Anda di halaman 1dari 26

Pangeran Berhati Putih

Tetesan embun dan basuhan air wudhu itu terlihat dari wajah Aisyah. Dia bergegas
menyapa dunia untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang mahasiswi di
sebuah perguruan tinggi agama islam di Jember, Jawa Timur. Dia merupakan wanita
cantik dengan beragam kerudung hijau khas yang selalu ia kenakan di setiap
harinya. Saat ini, dia sedang mengikuti mata kuliah dalam bidang komunikasi dan
penyiaran islam yang nantinya dia akan menjadi seorang pendakwah. Semua terasa
menyenangkan baginya, menyenangkan bagi lahir dan batinnya.
Saat matahari mulai menampakkan warna jingganya di sebelah barat, dia teringat
akan kewajibannya yang selalu dia lakukan setiap senja itu tiba. sungguh dia
seorang wanita yang sempurna. Dia setiap senja, selalu menyibukkan dirinya di
sebuah Taman Pendidikan al-Quran yang memang di peruntukkan bagi anak-anak
yang tergolong telah yatim/piatu. Sungguh mulia hati Aisyah ini. Dia saat ini sedang
mengajarkan bagaimana membaca huruf hijaiyah dengan benar dan cara menulis
huruf arab dengan benar pula. Semua murid yang belajar dengan Aisyah ini merasa
sangat senang. Karena Sifat Aisyah yang ramah dan memang sabar dalam
memberikan ilmu agama kepada mereka.
Hingga saat suatu malam, ada sebuah kejadian. Dimana, salah satu murid Aisyah
berteriak memanggil-manggil namanya
Kak Aisyah.. Kak Aisyah? suara Didi mengagetkan semuanya.
Didi.. ada apa? Aisyah menjawab dengan lembutnya
Ini kak ini.. Didi menunjuk makanan yang sangat banyak itu terdapat di depan
pintu TPA mereka
Didi, apa kamu tau, siapa yang telah berbaik hati mengirim makanan ini? Jawab
Aisyah
Tidak kak, Didi tidak tau Sahut Didi
Lantas, siapa seorang yang telah mengirim makanan sebanyak ini? Aisyah
menjawab
mau kita apakan makanan ini kak?
begini saja, makanan ini, kakak bagikan kepada kalian satu persatu ya, kalian
bawa pulang, besok kita cari tahu siapa orang baik yang sudah mengirimkan ini
semua
iya kak jawab Didi dengan penuh semangat
Memang matahari telah berganti bulan dan bertaburan bintang di langit dengan
indah dan sinarnya yang memancar di setiap sudut jalan yang Aisyah lewati malam
ini. Dia masih memikirkan kejadian yang memang membuat dia bertaya-tanya
dalam hati siapa sebenarnya seseorang yang telah berbaik hati memberi makanan
sebanyak itu untuk anak-anak yatim itu? gumam Aisyah. Dia benar-benar terus
bertanya dalam hati, apakah seorang direktur, manajer atau apa lah sejenisnya.
Pintu dari kayu yang di cat dengan warna putih itu dibuka oleh Aisyah dengan

lesunya. Dia masih memikirkan tentag siapa dan untuk apa seseorang itu
melakukan semua itu.
Tampak sudah air wudhu membasahi di seluruh wajah Aisyah yang ayu nan jelita
itu. Wajahnya bersinar bak bulan purnama malam itu. Dia baru saja selesai berdoa
kepada ALLAH SWT untuk meminta petunjuk tentang siapa yang telah mengirimkan
makanan itu tadi.
Semua Aisyah mulai seperti biasanya, dia saat ini bertekad ingin mengetahui siapa
dan apa sebenernya yang seseorang itu lakukan hingga memberikan makanan
kepada anak-anak yatim yang telah 3 tahun terakhir ini menjadi murid Aisyah.
Sungguh mengejutkan, disaat seorang lelaki berparas tampan memakai pakaian
muslim dan memakai kopyah hitam berjalan mengendap-endap mendekati pintu
TPA. Apa mungkin lelaki ini yang memang mengirimkan makanan kemarin itu?
Aisyah terus bertanya-tanya dalam hati. Dan memang benar dugaan Aisyah, lelaki
itu mendekat dan meletakkan makanan seperti kemarin saat dia menaruhnya persis
di depan pintu TPA itu. Sungguh tak menyangka. Dengan cekatan, sebelum lelaki itu
bergegas pergi jauh Aisyah segera memanggil lelaki itu.
Akhi.. tunggu!!
lelaki itu pun terkejut dan langsung segera melarikan diri, dengan cekatan pula
murid-muridku menghalangi lelaki itu
Maaf ukhti.. saya tidak sopan, menaruh makanan itu tanpa memberikan sepatah
kata pun
Tidak akhhi.. tidak apa-apa jawab Aisyah dengan senyuman
Maaf sebelumnya ukhti, saya Abdullah, saya sebenarnya telah memperhatikan
ukhti tiga tahun terakhir ini. dan memang ukhti wanita baik nan soleha seperti apa
yang saya inginkan. Saya.. Saya harap, ukhti mau menjadi istri saya
sontak dengan rasa tak percaya, Aisyah tertegun mendengar pengakuan dari
Abdullah itu. Aisyah akhir-akhir ini memang berdoa untuk segera mendapat jodoh
yang memang bisa memipinnya hingga sukses di dunia maupun di akhirat bersama
pemimpin rumah tangganya tersebut. Sungguh rencana ALLAH SWT memang indah
bagi setiap hamba-hambaNya yang bersabar dan penuh tawakal kepada ALLAH
SWT. Aisyah pun menjawab dengan lembutnya.
terima kasih akhi, saya benar-benar tersanjung mendengarnya, saya akan menjadi
yang terbaik semampu saya untuk akhi dalam menjadi pendamping hidup akhi
Semua rencana ALLAH SWT memang indah, Aisyah telah menemukan jodohnya
yang memang berparas tampan seperti layaknya pangeran dan berhati baik dan
putih hatinya. pantas saja disebut sebagai Pangeran Berhati Putih. kini, Aisyah
telah menjadi pendamping hidup Abdullah dan menjalankan sebuah pesantren yang
memang perbesaran dari TPA yang sudah Aisyah jalankan sebelumnya. Dan
memang mereka dapat hidup sebagai pasangan suami istri yang sakinah,
mawadah, warahmah.
TAMAT

Selama Kita Masih Memandang Langit yang


Sama
hei suara Nada mengagetkanku dari lamunanku.
hayo lagi ngapain pagi-pagi udah ngelamun di jendela, nungguin si itu yah? haha
Pertanyaannya langsung membuatku memerah layaknya udang direbus.. yah, tapi memang
benar apa yang Nada katakan. Saat ini aku berdiri di depan jendela kelas tepatnya setiap
pagi, sebelum pengajian pagi dimulai hanya untuk melihat Ashfar kembali ke kelas usai
membereskan masjid sekolah.
Siapa yang tak kenal Ashfar, sang ketua risma yg begitu ramah, sholeh, menyenangkan dan
agamis. Dari mulai guru, staff TU, satpam sekolah, orang kantin, siswa-siwa, sampai tukang
sapu sekolah pun mengenalnya. Sebenarnya jika dilihat dari fisik, tidak ada yang istimewa
darinya, dia tidak tampan, tidak putih, juga tidak kaya. Namun hampir di setiap kelas ada
wanita yang mengaguminya. Mereka menyukainya bukan karena fisik, lebih dari itu karena
Ashfar sosok yang mempunyai kharisma dan aura tersendiri, siapa saja yang melihatnya
pasti akan jatuh cinta padanya dengan keteduhan wajahnya.
Setelah Nada menyambarku dengan pertanyaan tersebut aku langsung duduk di kursiku
tanpa menggubris pertanyaannya, itu membuatnya semakin antusias menggodaku. Namaku
Syifa Nursabila Galen, namun teman-teman akrab memanggilku Sabil, aku sekarang duduk
di kelas XII dan tinggal di sebuah pondok pesantren salafi di daerah Kaloran Serang,
Banten. Kami sama-sama duduk di kelas XII Ipa 3, kami sudah cukup lama berteman. Dari
kelas X kami duduk satu meja, itu membuat aku dan Nada semakin dekat, terlebih lagi kami
memiliki banyak kesamaan hoby dan kebetulan satu komunitas komunitas film . yah
dialah salah satu sahabat terbaikku, teman suka dan duka, teman curhat segala macam
masalah, termasuk kekagumanku terhadap Ashfar, pun dia tahu.
Aku juga tak tahu persis kapan tepatnya aku mencintainya, namun seiring waktu berjalan,
cintaku padanya terus tumbuh hingga berbunga. Walaupun aku tahu, itu hanyalah
khayalanku saja. Rasanya tidak mungkin seekor rajawali nan gagah jatuh dalam ribahan
merpati yang telah patah sayapnya. Aku dan dia bagaikan langit dan bumi, yang tidak akan
pernah bertemu. Sosok lelaki sholeh idaman para akhwat cantik nan sholehah, kader

dakwah yang siap menyerukan agama-Nya ke seluruh pelosok dunia. Sedangkan aku,
perempuan biasa, ah amat biasa bahkan. Aku tak sesholehah mereka (akhwat yang
mengagumi Ashfar), tak serajin dhuha mereka, apalagi sabanding dengan mereka, sangat
jauh. Namun itu semua tak pernah menyurutkanku untuk selalu menjaga cintaku padanya.
Seperti biasa setiap hari minggu pagi, pengajian diisi oleh pemilik pondok pesantren yang
aku tempati, abah. Yah, santri di sini biasa memanggilnya dengan sebutan abah. Namun tak
seperti biasa, pengajian hanya sampai jam 8, yang biasanya usai jam 12 kini hanya sampai
jam 8. Abah pun menyampaikan alasan kenapa pengajian tidak diteruskan, alasannya yaitu
karena katanya ada kerabat beliau yang meninggal dunia, sehingga abah beserta keluarga
harus segera bertaziyah. Santri-santri pun langsung menciumi tangan abah (kebiasaan
yang dilakukan santri di pondokku setelah pengajian usai) setelah membaca doa kafaratul
majlis dan bergegas meninggalkan majlis menuju kamarnya masing-masing.
Aku dan santriwati lainnya pun segera menuju asrama kami. Sesampainya di kamar, aku
langsung meletakkan kitab dan beristirahat sejenak sebelum keluar pondok untuk mencari
makanan. Setelah kurasa sudah cukup untuk istirahat aku pun bangkit dan berniat keluar
asrama untuk mencari makanan, namun sebelum aku keluar, Indri, santriwati yang sekamar
denganku mengagetkanku. teh sabil, handphonenya bunyi. Apa sebaiknya tidak diangkat
terlebih dahulu?! ujar Indri. Aku pun langsung berbalik badan dan mengangkat teleponnya,
yang ternyata sahabatku, Nada yang menelepon.
assalamualaikum bil terdengar suara Nada di kejauhan sana.
waalaikumsalam, ada apa Da? Tumben banget jam segini udah telpon? Jawabku sambil
duduk di tempat tidur.
hari ini aku ga ada acara, aku boleh main ke pondokmu yah? suara Nada yang memelas.
hmm, gimana yah? Boleh deh, hehe jawabku sambil diiringi oleh cekikikan Nada di sana
yang kegirangan.
oke deh, makasih yooo.. tunggu aku oke
oke, yaudah assalamualaikum
waalaikumsalam.. daaah klik suara telpon mati.
Aku pun tidak jadi keluar karena takut Nada kesini aku tidak ada, karena teman sekamarku
sebentar lagi akan mutholaah (sorogan) di majlis bersama para senior.
Tak lama kemudian Nada pun datang dan langsung memelukku. Aku persilahkan dia masuk
dan kami langsung menghambur di tempat tidur. Kita pun bercana-canda, cerita-cerita,
walaupun sesekali dia mengingatkanku pada Ashfar lewat banyolannya. Tiba-tiba saja Nada
mulai mengubah nada suaranya menjadi serius, yang membuatku keheranan dengan
tingkahnya. Aku pun langsung menanyakan padannya kenapa dia begitu. Tanpa basa basi
lagi dia langsung memberitahukanku sesuatu yang membuatku tidak percaya, seakan
jantungku berhenti berdetak, aku langsung kaku, lemas rasanya, pikiranku entah pergi
kemana.
Nada berkali-kali mengagetkanku, namun aku masih tak bereaksi. Untuk kesekian kalinya
dia mengagetkanku yang akhirnya aku sadar. Aku sungguh tak percaya apa yang diucapkan
Nada. Akupun berusaha mencerna kata demi kata yang diucapkan Nada padaku. Nada
mengatakan padaku bahwa sebenarnya Ashfar juga memiliki rasa yang sama padaku, kabar
ini dia peroleh dari sepupunya yang kebetulan menjadi teman baik Ashfar. Aku masih tak
percaya, namun Nada tetap meyakinkanku sampai akhirnya aku pun percaya.

Setelah cerita Nada tempo hari tentang Ashfar, aku semakin malu jika bertemu dengan
Ashfar. Ini membuatku semakin tak konsentrasi, apalagi sebentar lagi ujian Nasional..
namun aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap fokus pada ujianku.
Hari-hari pun berlalu, hingga ujian pun sudah di depan mata sehingga kami siswa kelas XII
sudah disibukkan dengan berbagai latihan dan tryout, kegiatan-kegiatan ini yang membuat
aku dan Ashfar sering sekali bertemu, bahkan kami pernah berpapasan langsung, yang
membuatku semakin kelu, yang akhirnya kami pun berlalu tanpa sepatah sapaan. Yah,
walaupun aku dan Ashfar sudah saling mengetahui perasaan masing-masing, tapi Ashfar
tetap diam, dan itu yang membuatku semakin tetap mempertahankannya. Ujian pun kami
jalani dengan lancar dan Alhamdulillah dengan hasil yang memuaskan, sehingga sampailah
kami pada acara perpisahan yang akan dilaksanakan besok.
Malam semakin larut, namun aku belum bisa memejamkan mataku seperti insan di
sekelilingku. Bukan karena aku memikirkan perpisahan besok, bukan juga tentang kemana
aku harus melanjutkan studi setelah lulus, juga bukan tentang kesedihanku akan
meninggalkan sekolahku yang tercinta ini. Tapi aku memikirkan sesuatu yang seharusnya
tidak aku fikirkan. Aku memikirkan Ashfar, bagaimana kelanjutan hubunganku dengan
Ashfar. Dari tiga tahun yang lalu aku menyimpan perasaan ini dengan rapat sampai aku
lulus dia belum juga berani menyapaku. Lalu bagaimana jika setelah ini aku tidak bertemu
lagi dengannya. Entahlah, aku pun tertidur dengan sendirinya.
Pagi ini sekolahku sangat ramai. Bagaimana tidak? Kesempatan perpisahan ini dimanfaatkan
oleh para alumni untuk reunian atau hanya sekedar temu kangen. Semuanya bahagia, aku
pun demikian. Tapi disatu sisi aku tidak bisa mengekspresikan kebahagiaan atas
kelulusanku, karena bagaimanapun juga Ashfar tetap mengisi pikiranku dari semalam
hingga detik ini. Ku biarkan mata ini menjelajah seisi aula untuk menemukan seseorang
yang sangat aku rindu. Namun tetap saja aku tidak menemukannya. Hingga akhirnya acara
selesai, tapi aku tetap tidak sempat bertemu dengannya. Sepertinya dia sengaja
menghindar dariku. Aku langsung menuju kamar mandi untuk berganti pakaian dan
langsung menangis di depan cermin yang sedari tadi aku tahan. Aku sedih, sangat sedih.
Hingga di acara terakhir pun aku tidak bisa bertemu dengannya. Aku pun berniat untuk
langsung pulang setelah berganti baju.
Selesai ganti baju aku bergegas pulang, hingga di depan pos satpam aku dikagetkan oleh
suara ikhwan yang aku kenal baik. Dhika memanggilku. Aku pun menoleh. Setelah ku jawab
salam darinya akupun langsung menanyakan kenapa dia memanggilku. Dia pun
mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Belum sempat Dhika
selesai mengucapkannya, seseorang sudah keluar dari pos satpam dengan menyelipkan
untaian senyuman yang membuatku melayang. Tepat sekali. Ashfarlah yang keluar.
assalamualaikum ukh suaranya yang tiba-tiba membuatku hampir kehilangan kata-kata.
wa.. waalaikumsalam jawabku yang benar-benar tidak bisa menyembunyikan
kegugupanku.
afwan, ini nomor ponsel antum? tanyanya sambil menunjukkan nomor ponsel yang ada di
atas kertas.
naam itu nomor ana jawabku. bolehkah aku menyimpannya? pintanya dengan nada
yang lembut.. aku pun mengiyakannya. Dan setelah itu berakhirlah percakapan kami. Dia
memohon diri untuk pulang duluan begitupun aku yang segera pulang dengan hati yang

berbunga-bunga.. selama aku mengenalnya, tak pernah sekalipun aku bersua dengannya,
dan hari ini, Oh My Allah..
Hari demi hari, minggupun berganti minggu, namun belum juga dia menghubungiku. Aku
hampir gila menunggu kabar darinya. Karena setelah lulus aku tidak pernah lagi bertemu
dengannya dan aku pun tak berani untuk menanyakan kabarnya pada sahabatnya. Di satu
sisi aku sedikit bahagia dengan kabar yang aku peroleh, bahwa aku sudah diterima di salah
satu perguruan tinggi negeri Islam di Bandung. Namun itu pun sekaligus membuatku
tersenyum kecut, karena harapanku padanya semakin lenyap. Beberapa minggu lagi aku
harus meninggalkan tanah lahirku ini, Banten, untuk tholabul ilmi di tanah tetangga. Aku
semakin tak menentu, aku belum mendengar kabar darinya. Jangankan tahu dia kuliah
dimana, keberadaanya saja aku tak tahu.
Besok siang aku berangkat ke Bandung, namun kabar darinya belum juga sampai di
telingaku. Aku pun sudah pasrah, menyerahkan seluruhnya pada sang Maha Cinta yang
tiada pernah terputus cinta-Nya. Setelah semua keperluan dan pakaianku sudah tersimpan
di koper yang besok akan kubawa. Aku langsung merebahkan tubuhku di tempat yang
mungil namun cukup nyaman bagiku. Baru saja aku akan memejamkan mata tiba-tiba
ponselku berdering, langsung aku ambil dan ternyata ada pesan yang cukup panjang dari
nomor yang tidak kukenal, kurang lebih seperti ini bunyi pesannya;
assalamualaikum. Semoga Allah tetap melindungi kita dalam lindungan-Nya aamiin. Ukh,
ini ana Ashfar. afwan ana baru menghubungi antum sekarang. Bagaimana kabar antum?
Ana harap kabar antum baik, ana disini Alhamdulillah baik-baik saja. Selamat, ana dengar
antum sudah diterima di PTN yang antum mau, semoga semuanya dimudahkan. Syukron
atas doa-doanya, Alhamdulillah ana diterima di universitas Al-Azhar Cairo Mesir, dua bulan
kedepan ana berangkat dan besok insyaAllah tasyakurannya dengan teman-teman sebelum
mereka berangkat ke kota PTNnya masing-masing. Ana sangat berharap kedatangan antum
besok di kediaman ana jam 10.. jazakallahu khoiron katsiron.
Degg.. lagi-lagi perasaanku tak menentu. Aku berulang-ulang membaca pesan itu, tetap saja
isinya sama. Aku bangga padanya, namun aku tak bisa menolak kenyataan bahwa dengan
demikian kami semakin jauh, apalagi di negri orang, benua yang berbeda. Aku pun langsung
menemui ibuku untuk menunjukkan pesan itu pada beliau, aku ceritakan semua isi hatiku
terhadap Ashfar pada ibu. setelah ibu membacanya, kemudian ibu memegang wajahku dan
mengusap butiran bening di sudut mataku yang sedari tadi turun, dan mengatakan bahwa
aku tidak diizinkan untuk menghadirinya karena aku harus tetap berangkat ke Bandung,
dengan tersenyum dan tetap tenang ibu berkata Allah tidak tidur, apa yang ada di hatimu
pun Dia tahu. Jika memang dia terbaik untukmu tentu saja Allah akan mendekatkan kalian,
di manapun kalian berada dan sebaliknya sedekat apapun kalian jika Allah tidak
menghendakinya maka akan terpisah begitu saja. Yakinlah jodoh tak akan kemana, jodoh
tak akan salah alamat. Ibu menyelesaikan nasehatnya dengan memelukku.
Ibu mengantarku ke tempat tidur. Setelah ibu keluar, aku langsung membalas pesannya, aku
katakan permohonan maafku padanya bahwa aku tidak bisa menghadiri tasyakurannya
karena tidak diizinkan karna keberangkatanku ke Bandung tidak bisa ditunda. Beberapa
menit kemudian aku mendapat balasan pesan darinya.
Alhamdulillah antum baik-baik saja. Laa basa ukhti tidak datang, asalkan ukhti berkenan
untuk mendoakan ana agar dilancarkan. Memang benar apa yang dikatakan ibu ukhti, tidak

harus dipaksakan. Namun ukhti harus tetap percaya, selama kita masih memandang langit
yang sama perasaan ana akan tetap seperti semula, dan kita tetap masih di bumi Allah, kita
tidak pernah jauh. Semoga Allah mempertemukan kita dalam kesempatan yang di ridloiNya. Tunggu ana kembali, tunggu ana menjemput antum menjadi huurun ana. Air mataku
pun terus mengalir membaca pesan itu. Yah memang benar, kita masih memandang langit
yang sama.
Tepat pukul 10 siang aku berangkat ke Bandung. Selama aku di sini, aku tetap istiqomah
untuk menjaga hatiku hanya untuk Ashfar. Sekarang aku sudah dua tahun disini dan selama
itu aku tetap menjaga hatiku untuknya walaupun sejak saat itu tak ada lagi kabar, bahkan
nomor ponselnya pun sudah tidak aktif lagi, namun aku tetap percaya dan menyerahkan
semuanya kepada Allah yang walaupun aku tak tahu kapan aku bisa dipertemukan kembali
dengan cinta dalam diamku.. selama kita masih memandang langit yang sama..
The End
Dari aku yang memohon ampun
Ardhat Celesta
a.k.a
Safuroh Ahmad
Untukmu wahai pemuda azamku
Minggu, 30 Juni 2013/11:52 am

Surat Cinta Merah Hati


Jalanan di depan rumahku ramai dilewati orang. Ada yang mau pergi bekerja, ada yang mau
pergi kuliah, ada juga yang sekedar mondar mandir. Namun fikiranku hanya dijejaki oleh satu

orang saja. Entah kenapa ia senang sekali berkeliaran disana. Aku pun tak mengerti mengapa aku
membiarkan ia berseliweran di benakku.
Undangan pernikahan merah hati yang diberikan Dani tadi siang masih ku pegang erat di
tanganku. Tanpa sedikit pun ada hasrat untuk membukanya, apalagi membacanya.
Telepon genggamku berdering ketika aku sedang merapikan mukena yang kupakai untuk shalat
zuhur. Nama Dani terpampang di layar ponselku. Dani. Hanya Dani. Tanpa ada embel-embel
atau pernak pernik apapun sebagai penghias namanya. Sederhana. Sesederhana perlakuanku
padanya.
Put, aku mau ngasih undangan nih. Kamu ada di rumah nggak?
Ada. Jawabku singkat.
Owh. Aku ke rumah ya?!
Okay. Seperti yang ku bilang. Sederhana. Ya sesederhana itulah jawabanku. Tapi benarkah
hatiku juga sesederhana itu? Adakah yang mau percaya jika aku bilang aku tak rasa apa-apa?
Terserahlah, biar hanya aku yang tahu.
Dani adalah pacarku, tapi 10 tahun yang lalu. Sudah lama sekali, ternyata. Kami terpisah begitu
saja. Tanpa kata, tanpa bicara, dan juga tanpa air mata. Aku melanjutkan sekolah dan dia memilih
berkarir. Tak ada perjanjian apa-apa. Bahkan kata-kata perpisahan pun tak sempat terucap. Dia
menghilang begitu saja. Aku tak dengar berita apapun tentang dia hingga dua tahun kemudian
sepupunya yang tanpa sengaja bertemu denganku memberi tahu bahwa Dani bekerja di Bandung,
belajar mengelola bisnis keluarga.
Tanpa terasa waktu bergulir. Usia yang dulu masih remaja sekarang telah beranjak dewasa. Dani
akan menikah sebentar lagi. Rasanya ada yang menggelitik di hatiku. Minta untuk dicari tahu.
Cemburukah? Entahlah. Biar hatiku saja yang tahu. Yang pasti perasaan ini menggangguku.
Ketukan pintu terdengar ketika ku melangkahkan kaki menuju ke ruang tamu. Ku urungkan niat
untuk duduk dan terus berjalan menuju pintu.
Put, ni aku, Dani.
Iya bentar. Aku bergegas membukakan pintu dan mendapati Dani sedang berdiri di hadapanku.
Mata kami saling beradu. Untuk sesaat hanya mata yang saling berbicara. Sekilas ku tatap dia
dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kemeja garis-garis biru muda, celana jeans biru tua dan
sepatu kulit coklat mengkilat yang ia kenakan sangat serasi dipandang mata. Wow, dia rapih
sekali. Sudah seharusnyalah orang yang akan menikah berpenampilan begini. batinku.
Put, ini undangan pernikahan aku. Kamu datang ya. Kalau bisa bawa pacar kamu sekalian.
Jangan sampai gak datang lho.
iya, InsayaAllah Dan. Pacar? Sudah jelas dia tahu aku gak punya pacar. Dani Dani

Dia bengong, aku pun bengong. lama, mematung di depan pintu sampai suara mama
menyadarkan kami. Aku tercekat dan merasa malu sendiri karena lupa mempersilakannya
masuk. Untuk sekedar menghilangkan rasa sungkanku, ku minta ia untuk mampir barang
sebentar.
Masuk dulu Dan! Mama sama papa ada di dalam lagi nonton. Kalau kamu gak nongolin muka
kamu ke mereka, nanti mereka pasti nanyain kamu dan marahin aku karena biarin kamu pergi
gitu aja. Soalnya tadi aku udah bilang kalau kamu mau datang.
Hehe, segitunya Yoweslah Dani pun melangkah ke ruang tamu sementara aku langsung
ke dapur untuk menyiapkan minuman.
Siang Tan, Om
Eh Dani, duduk nak? Respon mama sopan.
Dani yang memang udah terbiasa ke rumah langsung duduk tanpa sungkan lagi. Tapi kali ini ia
kelihatan sedikit tegang. Keringat dingin mengalir di dahinya yang tak terlalu lebar itu. Entah
apa yang sedang bergejolak di dalam dadanya. Akupun tak tau. Dan rasanya aku tak mau tau.
Karena memang aku tak perlu tahu.
Aku buatkan jus jeruk dingin untuk menghilangkan dahaga di siang yang cukup gerah ini. Yang
aku tahu, itu adalah minuman kesukaan Dani. Kalau aku gak salah sih. Soalnya sudah lama
banget aku gak mau tahu tentang dia. Apakah masih suka jeruk dingin atau telah beralih ke kopi
jahe anget, seperti minuman kesukaan papaku. Entahlah
Samar-samar ku dengar mama memulai pembicaraan. Beruntung sekali ya wanita yang berhasil
mendapatkan nak Dani. Udah ganteng, rajin shalat lagi.
Ah, tante bisa aja.
Langkah kakiku membuat semua mata tertuju padaku. Dan Dani melanjutkan biacaranya ketika
aku berada tepat di hadapannya. Pria yang kelak akan mendampingi putih juga akan sangat
beruntung tante. Putih selain cantik, pinter, solehah pula. Ku hanya terdiam tanpa mampu
berkata. Bukan ku tak ingin menyela, hanya saja aku benar-benar gak tahu kata seperti apa yang
mesti aku utarakan.
Ku dengar mama menghela nafas. Tiba-tiba ku rasa suasana sangat begitu mencekam.
Menakutkan kayak di film-film horror.
Nak Dani, silahkan minum dulu jus buatan Putih. Mudah-mudahan bisa menghilangkan dahaga
kita. Mungkin gak seenak jus buatan calon istri nak Dani, tapi setidaknya Putih sudah berusaha
membuatnya seikhlas mungkin Kata papa lagi untuk mencairkan suasana yang terlanjur
membeku. Putih ikhlaskan, nak?
Aku tersentak mendengar pertanyaan papa. Kemana arah pembicaraan ini? Tuhan, beri aku
jawaban yang tepat. Ah, papa. Ikhlas donk. Bikin jus doank mah, kecil. Hehehe Papa,

mama, dan Dani juga ikut tersenyum mendengar jawabanku. Mudah-mudahan itu memang
jawaban yang papa inginkan.
Sementara papa, mama, dan Dani sedang ngomong ngalur ngidul, mataku tanpa bisa kompromi
terus saja menatap Dani, nanar. Mungkin karena ia berada di hadapanku sehingga mataku harus
selalu kesana tertuju. Sementara itu, hatiku terus saja membatin. Dan, aku yakin aku gak
mencintai kamu. Aku bahkan belum mempersiapkan diri untuk jadi istri kamu. Tapi kenapa
rasanya sakit mengetahui kau akan menikah dengan wanita yang ku kenal. Ya, aku jujur. Aku
sakit Dan. Tapi apalah hak ku untuk merasa sakit ini.
Menyadari tatapanku yang terus tertumpu padanya, membuat Dani salah tingkah dan kemudian
balik menatapku. Giliran ku yang jadi tak menentu ditatap seperti itu. Papa dan mama hanya
sibuk menghela nafas berat. Oh ya Dan, habis ini mau ngantar undangan kemana lagi? Hanya
pertanyaan itu yang bisa terlontar dari bibirku untuk menghilangkan kecanggungan ini.
Rencananya mau ke rumah teman-teman SMP kita, Put. Mmhh, Om, Tan, kayaknya Dani mesti
pamit dulu deh. Takut ntar gak sempat ngantar semua undangan ini. Oh ya, undangan untuk Om
dan Tante nanti malam mama dan papa sendiri yang akan mengantarnya. Katanya mereka mau
ketemu dengan Om dan Tante langsung.
Oh, iya. Om tunggu ya. Kebetulan Om dan Tante gak kemana-mana malam ini.
kalau begitu. Saya mohon diri dulu Om, Tan. Assalamualaikum.
Waalaikumsalam. Jawab mama dan papa serentak.
Aku pun mengantar Dani sampai ke pagar depan. Ku tatap punggungnya dari belakang. Bahunya
yang lebar dan kokoh. Ku bayangkan kelak akan ada raga wanita lain yang bersandar di sana.
Huuuuft. Ku menghela nafas panjang. Mudah-mudahan kamu bahagia Dan. Doaku dalam
hati.
Dani menaiki ninja hitamnya. Sebelum dia melaju pergi, dia meninggalkanku seulas senyum. Ya,
hanya seulas senyum manis. Tanpa sepatah katapun mampu terucap dari bibirnya. Begitu juga
aku. Hanya bisa membisu dan menyunggingkan sedikit senyum. Senyum keikhlasan. Aku ikhlas
Dan. Bisikku dalam hati.
Aku terus menatap Dani hingga ia menghilang di ujung jalan. Setelah aku tak lagi melihat
bayangnya, aku putuskan untuk beristirahat sekejap di bangku taman halaman depan. Seperti
yang kulakukan saat ini.
Undangan merah hati yang ada di tanganku ku kipas-kipaskan ke wajahku. Bukan ku kepanasan,
hanya ingin memain-mainkannya di tanganku.
lagi-lagi bayangan Dani mondar mandir di kepalaku.
Apa yang sedang kau pikirkan sekarang Dan? Apa yang sedang kau rasakan sekarang?
Bahagiakah, karena akan segera menikah? Entahlah, itu urusanmu. Tapi mudah-mudahan kau

bahagia dan penantianmu selama ini terbalas dengan kebahagiaan yang akan kau dapatkan dari
dia, adik kelas kita.
Tiba-tiba pikiranku berkelana ke masa tiga tahun yang silam. Dimana setiap tahunnya kau pasti
akan pulang. Selain untuk mengunjungi keluargamu, kau juga datang untuk menemuiku. Itu
katamu, waktu itu. Tau kah kau betapa senangnya aku ketika mendengar kejujuranmu itu? Tapi
sayangnya aku tak ada perasaan lebih terhadapmu. Masa lalu kita telah ku tinggalkan jauh di
belakang. Bukan kenangan itu tak berarti untukku, hanya saja aku tak mau bila ia mengganggu
kehidupanku. Jadi lebih baik biarkan saja ia jadi cerita lama yang ku simpan indah di sebuah
kotak ajaib yang kusebut masa lalu.
SMS-SMS sayang dan perhatian pun sering kau kirimkan. Tapi tak pernah ku balas. Maafkan
aku Dan. Aku mengabaikan perasaanmu.
Pernah juga kau mencoba meminta hatiku lagi. Tapi lagi-lagi aku menolakmu. Mungkin kau
kecewa, sakit hati, dan marah padaku kala itu. Tapi tak sedikitpun aku mempedulikan
perasaanmu. Aku minta maaf lagi Dan.
Aku punya alasan untuk setiap hal kecil dan menjengkelkan yang aku lakukan. Termasuk
mengabaikan persaanmu. Aku punya alasan Dan. Walaupun sudah terlambat untuk
mengatakannya sekarang. Tapi ku ingin kau tahu. Mungkin kedengaran bodoh dan naf sekali.
Tak apa. Asalkan kau tetap sudi mendengarnya. Aku ingin kau jadi yang terakhir untukku. Kau
begitu baik untuk ku jadikan pacar. Aku ingin kau menjadi cinta yang halal untukku, cinta yang
akan membimbing kita mencari ridha Illahi. Tapi, aku belum siap untuk saat ini. Egokah ini?
Maafkan aku.
Tapi malangnya, kau telah memilih wanita lain untuk kau halalkan mencintainya. Apakah aku
terlambat Dan? Ataukah memang aku takkan pernah bisa mencintaimu sehingga aku tak diberi
kesempatan?
Tak apa Dan. Mungkin ini adalah jalan kita. Memang sudah seharusnya kau memilih yang
terbaik dan yang tersedia daripada terus menungguku.
Moga kau bahagia. Aku pasti datang di hari bahagiamu itu. Pasti. Aku akan datang dan
mendoakan kebahagiaan buat kalian berdua.
Cerpen mu
Komunitas Penulis Cerpen Indonesia, Kumpulan Cerpen Karya Anak Bangsa
Home
Cerpen Cinta Islami
Kesetiaan Jiwa Penggugah Iman

Kesetiaan Jiwa Penggugah Iman


Ku teguk secangkir teh hangat yang ku pesan di sebuah kafe dekat kampus, ku
duduk di bagian pojok jendela yang bersebrangan dengan jalan raya, ini adalah
tempat favorit buatku, ku lebih suka menikmati pemandangan disini, di saat
dedaunan jatuh dan tersapu angin. Entah mengapa, ku sangat menyukai suasana
sore ini, hujan membasahi aspal itu, jalanan yang basah dengan rintik-rintik hujan
yang menarik.
sungguh hujan yang sangat cantik desisku dalam hati.
Trett Hp ku bergetar, ada pesan masuk.
Assalamualaikum, afwan. Aina Alan
Sudah ku duga pasti pesan darinya. Kak Furqon, dia adalah senior kampus jurusan
bahasa arab, sudah lama ku kenal sejak SMA.
Wa alaikum salam, di kafe dekat kampus terkadang ku hanya menjawab
pertanyaan seadanya, karena ku tidak ingin membahas banyak hal dengannya dan
yang terpenting ku harus menjaga jarak dengannya, inilah yang di ajarkan agama.
saya mau mengantarkan buku yang saya pinjam katanya, ku hanya mengiyakan.
Jantungku selalu berdegup kencang ketika bertemu dengannya, entah mengapa?
Bagiku dia sempurna, kriteria pria sholeh yang banyak di idamkan para akhwat.
Ku lihat dia di balik pintu, scraft yang bertuliskan kalimat syahadat belum ia
lepaskan dari wajahnya, ku menyambutnya dengan senyum, sekarang ia duduk di
hadapanku. Ku hanya tertunduk seakan tak sanggup melihat wajahnya, namun ku
berusaha menyesuaikan diri.
Afwan, ini bukunya dia membuka pembicaraan, memecahkan keheningan sambil
mengulurkan buku yang dia pinjam seminggu yang lalu.
syukron ku hanya berbicara seadanya
masih lama disini? tanyanya
iya, kenapa?

saya ingin pergi sebentar, dan kembali untuk membahas sesuatu denganmu
iya
Dia bangkit dari tempat duduknya, dan menghilang di balik pintu bersama hela
nafas yang ku hembuskan.
Mungkin dia minta di carikan akhwat untuk pernikahannya desisku dalam hati,
tanpa ku sadari air mata ku menetes, seketika terlintas kejadian waktu SMA dulu.
Nisa, ternyata kak Furqon itu ketua Lembaga Dakwah loh kata Wardah teman
sekelasku
terus?
nama lengkapnya Muhammad Al Furqon, pria sholeh, cakep.. Wihh keren. Inilah
kriteria yang aku cari jelasnya
kamu naksir dia?
ya pastinya Nis penjelasannya membuat hatiku serasa berkecamuk, sakit, sedih.
Ah, semuanya telah menyatu bak gado-gado.
oh ya, semalam itu aku nelfonan loh sama dia. Ternyata dia pintar banget, dia
berikan aku pencerahan tentang wanita sholehah dan masih banyak lagi deh Nis
kata Wardah panjang lebar, ku hanya menghela nafas lalu meninggalkannya. Entah
mengapa ku marah, cemburu jika Kak Furqon dekat dengan Akhwat lain, ku ambil
air wudhu untuk menenangkan hati ini. Ku berdoa agar Allah menjauhkan ku
darinya tapi kenyatannya ku semakin dekat dengannya, banyak kegiatan yang ku
jalankan bersamanya dalam dakwah hingga semakin terasa sulit jauh darinya. Di
sisi lain banyak pula akhwat yang minta untuk di nikahinya namun dia menolak
karena telah ada akhwat yang dia telah persiapkan. Harapanku pupus untuk
memilikinya, dia telah punya calon. Bertahun-tahun ku tetap istiqamah menjaga
hati untuknya namun dia telah memiliki calon. Sungguh menyedihkan, namun ku
tetap berpegang teguh bahwa Allah menyiapkan terbaik untukku. Ku akan selalu
mendoakan yang terbaik untukknya.
Ana uhibbuka ya akhi ucapku dalam hati, air mataku menetes, ku ucapkan
istighfar dan dzikir. Sebentar lagi ku akan patah hati untuk kesekian kalinya. Dia
datang, ku hanya tersemyum tak kuasa melihatnya pandanganku ku alihkan
melihat keluar jendela.
dik sapanya
ada apa?
kakak udah siap nikah, dan Alhamdulillah kakak udah punya calon
hah? Nikah? tanyaku serius
iya
kapan? suaraku serak, darahku seakan berhenti mengalir, air mataku ingin jatuh,
namun ku tahan sekuat mungkin.
secepatnya jawabnya singkat
barakallahu laka kataku lirih
aku meminta persetujuanmu
yang mau menikan itu kan kakak, mintalah persetujuan dari orang tua mu kak air
mataku seakan tak sanggup lagi ku bendung, ku menarik nafas sedalam mungkin.

dik
kak, kamu pasti tau yang terbaik buatmu. Dan kakak sudah istikharahkan?
sudah dik
lalu, kenapa tanya saya lagi?, selamat ya kak untuk pernikahanmu
lihat ini dik, bagus nggak dia mengeluarkan 2 cincin couple dari sakunya.
oh, mau tanya ini? kenapa nggak tanya calonnya saja kak. Cincinya bagus kak,
cantik kini ku benar-benar ingin menangis.
udah saya tanya, responnya sama denganmu. Ku harap dia benar-benar
menyukainya
ku harap juga seperti itu kak pandangan ku tertunduk di hadapannya berusaha
menahan sakit dan tangis.
ada satu lagi dik, yang mau ku tanyakan padamu
sudahlah kak, tanyakan saja langsung dengan mempelai wanitanya
dik, calonya itu adalah kamu
hah? seakan ku tidak percaya
ya kamu, insyaAllah besok kakak akan membawa rombongan untuk melamarmu,
ana uhibbuka ya ukhti senyum mengembang di wajahnya, baru kali ini ku
melihatnya wajahnya dengan jelas, sungguh dia jiwa penggugah iman.
ana aidhan balasku, hujanpun berhenti, matahari memancarkan sinar senja yang
indah, cantik sekali.
Cinta, kesetiaan, pengorbanan hati dan restu Allah merupakan pondasi cinta
sebenarnya.
Cerpen Karangan: Fajria Al Fajr
Facebook: Fajria ria usman

Tuhan Selamatkan Aku Dari Zina


Di luar sangat menakutkan. Angin bertiup kencang. Berdiri bulu romaku melihat pepohonan
terpontang panting tumbang di dekat rumah. Kucoba mengalihkan perhatian, mengambil headset
kemudian memutar musik sekeras-kerasnya.
Suara gemuruh angin membuatku takut. Wah wah wah tak bisa kubayangkan betapa
takutnya aku jika hari ini kiamat terjadi.
Tak lama angin bertiup kencang. Akhirnya rintik hujan berlomba turun menghujam bumi.
Leganya melihat air yang jatuh dari langit itu. Degupan di dadaku berhenti.
Kejadian ini membuatku merenung untuk memperbaiki diri dari kesalahan dan mulai perbanyak
amal kebaikanku. Siapa tau kiamat datang tiba-tiba, dan aku tidak punya banyak bekal
menghadapinya.

Semalaman sulit rasanya memejamkan mata. Hatiku menjerit seolah memintaku bertobat.
Tobat tobat tobat
Jeritan ini semakin mendesakku.
Tak terasa sekarang sampai pada sepertiga malam. Aku keluar dan bersegera wudhu. Sepertinya
aku benar-benar akan taubat.
Kuangkat kedua tanganku beriringan dengan takbir Allahu Akbar dan mulailah aku pada rakaat
pertama.
Hatiku merasa lebih tenang ketika dahi menyentuh lantai yang beralaskan sajadah berwarna hijau
tua. Aku merasa nyaman dengan posisi sujud ini. Aku merasa seperti berada di padang gurun,
yang berhias bunga-bunga indah. Kuhanyut pada indahnya bunga-bunga yang sedang
bermekaran disana. Di tengah indah yang kurasa, tiba-tiba badanku bergoncang. Aku mendengar
suara seseorang memanggil.
Astagfirullah Rahman! Sholat kok bisa sampai ketiduran, ujar lelaki paruh baya itu menegur
kecerobohanku, tertidur saat sholat.
Ayo bangun! paksanya menggoncang tubuhku.
Lelaki paruh baya itu tak lain adalah ayahku.
Ayah adalah salah satu tokoh masyarakat yang dihormati di tempat tinggalku. Beliau sebagai
pemuka agama yang terkenal dermawan. Petuah-petuah yang disampaikannya adalah hal yang di
nantikan masyarakat disana.
Rahman terbawa suasana Yah.
Ini yang jadi masalah dalam hidupku, setiap kali berniat untuk taubat ada saja penghalangnya.
Kalau begini terus, akan sangat tak mungkin bisa melakukan taubat secara total. Belum lagi
ditambah dengan godaan yang datang dari para gadis yang dekat denganku. Semakin pesimis
rasanya untuk melakukan itu.
Malam pun kini menjelma menjadi pagi hari yang indah. Sinar mentari menyambutku hangat.
Kicau burung menyapaku mesra. Senang rasanya pagi seperti ini bisa melihat anak kecil
berlarian di depan rumah. Aku hanya menyaksikan mereka dari balik jendela kamar.
Pelan-pelan tirai jendela kubuka.
Sebenarnya aku tak sengaja, tapi perempuan itu cantiknya luar biasa. Mendadak, serasa enggan
mengalih pandangan darinya. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Dan entah bagaimana Ayah sudah
berdiri di belakangku.
Zinanya mata adalah melihat sesuatu, zinanya lisan adalah mengucapkan sesuatu, zinanya hati
adalah mengharap dan menginginkan sesuatu, sedangkan alat kelamin membenarkan atau
mendustakan itu semua. Ini hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, lagi-lagi lelaki
paruh baya ini menasehatiku, membuatku kehilangan kesempatan berharga pagi ini.
Kutolehkan kepala kearah Ayah. Tak enak rasanya bicara dengan orangtua tanpa melihatnya.
Maksud Ayah? tanyaku pura-pura tak mengerti.
Ayah melihat, kamu sedang memandang Husna. Kamu sedang menikmati kecantikan yang ada
padanya, jawabnya, Tidak pantas kamu seperti itu. Kamu sedang berusaha memaksa dirimu
untuk mendekat pada zina. Istigfar Abdurrahman! Segeralah menikah jika kamu sudah merasa
sanggup, lanjutnya memakiku.
Sebenarnya Ayah tidak pernah memaksaku untuk segera menikah, tapi aku selalu merasa Ayah

selalu saja mendesakku untuk segera menikah. Sama sekali tidak terpikir olehku untuk
melakukannya. Apalagi saat ini aku hanya seorang pengangguran. Bagaimana bisa aku menikah
tanpa memberikan nafkah pada keluargaku nanti.
Harusnya aku bersyukur mempunyai Ayah sepertinya. Selalu hadir dengan nasehat-nasehat yang
akan menyelamatkanku dari kesesatan. Tapi mengapa sesulit ini aku menerima nasehat-nasehat
darinya?
Seolah aku ingin berontak atas kepeduliannya padaku. Sepertinya aku lebih suka hidup bebas
daripada harus terkekang bersamanya. Andai Ibu masih ada mungkin hidupku jauh lebih
nyaman. Hanya Ibu yang bisa mengerti aku dan pola hidupku yang semberaut ini.
Singkat cerita,
Makin lama makin menjadi-jadi kelakuan burukku. Sulit rasanya mengendalikan diri dari hawa
nafsu. Aku tergiur akan mega dunia. Lupa pada kewajibanku sebagai seorang muslim. Pantas
jika Ayah membenciku. Aku hanya jadi aib baginya.
Ingin sekali kuterlepas dari kegelapan ini, tapi sulit sekali bagiku. Aku terlanjur mencintai dunia.
Noda hitam menyelimuti hampir semua bagian di hatiku. Bagaimana mungkin aku bisa
mensucikannya kembali dari noda itu?
Makin ke depan hidupku makin tak berarah. Ayah sepertinya sudah bosan menasehatiku. Dia tak
peduli lagi dengan apa yang kulakukan. Untunglah Ayah masih mengizinkan aku tinggal di
rumah.
Tepat pukul 16.00.
Awan hitam pekat hadir menghias langit. Burung-burung tak ada yang berlalu lalang lagi di
sekitar rumahku. Di luar senyap sekali tidak ada aktivitas. Kenapa sore ini tak sebising biasanya?
gumamku. Pelan-pelan aku mengintip ke langit dari balik tirai kamar. Aku khawatir akan terjadi
suatu hal yang membuat nyawaku melayang. Ritme jantungku mulai tak berirama.
Ditambah dengan suara petir yang menggelagar di angkasa. Semakin luar biasa ketakutanku sore
ini, terhenti rasanya nafasku sekarang.
Kucoba untuk tenang, berusaha mengalihkan perhatian dari kondisi alam yang kurang baik hari
ini. Pelan-pelan kurebahkan tubuhku di tempat tidur. Kupejamkan mata agar lebih santai
menghadapinya.
Tak berapa lama, aku merasa terbang ke suatu tempat. Ketempat yang gelap sekali. Disana
banyak binatang buas yang sudah menghadang. Dahiku mulai berkucuran keringat.
Sejenak kucoba mengingat, barang kali aku mengenal tempat ini. Tapi, aku merasa asing.
Sepertinya aku memang tak pernah kemari sebelumnya. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku
dari belakang. Luar biasa takutnya aku. Tubuhku lemas rasanya. Aku hanya bisa pasrah dengan
apa yang akan terjadi. Kupejamkan mataku agar tak melihat sosok yang menepuk pundakku itu.
Dia memintaku membuka mata dan berbalik ke arahnya. Awalnya kucoba menolak dengan
menggeleng-gelengkan kepala. Tapi dia memintanya lagi. Pelan-pelan kuberanikan diri untuk
melakukan perintahnya. Tu wa ga, srettt! Aku berbalik ke arahnya. Allahu Akbar teriakku
kaget. Ternyata orang itu adalah Ibuku. Spontan aku langsung ingin memeluknya, aku sangat
merindukannya, benar-benar sangat rindu padanya. Tapi dia menghindar. Dia tidak ingin
kusentuh. Hancur rasa hatiku melihat Ibu seperti itu.
Kenapa Ibu tidak ingin kupeluk? Apa Ibu tidak rindu padaku? tanyaku. Dia hanya diam menatap
tajam kornea mataku. Tak bisa kututupi kesedihan yang kurasakan, mendadak airmataku

berjatuhan.
Kemudian Ibu bergerak, mendekat padaku. Kamu kotor sekali, Nak! Ibu tak ingin tersentuh
olehmu. Semua orang akan berkata sama seperti yang Ibu katakan. Semua orang akan
menghindar darimu jika kamu tidak segera membersihkan diri dari kekotoran dan noda-noda
hitam yang menempel pada tubuh dan hatimu, ujarnya berbisik padaku, malu pada Allah. Malu
karena kamu tidak memanfaatkan kesempatan yang diberikan-Nya padamu. Tak lama lagi Ibu
akan menjemput Ayah, lanjutnya kemudian menghilang.
Tak lama Ibu pergi, tubuhku terasa ringan. Sekarang, aku terbang kembali.
Tempat selanjutnya jauh lebih baik. Disana ada cahaya terang, membuat penglihatanku sedikit
lebih nyaman. Tapi cahaya itu makin lama makin menyilaukan mata. Sakit sekali mataku
melihatnya. Kemudian secara tiba-tiba cahayanya redup kembali.
Pelan-pelan kedua mataku mulai terbuka. Penglihatanku buram, mungkin efek dari cahaya yang
sangat terang tadi.
Setelah penglihatanku pulih, barulah kusadari barusan hanyalah mimpi. Tapi suara Ibu masih
terngiang di telingaku. Tiba-tiba aku mengkhawatirkan Ayah sekarang.
Ibu bilang sebentar lagi akan menjemputnya. Seandainya yang Ibu katakan benar terjadi. Aku
akan kehilangan Ayah, hidup sebatang kara tanpa tau apa yang harus kulakukan selanjutnya.
Ditemani hujan. Aku menangis, mengkhawatirkan Ayah, dan menangis mengkhawatirkan jalan
hidupku yang salah ini.
Sudah 3 tahun lamanya aku menjalin hubungan dengan Husna. Perempuan cantik yang
kutemukan tak sengaja dari balik jendela.
Dia perempuan yang sangat kucintai.
Harusnya di usiaku yang ke-24 ini, aku menikahinya. Tapi, Ayah tak pernah merestui hubungan
kami. Ayah menilai Husna hanya membawa pengaruh buruk dalam hidupku. Sehingga Ayah tak
pernah menggubris keinginanku untuk menikahinya.
Pernah terlintas di benakku mengajak Husna kawin lari. Tapi, buru-buru kulupakan hal bodoh
itu. Jika kulakukan sama saja dengan membunuh Ayah.
Rahman!!!
Toktoktok
Ayah memanggil sambil menggedor pintu kamarku. Berulang kali Ayah melakukannya,
mengganggu sekali. Malas rasanya membuka mata sepagi ini.
Iya iya, sahutku.
Aku keluar dari kamar dengan rupa acak-acakkan. Samar-samar kulihat dari kejauhan seorang
perempuan duduk di ruangan tamu bersama lelaki tua di sampingnya.
Man kemari sebentar! pinta Ayah memanggilku.
Iya! sahutku cemberut.
Kemudian aku duduk di samping Ayah. Perempuan itu asing di mataku. Kupikir dia adalah calon
istri Ayah. Ternyata prediksiku salah total, perempuan itu adalah orang yang akan dijodohkan
denganku.
Seakan tersengat listrik bertegangan tinggi. Sesak rasanya dadaku mendengar perjodohan ini.
Tak mungkin aku bisa menyukainya, pikirku. Hanya Husna yang bisa memenangkan hatiku, dia
adalah satu-satunya perempuan yang kucinta.

Dengan tegas kutolak permintaan Ayah yang egois ini. Tapi, Ayah tetap saja bersikeras dengan
keinginannya, untuk menikahkanku dengan perempuan itu. Sempat terjadi perdebatan sengit di
antara kami. Tiba-tiba aku teringat akan pesan yang ibu sampaikan dalam mimpiku. Akhirnya
aku mengalah pada Ayah dan meng-iyakan keinginannya, meskipun sebenarnya itu bertentangan
dengan hatiku.
Mati aku jika Husna mendengar berita buruk ini. Dia pasti akan meninggalkanku pergi. Aku tak
mau hal ini terjadi. Buru-buru kupersiapkan sandiwara agar berita buruk ini tak mengagetkan
kekasihku, Husna.
Hampir setiap hari kuhabiskan waktu bersama Husna, dengan berhiaskan canda dan tawa. Mana
mungkin ada kesempatan untuk Meisandy masuk ke hatiku.
Setahun berlalu
Semenjak Ibu hadir dalam mimpiku. Pelan-pelan aku mulai memperbaiki diri. Sedikit demi
sedikit hatiku mulai bersih dari noda-noda hitam yang melekat. Belakangan ini aku jatuh cinta
pada ayah. Dan ayah juga sama sepertiku. Ayah membalas cintaku dengan memperlakukanku
seperti seorang anak pada umumnya.
Mata hatiku mulai terbuka untuk menerima nasehat darinya. Pelan-pelan terjawab sudah
keraguanku. Ternyata, masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Hanya saja masih ada
beberapa hal yang tak bisa kuhentikan. Dan hal tersebut kulakukan bersama Husna.
Sebenarnya, aku menyadari kehadiraan Husna benar-benar membawa pengaruh buruk padaku.
Tapi aku tak bisa pergi begitu saja darinya. Perlu alasan yang sangat, sangat kuat untuk
membuatku pergi meninggalkannya.
Sore ini Meisandy berkunjung ke rumah, ini kali pertama dia menemuiku. Dia datang sendirian,
membawa buah tangan untukku. Tak ada yang menarik darinya. Tak ada juga yang bisa dinilai
darinya. Perempuan ini biasa saja. Dari caranya berpakaian sampai dengan cara bicaranya.
Aku heran, Ayah kok bisa-bisanya kepikiran menjodohkanku dengan Meisandy.
Semakin kedepan semakin jelas terlihat perhatian Meisandy padaku. Dengan karakter dan
pembawaan khas yang dia miliki. Kini Meisandy hadir menghiasi hari-hariku. Tapi tetap saja aku
tak bisa memperhitungkan kehadirannya dalam hidupku. karena tak ada sedikit pun celah, di
bagian hatiku yang bisa terisi oleh orang lain selain Husna, kekasihku.
Malam ini ayah menjamu Meisandy makan malam di rumah. Malas rasanya ikut makan bersama
mereka. Pasti akan sangat membosankan, duduk bersama orang-orang pasif seperti mereka.
Aku adalah orang pertama yang nongkrong di meja makan. Semakin cepat datang maka akan
semakin cepat juga aku meninggalkan mereka, pikirku picik. Setengah jam sudah aku menunggu
di meja makan. Meisandy belum juga muncul. Muak sekali jika harus menunggu orang seperti
dia selama itu.
Assalamualaikum.
Akhirnya datang juga. Aku sudah menyiapkan diri untuk menyantap hidangan yang ada di depan
mata. Sendok dan garpu tinggal lepas landas menuju piring. Aku sudah tak sabar untuk segera
makan.
Assalamualaikum.

Sekali lagi, dia mengucapkan salam di depan rumah. Malas rasanya keluar menyambut
kedatangannya. Untung Ayah mau bersusah payah menjemputnya diluar.
Maaf membuat menunggu, ujarnya.
Dia terlalu basa-basi hanya untuk sekedar makan malam. Hampir aku memarahinya karena
mengulur-ngulur waktu. Apalagi aku sudah kelaparan seperti ini.
Cepat duduk, pintaku sinis.
Maaf ya.
Jengkel sekali mendengar basa-basi yang diucapnya. Bukannya segera duduk, Dia tetap saja
berdiri di belakangku. Kalau tak kupaksa orang ini hanya membuang-buang waktu saja,
gumamku. Akhirnya, aku berdiri dari tempat dudukku dan menoleh kearahnya. Seeettt!
Mendadak lidahku jadi kelu. Aku tak percaya Maisandy secantik ini.
Damai hatiku melihat wajah yang penuh kesejukan itu. Sempurna penglihatanku pada Maisandy
yang mengenakan jilbab hijau tua warna kesukaanku. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi
tentangnya malam ini. Aku khawatir posisi Husna di hatiku terancam tergeser kedudukannya.
Mari kita mulai makan malamnya. ajakku.
Tiba-tiba aku menjadi sosok yang hangat untuk Meisandy malam ini.
Rahman! Bagaimana? Apa kamu sudah siap untuk menikahi Meisandy? tanya Ayah mengawali
obrolan. Aku tak bisa memutuskan secepat mungkin tentang pernikahan ini. Tidak ada basa-basi
sama sekali Ayah menanyakan hal ini, membuat hilang selera makan saja.
Beri Rahman waktu untuk memikirkan hal ini, Yah! terangku padanya.
Apalagi yang kamu pikirkan? Menafkahinya? Masalah itu jangan dipikirkan, nanti Ayah
siapkan usaha untuk kalian kelola bersama. Apa lagi yang membuatmu keberatan?
Beri Rahman kesempatan untuk meyakinkan diri, Yah! Jangan mendesak seperti ini.
Sampai kapan kamu akan memikirkan ini? Sampai kamu tua bangka? Iya? ujarnya marah.
Sampai Rahman menemukan alasan untuk mencintai Meisandy, baru Rahman akan
menikahinya, cetusku tegas.
Makan malam tiba-tiba menjadi hening. Tak enak rasanya, makan dengan keadaan emosi seperti
ini. Kasian Meisandy, hanya tertunduk bisu, mendengar kami berdebat.
Sekarang aku telah sampai pada saat dimana aku harus memilih. Ini sangat berat bagiku.
Meisandy bukan perempuan yang ku mau tapi ayah menginginkannya mendampingiku. Andai
aku diizinkan, tentu kujatuhkan pilihan pada Husna.
Waktu terus berjalan. Tak terasa usiaku kini makin tua saja.
Aku yang sekarang tak seburuk dulu lagi. Keinginan untuk berubah kini terwujud. Tapi lagi-lagi
masih ada beberapa hal yang tak bisa kuhentikan. Dan hal tersebut kulakukan bersama Husna.
Kini, makin menggebu-gebu kurasa perhatian Meisandy padaku. Dia selalu datang menemaniku.
Sekarang tak banyak waktu yang bisa kuhabiskan bersama Husna.
Ruang gerakku mulai terbatas, Ayah selalu mengawasi pergerakanku untuk bertemu Husna. Tapi,
aku tak sebodoh yang ayah kira. Diam-diam aku mencuri-curi kesempatan menemui Husna.
Saat ini, berbohong rasanya kalau aku bilang tak suka pada Meisandy. Pelan-pelan perempuan
itu menyelinap masuk dalam hatiku. Kurasa tak lama lagi aku menemukan alasan mengapa harus
menikahinya.
Rahman!
Suara itu dekat sekali di telingaku. Ini bukan suara Ayah. Siapa pemilik suara ini? pikirku
bertanya-tanya. Tapi malas sekali rasanya membuka mata sekarang.

Suara itu terdengar berulang-ulang di telingaku. Oke.. oke aku akan memaksa mataku agar
terbuka. Wah wah wah pagi sekali mata ini sudah disuguhi keindahan seperti ini, gumamku.
Meisandy tampil cantik pagi ini. Sekarang ayah benar-benar mengizinkannya melakukan apapun
padaku.
Assalamualaikum.
Aku suka melihat senyumnya pagi ini.
Waalaikumsalam.
Ini sarapan buat Rahman. Mei sendiri yang memasaknya.
Mei gak sarapan? tanyaku.
Mei masak cuma satu porsi. Jadi Rahman saja yang makan.
Wah gak adil ini namanya. Ya sudah kita bagi dua makanannya. Sini aku suapin.
boleh? tanyanya polos malu-malu.
Aku tertawa mendengar pertanyaannya. Aku suka sekali mendengar suaranya. Ada khas
tersendiri dari suara perempuan yang satu ini.
Masuk kamarku aja kamu dikasih izin sama Ayah. Apalagi cuman suap-suapan doang. Pasti
bolehlah! jawabku sambil menertawakan keluguannya. Seharusnya aku tak semudah ini takluk
dan membagi cintaku. Tak bisa kubayangkan hancurnya Husna andai tau apa yang sedang
kulakukan di belakangnya.
Setengah tahun berlalu
Harusnya, aku tak lagi menemuimu sekarang! Setelah perjodohanku dengan perempuan lain.
Harusnya, saat ini aku meninggalkanmu, tanpa harus menemuimu lagi. Tapi aku tak bisa
melakukannya. Aku terlalu menyayangimu, aku benar-benar tak bisa meninggalkanmu.
Sulit bagiku memikirkan ini sendirian. Akhirnya, aku mengakui tentang perjodohanku pada
Husna. Kusampaikan semua kebenarannya dengan jujur. Husna hanya diam, belum menunjukan
reaksi apapun mendengar pengakuanku.
Aku tidak bisa berhenti!!! Aku benar-benar tidak bisa menghentikan ini. Aku tak ingin
kehilanganmu. Perasaan ini tulus sekali. Tentang cintaku padamu, aku benar-benar tidak bisa
menghentikannya, ujarku lagi.
Husna membisu tanpa ekspresi apalagi reaksi. Aku khawatir dia sudah tak mencintaiku lagi.
Sebab sebelum aku mengatakan ini, kami sudah jarang bertemu.
Ternyata salah kalau kupikir Husna tidak mencintaiku lagi. Mendadak airmatanya menetes. Aku
akan bersedih melihatmu menangis. Aku terluka melihatmu tersakiti. Tapi, aku akan sangat
bahagia bila melihatmu juga bahagia, sahutnya sambil menatap tajam mataku, Bila kamu tak
bisa berhenti mencintaiku, maka aku yang akan melakukannya untukmu!!! Aku akan
menghentikannya, aku akan membuatmu tak mencintaiku lagi, aku akan melakukannya
untukmu, lanjutnya lagi.
Seperti tersambar petir rmendengar Husna bicara seperti itu. Hancur berkeping-keping hatiku.
Tak ada yang bisa menggambarkan betapa sedih hatiku jika harus kehilangannya. Sebisa
mungkin aku mengatur emosiku, menahan airmata yang sebentar lagi akan menetes. Mataku
benar-benar seperti sedang kena asap. Akan sangat memalukan bila menangis di hadapan Husna.
Diam-diam aku sudah putus asa, diam-diam aku menyerah dengan perasaanku. Aku merasa
kehilangan, jauh sebelum mendengar pengakuanmu. Aku sudah terbiasa tanpa kamu ada di
sisiku. Semenjak kita jarang bertemu, aku sudah membiasakan diri tanpamu. Bertahun-tahun kita
bersama, dan hari ini adalah hari dimana aku tak bisa lagi menemanimu. Setelah ini, Saat aku
menghilang. Tolong jangan pernah mencari atau pun memikirkanku lagi, lanjutnya.

Binar di mataku mulai mengganggu, penglihatanku menjadi agak kabur. Airmata seperti sedang
berdesakan ingin keluar dari mataku. Runtuh rasanya langit mendengar Husna bicara seperti itu.
Ini kali pertama dalam hidupku dibuat kecewa olehnya.
Aku bersikeras memintanya untuk tidak menyerah mencintaiku. Tapi, dia juga bersikeras
memintaku berhenti mencintainya.
Semudah ini kah aku akan kehilanganmu? Semudah ini kah aku akan melepaskanmu? Haruskah
aku menyerah sekarang? tanyaku dengan nada yang sedikit meninggi, Tidak aku tak akan
melakukannya. Kamu bohong! Semua yang kamu katakan itu tidak seperti yang kamu rasakan!
Aku tau kamu tak akan pernah berhenti mencintaiku! ujarku coba memastikan.
Husna hanya diam.
Bukan itu reaksi yang kuharap darinya. Kupikir dia akan menghampiri dan memelukku, setelah
mendengar apa yang kukatakan tadi. Ternyata tidak, dia berbalik dan meninggalkanku pergi
tanpa sepatah kata pun terucap. Akhirnya, airmataku yang dari tadi sudah berdesakan satu per
satu keluar dari mataku.
Pantas, Husna meninggalkanku pergi. Ternyata dari tadi Meisandy sudah berdiri di belakangku
dengan airmatanya.
Awalnya Meisandy memberiku kesempatan menjelaskan pertemuan antara aku dan Husna. Tapi
aku tidak bisa memberikan penjelasan apa-apa padanya. karena ini memang salahku sepenuhnya.
Yang tidak memberitahukan padanya kalau aku pergi menemui Husna.
Sekarang aku benar-benar terlibat dalam cinta segitiga yang dramatis. Husna dan Meisandy
sudah merenggut kebahagiaanku. Mereka harus bertanggung jawab untuk mengembalikannya
lagi padaku.
Malam hari tepat pukul 19.00.
Rahman
Ayah memanggilku. Sepertinya ada sesuatu yang serius ingin dibicarakannya. Buru-buru aku
mendekat.
Duduk sebentar, Nak! Jadi bagaimana? Kamu sudah siap?
Aku tidak fokus dengan yang Ayah katakan.
Bagaimana?
Dia bertanya kembali padaku. Sepertinya kali ini Ayah akan memaksaku mati-matian untuk
menikahi Meisandy.
Baik! Rahman akan segera menikahi Meisandy, tegasku.
Alhamdulillah, ucapnya kemudian menghampiri dan memelukku.
Hanya itu yang bisa kukatakan sekarang. Tidak ada lagi alasan untuk menolak perjodohan ini
setelah Husna meninggalkanku pergi.
Dua hari lagi aku akan menjadi seorang suami untuk Meisandy. Antara siap dan tidak rasanya.
Langit mulai gelap. Matahari mulai menenggelamkan dirinya. Berganti sudah pemandangan di
langit. Sekarang waktunya bulan dan bintang yang menghiasinya. Ditemani rintik hujan,
Meisandy datang ke rumah sekedar mengajakku ngobrol sambil menikmati secangkir teh manis.
Bagaimana perasaanmu sekarang?
Kutolehkan kepala ke arahnya. Ada apa dengan perasaanku? aku balik bertanya padanya.
Apa perempuan yang kamu temui kemarin masih ada disana? tanyanya sambil menunjuk ke
arah kepalaku dengan ciri khas polos yang dimilikinya.

Tidak dia tidak ada disini, jawabku sambil menunjuk kepala, Tapi dia ada disini, lanjutku
sambil menaruh tangan di dada.
Oh!!! Berarti aku lah orang yang ada di kepalamu sekarang, di dalam pikiranmu, disana, dia
kembali menunjuk ke arah kepalaku, Mungkin kehadiranku ini hanya menjadi beban di
hidupmu. Maaf karena aku membuatmu lebih sering berpikir sekarang. Aku benar-benar minta
maaf, ucapnya lirih.
Aku tidak pernah menyesali takdirku. Aku tidak pernah berpikir untuk menyalahkanmu. Ini
takdir yang Tuhan berikan padaku. Apa pantas aku menolak pemberian ini? sahutku padanya.
Meisandy hanya terdiam, matanya tak berhenti mencuri-curi pandang padaku. Aku mengerti apa
yang dirasakannya saat ini. Aku memahami apa yang dikhawatirkannya saat ini. Seharusnya aku
berterimakasih padanya, karena selama ini dia tidak pernah memaksaku untuk mencintainya.
Jangan pernah khawatirkan kebahagiaanku. Saat ini aku baik-baik saja. Jangan pernah berpikir
aku akan menyalahkanmu, ujarku lagi.
Suatu saat, jika kamu menyesal menikah denganku. Silahkan saja kamu marahi aku, caci maki
aku, lakukan apapun yang kamu mau. Tapi aku mohon! Aku mohon, jangan pernah tinggalkan
aku.
Mendadak otakku berhenti berpikir. Tak percaya rasanya mendengar Meisandy mengatakan itu
padaku.
Selama mengenalmu, berada di sisimu, jadi bagian penting di setiap hari-harimu. Bagaimana
mungkin aku akan bertahan bila kamu meninggalkanku. Lakukanlah apapun yang kamu
inginkan. Selama kamu di sisiku, aku baik-baik saja, lanjutnya kemudian berdiri dan
meninggalkanku.
Selama mengenalmu, berada di sisimu, jadi bagian penting di setiap hari-harimu. Bagaimana
mungkin aku akan meninggalkanmu sendirian. sahutku bicara sendiri.
Hari ini adalah hari terakhir aku berstatus bujangan. Lusa, akan menjadi moment terpenting
dalam hidupku. Awal dari kisah hidup baruku dengan keluarga baru.
Saat ini semua orang sepertinya bahagia. Tapi tidak denganku. Aku harus berjuang agar terlepas
dari hatiku yang terbalut luka. Luka lama yang tiba-tiba saja datang menyapaku.
Kenangan manisku bersama Husna tiba-tiba saja menari indah di ingatanku. Sulit sekali
melupakan perempuan ini!!! gumamku kesal. Aku hanya bisa memukul-mukul kepalaku
berharap kenangan itu bisa segera lenyap dari otakku.
Waktuku hanya tersisa 26 jam mengenang Husna. Setelah melangsungkan akad nikah, tak pantas
rasanya aku memikirkan perempuan lain selain istriku. 4 tahun lamanya aku mengenal Husna,
sekarang hanya ada 26 jam waktuku untuk melupakannya. Sama sekali waktu yang tak
sebanding. Tapi, aku harus bisa melupakannya.
Assalamualaikum.
Di tengah indah hayalanku, tiba-tiba Meisandy datang mengganggu. Malas rasanya beranjak dari
tempat tidurku. Ingat dia sebentar lagi jadi istriku, terpaksa aku datang menyambutnya.
Waalaikumsalam.
Nanti malam Rahman sibuk? tanyanya.
Tidak. Ada apa?
Aku mau Abdurrahman menemaniku membeli sesuatu untuk besok. Tapi kalau Rahman tidak
bisa, biar Mei sendiri yang beli.

Oh bisa bisa
Terimakasih.
Malam tiba. Aku memenuhi janjiku pada Meisandy untuk menemaninya membeli
sesuatu. Sepanjang jalan kami hanya mengobrol. Merancang masa depan yang
akan kami jalani nantinya. Di tengah serunya obrolan, aku membuat kesalahan fatal
yang menyinggung perasaannya. Aku salah menyebutkan nama. Konsentrasiku
buyar karena saat itu aku juga sedang memikirkan Husna.
Apa Rahman masih memikirkan perempuan itu? tanyanya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku berusaha menenangkan pikiran agar tak salah
bicara untuk yang kedua kali.
Kami mampir ke suatu tempat untuk membicarakan hal ini lebih serius.
Benar, Rahman masih memikirkan perempuan itu? tanyanya kembali seolah
mendesakku.
Sepertinya aku tak bisa lagi berlama-lama menyembunyikan perasaan yang ada di
hatiku sekarang. Alangkah baiknya jika Meisandy tau semua yang ada di hati dan
pikiranku, ucapku dalam hati. pelan-pelan aku mendekatinya. 4 tahun yang lalu,
aku adalah seorang lelaki yang berperangai buruk. Membangkang pada ayah. Lupa
akan kewajibanku sebagai seorang muslim. Hina sekali hidupku!!! Aku membiarkan
diriku terjerumus dalam mega dunia. Mataku jadi buta, kulakukan semua yang tidak
sepantasnya aku lakukan.
Meisandy hanya menatapku seolah penasaran mendengar cerita dariku.
Tiba-tiba datang seorang bidadari yang kulihat dari balik jendela kamar. Seorang
bidadari yang sebenarnya tak pernah terbayangkan olehku kedatangannya.
Pelan-pelan dia bersihkan noda hitam yang melekat di hatiku. Tanpa kutau diamdiam dia menyelinap masuk dalam hatiku. Aku tak bisa menghindarinya, aku jatuh
cinta padanya. Tapi Ayah tak menyukainya. Ayah berprasangka buruk padanya.
Ayah menganggap kehadirannya hanya membawa pengaruh buruk untukku. Ayah
tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan ini semua. Ayah malah
membenciku. Tapi bidadariku itu tak pernah menyerah untuk menyelamatkanku. Dia
terus hadir menemaniku. Dia menjagaku dari nafsuku akan dunia. Dia terus hadir
menyelamatkanku dari sadisnya duniaku. Dia datang dan melarangku melihat
perempuan yang berkeliaran di sekitarku, dia datang dan melarangku menyentuh
perempuan yang ada di sekelilingku. Tapi satu kesalahan fatal yang dilakukannya,
dia tak melarangku untuk mencintainya, ujarku lagi pada Meisandy, Malam itu Ibu
menemuiku dalam mimpi. Ibu datang dan memarahiku karena prilaku burukku. Dan
yang paling menakutkan dalam mimpi itu, Ibu bilang tak lama lagi akan menjemput
Ayah. Aku tak ingin kehilangannya. Akan kulakukan segala yang bisa kulakukan agar
bisa menyenangkan hatinya. Lalu, Ayah memintaku untuk menikahimu. Aku tak bisa
menolaknya, apalagi saat itu Husna telah meninggalkanku.
Meisandy tetap saja tidak bereaksi. Dia hanya menunggu aku melanjutkan cerita.
Setelah mimpi yang kualami itu. Aku benar-benar memperbaiki diriku. Dan itu
semua atas kemauanku sendiri, tanpa paksaan dari bidadariku lagi. Tapi sayang,
ada satu hal yang tak bisa kuhentikan, dosa besar yang tak dapat kuhindarkan. Dan

aku melakukannya bersama bidadariku itu, ujarku.


Meisandy kaget. Sepertinya dia salah paham dengan kata yang terakhir kuucapkan.
Maksud Rahman? Kalian telah melakukannya? Kalian telah? tanyanya kaget.
Bukan bukan itu yang kumaksud, tepisku buru-buru sebelum Meisandy
berpikiran lebih jauh lagi, Dosa besar yang ku lakukan adalah berbohong pada
Ayah. Dengan lancang aku menghianatinya, aku ingkar pada janji yang telah
kusepakati dengannya.
Ayah memintaku untuk menjauhi Husna, tapi aku tidak melakukannya. Kami
berdua tidak melakukannya. Malah kami menentang keinginan Ayah. Kami
memperkuat rasa cinta yang kami miliki, bukan menghindari seperti yang Ayah
inginkan, jelasku lagi.
Harusnya sejak awal, aku tidak mengharapkanmu mencintaiku. Sakit sekali
rasanya mendengar ini. Tak seharusnya aku ada di antara kalian. Mengapa Rahman
tega membiarkanku melangkah sejauh ini? ujarnya lirih bertanya padaku.
Ayah memaksaku untuk melakukannya, Ayah memaksaku untuk mencintaimu. Aku
tidak bisa menolak. Aku takut terjadi sesuatu padanya jika berani terang-terangan
menolak keinginannya, jawabku, Tapi lama kelamaan aku juga mulai nyaman
dengan keterpaksaan yang kurasakan. Aku mulai terbiasa dengan kehadiran
Meisandy. Berbohong, jika aku bilang tidak mencintai Meisandy sekarang, lanjutku.
Meisandy tidak mengatakan apapun padaku. Hanya saja, airmatanya membuatku
mengerti apa yang di rasakannya sekarang.
Tinggal 10 jam waktuku yang tersisa untuk mengenang kisah manis yang kualami
bersama Husna. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menghindar dari pernikahan
besok. Sebentar lagi Husna akan benar-benar kuhapus dari hidupku. Sulit rasanya
malam ini untuk memejamkan mata. Aku berharap saatku tertidur, tak ada seorang
pun yang membangunkanku. Tak ingin rasanya kubuka mata ini. Sepertinya
sekarang hidupku telah berakhir.

Rahman!
Seseorang membangunkanku di pagi buta. Suaranya tak asing di pendengaranku. pelan-pelan
kubuka mata, memastikan pemilik suara itu adalah seseorang yang kukenal.
Rahman!
Lagi orang itu memanggil namaku. Wajahnya tampak samar-samar di penglihatanku. Husna?
tanyaku memastikan, Apa ini mimpi? lanjutku, memukul kedua pipi.
Ini aku! Husna, Jawabnya.
Bukan ini mimpi!!! Iya ini mimpi!!! ujarku tak percaya.
Ini nyata! Ini aku, Husna. Orang yang kamu tunggu.
Bagaimana mungkin Husna bisa masuk kamarku. Tak mungkin Ayah tidak bereaksi melihat
Husna nyelonong masuk. Ada apa dengan Ayah pagi ini? atau jangan-jangan, karena hari ini aku
akan menikah. Jadi, Ayah memberi kesempatan pada Husna untuk mengucapkan kata-kata
terakhirnya, pikirku.
Apa Ayah melihatmu? tanyaku.
Iya, jawabnya, Tadi malam Ayahmu memintaku untuk menemuimu.
Apa? Ayah mencarimu? Apa dia menyakitimu? tanyaku penasaran.
Ayahmu hanya memintaku untuk menemuimu. Setelah itu dia pergi.

Apa Meisandy tau tentang ini?


Ayahmu datang bersama Meisandy.
Apa yang terjadi? Apa Meisandy melakukan sesuatu padamu? Apa dia membuatmu?
Aku tak tahu harus melakukan apa pada meisandy yang sudah lancang merebutmu dariku.
Harusnya aku membencinya sekarang!!! Harusnya aku membalas kesakit hatianku padanya. Tapi
tidak!!! Aku tak bisa melakukannya, ujarnya memotong omonganku, Harusnya sekarang aku
menemuinya, dan berterimakasih. Dia orang bodoh yang pernah kukenal!!! Beraninya dia
menangis dan bersujud di hadapan ayahmu. teganya dia memohon pada ayahmu, agar
mengizinkannya melepasmu. Tega sekali dia melakukannya!!! Dia telah mengorbankan
kebahagiaannya. Semua itu dilakukannya untukku.
sekarang apa salah jika aku ingin memeluknya? lanjutnya sambil menangis.
Jadi sekarang Meisandy?
2 jam lagi akad nikah akan dimulai. Meisandy menunggu kita diluar. Dia ingin kita
melakukannya, sahutnya kemudian melangkah keluar dari kamarku.
Akhirnya, Husna jadi istriku. Setelah Meisandy menjelaskan semua yang terjadi pada Ayah.
Dan akhirnya, mimpi terbesar dalam hidupku terwujud sudah. Senang rasanya, Tuhan telah
mengabulkan doa yang kupanjatkan di setiap tahajudku. Menyelamatkanku dari zina dan
melengkapi rusukku dengan kehadiran Husna.
Selesai
Cerpen Karangan: Fahrial Jauvan Tajwardhani
Facebook: Fahrial Jauvan Tajwardhani

Anda mungkin juga menyukai