Anda di halaman 1dari 7

IBU PULANG

(Ahrish Hidayah)
Gerimis membasahi bumiNya seiring suara adzan yang mengantarnya pulang. Tak
ada yang menyangka, sulit untuk percaya. Kemaren kita masih bersama, masih
bercerita seperti hari-hari yang kita lewati selama ini. Jum'at sore Ibu masih terlihat
segar saat kami berpamitan pulang, bahkan mengantar di depan rumah seperti biasa.
Sabtu pagi seperti biasa selepas joging, kami mengunjunginya kembali. Ya, walau
memiliki rumah sendiri, kami masih sering menemaninya, sehingga Ibu tak pernah
merasa kesepian.
Tak ada sambutan seperti hari-hari biasanya, selalu menyambut kedatangan anak
cucunya dengan senyuman. Kulihat di kamar, beliau meringkuk berselimut tebal.
Ada bekas kerikan di punggungnya. Bulik yang setiap hari membantu di rumah,
telah mengeriknya dan meminumkan teh panas . Saat kupegang badannya terasa
dingin, tapi tak ada keringat. Minyak kayu putih telah kuratakan di sekujur
tubuhnya. Tak ada pilihan lain, beliau tak menolak ketika aku meminta suami serta
bulek mengangkatnya ke mobil untuk ke UGD. AAIbu sebenarnya adalah orang
yang sangat peduli dengan kesehatan. Setiap bulan dengan tertib beliau mengikuti
jadwal cek rutin di prolanis. Alasan lainnya, kegiatan prolanis membawanya
bertemu dengan teman-temannya sesama pensiunan guru. Ya, ibuku mengabdikan
diri sebagai seorang guru. Bertemu dengan teman-teman seusia membawa aura
positif baginya, seperti yang kami dengar dari ceritanya.
Siang itu setelah rangkaian pemeriksaan di IGD RS Muhammadiyah, Ibu harus
masuk ruang ICCU. Bersegera aku mengabarkan kepada seluruh keluarga , meminta
membantu dengan do'a. Tak sampai malam, seluruh anak Ibu telah berkumpul. Ibu
tak pernah sakit sehingga harus opname sebelumnya. Kami menunggui di luar
ruangan, karena di ICCU pasien hanya boleh ditunggui 1 orang, maka kami
bergantian. Ketika ibu telah tertidur, aku diminta keluar ruangan agar Ibu bisa
beristirahat dengan tenang. Kami mulai membuat jadwal piket jaga. Bapak , adik
lelakiku dan suamiku pamit pulang. Bapak sudah tiga hari sakit sehingga tidak bisa
menunggui ibu di Rumah Sakit, maka suamiku mengantarnya pulang sekaligus
menengok anak-anak. Adik lelakiku harus menunggui istrinya yang juga opname
karena kehamilannya sedikit bermasalah. Malam itu giliranku bersama adik
perempuanku.
Jam 01.00 petugas ICCU memintaku yang tengah tertidur ayam di serambi masuk
ke dalam karena ibu mencari. Ketika aku masuk, Ibu tampak kesakitan, merasakan
nyeri di ulu hati, di dada sehingga menembus tulang belakangnya. Aku memegang
tangannya yang dingin, sambil menuntunnya agar menyebut asmaNYA untuk
meringankan sakit.
"Ibu, nyebut Buk... "
"Allah.. Allah... Allah.. "
Melihatnya kondisi ibu, ada rasa kekhawatiran di hatiku. Aku meminta ijin keluar
memanggil adik agar boleh ikut masuk, membantu berdoa meringankan sakitnya
Ibu. Ruang ICCU sedang sepi, hanya Ibu pasien satu-satunya. Jadilah kami bertiga
saling menguatkan dalam doa. Sampai Ibu yang tak pernah kehilangan kesadaran
selama di ICCU meminta kami membacakan surat Yaasiin. Ibuku seorang guru
agama, beliau sangat memahami fadhilah membaca surat yaasiin. Surat itu jika
dibacakan pada orang yang sedang sakit, bisa meringankan sakitnya jika umurnya
memang masih panjang. Jika umurnya memang sudah usai, maka akan
memudahkannya menghadapi sakaratul maut.
Itulah penyesalan terbesar kami berdua. Tak dapat membacakan surat Yaasiin untuk
Ibu, karena sedang berhalangan. Hanya memutarnya dari you tube. Ibu merasa
kurang mantap, akhirnya meminta kami memanggil Bapak yang juga sedang sakit
untuk datang dan membacakan surat Yaasiin. Jadilah malam itu adek lelakiku yang
tengah menunggui istrinya opname menjemput bapak, sedang suamiku menjaga
anak-anak. Ada perasaan lega permintaan Ibu untuk dibacakan surat Yaasiin
terpenuhi.
Menjelang subuh, Ibu bisa beristirahat dengan tenang. Tidurnya nyenyak, tidak lagi
merasa kesakitan. Bapak dan adik lelakiku pamit untuk pulang.Tinggallah aku dan
adik perempuanku. Ibu menunjukkan perkembangam yang bagus, kondisinya stabil.
Alhamdulillah.. kami bersyukur. Kami segera mengabarkan di WAG keluarga.
Kami mengatur giliran pulang. Aku pamit pulang lebih dahulu, membersihkan diri.
Suamiku sedang kerja bakti yang wajib diikuti seluruh warga, karena lingkungan
kami terkena wabah DB, rencana akan menyusul selepasnya berkegiatan.
Jam 10.00 aku kembali ke ICCU. Kutanyakan pada adik yang menjaga, kondisi Ibu
stabil. Dan kulihat Ibu tak mengeluh, masih dalam kondisi sadar. Kami masih bisa
berbincang.
Aku memegang kakinya terasa dingin, lalu kubalurkan minyak kayu putih,
sementara adikku di samping kepalanya. Ibu terlihat terlelap, tenang. Kami tak
menyadari, jika ketenangan itu ternyata menyimpan sesuatu.
Sampai para perawat di ruangan ICCU yang memperhatikan lewat monitor
menyampaikan jika ibu kritis, kondisinya ngedrop.
"Panggil dokter... Panggil dokter... "
Hati kami rasanya tak terperikan. Kaki seperti tak lagi berpijak di bumi. Rapalan doa
tak berhenti kami langitkan. Hanya air mata yang mengucur deras, mengiringi
penjelasan dokter bahwa semua pertolongan medis telah diupayakan. Namun
penyumbatan pembuluh ke jantung diperparah kadar gula yang tinggi membuat
jantung Ibu tak kuat memompa lagi. Tinggal berdoa, meminta seluruh keluarga
mendoakan. Kami mengirim pesan di WAG keluarga.
Beriringan gerakan tangan dokter memompa jantung, kami membisikkan kalimat di
telinga Ibu,
"Laa I La Ha Illa Allahu, Muhammadar Rasulullah"
Detik demi detik menjadi sangat berarti, nadi ibu hilang timbul. Kami masih
berharap ada keajaiban. Gerakan tangan dokter memompa dada ibu , dikelilingi para
perawat beriringan doa yang kami langitkan.
"Ibu ..., jantung ibunya sudah berhenti." suara dokter itu serasa menghentikan detak
jantung kami sendiri.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun"
Merimbang air mata mengiringi kepulangan Ibu. Kematian yang indah, ditunggui
dan dituntun anak-anaknya. Bahkan, anak-anak dan menantunya yang memandikan
jenazah dan memakamkanya. Kepulangan seperti yang selalu diinginkannya. Ibu
selalu berharap jika kelak Izroil menjemput, agar dimudahkan dan dipercepat.
Jangan sampai dirinya menjadi beban anak cucunya di hari tua selama bertahun-
tahun. Ketika kami bertanya mengapa demikian? Bukankah sudah kewajiban
seorang anak merawat orang tua?
Ibu menjawab, karena ia tak ingin anak-anaknya menanggung dosa. Menurut Ibu,
jika anak tak bisa sabar, orang tuapun tak bisa sabar dalam ujian itu, hanya
menumpuk dosa. Allah mengabulkan do'anya. Doa seorang perempuan yang selalu
menderaskan ayat suci selepas maghrib hingga isya' dan selepas subuh. Kini, tak kan
pernah kami dengar lagi suara Ibu mengaji.
Kepulangan Ibu, berarti telah tertutup satu pintu surga untukku dan hilangnya perisai
dalam hidup ini. Segala kemudahan dan kenyamanan dalam hidupku selama ini
adalah karena Ibu yang selalu menjadi perisainya. Perisai yang menjelma dari sujud
panjangnya di setiap malam sunyi, dari lapar dahaganya di setiap hari lahirku dan
karena putaran panjang tasbihnya. Semua itulah yang menembus dan membuka
pintu langit.
Minggu, 27 Januari 2019 adalah hari terakhir bersua Ibu di dunia, sebelum
membaringkan di pembaringan abadinya.
Selamat jalan, Ibu ....
Al Fatehah ....
SELIMUT UNTUK ANTIKU
Suara yang menggema di speaker musholla minggu siang itu, membuat siapapun
yang mendengarnya sulit untuk percaya dengan pendengarannya sendiri. Tak ada
kabar tentang sakitnya Ibu. Kemaren Ibu masih berbelanja di tukang sayur
langganannya, masih ngobrol dengan tetangga. Beliau masih menyapu halaman
rumah pagi itu, seperti biasa dilakukannya selepas bertadarus.
Begitulah ... saat pagi rumah sepi, ibu yang telah purna tugas mengajar, memilih
mengumpul berbincang-bincang dengan tetangga. Lalu beliau akan memasak,
sambil menunggu bapak pulang berdagang di pasar. Mereka akan menonton televisi
sampai dzuhur sambil menanti anak-anakku pulang sekolah. Ya, sebagian besar
waktu mereka, di rumah Ibuku yang dipanggilnya dengan sebutan kesayangan "
Antiku" , keseleonya lidah anak kecil dari kata Eyang Putri-ku.
Kami tentu merasa aman dan nyaman menitipkan anak-anak di rumah eyangnya,
selagi beraktivitas. Di bantu Bulek yang mengasuh mereka sejak bayi. Anak-anakku
menjadi hiburan bagi nya. Walau kadang, pertengkaran rebutan remote televisi, ribut
ala anak kecil membuat rumah ramai, membuatnya gerah sesekali. Tapi jika anak-
anakku tidak ada, Ibu merasa kesepian, kecuali cucu-cucunya yang lain sudah
datang.
Sering Ibu "njajan" ke warung bareng anak bungsuku itu ...ya, jajanan anak kecil.
Mereka kompak. Kadang Ibu menungguinya bersepeda di teras depan,
membuatkannya telur dadar kesukaan cucunya. Dan, Ibu merasa bangga. Anakku
lebih memilih telur dadar buatannya daripada buatanku. Jum'at sore, 25 Januari 2019
telur dadar buatan Antiku terakhir yang dinikmati anak bungsuku. Entah mengapa,
selama satu minggu itu, anakku selalu merasa perutnya mulas setiap pagi sehingga
dia tidak masuk sekolah. Otomatis seharian penuh dia di rumah dengn Antiku,
mereka berkomunikasi intens selama itu.
Kedekatan emosional antiku dan anak-anakku tercipta melalui intensitas
komunikasi, dan pertemuan fisik. Menjadi rutinitas anakku sepulang sekolah,
menonton televisi atau tidur dengan antiku. Jika kami harus keluar kota, bersama
Antiku mereka tidur. Mandipun, anak bungsuku minta ditunggui antiku. Jika
berangkat sekolah dari rumah antiku, beliau akan mengiringinya sampai di depan
rumah, menyisir rambut cucunya, melepasnya dengan senyuman setelah sang cucu
mencium tangannya.
"Sinau seng tenanan yo le... engko minta di masakne sayur opo? "
Antiku tahu, anak bungsuku menyenangi sayur kunci buatannya, campuran jagung
muda dan bayam dengan lauk favorit tentunya, telur dadar buatan antiku.
Tak jarang, antiku meminta anak-anakku memijit telapak kakinya. Seringnya sih
justru Antiku yang memijit anak-anakku.
"Mesakne, pulang sekolah kelihatan capek banget." begitu katanya.
Anak-anakku memang tumbuh di bawah pengawasan antiku. Mereka wajib
mematikan televisi begitu adzan maghrib terdengar. Sebulan yang lalu Antiku
memberi sebuah Al-Qur'an dengan tulisan yang jelas untuk anak bungsuku.
"Anti ayem banget ngrungokne tole ngaji. Teko mburi krungu suarane banter. "
begitu Beliau sampaikan ke anak bungsuku.
Kemaren, kepulangan Antiku membuat mereka merasa kehilangan yang sangat. Aku
bisa merasakannya karena akupun demikian. Kami tak melarangnya saat mereka
ingin mengantarkannya ke pembaringan abadi. Mereka menyertakan selimut tebal
kesayangannya, menjadi selimut untuk antiku dalam tidur panjangnya.
"Berdo'alah selalu untuk antiku, anak2-ku ..., do'a kalian yang akan menjadi selimut
sesungguhnya bagi Antiku."

20 Komentar
Komentar

Puzie
Sedih bacanya ba, ibunya sakit apa ba

1
   · 

Balas

  · 1 tahun

Tri Widi Astutik


Dan sy mbrebes mili membacanya

1
    · 

Balas

  · 1 tahun

 Dyah Ekowati
Semoga husnul khotimah

1
   · 

Balas

  · 1 tahun

Mary Abdoeldjalil
Setiap x baca tulisan sampean
Aku jd inget simbok Di kampung …
Lihat Selengkapnya

1
   · 

Balas

  · 1 tahun

Firza Netrisia
Semoga ibu kita damai di alam nya kini ya mbak
Ahrish Hidayah
..
Ditempatkan Allah di Jannah Nya...
1
   · 

Balas

  · 1 tahun

Nunik Ismiarti
Semoga eyang uti husnul khotimah yaa lee dan disayang Allah

1
    · 

Balas

  · 1 tahun

 Sulistyaningsih Tya
Tulisan jeng
Ahrish Hidayah
membuatku trenyuh....smg beliau husnul khotimah

1
   · 

Balas

  · 1 tahun

Windiani Andi
Mbrebes mili tenan.., smoga Almarhumah Antiku-Kaka dan Lia husnul khotimah..

1
   · 

Balas

  · 1 tahun

Nikmatul Hidayati
Gak salah nek dadi juara menulis adikku sitok iki. Tulisane apik dan berhasil
membawa sang pembaca terhanyut ikut masuk dan merasakan sendiri apa yg ditulis
di cerita. Lanjutkan terus silaturohim dengan sana saudara dari beliau, begitu pula
dengan ka…
Lihat Selengkapnya

1
   · 

Balas

  · 1 tahun
Tulis komentar...

Anda mungkin juga menyukai