolah yang kini jauh dari kata hidup hemat. Mereka memiliki segalanya dibanding
yang kupunya saat ini. Berusaha hidup hemat dan sederhana di tengah-tengah kefoyaan hidup
bukanlah hal mudah untuk bisa dihadapi. Nyatanya saja aku hampir terbawa arus dalam gaya
hidup yang boros, namun kembali Ibu ingatkan, bahwa segala apa yang kita nikmati pasti
akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan-Nya kelak, dan apapun yang kita beli
harus sesuai dengan kebutuhannya bukan keinginan. Dan kembali kata-kata itu terngiang
dalam benakku untuk tidak mudah terbawa arus kehidupan yang serba foya.
Kembali dilihatnya jam yang terpasang di dinding ruang keluarga. Waktu
menunjukkan pukul 05.15 WIB. Waktu shubuh tak akan lama lagi. Ibu selalu terbangun
dengan suara aktivitasku di dapur. “Fath, kamu lagi siap-siap?”, dengan senyuman kubalas,
sambil melanjutkan kegiatan menggoreng. Tiga menu jualan saat ini ialah, tofu, roti gulung
sosis, dan banana choco lumer. Permacamnya dijual seharga dua ribu rupiah saja satunya.
Murah namun tak membuat kantong menguras. Semunya sudah siap kubawa. Ridho dan
Nabil tak pernah absen dalam meminta bagian ketika membuat menu jualan. Tetapi
adakalanya mereka mau menemaniku ke pasar atau membantu mempersiapkan jualan di
esok harinya. Mereka memang adik yang selalu ada di saat dibutuhkan, namun tak asing jika
sudah menjadi teman bertengkar. Sudah menjadi adat kebiasaan adik dan kakak.

“Bu, Fathia berangkat dulu yaa, Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam, semoga jualannya laris manis yaa nak. Aamiin.”

Satu kalimat yang kujadikan semangat saat ini adalah, rajutlah mimpimu dengan
langkah awal sederhana yang konsisten, untuk membangun lapisan kesuksesan mimpimu
saat ini dan nanti. Begitupun do’a orangtua takkan pernah tertolak oleh-Nya, lesatan do’anya
pun hingga tembus ke langit ketujuh. Ibu, semangatmu menopang bahuku untuk tetap tegar
dan semangat menjalani hidup, akan kujadikan tumpuan melawan arusnya kehidupan yang
semakin memburuk ini agar terus menjadikan hidup ini tetap hemat dan menghargai setiap
hasil keringat yang bercucuran.
Makna Sekeping Rupiah

Pernahkah teman-teman menemukan kepingan uang receh yang tergeletak bebas di


jalanan? Apa yang teman-teman sikapi dan apa yang harus dilakukan tatkala menemukan
sekeping dua keping uang receh yang tergeletak itu? apakah diambil kemudian dimasukkan
ke dalam kantong pribadi, ataukah diambil kemudian dimasukkan ke dalam kotak amal
masjid yang mungkin akan lebih banyak yang membutuhkan dibanding kita?

Hal ini kerap kali kujumpai kepingan uang receh yang tergeletak bebas di jalanan.
Mulai dari seratus rupiah hingga seribu rupiah bahkan selembar uang kertas sepuluh ribu pun
pernah kudapatkan. Namun lagi-lagi Ibu memberi nasihat pada kami semua untuk
menghargai kepingan receh yang tergeletak itu untuk diberikan kepada yang lebih
membutuhkan.

Pagi itu sekitar jam sembilan, kami baru pulang dari pasar yang telah belanja
beberapa keperluan jualan hari ini dan persiapan jualanku di esok hari. Kebetulan saja hari ini
adalah hari minggu yang sering kugunakan untuk membantu Ibu berjualan baso di rumah.
Saat hendak pulang dari pasar, kami pun menemukan selembar uang lima ribu rupiah dan dua
keping uang seribuan. “Bu, nampaknya ada uang di sana.” sambil menunjuk ke arah uang itu
tergeletak yang tak begitu jauh dari posisi kami berdiri. “Coba amankan nak.” segera
kuambil dan dimasukkan ke dalam kantong saku baju, namun kembali Ibu mengingatkan.
“Nak, ingat uang itu bukan milik kita seutuhnya, masih ada hak orang lain di dalamnya.
Lebih baik kita memberinya pada yang lebih membutuhkan saja.” ujar Ibu dengan penuh
kasih sayang.

Kami dibesarkan dengan kesederhanaan yang mengajarkan betapa berartinya


sekeping rupiah yang mejadi rezeki kita seutuhnya. Berapapun nilainya akan sangat berarti
bagi kami jika tak pernah melupakan rasa syukur yang terucap. Sebab terdapat keberkahan di
dalamnya yang disertai rasa kebahagian dan rasa cukup. Tak banyak orang yang memahami
arti sekeping rupiah ini. Kebanyakan mereka ialah bagaimana caranya bisa memenuhi
keinginannya yang berujung kekufuran akibat ambisi yang tidak berpihak padanya. Banyak
kutemui dari cerita teman-teman satu sekolah yang entah itu dari teman kelas atau teman
ekskul. Mereka selalu menceritakan keluh kesah pada seseorang yang nyatanya perlu
dukungan kuat untuk disemangati. Dan pada akhirnya menjadi tempat tampungan curhatan
dari orang-orang yang perlu disemangati pula. Dan tentu, posisi itu tengah kualami saat ini.
Saat dimana anak semester akhir di bangku SMA penuh dengan berbagai tanggungan yang
sama seperti mereka alami. Akan tetapi, seolah-olah permasalahan mereka lebih rumit
ketimbang permasalahan yang kualami. Yang padahal sejatinya Allah memberikan beban
pada Makhluk-Nya sesuai dengan kesanggupannya.

“Fath, aku mau curhat boleh ya?” Nita, teman satu kelas yang sudah lama menjadi
sumber curhatan yang kudapatkan. Dan aku lah sebagai tempat ternyaman baginya untuk
berbagi perasaan atas apa yang dialaminya. Sempat berpikir, kenapa dia percaya oleh
seseorang yang masih butuh dukungan sepertiku ini?

Diri ini pun sama, penuh keluh kesah yang ingin dilontarkan, akan tetapi berusaha
untuk tidak menceritakan semuanya, paling tidak hanya beberapa saja yang sering kumintai
pendapatnya atas beberapa hal mengenai urusan sekolah yang kualami. Selebihnya berusaha
disembunyikan, berusaha kuat, dan kuadukan pada-Nya Yang Maha Menjaga.

Ya begitulah hidup, terkadang kita terlalu berambisi pada satu hal yang akhirnya tak
dapat digapai. Namun di sisi lain Allah Maha Tahu mana yang terbaik bagi hamba-Nya atas
seribu keinginan yang diajukan lewat do’a pada-Nya, tetapi kita malah bertanya mengapa
Allah tak menghendaki apa yang kita inginkan ini terjadi? Sadarkah kita, bahwasanya ada
beberapa do’a yang akan Allah kabulkan. Pertama, Allah akan mengabulkan do’a kita tanpa
perantara apapun hingga melesat pada langit ketujuh dan itulah do’a dari seorang Ibu. Kedua,
do’a kita akan dikabulkan namun Allah ganti dengan yang lebih baik jauh dari apa yang kita
minta, sebab Allah Maha Tahu mana yang baik dan buruknya bagi kita selaku hamba-Nya,
dan ini kerap kali kita anggap mengapa Allah tak kunjung mengabulakn do’a kita? Padahal
tanpa disadari ternyata Allah telah mengabulkan do’a kita dengan cara yang berbeda. Ketiga,
Allah akan menunda dan mengabulkan do’a kita untuk kehidupan kita di Akhirat nanti.
Betapa Maha Tahunya Allah dalam segala hal yang terjadi.

Tak hanya Nita saja yang selalu curhat padaku, akan tetapi masih ada beberapa orang
yang tak bisa disebut satu per satu namanya. Cukup sebagai pembelajaran bagiku untuk
menyikapi hidup itu seperti apa. Mungkin kebanyakan orang mengira, jika mereka ada di
posisiku saat ini tentu akan menganggap betapa beratnya beban yang ditanggung, belum
dengan beban hidup sendiri ditambah harus menampung beban bidup orang lain. Sungguh
pemikiran hal semacam itu hanya akan mengurangi rasa syukur yang ada, bahkan akan
menimbulkan prasangka su’udzan terhadap situasi yang terjadi serta akan menilai betapa
minimnya rasa ikhlas yang kita punya karena berpikiran selalu berat dengan menampung
beban orang lain. Coba jika kita tafakuri maknanya, dengan kita mengetahui permasalahan
teman atau saudara kita yang bisa menghadirkan solusi, pasti akan menghadirkan pula
hikmah yang bisa dipetik. Dan kita semakin tahu bahwa menjalani hidup itu akan berjalan
dengan baik jika kita ikhlas menerima dan menjalaninya.

Hidup yang baik tentu akan hadir dari sebuah pengalaman. Dan lagi-lagi kembali
tersadarkan jika kita mengetahui ragam persoalan hidup dari berbagai macam karakter orang,
maka akan menjadi pengalaman berharga yang akan kita miliki. Namun dengan catatan kita
menjaga baik persoalan teman dan saudara kita. Jangan sampai kita ceritakan kepada orang
lain yang akhirnya menimbulkan dosa ghibah. Jadilah sosok yang amanah dalam memegang
kepercayan yang saudara kita titipkan. Semua ini nasihat Ibulah yang telah memberiku
arahan dalam menyikapi hidup. Ternyata sesimpel itu sebuah hidup, hanya saja selalu kita
buat ribet.

Saat tiba di rumah, kami pun mengecek semua perbelanjaan itu satu per satu. Lalu Ibu
berkata, “Fath, kau ingat bagaimana perjalanan sekeping rupiah yang selama ini kita
dapatkan?” aku hanya terdiam bertanda siap mendengar beberapa nasihat yang Ibu keluarkan.

“Sekeping rupiah yang kita dapatkan selama ini, mengandung arti berharga bagi kita.”

“Contohnya seperti apa bu?”

“Kau tahu, berapa tetes keringat yang kita keluarkan untuk bisa mendapatkan
sekeping dua keping rupiah untuk menyambung hidup?” aku hanya menggeleng saja,
menunggu kalimat selanjutnya yang Ibu keluarkan.

“Tetesan keringat yang kita hasilkan tentu tak terhingga nilainya. Kita tak bisa
menyamakan dengan sebutan nilai layaknya sebuah materi, namun yang bisa kita ukur ialah,
seberapa besarnya rasa sabar, perjuangan, juga pengorbanan waktu dan tenaga yang kita
keluarkan. Dan itu semua akan terjawab dengan seberapa besarkah kita mengeluarka itu
semua. Jika kita giat mengerjakan satu hal pekerjaan yang kita jalani, maka hasil yang kita
dapatkan pun akan sama dengan perjuangan dan pengorbanan yang kita keluarkan. Dan kau
tahu seberapa besarkah pengorbanan seseorang terhadap uang yang tadi kita temukan di jalan
itu?” sontak kutertegun dengan pertanyaan Ibu yang telah membuat semua tubuhku bergetar
dibuatnya. Tetiba teringat dengan uang yang baru saja kumasukkan ke dalam kotak amal
masjid yang dekat dengan rumah. Itupun atas perintah Ibu.

“Dan pasti uang yang hanya senilai tujuh ribu rupiah itu, memiliki pengorbanan yang
sangat berarti bagi orang yang tak sengaja meninggalkannya di jalanan tadi, entah itu karena
terjatuh atau apapun itu, namun rasa khuznudzan Ibu terhadap uang itu sedemikian rupa Ibu
pikirkan.” Lanjut Ibu yang begitu mengesankan dengan penjelasannya yang selalu
bekhuznudzan terhadap suatu hal apapun. Dan lagi-lagi Ibu tak pernah lupa mengajari kami
untuk selalu berfikir positif terhadap suatu hal.

“Fathia, apapun pekerjaanmu saat ini, jangan pernah lupakan Dia yang telah
memberikan rezeki kepada kita. Janganlah kau lupakan rasa syukur yang sudah semestinya
tertanam dalam diri, betapa besarnya yang telah Allah beri kepada kita. Dan satu lagi
bersyukurlah kepada-Nya yang telah memberikan kita pekerjaan seperti ini, walau berjualan
kecil-kecilan namun setidaknya kita tak kehilangan akan keberkahan di dalam-Nya. Dan
tetaplah berdo’a pada-Nya selalu untuk melancarkan usaha kita, meminta keridhoan kepada-
Nya, itulah yang lebih utama.”

“Ibu, apakah boleh Fathia menginginkan pekerjaan yang lebih maju dari sekadar
berjualan ini kepada-Nya?”

“Mengapa tidak anakku. Allah Maha segala-galanya. Dia pemilik alam semesta ini.
Sudah semestinya pula kita meminta apapun itu kepada-Nya. Tentu dengan usaha dan ikhtiar
yang kuat. Berdo’a dan mintalah kepada-Nya.” Saran Ibu yang begitu menggetarkan hatiku,
serasa masuk ke alam bawah sadarku. Dan kembali merekam setiap ucapan Ibu yang banyak
mengandung makna motivasi dan semangat menempuh perjalanan hidup yang tengah dilalui.

Sempat akhir-akhir ini aku selalu tak percaya diri bahkan hampir tumbang dari usaha
yang tengah dijalani. Yaa apalagi kalau bukan berjualan aneka cemilan di sekolah. Sudah
banyak menu yang kuulik, akan tetapi lambat laun pendapatan yang didapat perharinya kian
hari semakin mengecil, hingga hampir modal yang kusisihkan terpakai begitu saja sebab
besar pengeluaran dan pemasukan yang kuterima tak seimbang akhir-akhir ini.

Belum ditambah Bapak hanya bisa pulang sekali dalam sebulan dan mengirim uang
pun kadang-kadang bisa kadang-kadang tidak sesuai ada tidaknya penghasilan yang
didapatnya di Sukabumi. Bayangkan saja, pendapatan seles tak begitu besar dan hanya
seadanya. Cukup untuk menghidupi empat anggota keluarga hanya untuk perihal makan dan
keperluan yang memang sangat diperlukan, bukan lagi untuk memenuhi keinginan.
Terkadang aku bisa mewujudkan keinginanku seperti menambah modal jualan dan juga ikut
les mata pelajaran sekolah atau les lainnya, hanya bisa mengandalkan sekeping dua keping
dari hasil jualan cemilan di tiap harinya. Belum ditambah keperluan ongkos dan keperluan
lainnya, selalu kupikirkan layaknya Ibu sedang melatih kemadirianku agar terbiasa hidup
tanpa bergantung pada orang lain.

Dalam hal ini, Ibu selalu menguatkan kami bertiga, agar mencoba menghemat
pengeluaran kebutuhan hidup sehari-hari. Penghasilan dari jualan baso perharinya, Ibu hanya
bisa mendapatkan sekitar tiga puluh ribu rupiah hingga empat puluh ribu rupiah saja. Bahkan
pernah sampai modal tak kembali lagi akibat banyak yang mengutang lantas tak kunjung
dibayar. Entah lupa atau apa, namun bidadari syurgaku ini tak mau menagihnya, karena tak
ingin membuat para konsumennya merasa kecewa dan tak ingin menyinggung perasaannya
oleh sebab seringnya ditagih uang baso yang diutangkannya. Terkadang aku pun ikut
membantu menutupi kekurangan modal usahanya walaupun tak seberapa, yang terpenting
usaha Ibu terus berjalan. Inilah hakikat hidup yang selalu diajarkannya kepada kami, agar
senantiasa menghargai waktu, tenaga dan hasil yang diperoleh. Semangat yang semula
runtuh, terbangun kembali oleh nasihat-nasihatnya yang tak pernah lekang oleh waktu yang
terus berjalan.

Anda mungkin juga menyukai