Anda di halaman 1dari 5

ABU JAFAR AL MANSUR

Abu Jafar Abdullah bin Muhammad Al Mansur (712775; Arab:


)merupakan Khalifah kedua Bani Abbasiyah. Ia dilahirkan di al-Humaymah, kampung
halaman keluarga Abbasiyah setelah migrasi dari Hejaz pada tahun 687-688. Ayahnya adalah,
Muhammad, cicit dari Abbas; ibunya bernama Salamah al-Barbariyah, adalah wanita dari
suku Barbar.[1] Ia dibaiat sebagai khalifah karena penobatannya sebagai putera mahkota oleh
kakaknya, As-Saffah pada tahun 754, dan berkuasa sampai 775. Pada tahun 762 ia
mendirikan ibu kota baru dengan istananya Madinat as-Salam, yang kemudian
menjadi Baghdad.

al-Mansur tersangkut dengan kerasnya masa pemerintahannya setelah kematian saudaranya


al-'Abbas. Pada 755, ia menyusun pembunuhan Abu Muslim, jenderal yang telah memimpin
pasukan al-'Abbas menang terhadap keluarga Umayyah dalam perang saudara ke-3. Ia
berusaha memastikan bahwa keluarga Abbasiyah ialah yang tertinggi dalam urusan negara,
dan kedaulatannya atas Khilafah akan tak diragukan lagi.

Ia menyatakan, sebagaimana yang telah ditempuh Khilafah Bani Umayyah,


menyelenggarakan otoritas keagamaan dan keduniawian. Secara lebih lanjut mengasingkan
Muslim Syiah yang telah terjadi, selama masa pemerintahan al-'Abbas, menginginkan Imam
Syiah mengangkat khalifah.

Selama masanya, karya sastra dan ilmiah di Dunia Islam mulai muncul dalam kekuatan
penuh, didukung toleransi terhadap orang-orang Persia dan kelompok lain. Walau Khalifah
Bani Umayyah Hisyam bin Abd al-Malik telah mengambil praktik peradilan Persia, itu tak
sampai masa al-Mansur jika sastra dan ilmu pengetahuan Persia sampai mendapat
penghargaan yang sebenarnya di Dunia Islam. Munculnya Shu'ubiya di antara sarjana Persia
terjadi selama masa pemerintahan al-Mansur sebagai akibat hilangnya sensor atas Persia.
Shu'ubiya merupakan gerakan sastra antara orang Persia yang menunjukkan kepercayaan
mereka bahwa seni dan budaya Persian lebih tinggi daripada Arab; gerakan, membantu
mempercepat munculnya dialog Arab-Persia pada abad ke-8.

Barangkali yang lebih penting daripada munculnya ilmu pengetahuan Persia ialah masuknya
banyak orang non-Arab ke dalam Islam. Secara aktif Bani Umayyah mencoba mengecilkan
jumlah masuknya agar melanjutkan pungutan jizyah, atau pajak terhadap non-Muslim.
Keinklusifan Bani Abbasiyah, dan bahwa al-Mansur, memandang ekspansi Islam di antara
daerahnya; pada 750, sekitar 8% penduduk Negara Khilafah itu Muslim. Ini menjadi 2 kali
lipat 15% dari akhir masa al-Mansur.

Al-Mansur meninggal pada 775 dalam perjalanannya ke Makkah untuk berhaji. Ia


dimakamkan entah di mana di sepanjang jalan dalam salah satu ratusan nisan yang telah
digali untuk menyembunyikan badannya dari orang-orang Umayyah. Ia digantikan
putranya al-Mahdi.
Sistem Pemerintahan Pada Masa al-Mansur

Sebelum Abu al-Abbas as-Saffah meninggal, ia sudah mewasiatkan siapa bakal menjadi
penggantinya, yakni saudaranya, Abu Jafar, kemudian Isa ibn Musa, keponakannya. As-
Saffah digantikan oleh saudaranya, Abu Jafar, yang memperoleh gelar Al-Manshur
(pemenang). Menurut Hitti, dia ternyata salah seorang Abbasiyah yang paling berhasil
meskipun paling jahat. Meskipun As-Saffah merupakan penguasa pertama dari bani Abbas,
Abu Jafar harus diangkat sebagai pendiri dinasti itu yang sebenarnya.[3] Sistem
pengumuman putra mahkota ini meniru cara Umayyah, bukan mencontoh khulafaurrasyidin
yang mendasarkan pemilihan kholifah pada musyawarah dari rakyat.

Di zaman al-Mansur berawal masa kejayaan dan masa perkembangan ilmu pengetahuan,
yang oleh karenanya Daulah Abbasiyah mencapai zaman keemasannya di belakang hari. Di
zaman al-Mansur pula berkembang pengaruh Persia secara jelas, sehingga khalifah-khalifah
Bani Abbas meniru umat Persia tentang adat istiadat istana bahkan sampai kepada nizam
siasat yang terpakai di masa pemerintahan Kisra-kisra Persia. Ada suatu hal yang baru lagi
bagi para khalifah Abbasiyah, ialah pemakaian gelar. Abu Jafar misalnya memakai gelar al-
Mansur. Hal tersebut dapat ditelusuri dari lokasi dimana Abbasiyah berkuasa yang bertumpu
pada bekas kekuasaan Persia, sehingga model Persia dijadikan acuan bagi pemerintahannya.
Antara lain ialah dengan mengatakan bahwa seorang penguasa adalah wakil Tuhan di bumi,
tuhan telah memilih mereka sebagai orang kepercayaan-Nya untuk memerintah. Sedangkan
menurut Joesoef Souyf disebabkan Abu Jafar senantiasa menang di dalam peperangan baik
memadamkan kerusuhan maupun dalam menghadapi serangan imperum Byzantium, maka ia
pun digelari al-Mansur yang berarti memperoleh pertolongan dari Allah,.

Pada masa al-Mansur pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata Innama ana
Sulthan Allah fi Ardhihi (Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di buminya). Dengan
demikian konsep khalifah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi selanjutnya yang
merupakan mandate dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi
sebagaimana pada masa khulafaurrasyidin. Hal ini merupakan pengaruh Persia yang
menetapkan bahwa raja adalah wakil Tuhan, karena itu dia berhak memerintah, dan rakyat
hendaklah setia dan patuh kepadanya.

Setelah diangkat menjadi khalifah, Abu Jafar al-Mansur segera membuat beberapa
perombakan dalam bidang pemerintahan. Dia mulai menerapkan sistem baru. Dia
mengangkat seorang wazir yang bertugas sebagai seorang koordinator antar departemen yang
ada. Jabatan wazir ini hamper mirip dengan perdana menteri

Selain itu, Abu Jafar juga mulai menerapkan tradisi prokoler. Tradisi protokoler ini
mirip dengan lembaga sekretariat negara. Lembaga ini bertugas mengatur jadwal pertemuan
dengan khalifah. Para tamu yang mau bertemu dengan khalifah harus terlebih dahulu melapor
dan menjelaskan keperluannya. Dengan adanya tradisi protokoler ini, para tamu, tidak mudah
bertemu dengan khalifah.[5]

Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun
750-754 M. selanjutnya digantikan oleh Abu Jafar al-Mansur (754-775 M), yang keras
menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syiah. Untuk
memperkuat kekuasannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu
persatu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya
sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syiria dan Mesir dibunuh
karena tidak bersedia membaiatnya, al-Mansur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani
melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani, karena
dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.

Abu muslim sendiri merupakan seorang yang setia kepada kahlifah dan berpengaruh
besar. Ketika as-saffah masih hidup, Abu Muslim selalu dimintai pendapatnya dalam urusan
negara, sebelum meminta kepada yang lain termasuk al-Mansur. Dikarenakan kekhawatiran
akan menjadi pesaing baginya, maka Abu Muslim al-Khurasani dihukum mati pada tahun 755
M. Selanjutnya Abu Jafar juga menyingkirkan keturunan Ali ibn Abi Thalib yang
pengikutnya banyak, terutama di wilayah berdirinya kekuasaan Bani Abbas. Mereka
ditakutkan menuntut hak untuk kepemimpinan umat dari golongannya yang selama ini ikut
berjuang mendirikan kekuasaan.

Selain kedua rival itu, pemimpin kharismatik sekte Syiah, Muhammad ibn Abdullah
ibn Hasan ibn Ali, yang terkenal dengan sebutan Imam Nafs al Zakiyah telah bersumpah
setia, kepadanya sebagai imam dan akan diangkat sebagai khalifah setelah runtuhnya Bani
Umayyah. Rakyat Hijaz dan Yaman mengakuinya sebagai khalifah, mereka termasuk Imam
Abu Hanifah dan Imam Malik menyatakan Nafs al-Zakiyah sebagai khalifah yang sah.
Akan tetapi, justru dibunuh oleh Mansur. Demikian pula nasib saudaranya, Ibrahim juga telah
dibunuh Mansur, dimana kedua saudara yang dihormati banyak orang baik kalangan Syiah
maupun bukan Syiah.
Kisah Kecerdikan Abu Ja'far Al-Manshur

Suatu ketika Abu Ja'far, 'Abdullah bin Manshur, seorang khalifah, sedang duduk-duduk di
salah satu kubah kota al-Manshur di 'Iraq. Tiba-tiba dia melihat seorang laki-laki yang sedang
sedih dan bolak-balik ke sana- kemari di sepanjang jalan. Lalu dia mengirimkan utusan untuk
menemuinya dan menanyakan kondisinya. Maka orang tersebut menceritakan bahwa pernah
suatu hari dia pergi berbisnis dan mendapatkan keuntungan yang besar sekali.

Setelah itu, dia kembali membawa hasil keuntungan tersebut kepada sang isteri dan
menyerahkan semua uang dinar kepadanya. Namun kemudian, kisahya, isterinya tersebut
mengatakan kepadanya bahwa semua uang tersebut telah dicuri orang dari rumah, padahal
setelah dia meneliti, tidak ada satupun bekas lobang atau sesuatu yang terbongkar di
rumahnya. Lantas berkatalah al-Manshur kepadanya, "Sejak kapan kamu menikah
dengannya?" "Setahun yang lalu." Jawabnya "Saat kamu nikahi, dia masih perawan atau
sudah janda?", tanyanya lagi "Sudah janda." Jawabnya "Masih muda atau sudah berumur?."
Tanya al-Manshur lagi "Masih muda." Jawabnya pula Tak berapa lama kemudian, al-Manshur
mengambil sebuah botol berisi parfum yang demikian semerbak aromanya seraya berkata
kepada orang tersebut, "Pakailah ini, pasti akan hilang semua kegelisahanmu." Lalu orang itu
mengambilnya dan membawanya pulang.

Setelah orang tersebut berlalu, al-Manshur berkata kepada para pengawal pilihannya,
"Duduklah kalian di dekat pintu-pintu masuk kota ini. Siapa saja yang melintasi kalian dan
tercium dari tubuhnya semerbak aroma parfum tadi, maka bawalah dia kemari.!!" Sementara
orang tadi sudah sampai di rumahnya dan segera menyerahkan parfum tersebut kepada sang
isteri sembari berkata, "Ini ada parfum bagus, hadiah dari Amirul Mukminin!." Tatkala
menciumnya, sang isteri ini demikian takjub dan terpikat dengannya, lalu sertamerta dia
membawa parfum tersebut kepada seorang laki-laki, kekasih gelap yang dia cintai. Kepada
orang inilah, dia menyerahkan semua uang dinar yang hilang itu. si perempuan ini berkata
kepadanya, "Pakailah parfum yang bagus ini!." Tanpa rasa curiga dan pikir panjang lagi,
kekasih gelapnya ini langsung memakainya, dan pergi melintasi sebagian pintu kota.
Akhirnya, dari tubuhnya tersebut terciumlah semerbak aroma parfum sang khalifah itu.
Karenanya, diapun kemudian diciduk oleh para pengawal istana dan dibawa menghadap al-
Manshur.

Setibanya di istana, al-Manshur bertanya kepadanya, "Dari mana kamu dapatkan parfum
ini?." Ternyata orang ini tidak dapat bersikap tenang dan terbata-bata di dalam menjawabnya.
Melihat gelagat seperti ini, maka al-Manshur langsung menyerahkannya kepada polisi
sembari memberikan titah, "Jika dia mau menghadirkan sekian dan sekian dinar yang
dicurinya, maka ambillah darinya. Bila dia tidak mau, maka cambuklah dia seribu kali
cambukan!!!." Tak lama kemudian, pakaiannya dilucuti untuk dicambuk sembari diancam,
hingga akhirnya dia mengaku dan berjanji akan mengembalikan uang dinar yang dicurinya
itu. Kemudian dia menghadirkan uang tersebut seperti sediakala, tidak kurang sepeserpun.

Setelah itu, al-Manshur diberitahu perihal tersebut, lantas si empunya uang dinar tersebut
dipanggil lagi untuk menghadap. Ketika dia sudah datang, al-Manshur berkata kepadanya,
"Bagaimana pendapatmu, bila aku berhasil mengembalikan semua uangmu yang hilang,
apakah kamu setuju aku yang akan menjatuhkan vonis terhadap isterimu?." "Baiklah, wahai
Amirul Mukminin." Katanya "Ini semua uang dinarmu tersebut dan aku juga telah
menceraikan isterimu itu darimu.!" Kata Amirul Mukminin, al-Manshur. Setelah itu, sang
khalifah yang cerdik ini mengisahkan kepada orang tersebut kronologis ceritanya.

Anda mungkin juga menyukai