Anda di halaman 1dari 72

ARTI SAHABAT

Kumpulan Cerpenku
Cerpen Karangan: Ima Susiati
Kategori: Cerpen Islami (Religi)
Lolos moderasi pada: 20 October 2017

Oleh Muh.Rasyid Salam

17
i
ARTI SAHABAT

Cerpen Karangan: Ima Susiati

ii
ARTI SAHABAT
Oleh Muh. Rasyid salam

Editor : Rasyid
Cover & layout : Salam

Pt . sukses makmur
Jalan menuju cemerlang

www.suksesmakmur@gmail.com

@mrasyid_salam

iii
Kata pengantar

Pujisyukur kami ucapkan kehadiran Tuhan


Yang Maha Esa karena atas rahmat-nya , kami dapat
membuat buku elektronik ini tentang Pemerolehan
Bahasa Pertama dan Bahasa Kedua.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada
teman–teman yang sudah membantu dalam
pengerjaan makalah ini .Untuk itu kami mengucapkan
terima kasih banyak kepada teman – teman yang telah
berkontribusi dalam maklah ini. Secara khusus kami
mengucapkan terimakasih kepada dosen yang telah
membimbing kami dalam menyusun makalah ini
sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
Selepas dari itu, kami dari bahwa masih
banyak kesalahan didalam makalah ini. Oleh karena
itu kami menerima kritika dan saran dari para
pembaca agar kami bisa memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga buku
elektronik tentang limbah dan manfaatnya untuk

iv
masyarakat ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.

Jakarta, September 2017

Penyusun

v
Daftar isi

arti sahabat 1-11


sepotong cinta dalam diam karya asma nadia
12-23

satu dua tiga aku akan jadi lebih baik 24-29

spring love story 30-33

pencuri di sekolah 34-37

benderaku yang hilang 38-40

cermin masa depan 41-45

danau sejuta kenangan 46-52

empat sudut tanam 53-57

mencari mati 66-58

vi
1. ARTI SAHABAT

Cahaya matahari pagi itu begitu lembut menerobos

dedaunan. Namun tak mampu membuat wajah temanku

pagi itu berbinar dengan ribuan larik cahaya mentari. Layu

tertunduk. Itulah yang nampak dari wajah sendu

sahabatku. Entahlah, sejak kapan kami begitu lekat menjadi

sepasang sahabat. Tak ada kata kesepakatan terucap di

antara kami. Satu aqidah, satu perjuangan, cukup bagi

kami untuk dijadikan sebuah alasan. Adalah itu cukup.

Ini adalah hari terakhir ujian mustawa (tingkat).

Satu mustawa sudah kami lalui di bangku Darul Lughah

(Istilah untuk Markaz Bahasa sebelum masuk ke kampus di

Negeri Kinanah). Tentu perasaan kami lega bercampur was-


1
was. Merasa lega karena masa imtihan (ujian) sudah

berakhir, was-was entah seperti apa natijah (nilai) yang

akan kami dapati di pengumuman nanti.

“Na, anti kenapa?” selidikku pada sahabat yang

masih duduk termenung di tepi ruang perkuliahan.

Tak ada jawaban pasti yang terucap darinya. Yumna hanya

diam dengan pandangan menerawang entah kemana.

“Na, anti kenapa?” kuulangi sekali lagi pertanyaanku,

mencoba mencari jawaban dari sahabat baruku yang masih

membisu tak sepatah katapun dia ucapkan.

Meski butuh waktu sedikit lebih lama, Yumna segera

membalik tubuhnya kearahku, membuat wajahnya kini

terlihat jelas olehku. Sesaat kemudian sebuah senyuman


manis tersungging di bibirnya, matanya mulai berbinar. Kini

wajahnya berubah menjadi cerah seketika. “Ra, sholat

Dhuha dulu yuk? Mumpung masih jam sepuluh kurang nih”

ajaknya seraya mengangkat tubuhnya berdiri.

Aku pun mengangguk, berdiri dan mengikuti langkahnya

keluar kelas.

Yumna, sesuai dengan namanya sahabat baruku itu tidak

hanya anggun nan lembut tapi juga terhiasi oleh amal-amal

yang super-duper. Terutama bagiku yang baru saja

2
mengenal arti kehidupan. Seseorang yang kukenal kurang

lebih sebulan ini, tak disangka mampu memberikan banyak

pelajaran berharga, terutama tentang Islam. Selain

sahabat, dia juga guru bagiku.

Masih tergiang olehku, bagaimana pertama kali aku

bertemu dengan Yumna. Kala itu masih awal mustawa dan

hari pertama bagiku. Bahkan ini adalah perdana kaki ini

terlangkah di negeri para Nabi, Mesir, baru sekitar sembilan

puluh hari ku melaluinya. Pagi itu, pagi yang istimewa. Pagi

yang begitu dinanti. Mata kuliah jam pertama akan dimulai.

Ruang kelas nampak sudah penuh dengan mahasiswi yang

lebih dulu masuk Darul Lughah. Meski kita sama-sama satu

angkatan, tapi karena natijahku saat imtihan bisa dibilang

„lumayan‟ aku akhirnya bertemu mereka di mustawa akhir.

Di kelas baru itu nyaris tak ada bangku kosong.

“Law samahti, afwan ini kursi kosong kah?” ku

bertanya pada seseorang yang duduk di sudut ruang kelas

di deret paling belakang dan terlihat sibuk dengan buku

bacaan ditangan. “InsyaAllah, tafadloli.” Seseorang yang

mengenakan gamis krem dengan paduan kerudung bermotif

coklat yang cukup lebar dengan wajahnya yang lembut

tersenyum sambil mengangguk menjawab pertanyaanku.

“Syukron. ”Balasku. “Yumna.” Dia pun mengulurkan

3
tangannya terlebih dulu saat ku selesai meletakkan tas di

samping kursi. Gadis berwajah lembut itu tersenyum sekali

lagi, kali ini sambil mengenalkan namanya.

“Rania.” Kusambut uluran tangannya sambil tak lupa

kusebut namaku tanda menerima perkenalan.

Tak disangka, keriuhan kelas seketika berubah menjadi

tenang. Perkenalan yang baru saja kami mulai pun harus

ditunda karena dukturah (begitu kami menyebutnya untuk

ustadzah yang sudah menempuh jenjang S2) ketika beliau

memasuki ruang kelas.

Mata kuliah hari pertama di Markaz pun dimulai. Tak terlalu

lama, hanya perkenalan dan penjelasan materi selama satu

mustawa ke depan antara dukturah dan mahasiswi yang


terjadi pagi itu. Dukturah segera menutup salam ketika

dirasa sudah cukup. Semua mahasiswi segera berhambur

keluar kelas, dengan beragam kegiatan yang tak henti

mengantri. Tak terkecuali aku dan kenalan baruku, Yumna.

Saat beberapa langkah keluar dari ruang kelas langkahku

memelan tanpa menunggu komando. Aku bingung mau ke

mana, tak ada kagiatan sampai mata kuliah yang ke-2.

Mata kuliah ke-2 hari ini baru akan dimulai jam 10.15.

waktu kosong lumayan panjang dikarenakan dukturah di

4
mata kuliah pertama hanya sebentar. Ternyata Yumna

menangkap kebingunganku.

“Bingungya mau ke mana?” Aku pun hanya tersenyum

mendengar pertanyaanya. “Ikut aku yuk!” ajak Yumna.

“Ke mana?” tanyaku heran. “Ketemu dengan temen-temen

yang satu Kekeluargaan dengan kita. ”Aku hanya menurut

saja, mengikuti langkah Yumna. Seseorang yang baru saja

beberapa waktu tadi aku mengenalnya. Walau muncul

banyak pertanyaan di benakku. Apa itu Kekeluargaan? Dan

siapa mereka?

“Assalamu‟alaikum.” Sapa Yumna ketika kami


berdua memasuki grup kecil yang terlihat sedang berdiskusi
tepat dibawah masjid Markaz, tempat kami melaksanakan
sebagian kewajiban sehari-hari dikampus .

“Wa‟alaikumussalam, tafadloli dek.” Jawab


seseorang yang berpenampilan tak jauh berbeda dengan
Yumna, mengenakan terusan warna biru donker dengan
kerudung lebar dengan warna selaras. Padu padan yang
pas.
“Kak, kenalkan ini Rania teman sekelasku, Rania ini mbak
Rahmah pengurus keputrian Kekeluargaan yang sedaerah
dengan kita.” Tanpa dikomando Yumna langsung
memperkenalkan satu sama lain tanda awal pertemuan
kami.

5
Aku mengulurkan tanganku, Ka Rahmah menyambutnya
sambil memelukku seraya berkata. “Ahlan wa sahlan dek di
Kekeluargaan kita. Ternyata kita dari satu daerah ya di
Indonesia” Dengan lembut ia berbisik. Lembut dan hangat,
itulah kesan menyenangkan yang pertama kali tertangkap
olehku. Lewat bisikan Kak Rahmah akhirnya aku faham apa
itu Kekeluargaan. Tak hanya itu, Yumna pun menjelaskan
lebih jauh lagi.

“Kekeluargaan ini adalah salah satu Lembaga atau Unit

Kegiatan Mahasiswa/i yang dibentuk sesuai dengan wilayah

dimana kita berasal. InsyaAllah kamu tau kan, waktu

pertemuan awal mahasiswa/i kemarin ada sesi pengenalan

masing-masing Kekeluargaan. Di sini kita bisa belajar

banyak tentang Islam, mater-materi bahasa Arab, berbagai

seminar tentang fiqh wanita, jurnalistik, dan kegiatan

lainnya.” Terang Ningrum yang tak ku sangka sejauh itu

pengetahuannya.

Aku menganguk sebagai tanda mengerti. Yumna terus

melanjutkan keterangannya. Aku sedikit heran, Ningrum

yang sama-sama mahasiswa baru denganku bisa sangat

fasih menjelaskan. Sedangkan Kak Rahmah hanya sesekali

mengiyakan untuk membenarkan perkataannya.

Belakangan baru aku tau, ternyata Yumna sudah sangat

mengenal Kak Rahmah lantaran sama-sama aktif Badan

Dakwah Islam semasa masih di Indonesia. Dan Kak


6
Rahmah adalah kakak kelas sekaligus seniornya kala itu.

Akses mudah memperoleh informasi pikirku. Kami pun larut

dalam sebuah diskusi ringan namun seolah memiliki energi

yang luar biasa.

Wajahku berseri, seolah ikut semangat merasakan

keceriaan hati. Entah kenapa, rasanya aku mulai tertarik

dan makin bersemangat berdiskusi. Pengetahuan yang

minim tentang Islam jadi pendorongku tertarik dengan

kegiatan di luar perkuliahan. Dengan penuh antusias aku

mengikuti diskusi yang mengalir bak aliran sungai Nil yang

tak pernah surut itu, perlahan namun pasti. Banyak sekali

pertanyaan yang muncul, tanpa pikir panjang aku langsung

menanyakan pada Kak Rahmah. Tentang Islam atau

Kekeluargaan.

“Oh iya Kak, apa jika kita masuk menjadi anggota

Kekeluargaan harus memakai baju terusan seperti itu?”

tanyaku tanpa basa-basi karena sudah dirundung rasa

penasaran yang bisa dibilang membuncah.Ka Rahmah

tersenyum, “Kekeluargaan tidak mewajibkannya, tapi Allah

yang secara tegas menyerukannya pada kita, muslimah,

dalam kitabnya.”Jawabnya dengan pasti namun tetap .“Di

Al-Quran, Kak?” tanyaku mencoba meyakinkan.“He-em,

surat Al-Ahzab ayat 59.”

7
Mendengar jawaban Kak Rahmah aku pun terdiam,

sementara Yumna dengan sigap langsung mengambil Al-

Quran lengkap dengan tafsirnya yang tersususun rapi di rak

yang berada disudut ruangan. Lalu duduk kembali di

sampingku sambil menyodorkan Al-Quran dengan tafsirnya

itu kepadaku, lengkap dengan halaman yang terbuka

dimana surat Al-Ahzab ayat 59 terdapat di dalamnya. Aku

segera meraihnya dan membaca tafsirnya surat Al-Ahzab

ayat 59. Ada yang aneh kurasa, tanpa pikir panjang kucari

jawabannya.

“Tapi ayat ini menyebutkan Jilbab?” “Coba dibaca surat An-

Nur ayat 31 juga, lalu bandingkan.” Perintah Ka Rahmah.

Aku langsung menyisir lembar demi lembar Al-Quran tafsir

itu mencari ayat yang dimaksud. Kali ini aku menemukan

kata-kata kerudung. Aku makin tak faham.

“Coba baca sekali lagi surat Al-Ahzab ayat 59.” Sergah Kak

Rahmah seolah mampu membaca pikiranku.

Memang benar, ada yang luput dari penglihatanku.

Sehingga aku tak membaca tafsir ayat itu secara penuh.

Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat

menutup kepala, wajah dan dada. Jelas sekarang bagiku

kenapa Kak Rahmah menyuruhku membuka kedua ayat itu.

Terpampang jelas di sana perbedaan antara jilbab dan

8
kerudung. Jilbab dan kerudung yang jelas jauh berbada

maknanya. Dengan mudah disamakan tanpa dasar yang

jelas. Suatu kesalahan yang dianggap lumrah ditengah

masyarakat umum. Dan aku termasuk di dalamnya. Kini

aku tau apa nama pakaian yang dikenakan Yumna juga Ka

Rahmah itu.

Sejak saat itu aku sadar, sebagai muslim ternyata masih

banyak sekali hal-hal yang belum aku ketahui. Hanya

sekedar mengenakan kerudung dan menjalankan sholat

serta puasa dibulan Ramadhan bukan lantas cukup kita

disebut sebagai seorang muslim. Sejak saat itulah muncul

tekad lebih kuat untuk memperdalam Islam lebih jauh. Kak

Rahmah dan Yumna, dua orang yang begitu berjasa dan

mampu memberikan perubahan pada hidupku. Tanpa

melalui mereka, entah akan seperti apa aku sekarang ini.

Mahasiswi yang hanya disibukkan dengan urusan duniawi

saja. Mungkin akan tetap seperti itu. Kini aku sudah hampir

setahun mengenakan jilbab, aktif menjadi pengurus

Kekeluargaan setelah perkuliahan jadi salah satu

kegiatanku. Selain bisa memperdalam Islam, juga

menambah saudara dan pengalaman menarik lainnya.

Bagiku sangat menyenangkan. Kesibukan penuh pahala

sebagai bekal diakhirat kelak.

9
Sebelum sholat dhuha, aku pandangi wajah lembut

sahabatku sekali lagi. Rasa syukurku, rasanya ingin terus

kuucapkan pada Sang Khaliq. Syukur yang mendalam

karena memberiku hidayah lewat sahabat yang sangat aku

cintai. Cinta hanya karena Allah, bukan yang lain. Sahabat

yang bukan hanya membenarkan perbuatanku, tapi juga

sebagai pengingat khilaf perilakuku di saat futur. Sahabat

yang menguatkan langkah dakwah ketika futur mendera.

Penyemangat langkah dalam berjuang tegakkan agama

Allah.

Itulah sahabat yang selama ini kucari dan kunanti. Seorang

sahabat yang mampu membuatku tahu bahwa dunia ini

adalah sebuah prosesi. Dunia adalah persiapan seorang

hamba dengan Tuhannya. Bukan karena dunia kita

berteman, tapi semata karena Allah. Ada sebuah syair indah

tentang arti sahabat, menuturkan; Jika hartaku sedikit tidak

ada sahabat yang mau berteman denganku Jika hartaku

melimpah semua orang ingin bersahabat denganku

Berapa banyak musuh bersahabat denganku karena hartaku

Dan berapa banyak sahabat menjadi musuh karena

ketiadaan hartaku “Ana uhibbukifillah ya ukhti…” bisikku

dalam hati.

10
Seusai sholat dhuha, Yumna meraih tanganku lalu

menggenggamnya erat-erat. “Kita sudah berusaha untuk

imtihan mustawa ini, sudah saatnya kita menyerahkan

semuanya pada Allah. Berdo‟a agar Allah memberi yang

terbaik untuk kita.” Senyum Yumna mengembang, lalu

melanjutkan bicaranya.“Walau imtihan telah usai, dakwah

harus tetap jalan.”Aku mengangguk, mengumpulkan

seluruh semangat dalam dada dan mempererat genggaman

tangan Yumna. Seakan kami berdua sedang mengumpulkan

semangat dan tekad, lalu menggenggamnya erat-erat

dengan kedua tangan kami. Terima kasih arti sahabat yang

engkau berikan. Insyaallah bersua di Jannah-Nya.

Cerpen Karangan: Ima Susiati Blog:imasusiati.blogspot.com

Mahasiswi Darul Lughah Univ. Al Azhar Cairo Mesir Cerpen

Arti Sahabat merupakan cerita pendek karangan Ima

Susiati, kamu dapat mengunjungi halaman khusus

penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru

buatannya.

11
2. Sepotong Cinta dalam Diam
Karya Asma Nadia
Perempuan,
Kau pasti tahu sakitnya cinta yang tak terkatakan. Cinta yang
hanya mampu didekap dalam bungkam. Kata orang bahkan
diam berbicara. Tapi menurutku, hal itu tidak berlaku dalam
cinta. Sebab cinta harus diekspresikan dan pantang dibawa
diam. Sebab cinta harusnya dinyatakan, lalu dibuktikan
dengan sikap. Begitu seharusnya cinta. Tapi aku memang
tidak punya pilihan. Maafkan! Sebuah bingkisan dan sepucuk
surat tergeletak di bibir ranjang. Dee memandangnya dengan
keingintahuan yang besar. Matanya yang memiliki kelopak
indah terbuka lebar. Sementara mulutnya sejak tadi
menimbulkan suara gumaman tak jelas. Kedua bola mata
gadis itu tak beranjak juga dari bingkisan dan sepucuk surat
yang ditempel menyatu dengannya.
Paket kesasar, kalau boleh disebut Dee demikian, diterimanya
pagi ini dari tukang pos, lelaki tua yang mengayuh sepeda
dengan susah payah. Dee tidak mengerti mengapa lelaki itu
masih bersikeras mengantar surat hanya dengan sepeda,
sementara tukang pos yang lain telah lama meninggalkan
kendaraan antik itu, beralih ke sepeda motor.
“Buat siapa, Pak?”
Tukang pos itu tak menjawab. Hanya memintaku menerima
paket kesasar itu.
“Kok nggak ada namanya, Pak? Yakin buat di sini?”
Kali ini Pak Pos menggerakkan telunjuknya pada alamat
lengkap yang tertulis di bagian atas amplop yang menempel
pada sebuah paket.
Jl. Kebon Kosong Gg. I no 10 A. Kemayoran, Jakarta Pusat
Dee tersenyum. Kagum dengan konsistensi Pak Pos tua di
depannya. Sejak dulu lelaki itu tak pernah banyak bicara.
Pekerjaannya sendiri memang hanya mengantarkan surat. Jadi
sama sekali bukan kesalahan jika Pak Tua itu melakukannya
12
dengan sedikit bicara atau sekedar menyodorkan amplop.
Lagipula tidak akan ada yang memberinya bonus lebih
seandainya ia bersikap ramah dan sedikit berbasa-basi.
Dee tidak menyalahkan si tukang pos yang tanpa ragu
menyodorkan sebuah bingkisan dengan sepucuk surat
menempel di atasnya ke rumah Dee. Sebab alamatnya
memang tertera jelas.
Masih dengan segudang rasa penasaran Dee membawa
langkahnya masuk ke dalam rumah sambil menenteng paket
dari Pak Pos barusan. Lalu gadis berusia duapuluh tiga tahun
itu menjatuhkan paket di tangannya ke sofa, tempat tiga gadis
lainnya sedang asyik menonton tivi.
Paket meluncur dan jatuh tepat di tengah-tengah sofa. Tiga
gadis kaget, melupakan tontonan seru Oprah Winfrey‟s Show
dan berebut lebih dulu mengambil paket yang jatuh. Andra
yang pertama berhasil merebut paket yang jatuh dekat
pangkuan Ita. Hiruk-pikuk segera terjadi.
Ita berusaha merebut paket yang jatuh di pangkuannya sebab
mengira itu memang ditujukan Dee untuknya. Sementara
Anik tidak mau tinggal diam, ikut bertarung. Adegan a la anak
kecil itu berlangsung cukup seru, setidaknya di mata Dee.
Sayang semua menjadi antiklimaks ketika Andra, Ita, dan
Anik tak menemukan nama yang dituju sang pengirim.
Amplop yang menempel pada bingkisan itu kosong. Hanya
ada sebuah alamat yang ditulis tangan.
Ketiganya lalu mengalihkan pandangan pada Dee yang
barusan menjatuhkan badan ke sofa.
“Dee, paket siapa, nih?”
“Kok nggak ada nama pengirimnya?”
“Boro-boro pengirim. Nama yang dituju aja nggak ada!”
Dee tersenyum, menegakkan duduknya. Kepala gadis itu
dicondongkan ke depan, hingga berhadapan cukup dekat
dengan wajah ketiga temannya.
“Aneh kan?”Andra, Ita, dan Anik mengangguk.

13
“Memang aneh!” Dee menjatuhkan badannya lagi, tertawa
geli sendiri.
“Tidak lucu!” Andra serta-merta menukas.
Anik yang tampak berpikir keras menambahi, “Pengirimnya
pasti memang ingin membuat bingung kita!”
Ita lain lagi pendapatnya, gadis berkulit hitam manis itu
merebut bingkisan di tangan Anik, lalu mendekatkannya ke
telinga, sebelum mengembuskan nafas lega. Ia tak mendengar
suara detak jam dari dalam bingkisan.
“Aman!”
Kesunyian berlangsung. Tidak terlalu lama sebab Dee yang
cerewet dan punya banyak ide langsung mengajukan usul.
“Kita buka saja!” Tiga gadis sebaya di depannya
berpandangan, lalu menggelengkan kepala.
“Kita nggak bisa membuka paket yang bukan untuk kita, Dee.
Itu namanya lancang dan tidak amanah!”
Dee diam lagi. Tapi tidak berapa lama mata bulatnya bersinar
lagi.
“Kalau begitu kita buka, terus kita bungkus lagi, gimana?
Siapa tahu penjelasannya ada di dalam bingkisan ini?”
Andra cepat membantah, “Itu juga nggak boleh Dee. Kita
nggak boleh membuka bingkisan ini, kecuali memang yakin
milik kita. Siap tahu paket ini nyasar ke alamat sebelah.
Mungkin saja kan pengirimnya salah menulis alamat.
Ya, memang mungkin.
Dee mengerutkan kening, bibirnya bergumam tak jelas, khas
gadis itu jika sedang berpikir keras.
“Jadi gimana dong?” Kali ini Ita yang paling tua di antara
mereka angkat bicara,
“Kita biarkan dulu tiga hari. Lihat-lihat, siapa tahu Pak Pos
kembali dan mengatakan paket ini salah alamat. Simpan saja
sementara ini. Ok?”
Dee yang rasa penasarannya sudah melewati ubun-ubun
sebetulnya ingin menolak, tapi tak berdaya. Sebab tiga
rekannya yang lain sepakat dengan ide Ita. Maka beramai-

14
ramai mereka menaruh paket misterius itu ke atas lemari. Lalu
memandanginya lama.
***
Jakarta, tahun ketiga
Perempuan,
Hari-hariku adalah penantian. Perasaan gelisah yang kupikir
tidak mungkin ada kini menjadi rutinitas yang harus kuhadapi.
Dulu, aku memang menghindar dari perasaan itu. Jatuh cinta,
untuk apa? Aku orang miskin yang harus menyelesaikan
sekolah dan seabreg tanggung jawab, sebab Emak, salah satu
perempuan yang kuhormati, telah lama ditinggal mati ayah.
Aku tumbuh menjadi lelaki. Sendiri.
Hidupku bagiku merupakan perjuangan keras tanpa batas. Tak
jarang aku merasa seperti kapal kecil yang berjalan tanpa rasi
bintang. Terapung-apung, sesekali membentur karang, dan
harus berbalik arah.
Namun, melihatmu pertama kali di masjid sore itu.
Hatiku begitu saja bicara: Kau adalah perempuanku.
Takdirku!
Untuk pertama kali hidup tak sekadar mengalir.
Sebab kini aku punya cita-cita.
Hari ketiga, Dee mengangkat paket itu dari atas lemari, lalu
menimang-nimangnya. Hatinya menebak-nebak isi bungkusan
di tangannya.
Tidak terlalu berat. Tidak sampai satu kilo. Dee tahu pasti
sebab barusan ia menaruh bingkisan itu di timbangan. Rasa
ingin tahu mendera dara bertubuh jangkung itu. Seharusnya
teman-temannya menyetujui usul Dee untuk mencoba
menemukan jawaban di dalamnya. Siapa tahu ada label nama
pada isi bingkisan itu. Siapa tahu?
Dee menimang-nimangnya lagi, lalu hati-hati meletakkan
bingkisan itu di pinggir ranjang. Matanya menyusuri huruf
demi huruf tulisan tangan di amplop. Tulisan itu tegas, tegak
lurus, dan jelas. Mengingatkan Dee akan tulisan guru-guru

15
bahasa Indonesianya waktu SMA dulu. Tulisan orang zaman
dulu, begitu teman-temannya sekelas biasa bercanda.
Pasti penulisnya seorang yang serius, pikir Dee lagi. Tulisan
di atas amplop memang jauh dari modern. Begitupun pilihan
amplop. Terkesan oldies. Meski begitu entah mengapa itu
menyiratkan sesuatu yang dalam.
Dee melihat lebih dekat amplop berwarna biru itu. Tampak
guratan-guratan bekas lipitan, juga warna biru yang agak
pudar. Seolah surat itu telah menempuh jarak bertahun-tahun
sebelum tiba di rumah ini.
Dee tahu, ia tak bisa lagi menunggu.
Tangan gadis itu menyobek pinggiran kertas coklat dan
meraih sebuah amplop yang meluncur dari dalamnya. Namun
baru sedikit ia membaca, terdengar langkah mendekati kamar.
Ketika Dee mengangkat wajah, Andra, Ita, dan Anik
menatapnya dengan tangan terlipat di dada, berdiri gagah di
pintu. Terlambat, Dee tak sempat menyembunyikan surat
yang sedang dibacanya. Tak ada kesempatan lagi. Ita
langsung merebut dan mengembalikan surat yang juga tampak
lusuh dan penuh lipitan dan menaruhnya di atas bingkisan.
“Curang!”
Anik mengecam Dee. Tidak hanya itu, Andra dan Ita
menekuk muka mereka. Kegusaran tergambar jelas, bahkan di
dekik pipi Andra yang biasa terlihat ramah.
“Kamu tidak amanah, Dee!” Duh, kata ajaib itu lagi.
Dee memandang ketiga teman satu kosnya dengan paras
merah, seperti maling jemuran yang kepergok. Malu dan tak
enak hati.
“Maafkan aku.” Suasana kaku muncul. Dee tak sanggup
berkata apa-apa lagi. Percuma berpanjang-panjang membela
diri, toh ia memang bersalah.
Empat orang gadis di dalam kamar termangu.
Bingkisan coklat dan amplop berisi surat tergeletak telentang.
Beberapa amplop lagi barusan meluncur dari dalam bingkisan
yang sobek. Dee memandangnya dengan perasaan ingin tahu

16
yang lebih besar. Lelaki dan perempuan tanpa nama, kini
memetakan sederet tanda tanya di kepalanya.
“Maafkan aku,” Dee memecah keheningan, “tapi tidak
mungkin berharap kemajuan hanya dengan menunggu. Sudah
tiga hari lebih.Dee mulai mendapatkan dukungan. Anik
tampak bereaksi. Gadis bertubuh mungil itu manggut-
manggut beberapa kali. Sementara Ita dan Andra tampak
gelisah. Dee tertawa dalam hati, ia kenal kedua sahabatnya
itu. Mereka pasti diam-diam sama penasarannya dengan
dirinya. Surat-surat di dalam amplop yang ditulis dengan tinta
berbeda itu mustahil dilewatkan begitu saja.
“Surat itu indah, kalian harus membacanya.” Dee kembali
memancing.
Andra bangkit, berjalan mondar-mandir. Ita melirik surat yang
bagian pinggirnya sudah disobek. Dee sungguh menyebalkan!
Andra menarik nafas panjang. Lucu memang. Bingkisan itu
bukan milik mereka. Aneh, bagaimana rasa penasaran mereka
terus berkembang seperti balon gas yang diisi udara.
“Masalahnya, kita nggak berhak, Dee. Aku bukannya nggak
penasaran. Surat ini, kalau benar indah seperti katamu, hanya
milik satu orang. Membacanya lebih dulu akan mengurangi
rasa hormat kita terhadap pemilik dan pembuatnya.”
Gagal lagi.
Dee memejamkan matanya. Terbayang sosok lelaki tanpa
nama yang menanti di dekat jendela, berharap balasan atas
surat yang dikirim. Terlukis seorang perempuan tanpa nama,
bertopang dagu, mendekap rindu.
Dee tak sabar! Tapi ia tak bisa bergerak. Andra, Ita, dan Anik
menatapnya dengan mata menukik.
Sebuah bingkisan berwarna coklat dan beberapa pucuk surat.
Dee menatapnya tak berkedip.
***
Jakarta, tahun kedelapan

17
Siapa yang bisa memilih cinta, siapa yang bisa memutuskan
kapan cinta harus hadir dan kepada siapa cinta harus tumbuh?
Tak ada!
Sebab cinta adalah anugrah. Rahasia-Nya yang unik dan
barangkali tak selalu bisa dijelaskan.
Aku mencintaimu, perempuan. Tanpa keraguan. Dan, dengan
keyakinan penuh, aku menjatuhkan pilihan.
Dan aku bukan lelaki yang gampang menentukan pilihan atau
mengubah pilihan yang telah dibuat. Aku adalah lelaki yang
memilih dan sekaligus menerima risiko atas pilihan yang
kubuat. Tak ada kata mundur.
Mereka bilang mustahil. Barangkali ada benarnya.
Tapi bukankah Tuhan adalah tempat bagi semua
kemustahilan? Itulah kenapa, dalam iman yang tak seberapa
selama delapan tahun ini, telah kusandarkan jawaban doa
pada-Nya. Cita-cita untuk bisa menjadi tua bersamamu.
Adapun penantian panjang yang kulalui biarlah menjadi
bagian sejarah betapapun sakit dan membuatku tersiksa.
Memandangmu dalam realita memang perih. Luka di atas
luka tersiram cuka.
Untunglah,
Pada malam-malam, engkau milikku.
Meski dalam mimpi yang kata orang semu.
Dee termangu. Andra dan Ita menahan nafas, sementara Anik
mengusap airmata.
Tidak penting lagi diceritakan bagaimana akhirnya mereka
berempat bisa mendapatkan kata sepakat untuk sama-sama
membaca surat itu. Jeleknya lagi dalam alunan „Knife‟, lagu
80-an yang memerihkan hati.
“Aku penasaran,” Dee tiba-tiba angkat bicara, “sebetulnya apa
sih yang terjadi? Kenapa mereka tidak bisa bersatu?” ujar Dee
lagi dengan pertanyaan yang sedikit norak dan rada-rada
sinetron, tapi sepertinya yang lain tak melihat itu. Mungkin
disergap haru.

18
“Mungkin perempuan itu tidak mencintai dia, Dee,” Ita
menjawab.
“Terus?”
“Tapi lelaki itu sudah memilih dan dia terus menunggu
sampai si perempuan, suatu hari, mencintainya.”
Anik menggelengkan kepala,
“Mungkin lelaki itu mencintai perempuan yang sudah
menikah, makanya jadi mustahil.”
Bodoh! Desis Dee dalam hati. Mengapa membiarkan cinta
yang begitu menguras kesedihan tumbuh begitu dalam?
Dipertahankan lagi! Tapi cinta memang tak bisa memilih. Dan
ternyata itu bukan sekadar judul sinetron atau kalimat-kalimat
klise yang bisa ditemukan di buku-buku picisan.
“Aku nggak ngerti, kenapa surat-surat itu tidak pernah
diposkan sebelumnya? Begitu banyak berlembar-lembar.”
“Lihat nih,” Andra yang sejak tadi tak banyak bersuara,
akhirnya buka mulut, “di surat ini ditulis bahwa sebagian surat
yang lain telah rusak dan tak bisa lagi dibaca karena tertelan
banjir.”
Lucu juga. Tapi Dee merasa keterlaluan kalau sampai tertawa.
Biar bagaimanapun banjir kan tragedi.
Mereka berempat seperti lupa waktu. Sejak tadi masing-
masing memilah-milah surat dan membaca sendiri-sendiri.
Ada seuatu pada kalimat-kalimat si lelaki yang membuat
keempat mahasiswi itu terhipnotis untuk terus mengikuti
kisah si lelaki dan perempuan yang sampai sekarang masih
tanpa nama.
***
Jakarta, tahun kesebelas
Aku melihatmu hari ini. Indah seperti biasa. Kau mengenakan
baju rok n blus bermotif pink dan biru. Dua warna yang
menjadi favoritmu.
Sebelas tahun berlalu, perempuan. Kau tetap satu-satunya
perempuan yang membuatku sabar dan rajin berdoa.

19
Waktu memang telah berlalu sangat cepat tanpa bisa dicegah.
Harus kuakui itu sama sekali tidak mengurangi keindahan
perempuanku. Satu wajah daun sirih yang hitam manis, tawa
cerahmu, dan sorot mata keibuan.
Ketika di tempat-tempat lain ketulusan telah menguap dan
sulit ditemukan, aku pun datang kepadamu. Sebab pada wajah
sederhana namun indah milikmu, kunikmati ketulusan
melimpah.
Maka dalam diam harapan kujahit. Suatu hari aku akan di
sisimu, saat matahari terbit.
Anik kembali menghapus airmatanya. Andra tampak masih
serius dengan sebuah surat di tangannya. Mata sipit
memanjang gadis itu menyusuri kalimat demi kalimat. Di
sampingnya Ita mengikuti.
***
Jakarta, tahun kelimabelas
Perempuan,
Semoga kau bisa melihat perubahan yang telah kubuat dalam
hidup.
Beberapa cerpen telah kutulis, sebagian ada yang telah
dibukukan. Terima kasih telah menjadi sumber abadi
inspirasiku. Semoga kau tidak keberatan. Selalu kutulis inisial
namamu di setiap tulisan. Dengan cara itu aku berusaha terus
bersamamu, menjaga cita-cita. Juga kesetiaan.
Aku tidak menyalahkan jika tak ada yang percaya bagaimana
aku sebagai lelaki yang memiliki kebutuhan bisa tetap sendiri
dan tidak tergoda macam-macam.
Kesalahan mereka adalah mengira aku sendiri. Mereka tidak
memahami wajahmu yang menyapaku setiap pagi di
komputerku. Mereka tidak melihat fotomu yang terselip di
dompetku, meski lusuh dan berukuran sangat kecil (Maafkan
aku mengambilnya tanpa meminta. Tapi foto itu telah
memberiku banyak energi). Mereka juga tidak tahu sosokmu
yang terlukis di dalam hati dan tak pernah pudar, meski
belasan tahun berlalu.

20
Dari jauh kulihat engkau bahagia dengan kehitupanmu. Itu
membuatku senang, meski di satu sisi menorehkan luka.
Bukankah cinta harus bahagia atas kebahagiaan yang dicintai,
dan tidak membiarkan dirusak ego semata?
Perempuanku,
Kau tidak tahu betapa sulitnya untuk tetap dalam ketulusan.
Untuk tidak mengirimkan surat-surat ini padamu sampai
waktunya tiba. Untuk menyimpan cinta dalam diam. Dan
melewati hari dengan hati teriris-iris oleh rindu, cinta,
cemburu.
Pernah aku menangis dan ingin menyerah atas cinta yang Dia
pilihkan untukku. Tapi perempuanku juga keajaiban yang
dikirimkan Tuhan. Untuk anugrah sebesaritu aku hanya perlu
bersabar
Dee meletakkan surat yang membuat dadanya sesak. Berfikir,
perempuan itu sungguh beruntung karena mendapatkan cinta
begitu besar.
“Bingkisan itu isinya kira-kira apa ya? Gimana kalau kita
buka juga?”
Kalimat sekonyong-konyong Dee membuat mata Andra, Ita,
dan Anik melotot. Di dalam kertas coklat itu memang terdapat
sebuah bungkusan lain yang terbalut kertas koran.
“Baca surat aja udah salah, Dee! Masa kita mau buka
bingkisan itu juga.”
“Aku penasaran.”
“Lalu penasaran itu memberimu hak untuk melanggar privacy
orang?”
Dee kena batunya. Andra tersenyum puas. Ita dan Anik
kembali asyik membaca surat-surat. Belum ada kemajuan.
Mereka tak menemukan nama atau petunjuk lain yang lebih
spesifik. Padahal setelah membaca surat-surat itu keinginan
keempat gadis itu menjadi lebih besar untuk menyampaikan
bingkisan dan surat-surat tersebut kepada yang berhak.
Dee memilih sebuah surat, lalu memutuskan membacanya
keras-keras.

21
“Ini surat terbaru dan terpanjang…”
Dee mulai membaca dengan perlahan.
***
Jakarta, tahun kedelapanbelas
Cinta,
Aku harap surat ini sampai padamu. Sekaligus kukirimkan
surat-surat sebelumnya yang tak pernah kukirim.
Hanya dua alasan yang membuatku mengirimkan surat ini,
beserta sebuah bingkisan yang telah kusiapkan sejak delapan
tahun lalu dan selalu kusimpan dengan baik.
Sejak pertama aku mengenalmu, telah kutekadkan untuk
menyerahkan semua ungkapan perasaan dan bukti
kesungguhanku padamu, jika masanya tiba. Jika Allah
memberi pertanda dan membuang satu kemustahilan sehingga
aku bisa bersamamu. Kedua, jika aku merasa waktuku akan
tiba tak lama lagi.
Tiga tahun ini kesehatanku memang kurang baik. Satu-
satunya yang kusesali adalah itu membuatku tak bisa lagi
mengejar wajahmu, dan menikmati keindahan dan ketulusan.
Hal yang dulu selalu kulakukan, memandangmu dari jauh.
Dari depan rumah di mana daun-daun nusaindah terserak.
Melihatmu berbicara dan tertawa membuatku merasa hidup.
Barangkali memang harus begini ketentuan Allah. Bahwa
selamanya aku hanya bisa memilikimu dalam angan, harapan,
dan impian. Tidak lebih.
Tapi, perempuan,
Tak pernah kusesali pilihan yang kubuat. Sebab, bisa
memiliki harapan untuk bersamamu lebih dari cukup bagiku.
Sebab, seperti yang pernah kukatakan, sebelumnya aku tak
pernah punya cita-cita. Dan perempuanku memberiku cita-cita
itu.
Aku mencintaimu. Teramat sangat, pada batas terdalam cinta
yang mungkin dirasakan seseorang. Dan telah pula
kubuktikan semampuku.

22
Delapanbelas tahun meneropong kebahagiaanmu. Melihat
anak-anakmu tumbuh besar, memberiku rasa aman. Sebab,
kini aku tahu, sekalipun aku tak ada, mereka akan menjadi
perisai dan pelindung yang baik bagimu.
Bingkisan ini harus kusampaikan kepadamu sebagai bagian
dari harapan indah yang kubangun.
entah tangan siapa yang memulai menyobek bingkisan dengan
sampul kertas koran itu. Di dalamnya tampak sebuah kertas
kado dengan bunga-bunga kecil warna pink dan biru.
Semua terpana. Dee menunggu persetujuan Andra, Ita, dan
Anik sebelum menyobek kertas kado dan terperangah melihat
isinya. Di dalamnya terdapat kotak berisi mukena dan sarung
merah jambu berenda, satu Al Quran dan sejumlah uang
dalam jumlah yang ganjil. Juga sebuah cincin bermata satu
dalam wadah hati berwarna biru.
Dee merasa matanya berair. Anik menghapus airmata yang
mengalir deras. Sementara, Ita dan Andra tak urung
menitikkan butiran kristal serupa.
Di dekat mereka, surat-surat berbeda tahun tergeletak
berantakan di lantai. Sebagian hurufnya ada yang pudar dan
tak bisa dibaca, sebagian lagi tertimpa airmata baru yang
menetes dari keempat gadis yang meratapi kisah cinta yang
lara dari lelaki tanpa nama untuk perempuan tanpa nama.
Bingkisan ini harus kusampaikan kepadamu sebagai bagian
dari harapan indah yang kubangun. Dulu aku selalu
membayangkan memberikannya langsung kepadamu,
sekaligus bersimpuh di lutut dan mengucapkan kata-kata
lamaran yang layak dikenang dalam sisa hidup. Melamarmu
dalam suasana suci, ketika mencintaiku tidak lagi menjadi
halangan bagimu.
Delapanbelas tahun mencintaimu dalam diam. Sebentar lagi
mungkin habis waktuku. Tapi tak pernah kusesali hari ketika
aku melihatmu di teras masjid.
Terimakasih Tuhan atas cinta sekali yang Kau beri.

23
1
http://sastrabanget.com/2015/11/02/cerpen-sepotong-cinta-
dalam-diam-karya-asma-nadia/

3. Satu Dua Tiga, Aku Akan Jadi


Lebih Baik
Cerpen Karangan: Raudhah El Hayah
Kategori: Cerpen Motivasi, Cerpen Slice Of Life
Lolos moderasi pada: 21 October 2017

1.30 wib Sudah 30 menit berlalu sejak waktu perjanjian.

Kenapa yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba? Apakah

tiba-tiba sakit, jadi belum sempat memberi kabar? Atau ada

kemungkinan lainkah?

Safa setia menanti kabar. Smartphone di genggamannya

dibiarkan menyala sejak ia mendudukkan tubuhnya di kursi

kafe itu, menanti. Sesekali ia membuka aplikasi akun-akun

sosial medianya, menghilangkan bosan. Sekaligus

menghilangkan gelisah karena ditatap orang-orang

sekitarnya.

1
http://sastrabanget.com/2015/11/02/cerpen-sepotong-cinta-
dalam-diam-karya-asma-nadia/

24
Ia sudah duduk di sana selama 40 menit. 10 menit lebih

awal dari janji. Tanpa pesanan, tanpa teman. Hanya duduk.

Pelayan kafe sudah 2 kali menghampirinya 20 menit

terakhir, bertanya pesanan. Safa hanya menggeleng, tidak

mau, aku masih menunggu temanku.

10 menit lagi berlalu. Pelayan kafe sepertinya sudah kesal.

Dihampirinya Safa dan bertanya sekali lagi, namu

jawabannya sama saja, sebuah gelengan. “Maaf, tapi anda

sudah duduk di sini sejak 50 menit yang lalu. Sementara

adalah aturannya jika harus memesan setiap 2×30 menit.

Tidakkah anda ingin memesan sesuatu? Minuman

setidaknya, Nona,” tegur sang pelayan. “Lalu kenapa? Aku

di sini baru 50 menit. Belum 2×30 menit seperti yang anda

katakan. Aku sedang menunggu temanku, ah tidak,

narasumberku. Aku wartawan, tidak beretika sekali jika aku

memesan sebelum narasumberku datang,” balas Safa.

“Maaf Nona. Memang 2×30 menit aturannya. Tapi, tidakkah

anda ingin minum dahulu? Segelas jus mungkin?” tidak

menyerah, sang pelayan tetap bertanya.

“Ya sudah, segelas jus. Terserah rasa apa,” balasan dengan

nada malas keluar dari mulut Safa. “Baiklah, tunggu

sebentar,” sang pelayan kafe menunduk lalu berlalu.

25
Segelas jus sirsak tersaji di depan Safa. Ia menatap haus

kepada jus itu, tapi tetap kekeuh tidak akan minum hingga

narasumbernya tiba. Jus ini buat beliau saja, pikirnya.

5 menit, Safa menyerah. Ia minum jus itu dengan nikmat.

Kenapa pelayan kafe itu tahu ia suka sirsak? Sudahlah,

pasti hanya kebetulan.

2.00 wib 3 kali panggilan telepon, tidak diangkat semua.

Benar-benar sakit sepertinya. Akhirnya, Safa bersiap

meninggalkan kafe. Percuma saja, satu jamnya terbuang.

Juga uang 10.000,- nya untuk memebeli jus. Ia berkemas,

berdiri lalu ke luar dari kafe tersebut. Tujuannya kini adalah

rumah. Dengan menonton anime sebentar mungkin akan

menjadi moodbooster-nya. Ia terlanjur bad mood.


Semalaman disiapkannya berbagai pertanyaan untuk si

narasumber yang bahkan tidak datang pada jam perjanjian.

Setidaknya jika telat ia masih bisa bersabar, namun ini

tidak datang sama sekali.

Di perjalanan menuju rumah, ia merutuki atasannya. Tadi

malam tiba-tiba ia dapat perintah mewawancarai seseorang

tentang perubahan kurikulum pendidikan. Orang penting

katanya. Tempat dan waktunya sudah disediakan. Tinggal

datang dan wawancara. Sialnya, Safa harus menyiapakan

26
pertanyaannya sendiri. Ayolah ia baru 1 bulan menjadi

wartawan dan diberi tugas serumit itu. Yang benar saja.

Tapi karena demi gajinya bulan ini, ia datang.

Deringan smartphone memutus sesaat rutukannya.

Narasumber, begitu yang tertulis di layar. Buru-buru Safa

menjawabnya.

“Ah, selamat siang bu mm,” Safa terdiam, ia bahkan tak

tahu nama narasumbernya. “Ya selamat siang. Maaf,

kenapa tadi anda menelepon? Dan dengan siapa saya

berbicara?”

“Ah saya Safa bu, yang ingin mewawancarai ibu terkait

perubahan kurikulum. Sebelumnya sudah diberitahu oleh

rekan saya kan bu?” “Ah ya. Di mana anda sekarang? Saya

sudah menunggu dari 3 menit yang lalu,” Safa membatin,

etdah nih ibu, 3 menit juga, lagian siapa yang suruh telat?

“Baik bu, saya balik lagi. Tadi karena menunggu 1 jam dan

ibu belum datang saya putuskan pulang,” Safa memutar

kemudinya kembali ke kafe, “1 menit lagi bu,” lanjutnya.

Sindir narsum boleh jugalah, pikir Safa.

Safa memasuki kafe tempatnya menunggu tadi. Pelayan

kafe memberi sambutan, hanya senyuman kecil

sebenarnya. Ia melirik meja-meja, menerka seperti

narasumbernya. Yang Safa tau, narasumbernya adalah

27
seorang perempuan. Kenapa Dafa tidak memberikan foto

ibu itu setidaknya? Ditelepon saja, pikirnya. Dan Safa dapati

narasumbernya duduk di meja dekat jendela, melihat ke

smartphonenya yang berbunyi dengan kening berkerut. Lalu

dijawabnya panggilan tersebut. Melambaikan tangan ke

arah pintu kafe yang mana berdiri Safa di sana. Safa

hampiri ibu itu dengan wajah sumringah.

Safa menyapa “Permisi bu-” “-Fany,” sela si narasumber.

Safa kikuk, menyesal tak tahu namanya. “Ah ya, bu Fany.

Apa kabar?” Si ibu narasumber mengangguk sekilas, baik.

Basa basi sebentar, lalu dimulailah wawancara tersebut.

Safa melihat berita buatannya dengan nanar. Ia sedikit

kesal dengan si narasumber. Ibu Fany itu. Ah tidak, banyak


kesal mungkin lebih benar. Bagaimana tidak? Ketika ia

memulai wawancaranya saja si ibu sudah mengritik

gayanya. Beliau bilang kalau Safa masih sangat kecil untuk

hal begini. Beliau bilang pertanyaan yang diberikan Safa

tidak kritis. Berbagai hal. Kesal menyapa Safa tentu saja.

Safa ingat pesan ibunya, terlintas tiba-tiba. „Safa, kritikan

orang harusnya menjadi cambukan buat diri kita. Mereka

mengritik berarti peduli bukan? Yah, kita harus

menanggung sabar memang, tapi bukankah itu lebih baik?‟

28
Ya, Safa ingat itu. Ia ingat. Dihirupnya napas pelan lalu

menekan tombol send. Ia kirim ucapan terima kasih kepada

narasumbernya. Lalu mengirim berita kepada rekan

kantornya.

Ia memejamkan mata. Berhitung. Satu dua tiga, aku akan

jadi lebih baik tentu saja. Kenapa tidak?

Cerpen Karangan: Raudhah El Hayah


2
http://cerpenmu.com/100-cerpen-kiriman-terbaru

2
http://cerpenmu.com/100-cerpen-kiriman-terbaru

29
4. Spring Love Story
Cerpen Karangan: Dilla Park
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 21 October 2017

Sudah sejak lama semenjak musim dingin berakhir. Dan

sekarang sudah mulai memasuki musim semi. Ya, musim

yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat jepang

karena pada musim ini pasti bunga sakura mulai

bermekaran dengan indahnya.

Hari ini cuaca sangat bagus. Sakura Ishida, memulai

harinya dengan pergi bekerja. Bekerja adalah salah satu

prioritas utamanya. Dengan bekerja, ia bisa mendapat uang

yang banyak. Salah satu tujuan hidupnya adalah, mendapat

uang yang banyak agar bisa pulang ke Kyoto -kampung

halamannya- dan segera menjauh dari hiruk pikuk kota

Tokyo. Ia bekerja di salah satu butik kecil sebagai desainer.

Bagi sebagian orang, untuk pulang ke Kyoto memang

merupakan hal yang mudah. Tapi bagi Sakura, itu adalah

sebuah tantangan. Di sana, ia telah menjadi korban bullying

di kampusnya. Sakura rela ke Tokyo agar ia bisa

menyalurkan bakatnya di bidang desain dan membuktikan

kepada mereka, bahwa ia bisa sukses dan menjadi kaya.

30
Gara-gara sibuk bekerja, ia jadi lupa akan satu hal. Dia

tidak pernah -lebih tepatnya, tidak tau- merasakan cinta.

Ya, memang ia pasti pernah mendapatkan cinta dari

orangtuanya, keluarganya, dan kerabat kerabatnya. Tapi, ia

tidak pernah merasakan cinta dari lawan jenisnya.

Begitupun dia, dia tidak pernah memberi cinta kepada pria

manapun.

Tapi itu dulu. Sekarang, ia bagai dihipnotis oleh cinta. Yup,

sekarang dia sedang menaruh hati kepada seseorang yang

telah dikenalnya di perpustakaan. Guske. Itu sebenarnya

bukan nama aslinya. Itu hanya nama penanya, karena

kebetulan orang yang dia suka ini seorang blogger.

Gara gara orang itu, ia mendadak jadi stalker SNS.

Sakura sangat mengagumi orang ini. Kumis tipisnya, tubuh

tingginya, dan senyuman manisnya seakan menjadi

bayangan dalam hidupnya. Dan akhirnya, ia kenal lebih

dekat dengan Guske. Hal yang mengubah hidupnya adalah

Guske. Sekarang, ia lebih sering ke perpustakaan, demi

guske. Sekarang, ia rela menunggu di depan minimarket

depan apartemen guske, demi melihat orang itu pulang

dengan selamat. Aneh bukan? Seharusnya lelaki lah yang

sepatutnya berbuat hal semacam ini.

31
Waktu demi waktu, ia dan guske telah menjadi teman yang

sangat dekat. Ke mana-mana pun sama. Hingga akhirnya,

suatu insiden terjadi. Guske yang sedang berjalan-jalan

dengan Sakura, tiba tiba saja menabrak tiang. Hal yang

tidak Sakura mengerti. Mengapa ia bisa menabrak tiang?

Padahal saat itu tidak ada halangan apapun.

Kejadian ini tidak berlangsung sekali saja. Dan bukan hanya

tiang yang ia tabrak. Sepeda, kaca jendela, bahkan orang

pun telah ia tabrak. Sakura semakin penasaran, mengapa

orang yang sangat good looking ini, tiba tiba menjadi

seseorang yang „oon‟ dan keliatan bodoh?

Ternyata, ada satu fakta yang tidak diketahui oleh Sakura.

Guske ternyata buta. Selama ini ia hanya pura-pura


bersikap biasa biasa saja Selama ini ia hanya pura-pura ke

perpustakaan agar keliatan seperti orang lain. Selama ini

bukan Guske yang menjalankan blognya, tapi saudaranya.

Ia hanya mengucapkan katai-kata yang bisa ditulis

saudaranya ke dalam blognya.

Sakura terpukul. Orang yang dicintainya ini, ternyata

menyimpan banyak luka dan kesedihan. Semenjak itu,

Sakura berjanji, akan selalu bersama dengan Guske apapun

yang terjadi.

32
END

Cerpen Karangan: Dilla Park Facebook: Dilla Park

Sangat bercita cita untuk menjadi author terkenal ^_^

semoga bisa terwujud dan kalian suka dengan tulisan saya~

33
5. Pencurian Di Sekolah
Cerpen Karangan: Portgas D Fahri
Kategori: Cerpen Misteri, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 21 October 2017

Lagi, lagi dan lagi. Belakangan ini sering terjadi pencurian di

sekolahku. Kebanyakan korbannya adalah mereka yang

tidak mau menaati peraturan sekolah. Barang yang dicuri

biasanya adalah handphone milik siswa yang biasa dibawa

ke sekolah. Karena aku adalah seorang siswa baru di

sekolah ini, aku langsung dituduh melakukannya karena

sebelumnya tidak pernah ada barang yang hilang di sini.

Di hari ke lima aku bersekolah di sini ada seorang siswa

yang kehilangan handphonenya lagi. Dan seseorang

bernama Rizki KM di kelas ini menuju ke arahku dengan

wajah yang terlihat sangat kesal.

“Hei anak baru!” Ujar Rizki. “Ada apa?” Kataku.

“Kau yang melakukan semua ini kan?” Tanya Rizki.

“Melakukan apa?” Aku balik bertanya kepadanya. “Jangan

pura pura tidak tahu.” “Aku memang tidak tahu apa yang

kau bicarakan.” Aku tidak mengerti apa maksud perkataan

Rizki.

“Kau pencurinya kan?” Rizki menatapku dengan tatapan

yang tajam. “Bukan, untuk apa aku melakukan semua itu.”

Aku jadi kesal padanya. “Kalau begitu buktikan kalau bukan

34
kau pencurinya.” Ujar Rizki. Baiklah aku akan buktikan

kalau bukan aku pelakunya.

Keesokan harinya aku membawa handphoneku ke sekolah

untuk menjebak si pelaku. Waktu sudah menunjukkan pukul

09:00 tetapi pelaku masih belum keluar juga. Berhubung

perutku lapar aku pergi ke kantin untuk makan. Setelah

kembali dari kantin aku sangat terkejut karena

handphoneku sudah tidak ada di tempatnya lagi. Saat aku

melihat isi tasku ada sebuah surat yang isinya adalah…

Jika kau berhasil menyelesaikan teka teki ini, kau akan

menemukan handphone milik kalian 125131189

92 Semoga beruntung

Sepulang sekolah aku langsung mencari tahu apa maksud

dari susunan angka ini. Kemudian aku mengambil selembar

kertas dan membuat coretan yang sediki rumit. Beberapa

jam kemudian aku berhasil memecahkan teka teki itu.

Keesokan harinya aku menunjukkan surat itu pada Rizki

dan akhirnya dia percaya kalau bukan aku pelakunya.

“Apa kau berhasil memecahkannya?” Tanya Rizki.

“Yaa.”

35
Jawabku

“Maaf karena aku sudah menuduhmu.” Kata Rizki menyesal.

“Tidak apa apa, yang sudah terjadi biarkan saja.” Kataku

“Lalu apa maksud dari susunan angka itu?” Tanya Rizki.

“Lemari yang ada di sembilan B.” Jawabku dengan santay

“Bagaimana kau memecahkannya?” Rizki kembali bertanya

pada

36
“Mudah saja, aku hanya perlu memisahkan angka 12, 5, 13, 1, 18,

dan 9 lalu mengubahnya ke dalam bentuk abjad. Dan hasilnya adalah

lemari, sedangkan 92 adalah 9B.” Jawabku.

Setelah berbicara agak lama, aku menuju ke lemari yang ada di

kelasku yang kebetulan adalah kelas 9B. Dan aku mengambil semua

handphone lalu mengembalikannya kepada pemiliknya. Dan yang

masih menjadi misteri adalah, siapa kah pelakunya?

Cerpen Karangan: Portgas D Fahri Facebook: fahri x-friends nekal

Cerpen Pencurian Di Sekolah merupakan cerita pendek

karangan Portgas D Fahri, kamu dapat mengunjungi halaman

khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

37
6. Benderaku Yang Hilang
Cerpen Karangan: Nkt Zkf
Kategori: Cerpen Nasionalisme, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 21 October 2017

Bendera merah putih adalah lambang dari negara indonesia, dan

sangat dihormati oleh bangsa indonesia. Bahkan untuk mengibarkan

sangsaka merah putih ini banyak jiwa yang telah terkoban, banyak

istri yang menjadi janda dan anak menjadi yatim piatu. Peperangan

terjadi di mana-mana hanya untuk satu tujuan mengibarkan

sangsaka merah-putih sehelai kain yang tersimpan beribu makna di

baliknya.

Setelah bertahun-tahun merdeka indonesia kini dapat dengan mudah

mengibarkan benderanya. Hari yang paling aku tunggu adalah hari

dimana seluruh rakyat indonesia berdiri bersama menghormati

sangsaka merah putih dan mendendangkan lagu indonesia raya.

Di setiap tanggal 17 agustus aku selalu bersorak ria dan aku

merasakan identitasku kembali menyatu denganku.

Tapi aku merasakan benderaku telah hilang sejak aku duduk di

bangku SMA, aku tak lagi menemukan benderaku bahkan di tiang

tempat sangsaka merah putih berkibar kini tampak sepi dan semakin
hari semakin ditinggalkan.

38
Aku ingin sekali menghormati benderaku dan menyanyikan lagu

indonesia raya sebagai bukti kalau aku menghargai para pejuang

terdahulu dalam merebut kemerdekaan bagi bangsa indonesia. Entah

apa sebabnya sekolahku kini tak lagi mengadakan upacara bendera

yang biasa dilakukan pada senin pagi, aku merasakan perubahan

demi perubahan menguasai diriku aku kehilangan identitasku,

kehilangan bangsaku, kehilangan negaraku. Kadang aku bertanya

pada guruku kenapa mereka tidak lagi mengadakan upacara bendera

tapi tak ada satu pun yang dapat menjawabnya. Mereka acuh dan

membiarkan aku sendiri yang menjawabnya.

Sampai pada akhirnya aku meninggalkan masa SMAku dan berharap

di perguruan tinggi nanti aku dapat menemukan kembali benderaku

dan aku dapat menyuarakan dengan lantang lagu indonesia raya,

sungguh tangan ini rasanya sudah tak mampu bersabar untuk

menghormati benderaku sangsaka merah-putih yang amat aku

banggakan itu.

Tapi sayang seribu kali sayang keinginanku seakan dihapus ombak

yang besar aku tak menemukan benderaku aku bahkan tak

melihatnya berkibar, aku telah kehilangan identitasku.

Benderaku sangsaka merah putih hanya dapat kutemui pada 17

agustus setahun sekali. Aku bahkan telah kehilangan pedomanku,

39
aku kehilangan jiwa nasionalismeku. Aku kini menjadi remaja yang

tak beridentitas.

Cerpen Karangan: Nkt-Zkf Facebook: Nur Katila Zulkifli

Cerpen Benderaku Yang Hilang merupakan cerita pendek

karangan Nkt Zkf, kamu dapat mengunjungi halaman khusus

penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

40
7. Cermin Masa Depan
Cerpen Karangan: Betry Silviana
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Horor (Hantu)
Lolos moderasi pada: 20 October 2017

Damian masih berdiri di depan sebuah cermin. Sebuah cermin

bergaya klasik dari kayu berukir yang tak sengaja ia temukan di

sebuah kamar kosong di rumah barunya itu. Entah kenapa pemilik

rumah sebelumnya meninggalkannya begitu saja di kamar kosong

itu. Mata Damian terpaku memandangi cermin antik yang baru saja

ia temukan itu.

Tiba-tiba jendela kamar terbuka. Semilir angin berhembus kencang

ke arahnya. Seorang pria berdiri tepat di belakang Damian.

“Cermin itu namanya cermin masa depan.” Pria itu mulai

mengeluarkan kata-kata. Ada aura menyeramkan yang terpancar

padanya.

Damian tersentak kaget mendapati seseorang yang muncul entah

dari mana. “Siapa kau? Kenapa kau ada di sini? Bagaimana caranya

kau bisa masuk ke sini?” tanyanya bertubi-tubi. Ada perasaan takut

yang hinggap di hatinya saat menatap pria itu. Pria itu tersenyum

dengan seringainya yang mengerikan. Ada aura menyeramkan yang

terpancar padanya. Perlahan-lahan dia melangkah maju mendekati

Damian. Damian yang merasa ketakutan pun melangkah mundur

hingga tangannya tak sengaja menyentuh cermin antik itu.

41
“Kau tak perlu takut padaku! Sekarang kau adalah pemilik cermin

itu. kau bisa menggunakannya sepuas hatimu untuk melihat masa

depanmu,” ucap pria itu menatap lekat ke arah Damian. “Melihat

masa depan?” ucap damian dengan senyum kecil di bibirnya, “Apa

kau bercanda? Bagaimana mungkin cermin antik ini bisa melihat

masa depanku? Lebih baik kamu pergi sekarang, atau aku akan …”

“Akan apa? Memukulku?” potong pria itu, “Kau tak perlu repot-repot

memukulku. Kalau tak percaya, buktikan aja sendiri. Tapi ingat!

Setiap kali kau menggunakan cermin masa depan, kau harus siap

mengorbankan sesuatu yang berharga dalam hidupmu.”Damian

menatap bayangan dirinya di cermin itu. Ia sama sekali tak percaya

dengan perkataan pria tersebut. Ketika ia membalikkan badannya ke

belakang, ia sangat terkejut. Pria yang tadi berada di belakangnya

sudah tak ada. Bulu kuduk Damian pun tiba-tiba berdiriDamian

kembali memandangi cermin antik itu. Apa benar cermin ini bisa

memperlihatkan masa depanku? Batinnya. Ada perasaan takut bila

ucapan pria itu benar-benar terjadi bila ia benar-benar

menggunakannya. Tapi perasaan penasaran telah menyelimuti

Damian untuk segera membuktikan ucapan pria itu.

“Wahai cermin masa depan, perlihatkanlah padaku apa yang akan

terjadi padaku besok di sekolah!”ucap Damian ragu-ragu.

Seketika bayangan Damian di cermin itu menghilang. Damian sangat

terkejut saat melihat cermin itu. cermin itu memperlihatkan sosok

dirinya bertemu dengan seorang gadis cantik di sekolah. Berulang

42
kali ia mencubit tangannya, memastikan bahwa dirinya tak sedang

bermimpi.

Pagi telah tiba. Tak seperti biasanya Damian berangkat sekolah

seorang diri. Entah kenapa pagi-pagi sekali ayah sudah tak ada di

rumah. ia pun melirik arlojinya. Masih tersisa 20 menit sebelum

masuk kelas. Ia pun segera mempercepat langkah kakinya menuju

perpustakaan.

BRUK!

Seorang gadis menjerit keras, “Auugh, sakit.” Gadis itu terduduk di

lantai dengan buku-bukunya yang berhamburan di lantai.

Damian segera memungut buku-bukunya lalu membantunya berdiri,

“Maaf, aku nggak sengaja.” “Nggak apa-apa. Aku juga salah, kok.”

Gadis itu lalu pergi meninggalkan Damian yang masih menatapnya


tanpa berkedip.

Malam kali ini terasa sunyi. Ayah belum juga pulang ke rumah.

“Damian! Ibu pergi dulu sebentar,” teriak Ibu. Tak lama kemudian

terdengar suara mobil sedang melaju. Damian hanya bisa menghela

napas panjang. Wajahnya terlihat begitu kecewa. Malam ini ia

terpaksa sendirian di rumah.

Setelah kejadian itu, Damian kembali ke kamar kosong itu. ia berdiri

di hadapan cermin antik itu. Damian menarik napas dalam-dalam,

43
berusaha merangkai kata-kata yang ada di otaknya untuk dijadikan

kalimat permintaan kepada cermin itu, “Wahai cermin masa depan,

perlihatkanlah padaku apa yang akan terjadi padaku saat usiaku 25

tahun!”

Seperti saat itu, bayangan dirinya menghilang. Cermin itu lalu

memperlihatkan dirinya berada sendirian di rumah. Penampilannya

terlihat acak-acakan, tak terurus. Badannya sangat kurus, seperti

orang yang kekurangan gizi. Tak terlihat siapa pun di rumah. mata

Damian terbelalak saat melihat apa yang ditampilkan oleh cermin itu.

“Ini nggak mungkin! Kenapa aku seperti itu? ke mana Ayah dan

Ibuku?” tanya Damian bingung.

Tiba-tiba sosok ayah dan ibu Damian muncul dari cermin antik.

“Damian! Tolong Ayah dan Ibu!” ucap Ayah memukul-mukul cermin

itu dari dalam. “Ayah! Ibu!” teriaknya. Buru-buru ia pergi mengambil

kursi dan melemparkannya dengan keras ke arah cermin antik itu.

Cermin itu sama sekali tak pecah, masih utuh seperti semula.

“Percuma saja, cermin itu nggak akan pecah sama sekali,” ucap

seorang pria tiba-tiba berada di belakangnya.

“Bagaimana cara mengeluarkan Ayah dan Ibuku di dalam cermin

itu?” tanya Damian panik. “Sayangnya nggak ada cara untuk

membebaskan Ayah dan Ibumu. Bukankah sudah kuingatkan

padamu, kau boleh menggunakan cermin itu sesuka hatimu tapi kau

harus mengorbankan sesuatu yang berharga dalam hidupmu,” ucap

44
pria itu tertawa mengerikan. Ia lalu menghilang disertai hembusan

angin yang kencang.

Damian tak tahu harus berbuat apa lagi untuk mengeluarkan ayah

dan ibunya dari cermin itu. Damian menyesal telah menggunakan

cermin masa depan itu itu.

Cerpen Karangan: Betry Silviana Facebook: Betry Silviana

Cerpen Cermin Masa Depan merupakan cerita pendek

karangan Betry Silviana, kamu dapat mengunjungi halaman khusus

penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

45
8. Danau Sejuta Kenangan
Cerpen Karangan: Afdina Melya G.F
Kategori: Cerpen Perpisahan, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 21 October 2017

Lagi-lagi aku termenung di tepi danau. Sendirian. Seharusnya, hari

ini menjadi hari yang menyenangkan. Karena sebentar lagi aku akan

resmi menjadi siswi sekolah menengah pertama di Yogyakarta.

Oiya, perkenalkan namaku Afdina, aku tinggal di Perumahan Pesona

Gading Cibitung, Bekasi. Rumahku dekat dengan sebuah danau

buatan yang diberi nama Danau Telaga Warna. Danau Telaga Warna

masih asri dan terawat, karena jauh dari hiruk pikuk kesibukan

warga pinggiran kota Jakarta yang membanting tulang demi mencari

nafkah. Setiap sore, banyak warga yang sengaja meluangkan

waktunya untuk mengunjungi danau tersebut bersama keluarga.

Mereka bersenda gurau bersama anggota keluarga sembari melepas

penat setelah sehari penuh memeras keringat untuk menghidupi

keluarga.

Biasanya sepulang sekolah, aku dan kedua sahabatku, Sinta dan

Alfian, menyempatkan diri untuk sekedar bercengkrama di Danau

Telaga Warna. Bahkan terkadang jika hari libur tiba, kami

menghabiskan waktu untuk bermain dan berenang di tepi danau

tersebut. Rumah kami terletak dalam satu kompleks, yaitu Kompleks

Cempaka, kompleks yang paling dekat dengan Danau Telaga Warna.

46
Maka tak heran apabila kami selalu bermain bersama di danau

tersebut. Banyak sekali suka duka yang kami lalui bersama di danau

itu. Danau tersebut seakan menjadi saksi bisu kisah persahabatan

kami bertiga.

“Nduk, udah selesai belum beres-beresnya?” teriakan lantang ibuku

membuyarkan lamunanku. “Sedikit lagi siap, Bu.” Teriakku tak kalah

lantang.

“Jangan kebanyakan melamun ya, sayang. Apa perlu ibu bantuin?”

ibuku memperingatkanku. “Hehe, iya Bu. Gak usah, nanti juga beres

kok,” jawabku sembari meringis. Aku melirik kalender yang

tergantung di sudut kamarku, tertera jelas tullisan super besar

dengan tinta merah „H-5 GO TO YOGYAKARTA‟. Aku memandang

keluar jendela, menghela napas. Di luar sedang hujan. Terlihat bulir-

bulir air hujan yang jatuh membasahi semua yang ditimpanya,

membawa berkah tersendiri bagi yang membutuhkannya. Aku segera

membereskan barang-barang yang ingin dan perlu aku bawa ke

Yogyakarta.

Hujan mulai reda. Setelah memastikan tugas beres-beresku selesai,

aku langsung ke luar dari rumah. Teriakan lantang ibuku yang masih

memasak di dapur tak kuhiraukan. Pura-pura tidak dengar gak

masalah kan? Hehe… Aku segera mengayuh sepedaku ke Danau

Telaga Warna. Prediksiku tepat. Sudah ada Sinta di sana. Aku segera

menghampirinya.

47
“Dor! Mikirin Fian ya? Hehehe,” godaku seraya menepuk bahu Sinta.

“Hush ngawur! Ya enggak lah, aku tuh lagi nungguin kamu sama

Fian, ke mana aja sih, lama banget?” seloroh Sinta memasang muka

bete.

“Iya deh, maaf. Fian mana?” tanyaku sambil memencet hidung Sinta.

Sinta hanya manyun. Dari kejauhan terlihat Alfian yang sedang

mengayuh sepedanya. Dia melambai ke arah kami.

“Kamu kenapa telat lagi sih Yan? Dikejar anjingnya Pak Widodo lagi?”

ledek Sinta sambil menatap Fian tajam. Sinta memang paling tidak

suka jika ada orang yang tidak tepat waktu.

“Wah wah wah, ada yang ngambek nih, maaf ya. Aku tuh tadi ke

rumahnya Af dulu, tapi kata ibunya, Afdina-nya udah bablas ke

danau. Terus aku ke sini deh,” ucap Alfian yang masih terengah-

engah.

“Ngapain ke rumahku? Aku kan gak minta dihampiri,” ucapku

memperpanas suasana. “Aku kan setia kawan. Wlek,” balas Fian

sambil menjulurkan lidahnya. Sinta hanya geleng-geleng kepala.

“Nah, sekarang aku yang tanya, kenapa kamu nyuruh kita ke sini?”

selidik Sinta langsung pada apa yang ingin diketahuinya. Aku diam

seribu bahasa. Pikiranku kembali menerawang jauh, jauh sekali.

Hingga aku tak sadar bahwa Sinta dan Alfian masih menantikan

penjelasanku.

“Af?” seru Fian sembari mengibaskan tangannya di depan wajahku.

“Aku… pengen ngomong sesuatu ke kalian. Dan aku harap kalian gak

48
marah…” ucapku lirih. “Gak akan, kita gak bakal marah,” potong Fian

dengan tegas. “Aku.. diterima sekolah di Yogyakarta. Jadi

rencananya aku akan pindah ke sana sekitar empat hari lagi. Aku

minta maaf kalau aku punya banyak salah sama kalian,” ucapku

terisak. Sinta segera memelukku. Mungkin ia mengerti apa yang

sedang aku rasakan. Aku melirik Fian yang masih menatapku tak

percaya. Ada raut kesedihan yang terlintas di wajahnya. Aku semakin

merasa bersalah.

Setelah tangisku mereda. Sinta melepas pelukannya. “Udah dong,

jangan nangis lagi. Aku pengen lihat Afdina yang ceria kaya dulu lagi.

Kita ikut seneng kok kamu bisa diterima di sana, iya kan, Yan?”

“Eh, i-i-ya kok, Af.” ucap Fian kikuk. “Kalau balik ke sini jangan lupa

oleh-olehnnya lho, Af.” celoteh Sinta berusaha untuk tetap riang. Aku

tersenyum lega.

“Pulang yuk, udah mau malam nih,” pinta Sinta. Maklum, diantara

kami bertiga, rumah Sinta lah yang terletak paling jauh dari danau.

“Oke!” ucapku dan Alfian serempak. Aku, Sinta, dan Alfian segera

mengayuh sepeda masing-masing dan pulang ke rumah dengan

diiringi keindahan senja yang mulai menghilang tergantikan oleh

malam.

Hari-hari terakhir sebelum kepindahanku ke Yogya, kuhabiskan

dengan termenung di tepi danau, tempat yang penuh dengan sejuta

49
kenangan. Seperti hari itu. Hari itu adalah hari terakhirku bisa

memandang danau ini, karena besok sore aku akan pergi

meninggalkan tempat ini, memulai kehidupan yang baru. Selepas

dzuhur, aku pergi ke danau, lagi. Tapi kali ini, aku sendiri. Tidak

bersama kedua sahabatku. Aku ingin mengenang kenangan-

kenangan indahku sendiri.

Kurebahkan tubuhku di bawah pohon yang rindang. Kupejamkan

mataku. Kubiarkan angin sepoi-sepoi membelai rambutku. Gemerisik

dedaunan membawaku kembali ke masa lalu. Mengingat kenangan-

kenangan indah selama aku duduk mengenyam bangku sekolah

dasar. Perlahan, aku membuka mataku, menatap langit nan biru.

Memantapkan pilihanku. Lamunanku memutar kembali memori-

memori masa laluku.

Sayup-sayup terdengar alunan lagu yang tak asing di telingaku. Aku

segera kembali ke alam sadarku. Semakin lama, semakin jelas

terdengar.

Kekuatan hati yang berpegang janji Genggamlah tanganku sahabat

Ku tak akan pergi meninggalkanmu sendiri Temani hati mu sahabat

Ingatkah engkau kepada embun pagi bersahaja Yang menemani mu

sebelum cahaya Ingatkah engkau kepada angin yang berhembus

mesra

Yang „kan membelai mu sahabat

50
Aku segera menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Sinta dan Alfian

yang sedang berjalan perlahan ke arahku. Aku segera menghambur

ke arah mereka. Pecah sudah isak tangis kami bertiga.

Sinta segera mengajak kami berdua untuk duduk di bawah pohon.

Kami terdiam beberapa saat, sibuk dengan isakan masing-masing.

Karena terlalu lama terdiam, suasana menjadi semakin canggung.

Akhirnya, Alfian membuka pembicaraan.

“Af, aku minta maaf kalau aku punya banyak salah sama kamu, aku

sering iseng sama kamu, aku sering ngambek gak jelas sama kalian.

Dan satu lagi, mungkin ini terakhir kalinya kita bisa kumpul bareng di

sini, aku diterima di Pondok Pesantren, Bogor.” “Aku juga Af, aku

minta maaf kalau aku punya banyak salah sama kamu. Kesalahanmu

juga udah aku maafin kok, kamu yang sering pencet hidung aku,

kamu yang sering telat, dan lain-lain. Mungkin Fian benar, ini

terakhir kalinya kita bisa bareng ke danau ini, ini terakhir kalinya kita

bisa lihat senja bareng-bareng.” sambung Sinta.

“Aku.. juga minta maaf sama kalian, karena aku tahu aku punya

banyak salah sama kalian. Kesalahan kalian juga sudah aku maafin

kok, kalian yang sering nyontek PR aku, kalian yang pernah nyeburin

aku ke danau, dan lain-lain.” Kami tersenyum seraya memandang

langit nan biru. Memantapkan pilihan hati masing-masing.

Sekarang aku sadar. Perpisahan bukanlah akhir dari

segalanya, justru perpisahan adalah awal untuk memulai hidup yang

baru. Jangan jadikan perpisahan sesuatu yang menyedihkan, tapi

51
jadikan perpisahan suatu peristiwa yang mengharukan, penuh

dengan isak tangis kegembiraan. Yakinlah bahwa akan ada pelangi

setelah hujan. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena telah

memberikan secuil kebahagiaan yang sangat berarti bagiku.

Cerpen Karangan: Afdina Melya G.F

Blog: afdinamelya.blogspot.co.id

52
9. Empat Sudut Taman
Cerpen Karangan: Danang Teguh Sasmita
Kategori: Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 20 October 2017

Taman Sari adalah adalah tempat yang terindah di kota Srikaton.

Setidaknya, itulah menurutku. Terletak di daerah pinggiran kota,

tempat ini bisa dibilang jauh dari hiruk pikuk aktifitas kerja warga.

Hanya ada para pencari kedamaian dan kesenangan di sini. Keluarga

yang sedang mencari hiburan, para pelajar yang mungkin sedang

membolos hingga senja menjelang, pemuda dan pemudi yang

sedang pacaran, beberapa orang yang sedang mencari insipirasi, dan

masih banyak lagi. Mereka semua berada di sini.

Ada empat sudut yang menjadi favorit para pengunjung di sini.

Masing-masing sudut memiliki kursi kayu, meja kayu, dan peneduh

yang membuat penggunanya merasa nyaman berada di situ.

Jaka. Ia berada di sudut pertama. Sudut yang paling dekat dengan

jalan. Ia menyukai tempat itu karena ia bisa melihat kendaraan

berlalu lalang di depanya. Tempatnya cukup rimbun dan sejuk

dengan sebuah pohon beringin besar yang tumbuh.

Wajahnya selalu tersenyum kala memandang jalan. Bukan seperti

senyuman orang gila. Tapi sebuah senyum simpul yang penuh

pengharapan pada sesuatu yang dilihatnya.

53
Tapi, apakah hanya sekedar jalanan yang dilihatnya?

Bukan jalanan. Tapi seorang gadis SPG produk kecantikan yang

mangkal di trotoar. Jaka belum tahu namanya. Tapi ia sudah

mengamati gadis itu sejak empat hari lalu. Jaka menyukainya, dan ia

berharap bisa mendapatkanya. Bukan sekedar melamunkanya.

Tapi apa daya, mental Jaka tak sekuat keinginanya. Tiap hari ia cuma

bisa menghitung kata di dalam kepalanya sebagai berikut…

“Kenalan. Tidak. Kenalan. Tidak. Kenalan. Tidak…” Yang pasti akan

berujung pada kata tidak.

Sudut kedua terletak di dekat sebuah pohon cemara gunung. Kira-

kira sekitar dua puluh meter sebelah kiri sudut pertama, dan masih

dekat dengan jalan. Sudut kedua ditempati oleh seorang laki-laki dua

puluh sembilan tahun bernama Mulya. Ia adalah seorang

pengangguran korban pemecatan perusahaanya. Kira-kira sudah dua

bulan lamanya ia tak bekerja. Ia bingung. Mau melamar kerja, tapi

kemarin ia sudah mengirim lamaran kesebelasnya dalam bulan ini.

Dan, belum ada satu panggilan pun. Mau buka usaha, tapi tak punya

modal. Istrinya di rumah tak mungkin terus mengandalkan sisa

pesangonya! Dan, anaknya yang baru berusia tiga tahun mau dikasih

harapan apa jika kondisinya terus seperti ini?!

Mulya merenungi nasibnya. Ia berbisik lirih, “Ya, Tuhan. Aku mesti

gimana?”

54
Sudut ketiga terletak di pojok belakang taman. Paling belakang, dan

terjauh dari jalan raya. Terletak di arah barat daya, dan berbatasan

dengan sebuah sungai yang lumayan lebar dan dalam. Nama sungai

itu adalah: Kali Brantas. Sudut tersebut ditempati oleh seorang gadis

bernama Olivia. Ia adalah seorang anak SMP bau kencur, yang baru

mengenal cinta, dan baru saja merasa tersakiti oleh cinta. Ia

menangis setelah merasa dikhianati oleh pacarnya yang juga bau

kencur: Josef.

Olivia yang masih labil ingin menenggelamkan dirinya ke dalam kali

Brantas. Ia masih gelap mata, dan tak melihat bahwa perjalanan

hidupnya masih panjang. Dan, ia juga tak melihat bahwa

kebahagiaan itu juga tak melulu soal pacaran dengan Josef.

Arus sungai di depanya tampak cukup deras untuk membunuhnya.

Jaka, Mulya, dan Olivia, yang sedang tenggelam dalam gelapnya

kisah masing-masing, dikejutkan oleh seorang gila bernama Bejo.

Bejo, yang hanya memakai pakaian compang-camping, dengan muka

dekil penuh kudis, berlarian mengelilingi taman. Tingkah Bejo

membuat sebagian pengunjung merasa takut dan jijik. Sebagian dari

pengunjung pun memilih pergi dari taman.

Bejo, dengan tingkahnya yang mungkin tanpa didasari akal sehat,

juga berteriak-teriak dalam bahasa Jawa, “Urip kok digawe angel.

Aku wae ra tau mumet. Awakmu sing jik waras kok malah mumet!”

(Hidup kok dibuat susah. Saya saja yang tak sempurna tak pernah

55
memusingkanya. Kalian yang masih waras/sempurna malah

memusingkanya!)

Teriakkan Bejo cukup keras untuk didengar seisi taman. Jaka, Mulya,

dan Olivia tertegun dengan perkataan Bejo. Entah bagaimana cara

mereka memahaminya. Yang pasti, tak lama kemudian, ketiganya

meninggalkan taman dengan pemikiran yang baru di kepala mereka.

Bejo, tak lama kemudian menghampiri sudut keempat yang terletak

di sebelah tenggara taman. Sudut yang juga terletak di tepi sungai.

Bejo menghampiri seseorang yang sedang duduk di situ. Bejo

berkata, “Bro, aku minta rok*knya!” “Nih,” jawab orang itu, sambil

memberikan sebatang rok*k dan korek api. “Thanks, Bro!” ucap

Bejo, setelah menyalakan rok*knya, dan mengembalikan korek api

milik orang itu.

Lalu, pengguna sudut keempat itu dengan iseng bertanya pada Bejo.

“Bro, nanti malam nomor tog*l yang keluar berapa?”

Bejo tersenyum. Ia menjawab, “87, brow!” “Oke!” balas si pengguna

sudut keempat. Tanpa berucap apapun, Bejo lalu meninggalkan si

pengguna sudut keempat.

Ditinggal Bejo, perhatian si pengguna sudut keempat lalu beralih

kembali pada laptopnya di meja taman. Si pengguna sudut keempat

sebenarnya adalah “Aku” yang sedang menulis cerpen ini.

56
Cerpen Karangan: Danang Teguh Sasmita Saya hanyalah pembaca

yang sesekali menulis.

Cerpen Empat Sudut Taman merupakan cerita pendek

karangan Danang Teguh Sasmita, kamu dapat mengunjungi

halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen

57
10. Mencari mati
Ada seorang pemuda bernama somad , tinggal didaerah
penggunungan yang sejuk ,subur dan makmur , dia sekolah di MTS
(madrasah sanawiyah negeri ) di desanya , memiliki kecerdasan diatas
rata-rata dibandingkan teman sebayanya .Terlahir dari anak tunggal pak
karta dan buk karti yang kaya raya di desanya dan rajin beribadah
sehingga terkenal darmawannya seluruh desa .
Atas dasar saran dari gurunya somad melanjutkan pendidikan di
kota besar bersekolah SMA favorit , Tinggal disebuah kos yang tidak
jauh dari tempat sekolahnya dengan fasilitas yang lengkap.
Ketampanan,sopan, dan kepintaran somad membuatnya tidak sulit
bergaul dengan teman-teman SMA favoritnya , Hingga pada suatu saat
somad berkenalan dengan kakak kelas yang hampir menyelesaikan
studinya yang bernama Desi .
Desi ini ternyata pengedar sekaligus pemakai narkoba yang
sudah lama menjadi pecandu , dan pandai mengatur penggunaan
narkoba sehingga tidak sakau saat berada disekolah , dan desi terkenal
di sma yang dimana somad bersekolah pada saat ini , desi terkenal dari
kecantikannya dan kegiatan yang super aktifis dalam organisasi intra
sekolah (osis) .

58
Pada suatu ketika somad mengikuti organisasi yang dimana
desi mengikuti organisasi itu , dan mereka bertemu disuatu acara yang
diadakan oleh pihak sekolah awalnya mereka saling cuek, acuh ,
dikarenakan mereka belum kenal satu sama lain dan somad ini anaknya
sopan dengan kakak tingkatnya , di suatu hal mereka saling menyapa
dan saling kenalan satu sama lain karena dalam satu organisasi harus
kenal satu sama lain agar organisasi itu terlihat kekompakannya sesama
anggota , dan disitu mereka kompak dalam acara apapun , disuatu hal
desi dan somad ditunjuk sebagai pembawa acara disekolahan dan
mereka lebih akrab dan saling bertanya melalui sosmed maupun melalui
sms, atau telephone .
Mereka saling bertukar pikiran dan saling berkontribusi dalam
pembawa acara sekolah ini , dan akhirnya mereka semakin lama dekat
satu sama lain yang dimana si somad ini mengagumi si desi yang
dikarenakan selalu aktifis dan cantik , dan begitu pula si desi yang
mengagumi si somad karena ketampanannya , pintar dan meraka
akhirnya bersahabatan .
Mereka juga mengagumi satu sama lain, dan lama waktu
berjalan si desi mengajak si somad untuk makan di suatu café terkenal
di kota besar , tidak jauh dari tempat mereka tinggal . ketika mereka
ngobrol sangat asik ternyata si desi merasakan tidak enak pada
badannya , lalu kemudian si somad menegur si desi ada apa degan

59
dirimu , dan desi pun terdiam ketika ingin menjawab dari pertanyaan
sisomad , malah desi ingin segera pulang , dan somad tidak tega
melihat desi pulang sendirian yang kondisinya seperti itu , akhir sisomad
mengantarkan si desi pulang kekosan desi.
Agak beberapa lama kemudian mereka sampai di kosan desi .
Somad bertanya kembali , “kenapa desi tidak menjawab pertanyaan
somad tadi ? ” dan desi baru menjawab pertanyaan si somad , “ aku
memang sakit seperti ini , karena ingin merasakan obat “ dan somad
heran dengan perkataan si desi dan bertanya lagi “ kenapa desi kamu
ingin merasakan obat itu , dan apa obat itu sebenarnya ?” , akhir desi
menjawab pertanyaan sisomad dengan jelas “ aku memang senang
dengan obat itu , karena obat itu membuat aku tenang , obat itu adalah
Narkoba , aku emng sudah lama sekali menggunakan obat ini,
semenjak aku pindah sekolah diibukota sebesar ini . Somad
menanyakan kembali kepada desi , “ kenapa kamu lakukan itu ? “ dan
desi menjawab , “karena obat itu segalanya buat aku , dan orang yang
menyayanginya tidak peduli lagi apa yang aku lakukan “ dan somad pun
kaget ketika melihat si desi seperti ini. Dan desi pun memberikan suatu
kantong plastik obat kepada somad , dan somad bertanya “ ini apaan
desi kamu kasih keaku “ dan desi menjawab “ kamu mau ngak nemenin
aku untuk hari ini minum obat itu “ dan somad pun kaget kembali “ apa
??????” , dan awalnya somad menolak dari pemberian si desi , dan

60
desi bebicara kesomad , itu kalo kamu ingin menemaniku , karena kamu
itu sahabat yang selalu aku kagumi dan selalu mengerti keadaan aku
baik itu senang ataupun susah , Dengan pembicaraan desi kepada
somad tadi membuat somad luluh dengan perkataan desi , dan lama
kemudian si somad pun ingin mencoba obat itu , ingin mengetahui rasa
obat tersebut dan ingin membutikan jawaban desi tadi , lama kelamaan
mereka menikmati obat itu dalam kadaan tidak sadar .
Keesokan harinya mereka bersekolah dan somad merasakan
sakit pada badannya yang dia sendiri tidak mengetahui sakitnya apa ?,
ternyata obat tersebut membuat dia ingin mencoba kembali , setelah jam
istirahat dimulai , sisomad mengajak si desi untuk bertemu dengan
tujuan sisomad meminta obat yang semalam mereka nikmati , dan desi
pun memberikan obat tersebut kepada somad, somad pun langsung
meminum obat tersebut , saking lupanya si somad terhadap desi
membuat desi ikut mencoba lagi obat tersebut , ketika mereka sedang
menikmati obat tersebut , tiba-tiba ada salah seorang guru yang lewat
didepan desi dan somad akhirnya sang guru tersebut mecurigai meraka
dengan menghampiri mereka dan guru tersebut langsung mengambil
bukusan obat itu , mereka pun kaget ketika ada seseorang yang
mengambil obat itu . Pas mereka lebih jelas lagi melihat ternyata orang
yang mengambil bukusan obat itu adalah guru disalah satu sma yang
mereka bersekolah, akhirnya mereka dipanggil oleh pihak sekolah.

61
Ketika mereka dipanggil oleh pihak sekolah disitu ternyata ada
orang tua mereka masing-masing yang telah lama dipanggil oleh pihak
sekolah terkaik prestasi mereka berdua , setelah itu orang tua desi dan
somad kaget melihat mereka dipanggil oleh pihak sekolah dalam
keadaan setengah sadar ,dan pihak sekolah menjelaskan kepada orang
tua dan sekaligus memberikan himbauan , dan pihak sekolah pun
memberikan sangsi terhadap mereka berdua dengan mengeluarkan
salah satu dari mereka , akhirnya dengan rasa iba melihat si desi ,
somad pun siap untuk mendapatkan sangsi yang diberikan oleh pihak
sekolah , setelah semua selesai . Somad yang tadi bersekolah dikota
besar akhirnya somad kembali kekampung halamannya , ketika itu
somad mengalami depresi karena masih menempel didalam tubuh
tersebut obat narkoba tersebut dan akhirnya somad terus meminta
orang tuanya uang , agar uang tersebut somad bisa belikan obat itu ,
sampai orang tuanya bangkrut dan sampai rumah pun dijual sama
somad dikarenakan obat tersebut dan orang tua somad sempat marah
besar tapi apa daya sang anak tersebut terus mengamuk apabila tidak
diikuti kemauannya ,akhirnya orang tua somad tinggal disebuah rumah
peninggalannya yang sangat kotor dan tidak layak untuk ditinggal
setelah taunya orang tua somad melihat kelakuan anak tersebut
diusirlah somad dan somad pun dengan kesal dia pergi , sampai
diperjalanan somad merasakan sakit yang bertubi-tubi dan akhirnya

62
somad pun berfikiran untuk bunuh diri , disuatu ketika somad melintasi
jembatan yang dibawahnya air sungai yang cukup deras disitulah somad
berdiri dipinggir sungai untuk terjun kesungai tersebut dengan rasa sakit
yang tidak terbayangkan lagi sama dia , ketika somad ingin melompat
kesungai ada seorang gadis yang cantik melintasi jembatan tersebut
dan menolong somad ini tanpa sadar somad pas dia ingin lompat ada
yang nahan dia saat lompat dan akhirnya mereka tarik-tarikan yang
mengalami jatuh dipinggir jembatan ,walaupun tidak jatuh keair yang
deras tersebut somad menangis terbahak-bahak , sang gadis tersebut
bertanya kenapa kamu terbahak-bahak katanya , dan somad menjawab
“ aku merasakan sakit didalam tubuhku “ dan gadis menjawab apa yang
kamu rasakan sampai kamu merasakan sakit yang seperti ini , dan
akhirnya somad menjelaskan kepada wanita dan intinya somad tersebut
terkenak obat narkoba pada saat dia merantau kekota besar setelah itu
dia diusir dari rumah , dan gadis itu membujuk sisomad untuk tinggal
dirumah gadis tersebut untuk sementara waktu ,ketika mereka berjalan
sampai tujuan rumah gadis tersebut , dan somad menanyakan siapa
nama kamu sampai saat tadi mereka belum kenalan satu sama lain ,
dan gadis tersebut menjawab nama saya siti dan kamu siapa namanya ?
, dan somad menjawab nama aku somad , dan setelah mereka kenal
satu sama lain dalam keadaan jalan menuju rumah gadis tersebut ,
setelah sampai dirumah gadis tersebut ketemulah sama abi dan uminya

63
si siti ini . Siti pun menceritakan keadaan somad sampai saat ini , dan
abinya bilang kesomad iya ngak papa kamu tinggal sementara waktu
disini sampai keadaan kamu pulih lagi , dan somad pun berterima kasih
kepada abi dan uminya siti .
Setelah keesokan harinya si somad dipanggilah oleh abinya siti
bahwasannya abi ini mepunyai banyak pesantren saking banyaknya abi
teledor untuk mengurus semuanya dan ada salah satu pesantren yang
harus kamu rawat kontrol sekaligus kamu mengajar disana , si somad
kaget dengan perkataan abinya siti bahwasannya dia pengen sekali
mengajarkan disalah satu pondok pesatren emng dulu somad juga
pernah mondok disalah satu pesantren , akhirnya , abinya siti
mengucapkan terima kasih sambil tersenyum kepada somad dan somad
begitu juga sebaliknya , somad pun diantarkan ketempat pesatren
tersebut , ternyata pesantren tersebut tempat dia mondok waktu kecil
makanya dia bisa mengajarkan agama kepada santri putra atau santri
wati , dan lamanya berjalan waktu somad yang begitu kenal dengan
obat terlarang tersebut hilang dengan sendirinya , dikarenakan sibuk
dengan kegiatan yang positif yang membangun orang untuk lebih baik
lagi .
Dan abi siti tersebut mengontrol sebulan sekali keadaan pondok
pesantren dan terutama keadaan somad sendiri , dan tiap hari juga siti
mengontrol sekaligus memberikan makanan untuk somad . lama

64
kelamaan si somad pun bisa berangkat umroh dan haji dari hasilnya
sendiri mengajar dipondok pesatren yang didiran oleh abinya siti ,
somad pun sangat bahagia dan senang , tetapi didalam hati kecilnya
ada yang terganjal dikarenakan dari puluhan tahun dia belum ketemu
dengan orang tuanya , setelah somad pulang dari haji dan umroh ,
langsung pamit sama abi dan uminya siti untuk menlihat keadaan orang
tuanya somad dan siti pun ingin ikut bersama somad takut terjadi
kenapa-kenapa , dan somad pun meperbolehkan ikut bersamanya ,
terus tergantung abi dan uminya siti dan umi , abinya siti mengizinkan
mereka untuk mencari orang tua si somad , setelah mereka sampai
tujuan somad pun menangis mengeluarkan air mata yang merasakan
salah pada orang tuanya itu , somad pun langsung menghampiri orang
tuanya dan orang tuanya kaget melihat somad yang berpakaian rapih
dan bersama wanita yang sangat cantik dan somad pun menjelaskan
kepada orang tuanya tentang siti dari awal ketemu , dan orang tuanya
menangis melihat keadaan anaknya sudah berubah bukan kayak dulu
lagi , dan somad bertekad untuk bertanggung jawab atas perbuatannya
dengan cara membelikan rumah dan memberangkatkan haji dan umrah
orang tuanya , dan orang tuanya sangat bangga dengan anaknya yang
sekarang , dan akhirnya mereka bahagia kembali dan somad pun balik
untuk mengantarkan siti ketempat dia bekerja.

65
Disuatu ketika somad kaget dengan kehadiran orang tuanya
kepesatren yang dikelola oleh somad dan semuanya berkumpul
dipondok pesatren tersebut dan termasuk siti juga hadir , dan semua
berkumpul orang tuanya somad dan orang tuanya siti ingin
memperjodohkan mereka berdua dengan keadaan khosnul khotimah ,
akhirnya somad dan siti pun menikah dan hidup bahagia selamanya .

66

Anda mungkin juga menyukai