Anda di halaman 1dari 5

Nothing Impossible

“Banyak sedikitnya hafalan tidak penting. Yang penting niatnya”

Semua orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Semua orang tua ingin
anaknya lebih dari mereka. Terlahir di dalam keluarga dengan latar belakang pesantren adalah
sebuah keberuntungan untuk seorang santri, karena tentunya dukungan dari keluarga sangat
besar. Namun, ada beberapa hal yang tak banyak orang tau tentang mereka, yaitu target, harapan,
dan standart kesuksesan yang secara tidak langsung tercipta dalam keluarga mereka. Dan semua
itu seperti menjadi keharusan untuk dicapai oleh siapapun yang ada dalam keluarga itu. Begitu
juga keluargaku. Abi dan Ummi secara tidak langsung telah menciptakan standart kesuksesan
sendiri dan menjadi sebuah kewajiban untukku dan adik – adikku. Dan standart kesuksesan yang
harus dicapai adalah hafal Al – Qur’an 30 Juz.
Memang semua butuh perjuangan. Jalan hidup yang diberikan Allah SWT tidak semudah
yang kita bayangkan. Tepat saat kelas 3 SD, aku didaftarkan ke salah satu pesantren yang
program utamanya adalah Qiroatul Kutub dan Fiqih. Ya, aku harus berjuang untuk melampaui
standart kesuksesan itu sendiri. Saat teman – teman yang lain menghabiskan waktunya untuk
menghafalkan bait – bait imriti, zubad, dan kitab – kitab lainnya, aku harus berjuang untuk
muroja’ah dan ziyadah selama 9 tahun. Hingga di tahun terakhir aku di pesantren itu, Ustadz
Luqman, Sang pengasuh pondok dawuh “Target hafalan sebelum boyong harus sudah hafal 10
juz”. Aku sebagai santri hanya bisa menjawab “Nggeh, Ustad”, padahal belum tahu pasti apakah
aku sanggup melakukannya karena saat itu aku masih dapat 8 juz dan waktuku boyong tinggal 1
bulan. Alhasil, aku ngebut hafalan juz 9 dan 10 dalam 1 bulan tanpa muroja’ah.
Sebulan berlalu, akhirnya aku pamit dari pesantren yang telah mengajarkanku banyak hal
selama 9 tahun. Berat memang, tapi inilah kehidupan. Harus terus berjalan. Sesampainya di
rumah, Abi dan Ummi menanyakan hafalanku, “Ustadz tadi dawuh ke Abi kalau kamu sudah
selesai 10 juz, lancar?”. Dan aku hanya terdiam karena tak tau harus menjawab apa. Lalu Abi
“Banyak sedikitnya hafalan itu tidak penting, yang penting itu niatnya. Percuma kan hafalannya
kelihatan banyak tapi enggak lancar cuma karena niatnya biar bisa boyong. Setelah boyong
hafalannya kemana?”
Saat itu aku sempat berpikir apakah aku tak mungkin bisa mencapai standart kesuksesan
itu? Sesulit inikah membahagiakan Abi dan Ummi? Jika harapan Abi dan Ummi tak terpenuhi
apa yang bisa aku lakukan? Jika aku tak menyelesaikan hafalan ini dengan baik, apakah aku bisa
jadi contoh yang baik untuk adik – adikku? Itu hanya sebagian kecil pertanyaan yang muncul
saat itu. Sebenarnya masih banyak pertanyaan – pertanyaan lain yang membuatku overthinking
tiap malamnya.
Setelah beberapa minggu di rumah, tibalah saat aku harus masuk ke Ma’had Sunan
Ampel Al – Aly di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Disana aku dikenalkan dengan sebuah
organisasi yang anggotanya adalah para ahlul qur’an. “Mungkin ini takdir Allah agar aku bisa
memenuhi keinginanku untuk kuliah dan harapan orang tua untuk hafal Al – Qur’an 30 juz”,
pikirku. Namun, aku menyia – nyiakan kesempatan itu. Aku tidak rajin setoran dengan alasan
kuliah terlalu berat, ta’lim ma’had terlalu melelahkan, dan berbagai alasan lain yang kuucapkan
hanya untuk menghindari setoran. Lalu, selama 1 tahun di ma’had apa yang aku dapatkan? Aku
hanya bisa ziyadah setengah juz atau 5 lembar dan muroja’ah 3 juz.
Entah apa yang membuatku malas untuk setoran pada saat itu. Padahal lingkunganku saat
itu sangat mendukung, teman sekamar yang mayoritas alumni pesantren, teman sekelas ta’lim
yang sudah sangat menguasai ilmu Al – Qur’an, fiqih, tauhid, akhlaq, dan ilmu – ilmu lain,
bahkan teman – teman sekelompok setoran yang juga rajin dan memiliki semangat untuk setoran
setiap hari. Jika diingat – ingat entah berapa banyak jalan dan petunjuk yang Allah berikan
kepadaku tapi malah tak ku hiraukan dan kutinggalkan begitu saja.
Semakin bertambah penyesalan yang kurasa. Belum bisa memenuhi harapan orang tua,
tapi saat ada jalan untuk memenuhi harapan itu malah disia – siakan. Setelah saat itu, aku
berdo’a setiap selesai sholat agar Allah memberiku petunjuk lagi dan aku menyesali apa yang
telah kulakukan. Sampai akhirnya Allah menjawab do’aku.
Allah memberiku petunjuk lewat teman sekamar yang ingin melanjutkan ke pesantren
mahasiswa berbasis tahfidzul qur’an dan da'iyah trainer setelah lulus dari MSAA. Teman
sekamarku bernama Erika. Ia mengenalkan sebuah pesantren baru berbasis tahfidzul qur’an
namanya Daruzzahra Arrifa’i. lalu aku bertanya siapa pengasuhnya dan Erika menjawab,
“Ustadz Nadhif sama Ustadzah Nury, Ustadz Nadhif itu lulusan dari Yaman loh. Kalau masalah
sanad kelimuannya enggak perlu diragukan lagi. Ayo daftar bareng – bareng!”. Sejak saat itu,
aku mulai berdiskusi dengan Abi dan Ummi tentang pondok baru itu. Mereka berdua setuju dan
memang tidak diragukan lagi sanad keilmuan Sang Pengasuh pondok tersebut.
Seminggu setelah boyongan dari ma’had, Ummi, Kakek, dan beberapa saudaraku ikut
mengantarkanku ke pesantren baru itu. Sebenarnya saat masuk ke pesantren baru itu aku merasa
biasa saja, toh aku sudah pernah nyantri selama 9 tahun. Jadi sepertinya tak pantas bila ada yang
bertanya apakah aku betah di pesantren ini atau tidak. Namun, saat semua keluargaku berpamitan
pulang seperti ada yang janggal. Ya! Kakekku menangis. Saat ku tanya mengapa jawabannya
karena aku tinggal di pondok hanya berdua dengan teman sekamarku di Ma’had dulu, Dita
namanya. Lalu aku tertawa sambil menenangkan dan meyakinkan bahwa aku akan baik – baik
saja.
Setelah beberapa hari di pesantren itu, aku mulai memahami latar belakang berdirinya
pesantren ini, latar belakang pengasuhnya, latar belakang ustadzah – ustadzah yang akan
mendampingiku dan teman – teman di pesantren ini. Aku berpikir bahwa aku tidak salah pilih.
Aku dikelilingi oleh orang – orang hebat yang akan selalu mendukungku untuk meraih cita – cita
dan mau menegurku saat aku salah.
Beberapa minggu berjalan, teman – teman mulai banyak berdatangan dari berbagai kota
di luar Malang, bahkan luar Jawa. Melihat semangat dari mereka, aku pun ikut semangat untuk
muroja’ah. Tidak sedikit dari mereka yang sudah memiliki banyak hafalan, walaupun tidak
sedikit juga yang memilih program non-tahfidz. Ada beberapa juga yang sudah khatam, namun
semangat muroja’ahnya tak kalah besar dengan mereka yang mengejar titik khatam.
Saat semua kegiatan di pesantren ini mulai berjalan normal, aku semakin yakin bahwa
pesantren ini adalah lingkungan yang sangat mendukung. Setiap hari, lantunan ayat – ayat Al –
Qur’an tak pernah hilang dari pesantren ini kecuali saat liburan. Setoran hafalan baik ziyadah
maupun muroja’ah tak pernah libur kecuali hari minggu. Suara gemuruh santri saat membaca
dzikir di pagi dan sore hari pun tak pernah padam kecuali makmum tertidur dan yang membaca
hanya imam. Lalu, apakah semua itu berat? Ya. Berat. Tapi Ustadz dan Ustadzah – Ustadzah
disana selalu meyakinkan bahwa akan ada hal manis yang menanti kami setelah perjuangan berat
ini.
Terima kasih kepada Abi dan Ummi yang selalu mendoakanku tak peduli berapa banyak
dosaku pada mereka. Terima kasih kepada Ustadz Nadhif yang selalu rela meluangkan waktunya
untuk menguji hafalan kami yang tak seberapa bahkan tak jarang mengecewakan. Terima kasih
kepada Ustadzah Nury yang rela mendidik dan mengajari kami tentang ilmu kehidupan, ilmu
menulis dan public speaking, ilmu menghadapi masalah, ilmu sabar, ilmu menjadi wanita
tangguh yang sesungguhnya, dan imu – ilmu lain yang tak mampu kami sebutkan semua saking
banyaknya, namun tak jarang juga beliau kami kecewakan dengan kesalahan yang kami lakukan.
Terima kasih juga kepada Ustadzah Alfi dan Ustadzah Elmi yang telah menginspirasi dan selalu
memberi semangat dan tips – tips rahasia untuk menghafal, tak jarang juga beliau – beliau
memberi tanda pada ayat – ayat yang terlupa. Dan tak lupa terima kasih kepada teman – teman
seperjuangan, seluruh santri Daruzzahra, yang selalu memberi semangat kepada siapapun yang
mulai terlihat lelah.

“Lompat lebih tinggi. Gapailah mimpi - mimpi. Tak perlu kau pikirkan, kau usahakan
cukup.” ~ Fiersa Besari

~~ Profil ~~

Roalia Indika Inayatul Chamidah, seorang mahasiswi kelahiran Malang, 25 Agustus 2001. Saat
ini menempuh pendidikan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan Pondok Pesantren
Daruzzahra Arrifa’i. Selain itu, ia juga aktif di kepengurusan pesantren dan organisasi ke-Al-
Qur’an-an di kampusnya. Sebelumnya, ia pernah belajar di SD Islam NU Lawang, SMPN 2
Lawang, dan SMAN 1 Lawang sekaligus menimba ilmu di Pondok Pesantren Babussalam Lawang
selama 9 tahun.
Jika ada yang bertanya mengapa suka menulis? Jawabannya singkat. Menulis adalah ekspresi.
Ya, menulis adalah seni mengekpresikan diri melalui tulisan. Menulis adalah salah satu media
untuk menyalurkan rasa dan isi hati sekaligus mengeksplor diri untuk seorang Roalia yang
kurang sempurna dalam seni public speaking. Menulis itu mudah, yang sulit itu prosesnya.
Namun, sesulit apapun prosesnya harus dinikmati. Sesulit apapun prosesnya ingat bahwa Allah
pernah mengingatkan kita bahwa Allah SWT tidak akan memberikan beban di luar kemampuan
kita.

Anda mungkin juga menyukai