Anda di halaman 1dari 3

Nama :Sya'ban

Klas : 10 M / 4 A

Kamar : 4 Y 1

Maafkan aku, Anakku

Ini benar-benar diluar nalar. Sampai detik ini, aku masih tidak percaya, walau berkali-kali
kubaca surat yang aku sangat hafal, bahwa itu tulisan tangan Pak Yai. Ditambah lagi kesaksian
dari semua masyayikh tentang hal itu. Kalau ditanya ada masalah apa? Maka aku harus
bercerita mulai dari awal. Yang merupakan awal dari semua ini.

Namaku Abdurrahman, sejak kecil aku hidup di panti asuhan yatim piatu di suatu desa
terpencil, tanpa tahu siapa Ayah dan Ibuku. Karena memang, menurut keterangan pengasuh
panti, aku dibawa ke panti asuhan tersebut oleh ketika umurku masih sekitar 1½ tahun. Sudah
menjadi hal wajar bagi anak-anak panti, kami mulai di perkenalkan dengan baca tulis huruf Arab
sejak usia TK. Di umur itu, saat pagi kami sekolah di TK Bunga Bangsa, Sorenya belajar Iqro'
kepada pengasuh panti. Kemudian ketika sudah masuk SD, kami mengikuti Sekolah Diniyah di
Desa tempat panti berada. Saat itulah aku mengenal sosok Ustadz yang menjadi awal
perubahan garis hidupku. Nama beliau ustadz Ahmad. Beliau adalah orang yang sangat luar
biasa, beliau bisa menjelaskan hal-hal yang rumit untuk difahami kebanyakan orang dengan
bahasa yang sangat mudah dimengerti. Dari ketertarikan itulah, aku mulai berusaha mendekati
beliau. Sosok yang sangat memotivasi, sosok yang memberikan perasaan yang sama sekali
belum pernah aku rasakan. Serta sosok yang benar-benar membuat setiap sel dalam tubuhku
berusaha sekuat tenaga untuk menirunya. Itulah beliau, sang Idola pertama dalam hidupku.
Sekali dua kali, selangkah dua langkah, aku mulai aktif bertanya. Pertanyaan demi pertanyaan,
yang aku lontarkan, semakin menambah kekagumanku pada beliau. Bagaimana tidak? Setiap
pertanyaan tidak hanya di jawab dengan bahasa yang mudah dipahami tapi juga memberikan
kesan gaya berpikir yang berbeda dengan kebanyakan orang. Seiring berjalannya waktu aku
semakin dekat dengan ustadz Ahmad. Sampai suatu ketika, aku memberanikan diri untuk
bertanya, bagaimana cara beliau belajar, sampai bisa jadi sosok yang luar biasa seperti itu. Saat
itu beliau hanya menjawab dengan kalimat yang cukup singkat. "Saya adalah santri pondok
pesantren Nur Muhammad asuhah Kiai Abdussalam". Saat itulah timbul dalam hati, keinginan
untuk mondok di tempat yang sama. Hari demi hari, waktu demi waktu, perasaan itu semakin
dan semakin kuat. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk matur pada pengasuh panti.
Awalnya beliau menolak, dengan alasan mondok itu biayanya besar, dan beliau tidak punya
uang untuk membiayai aku mondok.
Pernyataan singkat itu benar-benar bagai palu godam yang menghantam dadaku. Sungguh
sangat menyakitkan, keinginan yg begitu lama aku pendam harus sirna karena biaya. Sampai
akhirnya aku curhat pada ustadz Ahmad, saat itulah aku memiliki secercah harapan. Beliau
menjelaskan bahwa di pondok Nur Muhammad, ada santri yang tidak membayar biaya bulanan.
Yaitu santri Ndalem, yang bertugas membantu segala kebutuhan pak Yai. Tapi untuk bisa masuk
santri Ndalem, minimal adalah klas 1 Tsanawi. Beliau melanjutkan, bahwa santri baru bisa
langsung masuk klas 1 Tsanawi dengan cara mengikuti test. Beliau melanjutkan, untuk masuk
klas 1 Tsanawi testnya lumayan sulit, diantara harus bisa membaca kitab Fathul Qorib
kosongan, harus hafal dan faham kitab Imrithi dan Kitab Maqsud. Serta mampu menyelesaikan
berbagai masalah seputar faroidh dan Ushul fiqh.

Saat itulah semangatku untuk belajar ilmu agama menjadi liar bagai kuda hitam Andalusia
terkena cambuk. Singkat cerita, akhirnya beberapa tahun terlewati, dengan hasil yang
menurutku sangat memuaskan, pemahaman ku bukan hanya berasal dari nadzom maqshud yg
ku hafal, tapi hallul ma'qud dan Al mathlub sudah seperti telapak tanganku. Begitu juga dengan
nadzom Imrithi, semakin aku berusaha memahami semakin aku merasa banyak hal
tersembunyi. Sampai akhirnya, rasa penasaran dalam dadaku menuntun pada kitab Fathu
Robbil Bariyah dan Kawakibuddurriyah. Nasib serupa juga terjadi saat mempelajari kitab Fathul
Qorib, dan ini yang menurutku paling asyik. Saking asyiknya bahkan permasalahan-
permasalahan dalam kitab Hasyiyah Baijuri dan Kitab Al Iqna' bisa aku jelaskan sambil makan.
Saat itulah aku merasa mantab untuk berangkat mondok.

Sesuai ketentuan yang berlaku, aku mengambil test untuk langsung memasuki klas 1 Tsanawi.
Meskipun aku merasa bahwa penguji test pada saat itu terlalu mempersulit diriku dengan
berbagai pertanyaan yang hanya ditemukan jawabannya di kitab-kitab besar, Alhamdulillah
namaku tercantum di daftar santri klas 1 Tsanawi. Dan bersamaan dengan itu, kebetulan santri
Ndalem yang ngabdi di dalem pak Yai pamit boyong. Aku pun diterima untuk Khidmah pada pak
Yai saat usiaku baru 14 tahun. Mulai saat itu baik langsung maupun tidak langsung aku terus-
terusan menerima gemblengan dari pak Yai. Beliau selalu menuntut aku untuk lebih dan lebih
lagi dan tidak menjadikan pekerjaan Khidmah di Ndalem, sebagai alasan untuk mengendurkan
belajar bahkan setelah semua kegiatan selesai dan para santri mulai istirahat Aku masih
sorogan kepada beliau dengan kitab-kitab yang materinya sangat berat seperti Fathul Wahab,
Mughni Labib bahkan jam'ul Jawami'. Dan di pagi hari aku dilarang keras untuk bolos pengajian
ihya yang dibacakan oleh Beliau sendiri.

Singkatnya 9 tahun setelah aku resmi menjadi santri Ndalem, Pak Yai, yang biasa ku panggil
Abah, karena saking dekatnya aku dengan beliau berpulang ke Rahmatullah. Beberapa hari
setelah prosesi pemakaman, aku di panggil ke ruang tamu Ndalem Abah Yai. Saat itulah, hal
mengejutkan ini terjadi.
Saat aku masuk ruang tamu, aku sangat terkejut. Bagaimana tidak? Di ruangan itu duduk
dengan rapi tokoh-tokoh pembesar Pesantren. Mulai Ibu nyai ( Istri Abah Yai ) dan seluruh
dewan masyayikh. Serta hadir pula beberapa wajah yang jelas sangat aku kenal. Pengasuh panti
tempat aku dirawat dan Ustadz Ahmad juga hadir. Hadir juga di ruangan itu Ustadz yang
menguji aku saat test masuk Tsanawi, yang setelah ujian tak pernah kulihat lagi. Saat itu Ibu
nyai menyerahkan selembar kertas, yang berisi tulisan tangan pak Yai.

" Untuk anakku Abdurrahman bin Abdussalam

Saat surat ini sampai ditanganmu, aku yakin bahwa saat itu aku sudah tiada. Anakku,
sebelumnya aku minta maaf atas berbagai hal yang terjadi dalam hidupmu, maafkan aku,
anakku. Melalui surat ini, aku ingin menyampaikan beberapa hal padamu. Dan aku bersumpah,
Demi Allah, bahwa apa yang aku sampaikan adalah benar adanya. Pertama : aku sampaikan
kepadamu, bahwa sesungguhnya, kamu adalah anak kandungku dengan Nyai Halimah.
Maafkan aku yang tidak merawatmu dengan benar sejak kecil. Dan bahkan sampai aku
meninggal, aku tak mengatakannya padamu secara langsung. Sekali lagi maafkan aku anakku.
Aku sengaja mengirimmu ke panti asuhan sejak kecil, agar kau mengerti seperti apa hidup
sebagai orang biasa. Tanpa ada yang bisa disombongkan. Dan agar kau faham bahwa segala
sesuatu yang kau inginkan harus kau usahakan dengan tanganmu sendiri bukan dengan
bersembunyi di balik nama besar orang tua. Dan agar kau tahu bahwa segala sesuatu bisa
diraih dengan rekoso dan kangelan. Itulah kehidupan anakku. Kedua : Panti asuhan tempat kau
tumbuh, adalah salah satu cabang dari pondok pesantren Nur Muhammad. Dan pengasuhnya,
Yai Ilyas, adalah adik bungsuku, pamanmu sendiri. Ketiga : Ustadz Ahmad, guru madrasah mu
di kampung adalah putra, Yai Sholeh, Kabag kepesantrenan putra yang berarti, beliau adalah
sepupumu sendiri. Dan terakhir, orang yang mengujimu saat test masuk, adalah putra guruku,
beliau adalah pengasuh pondok pesantren Saadatul ummah. Beliau punya anak gadis yang
usianya 3 tahun dibawahmu. Kami sudah sepakat untuk menjodohkanmu dengannya sejak
kalian masih kecil. Sekali lagi maafkan aku anakku.

Anda mungkin juga menyukai