Anda di halaman 1dari 4

Nuril Lestari Putri

1C PBSI
2210631080081

IJAZAH KU YANG LUSUH


Tidak ada angin disini, hanya gemuruh kota dan klakson motor serta asap dari mobil merah
menyala, aku sudah berada disini tiga tahun lamanya, mencari habitat, menyesuaikan perasaan,
dan berdamai dengan kehidupan, tidak ada kasur dan selimut hangan disini, tidurku beralaskan
jerami padi, yang kering akibat suhu metropolitan, siang dan malam rasanya sama saja, aku
terus dilanda kebisingan orang sibuk, yang sarjana, memakai jas hitam sepatu bermodelkan
para pemimpin perusahaan, sial, benci sekali, mengingat hidupku yang terus diarungi kikuk
dan pikuk, dibebani sesal dan emosi, rasanya mengapa aku dulu tidak berusaha keras.

Saat ini aku hanya mengenal 2 makhluk, kucingku dan tetanggaku yang umurnya 70 tahun,
nasibnya lebih sial dariku, pak maman namanya, sepuh yang ditinggal oleh anak dan cucunya,
menjadi sebatang kara di gang sempit ibu kota, dulu beliau adalah seorang guru, guru yang ikut
berjuang pada orde lama maupun baru, hidupnya tak ada yang mengasihani. Aku ini memang
sering mengeluh dan menyesali kehidupanku, namun titik semangatku belum punah, 3 tahun
lamanya aku masih giat mencari pekerjaan, membungkus kertas kertas lusuhku dengan amplop
coklat.

"Kau memang pemuda yang keras kepala." Ucap pak maman sambil menyeruput kopinya dan
tertawa kecil.

Ia selalu mampir ke gubuk ku, untuk sekedar meminta kopi dan menyeramahiku tentang
mengapa aku tidak kembali ke kampong halamanku, mencari pengalamanku yang lain, karena
menurutnya kota ini terlalu padat, tidak ada tempat bagi pemuda tua lulusan SLTA yang
berharap mendapat upah setara.

"Kali ini aku yakin akan berhasil pak." Ucapku

"Kau mengatakan hal yang sama sejak 2 tahun lalu, anak ku." Ujar pak maman lembut

Dasar si tua ini selalu meledek ku, mematahkan terus semangatku, selagi aku masih hidup aku
yakin aku bisa melakukannya.
Sore hari setelah kegagalan dalam tahap psikoten aku membuka sepatuku dengan kasar,
bersandar pada tembok, memakan sisa sisa nasi kemarin yang baunya semerbak
ketidaksejahteraan, saat akan menyuapkan nasi, kucingku mengeong dengan wajah yang
kelaparan, sungguh membuatku kebingungan, lebih baik menyerahkan nasi itu pada perutku
daripada perut kucingku, aku tahu ia tidak akan kuat, dan akan kesakitan, dengan sisa uang
5000 rupiah, aku membeli ikan teri yang dirasa cukup untuk makan ku dan kucingku, kuberikan
padanya, dengan harapan kucingku tidak memiliki nasib sama denganku, pemuda tersesat yang
kelaparan.

"Kau hidup seperti lalat yang terjebak pada jendela, banyak cara untuk lepas dan keluar, namun
lalat it terus selalu melakukan hal yang sama, anak ku waktumu tak banyak, untuk pergi ke
kota lain, bukan pergi ke halaman lain, kamu sudah terlalu banyak memakan teori, aksimu
sudah gagal di titik ini, kau harus mencoba hal baru, tidak kah kau bosan? Memakan nasi
kemarin, berbagi dengan kucing mu, tidak kah kau ingin, berlalu lalang menggunakan mesin
roda 4, mengajak ku ke negeri sabang atau tanah merauke? Sudahlah, kau cari jalan lain,
cobalah mendaki gunung, ataupun meraungi lautan, itu lebih baik daripada berdesakan di kota
besar yang hanya ramah pada sarjana."

Ucapan pak maman mampu membuatku meneteskan air mata, ia benar, ini sudah titik
terakhirku untuk terus berada hidup dengan nasi basi di gubuk ini, aku harus pergi menemui
orang tua ku, mencari kota yang ramah padaku.

Keesokannya aku langsung berpamitan pada pak maman, saat sedang menyalimi tangannya,
tanganku diberikan segulung uang, aku tersontak dan langsung menatap lekat mata pak maman.

"Ini untuk kopi yang selalu ku seduh setiap hari, tenang saja ini uang bukan hasil mencuri, ini
dari cucuku 5 tahun yang lalu saat kami berpapasan, anak ku, jenguklah orang tua mu, sakit
sekali dilupakan oleh seseorang terlebih itu keluarga kita, tanyalah kabar adik mu, menjadi
sebatang sangat tidak enak."

Aku memeluk pak maman dengan erat, hidup bersebelahan dengannya membuatku merasa
memiliki seorang guru dan orang tua yang dengan denganku, ia adalah pengingat dan
penghibur yang sangat baik.

Malam hari yang dingin aku tiba di kota ku, kota asri yang dipenuhi perkebunan, orang tua ku
adalah seorang petani, ia selalu menyuruhku untuk pulang, namun aku terus menolaknya dan
meyakinkannya bahwa aku akan sukses di ibu kota, nyatanya itu bukan tempatku.
Pelukan hangat dari ibuku serta sambutan meriah dari adik ku membuat hati ku merasa damai,
mungkin memang masih gubuk, namun gubuk yang ini tidak dingin, gubuk ini penuh
kehangatan dan cinta.

Satu minggu aku membantu ibuku untuk bertani, akhirnya sudah tiba saatnya untuk pergi ke
kota tujuanku, kota yang tidak seramai ibu kota, namun dirasa banyak peluang untuk ku disana,
aku dibawa oleh pak herman, salah satu pemilik kebun sawit di kota tersebut, ia memintaku
untuk menjadi pengawas disana, memang upahnya sangat dibawah standar, namun aku terus
ingat kata kata pak maman, jika teguh dan gigih makan semua akan membaik.

Setiba di kota yang jauh sekali dari ibu kota, aku sudah nyaman dengan pekerjaanku, aku sudah
lebih banyak tersenyum daripada menangis, aku tidak lagi memakan nasi basi, dan kucingku
ku beri makanan satu porsi utuh tidak lagi ku bagi untuku.

Satu tahun berlalu aku diangkat menjadi leader di perusahaan sawit, upahku sudah mampu
membelikan ibuku anting dan kalung, satu tahun ini sangat berat rasanya, namun berkat
kejujuran dan kegigihanku, aku mampu mendapatkan posisi ini.

Saat libur bekerja, aku pergi ke bandara, untuk menyiapkan penerbanganku ke ibu kota, aku
harus bertemu pak maman, mengajaknya ke kota sabang hingga ke tanah merauke,
mengajaknya untuk tinggal bersamaku, memakan makanan enak dan pakaian layak, karena ia
adalah sebab utama hingga aku bisa meraih ini semua.

Setibanya di ibu kota, gubuk gubuk itu sudah tergantikan oleh lahan dan gedung yang sedang
dibangun, lemas sekali lututku hingga tak mampu lagi menompang tubuhku, gubuk itu adalah
saksi dari perjuanganku, dan pak maman… aku tak tahu dimana ia berada saat ini.

Tak menyerah sampai disana, aku langsung menanyakan keberadaan pak maman kepada ketua
RT, dan ia mengajak ku ke suatu tempat, lututku mulai kuat kembali, setidaknya pak maman
masih ada disuatu tempat. Pak RT mengajak ku menyusuri jalanan yang aku mulai sadar
kemana arah perjalanan ini.

"Pak maman sudah tidak ada semenjak 3 bulan lalu, ia ditemukan meninggal digubuknya,
sebelumnya ia kerumahku, dan menyampaikan pesan untukmu, meminta satu tugas lagi untuk
kamu jalani, yaitu Tuhanmu, jangan lupakan Tuhanmu, dan terus menimba pengalaman karena
teorimu sudah penuh, tinggal melangkah dan beraksi."
Aku menatap nisan yang bertuliskan nama pak maman, tak ada lagi yang mampu ku ucapkan
selain terimakasih, guruku, orang tua ku, ia adalah bentuk dari segalanya, ia adalah cahaya
didalam gubuku, dan selimut dalam dinding tipis gubuk itu. Ku sudahi teori ini, kujalankan
aksiku, ke keruk dunia, dan kujalankan tugasku sebagai Hamba.

Anda mungkin juga menyukai