Anda di halaman 1dari 3

TANGISKU DI SERIBU PERTAMA

Walidah Ariyani

Hidup bukan apa yang melekat pada diri kita, tapi hidup tentang diri kita sendiri dan apa
yang ada di dalamnya

***

Namaku Tuty. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku bernama Nur. Suamiku,
sebut saja Rudi. Ia seorang karyawan di sebuah perusahaan di kota Banjarmasin.
Penghasilannya sehari 800 ribu bahkan lebih. Aku selalu mendapatkan jatah harianku
sebanyak 400 ribu, itu tidak termasuk biaya makan dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Uang 400 ribu sehari di tempatku tinggal merupakan jumlah yang besar untuk
seorang ibu rumah tangga. Maka, aku sering menghabiskan uang itu untuk berbelanja
pakaian di toko langgananku. Jika tak membeli pakaian, hobiku selanjutnya pergi ke salon.
Merawat rambut, kulit juga kuku. Kadang aku melentikkan bulu mata pun di salon.
Rudi bekerja sehari penuh, kalau ada lembur ia malah tengah malam baru sampai ke
rumah. Aku tak terlalu peduli. Bagiku asal Rudi memenuhi semua kebutuhan rumah tangga
dan jatah harianku selalu ada, maka pulang jam berapa pun aku tak marah kepadanya.
Anakku dua. Mereka baru lulus SD dan kumasukkan pondok pesantren. Tiga bulan
berjalan setelah anakku mondok, Rudi berubah dan … ia menceraikanku secara tiba-tiba.
Hatiku mendadak jeri. Sakit yang teramat sangat. Aku tak pernah membayangkan
akan menjadi janda dan anakku, semua memilih Rudi. Semenjak perceraian itu, Rudi tak
pernah membagi apa pun harta kepadaku bahkan semua pakaian yang kumiliki. Hanya apa
yang kukenakan saat keluar rumah.
Gerimis membasahi hatiku setiap hari. Tak ada lagi baju baru, bulu mata lentik atau
medicure pedicure. Rambutku tampak kusam. Bibirku pucat dan kukuku tak lagi mengilat.
Kehidupanku benar-benar berubah 180 derajat.
Aku hampir saja gila. Tak makan dan hanya melamun setiap hari. Beruntung, Kak Nur
selalu menemani. Memberiku semangat untuk bangkit dan mengikhlaskan semuanya.
Kini, dua pekan sudah aku menjanda. Aku tak ingin terus hidup seperti ini.
Bergantung dengan Kak Nur yang juga serba pas-pasan. Dengan menahan malu, aku
meminta tolong Kak Nur untuk memberi pinjaman modal.
***
Hari ini, hari pertama aku resmi berjualan di sekolah. Persis seperti Kak Nur. Hanya
saja daganganku adalah telur dadar yang dililit dengan lidi. Pembeli pertama datang dari
anak kelas dua. "Berapa telur lidinya, Cil?"
"Seribu," ujarku.
Anak itu pun memberikan selembar ribuan lecek kepadaku. Tanganku bergetar,
mataku memanas. Ini adalah seribu pertama hasil keringatku sendiri. Lembaran berharga
lebih dari sekadar setetes air di gurun sahara. Kuciumi kertas lusuh itu. Aku tak peduli meski
ia berbau dan kotor.
Seribu perak yang teramat berharga. Perlahan kuletakkan lembaran itu di atas meja.
Kutekan perlahan seraya meratakannya dengan jari-jariku. Kulipat pelan dan kusimpan di
dalam dompetku yang masih kosong.
Kupandangi satu wajan dan kompor kecil, tumpukan lidi, dan satu rak telur. Modal
pertama yang kumiliki hari ini. Mataku berembun. Tak pernah hadir dalam bayanganku,
hidup akan menjadi sesulit ini.
Betapa aku bangga dengan uang yang kumiliki selama ini. Betapa aku bangga dengan
baju-baju baru yang kubeli, meski tak semua pakaian itu cocok untukku. Betapa bangganya
diriku yang setiap saat bisa ke salon atau bergosip ria dengan teman-temanku. Semua
kebanggaan yang kumiliki sirna.
Sekejap saja Tuhan mengubah hidupku. Tak ada lagi yang patut aku banggakan. Aku
harus menata hati, menata diri, dan tidak menjadi gila dengan semua ini. Kudekap erat
dompet dan seribu rupiah di dalamnya. Kertasnya lusuh, baunya tak sedap, ia begitu lecek.
Hal yang dulu kuabaikan, tak ada arti uang seribu bagiku.
Gegas kuhapus bulir bening yang hendak keluar, anak-anak mulai banyak
berdatangan. Ah, seribu rupiah itu kini berdatangan. Menyapaku dan menyadarkan arti
syukur dan juga bahagia yang sesungguhnya.

***
Spirit of life
Masa depan, tak ada yang pernah tahu. Bahkan sekian detik setelah sekarang.
Kadang kita terlena, aman di zona nyaman, dan merasa baik-baik saja. Namun, ketika semua
tiba-tiba berubah, kita tak siap. Hati begitu sakit, sedih luar biasa, bahkan bisa jadi
menyalahkan Tuhan akan apa yang terjadi. Kita kadang lupa semua bisa saja adalah ujian,
bisa juga sebagai peringatan. Tuhan cemburu pada kita. Kita yang lupa bersyukur dan tidak
mengingat-Nya manakala bahagia ada.
Ada baiknya mempersiapkan diri sejak dini. Bahagia bukan dari materi. Bahagia
bukan dari rupa. Bahagia itu dari hati. Jalanilah hari dengan penuh rasa syukur, apa pun
keadaannya, susah atau senang, kaya atau miskin, makan atau belum. Syukuri. Cukupkan
rasa itu di dalam hati agar bahagia yang datang tidak menjadi semu, tidak fana, yang kelak
akan hilang tanpa diduga. Ikhlaslah pada apa yang terjadi. Dengan ikhlas akan membuat hati
tenang dan nyaman. Beban hidup menjadi ringan. Terakhir, berbagilah. Tak ada yang akan
habis ketika kita mau berbagi. Justru akan banyak datang keberkahan di dalamnya. Rasa
cukup yang tiada habisnya.

***

Profil Penulis :
Walidah Ariyani. Wanita kelahiran Biih, Kalimantan Selatan ini telah menulis lebih dari
seratus antologi dengan genre berbeda. Menelurkan buku solo anak Uniknya Diriku,
kumpulan puisi Jejak dalam Sajak, dan Memilih Bahagia di Usia Senja; buku motivasi yang
akan segera rilis. Penulis dapat dihubungi melalui akun facebook : Walidah Ariyani

Anda mungkin juga menyukai