Kumpulan Cerpenku
Cerpen Karangan: Ima Susiati
Kategori: Cerpen Islami (Religi)
Lolos moderasi pada: 20 October 2017
17
i
ARTI SAHABAT
ii
ARTI SAHABAT
Oleh Muh. Rasyid salam
Editor : Rasyid
Cover & layout : Salam
Pt . sukses makmur
Jalan menuju cemerlang
www.suksesmakmur@gmail.com
@mrasyid_salam
iii
Kata pengantar
iv
masyarakat ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.
Penyusun
v
Daftar isi
vi
1. ARTI SAHABAT
keluar kelas.
2
mengenal arti kehidupan. Seseorang yang kukenal kurang
3
tangannya terlebih dulu saat ku selesai meletakkan tas di
Mata kuliah ke-2 hari ini baru akan dimulai jam 10.15.
4
mata kuliah pertama hanya sebentar. Ternyata Yumna
menangkap kebingunganku.
siapa mereka?
5
Aku mengulurkan tanganku, Ka Rahmah menyambutnya
sambil memelukku seraya berkata. “Ahlan wa sahlan dek di
Kekeluargaan kita. Ternyata kita dari satu daerah ya di
Indonesia” Dengan lembut ia berbisik. Lembut dan hangat,
itulah kesan menyenangkan yang pertama kali tertangkap
olehku. Lewat bisikan Kak Rahmah akhirnya aku faham apa
itu Kekeluargaan. Tak hanya itu, Yumna pun menjelaskan
lebih jauh lagi.
pengetahuannya.
Kekeluargaan.
7
Mendengar jawaban Kak Rahmah aku pun terdiam,
ayat 59. Ada yang aneh kurasa, tanpa pikir panjang kucari
jawabannya.
“Coba baca sekali lagi surat Al-Ahzab ayat 59.” Sergah Kak
8
kerudung. Jilbab dan kerudung yang jelas jauh berbada
Rahmah itu.
saja. Mungkin akan tetap seperti itu. Kini aku sudah hampir
9
Sebelum sholat dhuha, aku pandangi wajah lembut
Allah.
dalam hati.
10
Seusai sholat dhuha, Yumna meraih tanganku lalu
buatannya.
11
2. Sepotong Cinta dalam Diam
Karya Asma Nadia
Perempuan,
Kau pasti tahu sakitnya cinta yang tak terkatakan. Cinta yang
hanya mampu didekap dalam bungkam. Kata orang bahkan
diam berbicara. Tapi menurutku, hal itu tidak berlaku dalam
cinta. Sebab cinta harus diekspresikan dan pantang dibawa
diam. Sebab cinta harusnya dinyatakan, lalu dibuktikan
dengan sikap. Begitu seharusnya cinta. Tapi aku memang
tidak punya pilihan. Maafkan! Sebuah bingkisan dan sepucuk
surat tergeletak di bibir ranjang. Dee memandangnya dengan
keingintahuan yang besar. Matanya yang memiliki kelopak
indah terbuka lebar. Sementara mulutnya sejak tadi
menimbulkan suara gumaman tak jelas. Kedua bola mata
gadis itu tak beranjak juga dari bingkisan dan sepucuk surat
yang ditempel menyatu dengannya.
Paket kesasar, kalau boleh disebut Dee demikian, diterimanya
pagi ini dari tukang pos, lelaki tua yang mengayuh sepeda
dengan susah payah. Dee tidak mengerti mengapa lelaki itu
masih bersikeras mengantar surat hanya dengan sepeda,
sementara tukang pos yang lain telah lama meninggalkan
kendaraan antik itu, beralih ke sepeda motor.
“Buat siapa, Pak?”
Tukang pos itu tak menjawab. Hanya memintaku menerima
paket kesasar itu.
“Kok nggak ada namanya, Pak? Yakin buat di sini?”
Kali ini Pak Pos menggerakkan telunjuknya pada alamat
lengkap yang tertulis di bagian atas amplop yang menempel
pada sebuah paket.
Jl. Kebon Kosong Gg. I no 10 A. Kemayoran, Jakarta Pusat
Dee tersenyum. Kagum dengan konsistensi Pak Pos tua di
depannya. Sejak dulu lelaki itu tak pernah banyak bicara.
Pekerjaannya sendiri memang hanya mengantarkan surat. Jadi
sama sekali bukan kesalahan jika Pak Tua itu melakukannya
12
dengan sedikit bicara atau sekedar menyodorkan amplop.
Lagipula tidak akan ada yang memberinya bonus lebih
seandainya ia bersikap ramah dan sedikit berbasa-basi.
Dee tidak menyalahkan si tukang pos yang tanpa ragu
menyodorkan sebuah bingkisan dengan sepucuk surat
menempel di atasnya ke rumah Dee. Sebab alamatnya
memang tertera jelas.
Masih dengan segudang rasa penasaran Dee membawa
langkahnya masuk ke dalam rumah sambil menenteng paket
dari Pak Pos barusan. Lalu gadis berusia duapuluh tiga tahun
itu menjatuhkan paket di tangannya ke sofa, tempat tiga gadis
lainnya sedang asyik menonton tivi.
Paket meluncur dan jatuh tepat di tengah-tengah sofa. Tiga
gadis kaget, melupakan tontonan seru Oprah Winfrey‟s Show
dan berebut lebih dulu mengambil paket yang jatuh. Andra
yang pertama berhasil merebut paket yang jatuh dekat
pangkuan Ita. Hiruk-pikuk segera terjadi.
Ita berusaha merebut paket yang jatuh di pangkuannya sebab
mengira itu memang ditujukan Dee untuknya. Sementara
Anik tidak mau tinggal diam, ikut bertarung. Adegan a la anak
kecil itu berlangsung cukup seru, setidaknya di mata Dee.
Sayang semua menjadi antiklimaks ketika Andra, Ita, dan
Anik tak menemukan nama yang dituju sang pengirim.
Amplop yang menempel pada bingkisan itu kosong. Hanya
ada sebuah alamat yang ditulis tangan.
Ketiganya lalu mengalihkan pandangan pada Dee yang
barusan menjatuhkan badan ke sofa.
“Dee, paket siapa, nih?”
“Kok nggak ada nama pengirimnya?”
“Boro-boro pengirim. Nama yang dituju aja nggak ada!”
Dee tersenyum, menegakkan duduknya. Kepala gadis itu
dicondongkan ke depan, hingga berhadapan cukup dekat
dengan wajah ketiga temannya.
“Aneh kan?”Andra, Ita, dan Anik mengangguk.
13
“Memang aneh!” Dee menjatuhkan badannya lagi, tertawa
geli sendiri.
“Tidak lucu!” Andra serta-merta menukas.
Anik yang tampak berpikir keras menambahi, “Pengirimnya
pasti memang ingin membuat bingung kita!”
Ita lain lagi pendapatnya, gadis berkulit hitam manis itu
merebut bingkisan di tangan Anik, lalu mendekatkannya ke
telinga, sebelum mengembuskan nafas lega. Ia tak mendengar
suara detak jam dari dalam bingkisan.
“Aman!”
Kesunyian berlangsung. Tidak terlalu lama sebab Dee yang
cerewet dan punya banyak ide langsung mengajukan usul.
“Kita buka saja!” Tiga gadis sebaya di depannya
berpandangan, lalu menggelengkan kepala.
“Kita nggak bisa membuka paket yang bukan untuk kita, Dee.
Itu namanya lancang dan tidak amanah!”
Dee diam lagi. Tapi tidak berapa lama mata bulatnya bersinar
lagi.
“Kalau begitu kita buka, terus kita bungkus lagi, gimana?
Siapa tahu penjelasannya ada di dalam bingkisan ini?”
Andra cepat membantah, “Itu juga nggak boleh Dee. Kita
nggak boleh membuka bingkisan ini, kecuali memang yakin
milik kita. Siap tahu paket ini nyasar ke alamat sebelah.
Mungkin saja kan pengirimnya salah menulis alamat.
Ya, memang mungkin.
Dee mengerutkan kening, bibirnya bergumam tak jelas, khas
gadis itu jika sedang berpikir keras.
“Jadi gimana dong?” Kali ini Ita yang paling tua di antara
mereka angkat bicara,
“Kita biarkan dulu tiga hari. Lihat-lihat, siapa tahu Pak Pos
kembali dan mengatakan paket ini salah alamat. Simpan saja
sementara ini. Ok?”
Dee yang rasa penasarannya sudah melewati ubun-ubun
sebetulnya ingin menolak, tapi tak berdaya. Sebab tiga
rekannya yang lain sepakat dengan ide Ita. Maka beramai-
14
ramai mereka menaruh paket misterius itu ke atas lemari. Lalu
memandanginya lama.
***
Jakarta, tahun ketiga
Perempuan,
Hari-hariku adalah penantian. Perasaan gelisah yang kupikir
tidak mungkin ada kini menjadi rutinitas yang harus kuhadapi.
Dulu, aku memang menghindar dari perasaan itu. Jatuh cinta,
untuk apa? Aku orang miskin yang harus menyelesaikan
sekolah dan seabreg tanggung jawab, sebab Emak, salah satu
perempuan yang kuhormati, telah lama ditinggal mati ayah.
Aku tumbuh menjadi lelaki. Sendiri.
Hidupku bagiku merupakan perjuangan keras tanpa batas. Tak
jarang aku merasa seperti kapal kecil yang berjalan tanpa rasi
bintang. Terapung-apung, sesekali membentur karang, dan
harus berbalik arah.
Namun, melihatmu pertama kali di masjid sore itu.
Hatiku begitu saja bicara: Kau adalah perempuanku.
Takdirku!
Untuk pertama kali hidup tak sekadar mengalir.
Sebab kini aku punya cita-cita.
Hari ketiga, Dee mengangkat paket itu dari atas lemari, lalu
menimang-nimangnya. Hatinya menebak-nebak isi bungkusan
di tangannya.
Tidak terlalu berat. Tidak sampai satu kilo. Dee tahu pasti
sebab barusan ia menaruh bingkisan itu di timbangan. Rasa
ingin tahu mendera dara bertubuh jangkung itu. Seharusnya
teman-temannya menyetujui usul Dee untuk mencoba
menemukan jawaban di dalamnya. Siapa tahu ada label nama
pada isi bingkisan itu. Siapa tahu?
Dee menimang-nimangnya lagi, lalu hati-hati meletakkan
bingkisan itu di pinggir ranjang. Matanya menyusuri huruf
demi huruf tulisan tangan di amplop. Tulisan itu tegas, tegak
lurus, dan jelas. Mengingatkan Dee akan tulisan guru-guru
15
bahasa Indonesianya waktu SMA dulu. Tulisan orang zaman
dulu, begitu teman-temannya sekelas biasa bercanda.
Pasti penulisnya seorang yang serius, pikir Dee lagi. Tulisan
di atas amplop memang jauh dari modern. Begitupun pilihan
amplop. Terkesan oldies. Meski begitu entah mengapa itu
menyiratkan sesuatu yang dalam.
Dee melihat lebih dekat amplop berwarna biru itu. Tampak
guratan-guratan bekas lipitan, juga warna biru yang agak
pudar. Seolah surat itu telah menempuh jarak bertahun-tahun
sebelum tiba di rumah ini.
Dee tahu, ia tak bisa lagi menunggu.
Tangan gadis itu menyobek pinggiran kertas coklat dan
meraih sebuah amplop yang meluncur dari dalamnya. Namun
baru sedikit ia membaca, terdengar langkah mendekati kamar.
Ketika Dee mengangkat wajah, Andra, Ita, dan Anik
menatapnya dengan tangan terlipat di dada, berdiri gagah di
pintu. Terlambat, Dee tak sempat menyembunyikan surat
yang sedang dibacanya. Tak ada kesempatan lagi. Ita
langsung merebut dan mengembalikan surat yang juga tampak
lusuh dan penuh lipitan dan menaruhnya di atas bingkisan.
“Curang!”
Anik mengecam Dee. Tidak hanya itu, Andra dan Ita
menekuk muka mereka. Kegusaran tergambar jelas, bahkan di
dekik pipi Andra yang biasa terlihat ramah.
“Kamu tidak amanah, Dee!” Duh, kata ajaib itu lagi.
Dee memandang ketiga teman satu kosnya dengan paras
merah, seperti maling jemuran yang kepergok. Malu dan tak
enak hati.
“Maafkan aku.” Suasana kaku muncul. Dee tak sanggup
berkata apa-apa lagi. Percuma berpanjang-panjang membela
diri, toh ia memang bersalah.
Empat orang gadis di dalam kamar termangu.
Bingkisan coklat dan amplop berisi surat tergeletak telentang.
Beberapa amplop lagi barusan meluncur dari dalam bingkisan
yang sobek. Dee memandangnya dengan perasaan ingin tahu
16
yang lebih besar. Lelaki dan perempuan tanpa nama, kini
memetakan sederet tanda tanya di kepalanya.
“Maafkan aku,” Dee memecah keheningan, “tapi tidak
mungkin berharap kemajuan hanya dengan menunggu. Sudah
tiga hari lebih.Dee mulai mendapatkan dukungan. Anik
tampak bereaksi. Gadis bertubuh mungil itu manggut-
manggut beberapa kali. Sementara Ita dan Andra tampak
gelisah. Dee tertawa dalam hati, ia kenal kedua sahabatnya
itu. Mereka pasti diam-diam sama penasarannya dengan
dirinya. Surat-surat di dalam amplop yang ditulis dengan tinta
berbeda itu mustahil dilewatkan begitu saja.
“Surat itu indah, kalian harus membacanya.” Dee kembali
memancing.
Andra bangkit, berjalan mondar-mandir. Ita melirik surat yang
bagian pinggirnya sudah disobek. Dee sungguh menyebalkan!
Andra menarik nafas panjang. Lucu memang. Bingkisan itu
bukan milik mereka. Aneh, bagaimana rasa penasaran mereka
terus berkembang seperti balon gas yang diisi udara.
“Masalahnya, kita nggak berhak, Dee. Aku bukannya nggak
penasaran. Surat ini, kalau benar indah seperti katamu, hanya
milik satu orang. Membacanya lebih dulu akan mengurangi
rasa hormat kita terhadap pemilik dan pembuatnya.”
Gagal lagi.
Dee memejamkan matanya. Terbayang sosok lelaki tanpa
nama yang menanti di dekat jendela, berharap balasan atas
surat yang dikirim. Terlukis seorang perempuan tanpa nama,
bertopang dagu, mendekap rindu.
Dee tak sabar! Tapi ia tak bisa bergerak. Andra, Ita, dan Anik
menatapnya dengan mata menukik.
Sebuah bingkisan berwarna coklat dan beberapa pucuk surat.
Dee menatapnya tak berkedip.
***
Jakarta, tahun kedelapan
17
Siapa yang bisa memilih cinta, siapa yang bisa memutuskan
kapan cinta harus hadir dan kepada siapa cinta harus tumbuh?
Tak ada!
Sebab cinta adalah anugrah. Rahasia-Nya yang unik dan
barangkali tak selalu bisa dijelaskan.
Aku mencintaimu, perempuan. Tanpa keraguan. Dan, dengan
keyakinan penuh, aku menjatuhkan pilihan.
Dan aku bukan lelaki yang gampang menentukan pilihan atau
mengubah pilihan yang telah dibuat. Aku adalah lelaki yang
memilih dan sekaligus menerima risiko atas pilihan yang
kubuat. Tak ada kata mundur.
Mereka bilang mustahil. Barangkali ada benarnya.
Tapi bukankah Tuhan adalah tempat bagi semua
kemustahilan? Itulah kenapa, dalam iman yang tak seberapa
selama delapan tahun ini, telah kusandarkan jawaban doa
pada-Nya. Cita-cita untuk bisa menjadi tua bersamamu.
Adapun penantian panjang yang kulalui biarlah menjadi
bagian sejarah betapapun sakit dan membuatku tersiksa.
Memandangmu dalam realita memang perih. Luka di atas
luka tersiram cuka.
Untunglah,
Pada malam-malam, engkau milikku.
Meski dalam mimpi yang kata orang semu.
Dee termangu. Andra dan Ita menahan nafas, sementara Anik
mengusap airmata.
Tidak penting lagi diceritakan bagaimana akhirnya mereka
berempat bisa mendapatkan kata sepakat untuk sama-sama
membaca surat itu. Jeleknya lagi dalam alunan „Knife‟, lagu
80-an yang memerihkan hati.
“Aku penasaran,” Dee tiba-tiba angkat bicara, “sebetulnya apa
sih yang terjadi? Kenapa mereka tidak bisa bersatu?” ujar Dee
lagi dengan pertanyaan yang sedikit norak dan rada-rada
sinetron, tapi sepertinya yang lain tak melihat itu. Mungkin
disergap haru.
18
“Mungkin perempuan itu tidak mencintai dia, Dee,” Ita
menjawab.
“Terus?”
“Tapi lelaki itu sudah memilih dan dia terus menunggu
sampai si perempuan, suatu hari, mencintainya.”
Anik menggelengkan kepala,
“Mungkin lelaki itu mencintai perempuan yang sudah
menikah, makanya jadi mustahil.”
Bodoh! Desis Dee dalam hati. Mengapa membiarkan cinta
yang begitu menguras kesedihan tumbuh begitu dalam?
Dipertahankan lagi! Tapi cinta memang tak bisa memilih. Dan
ternyata itu bukan sekadar judul sinetron atau kalimat-kalimat
klise yang bisa ditemukan di buku-buku picisan.
“Aku nggak ngerti, kenapa surat-surat itu tidak pernah
diposkan sebelumnya? Begitu banyak berlembar-lembar.”
“Lihat nih,” Andra yang sejak tadi tak banyak bersuara,
akhirnya buka mulut, “di surat ini ditulis bahwa sebagian surat
yang lain telah rusak dan tak bisa lagi dibaca karena tertelan
banjir.”
Lucu juga. Tapi Dee merasa keterlaluan kalau sampai tertawa.
Biar bagaimanapun banjir kan tragedi.
Mereka berempat seperti lupa waktu. Sejak tadi masing-
masing memilah-milah surat dan membaca sendiri-sendiri.
Ada seuatu pada kalimat-kalimat si lelaki yang membuat
keempat mahasiswi itu terhipnotis untuk terus mengikuti
kisah si lelaki dan perempuan yang sampai sekarang masih
tanpa nama.
***
Jakarta, tahun kesebelas
Aku melihatmu hari ini. Indah seperti biasa. Kau mengenakan
baju rok n blus bermotif pink dan biru. Dua warna yang
menjadi favoritmu.
Sebelas tahun berlalu, perempuan. Kau tetap satu-satunya
perempuan yang membuatku sabar dan rajin berdoa.
19
Waktu memang telah berlalu sangat cepat tanpa bisa dicegah.
Harus kuakui itu sama sekali tidak mengurangi keindahan
perempuanku. Satu wajah daun sirih yang hitam manis, tawa
cerahmu, dan sorot mata keibuan.
Ketika di tempat-tempat lain ketulusan telah menguap dan
sulit ditemukan, aku pun datang kepadamu. Sebab pada wajah
sederhana namun indah milikmu, kunikmati ketulusan
melimpah.
Maka dalam diam harapan kujahit. Suatu hari aku akan di
sisimu, saat matahari terbit.
Anik kembali menghapus airmatanya. Andra tampak masih
serius dengan sebuah surat di tangannya. Mata sipit
memanjang gadis itu menyusuri kalimat demi kalimat. Di
sampingnya Ita mengikuti.
***
Jakarta, tahun kelimabelas
Perempuan,
Semoga kau bisa melihat perubahan yang telah kubuat dalam
hidup.
Beberapa cerpen telah kutulis, sebagian ada yang telah
dibukukan. Terima kasih telah menjadi sumber abadi
inspirasiku. Semoga kau tidak keberatan. Selalu kutulis inisial
namamu di setiap tulisan. Dengan cara itu aku berusaha terus
bersamamu, menjaga cita-cita. Juga kesetiaan.
Aku tidak menyalahkan jika tak ada yang percaya bagaimana
aku sebagai lelaki yang memiliki kebutuhan bisa tetap sendiri
dan tidak tergoda macam-macam.
Kesalahan mereka adalah mengira aku sendiri. Mereka tidak
memahami wajahmu yang menyapaku setiap pagi di
komputerku. Mereka tidak melihat fotomu yang terselip di
dompetku, meski lusuh dan berukuran sangat kecil (Maafkan
aku mengambilnya tanpa meminta. Tapi foto itu telah
memberiku banyak energi). Mereka juga tidak tahu sosokmu
yang terlukis di dalam hati dan tak pernah pudar, meski
belasan tahun berlalu.
20
Dari jauh kulihat engkau bahagia dengan kehitupanmu. Itu
membuatku senang, meski di satu sisi menorehkan luka.
Bukankah cinta harus bahagia atas kebahagiaan yang dicintai,
dan tidak membiarkan dirusak ego semata?
Perempuanku,
Kau tidak tahu betapa sulitnya untuk tetap dalam ketulusan.
Untuk tidak mengirimkan surat-surat ini padamu sampai
waktunya tiba. Untuk menyimpan cinta dalam diam. Dan
melewati hari dengan hati teriris-iris oleh rindu, cinta,
cemburu.
Pernah aku menangis dan ingin menyerah atas cinta yang Dia
pilihkan untukku. Tapi perempuanku juga keajaiban yang
dikirimkan Tuhan. Untuk anugrah sebesaritu aku hanya perlu
bersabar
Dee meletakkan surat yang membuat dadanya sesak. Berfikir,
perempuan itu sungguh beruntung karena mendapatkan cinta
begitu besar.
“Bingkisan itu isinya kira-kira apa ya? Gimana kalau kita
buka juga?”
Kalimat sekonyong-konyong Dee membuat mata Andra, Ita,
dan Anik melotot. Di dalam kertas coklat itu memang terdapat
sebuah bungkusan lain yang terbalut kertas koran.
“Baca surat aja udah salah, Dee! Masa kita mau buka
bingkisan itu juga.”
“Aku penasaran.”
“Lalu penasaran itu memberimu hak untuk melanggar privacy
orang?”
Dee kena batunya. Andra tersenyum puas. Ita dan Anik
kembali asyik membaca surat-surat. Belum ada kemajuan.
Mereka tak menemukan nama atau petunjuk lain yang lebih
spesifik. Padahal setelah membaca surat-surat itu keinginan
keempat gadis itu menjadi lebih besar untuk menyampaikan
bingkisan dan surat-surat tersebut kepada yang berhak.
Dee memilih sebuah surat, lalu memutuskan membacanya
keras-keras.
21
“Ini surat terbaru dan terpanjang…”
Dee mulai membaca dengan perlahan.
***
Jakarta, tahun kedelapanbelas
Cinta,
Aku harap surat ini sampai padamu. Sekaligus kukirimkan
surat-surat sebelumnya yang tak pernah kukirim.
Hanya dua alasan yang membuatku mengirimkan surat ini,
beserta sebuah bingkisan yang telah kusiapkan sejak delapan
tahun lalu dan selalu kusimpan dengan baik.
Sejak pertama aku mengenalmu, telah kutekadkan untuk
menyerahkan semua ungkapan perasaan dan bukti
kesungguhanku padamu, jika masanya tiba. Jika Allah
memberi pertanda dan membuang satu kemustahilan sehingga
aku bisa bersamamu. Kedua, jika aku merasa waktuku akan
tiba tak lama lagi.
Tiga tahun ini kesehatanku memang kurang baik. Satu-
satunya yang kusesali adalah itu membuatku tak bisa lagi
mengejar wajahmu, dan menikmati keindahan dan ketulusan.
Hal yang dulu selalu kulakukan, memandangmu dari jauh.
Dari depan rumah di mana daun-daun nusaindah terserak.
Melihatmu berbicara dan tertawa membuatku merasa hidup.
Barangkali memang harus begini ketentuan Allah. Bahwa
selamanya aku hanya bisa memilikimu dalam angan, harapan,
dan impian. Tidak lebih.
Tapi, perempuan,
Tak pernah kusesali pilihan yang kubuat. Sebab, bisa
memiliki harapan untuk bersamamu lebih dari cukup bagiku.
Sebab, seperti yang pernah kukatakan, sebelumnya aku tak
pernah punya cita-cita. Dan perempuanku memberiku cita-cita
itu.
Aku mencintaimu. Teramat sangat, pada batas terdalam cinta
yang mungkin dirasakan seseorang. Dan telah pula
kubuktikan semampuku.
22
Delapanbelas tahun meneropong kebahagiaanmu. Melihat
anak-anakmu tumbuh besar, memberiku rasa aman. Sebab,
kini aku tahu, sekalipun aku tak ada, mereka akan menjadi
perisai dan pelindung yang baik bagimu.
Bingkisan ini harus kusampaikan kepadamu sebagai bagian
dari harapan indah yang kubangun.
entah tangan siapa yang memulai menyobek bingkisan dengan
sampul kertas koran itu. Di dalamnya tampak sebuah kertas
kado dengan bunga-bunga kecil warna pink dan biru.
Semua terpana. Dee menunggu persetujuan Andra, Ita, dan
Anik sebelum menyobek kertas kado dan terperangah melihat
isinya. Di dalamnya terdapat kotak berisi mukena dan sarung
merah jambu berenda, satu Al Quran dan sejumlah uang
dalam jumlah yang ganjil. Juga sebuah cincin bermata satu
dalam wadah hati berwarna biru.
Dee merasa matanya berair. Anik menghapus airmata yang
mengalir deras. Sementara, Ita dan Andra tak urung
menitikkan butiran kristal serupa.
Di dekat mereka, surat-surat berbeda tahun tergeletak
berantakan di lantai. Sebagian hurufnya ada yang pudar dan
tak bisa dibaca, sebagian lagi tertimpa airmata baru yang
menetes dari keempat gadis yang meratapi kisah cinta yang
lara dari lelaki tanpa nama untuk perempuan tanpa nama.
Bingkisan ini harus kusampaikan kepadamu sebagai bagian
dari harapan indah yang kubangun. Dulu aku selalu
membayangkan memberikannya langsung kepadamu,
sekaligus bersimpuh di lutut dan mengucapkan kata-kata
lamaran yang layak dikenang dalam sisa hidup. Melamarmu
dalam suasana suci, ketika mencintaiku tidak lagi menjadi
halangan bagimu.
Delapanbelas tahun mencintaimu dalam diam. Sebentar lagi
mungkin habis waktuku. Tapi tak pernah kusesali hari ketika
aku melihatmu di teras masjid.
Terimakasih Tuhan atas cinta sekali yang Kau beri.
23
1
http://sastrabanget.com/2015/11/02/cerpen-sepotong-cinta-
dalam-diam-karya-asma-nadia/
kemungkinan lainkah?
sekitarnya.
1
http://sastrabanget.com/2015/11/02/cerpen-sepotong-cinta-
dalam-diam-karya-asma-nadia/
24
Ia sudah duduk di sana selama 40 menit. 10 menit lebih
25
Segelas jus sirsak tersaji di depan Safa. Ia menatap haus
kepada jus itu, tapi tetap kekeuh tidak akan minum hingga
26
pertanyaannya sendiri. Ayolah ia baru 1 bulan menjadi
menjawabnya.
berbicara?”
rekan saya kan bu?” “Ah ya. Di mana anda sekarang? Saya
etdah nih ibu, 3 menit juga, lagian siapa yang suruh telat?
“Baik bu, saya balik lagi. Tadi karena menunggu 1 jam dan
27
seorang perempuan. Kenapa Dafa tidak memberikan foto
28
Ya, Safa ingat itu. Ia ingat. Dihirupnya napas pelan lalu
kantornya.
2
http://cerpenmu.com/100-cerpen-kiriman-terbaru
29
4. Spring Love Story
Cerpen Karangan: Dilla Park
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 21 October 2017
30
Gara-gara sibuk bekerja, ia jadi lupa akan satu hal. Dia
manapun.
31
Waktu demi waktu, ia dan guske telah menjadi teman yang
yang terjadi.
32
END
33
5. Pencurian Di Sekolah
Cerpen Karangan: Portgas D Fahri
Kategori: Cerpen Misteri, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 21 October 2017
pura pura tidak tahu.” “Aku memang tidak tahu apa yang
Rizki.
34
kau pencurinya.” Ujar Rizki. Baiklah aku akan buktikan
92 Semoga beruntung
“Yaa.”
35
Jawabku
pada
36
“Mudah saja, aku hanya perlu memisahkan angka 12, 5, 13, 1, 18,
kelasku yang kebetulan adalah kelas 9B. Dan aku mengambil semua
37
6. Benderaku Yang Hilang
Cerpen Karangan: Nkt Zkf
Kategori: Cerpen Nasionalisme, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 21 October 2017
sangsaka merah putih ini banyak jiwa yang telah terkoban, banyak
istri yang menjadi janda dan anak menjadi yatim piatu. Peperangan
baliknya.
tempat sangsaka merah putih berkibar kini tampak sepi dan semakin
hari semakin ditinggalkan.
38
Aku ingin sekali menghormati benderaku dan menyanyikan lagu
tapi tak ada satu pun yang dapat menjawabnya. Mereka acuh dan
banggakan itu.
39
aku kehilangan jiwa nasionalismeku. Aku kini menjadi remaja yang
tak beridentitas.
40
7. Cermin Masa Depan
Cerpen Karangan: Betry Silviana
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Horor (Hantu)
Lolos moderasi pada: 20 October 2017
itu. Mata Damian terpaku memandangi cermin antik yang baru saja
ia temukan itu.
padanya.
dari mana. “Siapa kau? Kenapa kau ada di sini? Bagaimana caranya
yang hinggap di hatinya saat menatap pria itu. Pria itu tersenyum
41
“Kau tak perlu takut padaku! Sekarang kau adalah pemilik cermin
masa depanku? Lebih baik kamu pergi sekarang, atau aku akan …”
“Akan apa? Memukulku?” potong pria itu, “Kau tak perlu repot-repot
Setiap kali kau menggunakan cermin masa depan, kau harus siap
kembali memandangi cermin antik itu. Apa benar cermin ini bisa
42
kali ia mencubit tangannya, memastikan bahwa dirinya tak sedang
bermimpi.
seorang diri. Entah kenapa pagi-pagi sekali ayah sudah tak ada di
perpustakaan.
BRUK!
“Maaf, aku nggak sengaja.” “Nggak apa-apa. Aku juga salah, kok.”
Malam kali ini terasa sunyi. Ayah belum juga pulang ke rumah.
“Damian! Ibu pergi dulu sebentar,” teriak Ibu. Tak lama kemudian
43
berusaha merangkai kata-kata yang ada di otaknya untuk dijadikan
tahun!”
orang yang kekurangan gizi. Tak terlihat siapa pun di rumah. mata
Damian terbelalak saat melihat apa yang ditampilkan oleh cermin itu.
“Ini nggak mungkin! Kenapa aku seperti itu? ke mana Ayah dan
Tiba-tiba sosok ayah dan ibu Damian muncul dari cermin antik.
Cermin itu sama sekali tak pecah, masih utuh seperti semula.
“Percuma saja, cermin itu nggak akan pecah sama sekali,” ucap
padamu, kau boleh menggunakan cermin itu sesuka hatimu tapi kau
44
pria itu tertawa mengerikan. Ia lalu menghilang disertai hembusan
Damian tak tahu harus berbuat apa lagi untuk mengeluarkan ayah
45
8. Danau Sejuta Kenangan
Cerpen Karangan: Afdina Melya G.F
Kategori: Cerpen Perpisahan, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 21 October 2017
ini menjadi hari yang menyenangkan. Karena sebentar lagi aku akan
buatan yang diberi nama Danau Telaga Warna. Danau Telaga Warna
masih asri dan terawat, karena jauh dari hiruk pikuk kesibukan
keluarga.
46
Maka tak heran apabila kami selalu bermain bersama di danau
tersebut. Banyak sekali suka duka yang kami lalui bersama di danau
kami bertiga.
lantang.
ibuku memperingatkanku. “Hehe, iya Bu. Gak usah, nanti juga beres
Yogyakarta.
aku langsung ke luar dari rumah. Teriakan lantang ibuku yang masih
Telaga Warna. Prediksiku tepat. Sudah ada Sinta di sana. Aku segera
menghampirinya.
47
“Dor! Mikirin Fian ya? Hehehe,” godaku seraya menepuk bahu Sinta.
“Hush ngawur! Ya enggak lah, aku tuh lagi nungguin kamu sama
Fian, ke mana aja sih, lama banget?” seloroh Sinta memasang muka
bete.
“Iya deh, maaf. Fian mana?” tanyaku sambil memencet hidung Sinta.
“Kamu kenapa telat lagi sih Yan? Dikejar anjingnya Pak Widodo lagi?”
ledek Sinta sambil menatap Fian tajam. Sinta memang paling tidak
“Wah wah wah, ada yang ngambek nih, maaf ya. Aku tuh tadi ke
danau. Terus aku ke sini deh,” ucap Alfian yang masih terengah-
engah.
“Nah, sekarang aku yang tanya, kenapa kamu nyuruh kita ke sini?”
selidik Sinta langsung pada apa yang ingin diketahuinya. Aku diam
Hingga aku tak sadar bahwa Sinta dan Alfian masih menantikan
penjelasanku.
“Aku… pengen ngomong sesuatu ke kalian. Dan aku harap kalian gak
48
marah…” ucapku lirih. “Gak akan, kita gak bakal marah,” potong Fian
rencananya aku akan pindah ke sana sekitar empat hari lagi. Aku
minta maaf kalau aku punya banyak salah sama kalian,” ucapku
sedang aku rasakan. Aku melirik Fian yang masih menatapku tak
merasa bersalah.
jangan nangis lagi. Aku pengen lihat Afdina yang ceria kaya dulu lagi.
Kita ikut seneng kok kamu bisa diterima di sana, iya kan, Yan?”
“Eh, i-i-ya kok, Af.” ucap Fian kikuk. “Kalau balik ke sini jangan lupa
oleh-olehnnya lho, Af.” celoteh Sinta berusaha untuk tetap riang. Aku
tersenyum lega.
“Pulang yuk, udah mau malam nih,” pinta Sinta. Maklum, diantara
kami bertiga, rumah Sinta lah yang terletak paling jauh dari danau.
“Oke!” ucapku dan Alfian serempak. Aku, Sinta, dan Alfian segera
malam.
49
kenangan. Seperti hari itu. Hari itu adalah hari terakhirku bisa
dzuhur, aku pergi ke danau, lagi. Tapi kali ini, aku sendiri. Tidak
terdengar.
mesra
50
Aku segera menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Sinta dan Alfian
“Af, aku minta maaf kalau aku punya banyak salah sama kamu, aku
sering iseng sama kamu, aku sering ngambek gak jelas sama kalian.
Dan satu lagi, mungkin ini terakhir kalinya kita bisa kumpul bareng di
sini, aku diterima di Pondok Pesantren, Bogor.” “Aku juga Af, aku
minta maaf kalau aku punya banyak salah sama kamu. Kesalahanmu
juga udah aku maafin kok, kamu yang sering pencet hidung aku,
kamu yang sering telat, dan lain-lain. Mungkin Fian benar, ini
terakhir kalinya kita bisa bareng ke danau ini, ini terakhir kalinya kita
“Aku.. juga minta maaf sama kalian, karena aku tahu aku punya
banyak salah sama kalian. Kesalahan kalian juga sudah aku maafin
kok, kalian yang sering nyontek PR aku, kalian yang pernah nyeburin
51
jadikan perpisahan suatu peristiwa yang mengharukan, penuh
Blog: afdinamelya.blogspot.co.id
52
9. Empat Sudut Taman
Cerpen Karangan: Danang Teguh Sasmita
Kategori: Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 20 October 2017
tempat ini bisa dibilang jauh dari hiruk pikuk aktifitas kerja warga.
53
Tapi, apakah hanya sekedar jalanan yang dilihatnya?
mengamati gadis itu sejak empat hari lalu. Jaka menyukainya, dan ia
Tapi apa daya, mental Jaka tak sekuat keinginanya. Tiap hari ia cuma
kira sekitar dua puluh meter sebelah kiri sudut pertama, dan masih
dekat dengan jalan. Sudut kedua ditempati oleh seorang laki-laki dua
Dan, belum ada satu panggilan pun. Mau buka usaha, tapi tak punya
pesangonya! Dan, anaknya yang baru berusia tiga tahun mau dikasih
gimana?”
54
Sudut ketiga terletak di pojok belakang taman. Paling belakang, dan
terjauh dari jalan raya. Terletak di arah barat daya, dan berbatasan
dengan sebuah sungai yang lumayan lebar dan dalam. Nama sungai
itu adalah: Kali Brantas. Sudut tersebut ditempati oleh seorang gadis
bernama Olivia. Ia adalah seorang anak SMP bau kencur, yang baru
kencur: Josef.
Aku wae ra tau mumet. Awakmu sing jik waras kok malah mumet!”
(Hidup kok dibuat susah. Saya saja yang tak sempurna tak pernah
55
memusingkanya. Kalian yang masih waras/sempurna malah
memusingkanya!)
Teriakkan Bejo cukup keras untuk didengar seisi taman. Jaka, Mulya,
berkata, “Bro, aku minta rok*knya!” “Nih,” jawab orang itu, sambil
Lalu, pengguna sudut keempat itu dengan iseng bertanya pada Bejo.
56
Cerpen Karangan: Danang Teguh Sasmita Saya hanyalah pembaca
57
10. Mencari mati
Ada seorang pemuda bernama somad , tinggal didaerah
penggunungan yang sejuk ,subur dan makmur , dia sekolah di MTS
(madrasah sanawiyah negeri ) di desanya , memiliki kecerdasan diatas
rata-rata dibandingkan teman sebayanya .Terlahir dari anak tunggal pak
karta dan buk karti yang kaya raya di desanya dan rajin beribadah
sehingga terkenal darmawannya seluruh desa .
Atas dasar saran dari gurunya somad melanjutkan pendidikan di
kota besar bersekolah SMA favorit , Tinggal disebuah kos yang tidak
jauh dari tempat sekolahnya dengan fasilitas yang lengkap.
Ketampanan,sopan, dan kepintaran somad membuatnya tidak sulit
bergaul dengan teman-teman SMA favoritnya , Hingga pada suatu saat
somad berkenalan dengan kakak kelas yang hampir menyelesaikan
studinya yang bernama Desi .
Desi ini ternyata pengedar sekaligus pemakai narkoba yang
sudah lama menjadi pecandu , dan pandai mengatur penggunaan
narkoba sehingga tidak sakau saat berada disekolah , dan desi terkenal
di sma yang dimana somad bersekolah pada saat ini , desi terkenal dari
kecantikannya dan kegiatan yang super aktifis dalam organisasi intra
sekolah (osis) .
58
Pada suatu ketika somad mengikuti organisasi yang dimana
desi mengikuti organisasi itu , dan mereka bertemu disuatu acara yang
diadakan oleh pihak sekolah awalnya mereka saling cuek, acuh ,
dikarenakan mereka belum kenal satu sama lain dan somad ini anaknya
sopan dengan kakak tingkatnya , di suatu hal mereka saling menyapa
dan saling kenalan satu sama lain karena dalam satu organisasi harus
kenal satu sama lain agar organisasi itu terlihat kekompakannya sesama
anggota , dan disitu mereka kompak dalam acara apapun , disuatu hal
desi dan somad ditunjuk sebagai pembawa acara disekolahan dan
mereka lebih akrab dan saling bertanya melalui sosmed maupun melalui
sms, atau telephone .
Mereka saling bertukar pikiran dan saling berkontribusi dalam
pembawa acara sekolah ini , dan akhirnya mereka semakin lama dekat
satu sama lain yang dimana si somad ini mengagumi si desi yang
dikarenakan selalu aktifis dan cantik , dan begitu pula si desi yang
mengagumi si somad karena ketampanannya , pintar dan meraka
akhirnya bersahabatan .
Mereka juga mengagumi satu sama lain, dan lama waktu
berjalan si desi mengajak si somad untuk makan di suatu café terkenal
di kota besar , tidak jauh dari tempat mereka tinggal . ketika mereka
ngobrol sangat asik ternyata si desi merasakan tidak enak pada
badannya , lalu kemudian si somad menegur si desi ada apa degan
59
dirimu , dan desi pun terdiam ketika ingin menjawab dari pertanyaan
sisomad , malah desi ingin segera pulang , dan somad tidak tega
melihat desi pulang sendirian yang kondisinya seperti itu , akhir sisomad
mengantarkan si desi pulang kekosan desi.
Agak beberapa lama kemudian mereka sampai di kosan desi .
Somad bertanya kembali , “kenapa desi tidak menjawab pertanyaan
somad tadi ? ” dan desi baru menjawab pertanyaan si somad , “ aku
memang sakit seperti ini , karena ingin merasakan obat “ dan somad
heran dengan perkataan si desi dan bertanya lagi “ kenapa desi kamu
ingin merasakan obat itu , dan apa obat itu sebenarnya ?” , akhir desi
menjawab pertanyaan sisomad dengan jelas “ aku memang senang
dengan obat itu , karena obat itu membuat aku tenang , obat itu adalah
Narkoba , aku emng sudah lama sekali menggunakan obat ini,
semenjak aku pindah sekolah diibukota sebesar ini . Somad
menanyakan kembali kepada desi , “ kenapa kamu lakukan itu ? “ dan
desi menjawab , “karena obat itu segalanya buat aku , dan orang yang
menyayanginya tidak peduli lagi apa yang aku lakukan “ dan somad pun
kaget ketika melihat si desi seperti ini. Dan desi pun memberikan suatu
kantong plastik obat kepada somad , dan somad bertanya “ ini apaan
desi kamu kasih keaku “ dan desi menjawab “ kamu mau ngak nemenin
aku untuk hari ini minum obat itu “ dan somad pun kaget kembali “ apa
??????” , dan awalnya somad menolak dari pemberian si desi , dan
60
desi bebicara kesomad , itu kalo kamu ingin menemaniku , karena kamu
itu sahabat yang selalu aku kagumi dan selalu mengerti keadaan aku
baik itu senang ataupun susah , Dengan pembicaraan desi kepada
somad tadi membuat somad luluh dengan perkataan desi , dan lama
kemudian si somad pun ingin mencoba obat itu , ingin mengetahui rasa
obat tersebut dan ingin membutikan jawaban desi tadi , lama kelamaan
mereka menikmati obat itu dalam kadaan tidak sadar .
Keesokan harinya mereka bersekolah dan somad merasakan
sakit pada badannya yang dia sendiri tidak mengetahui sakitnya apa ?,
ternyata obat tersebut membuat dia ingin mencoba kembali , setelah jam
istirahat dimulai , sisomad mengajak si desi untuk bertemu dengan
tujuan sisomad meminta obat yang semalam mereka nikmati , dan desi
pun memberikan obat tersebut kepada somad, somad pun langsung
meminum obat tersebut , saking lupanya si somad terhadap desi
membuat desi ikut mencoba lagi obat tersebut , ketika mereka sedang
menikmati obat tersebut , tiba-tiba ada salah seorang guru yang lewat
didepan desi dan somad akhirnya sang guru tersebut mecurigai meraka
dengan menghampiri mereka dan guru tersebut langsung mengambil
bukusan obat itu , mereka pun kaget ketika ada seseorang yang
mengambil obat itu . Pas mereka lebih jelas lagi melihat ternyata orang
yang mengambil bukusan obat itu adalah guru disalah satu sma yang
mereka bersekolah, akhirnya mereka dipanggil oleh pihak sekolah.
61
Ketika mereka dipanggil oleh pihak sekolah disitu ternyata ada
orang tua mereka masing-masing yang telah lama dipanggil oleh pihak
sekolah terkaik prestasi mereka berdua , setelah itu orang tua desi dan
somad kaget melihat mereka dipanggil oleh pihak sekolah dalam
keadaan setengah sadar ,dan pihak sekolah menjelaskan kepada orang
tua dan sekaligus memberikan himbauan , dan pihak sekolah pun
memberikan sangsi terhadap mereka berdua dengan mengeluarkan
salah satu dari mereka , akhirnya dengan rasa iba melihat si desi ,
somad pun siap untuk mendapatkan sangsi yang diberikan oleh pihak
sekolah , setelah semua selesai . Somad yang tadi bersekolah dikota
besar akhirnya somad kembali kekampung halamannya , ketika itu
somad mengalami depresi karena masih menempel didalam tubuh
tersebut obat narkoba tersebut dan akhirnya somad terus meminta
orang tuanya uang , agar uang tersebut somad bisa belikan obat itu ,
sampai orang tuanya bangkrut dan sampai rumah pun dijual sama
somad dikarenakan obat tersebut dan orang tua somad sempat marah
besar tapi apa daya sang anak tersebut terus mengamuk apabila tidak
diikuti kemauannya ,akhirnya orang tua somad tinggal disebuah rumah
peninggalannya yang sangat kotor dan tidak layak untuk ditinggal
setelah taunya orang tua somad melihat kelakuan anak tersebut
diusirlah somad dan somad pun dengan kesal dia pergi , sampai
diperjalanan somad merasakan sakit yang bertubi-tubi dan akhirnya
62
somad pun berfikiran untuk bunuh diri , disuatu ketika somad melintasi
jembatan yang dibawahnya air sungai yang cukup deras disitulah somad
berdiri dipinggir sungai untuk terjun kesungai tersebut dengan rasa sakit
yang tidak terbayangkan lagi sama dia , ketika somad ingin melompat
kesungai ada seorang gadis yang cantik melintasi jembatan tersebut
dan menolong somad ini tanpa sadar somad pas dia ingin lompat ada
yang nahan dia saat lompat dan akhirnya mereka tarik-tarikan yang
mengalami jatuh dipinggir jembatan ,walaupun tidak jatuh keair yang
deras tersebut somad menangis terbahak-bahak , sang gadis tersebut
bertanya kenapa kamu terbahak-bahak katanya , dan somad menjawab
“ aku merasakan sakit didalam tubuhku “ dan gadis menjawab apa yang
kamu rasakan sampai kamu merasakan sakit yang seperti ini , dan
akhirnya somad menjelaskan kepada wanita dan intinya somad tersebut
terkenak obat narkoba pada saat dia merantau kekota besar setelah itu
dia diusir dari rumah , dan gadis itu membujuk sisomad untuk tinggal
dirumah gadis tersebut untuk sementara waktu ,ketika mereka berjalan
sampai tujuan rumah gadis tersebut , dan somad menanyakan siapa
nama kamu sampai saat tadi mereka belum kenalan satu sama lain ,
dan gadis tersebut menjawab nama saya siti dan kamu siapa namanya ?
, dan somad menjawab nama aku somad , dan setelah mereka kenal
satu sama lain dalam keadaan jalan menuju rumah gadis tersebut ,
setelah sampai dirumah gadis tersebut ketemulah sama abi dan uminya
63
si siti ini . Siti pun menceritakan keadaan somad sampai saat ini , dan
abinya bilang kesomad iya ngak papa kamu tinggal sementara waktu
disini sampai keadaan kamu pulih lagi , dan somad pun berterima kasih
kepada abi dan uminya siti .
Setelah keesokan harinya si somad dipanggilah oleh abinya siti
bahwasannya abi ini mepunyai banyak pesantren saking banyaknya abi
teledor untuk mengurus semuanya dan ada salah satu pesantren yang
harus kamu rawat kontrol sekaligus kamu mengajar disana , si somad
kaget dengan perkataan abinya siti bahwasannya dia pengen sekali
mengajarkan disalah satu pondok pesatren emng dulu somad juga
pernah mondok disalah satu pesantren , akhirnya , abinya siti
mengucapkan terima kasih sambil tersenyum kepada somad dan somad
begitu juga sebaliknya , somad pun diantarkan ketempat pesatren
tersebut , ternyata pesantren tersebut tempat dia mondok waktu kecil
makanya dia bisa mengajarkan agama kepada santri putra atau santri
wati , dan lamanya berjalan waktu somad yang begitu kenal dengan
obat terlarang tersebut hilang dengan sendirinya , dikarenakan sibuk
dengan kegiatan yang positif yang membangun orang untuk lebih baik
lagi .
Dan abi siti tersebut mengontrol sebulan sekali keadaan pondok
pesantren dan terutama keadaan somad sendiri , dan tiap hari juga siti
mengontrol sekaligus memberikan makanan untuk somad . lama
64
kelamaan si somad pun bisa berangkat umroh dan haji dari hasilnya
sendiri mengajar dipondok pesatren yang didiran oleh abinya siti ,
somad pun sangat bahagia dan senang , tetapi didalam hati kecilnya
ada yang terganjal dikarenakan dari puluhan tahun dia belum ketemu
dengan orang tuanya , setelah somad pulang dari haji dan umroh ,
langsung pamit sama abi dan uminya siti untuk menlihat keadaan orang
tuanya somad dan siti pun ingin ikut bersama somad takut terjadi
kenapa-kenapa , dan somad pun meperbolehkan ikut bersamanya ,
terus tergantung abi dan uminya siti dan umi , abinya siti mengizinkan
mereka untuk mencari orang tua si somad , setelah mereka sampai
tujuan somad pun menangis mengeluarkan air mata yang merasakan
salah pada orang tuanya itu , somad pun langsung menghampiri orang
tuanya dan orang tuanya kaget melihat somad yang berpakaian rapih
dan bersama wanita yang sangat cantik dan somad pun menjelaskan
kepada orang tuanya tentang siti dari awal ketemu , dan orang tuanya
menangis melihat keadaan anaknya sudah berubah bukan kayak dulu
lagi , dan somad bertekad untuk bertanggung jawab atas perbuatannya
dengan cara membelikan rumah dan memberangkatkan haji dan umrah
orang tuanya , dan orang tuanya sangat bangga dengan anaknya yang
sekarang , dan akhirnya mereka bahagia kembali dan somad pun balik
untuk mengantarkan siti ketempat dia bekerja.
65
Disuatu ketika somad kaget dengan kehadiran orang tuanya
kepesatren yang dikelola oleh somad dan semuanya berkumpul
dipondok pesatren tersebut dan termasuk siti juga hadir , dan semua
berkumpul orang tuanya somad dan orang tuanya siti ingin
memperjodohkan mereka berdua dengan keadaan khosnul khotimah ,
akhirnya somad dan siti pun menikah dan hidup bahagia selamanya .
66