Anda di halaman 1dari 7

Bukan Ilmu Laduni1

Slamet Tuharie Ng.

Sore itu langit tampak gelap. Dipenuhi dengan kepulan kabut hitam,
menambah suasana semakin mencekam. Bahkan tak jarang kilatan guntur nampak
seperti ingin membelah langit. Disusul suara petir menyahur-nyahut dengan
kerasnya. Hampir-hampir memecahkan gendang telingaku. Ini pertanda hujan
deras akan segera mengguyur bumi. Sementara, aku duduk sendiri, menikmati
suasana mencekam sore itu, termenung di pojok kamar Al Falah, sebuah kamar
kecil lantai 1 Pesanten Darussalam. Dengan beralaskan sajadah, dan ditemai
kitab-kitab kuning di rak sekelilingku, aku berimajinasi dalam lembah khayalku
yang jauh di sana untuk mencoba melawan sepi.
Tak lama berselang, setelah pekikan petir meronta-ronta di awang-awang,
hujan turun dengan derasnya. Angin pun beritup dengan kencangnya seperti
berhasrat memutar balikkan atap pesantren. Aku terganggu. Lamunan ku berubah
menjadi ketakutan, was-was, dan cemas. Takut kalau-kalau Si Petir menyambar
atap pesantren dan memporak-porandakan ruang imajinasiku.
Untunglah, tak berselang lama, kumandang adzan maghrib menggema dari
corong masjid. Suaranya melengking tinggi ke awang-awang, menaklukkan
kerasnya petir dan gemuruhnya hujan. Maklum saja, Muadzinnya adalah Kang
Khotim, santri yang pernah menjadi juara MTQ antar pesantren tingkat Provinsi.
Sehingga adzannya bisa melengking seperti adzan di Mekkah bahkan bisa lebih
tinggi lagi. Alhasil, Rasa takutku pun sedikit demi sedikit berkurang.
Tanpa banyak berfikir, Segera aku bangkit menuju sumber suara indah itu.
Mencoba melepaskan perasaan mencekam yang sedari tadi menguasai batinku.
Bersama para santri yang lain, ku langkahkan kaki menuju masjid yang berada tak
jauh dari kamar. Tak lupa ku kenakan sarung, baju koko, dan kopyah kebanggaan

1
Cerpen Bukan Ilmu Laduni merupakan peraih Juara III Lomba Cipta Cerpen Nasional
Tingkat Pesantren dan Mahasiswa Tahun 2012 yang diadakan oleh Pimpinan Pusat Ikatan
Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PP.IPPNU). Cerpen ini dimuat dalam situs resmi Nahdlatul
Ulama (NU Online) pada tanggal 21 Oktober 2012.
para santri Darussalam. Tak lupa pula ku genggam Kitab Safinatun Najah untuk
ngaji sorogan dengan Abah Yai setelah jama’ah maghrib selesai.
Hingga sholat usai, hujan deras tak kunjung reda. Begitu pun petir yang
masih terus menyambar-nyambar di langit. Namun, kegiatan di pesantrenku tetap
berjalan seperti biasanya. Bahkan saat hujan deras mengguyur, justru banyak
santri yang ikut ngaji sorogan, entah karena takut di kamar sendirian, atau takut
kalau-kalau dapat hukuman dari pengurus. Entahlah.
Seperti biasanya, sebelum mengaji para santri duduk disekeliling Abah
Yai yang di depannya sudah disediakan meja panjang untuk para santri mengaji.
Dengan membawa kitab masing-masing, selanjutnya Abah Yai akan membacakan
satu Fashal, dan setelah beliau selesai, gantian santri yang membacanya. Namun
berbeda denganku, meski sudah 3 tahun di pondok, aku belum pernah merasakan
ngaji sorogan dengan Abah Yai sebagaimana santri-santri yang lain. sebab,
Semenjak hari pertama di pesantren, aku selalu diminta oleh Abah Yai untuk
memijit kaki beliau tatkala santri yang lain tengah ngaji dengan beliau. Hal itu
kulakukan setiap hari sampai pengajian usai.
Alhasil, aku pun tak pernah ngaji. Bahkan kitab yang aku beli untuk ngaji
sorogan 3 tahun yang lalu, sampai sekarang masih baru dan belum tersentuh oleh
goresan pena meskipun satu titik. Kadang batin ini protes, mengapa disaat yang
lain sudah khatam mengaji sampai Kitab fathul Mu’in, Fathul Wahab, bahkan
I’anatuth Tholibin atau Al Hikam karya monumental Ibnu Athoillah, aku mengaji
Safinatun Najah pun belum. Sering terlintas di benakku untuk pindah dari
Pesantren ini. Tapi apa daya orang tua tak mengijinkan, lantaran pesantren yang
kusinggahi ini adalah pesantren tertua di kotaku dan Abah Yai merupakan ulama
yang paling disegani karena dikenal kefaqihannya. Sehingga orang tua ku
menaruh harapan besar padaku agar bisa menimba ilmu kepada beliau. Aku pun
tak kuasa menolak keputusan kedua orang tuaku, dan ku jalani saja kehidupan ku
di pesantren sebagai juru pijat beliau, tanpa tahu bagaimana selanjutnya.
Pengajian selesai, hujan deras pun usai. Selanjutnya, para santri
menghabiskan waktu di malam hari dengan bercengkerama atau bercanda ria
dengan teman-teman yang lain. Namun, tidak sedikit dari mereka yang berdiskusi
masalah materi pengajian. Terutama untuk santri alfiyah, mereka lebih senang
menghabiskan malam untuk menyenandungkan Matan-matan Alfiyah dengan
merdunya. Sementara aku, lebih sering ikut dalam khalaqoh-khalaqoh diskusi
yang dipimpin oleh Ustadz Zaini, mengkaji tentang fikih-fikih dasar. Dengan
begitu, aku dapat pengetahuan baru dan tidak ketinggalan terlalu jauh dari santri-
santri yang lain. Namun sayangnya, terkadang aku tak sempat mengikuti khalaqoh
Ustadz Zaini, karena harus ke ndalem untuk membantu pekerjaan-pekerjaan
ndalem hingga larut malam.
Malam itu aku cukup beruntung. Tak ada perintah untuk ke ndalem.
Sehingga aku pun menghabiskan malam dengan mengikuti diskusi bersama para
santri yang lain. aku pun terbawa ke dalam suasana diskusi yang asyik, penuh
humor, namun sarat dengan isi. setelah cukup malam, aku keluar dari khalaqoh
menuju sebuah kamar imajinasiku, Al Falah. Di kamar itu, ku habiskan malam
Bersama Kang Khotim, pengurus Keamanan Pesantren, ditemani secangkir kopi
hitam kental agak pahit khas kantin pesantrenku. Namun obrolan kami tidak
seperti obrolan di khalaqoh sebelumnya. Kali ini aku ingin bercerita kepada Kang
Khotim tentang masalah pribadi yang terus mengganjal pikiran ku. Aku berharap
Kang Khotim dapat menjawab kegelisahan yang selama ini aku rasakan.
“Aku lagi bingung kang.”Ucapku membuka obrolan.
“Bingung kenapa?” Tanya Kang Khotim.
“Begini kang, aku itu merasa bagaimana gitu kang.”
“Gitu gimana, mbok yang jelas ngomongya Dul.”
“Begini Kang, Sampeyan khan tahu, Aku sudah 3 tahun ngaji di pesantren.
Tapi anehnya, kok aku ga pernah diberikan kesempatan untuk ngaji sama Abah
Yai ya Kang? Saya itu kepingin kang, ngaji sorogan seperti yang lain. Tapi,
giliran mau ngaji saya selalu diperintah untuk mijit kaki beliau. Gimana kang?”
“Jangan Suudzon dengan Abah Yai.” Begitu jawabnya. Kemudian
berhenti sejenak sambil menikmati kopinya. Baru setelah beberapa detik
kemudian, ia meneruskan jawabannya.
“ Kamu itu beruntung lho.” Jawabnya mengherakanku.
“ Beruntung gimana Kang?” Tanyaku semakin bingung.
“ Ya beruntung, kamu itu sudah dipercaya jadi Juru Pijet Abah Yai. Kamu
tahu Dul, menurut cerita para alumni terdahulu, semua santri yang dipercaya oleh
Abah Yai menjadi Juru pijatnya, setelah keluar dari pesantren mereka menjadi
orang-orang besar.”
“Moso Kang?” Tanya ku penasaran.
“Lho, banyak kok. contohnya Kiai Anwar Sukorejo yang sekarang punya
ratusan santri. Dulu itu kerjaannya disini ya mijeti Abah Yai. Ga pernah disuruh
ngaji. Tapi beliau sekarang sudah jadi kiai besar. Terus Kiai Hamid Kebondalem,
Itu juga sekarang sudah punya pesantren besar. Mungkin itu yang disebut barokah
Dul. Dan masih banyak lagi.” Jelas Kang Khotim memberi motivasi.
Begitulah jawabannya yang ternyata belum bisa sepenuhnya
meyakinkanku. Apa mungkin wong tidak pernah ngaji ko jadi kiai. Mau diajari
apa santrinya. Batinku.
“Tapi aku khan ga pingin jadi Kiai Kang. Berat. Aku Cuma pingin ngaji.
Itu saja Kang. Aku iri melihat yang lain bisa ngaji dengan Abah Yai. Kenapa aku
ga bisa, padahal aku juga santri. Sama seperti yang lain.”
“Kamu itu aneh Dul, yang lain sampai berharap pingin jadi Juru pijetnya
Abah Yai, malah kamu yang sudah diberikan kesempatan kok kaya gitu.”
Kami pun berdebat panjang hingga larut malam. Hingga tak sadar,
ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi. Nampak beberapa santri
menuju masjid untuk mendirikan sholat sunnah malam. Meskipun setelah itu
kebanyakan dari mereka melanjutkan safarinya. Akhirnya, Aku pun memutuskan
untuk mengakhiri obrolan ini dan berniat untuk istirahat sejenak. Membawa tubuh
ini terlelap untuk bersafari ke lembah nirwana. Begitu pun Kang Khotim yang
bergegas menuju kamarnya di Lantai 2.
Namun, setelah Kang Khotim beranjak dari kamarku, aku tetap tak bisa
melelapkan mata ini. Batinku masih sesak dengan pertanyaan-pertanyaan yang
belum bisa sepenuhnya dijawab oleh Kang Khotim tadi. Hingga adzan subuh
menghampiri, mata ini ternyata tidak bisa diajak berkompromi. Aku pun
memutuskan untuk menanti suara merdu Kang Khotim dari masjid, namun lama
ku tunggu, suara merdunya tak kunjung terdengar, padahal Mushola di sebelah
pesantren sudah Iqomat. Aku khawatir, kalau-kalau para santri masih tertidur
pulas karena tidur terlalu malam, begitu pula dengan Kang Khotim.
Akhirnya, ku beranikan diri melangkah ke Masjid, dan benar saja, setelah
sampai di masjid, kulihat suasana masih sangat sepi. Lampu-lampu belum
menyala, bahkan sajadah tempat pengimaman juga masih terlipat rapi. Melihat
keadaan itu, aku memberanikan diri untuk adzan, meski sebenarnya aku malu
karena suara ku tak sebagus Kang Khotim dan adzan ku pun tak semerdu adzan
Mekkah. Alhamdulillah, meski adzan yang kumandangkan tak semerdu Kang
Khotim, aku berhasil membangunkan para santri dari safari malamnya untuk
menunaikan sholat subuh.
Tak lama berselang Abah Yai pun tiba di Masjid, dan aku segera
mengiqomati. Saat itu hanya ada Abah Yai dan aku yang berjamaah. Meskipun
setelah rakaat pertama nampak banyak santri berdiri di sebelahku, termasuk Kang
Khotim.
*****
Setelah jama’ah sholat subuh usai, biasanya dilanjutkan dengan mengaji
Bandungan bersama Abah Yai. Namun, pagi ini beliau tidak bisa mengisi karena
ingin mengantarkan putranya, Gus Nasr, yang ingin nyantri di Banten.
“Pagi ini, Abah tidak bisa mengaji. Abah mau nganter Gus Nasr ke
Banten, mau mondok disana.” Ngendiko Abah Yai kepada seluruh santri.
“Nggih.”
“Untuk jadwal ngajiku dibadali sama Abdul Latif dulu.” Ngendiko Abah
Yai sambil menunjukku.
Mendegar pernyataan itu, aku kaget bukan main. Atas dasar apa Abah yai
menunjukku menggantikan jadwal pengajian beliau. Padahal banyak santri yang
lebih senior yang bisa menggantikannya. Aku pun tak bisa menolak. Tapi aku
juga tak mungkin menerima mandat itu. Berontakku dalam hati.
Terlebih setelah menunjukku, dengan serta merta beliau meninggalkan
Masjid begitu saja. Aku semakin gugup. Dan tak tahu harus berbuat apa. Tanpa
berpikir panjang, aku pun langsung menuju ke kamar untuk menenangkan diri.
Aku masih tak percaya atas perintah ini. Padahal Abah Yai khan tahu kalau saya
belum pernah mengikuti pengajian kitab ini. Batinku terus bergejolak.
Lama aku berpikir, hingga keringat dingin bercurucan membasahi tubuhku
pagi itu. Gugup, takut, khawatir, dan cemas berbaur menjadi satu. “Kang Dul,
sudah ditunggu para santri.” Ucap Marwan, santri yang kamarnya berada di
sebelahku.
Jantungku semakin berdetak kencang mendengar kata Marwan. Segera ku
melangkah ke Masjid meski hanya dengan modal nekat. Aku niati saja sebagai
rasa ta’dzimku dengan Abah Yai. Namun, setitik rasa berani itu berubah kembali
menjadi takut ketika mataku memandang ke arah meja. Di sana sudah ada sebuah
kitab kuning tebal yang telah disiapkan oleh Abah Yai untuk aku baca dihadapan
para santri. melihat polahku yang nampak kebingungan, para santri keheranan,
bahkan tak jarang diantara mereka terlihat senyum-senyum meremehkan. Tapi
aku menyadari, memang kenyataannya aku tak bisa. Aku ragu untuk membuka
pengajian ini apalagi untuk membuka kitab setebal itu. “Ya Allah, mengapa ini
terjadi padaku ya Allah,” batinku. Namun, karena para santri sudah menunggu
cukup lama, aku merasa tak enak dan segera ku buka pengajian itu.
Hal yang tak terduga pun terjadi. Tiba-tiba ketika aku buka lembaran demi
lembaran, tulisan-tulisan tanpa harokat itu seperti memberi isyarat akan makna
yang terkandung di dalamnya. Sehingga aku pun bisa dengan lancar membacanya.
Para santri yang mengikuti pengajian itu bukannya memaknai kitab mereka, tapi
mata mereka menatap tajam ke arahku. Mereka nampak keheranan, tak terkecuali
Kang Khotim yang semalaman begadang denganku. Begitu pun aku yang merasa
bingung kenapa tiba-tiba aku bisa membaca tulisan-tulisan tanpa harokat itu.
“Wah..kamu hebat Dul.” Sanjung Kang Khotim setelah pengajian usai.
“Aku juga ngga tahu kang kok tiba-tiba bisa membacanya Kang.”
“Wah...Jangan-jangan kamu punya Ilmu laduni ya?” Tanyanya.
“Wah kalau laduni itu bukan maqom saya kang.”
“Tapi kamu luar biasa Dul, bisa menjelaskan dengan begitu gamblangnya,
hingga para santri terbelalak matanya melihatmu tadi.”
“ Itu berlebihan Kang.”
Setelah kejadian itu, para santri kemudian berbeda sikapnya padaku.
Mereka begitu menghormatiku dan menganggap bahwa aku memiliki Ilmu
Laduni. Bahkan tak sedikit dari mereka yang kemudian meminta amalan atau
ijazah agar bisa memiliki ilmu laduni sebagaimana yang mereka maksudkan. Tapi
aku tak memberi mereka apa yang mereka inginkan, karena memang aku tak
punya apa-apa.
****
Malam pun tiba. Para santri masih membincangkan masalah Ilmu Laduni
yang aku sendiri tak tahu apa sebenarnya ilmu laduni itu. Aku pun merenung atas
kejadian itu. Setelah lama merenung, akhirnya ku temukan jawabnya. Aku
teringat setiap kali memijit kaki Abah Yai, selalu ku dengarkan para santri
mengaji dari fashal yang satu dan fashal yang lain. bahkan tak kurang ada 50 an
santri yang ngaji sorogan dengan Abah Yai setiap harinya. Itu artinya setiap
malam aku bisa mendengarkan 50 fashal dari berbagai kitab. Sungguh luar biasa.
Kini aku tahu mengapa sebabnya alumni pesantren yang dulu jadi juru pijetnya
Abah Yai menjadi Kiai. Karena setiap malam ia bisa mengaji 50 kali lipat lebih
banyak dari pada santri yang lain.
Memang benar apa kata Kang Khotim, diberikan kesempatan menjadi Juru
Pijetnya Abah Yai adalah hal yang mulia, karena Abah yai secara tidak langsung
menyuruhku untuk mengaji 50 kali lebih banyak dari pada santri yang lain. ini
bukan laduni. Ini karena kebiasaan aku mendengar. Pikirku. “Terimakasih Abah
Yai. Maaf atas suudzonku padamu.” Ucapku dalam batin.

Anda mungkin juga menyukai