Ummu Muhammad
Diterbitkan Oleh:
CV. Future Business Machine Solusindo
087722149129
www.joeragan-artikel.com
PRAKATA
Ummu Muhammad
“Seseorang yang mengajar harus memantapkan
niatnya demi meraih keridaan Allah dan
mendekatkan diri kepada-Nya.”
(Dr. Abdullah Nashil Ulwa - Pendidikan Anak dalam Islam)
S aya adalah wali kelas satu KMA di pondok kami. Di sini, saya
banyak belajar, bersyukur, dan berpikir.
Saya banyak belajar memahami karakter santri yang berbeda-
beda, banyak bersyukur karena kehadiran mereka melembutkan
hati saya, menguatkan naluri keibuan. Saya juga banyak berpikir
jauh ke depan, bagaimana kira-kira kalau nanti anak saya mondok.
Karena itu, saya pun berusaha untuk memahami beragam karakter
para santri baru serta segala keluhannya.
Seminggu, dua minggu, saya masih beradaptasi. Terkadang,
Rindu Ibu 7
memerah matanya menyerahkan nomor telepon.
“Asalaamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban dari seberang.
“Maaf, Bu, saya wali kelas anak baru. Ini Alya ingin nelepon
njenengan.”
“Oh, nggih.” Ponsel pun saya serahkan kepada Alya. Ketika
mendengar suara ibunya, tak sepatah kata pun sanggup ia keluarkan.
Alya makin keras menangis. Saya jadi ikut merasa sedih. Saya
berusaha keras menahan air mata, jangan sampai jatuh pula di
depan Alya dan dua temannya.
Lebih kurang sepuluh menit, telepon selesai. Alya masih
sesenggukan. Saya tepuk-tepuk punggungnya, ingin mengatakan
bahwa ia pasti kuat. Dua temannya juga menundukkan kepala.
Sedih rasanya melihat mereka seperti ini. Saya bangkit
mengambil air minum dan kembali duduk di samping mereka. Saya
persilakan mereka untuk minum, sekadar membasahi tenggorokan
yang kering karena tangisan.
“Enggak apa-apa jika Alya ingin menangis. Nanti lama-lama,
Alya akan kuat.”
“Iya, Ustazah, terima kasih,” ucapnya lirih. Dia sudah mulai
tenang.
Tak lama kemudian ....
“Ustazah, kami pamit,” ucap teman Alya.
“Iya, silakan.”
“Terima kasih, Ustazah.” Sekali lagi, Alya berterima kasih
sambil menyalami saya. Setelah mengantar mereka ke pintu, saya
khawatir, akan bertahankah ia?
Ketika berkesempatan berbincang dengan ibunya, tahulah
Rindu Ibu 9
“Firman Allah: Âtinȃ ghadȃ’anȃ!
(bawalah kemari makanan kita). Alangkah indah
susunan kata bahasa Arab ini dan dalam pula
maknanya. Bawalah kepada kita, bukan kepadaku,
karena kita akan makan berdua.”
(Syaikh Hamka - Tafsir Al-Azhar, 5/405)
H ari itu, saya masuk di kelas satu setelah jam istirahat selesai.
Anak-anak yang melihat saya dari kejauhan mulai berlari-lari
masuk kelas. Mereka berlomba-lomba lebih dahulu masuk kelas.
Ketika saya sudah membuka kelas, tiba-tiba ada satu anak
berkata dengan suara tertahan. “Aduh, mi ayamku ketinggalan di
gazebo!”
Mi Ayam 11
“Ada apa, Putri?”
“Oh, enggak, Ustazah. Enggak ada apa-apa.” Putri berusaha
menutupi rasa malunya karena keceplosan.
“Haha ... Ustazah sudah dengar tadi,” kata saya sambil
mengedipkan sebelah mata kepadanya. “Mi ayam?” tanya saya.
“Hehe ... iya, Ustazah. Tadi, aku kebelet pipis, jadi ke kamar
mandi dulu. Eh, pas keluar, sudah bel. Aku langsung lari-lari ke
kelas.”
Alah … kasihannya.
Saya mengabsen mereka. Tiba-tiba, sebuah ide mengilhami
saya. “Gimana kalau kita makan mi ayam bareng-bareng?” tanya
saya.
“Mau, Ustazah.”
“Mau.”
“Mau.”
Wajah mereka terlihat sumringah.
“Kapan, Ustazah?”
“Sekarang aja, ya?”
“Masa sekarang?”
Mereka terlihat asyik mendiskusikan rencana makan mi ayam
bersama-sama.
“Ustazah, tapi saya enggak punya uang,” ujar salah satu
santri dengan lirih. Wajahnya sedih.
“Nanti Ustazah yang bayar, jangan sedih.”
Ingin rasanya saya traktir semua. Namun, apa daya, ini akhir
bulan. Semoga, suatu hari nanti, saya bisa mentraktir mereka
semua, tekad saya dalam hati.
Kami pun sepakat makan mi ayam bersama-sama minggu
Mi Ayam 13
Sesungguhnya, pekerjaan kita
lebih banyak dari waktu yang
tersedia.
(Kiki Barkiah - 5 Guru Kecilku)
“Guru harus punya waktu untuk terus belajar.”
(Munib Chatib - Gurunya Manusia)
I ni adalah kisah salah satu santri baru yang hanya bertahan satu
tahun di pondok. Namanya Rara, murid saya tiga tahun yang lalu.
Dari awal masuk, Rara sudah terlihat tertekan, selalu
mengeluh gerah ketika memakai kerudung, mengeluhkan pelajaran
yang susah, peraturan yang ketat, dan kegiatan yang padat.
Dalam salah satu jadwal penjengukan, saya berusaha
menemui ibunya dan mengobrol.
“Maafkan saya, Ustazah. Keinginan saya sangat besar agar
Rara menjadi lebih baik,” kata ibu Rara. “Ia memang lebih dekat
Tentang Niat 19
dengan ayahnya sehingga kalau ada apa-apa lebih sering bercerita
kepada ayahnya,” tambahnya.
“Semenjak Rara mondok, saya sering kangen, meskipun saya
tidak tahu apakah Rara merasakan hal yang sama atau tidak,” kata
ibu Rara sedih. Matanya mulai sembap. Ketika itu, Rara sedang
keluar bersama ayahnya.
“Rara pernah bercerita, ia sering kangen masakan Ibu.” Saya
berusaha menghibur.
“Masuk pondok ini sudah perjanjian, Ustazah. Jika nilai UN
Rara rendah, ia akan saya pondokkan.”
Oh, astagfirullah. Sedih rasanya. Mungkin, ini penyebab Rara
merasa tertekan dan tidak betah. Ia merasa masuk pondok sebagai
hukuman karena nilainya rendah.
Rara menunjukkan pemberontakan. Ketika teman-temannya
bersemangat belajar, Rara lebih banyak mengantuk di kelas. Ketika
teman-temannya berangkat ke masjid sebelum azan, Rara masih
sibuk di kamar. Akhirnya, ia sering dipanggil untuk persidangan.
Semua hal menjadi makin tidak menyenangkan baginya.
Rara sering mendatangi saya, mengeluhkan teman-temannya,
kakak kelasnya, hafalan yang susah, serta antrian makan yang
panjang. Saya dengarkan dan beri dia motivasi. Hanya itu yang
bisa saya lakukan hingga akhirnya, Rara datang berpamitan pindah
sekolah pada saat kenaikan kelas.
Hari ini, saya merenungkan satu hal. Semua kebaikan
datang dari Allah. Itulah hidayah. Namun, niat orang tua ketika
memasukkan anak ke pondok juga besar pengaruhnya. Niat orang
tua harus baik, yaitu agar anak paham ilmu agama, mengerti halal
dan haram, memiliki bekal hidup, juga agar anak belajar mandiri.
Tentang Niat 21
“Definisi mengajar adalah
menjadikan murid mau belajar.”
(Ustaz Arif Rifa’)
S
ebulan sudah berlalu, Hamdah tetap seperti kemarin. Saya
menemuinya untuk kali kedua. Hamdah sedang duduk bersandar
pada lemari, tangannya memijat dada dengan ujung jari-jari.
“Ini sakit?” tanya saya.
“Iya, Ustazah.”
“Hamdah yang sabar, ya.”
Hamdah menunduk. Saya bercerita kepadanya.
“Hamdah, Ustazah ingin tahu, sebenarnya, Hamdah masuk
Hamdah Tak Mau Sekolah 2 31
pondok ini karena keinginan sendiri atau dipaksa ibu?”
Pandangan Hamdah menerawang keluar kamar. Dia menarik
napas beratm seolah beban yang maha dahsyat sedang ingin ia
lepaskan, tetapi tidak tahu caranya.
“Keinginanku sendiri, Ustazah. Aku ingin menyenangkan
Ibu,” kata Hamdah dengan air mata yang mulai menganak sungai.
“Hamdah ingin menyenangkan hati Ibu, tetapi apakah hati
Hamdah sendiri sudah senang? Kalau Hamdah enggak mau sekolah,
itu tandanya Hamdah tidak bahagia. Hamdah harus bahagia dulu,
baru Hamdah bisa membahagiakan Ibu. Kalau hati Hamdah sendiri
tertekan, bagaimana nanti mau membahagiakan orang lain? Susah,
Hamdah. Coba Ustazah tanya, apa yang bikin Hamdah bisa ngerasa
senang? Bisa tersenyum, bisa semangat?”
Agak lama, baru Hamdah menjawab, “Aku senang jika bisa
dekat dengan Ibu, pergi sekolah dengan teman-teman SD, dan
tinggal di rumah.”
Saya terdiam, membayangkan perasaannya. Saya pegang
tangan Hamdah, ingin mengatakan bahwa dia tidak sendiri di sini.
“Bagaimana jika Ustazah sampaikan keinginan Hamdah
kepada Ibu supaya besok Hamdah dijemput?”
“Aku takut nanti Ibu marah.”
“Jangan takut. Jika Ustazah yang berbicara, insyaallah ibu
Hamdah paham.”
Dia terguncang, antara tidak percaya dengan tawaran saya
dan rasa takut kepada ibunya.
“Daripada di sini Hamdah merasa tertekan, enggak mau
sekolah, dan badannya sakit semua, lebih baik Hamdah berterus
terang kepada Ibu. Ustazah akan membantu menyampaikan
S
aya dan para santrai biasa mengobrol sebentar sebelum memulai
pelajaran. Hari itu, saat kami belajar tentang fikih wanita, salah
satu santri mengadu.
“Ustazah, sejak masuk pondok, saya belum pernah haid,
padahal di rumah, rutin setiap bulan.”
“Haid pertamanya kapan?” tanya saya.
“Sejak pertengahan kelas enam.”
Saya terkesima. Apakah adaptasi lingkungan baru bisa
menyebabkan haid tidak lancar?
Keluhan Anak-Anak 39
“Apa ada yang membebani pikiran anti sejak mondok?”
“Eggak tahu, Ustazah,” katanya sedih.
“Sementara, kita lanjutkan pelajaran dulu, ya. Nanti, lima
belas menit sebelum kelas selesai, Ustazah punya pertanyaan.”
“Anak-anak, tolong tuliskan beban apa saja yang saat ini
mengganggu pikiran kalian. Dari kertas itu, Ustazah akan panggil
kalian satu per satu. Kita coba urai masalah yang ada, insyaallah.”
Selama lima belas menit mereka menulis. Ada yang hanya
menulis beberapa baris, ada yang setengah halaman, dan ada yang
dua halaman penuh.
Masalah yang banyak dikeluhkan adalah pergaulan dengan
teman, kakak kelas, maupun musyrifah. Ada yang merasa
temannya tidak peduli, kalau bicara suaranya keras, kadang
menyerobot antrean, ghosob sandal, dan lain-lain. Jika ada yang
mau mendengarkan semua masalah ini, tentu anak-anak akan
merasa lega.
Saya sepenuhnya menyadari tidak akan pernah bisa
menggantikan posisi ibu di hati mereka. Yang bisa saya lakukan
hanya mendengarkan sambil sedikit-sedikit memberi nasihat.
Kenyataannya, tidak semua anak bisa mengungkapkan
semua masalahnya kepada ustazah. Ada yang memilih untuk
memendamnya. Semoga apa yang kami obrolkan–sehari setelah
saya baca tulisan-tulisan mereka–bisa menghibur.
Di antara yang saya nasihatkan adalah kita harus bersyukur
memiliki teman-teman yang sama-sama ingin belajar ilmu agama.
Meskipun saat ini mereka terkadang menjengkelkan, suatu saat,
insyaallah ia akan menjadi kawan yang selalu kita rindukan. Kawan
yang membantu kita ketika susah, yang menghibur kita saat sedih.
Keluhan Anak-Anak 41
“Kasih sayang seorang teman akan tampak pada
saat kesusahan.”
(Pepatah Arab)
B
eberapa hari kemudian, saya kembali meminta santri kelas
satu untuk menulis. Ada waktu lima belas menit sebelum
waktu istirahat habis. Kali ini, saya tuliskan di papan: Tulislah satu
kebaikan yang kalian temukan pada teman-teman kalian!
“Satu per satu, Ustazah?”
”Ya, satu per satu.” Lalu, saya pun menuliskan nama mereka
mengikut urutan jurnal kelas.
“Seperti apa contohnya, Ustazah?”
“Hamdah: suka tersenyum. Farah: pernah mentraktir jajan.
Alya: ketika aku menangis, dia suka cerita yang lucu-lucu. Nah,
seperti itu.”
Menyayangi Teman 43
Mereka pun mulai menulis. Yang sudah selesai, boleh
mengumpulkan ke depan dan boleh istirahat.
Saya ingin mereka selalu mengingat-ingat kebaikan
temannya, bukan hanya mengingat hal yang menjengkelkan. Ini
adalah salah satu terapi agar kita tidak marah berkepanjangan. Tiap
marah, lihat lagi kebaikan teman yang pernah kita tuliskan. Hati
pun akan merasa tenang. Seraya bersyukur memiliki teman-teman
yang baik.
Bagaimana hasil dari tulisan ini?
Masyaallah. Terharu saya membaca catatan mereka.
Aku pernah antre di belakang Putri, tapi aku disuruh duluan.
Jika aku sendiri, Saima akan mendekatiku.
Jinan: orangnya suka tertawa dan membuatku bahagia.
Alya:kalau salah langsung minta maaf.
Farah: pernah ketika hari Jum’at, aku melamun tidak punya
jajan dan tidak pegang uang. Farah memberi aku jajan, walau
tidak banyak. Lumayan bisa untuk mengganjal perut.
Silvi: orangnya agak galak, tapi suka berbagi.
Silmi: ketika aku sakit, Silmi mengambilkan makan, padahal
dia bukan bagian UKP.
Dan masih banyak lagi. Masyaallah walhamdulillah.
Sesungguhnya, perjalanan mondok ini adalah perjalanan
yang panjang. Bertahun-tahun kita bertemu orang yang sama,
dari bangun tidur sampai tidur lagi. Berbagai peristiwa, baik yang
menyenangkan maupun tidak, akan datang silih berganti. Kita
akan mengenali berbagai reaksi teman dan saling menilai. Sirnalah
segala pencitraan karena kita hidup bersama dua puluh empat jam
kali empat atau enam tahun.
Menyayangi Teman 45
“Seorang pendidik harus mengetahui kaidah-kaidah
tarbiyah yang dianut oleh syariat Islam. Dia harus
mengetahui halal-haram, harus tahu betul prinsip-
prinsip akhlak, paham secara umum aturan-aturan
Islam dan kaidah-kaidah syariat.”
(Abdullah Nashih Ulwan - Pendidikan Anak dalam Islam)
M
engoreksi adalah pekerjaan sehari-hari saya. Dulu, pada
waktu awal-awal mengajar Durusul Lughoh, rasanya berat
sekali. Bagaimana tidak, saya harus mengoreksi hampir setiap hari.
Terkadang, pekerjaan itu tidak bisa langsung selesai dalam sekali
waktu karena dijeda oleh pekerjaan rumah tangga, tangisan bayi,
rengekan kakaknya, dan urusan tak terduga lainnya.
Terkadang, buku anak-anak yang harus dikoreksi saya bawa
pulang. Sampai di rumah, ternyata saya tidak bisa mengoreksi.
Jadi, dibawa lagi ke kelas keesokan harinya. Di kelas, saya harus
"U stazah, ini surat buat Ustazah, tapi jangan dibaca sekarang.”
Zahwa menyelipkan sebuah kertas ke tangan saya.
“Ya, Ustazah enggak baca.” Janji saya sambil tersenyum.
Sampai rumah, saya buka suratnya. Ternyata, surat itu berisi
sebuah aduan tentang temannya yang berubah sikap kepadanya.
Zahwa merasa dibenci oleh Fulanah.
Ini adalah persoalan yang biasa hinggap di hati seorang santri,
apalagi kelas satu, yang merupakan masa-masa baru mengenal
teman dengan latar belakang keluarga yang berbeda dan berasal
dari kultur daerah yang bermacam-macam.
"A salaamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Ustazah, ini dari Ummi.” Seorang santri, Harir namanya,
mengulurkan buah tangan, oleh-oleh dari uminya yang dibagikan
kepada seluruh ustaazaat.
“Maasyaallah, jazaakillah khairan. Anti dijenguk, ya?”
“Iya, Ustazah.”
“Kapan Ummi datang?”
“Tadi pagi.”
“Nginap enggak?” tanya saya. Kota kelahirannya
Salah Duga 59
memang agak jauh, sekitar tujuh sampai delapan jam perjalanan
menggunakan mobil.
”Enggak, Ustazah, mau langsung pulang habis zuhur.”
“Oya, insyaallah nanti Ustazah ke sana, ingin bertemu Ummi
Harir.”
“Iya, Ustazah.” Harir tersenyum senang.
Mungkin, begitulah keinginan setiap anak. Dia senang
bila ustazahnya bertemu dan berbicang dengan ibunya, menjalin
keakraban.
***
Di kelas, ketika saya mengajar, ada satu santri yang terlihat
kurang semangat, Fatin. Beberapa kali, saya melihat Fatin menangis
ketika ditelepon orang tuanya. Dari Alya (temannya sejak kecil),
saya tahu kalau Fatin belum kerasan. Dia masih sering sedih, teapi
Fatin tidak pernah mengungkapkan. Di kelas dan kapan pun saya
berpapasan dengannya, ia selalu tersenyum.
Hari ini, saya melihat mendung di wajahnya, walaupun ia
tetap tersenyum ketika bersitatap. Saya belum mengetahui apa
penyebab dukanya. Ketika sudah di rumah, baru saya teringat.
Bukankah hari ini teman sekonsulnya dijenguk? Oh, mungkin
karena itulah ia berduka.
***
Sore hari, setelah setoran tahfiz usai, saya menemui Fatin
yang sedang duduk-duduk di depan perpustakaan bersama Alya.
Saya selalu merasa tenang bila ada Alya di sampingnya. Insyaallah,
Alya akan menghiburnya.
“Fatin, tadi di kelas kok kelihatan agak sedih?” tanya saya
sambil ikut duduk di sampingnya. Fatin hanya tersenyum.
Salah Duga 61
dijelaskan oleh Naura. Maasyaallah.
Saat ini, Sajidah sudah kelas lima Mu’allimaat (setara dengan
kelas 2 SMA). Saya mengajar Bahasa Arab lagi di kelasnya. Ketika
saya mengoreksi latihan dan kertas ujiannya, Sajidah sudah jauh
berkembang.
Kita harus menikmati seluruh proses dan bersabar ketika
santri memiliki kendala di garis start. Wallahul musta’an. Kepada
Allah kita memohon bantuan dan pertolongan.
"A ak, aku sering lihat kamu online, tapi kok enggak lihat
megang HP?” tanya adik saya.
“Hehehe ... itulah aku.” Dia manyun. Mungkin, kalau ada
bantal di dekatnya, akan dilemparkannya bantal itu ke arah saya.
Sebenarnya, saya juga sering memegang HP, apalagi
ketika sangat ingin menulis. Ide terkadang hadir tak memandang
waktu: ketika sedang memasak, mandi, menemani anak belajar,
memandikan mereka, dan ngeloni bayi. Namun, saya harus
berdamai dengan keadaan. Orang-orang tersayang yang ada di
depan mata membutuhkan perhatian dan harus diprioritaskan.
Kapan Menulis 63
Terkadang, saya sempat menuliskan satu dua poin pengingat,
baik di smartphone maupun di buku tulis. Namun demikian, tak
jarang saya harus mengikhlaskan tanpa tanda. Insyaallah, jika
memiliki nilai kebaikan, lain waktu Allah beri kesempatan kembali.
Adik heran melihat saya. Saya berusaha tidak membawa
smartphone pada saat mengajar agar tidak tergoda mengintip FB
maupun WA sehingga bisa fokus pada santri. Ponsel juga tidak saya
bawa ketika mengantar anak sekolah. Saya ingin fokus menemani
mereka. Begitu pula pada saat sedang menunggu, dengan tidak
membawa HP, saya bisa mengobrol dengan guru maupun wali
murid. Maklum, rumah kami dekat dengan sekolah, cukup berjalan
kaki 300 meter.
Saya juga langsung meletakkan gawai ketika adik dan ibu
saya datang ke rumah. Jadi, kami bisa mengobrol ngalor-ngidul
tanpa gangguan notifikasi HP.
Saya berusaha membuka gawai ketika anak-anak sedang
tidak di rumah, misalnya ketika mereka berangkat ke sekolah atau
TPA, sedang main di luar, atau sudah lelap dibuai mimpi (tetapi
kadang juga saya khilaf). Hanya suami yang sering melihat saya
memegang gawai.
Lalu, kapan saya menulis semua cerita ini? Saya menunggu
sebuah kesempatan emas dengan hati harap-harap cemas, yaitu
ketika malam tiba, ketika anak-anak sudah tidur semua. Itulah
kesempatan emas saya.
Harap-harap cemas yang saya maksudkan adalah, sering saya
ketiduran ketika sedang ngeloni bayi. Kadang, saya bisa nglilir
(bangun lagi), kadang tidak. Nah, ketika nglilir itulah, saya menulis.
Kalau saya tidak terbangun, terlepaslah kesempatan emas
Kapan Menulis 65
“Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan
dipanjangkan umurnya maka sambunglah tali
silaturrahmi.”
(Hadis)
Cintailah Pondokmu 67
kita mulai belajar Bahasa Arab, mulai mengerti mana mudzakkar
mana muannats, mulai belajar angka dan warna, juga menghafal
berbagai kosakata,” kata saya panjang lebar.
“Di sinilah, awal mula kalian menghafal Al-Qur’an. Di
sinilah, awal kalian menangis karena rindu kepada orang tua. Di
sinilah, kalian belajar tanggung jawab. Semua kenangan dan latihan
ini akan menjadi bekal untuk sepuluh tahun yang akan datang.
Tetaplah mendoakan kami,” lanjut saya. Anak-anak menunduk.
“Di mana pun kalian bertugas nanti, jika suatu saat pondok
memanggil kalian, tolong jangan ditolak. Anggaplah itu sebagai
birrul waalidain.” Saya menyambung.
“Berbaktilah kepada para guru dengan cara menyumbang
tenaga dan pikiran, bersama-sama membangun pondok yang telah
memberi bekal kehidupan.”
Awalnya, saya selalu terkenang waktu tugas di pondok ini.
Saya mengungkapkan sebuah cita-cita kepada seorang teman.
“Meskipun banyak teman-teman yang tugas di luar sana, aku lebih
senang bertugas di pondok.”
“Apa yang kamu cari di sini?” tanya Ana.
“Tidak ada, tapi aku senang.”
“Kalau aku, ya, memilih tugas di luar, mencari pengalaman.”
Saya merasa senang bisa mengabdi di sini bersama ustazah-
ustazah yang Allah hadirkan untuk mewarnai hari-hari. Ustazah-
ustazah itu telah lama hidup bersama, telah mengenali saya dari
A sampai Z, dari kelebihan sampai kekurangan, dari canda tawa
sampai duka nestapa.
Alhamdulillah atas karunia Allah yang besar ini, tinggal di
samping para guru yang memahami saya, guru yang tak segan
Cintailah Pondokmu 69
“Kesabaran yang berlipat-lipat merupakan syarat
mutlak bagi keberhasilan pendidikan anak.”
(Misran Jusan,Lc., M.A. & Armansyah, Lc., M.H.)
FIna Kabur 71
Saya hanya bisa membujuknya untuk bersabar. Di pondok mana
pun, selama masih berinteraksi dengan manusia, kita akan selalu
bertemu dengan masalah. Entah salah paham, tersinggung, merasa
dibenci, teman mengadukan kita kepada ustazah, atau lainnya.
Masalah ada untuk dihadapi dan diselesaikan, bukan dihindari
dan ditinggal lari. Mau lari sampai kapan? Di sini kita bertemu
masalah, pindah ke sana. Di sana bertemu masalah, pindah lagi ke
tempat lain. Kapan kita bisa belajar bertahan dan menyelesaikan
urusan?
Waktu itu, Fina terlihat memahami apa yang saya nasihatkan
bukan hanya sekali dua kali.
“Ustazah sayang sama Fina. Meskipun Fina dijauhi oleh
teman-teman, yang penting, Fina sudah berusaha berbuat baik.
Allah yang akan melembutkan hati teman-teman. Insyaallah.”
Sejak masuk pondok, Fina sudah beberapa kali kabur, juga
beberapa kali disidang. Saya sampai heran mengapa dia masih
saja ingin kabur. Dua minggu yang lalu juga dia sudah kabur.
Alhamdulillah, kepala desa segera menelepon ustaz yang sedang
sibuk mencari.
Sekarang, pasti ustaz sedang mencarinya lagi. Ah, anak ini
menyusahkan banyak orang. Orang tuanya sedih, ustaz-ustazahnya
bingung mau mencari ke mana.
“Asalaamualaikum, Ustazah ....” Seseorang mengetuk pintu
rumah saya. Itu suara Fina.
“Waalaikumsalam. Ya Allah, Fin, anti itu ngapain kabur-
kabur lagi?” ucap saya kesal. Hampir bosan telinga saya mendengar
berita kaburnya.
“Aku enggak kerasan, Ustazah. Aku ingin pindah.”
***
Seminggu kemudian, setelah menyelesaikan beberapa
urusan, Fina dijemput untuk pindah pondok. Saya berdoa semoga
di pondoknya yang baru, Fina bisa kerasan dan dimudahkan Allah
untuk menuntut ilmu. Aamiiin.
Ya, apa yang tidak bisa kita pertahankan, harus rela kita
lepaskan bersama doa yang selalu mengiringi agar di mana pun
FIna Kabur 73
santri kami berada, di mana pun santri kami menuntut ilmu, selalu
dilindungi Allah dan diberkahi usianya, ilmunya, dan keluarganya.
Saya merenung. Kita sebagai guru harus berusaha menjadi
tempat yang nyaman untuk menampung curhatan anak-anak. Di sisi
lain, kita juga perlu menyampaikan pada mereka bahwa kabur itu
bukan solusi. Mereka harus belajar mengungkapkan keinginannya
dengan baik, belajar menyampaikan kesulitan-kesulitan yang
mereka hadapi, belajar percaya kepada para guru yang ada di depan
mata.
Wallahu a’lamu bish shawaab.
M
asih ingat dengan Hamdah? Beberapa hari yang lalu, saya
bertanya kepadanya, “Apa yang bikin Hamdah bangun dan
mau masuk sekolah?”
“Aku ingat Ibu, Ustazah. Kasihan, orang tua sudah membiayai,
masa di sini, aku enggak mau sekolah.”
“Ya, bagus, Hamdah.”
“Aku harus mengejar ketertinggalanku, Ustazah. Aku ingin
berprestasi lagi seperti waktu di SD.”
“Dulu, Hamdah juara berapa di SD?” Penasaran juga bu guru
ini.
S
ekitar enam belas tahun yang lalu, ketika menjadi guru baru,
saya pernah merasa gagal. Saya dikirim bertugas ke sebuah
pesantren. Saya bertemu suasana baru, lingkungan baru, teman-
teman baru, dan yang lebih mendebarkan, memiliki murid-murid
baru.
Seharusnya, saya senang dan menganggap semua pengalaman
baru ini sebagai sebuah tantangan. Namun nyatanya, saya memiliki
kesulitan beradaptasi. Sesuatu yang tidak pernah saya duga karena
sejatinya, pesantren bagai rumah bagi saya, selalu di hati dan
menjadi tempat kembali.
Berawal dari rasa ragu-ragu dan selalu waswas pada
S
emilir angin sore yang sejuk menemani halakah kami di gazebo.
Hari ini adalah jadwal halakah wali kelas. Saya merasa punya
PR karena beberapa hari yang lalu meminta anak-anak menuliskan
keluhan-keluhannya selama lebih kurang lima bulan berada di
pondok.
Saya ingin merespons apa yang mereka tulis. Tentu, masalah
masing-masing anak berbeda. Oleh karenanya, saya butuh berbicara
one by one.
P
ernahkah kalian main hujan-hujanan ketika sudah besar?
Bersama teman-teman, berlarian kesana kemari, menciprati
dan diciprati air, tertawa lepas menengadahkan wajah ke langit. dan
menikmati derasnya air yang turun?
Di pondok, saat hujan turun dan anak-anak sedang free (tidak
ada kegiatan), beberapa anak akan turun main hujan-hujanan.
Terutama bila hujan turun di siang atau sore hari dan mereka belum
mandi. Bahkan, ada yang sengaja mencuci baju sambil hujan-
hujanan.
Saya teringat zaman masih berstatus guru baru. Ada dua
teman yang ditugaskan mengajar mengaji ke desa sebelah, Mbak
Ana dan Mbak Maf. Mereka berangkat jam satu siang dan pulang
Masak-Masak 105
menu, akhirnya pilihan kami jatuh pada satu resep, kroket kentang.
“Ya, ini bahannya mudah didapat, bumbunya sedikit, cara
membuatnya juga mudah,” kata saya.
“Kita urunan berapa, Ustazah?” tanya Alif.
“Urunan lima ribu saja. Nanti kekurangannya, Ustazah yang
nambahi.”
“Kita masak-masaknya kapan?” Dian bersuara.
“Bagaimana kalau hari Jumat?” tawar saya.
“Di rumah Ustazah?” anak-anak memastikan.
“Ya.”
“Sepakat, Ustazah. Hari Jumat saja, enak. Kita ke sana pagi,”
Nadia bersorak senang.
“Nanti, Ustaz Farhan gimana kalau kita masak-masak di
rumah Ustazah?” Hida mencemaskan sesuatu. Utaz Farhan yang
dimaksud adalah suami saya.
“Nanti Ustaz ke pondok putra.”
Wajah-wajah mereka terlihat lega dan bahagia, membayangkan
hari Jumat tiba.
***
Hari Jumat tiba. Anak-anak sudah datang ke rumah. Ada dua
yang berhalangan karena dijenguk.
“Nanti menyusul, Ustazah,” kata Alif.
Semua bahan sudah lengkap. Kami berbagi tugas. Ada yang
mengupas bawang merah dan putih, ada yang mengiris seledri
dan daun bawang, ada yang mengupas wortel dan kentang, lalu
memotongnya berbentuk dadu, dan ada yang menggendong bayi
saya.
Masak-Masak 107
Menurut Muhammad Said Mursi,
ada sepuluh karakter utama dalam diri anak yang
harus ditanamkan sejak dini oleh orang tua atau
pendidik.
Memiliki aqidah yang benar.
Mengetahui cara ibadah yang benar.
Memiliki akhlaq yang terpuji.
Memiliki wawasan yang luas.
Memiliki tubuh yang sehat dan kuat.
Bermanfaat bagi orang lain.
Mampu memanfaatkan waktu.
Bersungguh-sungguh dan disiplin.
Mampu mandiri dan berdikari.
Rapi dan teratur.
K
etika anak-anak mengeluhkan tentang teman-temannya,
saya sering menasihati, “Biarpun sekarang mereka terlihat
menyebalkan, yakinlah suatu saat, mereka menjadi teman yang
mengesankan. Kebaikannya akan selalu kita ingat. Harmonisnya
akan selalu kita bawa sampai berumah tangga.”
Lalu, saya mulai bercerita dan mengenang kebaikan teman-
teman. Salah satunya, ketika saya mulai senang menulis, beberapa
teman memberikan dukungan. Padahal, mereka jauh dan kami
jarang bertemu. Tersebutlah nama Anisah, Syahidah, Yani, Ana,
Shalihah.
Padahal, ketika masih berada di bawah satu atap pondok,
kami sering bertengkar, bahkan kadang sampai mendiamkan
K
elas satu adalah kelas adaptasi. Di kelas inilah, untuk pertama
kalinya, mereka bergaul dengan teman-teman dari berbagai
daerah. Rasa kaget tentu dirasakan oleh setiap anak karena mereka
membawa latar belakang keluarga yang berbeda dan kebiasaan di
rumah yang tidak sama.
Sore itu, Rana bercerita, “Ustazah, Dian kalau habis
meminjam barangku enggak pernah bilang terima kasih. Terus,
kalau habis bercanda dan enggak sengaja nyakitin aku, dia enggak
mau minta maaf.”
Saya masih setia mendengarkan cerita Rana tentang teman
S
aya sering teringat pengalaman ketika menjadi santri baru,
terutama ketika saya menjadi wali kelas mereka. Apa yang
mereka rasakan membuat saya selalu merasa flash back. Lalu,
cerita pun mengalir sesuai situasi.
Ibu membawa saya merantau ke negeri jiran ketika SD. Hal
itu banyak memengaruhi bahasa dan logat saya tanpa sadar. Ketika
kembali ke kampung halaman dan mondok, saya memiliki kendala
bahasa. Menurut teman-teman, bahasa saya aneh, terbalik-balik.
Menurut saya, bahasa merekalah yang aneh.
Suatu sore, ketika saya berada di kelas sendirian, seorang
***
Di kelas, ketika Ustazah selesai menerangkan pelajaran,
biasanya beliau akan bertanya, “Sudah paham?”
“Insyaallah, Ustazah.” Koor teman-teman.
“Nur paham?” Ustazah bertanya.
“Saya kurang paham bahasanya, Ustazah.”
Ustazah prihatin mendengar jawaban saya. Apa boleh buat?
Baik Ustazah maupun muridnya sama-sama tidak paham bahasa
lawan bicara. Saya hanya perlu waktu.
***
Ketika sahur, saya dikirimi ibu perbekalan. Karena masih
berstatus sebagai murid baru, saya tak berani makan bersama teman
yang lain. Saya memang sangat pemalu. Saya mengajak Mbak Ana
mojok ke tempat yang remang-remang.
Saya buka perbekalan dan mulai membuka plastik-plastik
yang berisi sayur dan lauk. Ketika mulai makan, “Lho, Nur, kok
manis?”
“Iya, kok manis, ya?” Saya juga heran. Saya lihat-lihat
kembali plastik yang ada. Oh, ternyata plastik sayur masih utuh.
Saya tidak tahu kalau Ibu juga mengirimi susu cokelat. Jadilah
kami sahur sambil meringis menahan rasa manis.