Anda di halaman 1dari 143

Wali Kelas Santri Baru

Kumpulan Kisah Lika Liku


Membersamai Santri Baru di Pondok

Ummu Muhammad

Cetakan Pertama 2021

Penulis: Ummu Muhammad


Editor: Dewi Hendrawati Tresnaningtyas dan Kartika Susilowati
Desain Cover:
Layout: Nida Syauqiyah
Jumlah Halaman:
Ukuran Buku 14 x 21 cm

Diterbitkan Oleh:
CV. Future Business Machine Solusindo
087722149129
www.joeragan-artikel.com
PRAKATA

TUGAS YANG MELEMBUTKAN HATI 1


MENANGISLAH, TAK APA 3
RINDU IBU 7
MI AYAM 11
BELAJAR FIKIH WANITA 15
TENTANG NIAT 19
TAKUT PADA NILAI YANG RENDAH 23
HAMDAH TAK MAU SEKOLAH 1 27
HAMDAH TAK MAU SEKOLAH 2 31
HAMDAH TAK MAU SEKOLAH 3 35
KELUHAN ANAK-ANAK 39
MENYAYANGI TEMAN 43
MAAFKAN USTAZAH, KARIMAH 47
TIDAK MAU BELAJAR ANGKA 51
DIA TIDAK SENANG KEPADAKU 55
SALAH DUGA 59
KAPAN MENULIS? 65
CINTAILAH PONDOKMU 67
FINA KABUR 71
TITIP PESAN UNTUK AYAH BUNDA 75
NASIHAT PALING BERKESAN 81
USTAZAH, MAAF, BUKUKU KETINGGALAN 85
MINUM KUNYIT ASAM 89
KETIKA KELAS MENGANTUK 93
HUJAN PENUH KENANGAN 97
ANTARA ANAK DAN MURID 101
MASAK-MASAK 105
MENGENANG KEBAIKAN TEMAN 109
BELI HANYA YANG KAU BUTUHKAN 115
JAUHKAN DARI TEMANNYA 117
REZEKI ALLAH YANG TIDAK DISANGKA-SANGKA 121
KELAS SATU BELUM NYAMAN 125
KETIKA SAYA MENJADI SANTRI BARU 129

Profil Penulis 133


Bismillahirrahmaanirrahiim.

Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Alhamdulillaahilladzii bini’matihi tatimmush shaalihaat. Laa haula


wa laa quwwata illaa billaah. Allaahumma shalli ‘ala nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalihi wa ashaabihi wa sallim.
Buku ini bagaikan sebuah mimpi. Tidak disangka-sangka,
betapa baiknya Allah yang telah mengubah mimpi saya menjadi
kenyataan, masyaallah. Saya memang pernah menuliskan
mimpi-mimpi saya sepuluh tahun mendatang, tetapi tidak pernah
mengetahui bagaimana mimpi itu akan terwujud.
Beberapa bulan yang lalu, ketika pandemi melanda negeri
kita, pondok kami juga meliburkan santri secara mendadak selama
hampir lima bulan lamanya. Sepanjang waktu itu, saya merasa rindu
untuk mengajar. Sedih rasanya melihat pondok yang biasa meriah
dengan segala canda tawa dan suara para santri tiba-tiba berubah
sepi. Saya pun menumpahkan rasa rindu itu dengan menulis.
Inilah buku solo pertama saya, kumpulan kisah yang
menceritakan lika-liku mendampingi santri baru di pondok
pesantren. Dari rindu berubah menjadi buku. Subhaanallah
walhamdulillah.
Atas terbitnya buku ini, saya ingin menyampaikan terima
kasih kepada:
Ummi dan Abi, jazaakumullah khairan atas segala jerih
payah dalam mengasuh dan mendidik, membelikan buku-buku,
dan mengajari saya menuntut ilmu;
Bapak dan Ibu, baarakallahu lakum fii ahlikum wa maalikum,
semoga Allah membalas segala kebaikan dengan balasan yang
lebih baik;
adik-adik saya, baarakallahu lakum, semoga kalian selalu
sukses di mana pun berada, doa kakak kalian akan selalu menyertai,
insyaallah;
guru-guru saya, jazaakumullah khairan atas seluruh ilmu
yang telah dicurahkan dan doa yang selalu dilantunkan;
suami saya, atas seluruh kasih sayang dan pengertiannya,
atas izin dan ridanya. Entah dengan apa bisa saya ungkapkan rasa
terima kasih. Jazaakallah athyabal jaza’.
putra-putri saya, semoga Allah menjadikan kalian qurrata
a’yun bagi kami dan berkah untuk zaman kalian nanti, semoga
buku ini bisa menjadi hadiah dan kenang-kenangan untuk kalian
dan generasi sesudahnya; serta
teman-teman ustazah (terutama Ustazah Aida dan Ustazah
Nurul), para santri, teman-teman masa kecil, alumni, dan penulis,
terutama di Grup SJB (Status Jadi Buku) Batch 1.
Saya juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
Ummi Aleeya, Teh Ati, Mbak Dewi Hendrawati Tresnaningtyas,
dan tim Joeragan Artikel yang telah memberi saya kesempatan
untuk belajar dan tumbuh bersama. Uhibbukunna fillah. Semoga
ukhuwah ini terjalin hingga ke surga-Nya. Aamiin.
Ya Allah, perkenankanlah sebuah tulisan yang sederhana ini
menjadi pemberat timbangan di Hari Akhir nanti. Aamiin.
Tentu, buku ini memiliki kekurangan. Oleh karena itu, saya
mohon saran dan nasihat yang membangun dari para pembaca yang
budiman.
Salam hangat dari saya.
Alhaqqu min rabbika falaa takuunanna minal mumtariin. Wal
hamdu lillahi rabbil ‘aalamiin. Fa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalihi wa ashaabihi wa sallama.

Wassalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Pada penghujung tahun

Lamongan, 26 Desember 2020

Ummu Muhammad
“Seseorang yang mengajar harus memantapkan
niatnya demi meraih keridaan Allah dan
mendekatkan diri kepada-Nya.”
(Dr. Abdullah Nashil Ulwa - Pendidikan Anak dalam Islam)

S aya adalah wali kelas satu KMA di pondok kami. Di sini, saya
banyak belajar, bersyukur, dan berpikir.
Saya banyak belajar memahami karakter santri yang berbeda-
beda, banyak bersyukur karena kehadiran mereka melembutkan
hati saya, menguatkan naluri keibuan. Saya juga banyak berpikir
jauh ke depan, bagaimana kira-kira kalau nanti anak saya mondok.
Karena itu, saya pun berusaha untuk memahami beragam karakter
para santri baru serta segala keluhannya.
Seminggu, dua minggu, saya masih beradaptasi. Terkadang,

Tugas yang Melembutkan Hati 1


saya masih salah memanggil nama mereka dan belum bisa
membedakan wajah mereka. Ya, begitulah masa-masa awal kami
bertemu.
Ketika kegiatan mengajar sudah berjalan, hubungan kami
makin lama makin akrab. Saya tidak lagi salah memanggil nama.
Satu dua santri mulai mau bercerita tentang perasaannya, tentang
apa yang disukai dan yang tidak, tentang rindu pada rumah, ibu dan
masakannya, adiknya, ayahnya, dan semua hal berbau rumah.
Saya senang mendengar cerita mereka, berada di kelas
mendengar tawa renyah dan senyum bahagia yang terukir di bibir,
juga mendengar keluh kesah mereka. Di sisi lain, saya menyadari,
sekuat apa pun berusaha menjadi teman cerita mereka, saya pasti
memiliki kekurangan. Selalu ada celah yang harus ditambal. Hanya
kepada Allah-lah saya memohon kekuatan dan kebaikan.

2 Wali Kelas Santri Baru


“Tujuh kriteria pendidik: ikhlas, ilmu, kasih sayang,
sabar, teladan, adil, dan pemaaf.”
(Misran Jusan, Lc., M.A. & Armansyah, Lc., M.H.,
- Cara Nabi Mendidik Anak Perempuan)

"A salaamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.” Saya


memulai kelas.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh.”
“Gimana tadi malam, bisa tidur nyenyak?”
“Bisa.” Sekitar enam atau tujuh santri menjawab.
“Saya enggak bisa.”
“Saya juga.”
“Masih keingetan rumah, Ustazah.”
Saya pun memilih mendengarkan cerita mereka sebentar.

Menangislah, Tak Apa 3


“Enggak apa-apa kalau masih ingat rumah. Semuanya butuh proses.
Kalian yang sabar, ya, sabar jauh dari rumah, sabar karena harus
beradaptasi dengan teman-teman, sabar harus mencuci sendiri,
menjemur sendiri, melipat baju sendiri. Itu semua latihan untuk
kalian.”
Ada yang tetap ceria mendengar nasihat saya. Ada yang
menunduk. Ada yang memain-mainkan jarinya. Ada yang mencoret-
coret kertas.
Saya biasa menghibur para santri dengan bercerita tentang
hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya ceritakan
bagaimana rindunya Baginda pada Makkah, bagaimana para
sahabat mengalami demam ketika baru menetap di Madinah,
sampai Baginda mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah,
anugerahilah kami kecintaan kepada Madinah sebagaimana kami
mencintai Makkah, bahkan lebih dari itu. Jadikanlah ia tempat yang
sehat. Berkahilah sha’ dan mud (timbangan) penduduknya, serta
pindahkanlah penyakit demam yang ada di dalamnya ke Juhfah.”
Inilah rindu, yang memang harus dialirkan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat pun mengalami
rindu ini.
“Menangislah jika ingin menangis. Ini wajar. Tak usah takut,
tak perlu malu. Setelah menangis, hati kita akan merasa ringan. Jika
kalian ingin menulis, tulislah, Ustazah akan baca. Ustazah akan
menemani kalian.”
“Kalau kalian bingung dengan peraturan yang ada, tanyakan
kepada Ustazah. Kalau merasa sedih, kalian boleh datang ke rumah
Ustazah. Kalian kuat, insyaallah.”

4 Wali Kelas Santri Baru


Begitulah yang biasa saya lakukan pada saat pertemuan
pertama di kelas. Saya ingin mereka merasa punya seseorang
tempat bertanya.
Semoga semua anak negeri ini yang sedang nyantri diberi
kekuatan dan keberkahan oleh Allah Subhaanahu wa ta’ala.
Aamiiin.

Menangislah, Tak Apa 5


“Doa. Doa. Doa. Doalah senjata ibu yang istimewa.
Kelak, doa-doa itu akan bekerja.”
(Kiki Barkiah - Satu Atap Lima Madrasah)

"A salaamualaikum ..., Ustazaaah ....” Siang itu, ada tiga


santri datang ke rumah.
“Waalaikumsalam.” Saya menyambut mereka. Salah satu
dari mereka terlihat merah matanya, bekas menangis.
“Ustazah bisa teleponkan ibuku? Aku kangen.”
Sebenarnya, pondok sudah menyediakan fasilitas HP untuk
komunikasi wali murid, tetapi hanya dibuka saat hari Jumat. Dari
sekian santri baru yang ada, biasanya ada satu atau dua yang
memang tidak sanggup menunggu sampai hari Jumat.
Saya pun mempersilakan mereka masuk. Santri yang

Rindu Ibu 7
memerah matanya menyerahkan nomor telepon.
“Asalaamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban dari seberang.
“Maaf, Bu, saya wali kelas anak baru. Ini Alya ingin nelepon
njenengan.”
“Oh, nggih.” Ponsel pun saya serahkan kepada Alya. Ketika
mendengar suara ibunya, tak sepatah kata pun sanggup ia keluarkan.
Alya makin keras menangis. Saya jadi ikut merasa sedih. Saya
berusaha keras menahan air mata, jangan sampai jatuh pula di
depan Alya dan dua temannya.
Lebih kurang sepuluh menit, telepon selesai. Alya masih
sesenggukan. Saya tepuk-tepuk punggungnya, ingin mengatakan
bahwa ia pasti kuat. Dua temannya juga menundukkan kepala.
Sedih rasanya melihat mereka seperti ini. Saya bangkit
mengambil air minum dan kembali duduk di samping mereka. Saya
persilakan mereka untuk minum, sekadar membasahi tenggorokan
yang kering karena tangisan.
“Enggak apa-apa jika Alya ingin menangis. Nanti lama-lama,
Alya akan kuat.”
“Iya, Ustazah, terima kasih,” ucapnya lirih. Dia sudah mulai
tenang.
Tak lama kemudian ....
“Ustazah, kami pamit,” ucap teman Alya.
“Iya, silakan.”
“Terima kasih, Ustazah.” Sekali lagi, Alya berterima kasih
sambil menyalami saya. Setelah mengantar mereka ke pintu, saya
khawatir, akan bertahankah ia?
Ketika berkesempatan berbincang dengan ibunya, tahulah

8 Wali Kelas Santri Baru


saya mengapa Alya terlihat sangat sedih.
“Dia belum bisa mencuci baju, Ustazah, melipat baju juga
belum. Mungkin, dia kaget,” cerita sang ibu. “Saya juga sebenarnya
enggak tega, selalu teringat Alya,” lanjutnya.
“Njenengan yang kuat ya, Bu. Tolong didoakan, semoga Alya
kerasan. Masalah mencuci dan melipat, insyaallah nanti diajari
kakak kelas, Bu.” Saya berusaha menenangkan ibunya.
“Nitip Alya, ya, Ustazah.”
“Nggih, Bu, insyaallah. Njenengan bantu doa.”

(Catatan: Alhamdulillah, ketika tulisan ini dibuat, Alya sudah


kelas 3 mu’allimaat atau setara kelas 3 SMP).

Rindu Ibu 9
“Firman Allah: Âtinȃ ghadȃ’anȃ!
(bawalah kemari makanan kita). Alangkah indah
susunan kata bahasa Arab ini dan dalam pula
maknanya. Bawalah kepada kita, bukan kepadaku,
karena kita akan makan berdua.”
(Syaikh Hamka - Tafsir Al-Azhar, 5/405)

H ari itu, saya masuk di kelas satu setelah jam istirahat selesai.
Anak-anak yang melihat saya dari kejauhan mulai berlari-lari
masuk kelas. Mereka berlomba-lomba lebih dahulu masuk kelas.
Ketika saya sudah membuka kelas, tiba-tiba ada satu anak
berkata dengan suara tertahan. “Aduh, mi ayamku ketinggalan di
gazebo!”

Mi Ayam 11
“Ada apa, Putri?”
“Oh, enggak, Ustazah. Enggak ada apa-apa.” Putri berusaha
menutupi rasa malunya karena keceplosan.
“Haha ... Ustazah sudah dengar tadi,” kata saya sambil
mengedipkan sebelah mata kepadanya. “Mi ayam?” tanya saya.
“Hehe ... iya, Ustazah. Tadi, aku kebelet pipis, jadi ke kamar
mandi dulu. Eh, pas keluar, sudah bel. Aku langsung lari-lari ke
kelas.”
Alah … kasihannya.
Saya mengabsen mereka. Tiba-tiba, sebuah ide mengilhami
saya. “Gimana kalau kita makan mi ayam bareng-bareng?” tanya
saya.
“Mau, Ustazah.”
“Mau.”
“Mau.”
Wajah mereka terlihat sumringah.
“Kapan, Ustazah?”
“Sekarang aja, ya?”
“Masa sekarang?”
Mereka terlihat asyik mendiskusikan rencana makan mi ayam
bersama-sama.
“Ustazah, tapi saya enggak punya uang,” ujar salah satu
santri dengan lirih. Wajahnya sedih.
“Nanti Ustazah yang bayar, jangan sedih.”
Ingin rasanya saya traktir semua. Namun, apa daya, ini akhir
bulan. Semoga, suatu hari nanti, saya bisa mentraktir mereka
semua, tekad saya dalam hati.
Kami pun sepakat makan mi ayam bersama-sama minggu

12 Wali Kelas Santri Baru


depan, ketika saya masuk kelas mereka pada jam terakhir agar kami
bisa makan dengan tenang.
Hari yang dinanti pun tiba.
“Ustazah, nanti jadi, kan?” tanya salah satu santri ketika
berpapasan dengan saya pada jam istirahat. Dia bersama teman-
temannya sedang berjalan menuju tempat wudu, bersiap untuk salat
Duha.
“Ya, insyaallah,” jawab saya sambil tersenyum, bahagia
melihat mereka ceria.
Saya pun langsung menuju rumah Ustazah Mumtazah,
memesan mi ayam untuk jam terakhir.
Ketika jam terakhir tiba ....
“Ayo, Ustazah,” ajak mereka.
“Ayo, tapi kita belajar sebentar, ya. Tadi, Ustazah sudah
pesan mi ayamnya.”
Kami menghafal kosakata bahasa Arab beberapa baris dan
setelah itu, langsung menuju gazebo.
Makan bersama ini terasa nikmat. Saya menambah pesanan
untuk anak-anak saya. Para santri sudah menganggap mereka
seperti adik. Ketika anak saya kesusahan membawa mangkuk,
mereka sigap membantu. Begitu juga ketika anak saya kepedasan,
mereka segera mengulurkan botol air. Ketika mereka melihat saya
kesusahan makan sambil menggendong bayi, mereka tak segan
menawarkan diri untuk menggendongnya.
Masyaallah walhamdulillah.

Mi Ayam 13
Sesungguhnya, pekerjaan kita
lebih banyak dari waktu yang
tersedia.
(Kiki Barkiah - 5 Guru Kecilku)
“Guru harus punya waktu untuk terus belajar.”
(Munib Chatib - Gurunya Manusia)

H ari ini, saya mengajar materi fikih wanita di kelas satu.


“Anak-anak, Ustazah ingin tahu, siapa yang sudah haid
di kelas ini?” Beberapa santri mengangkat tangan.
“Siapa yang haidnya ketika sudah masuk pondok?” Dua
atau tiga santri mengangkat tangan. Kami pun saling bercerita
tentang pengalaman haid pertama. Kepada anak-anak yang belum
mendapat haid, saya memberikan beberapa pesan.
Hari ini, kami belajar mengenali tanda-tanda pubertas. Saya
menggambar bentuk rahim dengan dua indung telurnya di papan.
“Gambar apa itu, Ustazah?”

Belajar Fikih Wanita 15


“Ini gambar rahim yang ada dalam tubuh kita. Dari sinilah,
darah haid itu keluar. Kalau sudah menikah, tetapi darah ini tidak
keluar, itu pertanda awal kehamilan.”
“Hiii ... Ustazah kok bahas hamil?”
“Ustazah hanya memberi gambaran. Di rahim inilah, ibu
mengandung kita.”
Beberapa santri terlihat menikmati obrolan ini. Mereka
tampak antusias.
“Tanda-tanda pubertas dibagi menjadi dua, yaitu tanda fisik
dan tanda psikis.” Saya melanjutkan penjelasan. “Di antara tanda
fisik adalah pa**dara mulai tumbuh, rambut ketiak dan ke**luan
juga tumbuh.”
Ada sepuluh tanda yang saya sebutkan, yaitu tumbuh jerawat,
keringat berlebihan, kulit berminyak, dan lain-lain.
“Hiii … Ustazah.” Anak-anak ribut.
“Ini Ustazah beri gambaran agar kalian tidak kaget, kok
badanku jadi begini? Di sinilah kita belajar,” ujar saya menjelaskan.
“Nanti, bulu ketiak harus kita cabut, sedangkan rambut
ke**luan harus dicukur dengan batas maksimal 40 hari, jangan
sampai lebih. Begitulah Islam memberi pelajaran kepada kita.”
“Terus, kita mencari alat cukurnya di mana, Ustazah?”
“Di syirkah (koperasi) ada.”
“Kami malu belinya.”
“Enggak apa-apa, tidak usah malu. Semua mbak-mbak e lak
yo punya,” jawab saya menenangkan kegalauan mereka.
Kemudian, saya jelaskan perubahan yang terjadi secara
psikis, di antaranya merasa bingung dan malu akibat perubahan
fisik, memiliki kehendak sendiri, perasaan mudah berubah dan

16 Wali Kelas Santri Baru


lebih sensitif, merasa ingin disayang, ingin diakui sebagai orang
dewasa, dan lain-lain.
“Terkadang, satu atau dua hari menjelang haid, perasaan kita
jadi lebih sensitif, kadang senang, kadang sedih, kadang jadi mudah
marah dan mudah tersinggung,” lanjut saya.
“Oh, pantas saja kemarin Zahra uring-uringan, Ustazah.
Ternyata, dia mau haid.”
“Enak aja.” Zahra yang merasa namanya disebut mengelak.
“Iya, gitu, kok, digodain sedikit sudah marah.”
“Nanti lho kamu juga ngerasain sendiri kalau sudah haid.”
Teman yang lain menimpali.

Belajar Fikih Wanita 17


Iman, ilmu, dan amal, tiga
hal yang selalu terkait dan
saling memberi dampak secara
positif. Ilmu yang bermanfaat
mengantarkan hamba kepada
keimanan, lalu ia akan mewujud
dalam amal-amal saleh.
(Ibnu Qoyyim al–Jauziyah, Al Fawaid)
“Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar
(pahalanya) karena niat dan betapa banyak amalan
yang besar menjadi kecil (pahalanya) karena niat.”
(Ibnu Mubarak)

I ni adalah kisah salah satu santri baru yang hanya bertahan satu
tahun di pondok. Namanya Rara, murid saya tiga tahun yang lalu.
Dari awal masuk, Rara sudah terlihat tertekan, selalu
mengeluh gerah ketika memakai kerudung, mengeluhkan pelajaran
yang susah, peraturan yang ketat, dan kegiatan yang padat.
Dalam salah satu jadwal penjengukan, saya berusaha
menemui ibunya dan mengobrol.
“Maafkan saya, Ustazah. Keinginan saya sangat besar agar
Rara menjadi lebih baik,” kata ibu Rara. “Ia memang lebih dekat
Tentang Niat 19
dengan ayahnya sehingga kalau ada apa-apa lebih sering bercerita
kepada ayahnya,” tambahnya.
“Semenjak Rara mondok, saya sering kangen, meskipun saya
tidak tahu apakah Rara merasakan hal yang sama atau tidak,” kata
ibu Rara sedih. Matanya mulai sembap. Ketika itu, Rara sedang
keluar bersama ayahnya.
“Rara pernah bercerita, ia sering kangen masakan Ibu.” Saya
berusaha menghibur.
“Masuk pondok ini sudah perjanjian, Ustazah. Jika nilai UN
Rara rendah, ia akan saya pondokkan.”
Oh, astagfirullah. Sedih rasanya. Mungkin, ini penyebab Rara
merasa tertekan dan tidak betah. Ia merasa masuk pondok sebagai
hukuman karena nilainya rendah.
Rara menunjukkan pemberontakan. Ketika teman-temannya
bersemangat belajar, Rara lebih banyak mengantuk di kelas. Ketika
teman-temannya berangkat ke masjid sebelum azan, Rara masih
sibuk di kamar. Akhirnya, ia sering dipanggil untuk persidangan.
Semua hal menjadi makin tidak menyenangkan baginya.
Rara sering mendatangi saya, mengeluhkan teman-temannya,
kakak kelasnya, hafalan yang susah, serta antrian makan yang
panjang. Saya dengarkan dan beri dia motivasi. Hanya itu yang
bisa saya lakukan hingga akhirnya, Rara datang berpamitan pindah
sekolah pada saat kenaikan kelas.
Hari ini, saya merenungkan satu hal. Semua kebaikan
datang dari Allah. Itulah hidayah. Namun, niat orang tua ketika
memasukkan anak ke pondok juga besar pengaruhnya. Niat orang
tua harus baik, yaitu agar anak paham ilmu agama, mengerti halal
dan haram, memiliki bekal hidup, juga agar anak belajar mandiri.

20 Wali Kelas Santri Baru


Dukungan kepada anak juga harus sepenuh hati karena ia sedang
menuntut ilmu agama.
Bekal yang ia dapatkan tidak terbatas untuk kehidupan di
dunia saja. Bekal ini akan mengantarkannya pada hakikat kehidupan
di akhirat kelak, kehidupan setelah mati, yaitu kehidupan yang
kekal abadi.
Mari kita perbaiki niat, bila ia mengandung unsur duniawi,
mari luruskan lagi. Mari kita masukkan anak-anak ke pondok
dengan niat mencari rida Allah. Semoga dengan niat yang baik ini,
Allah akan memudahkan segala urusan kita serta urusan anak-anak
kita. Aamiin.

Tentang Niat 21
“Definisi mengajar adalah
menjadikan murid mau belajar.”
(Ustaz Arif Rifa’)

"U stazah, sekarang saya enggak semangat belajar, sering


kepikiran orang tua, ingin membahagiakan mereka dengan
nilai yang tinggi agar orang tua senang. Tapi di sini,
pelajarannya susah dan kegiatannya padat.” Haya menuliskan
curhatan pada secarik kertas,beberapa hari setelah UTS (ujian
tengah semester), menjelang pembagian rapor.
Sebenarnya, ia santri yang ceria. Sebelum mondok di sini,
ia juga sudah pernah mondok di sebuah kota. Sejak awal masuk
pondok ini, ia sudah memiliki banyak teman. Ia suka menghibur

Takut Pada Nilai Rendah 23


teman yang sedih. Perkataan Haya juga banyak didengarkan teman-
teman. Namun, ketika melihat nilai teman-teman lebih tinggi
nilainya, Haya kehilangan semangat. Dia merasa minder, padahal
Haya anak yang pintar.
Ketika rapor sudah dibagikan, saya memberikan beberapa
imbauan secara umum. Setelah itu, saya ingin mendekati Haya
secara personal.
“Anak-anak, bagaimana hasil ujiannya? Memuaskan?”
“Alhamdulillah, Ustazah.”
“Saya biasa aja, Ustazah.”
“Saya kurang puas, Ustazah.”
Beragam jawaban anak-anak. Haya hanya terdiam, tidak
berminat dengan topik yang saya buka.
““Untuk semua usaha yang telah dicurahkan, kalian wajib
bersyukur. Itu perlu dihargai. Kalau nilai kurang memuaskan,
insyaallah nanti bisa diperbaiki lagi.”
“Untuk yang nilainya sudah bagus, bersyukurlah dan jangan
melepaskan tangan teman-teman yang belum bisa. Kalau ada teman
yang kesulitan, tolong dibantu. Ada teman yang bertanya, tolong
dijawab. Ada teman yang minta diajari, tolong diajari. Untuk yang
nilainya kurang memuaskan, bersabarlah dan jangan putus asa. Kita
belajar di sini untuk berusaha menjadi baik, bukan untuk mencari
nilai.”
Anak-anak terlihat ceria. Haya mulai tersenyum. Saya ingin
mereka belajar dengan nyaman, jangan mengkhawatirkan nilai.
Tujuan belajar di pondok adalah agar paham ilmu agama. Ujian
hanya pendorong untuk terus berusaha. Ketika hasil ujian tidak
sesuai dengan harapan, jangan kecewa dan menarik diri atau yang

24 Wali Kelas Santri Baru


lebih parah lagi, tidak senang bila teman yang lain berada di atas
kita. Kita, sesama muslim, haruslah saling menyayangi. Kita senang
ketika saudara senang dan sedih ketika saudara sedih.
Rabbanaaghfirlanaa wa li ikhwaaninalladziina sabaquuna
bil imaan wa laa taj’al fii quluubinaa ghillan lil ladziina aamanuu
rabbanaa innaka ra’uufur rahiim. (Wahai rabb kami, ampunilah
kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu
dari kami dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam
hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai rabb kami,
sungguh Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.)
Ya Allah, jadikanlah kami saling menyayangi. Aamiin.

Takut Pada Nilai Rendah 25


“Motivasi adalah kebutuhan, keinginan, minat,
hasrat yang mendorong seseorang mencapai tujuan
tertentu.”
(Sinta Yudisia - 15 Rahasia Melejitkan Bakat Anak)

"U stazah, Hamdah tidak mau sekolah. Sudah seminggu ia sakit


dan tidur terus,” kata Ustazah Farah kepada saya. Beliau adalah
asisten wali kelas satu. Sama seperti saya, kami mengajar di
kelas ini dengan porsi lebih banyak dibanding mengajar di kelas
lain.
Duh! Saya tersentak mendengar informasi beliau. Kok
bisa saya tidak tahu kalau ada santri baru yang mogok sekolah?
Kesibukan melayani dan mendekati santri yang masuk kelas
membuat saya lalai menengok yang sakit.
Hamdah Tak Mau Sekolah 1 27
“Oh, ya, nanti saya lihat dulu kondisinya, Ustazah.”
Dari Ustazah Farah, saya baru mengetahui bahwa rupanya,
sejak diantar ibunya ke pondok, Hamdah belum pernah sekalipun
menginjakkan kaki di kelas. Padahal, KBM sudah berjalan hampir
tiga minggu.
Minggu pertama di pondok, Hamdah tidak mau mengikuti
kegiatan. Minggu kedua, ibunya datang dan meminta izin membawa
Hamdah pulang. Di rumah, Hamdah tinggal selama satu minggu.
Ini minggu ketiga, ketika saya baru mengetahui keadaannya.
Astagfirullah.
Selesai mengajar, saya sempatkan datang ke kamar menjenguk
Hamdah. Dia sedang berbaring dengan mata terpejam. Saya pegang
dahinya, suhu badannya normal.
Tak berapa lama saya di sana, tiba-tiba, ibunya datang
menjenguk. Berita Hamdah sakit sudah sampai kepada orang
tuanya.
“Kakak Hamdah juga seperti ini, Ustazah. Di pondok, ia
selalu mengeluh pusing dan kata dokter spesialis tidak sakit. Beliau
menebak penyebabnya karena anak saya mondok, bisa jadi tidak
kerasan,” jelas ibu Hamdah.
Saya manggut-manggut mendengar cerita ibu Hamdah.
“Jadi, bagaimana rencana Ibu sekarang? Apa mau dibawa
pulang dulu anaknya?” tanya saya.
“Enggak, Ustazah. Saya paham anak saya. Enggak apa-
apa, namanya juga sedang beradaptasi. Nanti lama-lama juga ia
kerasan.”
“Ya, Bu. Njenengan bantu doa.”
“Nggih, Ustazah. Hamdah ini memang anak bungsu, makanya

28 Wali Kelas Santri Baru


lebih manja. Semua keinginannya saya turuti. Yang penting, dia
mau mondok.”
“Dia minta dijenguk seminggu sekali, ya saya jenguk. Dia
minta saya datang mencucikan bajunya, ya saya turuti, yang penting
jangan minta pulang,” lanjut beliau.
Masyaallah. Saya kagum dengan semangat ibu ini. Biasanya,
ibu-ibu lain langsung minta izin untuk membawa pulang anaknya.
Ibu ini tidak.
Setelah selesai menengok anaknya dan memberikan beberapa
pesan, beliau pun pulang. Bagaimana dengan Hamdah? Dia hanya
terdiam dan kembali menutup mata.
Besoknya, Hamdah tetap berbaring, tak ingin sekolah. Saya
sudah membujuknya, tetapi Hamdah tetap tidak mau. Hamdah
mengeluh pusing, dadanya sakit, dan badannya lemas semua. Saya
tak ingin memaksa, biarlah kami bersabar mengikuti prosesnya.
Biarlah Hamdah menikmati kesendiriannya. Biarlah Hamdah
beradaptasi.
Saya mengiringi dengan doa. Semoga besok, Hamdah mau
bangkit dan sekolah. Ketika hari itu tiba, saya membayangkan
wajah ibunya yang cerah.

Hamdah Tak Mau Sekolah 1 29


“Hidup kadang menyediakan banyak pilihan,
tetapi tak semuanya dapat diambil. Bahkan,
sesekali, pilihan yang tak disukai justru harus
dilaksanakan.”
(Sinta Yudisia - 15 Rahasia Melejitkan Bakat Anak)

S
ebulan sudah berlalu, Hamdah tetap seperti kemarin. Saya
menemuinya untuk kali kedua. Hamdah sedang duduk bersandar
pada lemari, tangannya memijat dada dengan ujung jari-jari.
“Ini sakit?” tanya saya.
“Iya, Ustazah.”
“Hamdah yang sabar, ya.”
Hamdah menunduk. Saya bercerita kepadanya.
“Hamdah, Ustazah ingin tahu, sebenarnya, Hamdah masuk
Hamdah Tak Mau Sekolah 2 31
pondok ini karena keinginan sendiri atau dipaksa ibu?”
Pandangan Hamdah menerawang keluar kamar. Dia menarik
napas beratm seolah beban yang maha dahsyat sedang ingin ia
lepaskan, tetapi tidak tahu caranya.
“Keinginanku sendiri, Ustazah. Aku ingin menyenangkan
Ibu,” kata Hamdah dengan air mata yang mulai menganak sungai.
“Hamdah ingin menyenangkan hati Ibu, tetapi apakah hati
Hamdah sendiri sudah senang? Kalau Hamdah enggak mau sekolah,
itu tandanya Hamdah tidak bahagia. Hamdah harus bahagia dulu,
baru Hamdah bisa membahagiakan Ibu. Kalau hati Hamdah sendiri
tertekan, bagaimana nanti mau membahagiakan orang lain? Susah,
Hamdah. Coba Ustazah tanya, apa yang bikin Hamdah bisa ngerasa
senang? Bisa tersenyum, bisa semangat?”
Agak lama, baru Hamdah menjawab, “Aku senang jika bisa
dekat dengan Ibu, pergi sekolah dengan teman-teman SD, dan
tinggal di rumah.”
Saya terdiam, membayangkan perasaannya. Saya pegang
tangan Hamdah, ingin mengatakan bahwa dia tidak sendiri di sini.
“Bagaimana jika Ustazah sampaikan keinginan Hamdah
kepada Ibu supaya besok Hamdah dijemput?”
“Aku takut nanti Ibu marah.”
“Jangan takut. Jika Ustazah yang berbicara, insyaallah ibu
Hamdah paham.”
Dia terguncang, antara tidak percaya dengan tawaran saya
dan rasa takut kepada ibunya.
“Daripada di sini Hamdah merasa tertekan, enggak mau
sekolah, dan badannya sakit semua, lebih baik Hamdah berterus
terang kepada Ibu. Ustazah akan membantu menyampaikan

32 Wali Kelas Santri Baru


keinginan Hamdah.”
“Iya, Ustazah.”
“Ustazah akan menelpon Ibu sekarang, ya, biar kamu besok
dijemput.”
Hamdah mengangguk. Tangisnya sudah berhenti. Saya pun
langsung mencari nomor kontak ibunya di kantor.
Qadarullah, nomor yang diberikan Ustazah Farah di kantor
tidak bisa dihubungi. Nomor yang lain ada yang terhubung, tetapi
tidak diangkat. Maklumlah, ini masih pukul tujuh pagi, mungkin
orang tuanya sedang bekerja.
“Jangan, Nur! Jangan minta Ibunya menjemput Hamdah.”
Ustazah Mumtazah menegur saya. Beliau ustazah senior kami.
“Saya bingung, Ustazah. Bagaimana, coba, di sini, ia juga
tidak mau sekolah.”
Dalam beberapa kali rapat, nama Hamdah selalu disebut.
Saya merasa bertanggung jawab kepadanya. Menurut saya, itu
solusi yang menguntungkan semua pihak, terutama Hamdah.
“Meskipun Hamdah tidak mau sekolah, dia sebenarnya
mudah diberi pengertian, dan patuh kepada ibunya. Ditinggal
pulang yo enggak teriak-teriak menangis. Insyaallah dia hanya
perlu waktu untuk beradaptasi. Biasalah, Nur.” Ustazah Mumtazah
menyadarkan saya.
“Ibu Hamdah juga kuat, sudah memasrahkan anaknya di
pondok. Beliau ingin Hamdah belajar di sini, masa sekarang mau
disuruh jemput?” lanjut beliau.
Saya jadi berubah galau. Saya betul-betul bingung.

Hamdah Tak Mau Sekolah 2 33


“Allah menjadikan anak-anak sebagai amanah bagi
kita. Kelak, kita akan dimintai pertanggungjawaban
dihadapan-Nya atas apa yang kita lakukan terhadap
mereka.”
(Dr. Khalid Ahmad Syantut - Rumahku Madrasah Pertamaku)

"O H, masyaallah, Hamdah sudah sehat? sapa saya ketika


melihat Hamdah di kelas. Saya kaget sekaligus senang.
“Ustazah senang sekali melihat Hamdah sudah mau sekolah,” kata
saya sambil menepuk-nepuk punggung Hamdah, mengapresiasi
kemajuannya. Hamdah hanya tersenyum membalas sapaan saya.
Keesokan harinya ...
“Lho, Hamdah ke mana?”
“Enggak masuk lagi, Ustazah.”
Hamdah Tak Mau sekolah 3 35
“Katanya sakit.”
“Dia sebenarnya enggak sakit, Ustazah.” Riuh anak-anak
menjawab pertanyaan saya.
“Ustazah paham. Kalian juga harus berusaha memahami.
Hamdah mungkin tidak secepat kalian bisa beradaptasi di pondok.
Kalau di kamar, kalian harus baik sama Hamdah. Ajak dia ngobrol,
ambilkan makan, ajak cerita yang lucu-lucu, supaya terhibur.
Jangan dibiarkan sendiri.”
“Kami sudah sering mendekati Hamdah, Ustazah, tapi dia
enggak suka cerita sama kami.”
“Enggak apa-apa. Meskipun kelihatan enggak suka, tetap
ajak dia ngobrol. Nanti, lama-lama, Hamdah mau.”
“Katanya, kalau makan, dia pengen disuapin.”
“Ustazah mau nyuapin Hamdah,” kata saya mencoba menarik
simpati mereka. Saya ingin teman-teman berlembut hati dalam
bergaul dengan Hamdah dan tidak menuntut sama. Mereka kaget.
Lalu, saya bercerita tentang rindu yang pernah mendera. Ibu
membawa saya sekolah ke negeri seberang. Rindu pada Nenek dan
bayangan pada lingkungan yang baru bukanlah hal yang mudah
buat saya saat itu.
Dua hari sebelum berangkat, demam melanda tubuh.
Dalam perjalaan, saya mulai membaik. Ketika sampai ke tempat
tujuan, saya merasa senang. Namun, beberapa hari kemudian,
saya menangis hampir tiap pagi, teringat Nenek yang selama ini
menyiapkan saya sekolah.
Akhirnya ,Ibu mencari orang yang lebih tua agar saya
merasa memiliki nenek. “Nanti, berangkat sekolah dari sana.”
Ibu membujuk dan saya menurut. Perasaan saya lumayan mereda,

36 Wali Kelas Santri Baru


tetapi rindu itu selalu ada.
Waktu telah menyembuhkan saya dari rindu yang mendera.
Teman-teman yang baik, kakak kelas yang suka menghibur,
dan segala canda tawa yang dihadirkan mampu membantu saya
beradaptasi. Sampai hari ini, bila saya mengenangnya, hari-hari itu
membuat saya terharu.
Para santri terdiam. Semoga, hati mereka juga melunak.
“Kita doakan semoga Hamdah segera merasa nyaman di
sini.”
“Aaamiiiiin,” jawab mereka serentak. Kami pun melanjutkan
pelajaran.
Hari berlalu, dua minggu lagi, UTS menjelang.
“Ustazah, gimana Hamdah? Dua minggu lagi UTS.
Hamdah telah ketinggalan banyak materi.” Ustazah Farah kembali
mengingatkan saya.
“Didoakan saja, Ustazah. Bukankah kita juga sudah berusaha
membujuknya?”
Katika saya kemukakan masalah Hamdah untuk kesekian
kalinya kepada kepala sekolah, beliau akhirnya berkata, “Sementara
ini, jangan sebut-sebut sekolah dulu di depan Hamdah. Biar dia
beradaptasi dulu. Sering-sering anterin makanan ke sana supaya
dia merasa nyaman.”
Seminggu menjelang UTS ....
“Masyaallah, Ustazah senang Hamdah sudah masuk sekolah.
Belajar yang rajin, ya, seminggu lagi ujian,” kata saya sambil
tersenyum.
Besoknya, Hamdah masuk sekolah lagi. Besoknya juga.
Besoknya juga. Alhamdulillah.

Hamdah Tak Mau sekolah 3 37


“Menjadi guru itu harus dekat dengan murid.
Kedekatan akan membuka komunikasi dan
komunikasi akan memudahkan pengaturan.”
(Ustaz Arif Rifa’i)

S
aya dan para santrai biasa mengobrol sebentar sebelum memulai
pelajaran. Hari itu, saat kami belajar tentang fikih wanita, salah
satu santri mengadu.
“Ustazah, sejak masuk pondok, saya belum pernah haid,
padahal di rumah, rutin setiap bulan.”
“Haid pertamanya kapan?” tanya saya.
“Sejak pertengahan kelas enam.”
Saya terkesima. Apakah adaptasi lingkungan baru bisa
menyebabkan haid tidak lancar?

Keluhan Anak-Anak 39
“Apa ada yang membebani pikiran anti sejak mondok?”
“Eggak tahu, Ustazah,” katanya sedih.
“Sementara, kita lanjutkan pelajaran dulu, ya. Nanti, lima
belas menit sebelum kelas selesai, Ustazah punya pertanyaan.”
“Anak-anak, tolong tuliskan beban apa saja yang saat ini
mengganggu pikiran kalian. Dari kertas itu, Ustazah akan panggil
kalian satu per satu. Kita coba urai masalah yang ada, insyaallah.”
Selama lima belas menit mereka menulis. Ada yang hanya
menulis beberapa baris, ada yang setengah halaman, dan ada yang
dua halaman penuh.
Masalah yang banyak dikeluhkan adalah pergaulan dengan
teman, kakak kelas, maupun musyrifah. Ada yang merasa
temannya tidak peduli, kalau bicara suaranya keras, kadang
menyerobot antrean, ghosob sandal, dan lain-lain. Jika ada yang
mau mendengarkan semua masalah ini, tentu anak-anak akan
merasa lega.
Saya sepenuhnya menyadari tidak akan pernah bisa
menggantikan posisi ibu di hati mereka. Yang bisa saya lakukan
hanya mendengarkan sambil sedikit-sedikit memberi nasihat.
Kenyataannya, tidak semua anak bisa mengungkapkan
semua masalahnya kepada ustazah. Ada yang memilih untuk
memendamnya. Semoga apa yang kami obrolkan–sehari setelah
saya baca tulisan-tulisan mereka–bisa menghibur.
Di antara yang saya nasihatkan adalah kita harus bersyukur
memiliki teman-teman yang sama-sama ingin belajar ilmu agama.
Meskipun saat ini mereka terkadang menjengkelkan, suatu saat,
insyaallah ia akan menjadi kawan yang selalu kita rindukan. Kawan
yang membantu kita ketika susah, yang menghibur kita saat sedih.

40 Wali Kelas Santri Baru


Adanya masalah itu sebuah keniscayaan. Bukankah kita
hidup untuk menyelesaikan masalah satu per satu? Kapan masalah-
masalah itu berhenti? Kalau kita sudah tidak hidup lagi.
“Anak-anak, jadilah teman yang baik untuk teman yang lain.
Saling menyayangi, saling peduli, saling menghibur bila ada yang
sedih, juga suka tersenyum.”
“Lho?!” seru mereka ketika mendengar kata “suka tersenyum”.
“Iya, coba kalau Ustazah cemberut,” kata saya sambil
bermuka masam. Anak-anak nyengir. “Enak tidak dilihatnya?”
“Enggak enak, Ustazah.”
“Begitu juga orang lain.” Mereka mulai memahami. “Kalau
kita suka diberi senyum, ya, kita juga harus murah senyum. Kalau
kita suka diajak ke masjid bareng-bareng, ya, kita juga harus mau
mengajak teman-teman. Kalau kita suka didengarkan, ya, kita juga
harus mau mendengarkan.
“Kalau kita enggak suka dimarahi, ya, jangan sedikit-sedikit
marah ke teman. Kalau kita enggak suka diserobot, ya, jangan
menyerobot. Tidak suka digibah, ya, jangan menggibah. Begitulah,
anak-anak, apa yang kita perbuat akan kembali kepada kita lagi.”

Keluhan Anak-Anak 41
“Kasih sayang seorang teman akan tampak pada
saat kesusahan.”
(Pepatah Arab)

B
eberapa hari kemudian, saya kembali meminta santri kelas
satu untuk menulis. Ada waktu lima belas menit sebelum
waktu istirahat habis. Kali ini, saya tuliskan di papan: Tulislah satu
kebaikan yang kalian temukan pada teman-teman kalian!
“Satu per satu, Ustazah?”
”Ya, satu per satu.” Lalu, saya pun menuliskan nama mereka
mengikut urutan jurnal kelas.
“Seperti apa contohnya, Ustazah?”
“Hamdah: suka tersenyum. Farah: pernah mentraktir jajan.
Alya: ketika aku menangis, dia suka cerita yang lucu-lucu. Nah,
seperti itu.”
Menyayangi Teman 43
Mereka pun mulai menulis. Yang sudah selesai, boleh
mengumpulkan ke depan dan boleh istirahat.
Saya ingin mereka selalu mengingat-ingat kebaikan
temannya, bukan hanya mengingat hal yang menjengkelkan. Ini
adalah salah satu terapi agar kita tidak marah berkepanjangan. Tiap
marah, lihat lagi kebaikan teman yang pernah kita tuliskan. Hati
pun akan merasa tenang. Seraya bersyukur memiliki teman-teman
yang baik.
Bagaimana hasil dari tulisan ini?
Masyaallah. Terharu saya membaca catatan mereka.
Aku pernah antre di belakang Putri, tapi aku disuruh duluan.
Jika aku sendiri, Saima akan mendekatiku.
Jinan: orangnya suka tertawa dan membuatku bahagia.
Alya:kalau salah langsung minta maaf.
Farah: pernah ketika hari Jum’at, aku melamun tidak punya
jajan dan tidak pegang uang. Farah memberi aku jajan, walau
tidak banyak. Lumayan bisa untuk mengganjal perut.
Silvi: orangnya agak galak, tapi suka berbagi.
Silmi: ketika aku sakit, Silmi mengambilkan makan, padahal
dia bukan bagian UKP.
Dan masih banyak lagi. Masyaallah walhamdulillah.
Sesungguhnya, perjalanan mondok ini adalah perjalanan
yang panjang. Bertahun-tahun kita bertemu orang yang sama,
dari bangun tidur sampai tidur lagi. Berbagai peristiwa, baik yang
menyenangkan maupun tidak, akan datang silih berganti. Kita
akan mengenali berbagai reaksi teman dan saling menilai. Sirnalah
segala pencitraan karena kita hidup bersama dua puluh empat jam
kali empat atau enam tahun.

44 Wali Kelas Santri Baru


Subhaanallah. Hati harus selalu ditata. Harus selalu dijag agar
dipenuhi keikhlasan, tenggang rasa, ketenangan, dan kesabaran,
juga simpati dan empati.
Catatan mereka belum selesai. Saya akan menulis ulang
untuk tiap anak. Daftar kebaikan yang dirasakan temannya akan
menjadi afirmasi positif untuk pemiliknya. Dalam jangka panjang,
mereka membutuhkannya untuk memotivasi diri sendiri ketika hati
mulai gonjang-ganjing mempertanyakan apakah diri ini seorang
yang baik.
Jika catatan ini mereka baca lagi, mudah-mudahan ia bisa
menjadi obat. Kebaikan yang mereka lakukan pernah ditulis oleh
temannya sehingga menjadi sebuah kenangan yang indah. Bisa
jadi, kenangan ini akan mereka bawa sampai berumah tangga.
Kenangan yang baik bukankah memang pantas untuk diabadikan?

‫كبح انغلبي يذلا لمعلا و كبحي نم بح و كبح كلاسن انا مهللا‬

“Ya Allah karuniakanlah kepada kami rasa cinta kepada-


Mu, orang-orang yang mencintai-Mu, dan amalan-amalan yang
menyampaikan kami kepada kecintaan-Mu.” Aamiin.

Menyayangi Teman 45
“Seorang pendidik harus mengetahui kaidah-kaidah
tarbiyah yang dianut oleh syariat Islam. Dia harus
mengetahui halal-haram, harus tahu betul prinsip-
prinsip akhlak, paham secara umum aturan-aturan
Islam dan kaidah-kaidah syariat.”
(Abdullah Nashih Ulwan - Pendidikan Anak dalam Islam)

"U stazah, muhadharah (latihan berpidato) nanti, anak saya


mendapat tugas pidato bahasa Indonesia. Ustazah bisa tolong
membuatkan naskahnya?” Seorang ibu menahan langkah kaki saya.
Hari itu, beliau menjenguk putrinya.
“Oh, iya, Bu. Insyaallah akan saya buatkan,” kata saya. Sang
putri tersenyum malu-malu di belakang ibunya.
Ketika pulang ke rumah, saya terus memikirkan tema apa yang

Maafkan Ustazah, Karimah 47


cocok untuk pidato Karimah, tema yang sesuai dengan umurnya.
Sambil mencuci piring, sambil melipat baju, sambil memasak, saya
tetap belum mendapat ide. Ya, meskipun saat ini saya suka menulis,
terkadang, ada masanya saya sama sekali tidak memiliki ide untuk
berkata-kata.
Sehari dua hari berlalu. Ide itu entah lari kemana. Pada hari
ketiga, sebelum saya mengajar di kelas satu, tiba-tiba sebuah ide
terlintas. Tema birrul walidain selama di pondok. Ya, saya mantap
sekali dan bersemangat. Langsung saya tuliskan mukadimahnya.
Isinya baru dalam bentuk poin-poin, belum tertuang menjadi pidato
yang menarik.
Lima menit sebelum pelajaran selesai, saya menemui
Karimah dengan senyum termanis (ini perlu saya lakukan karena
khawatir Karimah sudah menunggu terlalu lama).
“Karimah, Ustazah sudah mulai bikin pidato buat anti, tapi
baru dapat mukaddimahnya.”
“Oh, iya, Ustazah,” kata Karimah, “tapi aku sudah bikin
sendiri pidatonya.”
Oh, ya Allah. Rasa bersalah menyelimuti hati dan perasaan
karena saya terlalu lama memikirkan sebuah ide.
“Oh, ya Allah. Ustazah minta maaf, ya.”
“Enggak apa-apa, Ustadzah.”
“Apa judul pidato yang Karimah bikin?”
“Ciri-Ciri Wanita Salihah.”
“Judul yang bagus, Karimah. Mudah-mudahan lancar, ya.”
Aduh, saya membayangkan berada di posisinya. Ah, seandainya
itu saya, pasti sudah kecewa dan marah. Astagfirullah. Namun,
lihatlah! Karimah tetap tersenyum.

48 Wali Kelas Santri Baru


“Ustadzah, saya belum dapat mukadimah.” Nuha, teman
Karimah, berkata lirih.
“Oh, ya sudah, pakai mukad=dimah yang Ustazah bikin aja.
Sebentar, ya, Ustazah kasih harakat.”
“Baik, Ustazah, terima kasih.”
“Sama-sama.” Saya pun segera memberi harakat mukadimah
itu, tak ingin terlambat lagi seperti sebelumnya. Kertas segera
berpindah tangan.
“Kelas satu siapa lagi yang dapat tugas pidato?”
“Saya, Ustazah.” Silfi angkat bicara.
“Sudah jadi pidatonya?”
“Sudah, Ustazah.” Lega saya mendengarnya.
“Ma’annajaah, ya, semuanya.” Saya mendoakan mereka
semua berhasil.
Bel berbunyi dan saya pun menutup pelajaran.
Ada yang masih mengganjal di hati. Amanah ibu Karimah
yang tidak bisa saya tunaikan. Saya merenung. Terkadang,
memang begitulah hidup ini. Harus disadari, sebagai manusia,
kita memiliki sebuah kekurangan dan keterbatasan. Adakalanya,
kita sudah berusaha keras, tetapi nyatanya, kita harus akur dengan
keterbatasan. Ya, tidak apa-apa, diikhlaskan saja. Yang penting,
keterbatasan itu bukan unsur kesengajaan. Ia sudah diiringi dengan
usaha.
Teringatlah pada nasihat berharga ustazah saya, “Kalau mau,
ada seribu jalan. Kalau tidak mau, ada seribu alasan.”

Maafkan Ustazah, Karimah 49


“Misi terbesar setiap guru adalah perubahan,
mengubah dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari
yang tidak mau menjadi mau.”
(Sholihin Abu Izzudin - Guru Sepanjang Waktu)

M
engoreksi adalah pekerjaan sehari-hari saya. Dulu, pada
waktu awal-awal mengajar Durusul Lughoh, rasanya berat
sekali. Bagaimana tidak, saya harus mengoreksi hampir setiap hari.
Terkadang, pekerjaan itu tidak bisa langsung selesai dalam sekali
waktu karena dijeda oleh pekerjaan rumah tangga, tangisan bayi,
rengekan kakaknya, dan urusan tak terduga lainnya.
Terkadang, buku anak-anak yang harus dikoreksi saya bawa
pulang. Sampai di rumah, ternyata saya tidak bisa mengoreksi.
Jadi, dibawa lagi ke kelas keesokan harinya. Di kelas, saya harus

Tidak Mau Belajar Angka 51


melanjutkan pelajaran, menambah tamrin (latihan soal) lagi.
Menumpuklah dua koreksian.
Saya pernah mengoreksi bersama anak-anak di kelas. Mereka
saling bertukar buku tulis dengan teman sebangku. Namun, ini
pelajaran lughoh (bahasa). Ada yang harus saya teliti. Terkadang,
anak-anak tidak jeli melihat perubahan. Contohnya kata hidzaaun
ditulis menggunakan huruf kha’, padahal yang benar adalah huruf
ha’.
Akhirnya, saya tetap harus mengoreksi ulang dari awal, demi
memastikan mereka telah menulis huruf dengan benar.
Dalam sebuah kesempatan, anak-anak pernah mengeluh.
“Ustazah, enggak mau belajar tentang angka, ah, susah. Kita jadi
banyak salah.”
Eh? Sebenarnya, saya terkejut. Baru kali ini ada santri yang
berani berterus terang tidak mau belajar angka.
“Kesusahan dalam belajar itu bukan untuk dihindari. Kita
harus sering mengulang yang susah agar kita terbiasa. Lama-lama,
insyaallah akan terasa mudah.”
“Tapi banyak koreksiannya, Ustazah. Kita jadi bolak-balik
islah-nya.” Islah di sini artinya memperbaiki kesalahan. Memang,
biasanya ketika melatih ketelitian anak-anak, saya akan meminta
mereka untuk menulis ulang dan memperbaiki kesalahan di bawah
latihan yang saya koreksi. Mungkin, itu yang membuat mereka
keberatan.
“Sabar, ya, menuntut ilmu memang berat, tetapi kalau kita
hindari terus, kapan bisanya? Insyaallah, lama-lama, kalian bisa
teliti. Awal-awal banyak salah itu yo wajar. Dari salah-salah itu kita
belajar memperbaiki sedikit demi sedikit,” ujar saya.

52 Wali Kelas Santri Baru


Kami pun mulai menghafal lagi tentang angka. Memang,
harus diulang-ulang. Tekadang, sudah benar angkanya, tetapi salah
pada bendanya. Lain waktu, sudah benar angka dan bendanya, eh,
ganti salah pada harakatnya.
“Sabar, ya. Enggak apa-apa banyak perbaikan. Insyaallah,
lama-lama, kalian jadi tambah pintar,” hibur saya ketika mengoreksi
langsung di kelas.
Biasanya, anak-anak bergerombol di meja guru ketika saya
mengoreksi. Seru, mungkin, sambil memperhatikan pulpen merah
saya bergerak membenarkan atau menyalahkan. Terkadang, mereka
ikut mengingatkan saat saya salah memberi tanda.
“Lho, Ustazah, itu itsnaani-nya kurang alif.” Karimah
menegur.
“Oh iya,” ucap saya sambil tersenyum manis kepadanya.
Ketika kertas ujian dibagikan, biasanya saya akan mengadakan
peninjauan ulang bersama anak-anak. Kami akan membahas soal,
lalu saya terangkan mengapa jawaban A salah dan mengapa B
adalah jawaban paling tepat. Mereka juga boleh protes bila merasa
jawaban mereka benar, tetapi saya salahkan atau sebaliknya.
Ya, Ustazah juga manusia. Terkadang ada salah dan lupanya.
Sebuah pepatah mengatakan:
‫ هنايسنل الإ ناسنإلا ىمس امو‬#
‫بلقتي هنأل بلقلا ىمسو‬
Tidaklah dinamakan insan melainkan karena sifat lupanya
dan dinamakan hati dengan qalbu karena ia berubah-ubah.

Tidak Mau Belajar Angka 53


“Apalah artinya ilmuku dan
ilmumu serta ilmu seluruh
makhluk dibandingkan dengan
ilmu Allah? Bukankah semua
itu hanya seperti air yang
diambil oleh paruh burung dari
lautan?”
(Perkataan Khidir a.s. kepada Musa a.s.) dalam
Tafsir Ibnu Katsir)
“Perilaku adaptif seperti sopan, tabah, dan rela
dikritik perlu dibangun pada diri setiap individu.”
(Sinta Yudisia - 15 Rahasia Melejitkan Bakat Anak)

"U stazah, ini surat buat Ustazah, tapi jangan dibaca sekarang.”
Zahwa menyelipkan sebuah kertas ke tangan saya.
“Ya, Ustazah enggak baca.” Janji saya sambil tersenyum.
Sampai rumah, saya buka suratnya. Ternyata, surat itu berisi
sebuah aduan tentang temannya yang berubah sikap kepadanya.
Zahwa merasa dibenci oleh Fulanah.
Ini adalah persoalan yang biasa hinggap di hati seorang santri,
apalagi kelas satu, yang merupakan masa-masa baru mengenal
teman dengan latar belakang keluarga yang berbeda dan berasal
dari kultur daerah yang bermacam-macam.

Dia Tidak Senang Kepadaku 55


Teman yang berasal dari sebuah daerah ada yang terbiasa
berbicara dengan volume tinggi. Bukan karena marah, tetapi
begitulah kebiasaan di kampungnya. Rumah yang bersebelahan
dengan ladang kelapa sawit, jauh dari tetangga, membuat mereka
terbiasa berteriak lantang bila berbicara.
Berbeda dengan teman dari daerah lain dengan pemukiman
padat penduduk. Bicara biasa saja sudah terdengar oleh tetangga
sehingga mereka terbiasa berbicara pelan-pelan.
Ketika kedua teman ini bertemu di pondok, terjadilah adaptasi
yang terkadang memancing sakit hati. Si A merasa dimarahi oleh B
yang bersuara keras. Si B tidak merasa marah, meskipun bersuara
keras. Seiring berjalannya waktu dan seringnya bertemu, kedua
teman ini akan saling memahami.
Tidak sekali dua kali saya menerima aduan seperti ini
sepanjang menjadi wali kelas santri baru. Perasaan ini wajar. Mereka
sedang dalam tahap penyesuaian. Tugas saya adalah menjembatani
agar perasaan ini tidak lama.
Saya panggil Zahwa keesokan harinya. Saya kuatkan dan
yakinkan bahwa dia tidak sendiri.
“Mungkin, saat ini Zahwa merasa dibenci. Coba kita tunggu
beberapa hari lagi,” kata saya. “Saat perasaan itu datang, Zahwa
harus segera istigfar. Itu godaan setan, menimbulkan waswas
dan prasangka dalam jiwa. Kalau dituruti terus, nanti Zahwa jadi
berkecil hati,” lanjut saya.
Dia hanya terdiam.
“Kalau perasaan seperti itu datang, ingat-ingat kebaikan diri
sendiri. Zahwa anak baik, suka tersenyum, suka membantu teman,
senang berbagi, dan lain-lain supaya Zahwa merasa senang dengan

56 Wali Kelas Santri Baru


diri sendiri dan tidak lagi minder. Kalau hati senang, Zahwa bisa
ceria dan tersenyum lagi.” Zahwa menunduk, tetapi mau tersenyum
tipis.
Beberapa hari kemudian, saya sudah bisa melihat Zahwa
kembali akrab dengan Fulanah yang tempo hari dia adukan.
Anak-anak, apalagi perempuan, terkadang hanya ingin
didengarkan, dipahami, dan dimotivasi, bukan disalahkan dan
disudutkan atau dituntut untuk mengabaikan perasaan-perasaannya.
Seluruh perasaan negatif ini harus diakui dan dialirkan. Biarkan ia
mengalir bagai ombak di lautan. Pada saatnya nanti, ombak pun
bisa kembali tenang dan mengalir perlahan. Yang dibutuhkan anak-
anak adalah dukungan dan motivasi bahwa ia akan baik-baik saja.
Insyaallah.

Dia Tidak Senang Kepadaku 57


“Nabi mengulang perkataan hingga tiga kali supaya
dapat dimengerti dan dipahami.”
(HR al-Bukhari)

"A salaamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Ustazah, ini dari Ummi.” Seorang santri, Harir namanya,
mengulurkan buah tangan, oleh-oleh dari uminya yang dibagikan
kepada seluruh ustaazaat.
“Maasyaallah, jazaakillah khairan. Anti dijenguk, ya?”
“Iya, Ustazah.”
“Kapan Ummi datang?”
“Tadi pagi.”
“Nginap enggak?” tanya saya. Kota kelahirannya

Salah Duga 59
memang agak jauh, sekitar tujuh sampai delapan jam perjalanan
menggunakan mobil.
”Enggak, Ustazah, mau langsung pulang habis zuhur.”
“Oya, insyaallah nanti Ustazah ke sana, ingin bertemu Ummi
Harir.”
“Iya, Ustazah.” Harir tersenyum senang.
Mungkin, begitulah keinginan setiap anak. Dia senang
bila ustazahnya bertemu dan berbicang dengan ibunya, menjalin
keakraban.
***
Di kelas, ketika saya mengajar, ada satu santri yang terlihat
kurang semangat, Fatin. Beberapa kali, saya melihat Fatin menangis
ketika ditelepon orang tuanya. Dari Alya (temannya sejak kecil),
saya tahu kalau Fatin belum kerasan. Dia masih sering sedih, teapi
Fatin tidak pernah mengungkapkan. Di kelas dan kapan pun saya
berpapasan dengannya, ia selalu tersenyum.
Hari ini, saya melihat mendung di wajahnya, walaupun ia
tetap tersenyum ketika bersitatap. Saya belum mengetahui apa
penyebab dukanya. Ketika sudah di rumah, baru saya teringat.
Bukankah hari ini teman sekonsulnya dijenguk? Oh, mungkin
karena itulah ia berduka.
***
Sore hari, setelah setoran tahfiz usai, saya menemui Fatin
yang sedang duduk-duduk di depan perpustakaan bersama Alya.
Saya selalu merasa tenang bila ada Alya di sampingnya. Insyaallah,
Alya akan menghiburnya.
“Fatin, tadi di kelas kok kelihatan agak sedih?” tanya saya
sambil ikut duduk di sampingnya. Fatin hanya tersenyum.

60 Wali Kelas Santri Baru


“Fatin ingin dijenguk?”
“Enggak, Ustadzah. Aku tadi pusing mikirin masih banyak
tugas yang belum kuselesaikan. Ada hafalan, PR, dan tugas
merangkum,” jawab Fatin.
“Sekarang sudah selesai?”
“Sudah.” Fatin tersenyum manis. Oh, ternyata saya salah
duga.
***
Saya teringat kejadian lima tahun lalu, tetapi masih berkesan
hingga hari ini. Saat itu, selain menjadi wali kelas Sajidah, saya
juga mengajar Durusul Lughoh di kelasnya. Kami sedang belajar
membedakan kata benda mudzakkar dan muannats.
“Ustazah, saya enggak paham,” kata Sajidah. Saya selalu
mengatakan kepada anak-anak, jangan malu bertanya jika belum
paham. Saya senang Sajidah berterus terang.
“Perbedaan yang paling mudah dilihat adalah kalau muannats
ada ta’ marbuthah di huruf terakhir. Kalau bertemu kata benda yang
ada ta’ marbuthah-nya, kita pakai ‘hadzihi dan tilka’, Sajidah,” kata
saya. “Gimana, paham?” lanjut saya.
Sajidah menggeleng. Saya pun mengulangi keterangan.
“Gimana?”
“Aku masih bingung, Ustazah.” Sekarang, saya juga ikut
bingung bagaimana membuat Sajidah paham.
Teman akrabnya sejak SD yang duduk di sampingnya
prihatin. Dia pun bertanya peduli, “Kamu tahu ta’ marbuthah?”
“Enggak,” jawab Sajidah.
Subhaanallah, ternyata di situ letak belum klik-nya. Akhirnya,
Sajidah bisa membedakan benda mudzakkar dan muannats setelah

Salah Duga 61
dijelaskan oleh Naura. Maasyaallah.
Saat ini, Sajidah sudah kelas lima Mu’allimaat (setara dengan
kelas 2 SMA). Saya mengajar Bahasa Arab lagi di kelasnya. Ketika
saya mengoreksi latihan dan kertas ujiannya, Sajidah sudah jauh
berkembang.
Kita harus menikmati seluruh proses dan bersabar ketika
santri memiliki kendala di garis start. Wallahul musta’an. Kepada
Allah kita memohon bantuan dan pertolongan.

62 Wali Kelas Santri Baru


“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat,
maka bertawakkal-lah kepada Allah.”
(Q.S. Ali – Imran:159)

"A ak, aku sering lihat kamu online, tapi kok enggak lihat
megang HP?” tanya adik saya.
“Hehehe ... itulah aku.” Dia manyun. Mungkin, kalau ada
bantal di dekatnya, akan dilemparkannya bantal itu ke arah saya.
Sebenarnya, saya juga sering memegang HP, apalagi
ketika sangat ingin menulis. Ide terkadang hadir tak memandang
waktu: ketika sedang memasak, mandi, menemani anak belajar,
memandikan mereka, dan ngeloni bayi. Namun, saya harus
berdamai dengan keadaan. Orang-orang tersayang yang ada di
depan mata membutuhkan perhatian dan harus diprioritaskan.

Kapan Menulis 63
Terkadang, saya sempat menuliskan satu dua poin pengingat,
baik di smartphone maupun di buku tulis. Namun demikian, tak
jarang saya harus mengikhlaskan tanpa tanda. Insyaallah, jika
memiliki nilai kebaikan, lain waktu Allah beri kesempatan kembali.
Adik heran melihat saya. Saya berusaha tidak membawa
smartphone pada saat mengajar agar tidak tergoda mengintip FB
maupun WA sehingga bisa fokus pada santri. Ponsel juga tidak saya
bawa ketika mengantar anak sekolah. Saya ingin fokus menemani
mereka. Begitu pula pada saat sedang menunggu, dengan tidak
membawa HP, saya bisa mengobrol dengan guru maupun wali
murid. Maklum, rumah kami dekat dengan sekolah, cukup berjalan
kaki 300 meter.
Saya juga langsung meletakkan gawai ketika adik dan ibu
saya datang ke rumah. Jadi, kami bisa mengobrol ngalor-ngidul
tanpa gangguan notifikasi HP.
Saya berusaha membuka gawai ketika anak-anak sedang
tidak di rumah, misalnya ketika mereka berangkat ke sekolah atau
TPA, sedang main di luar, atau sudah lelap dibuai mimpi (tetapi
kadang juga saya khilaf). Hanya suami yang sering melihat saya
memegang gawai.
Lalu, kapan saya menulis semua cerita ini? Saya menunggu
sebuah kesempatan emas dengan hati harap-harap cemas, yaitu
ketika malam tiba, ketika anak-anak sudah tidur semua. Itulah
kesempatan emas saya.
Harap-harap cemas yang saya maksudkan adalah, sering saya
ketiduran ketika sedang ngeloni bayi. Kadang, saya bisa nglilir
(bangun lagi), kadang tidak. Nah, ketika nglilir itulah, saya menulis.
Kalau saya tidak terbangun, terlepaslah kesempatan emas

64 Wali Kelas Santri Baru


itu dan saya harus bersabar untuk tidak menulis sampai anak-anak
berangkat TPA pada sore hari atau menunggu hari kembali malam.
Mengapa tidak menunggu anak-anak berangkat sekolah pada
pagi hari? Saya juga harus bersiap berangkat mengajar dan baru
pulang setelah azan Zuhur.
Menurut nasihat ustazah saya, usahakan mengunggah tulisan
di pagi hari. Setelah itu, keluar dari FB dan fokus pada dunia nyata
untuk menyiapkan sarapan, memandikan anak-anak, mengajar, dan
lain-lain. Ketika waktu sudah longgar, urusan sudah beres semua,
HP seolah menjadi sebuah hadiah.
Pada waktu awal menulis, saya selalu tergoda ingin
mengunggah tulisan pada malam hari karena saat itulah saya punya
waktu longgar. Namun, mengingat nasihat Ustazah, saya berusaha
menjalankannya.
Suami menyarankan untuk menulis di catatan gawai. Saya
kemudian menemukan strategi: menulis pada malam hari, simpan,
lalu unggah pada pagi harinya. Setelah salat Subuh dan zikir,
saya mem-posting tulisan sebelum anak-anak yang kecil bangun.
Ternyata, itu lebih menyenangkan. Alhamdulillah.

Kapan Menulis 65
“Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan
dipanjangkan umurnya maka sambunglah tali
silaturrahmi.”
(Hadis)

"A nak-anak, pernahkah kalian berpikir lima atau sepuluh


tahun yang akan datang kalian ada di mana?”
“Ya enggaklah, Ustazah, jauh sekali.”
“Mungkin, ada yang sedang me-mutqin-kan hafalan Al-
Qur’an-nya, ada yang sedang menulis skripsi, ada yang sedang
dilamar, atau mungkin ada yang sudah menggendong bayi mungil.”
“Hii … Ustazah kok gitu?” Anak-anak mesam-mesem,
hahaha. Saya selalu suka topik ini.
“Ustazah hanya ingin berpesan, meskipun nanti kalian sudah
jauh meninggalkan pondok ini, tetaplah ingat pondok. Di sinilah,

Cintailah Pondokmu 67
kita mulai belajar Bahasa Arab, mulai mengerti mana mudzakkar
mana muannats, mulai belajar angka dan warna, juga menghafal
berbagai kosakata,” kata saya panjang lebar.
“Di sinilah, awal mula kalian menghafal Al-Qur’an. Di
sinilah, awal kalian menangis karena rindu kepada orang tua. Di
sinilah, kalian belajar tanggung jawab. Semua kenangan dan latihan
ini akan menjadi bekal untuk sepuluh tahun yang akan datang.
Tetaplah mendoakan kami,” lanjut saya. Anak-anak menunduk.
“Di mana pun kalian bertugas nanti, jika suatu saat pondok
memanggil kalian, tolong jangan ditolak. Anggaplah itu sebagai
birrul waalidain.” Saya menyambung.
“Berbaktilah kepada para guru dengan cara menyumbang
tenaga dan pikiran, bersama-sama membangun pondok yang telah
memberi bekal kehidupan.”
Awalnya, saya selalu terkenang waktu tugas di pondok ini.
Saya mengungkapkan sebuah cita-cita kepada seorang teman.
“Meskipun banyak teman-teman yang tugas di luar sana, aku lebih
senang bertugas di pondok.”
“Apa yang kamu cari di sini?” tanya Ana.
“Tidak ada, tapi aku senang.”
“Kalau aku, ya, memilih tugas di luar, mencari pengalaman.”
Saya merasa senang bisa mengabdi di sini bersama ustazah-
ustazah yang Allah hadirkan untuk mewarnai hari-hari. Ustazah-
ustazah itu telah lama hidup bersama, telah mengenali saya dari
A sampai Z, dari kelebihan sampai kekurangan, dari canda tawa
sampai duka nestapa.
Alhamdulillah atas karunia Allah yang besar ini, tinggal di
samping para guru yang memahami saya, guru yang tak segan

68 Wali Kelas Santri Baru


menegur jika saya salah, mengayomi, dan menyayangi, guru yang
memotivasi kala lemah dan menghibur kala susah.
Alhamdulillah atas karunia tempat yang baik ini. Meskipun
tempat ini tidak menjamin saya akan selalu tersenyum, di tempatlah
inilah saya belajar.
Belajar menyelesaikan masalah.
Belajar mengajar dengan baik.
Belajar memperbaiki kinerja.
Belajar mendengar aduan santri.
Belajar mendengar keluhan wali santri.
Juga belajar mengatur waktu antara rumah dan anak-anak
dengan pondok dan para santri.
Wallahul musta’an. Hanya kepada Allah-lah kami memohon
kekuatan.
Rabbanaa ashlih lanaa sya’nanaa kullahu wa laa takilnaa
ilaa anfusinaa tharfata ‘ain. (Wahai rabb kami, perbaikilah segala
urusan kami dan janganlah Engkau tinggalkan kami, walau sekejap
mata.)
Laa haula wa laa quwwata illaa billah.

Cintailah Pondokmu 69
“Kesabaran yang berlipat-lipat merupakan syarat
mutlak bagi keberhasilan pendidikan anak.”
(Misran Jusan,Lc., M.A. & Armansyah, Lc., M.H.)

"U stazah tahu enggak Mbak Fina kabur?” Anak-anak kecil


(termasuk di dalamnya anak saya) sibuk bercerita.
“Hah? Kabur lagi?”
“Iya, Ustazah. Padahal, tadi sore sudah diawasi mbak-
mbaknya, dilarang ke belakang. Eh, pas orang-orang sedang salat,
dia kabur.”
“Ya Allah, sudah malam begini, ke mana kaburnya?“ kata
saya.
Meskipun Fina bukan santri kelas saya, kami terbilang akrab.
Fina pernah mengadu tidak kerasan di pondok dan ingin pindah.

FIna Kabur 71
Saya hanya bisa membujuknya untuk bersabar. Di pondok mana
pun, selama masih berinteraksi dengan manusia, kita akan selalu
bertemu dengan masalah. Entah salah paham, tersinggung, merasa
dibenci, teman mengadukan kita kepada ustazah, atau lainnya.
Masalah ada untuk dihadapi dan diselesaikan, bukan dihindari
dan ditinggal lari. Mau lari sampai kapan? Di sini kita bertemu
masalah, pindah ke sana. Di sana bertemu masalah, pindah lagi ke
tempat lain. Kapan kita bisa belajar bertahan dan menyelesaikan
urusan?
Waktu itu, Fina terlihat memahami apa yang saya nasihatkan
bukan hanya sekali dua kali.
“Ustazah sayang sama Fina. Meskipun Fina dijauhi oleh
teman-teman, yang penting, Fina sudah berusaha berbuat baik.
Allah yang akan melembutkan hati teman-teman. Insyaallah.”
Sejak masuk pondok, Fina sudah beberapa kali kabur, juga
beberapa kali disidang. Saya sampai heran mengapa dia masih
saja ingin kabur. Dua minggu yang lalu juga dia sudah kabur.
Alhamdulillah, kepala desa segera menelepon ustaz yang sedang
sibuk mencari.
Sekarang, pasti ustaz sedang mencarinya lagi. Ah, anak ini
menyusahkan banyak orang. Orang tuanya sedih, ustaz-ustazahnya
bingung mau mencari ke mana.
“Asalaamualaikum, Ustazah ....” Seseorang mengetuk pintu
rumah saya. Itu suara Fina.
“Waalaikumsalam. Ya Allah, Fin, anti itu ngapain kabur-
kabur lagi?” ucap saya kesal. Hampir bosan telinga saya mendengar
berita kaburnya.
“Aku enggak kerasan, Ustazah. Aku ingin pindah.”

72 Wali Kelas Santri Baru


“Ya sabar dulu, to. Kan orang tua anti sedang ngurus surat
pindah dan pelunasan biaya. Anti sabarlah menunggu urusan
selesai.”
“Aku tadi sore menelepon Ibu, tapi belum selesai bicara, HP-
nya dimatikan,” ucapnya sedih.
“Oh, makanya anti kabur?”
“Iya, Ustazah.”
Saya melunak. “Fina, kabur itu tidak menyelesaikan masalah.
Ustazah sayang sama Fina. Tapi, kalau Fina jengkel dikit, kabur,
marah dikit, kabur, lama-lama, Ustazah juga jengkel, enggak
peduli. Kalau mau kabur, kabur aja sana!” ucap saya melepaskan
rasa kecewa yang tertahan.
Fina menunduk diam. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Kalau kabur itu, yang susah bukan hanya ustaz dan ustazah.
Orang tua anti juga kepikiran. Tolong, jangan diulangi lagi.”
“Iya, Ustazah. Afwan, ya.” Fina meminta maaf sambil
menjabat tangan saya.
“Nanti kembali ke pondok, minta maaf ke ustazah di dalam.”
“Iya, Ustazah.”
Saya tidak tahu harus berkata apa lagi.

***
Seminggu kemudian, setelah menyelesaikan beberapa
urusan, Fina dijemput untuk pindah pondok. Saya berdoa semoga
di pondoknya yang baru, Fina bisa kerasan dan dimudahkan Allah
untuk menuntut ilmu. Aamiiin.
Ya, apa yang tidak bisa kita pertahankan, harus rela kita
lepaskan bersama doa yang selalu mengiringi agar di mana pun

FIna Kabur 73
santri kami berada, di mana pun santri kami menuntut ilmu, selalu
dilindungi Allah dan diberkahi usianya, ilmunya, dan keluarganya.
Saya merenung. Kita sebagai guru harus berusaha menjadi
tempat yang nyaman untuk menampung curhatan anak-anak. Di sisi
lain, kita juga perlu menyampaikan pada mereka bahwa kabur itu
bukan solusi. Mereka harus belajar mengungkapkan keinginannya
dengan baik, belajar menyampaikan kesulitan-kesulitan yang
mereka hadapi, belajar percaya kepada para guru yang ada di depan
mata.
Wallahu a’lamu bish shawaab.

74 Wali Kelas Santri Baru


“Jika engkau ingin anakmu dijaga oleh Allah
sepeninggalanmu, perbaikilah hubunganmu dengan
Allah di sepanjang hidupmu.”
(Diambil dari Tadabbur Kisah Qur’ani, Ibnu Abdil Bari)

M
asih ingat dengan Hamdah? Beberapa hari yang lalu, saya
bertanya kepadanya, “Apa yang bikin Hamdah bangun dan
mau masuk sekolah?”
“Aku ingat Ibu, Ustazah. Kasihan, orang tua sudah membiayai,
masa di sini, aku enggak mau sekolah.”
“Ya, bagus, Hamdah.”
“Aku harus mengejar ketertinggalanku, Ustazah. Aku ingin
berprestasi lagi seperti waktu di SD.”
“Dulu, Hamdah juara berapa di SD?” Penasaran juga bu guru
ini.

Titip Pesan Untuk Ayah Bunda 75


“Kadang dua, kadang tiga.”
“Oh, maasyaallah. Ya, kalau Hamdah masuk sekolah terus,
insyaallah, Hamdah bisa mengejar. Terus, ada enggak selain Ibu,
teman, atau mbak-mbak musrifah gitu yang bikin Hamdah semangat
sekolah?” lanjut saya.
Bu guru ini agak kegeeran, siapa tahu disebut namanya oleh
Hamdah.
“Enggak, Ustazah.”
Oh ... hahaha ... ternyata, motivasi, dukungan, dan nasihat
yang paling berharga tetaplah dari orang tua datangnya. Ini
membuat saya merenung. Terkadang, menurut persepsi kita, kita
merasa sudah berbuat sesuatu untuk para santri. Namun, ternyata
menurut mereka, kita belum melakukan apa pun. Astagfirullah.
Di sini, saya hendak menitipkan sebuah pesan untuk orang
tua yang memondokkan anaknya. Sungguh! Nasihat berharga dan
motivasi yang membangkitkan itu datangnya dari ibu bapak. Ketika
anak menelpon dan menangis, orang tua harus menguatkannya,
meskipun hati mereka juga teriris mendengar keluhan-keluhan.
Ketika anak mengeluhkan teman-tamannya, orang tua
membujuk dan memotivasi. Dalam bergaul, masalah akan selalu
ada. Ibu pun menyabarkan anaknya.
Ketika anak mengeluh tentang kegiatan yang padat dan waktu
istirahat yang singkat, orang tua mendengarkan dan menasihati.
Sesungguhnya, seluruh waktu kita akan dihisab oleh Allah.
Beruntunglah kita yang selama 24 jam berada dalam rangka
menuntut ilmu. Di luar sana, banyak remaja yang menghabiskan
waktunya hanya di depan layar gawai.
Ketika anak mengeluh ingin pindah, orang tua bersabar dan

76 Wali Kelas Santri Baru


menyabarkan anaknya. Sungguh, hal itu besar pengaruhnya bagi
para santri.
***
“Huwaaaa ... huwaaaa ....” Tangisan kencang seorang santri
baru memecah ketenangan pada suatu sore. Saya keluar dari rumah.
Di samping ruang tamu, saya dapati Rana sedang dibujuk oleh
teman-teman dan kakak kelasnya.
Tak jauh dari Rana, ibu bapaknya sedang kebingungan. Hari
ini memang hari penjengukan. Karena Rana masih baru, orang
tuanya datang menjenguk setiap minggu. Namun, setiap kali orang
tuanya mau pulang, terjadilah sebuah drama. Puncaknya adalah
sore itu.
“Aku mau pulang. Aku enggak mau di sini. Ibu buang aku di
sini,” teriak Rana di tengah tangisnya.
“Ibu enggak buang kamu lho, Nak. Kamu dipondokkan
supaya pintar.”
“Enggak mau! Aku enggak mau! Pokoknya, aku minta
pulang!”
Kedua orang tua Rana sudah kehabisan akal membujuk.
Mereka tak bisa pulang. Rana telah menyembunyikan kunci motor
di dalam saku bajunya. Tangannya terus menggenggam saku itu.
Saya turun ikut membujuk, tetapi tetap tidak berhasil. Rana
masih terus berteriak. Saya pun meninggalkannya. Sudah banyak
orang yang membujuknya. Saya hanya memperhatikan dari jauh.
“Ya, besok pulang. Ibu mau izin dulu ke Ustazah,” bujuk
Ibunya.
“Enggak mau! Ibu bohong!”
“Benar! Ibu besok minta izin. Sekarang, Ibu mau pulang

Titip Pesan Untuk Ayah Bunda 77


dulu.”
“Ayo, Nak, nanti Ibu kemalaman,” lanjut ibu Rana.
Entah bagaimana caranya, akhirnya Rana menyerahkan kunci
motor. Ibu bapaknya sudah pulang, tetapi Rana masih menangis. Ia
pun dibujuk dan dituntun tangannya oleh kakak kelas.
“Tenango, ibumu mau izin besok ke Ustazah,” kata Hanin,
kakak kelas yang sekampung dengan Rana.
“Nanti, kalau Ibu bohong, gimana?”
“Enggak, tunggu saja sampai besok.”
“Nanti, kalau sudah dapat izin, pasti ibumu ke sini lagi,” ucap
Hanin sambil melirik temannya.
Saya yang berjalan bersisian dengan mereka menarik Hanin
dan menegurnya. Rana sedang dituntun oleh kakak kelas yang lain.
”Jangan dibohongi, Nin.”
“Mau bagaimana lagi, Ustazah? Dia susah sekali dibujuk.
Padahal, kalau pas enggak waktunya penjengukan, dia selalu ceria.
Pas ada ibunya aja jadi begini.”
Ya, memang betul. Yang saya lihat sehari-hari, Rana selalu
ceria. Bahkan, beberapa ustazah ada yang menyarankan supaya
ibunya tidak menjenguk dulu agar stabil emosinya. Namun, sang
ibu tetap menjenguknya seminggu sekali.
Sekitar setengah jam setelah ibu bapaknya pulang, Rana
sudah tertawa lagi, bercanda lagi. Bahkan, sempat menyapa saya.
Memang beginilah awal-awal memondokkan anak. Tahanlah
hatimu, Ibu! Bersabarlah dan terus doakan anakmu!
Sayangnya, Rana akhirnya tidak bertahan. Janji-janji yang
awalnya hanya diniatkan untuk membujuknya akhirnya menjadi
bumerang. Rana benar-benar minta pulang dan tak ingin kembali.

78 Wali Kelas Santri Baru


Sebuah pelajaran kami ambil, jangan pernah membujuk anak
dengan janji-janji dan harapan palsu. Suatu saat, janji itu akan
ditagih.

Titip Pesan Untuk Ayah Bunda 79


Kebesaran itu ada jika disertai
ketawaduan. Keagungan
Nubuwah tidak menghalangi
Nabi Musa untuk mengajak
bicara dan makan bersama
muridnya, “Bawalah kemari
makanan kita.”
(Syaikh Ibrahim al-Ukail rahimahullah, diambil
dari kitab Tadabbur Kisah Qur’ani karya Abdil
Bari)
“Guru adalah lampu zaman. Penawar lelah,
pengemban amanah. Pembangun optimis bagi yang
pesimis.”
(Solikhin A.Izzudin - Guru Sepanjang Waktu)

S
ekitar enam belas tahun yang lalu, ketika menjadi guru baru,
saya pernah merasa gagal. Saya dikirim bertugas ke sebuah
pesantren. Saya bertemu suasana baru, lingkungan baru, teman-
teman baru, dan yang lebih mendebarkan, memiliki murid-murid
baru.
Seharusnya, saya senang dan menganggap semua pengalaman
baru ini sebagai sebuah tantangan. Namun nyatanya, saya memiliki
kesulitan beradaptasi. Sesuatu yang tidak pernah saya duga karena
sejatinya, pesantren bagai rumah bagi saya, selalu di hati dan
menjadi tempat kembali.
Berawal dari rasa ragu-ragu dan selalu waswas pada

Nasihat Paling Berkesan 81


kemampuan diri sendiri, akhirnya meningkat menjadi sebuah
depresi. Mungkin, hampir mirip seperti baby blues pada ibu setelah
melahirkan.
Saya merasa tidak mampu sampai akhirnya, saya sama sekali
tidak bisa mengajar. Buku bahan ajar yang saya baca berkali-
kali tidak bisa saya terangkan kepada murid-murid. Saya merasa
tertekan hingga akhirnya memutuskan untuk pulang.
Sampai di rumah, para ustazah menjenguk saya. Masih segar
dalam ingatan, seorang ustazah berkata, “Kamu sebenarnya tidak
punya masalah pada pelajaran. Mungkin, adaptasi pergaulan. Dulu,
waktu kelas enam, kamu suka mengajari teman yang enggak bisa.
Sekarang. pelajaran kelas satu kamu kesusahan? Ustazah enggak
percaya.” Saya menunduk, tetapi bahagia mengenang saat saya
bisa membantu teman.
Namun, perasaan bersalah telah meninggalkan tempat tugas,
perasaan gagal, khawatir menjadi omongan orang, dan sebagainya
membuat saya makin tertekan. Komunikasi saya mulai terganggu
sampai ada yang mengatakan, “Dulu, kamu suka bercerita, kenapa
sekarang lebih banyak diam?” Saya juga tidak tahu mau menjawab
apa.
Teringat teman-teman di tempat tugas masing-masing, semua
telah berhasil, tidak pulang seperti saya. Apa kata mereka jika tahu
saya gagal? Apa kata ustaz-ustazah tentang saya? Bagaimana saya
mempertanggungjawabkan amanah di pundak ini dalam kondisi
tertekan? Semua pikiran itu makin mengganggu.
Sampai suatu hari, salah satu ustazah datang ke rumah. Saat
itu, saya terbaring lemah. Beliau mengecup dahi dan mengusap
kepala saya. Beliau berkata, “Jangan pikirkan apa pun kata orang.

82 Wali Kelas Santri Baru


Kamu sekarang ibarat anak panah, harus ditarik mundur dulu, baru
bisa melesat maju.”
Masyaallah, saya takjub dan mulai menerima kekurangan
saya. Kondisi ini bisa pulih, insyaallah. Saya mulai bangkit (semua
tentu atas kuasa Allah), mulai tidak mempedulikan apa pun kata
orang tentang saya.
Ibu membawa saya untuk terapi. Saya menurut dan bersabar
selama proses berjalan.
Alhamdulillah, Allah menganugerahi saya ustazah yang
penyayang dan peduli. Alhamdulillah, Allah menyelamatkan saya
dari depresi. Alhamdulillah, Allah memberi saya kesempatan
kedua untuk bisa mengajar lagi. Sungguh, tanpa kuasa Allah,
saya tak mungkin bisa melewati hari-hari yang berat itu.
Walhamdulillahilladzii bini’matihi tatimmush shaalihaat.
Hari ini, ketika melihat santri baru kesulitan beradaptasi, saya
selalu teringat kesulitan saya dulu. Saya juga pernah mengalami apa
yang dia alami. Lembutlah hati ini, saya nasihati santri itu seperti
yang ustazah saya lakukan dulu.
Saya ingin santri baru mengetahui bahwa dia tidak sendirian
di sini. Saya berusaha hadir ketika mereka menghadapi kesulitan,
berusaha membimbing, menunjuk ajar, memberi motivasi, dan
mendengarkan keluhan-keluhan semampu saya.
Semoga, tidak ada lagi santri yang merasa tertekan disebabkan
beratnya adaptasi. Semoga, tidak ada lagi santri yang merasa
sendiri, terutama ketika pertama kali berpisah dari orang tuanya.
Semoga, tidak ada lagi santri yang kebingungan harus berbuat apa
dan harus bersikap bagaimana.
Hanya kepada Allah-lah kami (sebagai guru mereka) selalu

Nasihat Paling Berkesan 83


menengadahkan tangan, berdoa agar Allah memberkahi mereka,
agar Allah menumbuhkan rasa saling menyayangi dan menghormati,
agar Allah memberi kemudahan dalam setiap kesusahan, dan agar
Allah senantiasa membimbing kami semua dalam kebenaran.
Aamiin.
*Teriring ucapan terima kasihku kepada para ustazah yang
jasanya tak kan bisa dihitung dengan jari-jari. Terima kasih kepada
Ustazah Ummu Nafisah dan Ummu Han yang telah menawarkan
kesempatan kedua untuk mengajar di pondok. Insyaallah, itu
merupakan kenangan yang akan selalu saya kenang.

84 Wali Kelas Santri Baru


“Kasih sayang itu memberi ruang dan batasan demi
kebaikan mereka.”
(Kiki Barkiah - 5 Guru Kecilku)

"A nak-anak, mari kita mengerjakan tamrin (latihan) 17,” kata


saya setelah selesai menerangkan tentang angka untuk
muannats.
“Ustazah, maaf, buku Alya ketinggalan. Alya pakai kertas,
ya,” ujar Alya meminta izin.
“Ya, enggak apa-apa, Alya, tapi sebenarnya, Ustazah kurang
suka kalau Alya memakai kertas. Kertas bisa hilang ditiup angin.
Hilanglah tamrin itu nanti,” kata saya menahan rasa marah. Bagi
saya, ketinggalan buku merupakan tanda santri tidak serius, main-
main.
“Alya, loncat sepuluh kali!” Saya menuliskan satu nomor di

Ustazah, Maaf, Bukuku Ketinggalan 85


papan tulis sebagai contoh.
“Ustazah, kitabku ketinggalan. Aku gabung sama Hamdah,
ya,” kata Sausan. Bu guru menggeleng-geleng.
“Sausan, loncat sepuluh kali!”
Anak-anak sudah paham cara mengerjakan tamrin 17. Mereka
mulai berkonsentrasi menyelesaikan nomor berikutnya.
“Ustazah, apa arti bijaanibi?” Jinan bertanya.
“Di samping, Jinan. Ke mana buku mufrodat-nya? Kemarin
Ustazah sudah menuliskan di papan.”
“Enggak kubawa, Ustazah.”
“Lho, kenapa enggak dibawa? tanya saya.
“Kan bukan waktunya nulis mufrodat,” jawabnya santai.
Astagfirullah. Sudah tiga kali ini saya mendengar anak-anak
mengaku bukunya tertinggal. Rasanya saya ingin memarahi mereka
dan mengomel panjang lebar.
“Anak-anak, buku mufrodat itu harus kalian bawa setiap hari.
Buku itu akan memudahkan kalian mengerjakan tamrin. Kalau
jarang dibawa, jarang dibuka, nanti malah enggak hafal-hafal,”
kata saya.
“Ustazah sering menghukum kalian dengan loncat, tetapi
masih saja ada yang ketinggalan buku. Besok, kalau ada yang
ketinggalan lagi, jangan ikut kelas Ustazah. Berdiri saja di luar!”
Anak-anak menunduk.

86 Wali Kelas Santri Baru


Dari sahabat Abu Barzah, telah berkata
Rasulullah: “Tidaklah bergeser kaki
seorang hamba nanti pada hari kiamat
sehingga Allah menanyakan tentang 4
perkara:
Pertama: tentang UMURNYA dihabiskan
untuk apa.
Kedua: tentang ILMUNYA diamalkan atau
tidak.
Ketiga: tentang HARTANYA dari mana dia
peroleh dan kemana dia habiskan.
Keempat: tentang TUBUHNYA capai dan
lelahnya untuk apa.
(H.R. Tirmidzi)
Ustazah, Maaf, Bukuku Ketinggalan 87
“Mohonlah kepada Allah agar setiap suapan yang
masuk ke mulut mereka akan membangkitkan
semangat dan meninggikan martabat mereka
di sisi Allah.”
(Ustaz Fauzil Adhim - Positive Parenting)

S
emilir angin sore yang sejuk menemani halakah kami di gazebo.
Hari ini adalah jadwal halakah wali kelas. Saya merasa punya
PR karena beberapa hari yang lalu meminta anak-anak menuliskan
keluhan-keluhannya selama lebih kurang lima bulan berada di
pondok.
Saya ingin merespons apa yang mereka tulis. Tentu, masalah
masing-masing anak berbeda. Oleh karenanya, saya butuh berbicara
one by one.

Minum Kunyit Asam 89


Sebelum halakah dimulai, sambil menunggu teman-teman
yang lain hadir, kami mengobrol santai.
“Lho, Aina pilek, ya?” tanya saya.
“Iya, Ustazah, dari kemarin.”
“Silvi juga?”
“Iya, Ustazah. Anisa juga.”
“Kalian pernah minum sinom enggak? Enak, lho. Kalau mau,
Ustazah punya, bikin semalam.”
“Ih, enggak mau, ah, jamu-jamu gitu. Enggak suka, Ustazah,”
jawab Anisa.
“Enak lho, Nis,” kata Hannah.
“Ibuku juga suka bikin, Ustazah. Biasanya dicampuri kencur,”
lanjutnya.
“Iya, ini Ustazah bikin juga dikasih kencur. Lebih wangi, ya,”
jawab saya. “Ustazah masukkan kunyit, asem, kencur, sama gula
merah. Enak. Rasa manisnya lembut. Kalau pakai gula putih, agak
seret. Ustazah baru tahu.”
“Iya, Ustazah, apalagi kalau pakai gula aren, tambah enak
lagi,” kata Ustazah Fiza. Beliau sudah lebih dulu duduk di gazebo
sambil mengasuh bayinya. Ada Ustazah Samha’ juga. Beliau berdua
baru selesai menyimak hafalan santri.
“Iyakah? tanya saya. Ustazah Fiza mengangguk.
”Aina, Silvi, gimana,” kata saya sambil memandang
keduanya, “mau coba? Sebentar, ya, Ustazah ambilkan.”
Keduanya tersenyum. Saya pulang dan kembali dengan
membawa sinom di tangan. Sinomnya tinggal sedikit, tidak apa-
apalah.
“Ini kalau hangat lebih enak. Tenggorokan terasa ringan,

90 Wali Kelas Santri Baru


hidung yang meler juga jadi lega,” kata saya.
Sehari sebelumnya, saya juga meriang, flu. Badan terasa
berat, inginnya berbaring terus. Malamnya, saya membuat kunyit
asam ini sepanci sedang. Setelah minum, alhamdulillah, badan
terasa lebih segar. Paginya, saya minum lagi dan sisanya saya
masukkan kulkas. Inilah yang saya bawa ke gazebo.
Aina dan Silvi mencicipi sedikit sambil menutup hidung.
Alahai ....
“Enak, Ustazah. Dingin,” kata mereka.
“Harusnya Ustazah ngasih kalian pas hangat. Lebih kerasa
di badan, tapi khawatir kalian enggak suka. Kalau dingin kan
menarik.” Anak-anak tersenyum.
“Insyaallah, kapan-kapan Ustazah buat lagi. Taruh di plastik
es, jadilah es lilin sinom,” ucap saya sambil membayangkan
segarnya. Waduh, sedang pilek kok membayangkan es. Aneh.
Sinom yang memang tinggal sedikit itu akhirnya dihabiskan
oleh anak-anak saya.
Anak kelas satu sudah lengkap. Kami pun memulai halakah
dengan sebuah cerita berhikmah. Kemudian, saya membagi kelas
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama akan saya panggil satu
per satu. Kelompok kedua saya persilakan bubar terlebih dahulu.
Insyaallah, minggu depan giliran mereka.
Namun sayang, waktu terasa begitu cepat berlalu.
Baru mendengarkan keluhan satu santri, azan Magrib sudah
berkumandang. Sesi face to face ini pun terpaksa saya hentikan.

Minum Kunyit Asam 91


“Apersepsi adalah stimulus khusus pada awal
belajar yang bertujuan meraih perhatian dari para
siswa.”
(Munib Chatib - Gurunya Manusia)

"A salaamualaikum,” ucap saya di depan pintu kelas.


Pemandangan di depan saya seakan menurunkan semangat
yang saya bawa dari rumah. Semua anak meletakkan kepala di atas
meja. Hanya tersisa dua anak yang tidak mengantuk. Subhaanallah.
Biasanya, mereka ceria. Ada apa dengan hari ini?
”Anak-anak, ayo bangun!”
Satu dua mulai mengucek-ngucek mata. Ada yang bisa
langsung duduk tegak dengan mata terbuka. Ada yang mulai tegak,
tetapi matanya masih berat. Ada juga yang masih meletakkan
kepalanya.

Ketika Kelas Mengantuk 93


“Ustazah punya satu permainan. Ayo, bentuk dua barisan.
Dari Alya sampai Haya ke sebelah kanan. Dari Nuha sampai Sahla
ke sebelah kiri.” Saya memberi instruksi.
Anak-anak mulai berdiri, beberapa dengan terpaksa.
“Ustazah, kita mau ngapain?”
“Kita mau main menghilangkan ngantuk. Siap?”
“Iya, Ustazah.”
“Ustazah hitung sampai lima, kalian harus berbaris mengikut
urutan nama bapak kalian, A sampai Z. Paham?”
“Paham, Ustazah.”
Saya memulai hitungan dan anak-anak mulai ribut
menanyakan dan menyebutkan nama bapak masing-masing, lalu
mulai mengatur barisan.
“Satuuu.”
“Kamu di sini.”
“Duaaa.”
“Kamu maju, Putri.”
“Tigaaa.”
“Nama bapakmu kan Shofyan, kamu di belakangku, Jinan.”
“Empaaat.”
“Nama bapakmu siapa?”
“Aku enggak mau menyebutkan. Pokoknya aku di sini.”
“Limaaa. Selesai.”
Anak-anak saling berpandangan dan tersenyum.
“Ok, sekarang Ustazah cek, ya,” kata saya sambil bersiap
menuliskan nama bapak para santri di kelompok pertama. Mereka
menyebutkan secara urut dan saya mulai menuliskannya di papan.
Kelompok satu lulus. Urutan mereka benar.

94 Wali Kelas Santri Baru


Ganti kelompok kedua. Satu per satu saya catat. Setelah
selesai, “Eh, ini Zamroni ada di atas, baru Masnur, Munir, Matgro.
Ada yang salah!” kata saya.
“Masnur dulu baru Matgro, lalu Munir, ya. Zamroni terakhir.”
Saya mengoreksi.
“Iya, Ustazah. Tadi, Fatin enggak mau menyebutkan nama
bapaknya,” kata Silmi bersungut-sungut.
Fatin juga tampak cemberut.
“Eggak apa-apa, anak-anak. Jangan marah, jangan sakit hati.
Ini hanya game supaya kalian tidak mengantuk, masak malah jadi
bertengkar,” ucap saya melerai.
“Fatin, kenapa tadi enggak mau menyebutkan nama Bapak?”
“Malu, Ustazah, nanti diketawain sama teman-teman.”
“Ok, teman-teman, tolong perhatikan Ustazah,” kata saya
sambil mempersilakan mereka untuk duduk.
“Kita harus bangga menyebutkan nama bapak kita. Itu bukti
bahwa kita terlahir dalam ikatan pernikahan yang halal. Kita
mulia dengan adanya nama bapak karena anak hasil zina tidak
boleh memakai nama bapaknya.Teman-teman yang mendengar
nama bapak orang lain tidak boleh menertawakan. Itu dosa besar.
Paham?”
“Paham, Ustazah.”
“Ustazah pernah mondok di suatu daerah. Kalau di situ ada
tiga Aisyah, kita akan memanggil mereka dengan sebutan ‘Aisyah
Sultan’ (karena nama bapaknya Sultan), ‘Aisyah Hamzah’, dan
‘Aisyah Kamaruddin’. Itu semua nama bapak-bapak mereka.
Mereka tidak malu dan teman-teman mereka tidak ada yang
menertawakan.”

Ketika Kelas Mengantuk 95


Anak-anak terlihat terpesona. Mungkin, baru kali ini mereka
mendengar cerita seperti ini. Generasi kita zaman sekarang harus
dilatih untuk bangga menyebutkan nama bapaknya.

96 Wali Kelas Santri Baru


“Hujan, turunlah bersama rinduku. Mengukir
kenangan indah di masa lalu.”

P
ernahkah kalian main hujan-hujanan ketika sudah besar?
Bersama teman-teman, berlarian kesana kemari, menciprati
dan diciprati air, tertawa lepas menengadahkan wajah ke langit. dan
menikmati derasnya air yang turun?
Di pondok, saat hujan turun dan anak-anak sedang free (tidak
ada kegiatan), beberapa anak akan turun main hujan-hujanan.
Terutama bila hujan turun di siang atau sore hari dan mereka belum
mandi. Bahkan, ada yang sengaja mencuci baju sambil hujan-
hujanan.
Saya teringat zaman masih berstatus guru baru. Ada dua
teman yang ditugaskan mengajar mengaji ke desa sebelah, Mbak
Ana dan Mbak Maf. Mereka berangkat jam satu siang dan pulang

Hujan Penuh Kenangan 97


ke pondok jam lima sore. Mereka diberi fasilitas dua sepeda ontel
untuk memudahkan perjalanan. Jarak dari pondok ke desa sebelah
lebih kurang satu kilometer.
Hari itu, karena saya ikut, Mbak Ana membonceng dan
Mbak Maf menaiki sepeda lainnya. Ketika berangkat, cuaca cerah.
Setelah mengajar, kami menyempatkan diri membeli bakso di
desa sebelahnya lagi. Jarak dari pondok makin jauh, sekitar dua
kilometer. Tak lama kemudian, tiba-tiba cuaca berubah. Langit
gelap, angin bertiup kencang. Hujan mulai turun dengan derasnya.
Kami bergegas menaiki sepeda, pulang ke pondok, menerobos
hujan. Baju kami sudah basah kuyup. Suara kami sampai tak
terdengar, padahal hanya berjarak satu dua langkah.
Pondok masih jauh. Hujan bertambah deras. Angin semakin
kencang. Kami tak berani lagi menaiki sepeda. Khawatir angin
menjatuhkan kami.
Perjalanan jadi semakin lama karena kami berjalan kaki.
Subhaanallah. Di depan, ada pohon bambu tumbang. Alhamdulillah
masih tersisa sedikit jalan. Kami tetap menuntun sepeda bergantian.
Pondok masih sekitar satu kilometer lagi.
Suasana di jalan terasa mencekam. Di sebelah kanan kiri,
hanya ada sawah membentang. Tidak ada rumah penduduk. Kami
merasa takut, tetapi tidak ada yang berani bersuara. Kami hanya
diam berzikir. Langit makin gelap. Azan Magrib sebentar lagi
berkumandang. Kami hanya bertiga di sepanjang perjalanan.
Tak lama kemudian, gapura desa kami mulai terlihat.
Masyaallah, senang dan lega hati kami. Alhamdulillah, sampailah
kami di pondok dengan selamat. Di masjid, para jemaah sudah
memulai salat.

98 Wali Kelas Santri Baru


Kami membersihkan diri di bawah guyuran air hujan yang
mengalir dari atap paralon. Ketika itulah, baru keluar semua cerita
saat perjalanan tadi.
“Ya Allah, jantungku hampir copot sepanjang perjalanan.
Rasanya mengerikan sekali.”
“Aku takut tiba-tiba mati di jalan, tadi.”
“Aku takut tertiup angin. Mana mau maghrib, lagi.
Alhamdulillah tadi kita cepat-cepat pulang.”
“Iya, ih. Hanya kita bertiga, tidak ada siapa-siapa. Ya Allah,
alhamdulillah selamat sampai pondok.”
“Alhamdulillah.”
Kami masuk ke rumah masing-masing di dalam kompleks
pondok. Hujan masih turun sampai malam, tetapi angin sudah
mereda. Di masjid, imam menjamak salat. Beruntungnya. Namun,
kami tidak bisa melakukannya.

Hujan Penuh Kenangan 99


“Sukses itu meninggalkan jejak.”
(Solikhin A.Izzudin - Guru Sepanjang Waktu)

T erkadang, ada suatu masa ketika saya merasa tidak sanggup


menjadi guru. Rasanya, tanggung jawab ini terlalu berat
dipikul di atas pundak.
Berkali-kali, saya mengukur kemampuan yang saya miliki
dengan kewajiban yang harus saya tunaikan.
Seminggu ini, anak saya nomor empat, Hanan, sedang mogok
sekolah. Setiap pagi, dia harus dibujuk. Dua hari sekolah, sehari
bolos. Sehari sekolah lagi, besoknya tidak mau. Dia harus saya
bujuk dan akhirnya minta ditunggu sebentar.
Biasanya, Hanan hanya diantar oleh abahnya. Beberapa hari
ini, saya memutuskan untuk ikut mengantar sampai mood-nya
membaik.

Antara Anak dan Murid 101


Kami harus bersiap lebih pagi. Untuk mengantar satu anak,
yang bersiap empat orang: bapak, ibu, dan dua adik di bawahnya.
Setelah masuk kelas dan berdoa, saya pamit kepada Hanan
dan Bu Guru. Saya mengajar. Dua adiknya ikut saya.
Sampai di rumah, si bayi menangis rewel. Digendong,
berontak. Diberi mainan, tidak mau. Rupanya, ia mengantuk,
saya keloni dengan harapan ia tidur dan saya bisa mengajar tanpa
membawanya ke kelas.
Ternyata, ia menyusu lama sekali. Saya kembali mengirim
pesan kepada ustazah yang bertugas di kantor untuk memanggil
anak-anak santri belajar di rumah.
Anak-anak datang dan saya masih menyusui. Ya Allah.
“Masuk saja, Mbak.” Anak-anak pun masuk.
“Kalian baca buku dulu, ya.”
“Iya, Ustazah.”
Anak-anak mulai memilih-milih buku. Saya melihatnya
dari dalam kamar. Rak buku ada di ruang tengah. Saya meminta
salah satu santri untuk menyalakan kipas ruang tengah. Sebagian
yang sudah mendapat buku membawanya ke ruang tamu. Mereka
membaca di sana.
Setengah jam berlalu, si bayi terlelap. Saya bangkit dan mulai
meminta anak-anak menutup buku bacaan. Kelas kami mulai,
meskipun hanya setengah jam.
“Ustazah, kapan kami boleh ke sini lagi baca buku?” tanya
Aina ketika kelas sudah saya tutup. Mereka kembali membuka
buku cerita yang tadi belum tuntas dibaca.
Sudah waktunya istirahat, tetapi beberapa anak memilih tetap
di rumah saya. “Sampai waktu istirahatnya habis, ya, Ustazah?”

102 Wali Kelas Santri Baru


Mereka meminta izin tadi dan saya mengiyakannya.
Saya senang mendapat pertanyaan seperti ini. Tak sia-sialah
saya meminta mereka untuk belajar di rumah. Meskipun kelas hanya
berjalan setengah jam, setengah jam pertamanya bermanfaat. Kalau
mereka menunggu di kelas tanpa guru dan aktivitas, bukankah
waktu akan terbuang sia-sia?
“Boleh ke sini sore, kalau kalian mau.”
“Ustazah, setiap hari aja kita begini. Enak, bisa baca buku
cerita, enggak bikin bosan,” kata Naila. Matanya masih menatap
sebuah buku.
“Oh, enggak boleh, Naila. Nanti, belajar bahasa Arab-nya
tidak sampai target. Ini hanya darurat kalau si Adik rewel.” Saya
menjelaskan.
Besoknya, mereka selalu ke rumah bila saya terlambat sekitar
lima menit, memastikan tempat belajar.
Seperti pagi itu. “Ustazah, kita belajar di rumah atau di
kelas?” tanya salah satu santri yang menjemput saya di rumah.
“Di kelas, ya. Ustazah sudah siap. Si Adik juga anteng,”
jawab saya.
“Yaaah ....” Wajahnya terlihat kecewa.
Di hari yang lain, anak kelas satu bahkan sudah menunggu di
depan rumah ketika saya baru pulang mengantar Hanan.
“Ustazah, sekolah di rumah, ya?”
Saya tersenyum. “Ya, ayo masuk.”
Beberapa hari kemudian ....
“Ustazah, kapan kita belajar di rumah Ustazah lagi?” Seorang
santri bertanya.
“Sementara ini, jangan dulu, ya. Kita harus mengejar materi.
Dua minggu lagi kan mau ujian semester,” jawab saya.

Antara Anak dan Murid 103


“Sesungguhnya, pengasuhan itu bila
disederhanakan hanya berisi bagaimana kita
membentuk kebiasaan dan meninggalkan
kenangan.”
(Elly Risman - Rantau Bertuah)

S esaat sebelum saya menutup pelajaran, seorang santri


menahan. “Ustazah, ayo, kita masak-masak,” katanya sambil
menyodorkan sebuah buku resep.
“Mau masak apa?” tanya saya.
“Terserah Ustazah saja,” kata Hida.
“Ayo, kita pilih yang paling mudah,” usul saya.
Kami pun mulai menimbang-nimbang. Yang ini terlihat enak,
tetapi bahannya banyak. Yang ini sederhana, tetapi ada satu bahan
yang mahal untuk ukuran saku kami. Setelah menimbang beberapa

Masak-Masak 105
menu, akhirnya pilihan kami jatuh pada satu resep, kroket kentang.
“Ya, ini bahannya mudah didapat, bumbunya sedikit, cara
membuatnya juga mudah,” kata saya.
“Kita urunan berapa, Ustazah?” tanya Alif.
“Urunan lima ribu saja. Nanti kekurangannya, Ustazah yang
nambahi.”
“Kita masak-masaknya kapan?” Dian bersuara.
“Bagaimana kalau hari Jumat?” tawar saya.
“Di rumah Ustazah?” anak-anak memastikan.
“Ya.”
“Sepakat, Ustazah. Hari Jumat saja, enak. Kita ke sana pagi,”
Nadia bersorak senang.
“Nanti, Ustaz Farhan gimana kalau kita masak-masak di
rumah Ustazah?” Hida mencemaskan sesuatu. Utaz Farhan yang
dimaksud adalah suami saya.
“Nanti Ustaz ke pondok putra.”
Wajah-wajah mereka terlihat lega dan bahagia, membayangkan
hari Jumat tiba.

***
Hari Jumat tiba. Anak-anak sudah datang ke rumah. Ada dua
yang berhalangan karena dijenguk.
“Nanti menyusul, Ustazah,” kata Alif.
Semua bahan sudah lengkap. Kami berbagi tugas. Ada yang
mengupas bawang merah dan putih, ada yang mengiris seledri
dan daun bawang, ada yang mengupas wortel dan kentang, lalu
memotongnya berbentuk dadu, dan ada yang menggendong bayi
saya.

106 Wali Kelas Santri Baru


Saya mulai menumbuk bumbu, lalu menumis kentang
dan wortel. Setelah isian kroket matang, saya minta anak-anak
mengipasinya agar dingin. Saya membuat adonan tepung. Setelah
jadi, saya beri contoh satu adonan, lalu saya biarkan anak-anak
melanjutkannya sampai selesai.
Siapa yang menggoreng? Anak-anak dengan senang hati
melakukannya ketika bayi saya mulai rewel dan butuh asi.
Saya senang acara masak-memasak ini, meskipun menu
yang kami pilih adalah menu paling sederhana. Di sini, kami saling
bekerja sama dan membagi tugas, juga mengakrabkan hubungan
antara satu teman dengan teman yang lain, antara guru dengan
murid. Alhamdulillah.
Menurut saya, ini adalah budaya yang harus kita lestarikan.
Dari makanan turun ke hati. Hubungan dan komunikasi yang kaku
bisa mencair karena kerja sama dan berbagi tugas. Semua ikut andil
dan ikut bekerja. Terlebih, semua merasa senang menikmati hasil
makanan yang terhidang. Walhamdulillah.

Catatan : Ketika saya menuliskan cerita ini, Alif dan teman-


temannya sudah menjadi ustazah. Ini adalah tahun pertama mereka
bertugas. Mengenang cerita bersama mereka membuat saya
tersadar, sudah lama sekali kami (kelas satu) tidak masak-masak.

Masak-Masak 107
Menurut Muhammad Said Mursi,
ada sepuluh karakter utama dalam diri anak yang
harus ditanamkan sejak dini oleh orang tua atau
pendidik.
Memiliki aqidah yang benar.
Mengetahui cara ibadah yang benar.
Memiliki akhlaq yang terpuji.
Memiliki wawasan yang luas.
Memiliki tubuh yang sehat dan kuat.
Bermanfaat bagi orang lain.
Mampu memanfaatkan waktu.
Bersungguh-sungguh dan disiplin.
Mampu mandiri dan berdikari.
Rapi dan teratur.

(Diambil dari buku Cara Nabi Mendidik


Anak Perempuan, Misran Jusan,Lc.,M.A. &
Armansyah, Lc., M.H.)
“Terima kasih, Teman, kebaikanmu kan selalu
terkenang.”

K
etika anak-anak mengeluhkan tentang teman-temannya,
saya sering menasihati, “Biarpun sekarang mereka terlihat
menyebalkan, yakinlah suatu saat, mereka menjadi teman yang
mengesankan. Kebaikannya akan selalu kita ingat. Harmonisnya
akan selalu kita bawa sampai berumah tangga.”
Lalu, saya mulai bercerita dan mengenang kebaikan teman-
teman. Salah satunya, ketika saya mulai senang menulis, beberapa
teman memberikan dukungan. Padahal, mereka jauh dan kami
jarang bertemu. Tersebutlah nama Anisah, Syahidah, Yani, Ana,
Shalihah.
Padahal, ketika masih berada di bawah satu atap pondok,
kami sering bertengkar, bahkan kadang sampai mendiamkan

Mengenang Kebaikan Teman 109


(astagfirullah). Kami sering salah paham. Kadang, kami sama-sama
egois, tidak ada yang mau minta maaf duluan.
Di antara teman-teman saya tadi, ada yang hanya setahun
bertemu, ada yang dua tahun, tiga tahun, dan paling lama, enam
tahun.
Pagi itu, ustazah yang bertugas di kantor menyerahkan sebuah
paket, sesaat sebelum waktu istirahat usai. Paket itu saya bawa ke
kelas.
Anak-anak penasaran. Saya buka dengan sebuah cerita.
“Ini adalah paket dari teman Ustazah. Syahidah, namanya.
Dulu, waktu seusia kalian, Ustazah sering bertengkar sama Mbak
Syahidah. Kadang, kami diam-diaman. Siapa sangka, Allah jaga
ukhuwah kami sampai hari ini. Alhamdulillah.”
Anak-anak senang menyimak.
“Beberapa hari yang lalu, Ustazah kehabisan ide menulis.
Mbak Syahidah meminjamkan buku. Ustazah senang sekali,
bahkan merasa terharu. Jauh-jauh dari kota, ia mau meminjamkan
bukunya, meskipun harus dipaketkan. Padahal, waktu di pondok,
kami hanya bertemu dua tahun. Begitulah, anak-anak, meskipun
hari ini kalian bertengkar, insyaallah, mereka adalah teman-teman
terbaik yang kalian miliki,” cerita saya panjang lebar.
“Ustazah, ayo dibuka paketnya,” pinta anak-anak. Sebenarnya,
saya tidak berniat membukanya di kelas. Namun, demi melihat
wajah-wajah yang penasaran, hati saya luluh juga.
“Ya, kita buka,”kata saya sambil melayani pernyataan dan
pertanyaan mereka.
“Aku pengen kayak Mbak Syahidah.”
“Ustazah, Mbak Syahidah sekarang punya anak berapa?”

110 Wali Kelas Santri Baru


“Tinggal di mana?”
“Kita boleh lihat sampul paketnya enggak?”
Setelah puas melihat tiga buku yang dikirim Mbak Syahidah,
kami melanjutkan pelajaran.

Mengenang Kebaikan Teman 111


Rasulullah bersabda:
“Besarnya pahala bergantung
kepada besarnya kesusahan
dan jika Allah mencintai
seseorang, Dia akan mengujinya
sehingga siapa saja yng rela
dengan itu, Allah akan rela
kepadanya dan siapa yang
marah dengan itu, Allah akan
marah kepadanya.”
(HR Tirmidzi & Ibnu Majah)
“Cerdas finansial berarti bersikap seimbang dalam
mengelola pengeluaran, tidak boros dan tidak
pelit.”
(Dr. Khalid Ahmad Syantut - Rumahku Madrasah Pertamaku)

"U stazah, Muti’ah kok boros sekali? Bulan kemarin saya


kirim uang, sekarang sudah habis.” Seorang ibu menelepon.
Sebenarnya saya kaget karena saya bukan pemegang tabungan
santri. Jadi, saya tidak tahu bagaimana anak-anak mengelola
uangnya.
“Oh, maaf, Um, saya kurang tahu, tapi insyaallah, saya bantu
cek ke Ustazah Arifah. Beliau yang memegang tabungan anak-
anak,” jawab saya.
“Tolong nasihati Muti’ah, ya, Ustazah.”
“Ya, Um, insyaallah.”

Beli Hanya yang Kau Butuhkan 113


Selama ini, belum pernah terpikir oleh saya untuk mengajari
anak-anak cara mengelola uang. Menurut saya, urusan satu
ini pribadi sekali. Namun, karena ada keluhan seperti itu dari
ibunya maka pentinglah mengedukasi para santri, terutama santri
baru karena inilah pertama kali mereka harus mengatur sendiri
pengeluarannya.
Memang, uang itu disimpan di tabungan. Namun, terkadang,
Ustazah tidak bisa mencegah bila anak mengambil jatah lebih,
biasanya untuk keperluan seperti sabun mandi, sabun cuci baju,
pembalut, dan lain-lain.
Mungkin, harus ada kesepakatan antara orang tua dengan
anak, berapa jatah jajannya setiap hari dan berapa jatah kebutuhan
bulanannya seperti aneka sabun, odol, dan sampo. Termasuk kalau
sang putri ingin menraktir temannnya, berapa seharusnya yang
diperbolehkan.
Mungkin, orang tua juga bisa meminta anak untuk menuliskan
semua pengeluarannya secara terperinci. Jadi, orang tua bisa
mengontrol dan anak belajar bertanggung jawab. Tidak asal habis,
minta lagi. Habis, minta lagi.
Saya sering menaseihati anak-anak agar selalu bersyukur
dengan apa pun yang mereka punya. Jangan silau dengan apa
yang dimiliki orang lain, juga jangan melihat, menilai, dan bergaul
dengan seseorang berdasarkan apa yang ia miliki. Kalau kita selalu
silau dengan milik orang lain, kapan kita akan mensyukuri milik
sendiri dan merasa cukup?
Terkadang, orang yang menurut kita memiliki kelebihan harta
ternyata Allah uji dengan kekurangan kasih sayang. Uang bulanan
selalu terkirim, tetapi jarang ditelepon, misalnya.

114 Wali Kelas Santri Baru


Ada juga santri yang lain, uang sakunya di bawah rata-rata
jumlah temannya, tetapi orang tuanya selalu menelepon tanpa
diminta untuk memotivasi, menghibur, dan mendengarkan keluhan-
keluhannya.
Saya memotivasi anak-anak untuk tetap percaya diri,
meskipun ia tidak memiliki apa yang dimiliki orang lain karena
kebutuhan setiap orang tidak akan pernah sama.
Jangan silau pada dunia karena ia fana. Tak satu pun benda
akan kita bawa ketika keranda kita diusung. Semoga harta benda
yang kita miliki saat ini tidak memberatkan perhitungan amal kita
pada hari esok.
Wallahu a’lamu bish shawaab.

Beli Hanya yang Kau Butuhkan 115


“Berhentilah melihat kelemahan santri.
Temukanlah kebaikan dan kelebihan mereka. Itu
akan membuatmu bersyukur.”

"U stazah, bagaimana anak saya? Saya dengar, dia sering


terlambat ke masjid, ya?” Seorang wali santri menghubungi
saya via WA.
“Iya, betul, Bu,” jawab saya.
“Saya kepikiran sekali, Ustazah. Kabar yang saya dengar,
Aina bergaul sama teman yang sering terlambat ke masjid juga.
Bisakah Ustazah menjauhkan Aina dari temannya itu?”
Saya agak kaget, tetapi berusaha memahami. Semua orang
tua ingin anaknya bergaul dengan teman yang baik-baik karena
tujuan memondokkan anak adalah supaya ia menjadi baik.
““Kalau di rumah, Aina gimana salatnya, Bu?” tanya saya.

Jauhkan dari Temannya 117


“Susah, Ustazah, susah sekali disuruh salat.”
“Maaf, Bu, saya enggak bisa menjamin bisa menjauhkan
Aina dari temannya. Dua-duanya santri kami, dua-duanya tanggung
jawab kami. Insyaallah, dua-duanya akan kami tegur. Njenengan
bantu doa, ya.”
“Oh, iya, Ustazah. Tolong ditegur, ya.”
“Insyaallah, Bu.”
Pondok memang tidak bisa menjamin bahwa semua anak
yang menjadi santrinya akan berubah menjadi baik dan saleh.
Tidak bisa. Kami, para asatizah, hanya berusaha, mengajak pada
kebaikan, dan menegur jika menemukan kesalahan. Hasil akhirnya
hanya Allah yang menentukan.
Para santri pun, ketika masuk ke pondok, akan membawa
kebiasaan keluarga masing-masing dan akan “klik” dengan teman
yang memiliki banyak kesamaan. Anak yang suka mengobrol
akan berkumpul dengan anak yang banyak bicara dan yang suka
bercanda akan bergaul akrab dengan yang kocak.
Susah untuk menjauhkan seorang santri dari teman akrabnya.
Bahkan, hal itu akan berpotensi memecah belah persatuan. Coba
bayangkan apa yang terjadi bila ada Ustazah yang berbicara, “Hei,
jangan berteman dengan si A. Dia bla bla bla.” atau “Tahu enggak,
dia suka begini begini. Jangan berteman akrab sama dia.”?
Apa yang terjadi? Si A akan dijauhi banyak orang. Apakah
ada yang peduli perasaan si A? Tentu, dunianya akan terasa sangat
menyedihkan.
Perkataan itu berbahaya. Ketika kita ingin menjadi baik,
marilah ajak kawan-kawan kita juga. Mari ajak mereka ke masjid
pada awal waktu. Mari tegur mereka dari sifat malasnya. Mari

118 Wali Kelas Santri Baru


gandeng tangan mereka dan jangan dilepaskan. Kita tidak tahu, di
mata Allah, siapakah yang lebih baik amalnya.
Mungkin saja dia sering terlambat ke masjid, tetapi berhati
dermawan. Dia selalu mengingat teman-temannya dalam doa. Dia
selalu memaafkan kesalahan teman-teman kepadanya. Hatinya
putih, tak pernah menyimpan dendam.
Oh, siapalah kita menilai-nilai amal orang? Kita tidak tahu,
bisa saja yang hari ini terlihat tidak taat, suatu saat menjadi dai
(penyeru) kepada kebaikan. Hidayah hanya datang dari Allah. Yang
bisa kita lakukan hanyalah terus-menerus mengingatkan.

Jauhkan dari Temannya 119


“Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan
dipanjangkan umurnya maka sambunglah tali
silaturahmi.”

"M au ke mana, Kak?” tanya Kayla kepada kakaknya, Yati.


“Ke kota, ke rumah Mbak Nisa.”
“Mau ngapain?”
“Mengambil kulkas.”
“Kamu beli second?”
“Enggak, dikasih kulkas sama Mbak Nisa.”
“Beneran?” Kayla masih belum percaya.
“Iya, beneran.”
“Enggak bayar?” Kayla penasaran.
“Enggak.”
“Masa? Sepeser pun?”
Rezeki Allah yang Tidak Disangka-Sangka 121
“Iya, sepeser pun.”
“Ya Allah ... kok ada, ya, zaman sekarang,?” ucap Kayla
takjub. Yati terlebih lagi.
Sebenarnya, sekitar tiga tahun yang lalu, ibu Yati hendak
membelikan kulkas baru, tetapi karena Yati dan suaminya merasa
belum butuh, mereka menolaknya. Mereka lebih senang berbelanja
setiap hari dan habis pada hari itu juga, tidak menyetok bahan.
Apalagi, warungnya juga dekat, hanya berjalan sekitar tiga
puluh langkah. Warung juga berbelanja ke pasar setiap hari, jadi
sayur-mayurnya fresh. Suami Yati memang tidak suka menyimpan
bahan terlalu lama di dalam kulkas.
Sekarang, mereka berjualan. Mereka membutuhkan kulkas
untuk menyimpan bahan makanan. Yati tidak menyangka, ketika
Nisa bersilaturahmi ke rumah, beliau menawarinya, bagai gayung
bersambut. Yati langsung menerimanya.
Nisa adalah teman Yati dari awal masuk pondok sampai lulus.
Namun, ketika nyantri, mereka termasuk kurang akrab. Nisa lebih
senang bergaul dengan kakak kelasnya.
Nisa orangnya rame. Kata orang Jawa, grapyak (banyak
omong), agak galak (ini pengakuan dirinya sendiri), tetapi senang
berbagi.
Pada saat IST (semacam OSIS), mereka satu bagian. Namun,
kesamaan itu belum menjadikan mereka akrab. Tidak disangka,
setelah tidak berada di bawah satu atap, setelah terpisah jarak
berkilo-kilo meter, setelah masing-masing menikah, mereka malah
menjadi akrab.
Ketika ibu Yati mengalami strok, Nisa mengiriminya
sejumlah uang. Sesuatu yang tidak pernah dia duga sebelumnya.

122 Wali Kelas Santri Baru


Subhaanallah. Kalau Allah berkehendak, tidak ada yang mustahil.
Allah-lah yang melembutkan hati para hambanya.
Inilah berkah silaturahmi, mendatangkan rezeki yang tidak
terduga. Betapa luasnya rahmat Allah, yang telah mengatur rezeki
hamba-Nya sedemikian rupa. Ketika Yati membutuhkan, Allah
mengirimkan rezeki-Nya tanpa disangka-sangka.
Maka, nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang engkau
dustakan?
Bersyukurlah, Allah akan menambahkan nikmat-Nya.
Subhaanallah. Jika Allah sudah memberi rezeki, rezekit itu tidak
akan bisa dihitung-hitung dan dibendung.

Rezeki Allah yang Tidak Disangka-Sangka 123


“Biarkan proses indah itu berlangsung, waktu demi
waktu, tahap demi tahap.”
(Sinta Yudisia - 15 Rahasia Melejitkan Bakat Anak)

K
elas satu adalah kelas adaptasi. Di kelas inilah, untuk pertama
kalinya, mereka bergaul dengan teman-teman dari berbagai
daerah. Rasa kaget tentu dirasakan oleh setiap anak karena mereka
membawa latar belakang keluarga yang berbeda dan kebiasaan di
rumah yang tidak sama.
Sore itu, Rana bercerita, “Ustazah, Dian kalau habis
meminjam barangku enggak pernah bilang terima kasih. Terus,
kalau habis bercanda dan enggak sengaja nyakitin aku, dia enggak
mau minta maaf.”
Saya masih setia mendengarkan cerita Rana tentang teman

Kelas Satu Belum Nyaman 125


yang menyebalkan. Tentang Liza yang suka bercanda kelewatan,
tentang Zain yang judes, tentang Fiya yang bicaranya keras, tentang
Tia yang menjauhi Safi.
Saya belum banyak memberi nasihat, hanya ingin mendengar
sejauh mana ia tidak nyaman dengan teman-temannya. Padahal,
yang saya lihat pada kesehariannya, Rana selalu terlihat enjoy, bisa
bergaul dengan siapa saja. Ternyata, dia tetap menyimpan unek-
unek.
“Saya kangen sama teman-teman ketika SD dulu, Ustazah.
Pas saya mau berangkat ke pondok, mereka semua menangis
melepas saya,” katanya terharu.
Ya, saya paham. Saya pun pernah mengalaminya. Dulu,
ketika pertama kali mondok, saya juga selalu merindukan teman-
teman yang jauh, selalu teringat mata mereka yang menangis. Saya
merasa dicintai. Ketika awal mondok, bertemu teman baru yang
belum pernah dikenali, tergesek sedikit pertengkaran saja sudah
membuat saya membanding-bandingkan. Namun, ketika sudah
berjauhan lagi, saya pun merindukan mereka juga.
“Semua teman datang ke rumah, Ustazah, melambai-
lambaikan tangan sampai kami tidak kelihatan,” katanya
menerawang. Saya menepuk-nepuk tangannya.
“Itu wajar, Rana. Ustazah dulu juga sering keingatan teman
SD. Enggak apa-apa, ya. Insyaallah, teman yang di sini juga akan
menjadi teman terbaik Anti. Nanti, ketika sudah berpisah, baru
terkenang semua.” Saya menghiburnya. Rana tersenyum.
Anak kelas satu memang masih sering bertengkar, sering salah
paham, sering menuntut temannya sama seperti dia. Anak yang
terbiasa mengucapkan tiga kata sopan (maaf, terima kasih, tolong),

126 Wali Kelas Santri Baru


akan kaget dengan anak yang tidak pernah mengucapkannya.
Baginya, itu sangat menyebalkan.
Di sinilah, proses itu berjalan. Saya berharap kepada Allah
semoga Rana bisa memahami perbedaan setiap keluarga, perbedaan
setiap teman. Semoga kebiasaan baik Rana tidak terkikis, malah
bisa mewarnai. Semoga teman-teman terbiasa pula menggunakan
tiga kata sopan tersebut.
Ya. Tiga kata sopan ini harus dikampanyekan dan dilatih
karena kita terkadang lalai membiasakannya. Saya jadi punya ide
untuk materi halakah minggu depan. Insyaallah.
Oh ya, satu lagi, terkadang, kita lebih menghargai orang
yang tidak tampak di depan mata hanya karena tidak tampak
kekurangannya. Sementara itu, terhadap teman yang setiap hari
bertemu dan bersama, kita lalai melihat kebaikannya. Padahal, bisa
jadi, merekalah teman sejati. Astagfirullah.

Kelas Satu Belum Nyaman 127


“Sebuah komunikasi tidak akan terjadi sebelum ada
pihak yang membuka percakapan.”
(Misran Jusan, Lc., M.A. & Armansyah, Lc., M.H. - Cara Nabi
Mendidik Anak Perempuan)

S
aya sering teringat pengalaman ketika menjadi santri baru,
terutama ketika saya menjadi wali kelas mereka. Apa yang
mereka rasakan membuat saya selalu merasa flash back. Lalu,
cerita pun mengalir sesuai situasi.
Ibu membawa saya merantau ke negeri jiran ketika SD. Hal
itu banyak memengaruhi bahasa dan logat saya tanpa sadar. Ketika
kembali ke kampung halaman dan mondok, saya memiliki kendala
bahasa. Menurut teman-teman, bahasa saya aneh, terbalik-balik.
Menurut saya, bahasa merekalah yang aneh.
Suatu sore, ketika saya berada di kelas sendirian, seorang

Ketika Saya Menjadi Santri Baru 129


kakak kelas bertanya, “Nur, jam berapa sekarang?”
Segera saya menoleh ke arah jam dinding dan menjawab,
“|Empat setengah.”
“Ha?”
“Empat setengah,” saya mengulangi jawaban. Kakak kelas
tetap tidak memahami jawaban saya. Saya pun bingung, apa ada
yang salah? Karena tidak puas hati, kakak kelas pun masuk ke kelas
dan melihat sendiri ke arah jam dinding.
“Setengah lima gini, kok,” katanya sambil berlalu.
***
Ketika saya sedang berada di kamar mandi ….
“Ma zal qadiim (masih lama)?” Seseorang mengetuk pintu.
Saya yang sedang berada di dalam kebingungan harus
menjawab apa. Saya mengingat-ingat kebiasaan teman-teman di
negeri jiran. Di sana biasanya kami digedor dengan pertanyaan,
“Man fil hammam (siapa di kamar mandi)?”
Saya pun spontan menjawab, “Nur.”
Ternyata, pintu digedor lagi.
“Ma zal qadiim?”
“Nur.”
Akhirnya, si penggedor pergi. Ketika saya bercerita kepada
Mbak Ana (teman sekelas), dia tertawa ngakak. Sejak itu, selama
beberapa hari, Mbak Ana selalu antre setelah saya supaya kalau ada
yang bertanya, dia bisa menjawab.
***
Suatu malam, saya berjalan bersisian dengan kakak sepupu.
Saya sedang butuh odol, tetapi tidak tahu ke mana harus mencari.
“Mbak, ada ubat gigi tak?” tanya saya.

130 Wali Kelas Santri Baru


“Gigimu sakit toh?” jawabnya. Saya heran.
“Enggak, tapi saya belum menyikat gigi.”
Akhirnya, mbak sepupu saya itu masuk ke kamarnya dan
keluar lagi membawa obat parasetamol.
Saya tidak tahu mau bilang apa. Ubat gigi = odol.

***
Di kelas, ketika Ustazah selesai menerangkan pelajaran,
biasanya beliau akan bertanya, “Sudah paham?”
“Insyaallah, Ustazah.” Koor teman-teman.
“Nur paham?” Ustazah bertanya.
“Saya kurang paham bahasanya, Ustazah.”
Ustazah prihatin mendengar jawaban saya. Apa boleh buat?
Baik Ustazah maupun muridnya sama-sama tidak paham bahasa
lawan bicara. Saya hanya perlu waktu.
***
Ketika sahur, saya dikirimi ibu perbekalan. Karena masih
berstatus sebagai murid baru, saya tak berani makan bersama teman
yang lain. Saya memang sangat pemalu. Saya mengajak Mbak Ana
mojok ke tempat yang remang-remang.
Saya buka perbekalan dan mulai membuka plastik-plastik
yang berisi sayur dan lauk. Ketika mulai makan, “Lho, Nur, kok
manis?”
“Iya, kok manis, ya?” Saya juga heran. Saya lihat-lihat
kembali plastik yang ada. Oh, ternyata plastik sayur masih utuh.
Saya tidak tahu kalau Ibu juga mengirimi susu cokelat. Jadilah
kami sahur sambil meringis menahan rasa manis.

Ketika Saya Menjadi Santri Baru 131


Peran Perempuan dalam Membina Peradaban
Hafihz Ibrahim, seorang penyair Mesir, menggubah sebuah
syair yang mengukuhkan peran perempuan dalam membina
peradaban umat.
Ibu adalah madrasah
Bila engkau mempersiapkan dengan baik
Maka engkau tengah mempersiapkan sebuah bangsa yang
bermartabat
Ibu adalah taman, tempat berseminya kehidupan
Tanamannya kan tumbuh subur bila kau sirami dengan baik
Ibu adalah mahaguru yang pertama
Jasanya kan tetap abadi membentang di cakrawala

(Misran Jusan,Lc., M.A. & Armansyah, Lc., M.H. - Cara Nabi


Mendidik Anak Perempuan)

132 Wali Kelas Santri Baru


Ummu Muhammad adalah seorang guru di Pondok
Pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Islam Lamongan. Dia menyukai
kegiatan tulis-menulis sejak berada di bangku sekolah dasar.
Buku ini merupakan karya solo pertamanya setelah mengikuti
empat event penulisan buku antologi. Satu di antaranya yang
berjudul Sepenggal Romansa sudah diterbitkan, sedangkan tiga
lainnya dengan tema Belajar Daring, Ayah, dan Kisah bersama
Bunda, dalam proses editing. Keempatnya diterbitkan oleh tiga
penerbit yang berbeda.
Pengalamannya mengajar lebih dari empat belas tahun
ia tuangkan di dalam buku ini. Ada tahun-tahun ketika ia
mendampingi kelas lain, tetapi akhirnya pihak sekolah lebih banyak
mengamanahinya untuk membersamai santri baru.
Penulis yang telah memiliki enam buah hati ini belajar
memahami dan merasakan jatuh bangunnya para santri baru ketika
awal-awal berada di pondok. Mereka harus beradaptasi dengan
teman dari berbagai latar belakang dan menahan rindu kepada
orang tua.
Buku ini penulis persembahkan kepada para calon santri baru
dan walinya, juga kepada para guru dan wali kelas. Semoga ada
hikmah yang bisa dipetik dan ilmu yang bisa dibagi. Hanya kepada
Allah, penulis memohon kebaikan.
Segala saran yang baik dan membangun dari pembaca
sangat penulis harapkan. Oleh karenanya, penulis membuka pintu
silaturrahmi melalui akun FB Benefit Ummu Muhammad. Semoga
tulisan yang sederhana ini menjadi timbangan amal saleh di Hari
Akhir nanti. Aamiin.
Kebenaran hanya datang dari Allah semata. Laa haula wa laa
quwwata illaa billah.
Wal hamdu lillahi rabbil ‘alamiin. Fa shallallahu ‘alaa
nabiyyinal musthafa wa ‘alaa aalihi wa ashaabihi ajma’in.

Anda mungkin juga menyukai