Anda di halaman 1dari 4

Gadis Kecil Tunawisma

Ia hidup namun ia mati


Ia bernapas namun sesak yang ia dapat
Ia benyanyi hanya dengan melodi perih
Ia tersenyum hanya pada maut yang mendengung
Tiada kasih, tiada sayang
Tiada cinta dan harapan
Ia ingin berlari mengejar mimpi
Namun langkah terpaksa terhenti karena hidup tak merestui
Dalam hati ia beteriak pedih,
“Oh Tuhan lebih baik aku mati daripada hidup namun serasa mati”

Di sebuah sudut pasar. Seorang gadis cilik tunawisma yang berumur 9 tahun
berjalan gontai di antara kerumunan masa yang haus dan buta akan harta.
Tubuhnya yang kotor berlumuran debu dan tanah karena sudah berhari-hari bahkan
berbulan-bulan lamanya tak pernah mandi membuat orang enggan lama-lama
berdekatan dengannya. Apalagi rambutnya yang super bau penuh kutu yang tak
pernah menikmati shampo membuat dia tampak kacau. Bajunya yang lusuh dengan
robekan-robekan khas yang membungkus tubuhnya membuat dia tampak seperti
orang gila. Tubuhnya yang kurus kering kerontang tampak seperti tengkorak
berjalan.

Dia begitu nelangsa apalagi mengingat dia hidup sebatang kara. Tanpa
orangtua, tanpa rumah dan sanak saudara. Ayah dan Ibunya meninggal saat
usianya baru 2 tahun akibat kecelakaan maut. Setelah itu dia dirawat oleh
Pamannya namun saat dia baru berusia 7 tahun dia ditelantarkan begitu saja dan
dirampas harta warisan dari kedua orangtuannya oleh Pamanya sendiri. Kini dia
sendiri menjalani kehidupan yang sepi dan serasa mati. Hal ini membuat dia dewasa
sebelum waktunya dan pribadi yang mandiri adalah tuntutannya. Dia harus berjuang
seorang diri menyambung nyawa tanpa bekal yang memadai.

Setiap hari tangannya menengadah meminta belas kasih pada insan-insan


yang berdosa. Meski berjam-jam lamanya dia berjalan memutari pasar. Namun tak
ada seorang pun yang mau mengasihinya. Jangankan mengasihi atau berbagi
rezeki, menyentuh dan berdekatan saja mereka enggan melakukannya. Mereka
sibuk dengan dunia mereka tanpa mau peduli dan mengasihi yang lemah.

Dia mulai menangis pedih menahan perih perutnya yang penuh terisi duri.
Sesekali dia berfikir untuk pasrah pada maut yang siap menjemput namun tiba-tiba
kata Ayah beserta Ibu mengiang mengingatkannya untuk terus hidup meski dalam
perih dan kematian yang selalu menghantui.

Bagaikan mendapatkan suntikan semangat yang membara. Dia menghapus


air mata dengan kasar dan mulai menegakan langkah untuk menengadah meminta
sedikit sedekah dari orang-orang keras kepala yang mengagungkan egonya.
Berharap salah satu dari mereka ada yang mau berbagi kasih dan sayang
kepadanya. Setidaknya memberikan makanan sisa atau satu koin uang rupiah pun
tak apa yang penting itu dapat mengurangi pedihnya duri yang terus menusuk-nusuk
lambung kecilnya.

“Bu… sedekahnya Bu, kasihanilah saya, sudah 3 hari saya belum makan.
Saya lapar Bu,” katanya dengan nelangsa pada seorang pedagang cabai yang
tengah asyik melayani pelanggan. Bukannya makanan atau uang yang dia dapat
justru amukan macan yang super pedaslah yang dia dapat.
“Sedekah… sedekah memangnya saya pegawai Bansos apa? Sudah sana pergi
minta pada Ibumu jangan padaku! Mengganggu pekerjaan orang saja. Gara-gara
kedatanganmu pelangganku merasa tak nyaman ini. Cepat pergi atau sapu ini
terpaksa aku pukulkan padamu!” kata Ibu itu beringas. Gadis kecil itu pun segera
pergi dengan rasa takut yang masih menyelimuti hati.

Dari belakang lamat-lamat dia mendengar percakapan antara Ibu beringas


dengan seorang pelanggan sok tahu.
“Masih kecil kok sudah meminta-minta, nanti kalau sudah besar mau jadi apa dia?”
kata Ibu pedagang cabai.
“Iya, bener Bu. Paling-paling ini akal-akalan orangtuanya saja. Agar mereka cepet
kaya namun tak perlu berkerja. Kasus semacam ini kan sekarang marak terjadi.
Orang yang mengaku miskin, cacat dan memiliki keterbatasan ternyata bohongan.
Padahal aslinya mereka kaya dan berlimpahan harta. Kok tega banget si
orangtuannya. Memperbudak anaknya untuk mengemis belas kasihan orang lain,”
kata si pelanggan sok tahu itu.
“Aaah.., biarkan saja, orang seperti itu tak perlu dikasihani. Anak sama orangtua
sama saja, suka menukar harkat martabat demi sejumlah rupiah. Enak saja kita
yang berkerja namun mereka yang kaya,” kata Ibu si penjual cabai.

Entah mengapa sesudah mendengar guncingan tak bermutu itu. Tiba-tiba air
mata gadis cilik itu meleleh, mengucur deras membasahi kulit pipinya yang kering
dan lusuh. Ada sebuah beban yang menghimpit keras dadanya menimbulkan rasa
sesak dan sakit seketika itu juga.
“Peduli apa denganku, orangtuaku dan rasa kasihan? Orang seperti kalian hanya
bisa berkata tanpa tahu yang sebenarnya. Hanya menjadikan hal umum sebagai
patokan tanpa mau meneliti sebuah kebenaran. Kepalanya saja yang kelihatannya
besar namun jika dibelah kepala itu kosong melompong tanpa isi.” Ya begitulah kira-
kira isi hatinya, ada sedikit rasa tak terima dengan ucapan orang-orang bodoh yang
sok tahu.

Mungkin karena kelelahan dan rasa lapar yang setia melilit tubuhnya.
Akhirnya dia berhenti di depan warung makan sederhana bertuliskan “Rumah Makan
Pak Kamidjo”. Matanya yang sembab sehabis menangis terus menatap hidangan-
hidangan lezat yang tertata rapi di balik kaca etalase yang bersih. Berkali-kali dia
meneguk air liurnya sendiri berharap air liur itu adalah paha ayam atau nasi hangat
yang siap disantap dengan nikmat.
“Huuss… pergi sana! Bisa-bisa pelangganku lari tak bernafsu makan gara-gara
melihatmu ada di sini. Huss… sana pergi!” kata pak Kamidjo sambil mendorong-
dorong tubuh gadis mungil itu dengan kemoceng seakan ingin menghapus debu
najis yang menghalangi kiosnya. Lagi-lagi gadis itu hanya bisa menangis setelah
menerima perlakuan keji yang tak terpuji dari mereka yang hatinya sudah terkubur
mati.
“Ayah…, Ibu…, aku lapar, aku sakit, aku kotor, aku lelah, bolehkah aku menyusul
Ibu dan Ayah saja. aku sudah tidak kuat lagi. Dunia ini terlalu keji untuk kuhadapi
sendiri” katanya disela isakan tangis yang membahana.
“Sabarlah gadis kecilku. teruslah melangkah. Hadapilah dunia dengan senyumanmu
yang meluluhkan. InsyaAllah Tuhan akan menyiapkan kado terindah-Nya untuk
gadis kecilku yang kuat dan tabah,” tiba-tiba suara Ayah datang menjawab apa yang
dirisaukan gadis kecilnya.
“Tapi tak ada yang mau melihatku bahkan senyumanku Ayah. Mereka lebih suka
menganggap aku sebagai lalat hijau daripada sekedar manusia,” katanya sendiri
seperti orang gila.
“Jangan khawatir sayang, hapus air matamu dan bukalah hatimu. Mereka seperti itu
karena mereka belum tahu siapa dirimu. Mereka hanya sedang terlena dengan harta
yang membuat mereka buta dan tuli dengan sekitarnya,” sekarang ganti suara Ibu
yang berkumandang.
“Tapi Bu…,”
“InsyaAllah janji Allah pasti datang, percayalah itu Nak” kata Ibu lagi-lagi
menabahkan. Membuat senyum yang hampir pudar kembali berkembang. Dalam
hati dia betekad untuk terus hidup meski kehidupan tak menginginkan dia hidup.

Dengan langkah penuh percaya diri bahwa hari ini dia akan menemukan
seorang yang mampu mengabulkan keinginanya untuk hidup. Dia kembali berjalan
menyusuri kios-kios pasar yang mulai menyepi karena hari memang sudah petang
untuk seorang penjual pasar tradisional.

Tak terasa malam sudah semakin larut. Membuat dia terpaksa berhenti dari
pencariannya. Rasa lapar dan lelah membuat dia tergeletak sesukanya tanpa
mempedulikan dimana dia berada dan milik siapa teras kios yang sekarang ini
ditempatinya. Dia duduk meringkuk kedinginan di depan kios bercat biru. Mata
mudanya yang jeli menangkap kumpulan arang bekas bakaran jagung. Dengan
sigap dia memungutnya dan mulai mencorat-coretkan arang itu di tembok kios yang
masih bersih terawat. Sesekali dia tersenyum dan tertawa melihat apa yang ditulis
dan di gambarnya. Baginya sebatang arang itu adalah mainan yang indah dan
membahagiakan dari pada boneka berbie atau mainan masak-masakan. Setelah dia
merasa puas dengan apa yang dia kerjakan. Dia mulai tertidur, tidur pulas dan
tenang dengan senyuman yang hanya Tuhan dan dia yang tahu apa artinya.

Keesokan harinya di depan kios bercat warna biru. Sudah penuh sesak orang
berkerumun di sana. Tak hanya para pembeli para pedagang yang biasa sibuk
dengan dunianya sendiri tanpa berpikir dengan sekitarnya pun tak kalah heboh dan
ramai. Berdesak desakan ingin melihat seulas senyuman khas yang menghanyutkan
sekaligus mematikan untuk mereka yang tak pernah peduli pada sesama. kasak-
kusuk terdengar di mana-mana membuat orang merasa ngeri sekaligus iba.

“Apa benar dia sudah mati?” tanya Pak Khamidjo


“Iya.. lihatlah karena harta, kita semua membunuh satu nyawa yang tak berdosa.
Betapa kejamnya kita? Betapa bodohnya kita yang lalai mempedulikan sesama
hanya karena harta duniawi yang sifatnya hanya sesaat ini” jelas Ibu si penjual
cabai.
“Inanilahi wa inailahi rojiun. Astagfiruallah maafkanlah hamba yang hina dan
berlumuran dosa ini ya Robb,” kata pak Khamidjo beristigfar setelah melihat tubuh
gadis kecil yang kemarin diusirnya terbujur kaku dan biru.

Di samping mayatnya terdapat gambar serta kalimat yang begitu


menggetarkan jiwa sekaligus menampar jiwa yang lemah. Dalam gambar itu terlihat
orang-orang dengan ekspresi marah dan menakutkan. Di bawah gambar itu
bertuliskan sebuah kalimat, “Kasihanilah mereka yang tidak mengasihaniku ya Allah”
dan di sebelahnya lagi terdapat gambar sebuah keluarga kecil yang bahagia. Di
mana gadis kecil itu di tengah dan sedang menggandeng tangan orangtuanya. Di
bawah gambar tersebut terdapat tulisan yang berbunyi, “Ayah.. Ibu akhirnya aku
menyusulmu”. Semua pasang mata yang menyaksikan secara langsung peristiwa itu
tak kuasa menahan air mata. Seakan mereka baru mengetahui dan sadar betul
bagaimana menderitanya gadis kecil tunawisma yang tak berdaya dengan
kehidupan yang keras dan tandas yang dialaminya.

Hari-hari berikutnya setelah kejadian itu. Suasana pasar yang semula liberal
mendadak menjadi pasar yang suka berbagi dan mengasihi. Semua orang terlihat
bahagia dan tentram meski terkadang penyesalan datang jika mengingat kematian
gadis kecil tunawisma yang malang.

Anda mungkin juga menyukai