Anda di halaman 1dari 4

1

PEMBELI PERTAMA DI PASAR LEMBANG

Aku berjalan menyelusuri rintik hujan di pasar, aku tengok ke kanan dan ke
kiri, hanya pemandangan sepi, ada segelintir pedagang yang nekat berjualan,
mendadak teringat sebuah puisi karya jokpin yang menyerang anganku.
Surat untuk Ibu
Akhir tahun ini saya tidak bisa pulang , Bu.
Saya lagi sibuk demo
Memperjuangkan nasib saya yang keliru.
Nantilah, jika pekerjaan demo sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar.
Oh ya , Ibu masih ingat bambang kan?.
Itu teman sekolah saya dulu
yang sering numpang makan dan tidur di rumah kita.
Saya baru saja bentrok dengannya gara-gara urusan politik dan uang.
Beginilah jakarta, Bu, bisa mengubah kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan
Semoga Ibu selalu sehat bahagia bersama penyakit yang menyayangi Ibu
Jangan khawatir keadaan saya.
Saya akan normal-normal saja
Itu sepotong puisi Joko Pinurbo yang menghantarkan aku pikiran melayang
ke udara memikirkan sosok seorang perempuan tua yang dengan berdarah-darah
melahirkan anaknya, termasuk saya yang telah dirawat dan dilahirkan.
Hujan terus mengguyur Pasar lembang sejak jam 16.00 sampai malam ini,
seluruh aktifitas di kota itu mendadak lenggang, jalanan sepi karena banyak orang
enggan untuk keluar, aku mencoba meneduh di pinggir pasar yang sepi pembeli itu,
jaket dan topi menutupi badanku agar mengurangi rasa dingin dan curahan hujan
yang tak pernah mau berhenti, aku tetap melangkahkan kaki untuk menelusuri pasar
malam itu.
Langkahku terhenti di sebuah warung kecil yang bisa bongkar pasang di
pinggir jalan, di malam hari pasar sepi karena hujan, hujan rintik-rintik terus
menghantam aspal-aspal jalanan dan memercik ke muka orang-orang yang nekat
berjalan, bintang gemintang tak sanggup untuk menampakan dalam kegemerlapan,
ketika desir angin terkalahkan oleh gemercik air hujan yang tak pernah berhenti di
malam itu, saya melihat seorang penjual makanan kecil, yang makanannya hanya
seadanya, ketan uli, seorang nenek-nenek tua renta yang tak bisa berjalan
menunggu warung kecil itu hanya seorang diri.
Dengan basah kuyup saya mendekati penjual warung itu, dengan pakaian
basah dengan percikan air hujan saya paksakan menghampirinya, hampir semua
warung dan tempat berjualan di tutup, tapi nenek tua renta itu memaksakan diri
untuk berjualan, di arlojiku jarum pendek mengarah ke 11 dan jarum panjang satu
menit lagi mengarah ke nomor 12, waktu sudah larut, warung kecil dengan
dipasang terpal diatasnya, terpal sudah robek-robek sehingga air hujan tetap bocor
menimpa kursi yang disediakan untuk pembeli yang ingin duduk.
Nenek tua renta itu mendadak terbangun dari rasa kantuk yang
menyerangnya, kehadiran saya membuat ia terjaga sejenak, saya menjadi Pembeli
pertama yang akan membeli dagangannya, ia lusuh, pancaran matanya sayup,
seolah memamerkan keperihan hidup, jam malam seketika banyak orang istirahat,
karena hujan tak mau berhenti, banyak warung-warung yang ditutup saat itu karena
pengunjung dan pembeli sudah sepi, banyak orang-orang yang tidak keluar di
jalanan, mereka memilih cukup di dalam hotel dan rumah-rumah yang tersusun di

1
Diambil dari buku Surip ibnu Umar, Demi Senja di ufuk Timur, Jogjakarta: KBM Penerbit, 2022
pinggir jalan raya itu, mereka menikmati secangkir air teh hangat di depan televisi
sebelum mata terpejam untuk menikmati gemercik hujan di malam itu.
“ Ibu, jual makanan apa?” sahutku kepada nenek tua itu.
“jual ketan uli nak,” jawabnya dengan suara lirih, sambil menunjuk
makanan yang cuma sepuluh potong, sambil menunggu pembeli datang.
“ beli 5 potong ibu, ya,” ujarku kepadanya, agar disiapkan makanan itu
untuk mengusir rasa laparku di malam sepi itu.
Tanpa suara ketika menyiapkan kue uli sesuai yang aku pesan, rasa
penasaran membuatku aku bertanya tentang dirinya, untuk membuka tabir
kegundahan yang ia rasakan. Maka izinkan saya bercerita tentangnya pada saat ini.
Oyoh rohayah seorang nenek tua renta dengan cucu 15 orang bersahabat
dengan penyakit asam urat, kolesterol dan syaraf kejepit yang selalu
menyayanginya, pinggangnya tidak bisa tegak untuk berjalan, pernah jatuh di depan
rumahnya sehingga pingsan, sudah tiga minggu kala itu tidak bisa berjalan
memaksanya tidak bisa berjualan dan tidak melakukan apa-apa, dan makan
seadanya, hutang di warung tetangga jadi hobinya karena keadaan yang memaksa,
ia mempunyai lima anak, 2 anak perempuan dan 3 anak laki-laki, namun apa yang
ia rasakan sekarang ini seprerti tidak punya siapa-siapa, hidup seorang diri, kelima
anaknya semua sudah menikah dan meninggalkannya sendirian di rumahnya yang
berukuran kecil, rumah itu dibangun di atas tanah orang lain, dengan membayar
sewa setiap tahun, ia bercerita kepadaku dengan rasa iba, bahwa ia ingin dianggap
sebagai ibu dari anak-anaknya, ingin seperti orang-orang, ia berujar alangkah
senangnya jika melihat tetangga punya anak banyak, semua sukses dan mereka
menjaga orang tuanya ketika sudah renta, orang tuanya hanya duduk-duduk di
depan rumah sambil bercanda dengan cucu-cucunya, seluruh kebutuhan dipenuhi
oleh anak-anaknya, tapi hal ini berbeda dengan apa yang ia rasakan.
“Dimanakan anak-anakku itu..”
“Anak-anak yang dilahirkan kala itu.”
“ Anak-anak yang aku asuh dengan sepenuh hati.”
“ Yang waktu kecil aku mandikan dan selalu aku susui.”
“ Yang waktu kecil selalu aku gendong ketika menangis.”
“ Semuanya sudah tiada lagi, walaupun kenyaataanya mereka ada,” cerita
sendu di depanku sembari memanasi ketan uli dengan kipas angin kecil yang
putarannya antara hidup dan mati, tangannya bergetar ketika mengambil makanan
yang terbuat dari ketan itu, gemetar karena menahan sakit.
suaminya meninggal karena penyakit yang ia derita tiga tahun yang lalu, ibu
tua renta itu terkadang ditemani anak bungsunya yang sudah menikah, tetapi tidak
setiap saat, maka ia merasa kesepian dengan hari-hari yang ia lalui.
“ mengapa ibu, tidak ikut ke rumah anaknya menunggu cucu” ujarku dengan nada
biasa kepadanya, ternyata kata-kata itu membuat ia meneteskan air mata, seolah
membangkitkan memorinya yang perih dan jera, memori tentang hidupnya yang
sekarang sendirian, anak dan cucu meninggalkannya di rumah yang sempit, tak
akan bisa makan kalau tidak bekerja.
“ Maafkan saya bu, kiranya tak pantas saya menanyakan hal ini” saya
katakan kepadanya dengan rasa bersalah karena membuatnya menangis.
“ Tidak apa-apa nak” jawabnya dengan nada parau.
Dulu ketika nenek tua itu masih bersanding dengan suami, ia sudah hidup
sengsara, karena suaminya sakit-sakitan, akan tetapi ia masih bisa curhat tentang
masalah hidup, ada sahabat yang bisa untuk berbagi cerita, tapi kini sudah tidak ada
lagi pendamping untuk mengadu tentang kehidupan, hanya ikhtiar yang ia lakukan
sekarang dan selalu berusaha berdoa seingatnya kepada Allah yang membuat hidup,
ia tidak sempat menyekolahkan anaknya ke jenjang yang paling standar, karena
memang dahulu keduanya tidak mampu untuk memberikan pendidikan anaknya ke
Sekolah kendala biaya, untuk bisa makan saja susah, ia menangis sambil bercerita,
“Dari lima anak-anak saya yang paling tinggi pendidikannya hanya sekolah
menengah pertama, ia anak perempuan bungsu, selebihnya hanya lulus Sekolah
Dasar, “hasil usaha yang saya lakukan hanya untuk buat makan dan keperluan
sehari-hari, sehingga anak-anakku tidak bisa bersekolah” ujarnya sambil mengelap
air mata yang jatuh beriringan antara mata kiri dan kanan, saya mencoba berusaha
menendengarkan dengan seksama apa yang ia ceritakan.
“Dulu saya belum tahu bahwa pendidikan itu penting nak, mungkin karena
keadaan, saya hanya memikirkan bagaimana biar sekeluarga bisa makan, rumah
yang saya miliki sekarang adalah bukan sepenuhnya milik saya, di bangun di atas
tanah garapan, yang sewaktu-waktu bisa di gusur, setiap tahun saya harus
membayar sewa tanah, membayar kepada tuan mandor yang biasa datang
menjelang lebaran” ujarnya dengan sendu.
Hidup terasa sengsara ketika anak pertamanya, menodai martabat ibu dan
ayahnya ketika masih hidup, lelaki anak pertamanya sudah 3 kali menikah, setiap
menikah meninggalkan anak, dan anak-anak itu ibunya yang harus mengurus, istri
pertama menuntut kepastian dari seorang laki-laki, maka terpaksa dikawinkan,
setelah punya anak lelaki itu menceraikannya dan menyerahkan anaknya kepada
ibunya, tidak berselang lama lelaki itu nikah lagi dengan perempuan tetangga desa,
baru dapat satu tahun dan mempunyai anak, ia memutuskan untuk bercerai, dan ia
menyerahkan anaknya kepada ibunya, dan begitupun sama ketika menikah yang
ketiga kalinya, dengan seorang perempuan janda muda tanpa anak, sekarang ia
mempunyai anak akan tetapi ia mulai terlena dengan wanita lain, sehingga istrinya
minta cerai, “ saya harus bertarung dengan kesengsaraan hidup dari dulu nak”, ujar
ibu tua renta itu dengan nada miris.
“ sekarang masa tuaku menjadi seperti ini, seketika suamiku meninggalkan
untuk selamanya, saya merasa sebatangkara, saya harus berjualan bagaimanapun
keadaannya, ketika saya tidak bekerja maka saya tidak akan makan nak, sakit yang
saya derita sengaja tidak diobati karena tidak ada uang.”
“ Saya malu kalau harus meminta kepada anak dan cucu, sedangkan mereka
sendiri serba kekurangan” jelasnya nenek tua itu sambil sesekali memegang
pinggangnya, yang jika digerakan maka langsung sakit, sering ia menahan posisi
duduknya agar badan tidak ikut bergerak untuk mengurangi rasa sakit yang sudah
lama ia derita.
Mendengar cerita ibu tua renta itu, aku teringat bagaimana ketika ia
membawa barang-barang yang akan di jual, seketika ia sudah tidak bisa membawa
beban berat, terpaksa aku bertanya dengan nada harap-harap cemas:
“ Ibu, maaf barang jualan yang bawa ke warung ini siapa?”
“Saya sewa tukang ojek setiap antar dan jemput.”
“Sekali antar 20.000, dan jemput 20.000.”
“Bongkar pasang warung 15.000.”
“Karena warung ini harus bongkar pasang, kalau tidak pasti warung ini akan
hilang, di ambil Satpol PP.”
“ Pernah nak, saya semalam hanya dapat 60.000, untuk bayar ojek pulang
pergi 40.000, dan bongkar pasang tenda warung 15.000, sisa 5000”. jelasnya,
sambil aku mendengarkan dengan seksama.
“ Bantuan pemerintah kadang cuma informasinya saja, saya tidak pernah
mendapatkannya, hanya satu kali di bulan november kemarin” sembari mengelap
tetesan air mata yang mengalir di pipi yang sudah keriput itu, ia mengeluh tentang
pembagian sembako dari pemerintah untuk orang miskin, karena ia merasa miskin
dan tak pernah mendapatkannya, ia menceritakan tentang kebijakan RT di
lingkungannya, padahal ia berapa kali sudah mengadu di depan bapak RT, tapi
entahlah ia hanya bisa mengelus dada perlahan-lahan.
“ Ibu, bersabar dan terus berdoa, agar menemukan jalan terbaik.” kataku
seolah agar menstabilkan rasa emosinya supaya sedikit berkurang
Ia mendadak diam, tanpa kata-kata yang bergetar dari mulutnya, sembari
membungkus kue yang berjumlah 5 pieces dengan bekas kertas Koran, seakan-akan
ia membungkus anak-anaknya dengan kain kafan berwarna putih yang sudah
terbujur kaku, mendadak berhenti pandanganku ke arah kue yang ia bungkus itu,
ketika suara petir menyambar alam seketika membuatku kaget.
Saya terima kue yang ia serahkan, saya bangkit meninggalkan warung kecil
itu, dengan mengeluarkan uang yang aku bawa untuk membayarnya, dan saya
sampaikan salam buat anak-cucunya semoga sehat wal'afiat, ia tersenyum
melihatku sambil menahan sakit, dan saya tersenyum kepadanya sebagai ucapan
terima kasih atas ceritanya, saya tinggalkan ibu tua renta itu seorang diri sambil
menelusuri gelapnya malam yang sepi setelah tersapu hujan di pasar kota Lembang.

Lembang, 10 Desember 2021

Anda mungkin juga menyukai