Anda di halaman 1dari 5

KOTAK MAKAN

Krik… Krik… Krikk…

Suara jangkrik yang sedang mendengkur terdengar sangat jelas. Suasana hening dan
hembusan dinginnya angin yang menggesek kulit, menambah kenyamaan tidur penduduk Desa
Ngablakan. Tidak terkecuali para santri Pondok Pesantren al-Fadlillah baru saja selesai mengaji
hingga larut malam. Para santri itu terlihat sangat lelap tertidur setelah seharian penuh
melakukan aktivitas di pondok pesantren. Namun, hal itu tidak berpengaruh bagi seorang Kuni.
Santriwati yang cantik bersuara indah yang memiliki semangat belajar tinggi. Dia segera
beranjak dari tempat tidurnya. Sejenak, dia duduk terdiam sambil mengucek-ngucek matanya.
Hawa dingin dini hari menerobos dinding asrama putri, dan menghampiri setiap santriwati yang
tidur. Segera ia mengambil air wudhu. Dinginnya air membuat rasa kantuk Kuni hilang, Wajah
cerah dan segar kembali lagi.

Shalat tahajjud adalah kebiasaan Kuni kecil sedari dulu. Di sepertiga malam, di saat
kebanyakan orang bercengkrama dengan mimpi, dia gunakan untuk berbincang-bincang dengan
Tuhan. Kebiasaan itulah yang diajarkan kedua orang tuanya dari kecil. Menjadi pribadi yang
tidak hanya menjaga shalat lima waktu, tetapi juga shalat sunnah.

Waktu menunjukkan pukul 03.30. Selepas shalat tahajjud, Kuni melanjutkan


kebiasaannya yang terbentuk semenjak masuk pesantren tahfidz, yaitu mengulang kembali
hafalannya. Dia memang dikenal sebagai santri yang ceria dan cepat dalam menghafal al-Qur’an.
Hanya dalam satu tahun, dia sudah selesai menyelesaikan hafalannya bersama salah satu teman
dekatnya, Nabilah.

“A’uudzubillahiminassyaithoonirrajiim…Bissmillahirrahmaanirrahiim…” Kuni mulai


mengulang hafalan.

Allahu Akbar… Allahu Akbar…

Kumandang suara adzan memecah keheningan waktu Subuh kala itu. Masjid-masjid
kompak membangunkan orang-orang yang masih berselimut mimpi di rumah-rumah, termasuk
para santri Pondok Pesantren al-Fadlillah. Mereka bergegas bangun dan mengambil air wudhu
agar tidak terlambat mengikuti shalat jamaah Subuh. Kuni yang sedari tadi bangun, langsung
menuju ke masjid untuk mendirikan shalat Subuh berjamaah. Sementara itu, para santri
berbondong-bondong menuju masjid. Ada yang masih ngantuk. Ada pula yang semangat. Tidak
lama kemudian, masjid penuh dengan santri-santri.

Sembari menunggun Pak Kyai datang, para santri menggunakan waktunya untuk
membaca al-Qur’an. Meskipun ada juga santri yang karena tidak kuat menahan kantuk, dan
akhirnya tidur dengan poisis sila dan kepala tertunduk seperti orang berdzikir. Tidak lama
kemudian, Pak Kyai datang. Iqomah pun dikumandangan. “Sauwuu sufufakum fainna taswiyata
ash-shaffi min tamaami ash-shalaati” Ucap Pak Kyai agar para jamaah meluruskan shaf shalat.

“Assalaamualaikum Warahmatullah…” Salat Subuh telah selesai. Pak Kyai membalikan


badan untuk memimpin dzikir dan mengecek siapa saja dari santrinya yang tidak ikut shalat
Subuh berjamaah. Dzikir telah usai. Para jamaah satu per satu beranjak dari tempat duduknya
dan mengambil al-Qur’an. Mereka memulai pagi dengan kajian bersama Pak Kyai. Seperti biasa,
harus ada minimal empat santri yang maju dalam setiap kajian beliau dengan membawa
pertanyaan. Masing-masing dua dari santri putrid an dua dari santri putra. Karakter keras dan
disiplin Pak Kyai sangatlah kuat. Beliau sangat tidak suka jika yang maju tidak sesuai dengan
intruksinya. Saat itu, Kuni maju bersama bersama teman dekatnya yang lebih senior, yaitu
Nabilah. Sedangkan dari santri putra adalah Ahmad dan Satriya. Kajian berlangsung lancar dan
baik. Semua pertanyaan yang diajukan oleh keempat santri tersebut dijawab oleh Pak Kyai.
Banyak pengetahuan dan pemikiran baru yang didapatkan para santri pagi itu.

Kajian telah selesai. Para santri bergegas meninggalkan masjid dan menuju asrama
masing-masing.

“Eh teman-teman, makan bareng yuk. Di dekat taman” Ajak Indah, santriwati yang
berwatak lembut.

“Boleh itu. Ayo” Sahut Diah dan diikuti santriwati yang lain.

Pagi itu, cuaca sangat cerah sekali. Angin berhembus lebih hangat dibandingkan dini hari
tadi. Kuni bersama teman-temannya menuju tempat kotak makan para santri dikumpulkan. Satu
per satu kotak makan diambil pemiliknya. Sayangnya, kotak makan Kuni tidak ada di tempat.

“Loh, di mana kotak makan ku ya? Kok gak ada?” Kata dia sambil terheran

“Belum kamu cuci kali, Kun” Ujar Diah sambil menenteng kotak makannya di samping
Kuni

“Udah. Udah aku cuci kok. Udah aku taruh di sini seperti biasa” Jawab Kuni

“Coba kamu Tanya pihak ketering. Siapa tahu kotak makanmu masih tertinggal di sana”
Saran Diah ke Kuni

“Iya deh. Coba aku ke ketering” Sahut Kuni

Kuni pun berjalan menuju ketering dengan sedikit cepet. Tidak sabar untuk makan
setelah semalaman perutnya tidak terisi. Sesampainya dia ketering, dia melongokkan kepalanya
di pintu sembari bertanya “Maaf, Mbak kotak makan saya kok tidak ada di tempat pengumpulan
seperti biasa ya? Padahal sudah saya cuci dan saya taruh di sana kemarin. Apa masih tertinggal
di sini?” Tanya Kuni dengan wajah yang agak canggung dan takut. Wajar. Karena petugas
ketering dikenal galak.
Petugas ketering memasang mata kejam dan raut muka yang garang.

“Maaf, Kuni jotak makan kamu tidak bisa kami isi” Kata Almi salah satu petugas
ketering.

“Loh, kenapa kok kotak makan saya tidak diisi, Mbak? Tanya Kuni keheranan.

“Kamu belum membayar uang bulanan selema 4 bulan.” Jawab Almi d

“Maaf, Mbak saya belum dikirimi uang oleh orang tua. Uang terpaksa digunakan orang
tau saya untuk adik berobat.” Jawab Kuni dengan kepala tertunduk malu.

“Oh, jadi adik kamu sedang sakit? Kenapa kamu engga bilang. Tapi kami tetap tidak bisa
mengisi kotak makanmu. Kamu tahu kan ketentuan di sini bagaimana? Kalo nunggak bulanan
ketering lebih dari tiga kali, kotak makan tidak bisa diisi.” Kata Almi dengan nada kasihan
melihat keadaan Kuni.

“Baiklah, Mbak tidak apa-apa. Kalo begitu, saya pergi dulu” Sahut Kuni dengan wajah
yang sedih melangkah pergi meninggalkan ketering.

Dia berjalan tertunduk, menangis karena belum bisa membayar tunggakan bulanan
ketering selama empat bulan. Ditambah sang adik yang terngah sakit dan harus segera diobati.
Dia berlari kecil melewati santriwati lain yang sedang ngobrol di depan asrana. Sampai di kamar,
dia menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Air matanya membahasi bantal kecil bergambar panda
hadiah ulang tahunnya dari sang ayah. Dia menangis tersedu-sedu, hatinya seakan-akan tersayat.
Hanya air mata yang mampu ia ucapkan. Mulutnya tertutup rapat menahan suara agar tidak
terdengar orang lain. Keinginan makan bersama teman-temannya di taman sinar dari ingatannya.
Sementara di taman, Diah dan teman-teman menunggu kedatangan Kuni cukup lama. Mereka
ingin Kuni menceritakan kisah Badiuzzaman Said Nursi semabri makan pagi bersama. Seorang
tokoh pembaharu Islam dari Turki yang berpikiran modern dan moderat pada tahun 1877-1960.
Kuni selain dikenal sebagai santriwati yang cerdas dalam hal agama, dia juga cerdas dalam
sejarah. Banyak buku-buku sejarah yang ia baca. Sehingga banyak teman-teman santriwati yang
meminta Kuni untuk menceritakan biografi beberapa tokoh dunia Islam. Namun, Kuni tidak
kunjung datang.

“Loh, Kuni ke mana ya? Kok belum datang?” Tanya Nabilah. Santriwari yang cantik
berkacamata.

“Tadi sih ke ketering mau cek kotak makanya kok gak ada di tempat pengumpulan.”
Jawab Diah sambil menjelaskan ke mana Kuni.

“Kok lama banget? Apa jangan-jangan dia lupa?” Tanya kembali Nabilah.

“Mungkin aja” Sahut Diah.


“Eh, coba kamu tanya petugas ketering di mana Kuni.” Kata Indah sambil memberi saran
kepada Nabilah.

“Iya deh. Coba aku tanyakan di mana Kuni.” Sahut Nabilah sembari menuju ketering.

“Maaf, Mbak apakah ada yang tahu di mana Kuni? Tadi dia bilang mau ke ketering untuk
mengecek kotak makannya yang tidak ada di tempat pengumpulan” Tanya Nabilah kepada
petugas ketering.

“Tadi dia pergi. Enggga tahu ke mana.” Jawab Roah salah satu petugas ketering.

“Oh Baik, Mbak. Terima kasih kalo begitu.” Ucap Nabilah.

Nabilah akhirnya pergi mencari di mana Kuni berada. Dia bertanya kepada santriwati lain
yang sedang duduk di depan. Mereka memberitahu bahwa Kuni masuk ke kamar dengan
keadaan menangis. Nabilah pun merasa heran kenapa Kuni menangis. Padahal, sebelumnya Kuni
sangat ceria dan segar. Nabilah pun bergegas menuju kamar. Ditemuinya Kuni yang sedang
berbaring memeluk bantal dalam keadaan menangis tersedu-sedu. Sesegera dai menghampiriya
dan bertanya apa yang terjadi.

“Kamu kenapa, Kuni? Kenapa kamu menangis?” Tanya Nabilah dengan perasaan cukup
cemas.

“Aku belum bayar bulanan ketering selama empat bulan, Bil. Jadi, aku tida bisa makan.
Aku malu, Bil.” Jawab Kuni dengan nada penuh kesedihan.

“Kok bisa? Kenapa? Coab ceritakan kepada ku.” Tanya Nabilah yang semakin
keheranan.

“Adikku sedang sakit dan uang yang bulanan ku harus digunakan untuk berobat adikku.
Aku kasihan dengan orang tuaku, Bil. Aku Tidak tahu harus bagaimana lagi agar bisa membayar
tunggakanku.” Jawab Kuni.

Melihat keadaan Kuni yang sedang ditimpa kesusahan, Nabilah merasa sangat cemas dan
khawatir. Dia pun ikut menjatuhkan air mata. Tidak tahan melihat teman dekatnya menangis.

“Tidak usah khawatir, Kun aku akan membantumu. Pakailah dulu uangku untuk
membayar tunggakanmu selama tiga bulan. Setidaknya itu bisa meringankan bebas kedua orang
tuamu.” Ucap Nabilah sambil menenangkan Kuni.

“Tapi, Bil kamu juga butuh uang untuk keperluan pribadimu” Sahut Kuni

“Sudahlah. Tidak usah memikirkan itu. Aku masih ada uang sisa. Cukuplah buat
keperluarku satu bulan.” Jawab Nabilah

“Tapi, Bil…”
“Sudah. Aku tidak ingin melihat teman dekatnya menangis. Aku ingin kamu kembali
ceria seperti tadi. Toh kita ini saudara. Sudah seharusnya kita saling tolong menolong.” Ujar
Nabilah

“Terima kasih, Bil kamu mau membantuku. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi
kepadamu. Kira-kira kapan aku harus mengembalikannya kepadamu?” Ucap Kuni dengan penuh
rasa senang.

“Tidak usah kamu pikirkan itu. Kamu kembalikan saja kalo ada uang. Yang penting,
tunggakan kamu bisa segera terbayarkan. Ya meskipun baru tiga bulan.” Ujar Nabilah

“Sekali lagi terima kasih, Bil. Kamu memang baik.” Ucap Kuni sembari memeluk
Nabilah.

Akhirnya, Kun bisa membayar tunggakan bulanan keteringnya selama tiga bulan berkat
bantuan Allah melalui temannya, Nabilah. Raut wajah Kuni yang semula penuh air mata, kini
kembali berseri memancarkan kehangatan bagi setiap orang yang memandang.

Anda mungkin juga menyukai