Anda di halaman 1dari 3

Adakah Kedamaian Untukku?

Cerpen Karangan: Ikke Nur Vita Sari


Kategori: Cerpen Islami (Religi), Cerpen Keluarga, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 10 March 2017

Sudah berhari-hari aku dan ibu beserta kedua adikku berpindah dari satu tempat ke tempat yang
lain. Tapi gejolak peperangan itu belum juga usai, seakan gelombangnya mengukuti kemana
langkah kami berjalan.

“Bu, aku lapar” rintih Yiyi, adik perempuanku yang paling kecil, “Iya sayang, sabar ya ibu sedang
memasak” aku tahu itu hanya ucapan untuk menenangkan Yiyi. Sedari pagi ibu tidak berhasil
mendapatkan makanan apapun, ayah yang sudah beberapa hari pergi belum juga memberi kabar
berita. Beberapa menit kemudian Yiyi terlelap sambil memegangi perutnya yang mungkin telah
melilit-lilit meminta untuk diisi.

“Bu” ucapku mendekati ibu yang termenung penuh tanda tanya, “Iya Yu?” ia menyambutku
dengan senyum, “Ibu tidak mencari nasi atau sagu?”, “Kamu lapar?” mendengar pertanyaan itu
aku menggeleng cepat, “Tapi kasihan Yiyi Bu, apa ibu akan terus membohongi dia?” ibu berdiri
dan terlihat menghela nafas berat. Ia menuju bilik, “Ibu tidak tahu Yu, ibu sangat bingung
memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan makanan” aku ikut merasa bingung melihat
gurat kecemasan di wajah ibu.

“Bu, kenapa kita diasingkan?” ibu kembali dengan membawa sepotong kain menutup pengganti
selimut, “Kita tidak diasingkan Yu, hanya saja kita diselamatkan”, “Lalu ayah kemana?” ibu
kembali menghela nafas sedih, “Ayahmu sedang berjuang, nak”. Hari berubah gelap, ibu
menemani kedua adikku yang terlelap semenjak sore tadi. Aku masih menatap kesunyian yang
semakin lama semakin mencekam, mengapa semua ini harus terjadi secara bertubi-tubi. Padahal
dulu hidupku tenang, bisa bermain bersama teman-teman serta merasakan yang namanya
sekolah. Namun semenjak keributan itu, semua hancur, hilang, lenyap tiada tersisa.

Adzan subuh terdengar sayup-sayup di telinga, biasanya ayahlah yang selalu adzan di bilik rumah
selama kami masih tenang. Tapi beberapa waktu ini aku merasa kehilangan malaikat itu, apakah
di sana ia bisa sholat dengan layak bahkan apakah di sana ia bisa mendapat jaminan makan
teratur. Ah semua itu semakin membuat dadaku sesak,
“Yu, bangun nak, ayo mandi lalu kita sholat jama’ah” ibu biasa membangunkanku dengan tetesan
dingin air wudhlunya.

Seusai mandi dan berwudhlu, aku segera menuju ke tempat sholat yang berada di bagian
belakang rumah dekat dengan dapur. Kulihat adikku Yoyo sudah bersiap menjadi seorang imam,
meski masih berusia 14 tahun ia sudah sangat fasih dalam hal bacaan sholat apalagi membaca Al-
Qur’an dengan tartil terindah. Aku sempat merasa bangga memiliki keluarga ini, dulu kakek dan
neneklah yang selalu setia mengajari kami cucunya menghafal bacaan sholat dan membaca
tilawati hingga Al-Qur’an. Sholat subuh berjamaah pun berjalan begitu khusyu’ dan khidmat, ibu
meneteskan air mata saat melantunkan do’a tulusnya membuat perasaanku pun ikut teriris.

Pagi ini aku ingin menghirup udara segar di luar, aku berkeliling kampung untuk mulai mengenal
suasana tempat tinggalku yang mungkin hanya beberapa waktu ini. Ada beberapa orang yang
menyapa, ada pula orang-orang yang tidak mempedulikanku sama sekali. Betapa damainya hatiku
melihat ketenangan suasana tempat ini, rasanya tidak akan sulit bagiku dan keluarga mengikuti
adat dan budaya di tempat ini.

Saat dhuhur berkumandang, aku pulang dan mandi untuk sholat dhuhur bersama ibu dan kedua
adikku. Kudengar Yiyi menangis lagi, “Ia pasti lapar” gumamku, kudekati Yiyi yang berada dalam
pelukan ibu, “Yi, adek jangan nangis ya” aku membelai rambutnya, ia berpindah duduk di
pangkuanku, “Rasulullah itu tidak suka umat yang cengeng” mata Yiyi terbelalak, “Yiyi nggak
cengeng, Yiyi lapar kak” suara Yiyi sangat lembut, “Yiyi masih cinta Rasulullah kan?” ia
mengangguk, “Kalau Yiyi cinta Rasulullah, kita puasa dulu ya untuk hari ini saja” ia terdiam,
“Rasulullah SAW selalu mengajarkan kepada umatnya untuk sabar dan kuat, karenanya adek
harus sabar dan kuat agar Rasulullah sayang sama Yiyi” adikku terdiam dan mulai menyeka air
matanya, ia semangat menjalankan shalat karena ia percaya pada ucapanku tentang Rasulullah
yang begitu menyayangi orang-orang yang selalu bersabar.

Sore harinya aku diajak tetangga untuk ikut mengaji, aku meminta izin pada ibu, “Bu, Yuyu mau
mengaji di masjid boleh tidak?” tanyaku, “Boleh sayang, Yuyu bawa Qur’an ini ya”, “Iya Bu,
Assalamu’alaikum” aku mencium tangan ibu, ia tersenyum sambil mencium kedua pipiku.

Sesampainya di sebuah masjid, banyak sekali santri-santri yang sudah berkumpul membentuk
lingkaran di samping seorang ustadz. Tidak berapa lama ustadz Soli memulai pengajian itu,
“Baiklah anak-anakku yang saya cintai, sekarang ustadz akan bercerita seperti janji ustadz
kemarin” Ustadz Soli menatap seluruh yang ada di dekatnya, “Ustadz akan memberikan cerita
tentang tauladan seorang sahabat dekat Rasulullah” semua santri merapat menyambut cerita sang
ustad yang ramah itu, “Ada salah satu sahabat dekat Rasulullah yang dikategorikan sebagai
Khalun Nabi (Paman Nabi dari jalur Ibu) bernama Sa’ad bin Abi Waqqash. Ia adalah seorang
prajurit yang begitu pandai memanah, dimana setiap do’anya selalu dikabulkan oleh Allah SWT,
karena ia tetap bertahan menjaga Rasulullah dalam meletusnya perang Uhud” Ustadz Soli
tersenyum, “Sa’ad begitu kokoh mempertahankan agama Islam, bahkan ibunya pun menentang
agama yang ia peluk. Tetapi ia tetap yakin dengan apa yang sudah dan sedang ia pertahankan.
Dari kisah Sa’ad kita meneladani betapa sebagai umat yang bertaqwa maka kita harus berani
membela agama kita. Walaupun nyawa adalah taruhannya” aku termenung sesaat.

Seusai mengaji aku bertanya pada ibu tentang apa yang telah aku alami tadi pagi. “Ibu, apa yang
harus aku lakukan?” ucapku, “Ada apa, Yu?”, “Tadi pagi waktu Yuyu sedang berkeliling kampung,
aku bertemu dengan kepala pemberontak itu” ibu terlihat sangat terkejut, “Lalu apa yang telah ia
lakukan kepadamu?” aku menggeleng, “Ia hanya memintaku agar ikut bersamanya dan ia berjanji
akan membuat hidupku bersama ibu aman, tapi sebagai gantinya aku harus melepas jilbabku juga
agamaku” ibu terdiam, “Kenapa, Bu?” ibu memelukku, “Lalu apa yang kamu katakan padanya?”,
“Aku katakan padanya bahwa tidak akan ada yang bisa mengganti jilbab dan agamaku bahkan
apapun itu, karena itu adalah harga diriku dan nyawaku” aku terdiam menatap ibu, aku begitu
ingat dengan kisah Sa’ad Bin Abi Waqqash yang begitu kokoh mempertahankan agamanya meski
semua keluarga termasuk ibunya tidak mengakuinya sebagai anak. “Semoga Allah yang Maha
Pengasih melindungi kita semua” ucap ibu tiba-tiba. Setelah melepas pelukannya, ibu merebahkan
tubuhnya di samping Yiyi.

“Ayah, maafkan aku yang tidak bisa melindungimu. Ya Allah hanya Engkau yang mampu
melindungi ayahku karena aku hanyalah hamba-Mu!”.

Siang ini sangat panas, aku telah menunaikan sholat dhuhur dengan damai dan memajatkan do’a
bersama ibu dan kedua adikku. Tiba-tiba saja aku mendengar keributan dari jalan seberang,
semua orang lari lintang pukang tak tentu arah bahkan tak mengenal sanak saudara demi
menyelamatkan diri sendiri. Aku berlari untuk mencari tahu ada apa sebenarnya, ternyata para
pemberontak itu menyerang dan berhasil menguasai kampung dalam hitungan menit. Kulihat
orang yang begitu kukenal berada di sana, mencoba melawan pemberontak dengan kekuatan
seadanya. Aku mendengar pukulan itu, “Duuukkk…” hampir aku berteriak, tetapi badannya lebih
dulu terjungkir dan terinjak-injak kawanan pemberontak itu. “Ayah…” kurasakan sesuatu mengalir
di pipiku, air mata ini tumpah saat melihat ayah begitu tak berdaya. Aku berlari ke rumah, kulihat
ibu sudah tidak ada di dalam karena hanya Yiyi yang tergolek lemas di karpet, “Yi, bangun adek
bangun ini kakak” kugoyangkan tubuhnya tapi ia tetap tak bergerak. Denyut nadinya berhenti,
aku menangis dan melangkah mundur untuk segera pergi dari tempat itu.

Jauh aku berlari tak kenal arah, ku temukan ibu di tengah-tengah warga yang menyelamatkan diri
dari pemberontak itu. Ibu memelukku sangat erat, aku tidak melihat Yoyo di situ bahkan di
manapun ia tidak ada. Dalam perjalanan ke kota, Asti teman mengajiku bercerita tentang Prof.
Didin yang tiba-tiba menjadi malaikat bagi warga yang sama sekali tak berdosa itu, “Profersor
Didin?” gumamku, entah salah atau benar aku sempat melihatnya berada di antara pemberontak
itu. Benarkah ia malaikat? Ya Allah kepalaku sangat pusing, aku melihat mata ibu sembab.
Semenjak kejadian itu, aku hanya tinggal bersama ibu karena ayah dan kedua adik tersayangku
harus gugur di medan perang. Prof. Didin semakin termahsyur di kalangan tempat tinggalku,
tetapi aku masih meragukan apakah ia benar-benar orang berhati putih. “Bu, ada yang Yuyu
pikirkan” ucapku, “Ada Apa, Yu?”, “Saat pemberontak itu membunuh ayah, aku melihat Prof.
Didin. Sebenarnya dia siapa?”, “Ibu tidak tahu”, “Yuyu takut, Bu”, “Serahkan saja semuanya pada
Yang Maha Kuasa, perbanyak do’a dan dzikir juga jangan sampai melupakan ajaran Al-Qur’an,
karena Al-Qur’an jugalah yang menolong kita nantinya”. Ibu benar, Al-Qur’an adalah penolong,
pengobat hati dan peneguh jiwa. Aku selalu bertanya apakah yang sebenarnya terjadi dan apa
yang harus aku lakukan. Mungkin aku hanya bisa menjawabnya jika aku sudah benar-benar
dewasa nanti. Tapi ternyata tidak butuh waktu lama untuk aku bisa mengerti semua ini, hanya
satu minggu saja aku bisa memahami apa yang terjadi. Prof. Didin telah berhasil ditangkap polisi
saat keberangkatannya menuju Eropa beberapa hari lalu, ia adalah dalang dari seluruh kerusuhan
yang terjadi.

“Maafkan ibu, nak” ujar ibu seusai sholat ashar, “Ada apa, Bu?” tanyaku, “Sebenarnya selama ini
ibu tahu jawaban dari semua pertanyaanmu” aku terbelalak dan mendekati tempat ibu duduk,
“Apa yang sebenarnya terjadi Bu?” lalu ibu mulai bercerita bahwa prof. Didin dulunya adalah
teman karib ayah, entah karena sebab apa semenjak ayah selalu berhasil mengambil semua yang
ia impikan, Prof. Didin mulai membenci ayah. Ayah pun tak mengerti apa kesalahannya pada Prof.
Didin, karena ayah tidak merasa menjadi perebut siapapun dan apapun. Yang paling fatal adalah
ketika Prof. Didin jatuh cinta pada ibuku yang ternyata lebih dulu dipinang oleh ayah, semenjak itu
ia berubah menjadi orang jahat dan bergabung dengan pemberontak-pemberontak itu. Karena
kesetiaannya, Prof. Didin diangkat menjadi ketua dan disitulah ia mulai menyusun rencana untuk
menghancurkan kehidupan ayah. “Subhanallah, Ibu”, “Iya, Yu”, “Lalu apa sebenarnya yang ia
inginkan?”, “Ia ingin membunuh ayahmu dan menikah denganmu” bukan kepalang terkejutnya
aku, selama ini ia yang selalu mengikutiku dan ingin memilikiku. “Ya Allah, terima kasih engkau
telah membukakan mata hamba-Mu!” ibu memelukku.

Malam itu kami melaksanakan sholat tahajud mengucap syukur pada Allah SWT. yang telah
melindungi hamba-Nya yang lemah. Akhirnya kutemukan kedamaian itu bersama ibu.

Cerpen Karangan: Ikke Nur Vita Sari

Anda mungkin juga menyukai