Anda di halaman 1dari 8

CAHAYA CINTA UNTUK AYA

“Ay, maukah kau menikah denganku?”


Kata-kata itu terus terngiang di telinga Aya. Hatinya begitu bahagia ketika
mendengar kata-kata itu diucapkan oleh Fatih, Gusnya, tiga hari lalu. Ketika itu, ada
pengajian Akbar di Ponpes Darussalam. Acara ini rutin diselenggarakan setiap enam bulan
sekali. Narasumber atau penceramah biasanya dari kalangan santri atau ustadz Ponpes,
tetapi tak jarang juga mengundang ustadz dari luar. Aya bersama santri putri lainnya sibuk
menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan demi kelancaran pengajian akbar malam
ini. Pengajian dilaksanakan di Aula Pusat Ponpes Darussalam dan dimulai ba’da Isya
sekitar jam 19.30. Dalam balutan jilbab warna biru muda, Aya tampak begitu anggun.
Wajahnya yang khas perempuan Indonesia terlihat cantik walaupun tanpa make-up. Sudah
tiga tahun sejak abahnya mengantar dirinya ke Ponpes ini. Kini, ia sudah menyelesaikan
studinya di salah satu Universitas Islam kota ini. Minggu depan acara wisudanya. Aya
merasa rahmat Allah begitu besar padanya.
Pengajian dihadiri kurang lebih dua ratus jama’ah, merupakan warga sekitar
Ponpes dan dari desa/Ponpes lain. Aya begitu semangat mengikuti acara. Tema yang
diangkat adalah Pernikahan yang Barokah. Jama’ah pun terlihat antusias. Narasumber
sengaja diundang dari luar kota. Seorang Kiai yang terkenal kearifannya. Entah karena
pesona atau memang keahliannya berceramah, Kiai tersebut dapat membuat perhatian
jama’ah tertuju hanya padanya. Acara berakhir pukul 23.00 WIB. Tugas para santri belum
selesai. Mereka harus kerja bakti membereskan tempat dan segala perlengkapannya.
Akhirnya, acara beres-beres selesai pukul 00.30. Aya dan teman-teman santri putri lainnya
berjalan pulang ke Pondok Putri yang jaraknya kurang lebih 500 m dari Aula.
Baru saja berjalan sekitar 50 m, seseorang menghampiri Aya. Aya agak terkejut
ketika ternyata orang itu adalah Gus Fatih, orang yang selama ini dikaguminya. “Ay, aku
ingin bicara denganmu sebentar. Bisa kan?” Aya bingung harus berbuat apa, malam
semakin larut. Pantaskah jika ia menuruti ajakan Gusnya itu?
“Apakah tidak bisa ditunda besok, Gus Fatih? Lagi pula ini kan sudah malam.”

Nama : Dewi Nina Sari 1


NIM : 082312004
Smt/Prodi : 3/KPI
STAIN Purwokerto
“Sebentar saja. Penting!!” Fatih membujuk. Aya semakin bimbang, namun
akhirnya ia bersedia.
“Baiklah, tapi benar lho cuma sebentar.” Ucap Aya. Kemudian ia menyuruh Suci
dan Wening, teman sekamarnya, untuk pulang ke pondok putri lebih dulu.
Satu per satu santri berjalan pulang ke pondok masing-masing. Sebentar saja Aula
sudah sepi. Hanya tinggal beberapa santri yang masih menyelesaikan tugasnya. Fatih
mengajak Aya ke belakang gedung Aula. Ia memastikan tidak ada yang melihat mereka
berdua kecuali Agung dan Imam. Dua sahabat karibnya itu memang ia tugaskan untuk
berjaga-jaga selama ia bersama Aya.
“Sebenarnya, Kang Fatih mau membicarakan apa to? Dan kenapa harus malam ini?
Nanti kalau ada santri yang melihat kita bagaimana?”
“Tenang saja, aku sudah menyuruh Agung dan Imam berjaga-jaga. Ini penting Ay,
aku tidak bisa menundanya lagi.”
“Kalau begitu lekas katakan.”
“Ay, maukah kau menikah denganku?” Fatih menatap mata bening gadis di
depannya. Walaupun dengan penerangan agak redup, Ia masih bisa melihat kedua mata
yang begitu jernih. Kedua bola mata itu dapat membuat siapa saja merasakan keteduhan
dalam hati. Sungguh indah ciptaan Allah yang satu ini.
Aya merasa jantungnya berhenti berdetak. Begitu kagetnya, hingga selama
beberapa menit ia berdiri mematung memandang kosong ke arah wajah di depannya.
Sungguh, ia tak percaya dengan apa yang dialaminya malam ini. Aya bingung. Apakah ia
harus bahagia atau sedih mendengar permintaan orang yang dicintainya itu.
“Mimpikah aku ya Allah?” Lirih Aya berkata.
“Tidak Aya. Kamu tidak sedang bermimpi. Aku benar-benar ingin kau menjadi
istriku. Besok aku akan bicarakan dengan abah soal hubungan kita ini. Abah pasti akan
mengerti. Lagi pula Insya Allah kita sudah cukup matang untuk membina keluarga.”
“Kapan Kang Fatih mau melamar Aya secara resmi ke rumah?”
“Rencananya tiga hari lagi, karena besok aku harus ikut abah berkunjung ke
Ponpes Al Huda selama tiga hari. Pemilik Ponpes itu adalah teman karib abah ketika masih
nyantri di Krapyak. Jum’at sore Insya Allah aku sudah kembali. Kemudian malamnya aku
akan ajak abah ke rumahmu untuk melamar. Bagaimana?”

Nama : Dewi Nina Sari 2


NIM : 082312004
Smt/Prodi : 3/KPI
STAIN Purwokerto
Aya melihat kesungguhan Fatih dengan rencananya itu. Dalam hati ia berdo’a
semoga Allah meridloi rencana ini. Hubungan mereka selama ini memang masih
sembunyi-sembunyi. Hanya santri tertentu saja yang mengetahuinya. Santri itu tentunya
adalah sahabat karib mereka yang bisa memahami kesungguhan cinta mereka.
“Sungguh indah rencanamu itu, Kang. Aya hanya bisa berdo’a semoga Allah
meridloinya. Aya akan menunggu datangnya hari bahagia itu.”
Dua insan itu saling pandang. Ingin Fatih meraih tangan Aya. Namun, diurungkan
niatnya. Ia akan menunggu hingga gadis di depannya ini halal baginya. Keduanya
tersenyum, berharap kebahagiaan yang mereka rasakan saat ini tidak akan berakhir. Berdua
berjalan perlahan. Mereka berpisah ketika hampir sampai di gerbang pondok putri. Lima
puluh meter lagi. Fatih berdiri mengawasi gadis yang dicintainya itu berjalan hingga hilang
di balik pintu gerbang, kemudian ia pun pulang menuju pondok putra.
***

“Mbak Aya! Kok ngalamun? Memangnya sedang mikirin apa to?” Suci menepuk
bahu Aya yang sedari tadi berdiri menghadap keluar jendela dengan pandangan kosong.
Melamun.
“Eh.. oh… Kamu ini bikin mbak kaget. Enggak kok, mbak nggak lagi mikirin apa-
apa”
“Halah… mbok jangan bohong sama aku mbak, Pasti mbak lagi mikirin Gus Fatih.
Iya to?” ucap Suci sambil nyengir. Yang diajak bicara hanya ikut nyengir. Sahabat Aya
yang satu ini memang suka sekali menggoda.
“Eh… ngomong-ngomong, bagaimana mbak bisa lolos dari santri piket tadi
malam. Bukannya mbak pulang jam satu lebih. Harusnya kan gerbang sudah dikunci?”
Aya hanya tersenyum mendengar pertanyaan sahabatnya itu. “Mbak lagi beruntung
aja, Ci. Pas mbak sampai pintu gerbang, mbak juga heran kenapa pintu gerbang belum
dikunci. Langsung aja mbak masuk. Ketika naik ke lantai dua, mbak lihat santri yang
terburu-buru menuju gerbang untuk menguncinya. Entah apa alasannya terlambat
mengunci pintu. Bayangkan, kalau mbak terlambat semenit saja, pasti nggak bisa masuk.”
“Bakalan nyuciin pakaian santri sekamar selama seminggu deh. Hehehe…”
***

Nama : Dewi Nina Sari 3


NIM : 082312004
Smt/Prodi : 3/KPI
STAIN Purwokerto
Kamis, 19 Februari 2009.
Jam dinding berdentang 8 kali. Masih pagi. Aya baru kembali dari ndalem. Selesai
mengaji Qur’an jam 7 pagi tadi, ia langsung ke ndalem untuk pamitan pada bu Nyai bahwa
ia akan pulang siang ini.
“Memangnya ada apa? Kok mendadak mau pulang? Bukankah lima hari lagi orang
tuamu justru mau kesini untuk menghadiri acara wisudamu, nduk?”
“Ternyata, Gus Fatih tidak cerita apa-apa ke ibunya. Bahkan rencana lamaran pun
hanya kami berdua yang tahu. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan. Haruskah hamba
meneruskan rencana ini?” Kata Aya dalam hati.
“Lho?! kok ngalamun?” lanjut bu Nyai mengagetkan Aya.
“Eh…oh… Maaf, Nyai. Emm begini, kalau tidak ada halangan, Insya Allah malam
ini seseorang akan mengkhitbah saya.” Jawab Aya malu.
“Benarkah? Sopo nduk? Kok kowe ora pernah cerito karo Nyai?”
“Pangapunten, Nyai. Saya juga bingung mau cerita dari mana. Saya hanya bisa
mengucap syukur pada Gusti Allah karena orang yang akan melamar saya adalah orang
yang saya cintai karena-Nya.”
“Alhamdulillah. Nyai hanya bisa mendo’akan semoga Allah meridloi. Yo wis, Nyai
beri ijin. Berhati-hatilah selama perjalanan.” Pesan Nyai. Aya terharu mendengarnya. Mata
bening itu berkaca-kaca.
“Inggih, Nyai. Terima kasih atas do’a restu Nyai. Aya pamit, Assalamu’alaikum.”
Aya mencium tangan wanita yang telah menjadi panutannya selama tiga tahun tinggal di
pondok pesantren ini.
“Wa’alaikum salam.” Jawab Bu Nyai. Aya meninggalkan ndalem. Al Qur’an
didekapnya di dada, seraya berjalan menuju bangunan berlantai dua di belakang Masjid. Ia
tak kuasa lagi menahan air mata. Keraguan merasuk hatinya.
“Bagaimana reaksi Nyai jika beliau tahu bahwa orang yang akan melamarku adalah
putra tunggalnya? Akankah Nyai memberikan do’a restu seperti tadi?” bisiknya dalam hati.
Aya terus berjalan menyusuri jalan setapak. Keraguannya berangsur hilang seiring
pijakan kakinya di sepanjang jalan berkerikil itu. Hari masih pagi.
***

Nama : Dewi Nina Sari 4


NIM : 082312004
Smt/Prodi : 3/KPI
STAIN Purwokerto
Gelap. Hitam…
Sudah malamkah? Jika memang malam telah menggantikan senja, berarti
seseorang lupa menyalakan lampu. Mengapa gelap sekali di sini? Tak ada cahaya. Adakah
orang yang dapat membantuku? Sepi. Di mana semua orang? Ada di mana aku sekarang?
Mengapa kepala ini terasa sangat pusing?
Pertanyaan-pertanyaan itu ada dalam pikiran Aya ketika ia membuka matanya. Aya
tidak tahu di mana ia sekarang. Ia merasa semua begitu gelap. Dicobanya bangun, tetapi
tubuhnya terasa sakit. Ternyata ada luka di kepala, lengan dan lututnya. Akhirnya ia urung
untuk bangun.
Setelah beberapa saat, Aya baru menyadari di mana ia berada sekarang. Rumah
Sakit. Ya, ia selalu mencium bau seperti ini saat berada rumah sakit. Tidak salah lagi!
Aya tidak ingat mengapa dan sejak kapan ia berada di rumah sakit. Ia hanya ingat,
siang itu ia tiba di Terminal Tirtonadi, Solo. Ia turun dari bus, lalu berjalan menuju
pangkalan bus mikro.
“Alhamdulillah, masih ada tempat yang kosong. Bisa duduk deh.” Kata Aya dalam
hati ketika melangkahkan kaki naik ke bus mikro itu. Perjalanan masih sekitar 30 menit
lagi. Tak berapa lama, bus pun berangkat.
Bus melaju cepat. Aya tak sabar untuk segera sampai di rumah. Ia ingin
mengatakan kepada bapak dan ibunya bahwa ia akan dilamar malam ini. Angin yang
masuk melalui pintu bus membuat Aya mengantuk. Saat ia mulai terlelap, tiba-tiba bus
berguncang hebat. Terdengar suara kaca pecah. Dan…
Gelap. Semua gelap. Samar-samar terdengar teriakan orang-orang.
Gelap. Benar-benar gelap.
Aya tak bisa mengingat lagi apa yang terjadi selanjutnya. Tiba-tiba terdengar bunyi
pintu dibuka. Terdengar seseorang melangkah masuk.
“S..si…Siapa itu?” kata Aya terbata-bata. Langkah itu semakin dekat. Aya bisa
merasakan kini orang itu berdiri di samping tempat ia terbaring.
“Aya…” lirih panggilan itu terdengar di telinga Aya. Ia merasa kenal dengan suara
ini. Sangat kenal. Gus Fatih!
“Kang Fatih? Kaukah itu kang?” Air mata tak kuasa ia bendung lagi.
“Benar Ay, ini aku. Fatih.” Jawab Fatih. Ia mendekat dan meraih tangan Aya.
Menggenggamnya erat dan menciumnya. Aya merasakan tetesan hangat membasahi
Nama : Dewi Nina Sari 5
NIM : 082312004
Smt/Prodi : 3/KPI
STAIN Purwokerto
tangannya. Air mata Fatih. Samar-samar terdengar isak tangis keduanya selama beberapa
saat. Aya menangis dalam gelap. Ia bertanya-tanya, apakah ia tidak bisa lagi melihat wajah
orang yang sangat dicintainya itu?
“Kang Fatih, apa yang terjadi padaku? Mengapa semuanya begitu gelap. Bahkan
aku tak bisa melihat wajahmu. Aku takut, Kang.” Kata Aya beberapa saat kemudian.
“Kuatkan hatimu, Ay. Kata dokter, kau mengalami kebutaan permanen.” Begitu
berat Fatih mengatakan ini. Tetapi, Aya memang harus tahu apa yang terjadi pada dirinya.
Betapa perih hati Aya mendengarnya. Ia buta. Ia akan hidup dalam kegelapan
selamanya. Ia tak akan bisa lagi melihat indahnya fajar di ufuk timur, mekarnya bunga,
bahkan ia akan sulit membaca kitab suci yang sudah hampir khatam dihafalnya.
“Kau jangan takut, kekasihku. Ada aku di sini. Cinta ini tidak akan luntur. Aku
akan selalu berada di sampingmu.”
Genggaman Fatih semakin erat. Aya memang belum halal baginya, tetapi ia tidak
tahu lagi apa yang harus dilakukannya untuk membuat Aya merasa tenang. Di hatinya
bergejolak perasaan tak menentu. Sebenarnya ada sesuatu yang ia sembunyikan dari Aya,
tetapi ia tidak berani mengungkapkannya. Ia tak ingin menambah kesedihan di hati gadis
yang ia cintai itu.
“Bagaimana ini ya Allah? Apa yang harus hamba katakan pada Aya? Bantulah
hambaMu ini.” dalam hati Fatih memohon. Ia kembali teringat kejadian lima hari yang lalu
saat ia dan abahnya, Kiai Ahmad, berkunjung ke Ponpes Al Huda. Pada malam hari kedua
ia dan abahnya sedang duduk-duduk menikmati malam di serambi masjid. Abahnya
ngendika, “Le, Kamu itu sudah dewasa, sudah saatnya membangun keluarga. Kamulah
yang Abah harapkan bisa meneruskan dan mengembangkan pesantren kita.” Fatih masih
menunduk mendengarkan dengan seksama perkataan abahnya. Diam sejenak. Suara
jangkrik menambah indahnya malam. Bintang bertaburan di langit. Subhanallah, sungguh
indah ciptaanNya.
“Fitri.” Tiba-tiba Kiai Ahmad berkata.
“Maksud Abah?” tanya Fatih tidak paham.
“Ora nyono, Fitri sekarang sudah dewasa. Ia tumbuh menjadi gadis yang cantik
dan sholehah. Bukankah dulu, setiap abah mengajakmu berkunjung ke sini, kau selalu
bermain bersamanya?”
“Inggih, Bah. Fatih memang sudah menganggap Fitri layaknya adik sendiri.”
Nama : Dewi Nina Sari 6
NIM : 082312004
Smt/Prodi : 3/KPI
STAIN Purwokerto
“Tih, Abah pengen kamu bisa membangun keluarga dengan Fitri. Fitri itu
sholehah, pinter, rajin, ayu, dan ngajeni wong tua. Apane sing kurang?”
Betapa kagetnya Fatih mendengar perkataan abahnya. Belum sempat ia
menanggapi, abahnya sudah melanjutkan, “Dulu, sewaktu kamu dan Fitri masih kecil, abah
dan Kiai Ghofur pernah berjanji akan menikahkan kalian jika sudah dewasa. Jadi, kami
kira sekaranglah saatnya. Kalau kamu setuju, besok rencananya abah akan lamarkan Fitri
untukmu. Mumpung kita masih di sini.”
Dalam hati Fatih ingin menjerit. Apa yang harus dikatakannya? Bagaimana dengan
Aya? Ia bahkan belum sempat mengatakan rencana besarnya perihal melamar Aya.
Ternyata abahnya sudah mempunyai rencana besar sejak ia masih kecil. Fatih tidak bisa
berkata apa-apa. Ia tak kuasa menolak permintaan abahnya. Ia diam.
Kiai Ahmad memaknai diamnya Fatih sebagai tanda setuju. Ia tersenyum bahagia.
Dalam hati mengucap syukur pada Yang Maha Kuasa.
“Kang Fatih?”
Fatih tersadar dari lamunannya mendengar suara lembut Aya memanggilnya.
“Kang Fatih, Aya merasa tidak ada gunanya melanjutkan rencana kita. Aya tidak
ingin menjadi beban bagimu. Aya tahu, banyak gadis lain yang jauh lebih sempurna yang
pasti bersedia menjadi pendamping hidupmu.” Kata Aya sambil menahan gejolak batin
dalam hatinya. Sulit baginya menahan air mata.
“Apa maksudmu, Ay? Sudahlah, jangan pikirkan apapun. Aku tidak akan
meninggalkanmu.” Fatih benar-benar kagum pada gadis ini. Ia begitu tegar menghadapi
kenyataan.
“Tidak, Kang. Kau berhak mendapat yang terbaik. Tidak usah kau pikirkan aku,
Kang. Percayalah, Aya rela.” ujar Aya.
Gerimis seakan menandakan langit ikut menangis menyaksikan derita cinta mereka
berdua. Fatih menatap wajah dengan tatapan kosong di depannya. Wajah yang terbalut
jilbab putih itu tetap memancarkan keayuan. Ia tahu, Aya sedang berusaha menguatkan
hatinya. Betapa hebatnya gadis satu ini. Ia tidak meratapi apalagi menghakimi Tuhan atas
apa yang menimpa dirinya. Hanya tangisan yang tertahan dan desahan nafas panjang yang
ia lakukan untuk menguatkan dirinya.

Nama : Dewi Nina Sari 7


NIM : 082312004
Smt/Prodi : 3/KPI
STAIN Purwokerto
Dalam hati, Aya berbisik, “Walau segala sesuatu kini terlihat gelap, namun hatiku
bersinar terang dengan cahaya cintaMu ya Allah. Cukup bagiku Engkau sebagai cahaya
yang mampu menghilangkan kegelapan ini. Hamba berserah diri padaMu, ya Allah.”
Mata bening itu terus mengalirkan butiran-butiran air mata. Sayangnya mata yang
bening itu tak lagi bisa melihat indahnya dunia.

-- SELESAI --

Nama : Dewi Nina Sari 8


NIM : 082312004
Smt/Prodi : 3/KPI
STAIN Purwokerto

Anda mungkin juga menyukai