Anda di halaman 1dari 9

IBU ADALAH CERITA TANPA AHIR

“ IBU KU PAMIT ISTIRAHAT KEMUDIAN DIA TIDAK TERBANGUN LAGI

SELAMANYA”

Tak kan habis kata menceritakan tentang ibu, ibu adalah jendela dunia, warna hidup,

belahan jiwa. Dan ibu adalah waktu. Ibu adalah rumah singgah

Namanya Dalmi, dia lahir dari keluarga sederhana di sebuah pedesaan Bumiharjo,

Klaten, Jawa Tengah, hidup dalam keluarga pedagang dan petani seperti masyarkat biasa nya

lainnya. Setiap harinya sebelum berangkat sekolah selalu membawa bakul kecil berisi sayuran

untuk di pasarkan.

Kulitnya putih bersih, rambut ikal, bola mata coklat, perawakan nya tidak terlalu tinggi.

Sosoknya periang, tidak terlalu asing ketika banyak orang bercerita bagaimana pesona ibu saat

muda. Sampai di saat tiba seorang pemuda yang tersohor dengan pandai mengaji yang

mempersunting ibuku bapak Wiji Nurudin, yang kini namanya melekat erat di belakang nama

panjangku.

Setelah menikah dengan ayah, lahirlah aku, putri kesayangan yang ia beri nama Siti

aminah, kami tinggal di rumah joglo khas .rumah kejawen. keseharian hidup ku dihadapkan

dengan kehidupan para santri yang menimba ilmu agama dirumah, ibu menjadi wanita sempurna

di pandang hampir semua msyarakat, dan ayah selalu di hormati karna ilmu agama nya yang

terus berkembang di masyarakat, dan aku menjadi putri kecil kebanggan bagi ayah, ibu dan

satrinya. Sampai lahirlah seorang bayi laki-laki idaman ayah. Hidup kami masih baik-baik saja.
Tahun 1995, ayah memutuskan untuk merantau transmigrasi ke Jambi. Dengan bekal

seaadaya kami memulai kehidupan yang baru. Ayah mulai membuka ladang di belakang rumah,

ibu sesekali membantu perkerjaan ayah di kebun. Dengan membawa kami anak-anaknya. Kebun

yang selalu membuahkan sayur mayor, buah-buahan yang selalu melimpah untuk mencukupi

kehidupan kami sehari-hari.

Waktu terus berlalu dari profesi ibu yang menjadi petan dan ibu rumah tangga ibu

berganti peran menjadi kuli panen bersama rekan-rekannya.. Kebutuhan ekonomi semakin

bertambah, Kala itu aku sudah duduk dibangku SMP. Setiap pagi setelah subuh, ibu sudah

menyelesaikan tugasnya, menyediakan makanan kebutuhan ayah, aku dan adek. Kemudian ia

pergi berkerja membawa peralatan menjadi kuli panen sawit. Dari satu ladang sawit ke ladang

berikutnya, ia kayuh dengan sepeda warna hitam, pemeberian ayah. Sesekali saya digonceng

dikala libur menemani ibu menjadi kuli angkut buah sawit di lading orang di sela menunggu

hasil panen dari ladang sendiri.

Setiap malam rabu, ibu selalu meminta ayah menjemputku di kost-kost an. Dan

membawa kami kepasar malam. Dia bahagia sekali walapun kami pergi dengan mobil engkel

satu-satunya alat transportasi kebanggan di desa kami kala itu. Dengan uang seaadanya ibu

berusaha memenuhi semua keinganan ku. Membeli buku baru, gulungan poster band

kesayangan, Tas baru atau terkadang baju bekas dengan sangat teliti ibu pilih untukku. Ibu selalu

berkata, kulitas baju bekas lebih baik dari pada baju baru yang dibeli dari pedagang lain.

Kondisi keluarga kami kala itu jatuh bangun, Ibu hanya mengandalkan gaji bulanan hasil

penjualan sawit, dan gaji buruh ibu untuk memenuhi semua kebutuhan ekonomi kami. Setiap di

ahir bulan ibu selalu meminjam uang kepada saudaranya untuk membiayai sekolahku. Ibu tidak
pernah memikirkan bagaimana kondisi keungan di rumahnya, asalkan saya bisa membawa bekal

uang jajan. Dia sudah lega sekali. Sampai ahirnya ibu membuka toko minyak kecil-kecilnya di

depan rumah. Kegaiatan sehari-ibu hanya dari toko dan rumah.

Usahanya terus berkembang sampai ahirnya dia mampu membiayai aku menjadi Seorang

perawat di sekolah yang cukup bergengsi di Jambi. Ibu selalu bangga ketika aku memakai

seragam serba putih. Denga topi perawat dikepalaku. Tidak sampai disitu ibu berpuas hati.

Beliau terus mendorong aku terus berproses dalam pendidikan. Hingga aku menyangdang gelar

Sarjana Kesehatan Kemasyarakatan.

Ibu terus memanjakan aku sebagai putrid dirumah nya, bahkan sampai lulus kuliah, aku

menjadi gadis pengangguran yang tak pernah dia tuntut aku harus berkerja. Dia terus berkerja

keras memenuhi kebutuhan keluarga. Sampai dititik aku dipersunting oleh laki-laki yang sangat

ibu sayangi.

Ibu tidak pernah berhenti memperjuangkan ku, bahkan ketika aku sudah berumah tangga

sendiri. setiap hari selasa ibu selalu bergegas ke pasar kalangan yang jadwalnya seminggu sekali.

Sambil memenuhi kebutuhan took kecilnya, dia tak lupa memberikan sayur mayor, lauk pauk

untuk kebutuhan dirumahku. Ibu selalu bilang uang kalian di tabung saja. Untuk makan dan

belanja lain ibu bantu penuhi.

Betapa bahagianya ketika mengetahui aku sudah mengandung cucu pertamanya, semua

keinginan ku selalu di penuhi. Ibu selalu menyediakan daster ukuran terbaru setiap bulananya.

Semangka adalah buah kesukaan ku, dia selalu memnyediakan itu untukku, susu hamil yang

termahal bagi ukuran keluarga, selalu dia berikan kepadaku.


Azka Wiratama Al Ash Adalah cucu pertama yang ku lahirkan untuk kado ibuku. Azka

Adalah dunia baru baginya. Setiap hari tidak terlewatkan tanpa mengendong cucu pertamanya

itu. Kala itu anakku lahir di musim asap yang tak pernah hilang selama kurang lebih 40 hari.

Namun tidak mengurangi semngatnya untuk bolak balik mengunjungi cucunya. Setiap ia dating

membawa sayuran yang kata menurutnya berguna bagi ASI-ku. Makanan kesukaan ku. Dan

kembali kerumahnya membawa baju kotor cucunya. Setiap hari berulang seperti itu.

Ini lah titik awal ibuku mulai sakit. Pagi itu ibu duduk di meja dapur sambil menangis ibu

menahan sakitnya. Dan bersikeras untuk istirahat saja tidak ingin kerumah sakit. Namun keadaan

semakin memburuk suara hilang. Ahirnya kami melarikan kerumah sakit. Ibu di diagnose

Pneumonia pada paru-parunya. Tidak ada perokok dirumah itu kala itu. Dokter memperkirakan

penyakit itu akibat ibu sering bolak balik melihat cucunya di kala musim asap tanpa mengunakan

masker.

Singkat waktu ibu sudah mulai sembuh dari penyakitnya. Beliau kembali menjalani

aktifitas nya berjualan di toko kelontong sambil menjaga cucu kesayangannya Azka. Azka

adalah dunia ibuku. Semua kebutuhan azka ibu jamin. Susu premium, baju baru, stroller baru,

mainan baru semua dia berikan kepada cucunya. Azka tidak pernah pulang kerumah. Ibu

membuatkan tempat sendiri untuk baju azka dirumahnya. Kemana ibu pergi cucu kesayangannya

tak pernah di tinggal. Dia bahagia sekali dan masih Nampak sehat raganya.

Maret 2018, ini adalah perpisahan terberat antara cucu dan neneknya. Pertama perpisahan

antara ibu dan Azka. Ibu menjalankan ibadah umroh bersama rombongan. Selama di mekkah ibu

terus mengkwatirkan cucunya. Sampai kembalinya ke tanah air. Cucunya adalah orang yang

pertama kali di cari. Tentunya bukan hanya oleh-oleh yang beliau bawa. Adalah oleh paling
berkesan dari nya yaitu nasehat yang tidak pernah ku lupakan. Ibu menunjukan bongkahan

perhiasan dari mekah, sambil mengatakan “ ini adalah pemberian dari seseorang ditanah suci,

satupun tidak ada yang ku beli”. Beliau menyimpulkan dari pemeberian emas itu, Ditanah Suci

setiap kebaikan langsung dibalas kontan oleh allah SWT.,selalu berbuat baiklah kepada semua

orang”. begitulah nasehat terbaik yang masih aku ingat dengan baik.

Masa pandemik covid-19 di ahir tahun 2019 adalah titik awal kehidupan berubah, toko

kelontong ibu mulai sepi pembeli. Ibu hanya mengandalkan hasil panen kebun sawitnya untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Sampai suatu hari dia terjatuh di kamar mandi dan mengalami

cidera tulang belakannya. Setelah dilarikan kerumah sakit. Ibu kembali menjalani aktifitasnya.

Masih berusahan mencari rejeki sesekali menahan rasa sakit tulang belakangnya. Namun tidak

pernah lupa mengasuh cucu kesayangannya. Membuatkan semua makanan kesukaan cucunya.

Hingga cucunya terlelap tidur malam.

Tubuh ibu semakin terlihat kurus. Namun parasnya semakin cantik dilihat. Kulitnya

semakin putih. Dia selalu menghibur kami dengan penampilan barunya. Namun tak lebih semua

itu adalah efek gula darah di atas normal dan cidera tulang belakangny yang sesekali ia

sembunyikan dari kami sekeluarga.

Maret 2020, Aku menjalani aktifitas seperti biasa, sibuk dengan toko hijab, perkerjaan ku

sebagai penyuluh KB dan beberapa aktifitas sosial lainya yang aku ikuti. Di awal bulan ibu

masih baik-baik saja. Menjali aktifitas seperti biasa. Bercanda dengan cucunya. Menyiapkan

makanan kesukaan ayahku. Namun berbeba di minggu kedua, ibu ku mulai terlihat lemah, nafsu

makan mulai menurun. Namun ibu, enggan kami bawa kerumah sakit untuk berobat.
Tubuh ibu semakin kurus, raut muka yang ceria kini berangsung kurang, dia mulai susah

berjalan, tubuhnya lemah sekali. Bahkan untuk makan saja tidak nafsu lagi selain buah-buah-an

yang dia suka. Ahirnya kami memutuskan membawa berobat ke alternatif. Ibu kembali terlihat

sehat, beraktifitas seperti sedia kala. Namun siapa sangka kemudian terlihat lemah kembali.

Duduk bersama di teras belakang setiap sore adalah kebiasaan ibu setiap sore, sambil

melipat baju kering yang beliau cuci di pagi hari. Namun berbeda di sore itu. Ibu duduk sambil

nenahan sakitnya. Mulutnya yang mungil tiba-tiba berpesan “ ibu sudah tulis semua hutang ibu

kepada orang-orang, nanti kalau ibu mati tolong bayarkan ya”. Hatiku bergetar kala itu. Namun

aku menyangkal itu hanya lulucon biasa. Aku yakin ibu akan sembuh dan kembali bercanda

dengan cucunya lagi.

Namun kiranya berbeda, keadaan ibu semakin memburuk kami melarikan ibu kerumah

sakit lagi. Rumah sakit dimana aku menimba ilmu rumah sakit Dr Bratanata. Dia hanya ingin

kerumah sakit itu. Karna hanya rumah sakit itu yang ibu kehendaki. Aku tidak sempat menunggu

ibu, karna anak-anak ku tidak ada yang menjaga dan mengasuhnya. Ibu bersama suamiku

dirumah sakit. Tidak sulit mengontrol keadaan ibu, karna sebagian besar perawat dirumah sakit

itu adalah rekan sebaya.

26 Maret 2020. Itulah terahir kali aku melihat senyum ibu terahir kali. Terahir kali

mencium kening ibu.kala itu bicara ibu sudah berbeda beliau hanya berkata “ aku tak kerumah

sakit sek, tak leren, ati ati momong anakmya”. Tepat pukul 15.00 WIB, semua keadaan berubah

dari informasi yang semula keadaan ibu baik baik saja. Aku harus menerima kenytaan bahwa

ibu sudah tiudak ada. Rumah ramai sekali kedatangan tamu untuk bertandang menunggu

kedatangan ibu. Kala itu berasa mimpi, siaran masjid akan berita perginya ibu nyaring sekali
terdengar. Aku hanya bisa menangis. Beberapa jam kemudian ibu datang kembali kerumah,

namun dengan keadaan yang berberbeda kulitnya putih pucat, tidak lagi bersuara, tubuhnya

kaku, namun ada yang berbeda dia tetatp harum dan bertutup selembar kain. Yahhh… ibu sudah

benar-bener istirahat

Sepeninggal ibu, aku masih belum menerima kenyataan, aku pikir ibu hanya pergi

sementara ke pasar belanja kebutuhan toko kelontongnya namun beliau belum kembali. Aku

terus menawar takdir andai ibu masih ada. Namun aku tetap menikmati peran ku menjadi ibu

dengan dua rumah yang harus aku urus, terus berkerja dan berjualan hijab seperti biasa.

Ada banyak hal yang berubah, aku tidak pernah lepas dari bayangan ibu, hamper setiap

malam aku tidak pernah bisa memejamkan mata, bayangan ku ibu masih ada dan memeluk

cucunya dirumahku, setiap tengah malam aku seperti melihat ibu terbangun sembayang,

kemudian kembali kerumahnya sebelum azan subuh, bayangan ibu selalu menghantui ku.

Terkadang aku tak sanggup dan sesekali jika ingin mengalihkan memori tentang ibu, aku harus

menginap di rumah mertua. Sesekali takut merepotkan orang lain, suami ku membawa untuk

menginap tidur di kantor.

Semakin hari bayangan ibu semakin menghantuiku, aku semakin takut mengunjungi

makam ibu yang letaknya tak jauh dari pintu rumahku, setiap hari setiap membuka pintu, hati

terasa teriris. Sampai dititik aku sendiri marah, kenapa aku tidak mampu melewati semua itu.

Aku mulai menyalahkan keadaan, kenapa ibu harus dikubur tepat dibelakang rumahku. Hidupku

mulai tak nyaman, seperti trauma yang tidak bisa hilang. Sakit rasanya ketika melihat makam

ibu. Sakit kenapa secepat itu, ibu pergi.


Setahun pertama begitu sulit aku lalui, menjalani hidup tanpa ibu. Berbagai cara aku

lakukan agar trauma ini hilang. Sampai suatu hari ada secerah kebahagian, adik ku menikah. Aku

kembali memeran peran ibu. Diamana aku harus mengantikan peran ibu, mencari uang untuk

pernikahan adikku. Kaki jadi kepala kepala jadi kaki. Asal aku bisa memenuhi keinginan ibuku.

Sampai ahirnya aku terjatuh sakit. Dan hampir semua orang kala itu memujiku karna porsi badan

ku tidak seperti ibu masih ada. Badan ku mulai kurus, pikiranku mulai tertekan karna keadaan.

Namun aku lega kala itu. Aku seperti menjadi ibu, ibu yang mendampingi anak laki-laki nya

menjemput pengantinnya.

Kesedihanku mulai berkurang jam tidurku kembali normal, namun itu hanya sementara.

Kembali setiap malam aku teringat bayangan ibu. Bahkan dirumah sendiri ke toilet pun aku

tidsak berani. Sepertinya ibu selalu ada di belakang rumahku. Berdiri menunggu cucunya dan

memanggilku. Bayangan itu terus aku alami.

Sampai sekarang, di tahun ke dua ibu pergi, keadaan masih tidak berubah. Banyak sekali

ketakutan yang aku alami, setiap mendengar berita kematian dari masjid, setiap mendengar berita

orang di bawa kerumah sakit, bahkan aku masih takut ketika aku melewati rumah sakit dimana

trahir ibu terbaring di UGD, aku masih trauma melihat barang-barang ibu. Setiap pulanng dari

berpegian aku tak pernah melihat toko ibu, halaman belakang rumah serasa ibu berdiri dan ada

menunggu ku pulang.

Kantor penyuluh KB Bahar Selatan adalah tempat ternyaman aku saat ini, ahirnya aku

putuskan untuk sesekali menginap disini. Aku semakin nyaman bahkan aku jarang sekali pulang

kerumah setelah aku lelah bekerja. Jika sering ku lihat orang lain pulang kerumah setelah lelah

bekerja adalah surga, namun tidak bagiku, bagi pulang kerumah adalah neraka duniaku. Aku
selalu memberi alasan kepada setiap orang yang bertanya, kenapa aku tidak pernah pulang dan

menutup toko hijabku. Dan memilih hidup seaadanya di kantor yang jauh dari pemukiman

warga. Beribu alasan aku berikan, aku capek bolak balik kerumah, kerjaan kantor banyak sekali

atau apapun itu ku jadikan alasan agar aku tetap baik baik saja dan mulai menyembuhkan aku

dari trauma kehilangan, tauma kehilangan ibu, ibu adalah segalanya bagiku. Kehilangan adalah

sakit yang belum pernah aku temui obatnya.

Ini adalah cerita tentang ibu ku.

Terima kasih ibu, aku pasti akan baik-baik saja suantu hari nanti, tenang disana ya, aku akan

selalu mendoakan mu, ibu terbaik-ku

By : SITI AMINAH NURUDIN

Anda mungkin juga menyukai