Anda di halaman 1dari 17

Bintang

Nia, duduk di samping jendela, dibawah sinar lampu yang temaram. Lalu
memandang langit yang gelap, hanya ada rembulan yang memantulkan sebagian
dari cahaya matahari. Tidak ada bintang yang terlihat, semua bersembunyi dibalik
awan, barangkali malu untuk di lihat, ujarnya dalam hati seraya tersenyum. Angin
malam berhembus sepoi-sepoi, solah-olah menghembuskan udara pada wajahnya
yang lembut. Awan bergerak perlahan, memberikan seni tersendiri di kegelapan
malam. Ahh, ternyata hanya ada satu bintang di balik awan, senyumnya tersungging
di balik bibirnya yang mungil. Ya Rabb, ternyata setitik cahaya pun bisa memberikan
keindahan yang luar biasa di atas luasnya langit yang gelap di malam hari itu. Ah,
kemudian ketika membuka jendela, memandang langit kemudian menemukan
bintang dia tak mencoba menatap awan tapi menutup jendela kembali, dia tidak
akan menemukan bintang yang tersembunyi di balik awan.

Seperti setitik bintang di kegelapan malam, terkadang kita tak menyadari ada
berbagai cahaya kecil dalam malam yang gelap, yang sering disebut dengan
“bintang”. Betapa indahnya cahaya itu walaupun tak bisa menerangi malam. Tetapi,
lain halnya ketika kita melihat ada setitik noda di atas kain putih yang membentang.
Kita justru terfokus pada noda yang kecil, sehingga seolah-olah lupa betapa
bersihnya kain itu terlepas dari setitik noda yang ada, kemudian mungkin bisa hilang
hanya dengan sedikit detergent pemutih. Itulah hidup, terkadang kita lupa untuk
memandang sesuatu dari sisi lain yang dimiliki

Aku, memiliki seorang murid yang saya pikir kecerdasannya kurang menonjol
dibanding murid lainnya. Pada suatu hari, ketika kami tengah membicarakan sistem
tata surya, hanya sebagai pengetahuan kalau bumi merupakan salah satu planet
dalam sistem tata surya yang menjadi tempat tinggal manusia, murid saya itu, sebut
saja namanya Rimba, tiba-tiba berdiri dan mengambil helm milik guru lain yang
disimpan diatas loker dalam ruang kelas lalu memakainya. Tanpa saya sadari saya
berkata kepadanya :”Wah,,,teman-teman, lihat!! Rimba memakai helm, seperti
astronot yang mau terbang ke bulan ya…”. Kemudian teman-temannya memandang
ke arahnya, lalu dia tersenyum, spontan helmnya langsung di lepas kemudian
dikembalikan ke tempat semula, tanpa harus disuruh untuk mengembalikan. lalu
saya mengajak mereka untuk menggambar roket di atas kertas putih yang tersedia.
Dan hasilnya, Subhanallah, murid yang saya pikir kecerdasannya kurang menonjol
itu justru tahapan menggambarnya dua tingkat lebih tinggi dibanding murid yang
saya pikir paling pandai di kelas.

Seandainya saja saya memberikan reaksi yang lain seperti :”Rimba, silakan
dikembalikan helmnya karena sekarang saatnya kita belajar”, atau :”Maaf, silakan
dikembalikan helmnya kemudian Rimba belum minta ijin bu guru”, atau yang lainya,
lalu saya tidak akan pernah tahu bahwa kecerdasan dia sudah lebih dari apa yang
saya sangka, kemudian pembahasan hari itu bukan tentang astronot atau roket.
Atau barangkali saya membutuhkan lebih dari satu kalimat perintah untuk dapat
membuatnya mengembalikan helm ke tempat semula.

Berbeda – beda reaksi yang muncul, ketika kita memandang bintang di kegelapan
malam walaupun setitik noda di selembar kain putih, ternyata begitu memberikan
hasil yang begitu berbeda juga. Hidup ini indah, lalu kita memandang sesuatu dari
sisi yang lain, namun yang tampak bukan hanya sekedar 2 dimensi. Bukankah lebih
seru saat kita melihat film 3 dimensi???

Matahari Pun Tak Bosan


Saat ku bangkit setelah lama ambil posisi jongkok menyaksikan kejadian saat
menimpa embun. Mentari pun memulai meninggi, lalu diam – diam membasahi
semua ragaku dengan cahaya kuningnya yang bersinar lembut. Kemudian
kugerakan seluruh ototku. Kuajak tubuhku beraktivitas. kemudian… aku olahraga.

Putar kanan… putar kiri… hadap kanan… hadap kiri… badanku berliuk- -liuk tak
karuan. Aliran darah segar kemudian membanjiri pembuluh darahku. Aku terbuai
keasyikan. Di tengah keasyikan itu, seolah-olah kudengar orang bercakap-cakap.
Kuajak kakiku untuk melangkah mencari asal suara. Di ruang tamu kudapati dua
orang tengah terlibat perbincangan yang sangat serius. Kemudian aku intip dibalik
pintu belakang. Bapak angkat serta temannya. Aku tak mengerti apa yang sedang
mereka bicarakan. Bahasa sunda adalah penghalangnya, karena aku kurang
mengerti bahasa itu.

Diam – diam kuberanikan untuk duduk disamping bapak angkatku. Setelah


mendapat perizinan. Akupun kini terpaut dalam pembicaraan yang sudah mereka
mulai sejak tadi. Dengan pembahasan mengenai bahasa indonesia raya, aku
bertanya, menjawab serta menanggapi apa saja yang terjadi pada saat diskusi pagi
itu.

Masalah pekerjaan serta tetek bengeknya, hal itulah ternyata yang menjadi
perdebatan. Bapak angkatku seorang pedagang dan beliau menekuni pekerjaan
tersebut. Kemudian temannya seorang guru tengah menjalani profesi yang
dimilikinya.

“Saya heran kenapa kamu tidak pernah capek bolak – balik dari rumah ke pasar tiap
hari?” lalu temannya buat bapak. Pertanyaan konyol kupikir. Bagaimana tidak, jika
aku bisa bertanya padanya mengapa juga dia tak pernah lelah bolak – balik dari
rumahnya ke sekolah? Yhaaaa… kan?

“Kata siapa saya tidak capek!” Bapak menanggapinya singkat.

“Hmm… tidak, maksud saya apakah kamu tidak bosan?” pertanyaan lanjutan buat
bapak. Gila, sepertinya ini orang sedang didera kebosanan nich sama kerjanya. Ah,
tapi apa mungkin. Kalau tidak kenapa dia bertanya dengan pertanyan konyol seperti
itu? Hatiku berdialog sendiri.

Suasana ruangan membisu. Kulirik bapak angkatku. Bapak diam. Bukan diam biasa.
Ada kebijaksanaan serta wibawa tercipta diwajahnya dan aku baru tahu itu.
Perkenalanku sama bapak angkatku belumlah lama, baru sepekan lebih dua hari.
Sejauh ini aku lihat bapak orangnya humoris, kocak, suka bercanda serta jarang
serius. Tapi pagi ini beda sekali.
Bapak menghela napas, mengisi ruang kosong didadanya. Perlahan mengalir
nasihatnya lewat lisannya. Diwejangkan jawaban buat pertanyaan temannya.

“Kamu tahu matahari bukan?” Retoris bapak bertanya. Temannya mengangguk.


Begitu juga aku.

“Matahari bersinar disiang hari. Muncul ditimur lalu tenggelam dibarat. Dia bertugas
menerangi bumi, memberi kehidupan untuk makhluk yang ada di seantero persada.”

Kembali bapak diam. Kemudian kulihat teman bapak diam menyimak sabda bapak.
Lalu aku ikut menunggu apa yang akan disampaikan bapak selanjutnya.

“Kalau matahari berhenti sejenak saja dari tugasnya, apa yang bakalan terjadi?”

“Kacau…” Jawab teman bapak. aku mengiyakan. Bapak, aku dan temannya tertawa.
Suasana kembali tak tegang.

“Bagaimana jadinya kalau matahari ikut bosan serta meninggalkan tugasnya?”


Pertanyaan retoris bapak muncul lagi.

“Begitulah, bagaimana juga saya akan bosan bolak – balik ke pasar. Nah saat saya
bosan lalu berhenti bekerja, pastinya anak istri saya tidak akan makan. Bukannya
begitu Jang?”

Temannya tersenyum di balik anggukannya. Tampak semangat baru terpancar di


raut mukanya, seolah wajah itu berkata “Ayo… semangat bekerja Jang, mendidik
serta mengajar siswa-siswamu”

Aku terharu mendengar untaian petuah bapak barusan. Aku sungguh tidak
menyangka sedikitpun kalau dari lisan lelaki yang tidak sempat menyelesaikan
sekolah dasar ini mampu memberikan motivasi serta pencerahan pada temannya,
meskipun profesinya hanyalah sebagai seorang pedagang. Salut dehh… dua jempol
untuk bapak angkatku… Hidup pak Rohim, Bapak yang ikhlas penuh dengan cinta
menerimaku selama melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di pinggiran Kota
Banten ini.
Motivasi dari Kemendikbud

Namaku adalah Rani, seorang siswi Madrasah Tsanawiyah Negeri di


Malang. Saat ini, Aku duduk di kelas IX. Aku berasal dari Malang dan lahir
di Jakarta. Aku dan keluarga pindah ke Malang sejak tahun 2010.

Tidak lama lagi, aku akan menghadapi Ujian Nasional kelulusan. Hari
Senin minggu kemarin, ketika Upacara Bendera, bapak Kepala Sekolah
mengumumkan bahwasanya perwakilan Kemendikbud (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan) akan mengunjungi madrasah kami.o

“Murid-murid bapak sekalian, hari Jum’at mendatang kita akan


kedatangan tamu dari Kemendikbud..” ujar bapak kepala sekolah.
Tujuannya adalah memberi inspirasi dan motivasi kepada anak kelas IX,
sekaligus menyuarakan betapa pentingnya pendidikan dalam kehidupan.
Aku dan teman-teman sudah tidak sabar menunggu kedatangan mereka.

Hari ini hari Kamis. Ketika jam istirahat berbunyi, aku dan teman-teman
pergi ke kantin membeli cemilan. Di kantin, aku mengobrol dengan
seorang teman bernama Mira.

“Mir, kata bapak kepala sekolah senin kemaren, perwakilan Kemendikbud


akan datang hari ini kan? Kok tadi belum keliatan tanda-tanda
kedatangan mereka ya…?” Bukaku.
“Iya nih, aku juga belum ngeliat, soalnya udah mantau dari tadi pagi
belum ada tanda-tandanya..” Jawab Mira.
Tiba-tiba Vera datang dan menyambung..

“Kayaknya nanti deh habis istirahat, kita tunggu aja..” Sambungnya.


Ketika jam masuk berbunyi, aku dan teman-teman masuk kelas kembali.
Jam pelajaran ke-3 telah usai. Namun aku melihat belum ada guru
berikutnya yang masuk.

Selang beberapa lama, ada 3 orang dewasa yang masuk dengan


mengenakan pakaian yang tidak biasa dipakai para guru ketika mengajar.
Semua murid terlihat keheranan dan bingung.

Kemudian mereka bertiga langsung memperkenalkan diri, ternyata


mereka adalah perwakilan Kemendikbud tersebut. Ketika mengetahui,
kamipun menyambut kehadiran mereka dengan senang hati.

Materi yang mereka berikan sangat memotivasi sekali, begitu pula


mengenai pentingnya pendidikan dalam kehidupan dan masa depan.
Mereka juga memberi gambaran tentang generasi masa kini yang
nasibnya kurang baik.

Setelah materi selesai, di penghujung acara aku dan seluruh murid


menyalami mereka satu-persatu. Kami semua begitu merasa termotivasi
untuk terus melanjutkan pendidikan dan menggali ilmu sebanyak-
banyaknya.

Cari
 

Judul Cerpen : Motivasi dari Kemendikbud


Namaku adalah Rani, seorang siswi Madrasah Tsanawiyah Negeri di
Malang. Saat ini, Aku duduk di kelas IX. Aku berasal dari Malang dan lahir
di Jakarta. Aku dan keluarga pindah ke Malang sejak tahun 2010.

Tidak lama lagi, aku akan menghadapi Ujian Nasional kelulusan. Hari
Senin minggu kemarin, ketika Upacara Bendera, bapak Kepala Sekolah
mengumumkan bahwasanya perwakilan Kemendikbud (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan) akan mengunjungi madrasah kami.

“Murid-murid bapak sekalian, hari Jum’at mendatang kita akan


kedatangan tamu dari Kemendikbud..” ujar bapak kepala sekolah.
Tujuannya adalah memberi inspirasi dan motivasi kepada anak kelas IX,
sekaligus menyuarakan betapa pentingnya pendidikan dalam kehidupan.
Aku dan teman-teman sudah tidak sabar menunggu kedatangan mereka.

Hari ini hari Kamis. Ketika jam istirahat berbunyi, aku dan teman-teman
pergi ke kantin membeli cemilan. Di kantin, aku mengobrol dengan
seorang teman bernama Mira.

“Mir, kata bapak kepala sekolah senin kemaren, perwakilan Kemendikbud


akan datang hari ini kan? Kok tadi belum keliatan tanda-tanda
kedatangan mereka ya…?” Bukaku.
“Iya nih, aku juga belum ngeliat, soalnya udah mantau dari tadi pagi
belum ada tanda-tandanya..” Jawab Mira.
Tiba-tiba Vera datang dan menyambung..
“Kayaknya nanti deh habis istirahat, kita tunggu aja..” Sambungnya.
Ketika jam masuk berbunyi, aku dan teman-teman masuk kelas kembali.
Jam pelajaran ke-3 telah usai. Namun aku melihat belum ada guru
berikutnya yang masuk.

Selang beberapa lama, ada 3 orang dewasa yang masuk dengan


mengenakan pakaian yang tidak biasa dipakai para guru ketika mengajar.
Semua murid terlihat keheranan dan bingung.

Kemudian mereka bertiga langsung memperkenalkan diri, ternyata


mereka adalah perwakilan Kemendikbud tersebut. Ketika mengetahui,
kamipun menyambut kehadiran mereka dengan senang hati.

Materi yang mereka berikan sangat memotivasi sekali, begitu pula


mengenai pentingnya pendidikan dalam kehidupan dan masa depan.
Mereka juga memberi gambaran tentang generasi masa kini yang
nasibnya kurang baik.

Setelah materi selesai, di penghujung acara aku dan seluruh murid


menyalami mereka satu-persatu. Kami semua begitu merasa termotivasi
untuk terus melanjutkan pendidikan dan menggali ilmu sebanyak-
banyaknya.

Judul Cerpen : Ujian Semester Ganjil

Namaku Angel, seorang siswi SMA salah satu sekolah negeri di Jakarta.
Aku punya seorang teman bernama Nisa yang kebetulan satu kelas dan
bertetanggaan rumah. Aku dan dia sudah bersahabat sejak masih kanak-
kanak.

Hari ini, sekolahku mengadakan Ujian Semester Ganjil. Aku yang Nisa
yang sekarang kelas 2 akan memasuki kelas 3. Ujian ini merupakan
penentu apakah naik kelas atau tidak.

Pagi harinya, aku mempersiapkan semua peralatan yang diperlukan,


setelah semua selesai, aku pergi ke rumah Nisa dan berangkat ke sekolah
bersama-sama. Sesampainya di sekolah, tidak lama kemudian lonceng
pun berbunyi.
Sebelum ujian dimulai, aku melihat Nisa begitu sibuk dan tampak sedikit
panik sambil membuka dan mengeluarkan seluruh isi tasnya. Akupun
bertanya..

“Nis, kamu kenapa? Ini ujian udah mau dimulai loh..” tanyaku.


“Gawat Jel, aku lupa bawa pensil 2B, gimana nih..?” Keluhnya.
“Waduh, kok kamu lalai banget sih Nis, udah jelas-jelas pensil itu
persyaratan utama, eh malah lupa bawa. Gini aja, kamu coba izin ke guru
pengawas untuk keluar sebentar membeli pensil..” jawabku.
“Oke Jel, aku coba dulu.. Buk, boleh izin sebentar untuk membeli pensil
gak buk? Aku lupa bawa buk..” gumam Nisa.
“Maaf nak, tidak boleh ada yang keluar lagi. Ibuk sudah memberi banyak
waktu untuk mempersiapkan segala hal, jika ada yang lupa / tertinggal,
itu sudah risiko dan hukuman atas kelalaian Kelian..” jawab ibu guru.
Mendengar jawaban guru pengawas, Nisa terlihat semakin panik dan
mukanya tampak bersedih. Aku pun segera mencari inisiatif dan jalan
keluar.

“Nis, kamu punya pisau cutter gak? Pinjam bentar..” kataku.


“Punya Jel, nih, emang buat apa..?” Tanyanya.
“Ada deh..” ujarku.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung memotong pensil 2B milikku
untuk kemudian aku bagi hasil potongan itu kepadanya.

“Nih, Nis, ambil potongan pensil aku aja, gapapa kok, daripada kamu
disuruh keluar dan gak dibolehin ikut ujian..” tawarku.
Aku melihat Nisa sangat senang mendapat tawaran dan segera
mengambil serta meraut pensil pemberianku tersebut. Dengan senang
hari, Nisa pun mengucapkan terima kasih.

“Waduh, makasih banyak ya Jel, untung ada kamu yang selalu mau dan
sukarela membantu, kamu emang sahabat terbaik, sekali lagi makasih
banyak ya Jel..?” jawabnya.
“Oke Nis, gapapa, santai aja..” tuntasku.
Akhirnya Aku dan Nisa serta semua teman-teman memulai ujian dengan
tenang hingga selesai.
Judul Cerpen : Antara Masa Depan dan Keluarga

Ini adalah sepenggal cerita sedih pribadi saya sendiri, yang mengakhiri
dunia perkuliahan karena terkendala biaya. Ini terjadi pada diri saya di
awal tahun 2016 silam.

Saya adalah Mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Kota


Padang, dan memfokuskan diri pada jurusan Manajemen Industri. Entah
kenapa, sejak kecil aku sangat mendambakan untuk bisa memegang
gelar Sarjana Ekonomi.

Namun semua realita tidak berjalan sesuai harapan, aku mendapati suatu
kendala yang tak bisa kupungkiri, dan mengharuskanku untuk menerima
semuanya dengan lapang dada. Ya, masih masalah klasik, yakni Biaya.

Kendala terbesar bukan di situ, namun keadaan kesehatan sang Ayah di


kampung yang kian memburuk dari hari ke hari. Keuangan yang ada
semakin menipis karena totalitas dialihkan untuk biaya pengobatan
beliau.

Kisah bermula ketika tiba saatnya untuk membayar uang semester, yang
seingat aku berjumlah Rp.1.800.000,- / 6 bulan. 1 minggu sebelum
ambang pembatasan berakhir, ibu menelponku..

“Assalamualaikum..” buka ibu.
“Waalaikumsalam bu..” jawabku.
“Nak, ibu cuman mau bilang, kalo kesehatan ayahmu semakin
memburuk. Untuk biaya SPP kuliahmu sudah ada, tapi sepertinya
keadaan ayahmu mengharuskan dia untuk berobat. Sedangkan uang
hanya tinggal untuk SPP kamu saja..” ungkap ibu dengan nada sedikit
lirih.
Aku tidak bisa berkata banyak, selain air mata yang perlahan jatuh.
Dengan berusaha tenang, aku memutuskan sesuatu yang sangat bertolak
dengan keinginanku selama ini.

“Bu, kesehatan ayah lebih penting, soal SPP aku, jangan dipikirkan dulu,
lebih baik alihkan uang tersebut untuk biaya pengobatan ayah..” ucapku.
“Kamu yakin? Jadi bagaimana soal perkuliahanmu? Bukannya kamu
bilang kalau ambang akhir pembatasan adalah akhir Minggu ini..?” Tanya
ibu.
“Iya bu, batasnya memang minggu ini. Tidak apa-apa bu, tidak perlu
dipikirkan, pengobatan ayah lebih penting..” tuturku.
“Jadi, bagaimana dengan nasib perkuliahanmu..?” Tanya ibu kembali.
“Bu, aku udah memikirkan ini sejak kemarin malam, aku memutuskan
untuk berhenti kuliah dan pulang ke kampung berkumpul lagi dengan
kalian semua…” Ucapku.
Jujur, ini adalah keputusan paling pahit yang pernah aku keluarkan
sepanjang hidupku. Ibu terdiam sejenak dan kemudian menjawab..

“Nak, jika memang itu yang kamu inginkan, ibu tidak bisa berkata banyak
lagi. Ibu cuman mau kamu bisa memahami bagaimana keadaan ekonomi
kita sekarang..” gumam ibu.
“Iya bu, aku paham dan mengerti. Jadi jangan pikir panjang lagi soal
perkuliahanmu, fokus saja untuk pengobatan ayah..” kuakhiri
pembicaraan.
Setelah telepon kututup, rasa berkecamukpun muncul dikepala, aku baru
saja mengeluarkan suatu keputusan terpahit, yang sejatinya sangat tidak
aku inginkan.

Semenjak saat itu, aku hanya memikirkan bagaimana nasib masa


depanku kelak jika tidak terlahir sebagai seorang pemuda yang punya
gelar pendidikan. Namun karena keadaan memaksaku seperti ini, aku
hanya bisa bersabar dan bertawakkal kepada Allah SWT.
Judul Cerpen : Jangan Pernah Mencuri
Hari ini, aku pulang dari tempat kerja agak cepat, karena ada sesuatu
hal. Sekitar jam 15.30, aku sampai rumah dengan selamat. Setibanya di
rumah. Aku melihat ibu seperti sedikit panik dan kebingungan. Aku
langsung bertanya.

“Assalamualaikum bu..”
“Waalaikumsalam nak..”
“Ibu kenapa sih bu? Kok keliatannya panik dan bingung gitu..?” Tanyaku
sambil membuka sepatu.
“Gini nak, ibu bingung nih, uang tukaran 100 ribu ibu yang di dalam
dompek kok gak ada ya? Kamu ada liat gak..?” Tanya ibu penuh
penasaran.
“Gak ada bu, coba ingat-ingat lagi, siapa tahu ibu salah tarok
mungkin..” jawabku.
“Enggak nak, tadi ibu Tarok disini sebelum nyuci, tau-taunya sekarang
udah gak ada lagi..” tutur ibu.
“Yaudah deh bu, ikhlaskan saja, mungkin belum rezeki kita. Ibu tenang
aja, nanti aku ganti, aku ngambil uang dulu ke BRILink sebentar
ya..” ucapku seraya pergi.
Di perjalanan, aku melihat Risky, adikku paling kecil yang baru duduk di
kelas 3 SD. Aku melihat dia sedang main PS dengan teman-temannya.
Aku langsung menghampirinya.

Kebetulan sekali, sesampainya di tempat Rental PS tersebut, aku melihat


Risky memegang uang tukaran 100 ribu, yang tidak mungkin uang dia.
Akupun langsung memanggilnya dan menegurnya dengan baik-baik.

“Ky, itu uang siapa? Ayo jujur! Kamu ngambil uang ibu yang di dalam
dompet kan..?” Tanyaku.
“i..i..i..iya kak, aku mengambilnya, tapi buat bayar sewaan PS doang kok,
cuman 2 ribu rupiah aja..” jawabnya dengan terbata-bata.
“Ayo naik ke atas motor, nanti jelasin sama ibu..” ucapku sembari
membawanya pulang.

Sesampainya di rumah, dia langsung jujur dan menceritakan semuanya


kepada ibu. Aku dan ibu langsung menasehatinya sebaik mungkin karena
telah dilakukan tindakan pencurian, dan itu adalah perbuatan yang sangat
dilarang.

Aku dan ibu juga menekankan kepadanya untuk tidak pernah mencuri
lagi, karena setiap hari Risky juga selalu aku kasih uang belanja. Dia
hanya tertunduk malu dengan rasa bersalahnya yang terpampang jelas
dari wajahnya.
Setalah dinasehati, Risky mengakui kesalahannya, meminta maaf kepada
ibu dan aku, serta benar-benar berjanji untuk tidak mengulanginya lagi di
kemudian hari.

*** ***

Judul Cerpen : Berkat Gotong Royong


Sayup suara mikrofon dan toa terdengar terdengar jelas menuju ujung
kampung. Para perangkat pemuda menginformasikan bahwasanya besok
sore, akan diadakan gotong royong pembangunan selokan di ujung
kampung. Namun sehabis Isya bantu malam, diadakan musyawarah
terlebih dahulu.

Musim hujan seperti sekarang, air selalu menggenangi daerah perbatasan


karena selokan yang berumur tua disitu, sudah beberapa tahun
belakangan tersumbat, sehingga air tidak mengalir dengan mulus karena
tersendat sampah.

Aku, teman-teman dan seluruh pemuda kampung sudah berkumpul di


rumah Ketua RT, untuk merumuskan konsep gotong royong besok sore.
Mulai dari peralatan yang harus dibawa serta pembagian tugas tiap
masingmasing orang.

“Dikarenakan musim hujan yang berkepanjangan di daerah kita, selokan


di ujung kampung yang sudah lama tersumbat tidak lagi sanggup
menampung volume air yang besar. Untuk itu, besok sore kita mulai
memperbaikinya lagi…” Buka Pak RT.
Setelah itu, beliau membagi menjadi beberapa kelompok, serta menunjuk
satu orang sebagai ketua regu kelompok dan siapa-siapa yang akan
membawa perlengkapan. Jam 22.00, acara musyawarah selesai dan
semua balik pulang.

Keesokan harinya sehabis Isya, semua telah berkumpul di lokasi yang


ditentukan, pekerjaanpun dimulai. Sampah mulai diangkat ke darat dan
selokan dibersihkan sebaik mungkin.

Pada kelompok lain, beberapa orang memperbaiki tepi aliran parit yang
runtuh, dengan memperlebarnya menggunakan cangkul dan pahat.
Hanya berselang 2 jam saja, semua pekerjaan bisa diselesaikan.
Setelah selesai, semua berkumpul lagi, kemudian Ketua PT membuka
percakapan kembali.

“Terima kasih saya ucapkan untuk semua rekan-rekan yang sudah


sempat hadir dan berpartisipasi pada gotong royong ini, tanpa kehadiran
rekan-rekan semua, mungkin pekerjaan kita tidak akan selesai
secepatnya ini..” ucap Pak RT.
Dari Gotong royong tersebut, bisa diperik hikmah bahwa suatu pekerjaan
yang dikerjakan bersama-sama, akan bisa menghemat waktu dan tenaga,
serta mendidik diri untuk senantiasa hidup bersosial dengan lingkungan
sekitar.

*** ***

Judul Cerpen : Berbohong yang berujung Malu


Hari itu, cuaca cukup panas, ditambah lagi kantin yang terisi penuh dan
akhirnya berdesak-desakan. Aku dan Huda bahkan memutuskan untuk
tidak jadi berbelanja saking ramenya saat itu.

Di sisi lain, waktu jam istirahat tinggal beberapa menit lagi. Akhirnya aku
dan Huda hanya membeli minuman dan mengurungkan niat untuk makan
di kantin. Karena jika memaksakan makan, maka akan terlambat masuk
kelas.

“Yaudah Da, kayaknya kalo dipaksain makan, kita nanti bakal telat, kita
beli minuman aja. Nanti pas istirahat kedua, kita baru makan.
Gimana…?” Tawarku.
Huda yang sejak dulunya hobi makan, terus memaksaku untuk makan.
Dia seakan-akan tidak peduli dengan lonceng bel masuk.

“Gapapa Ri, kita makan aja, bentar itu mah, ga bakal pake
lama..” sambungnya.
“Enggak ah Da, aku gak yakin soal itu, pasti nanti telat. Tapi kalo kamu
emang udah lapar banget, yaudah kamu makan aja, tapi aku duluan
masuk kelas yaglh..?” ucapku.
“Oke sip Ri, kamu duluan aja kalo gitu..” tuntasnya.
Akhirnya akupun lebih dulu masuk kelas. Benar saja, baru sampai pintu
kelas, bel masuk telah berbunyi, aku menunggu Huda yang belum
kunjung datang, sementara guru sudah masuk.
Setelah pengambilan absen, tidak lama kemudian Huda masuk dengan
tergesa-gesa.

“Permisi buk, maaf saya terlambat..” ujar Huda.


“Kamu dari mana saja..?, Kamu baru selesai memanjat kelapa
ya..?” Tanya guru.
“Enggak lah buk, aku barusan dari WC buk, soalnya kebelet buang air
kecil..” bela Huda.
“Masa iya kamu dari WC..? Pasti kamu baru selesai memanjat kelapa nih,
soalnya itu ada parutan santan kelapa di bibir kamu..” jawab guru.
Akhirnya Huda mengaku dan menghapus parutan santan kelapa yang
menempel di pipinya, dan seisi kelaspun tertawa sembari Huda yang
terlanjur malu.

*** ***

Judul Cerpen : Pentingnya adab dan kepribadian yang baik.


Jam dinding menunjukkan pukul 13.00, artinya 30 menit lagi kelas akan
pulang. Pembahasan hari ini juga hampir selesai, dan aku melihat bu guru
mata pelajaran KWN (Kewarganegaraan) sudah mulai mengemaskan
peralatan belajaranya dari atas meja ke dalam tas miliknya.

Suasana kelas begitu senyap dan diam, bahkan suara sepeda motor dan
mobil di jalanan yang jaraknya kisaran 100 meter pun terdengar cukup
keras. Tiba-tiba saja, bu guru memecah keheningan kelas dengan
mengajukan sebuah pertanyaan.

“Anak-anak, sebelum pembelajaran berakhir, ibu ingin mengajukan


pertanyaan kepada kalian semua. Menurut kalian, apakah poin paling
penting dalam sebuah negara..?” Pertanyaan tersebut dilontarkannya
kepada kami semua.
Kemudian, temanku bernama Riska menjawab : “Pemerintah
bu..” Jawabnya. Namun bu guru langsung merespon : “Salah.. ada lagi
yang mau menjawab..” tanya ibu kembali.
Kemudian seorang murid bernama Andi mencoba menjawab : “Rakyatnya
bu..?” Kemudiam bu guru menutur : “Sedikit lagi.. ayo berpikir lebih
dalam..” tegur ibu.
Kami semua mulai kebingungan sembari berpikir menemukan
jawabannya. Lalu, akupun memberanikan diri untuk
menjawab : “Pengakuan dari negara lain, bu..?” Jawabku.
Namun jawabannya masih salah juga. Melihat kami semua yang sudah
habis pikir dan makin bingung, kemudian bu guru memberikan
jawabannya..
“Anak-anak, jawaban kalian semua itu tidak salah, alias benar. Namun,
yang paling penting tersebut bukanlah itu..” jawab bu guru.
“Lalu, jawabannya apa bu..?” Tanya kami semua penuh penasaran.
“Jawabannya adalah Adab dan kepribadian setiap insan di dalam negara
tersebut..” jawab bu guru.
*** ***

Judul Cerpen : Berita Kelulusan


Beberapa hari terakhir ini, rasa takut dan khawatir tak pernah hilang dari
pikiranku. Siang dan malam selalu terbayang seperti apa jadinya bila
ternyata aku tidak lulus. Aku tidak tahu harus melakukan apa, terlebih
terhadap kedua orangtuaku.

Hari ini, adalah hari dimana pengumuman kelulusan itu dikeluarkan pihak
sekolah. Aku berangkat diantar oleh kakak dengan seragam seperti biasa,
hanya saja hari dan pikiranku yang tak seperti biasanya.

Seluruh murid kelas VI telah berkumpul di halaman sekolah, sedangkan


murid kelas I-V diliburkan. Acara dimulai dengan kata sambutan bapak
Kepala Sekolah, kemudian diikuti oleh beberapa wali murid.

Aku dan teman-teman sebenarnya tidak konsentrasi mendengar


perkataan para guru, pikiran kami semua diselimuti rasa kecemasan,
terhadap keputusan akhir yang hanya berselang beberapa menit lagi.

“Baiklah, anak-anak yang kami cintai. Sekarang, hasil kelulusan sudah di


tangan bapak. Sebentar lagi akan bapak tempel di dinding kantor. Untuk
itu, mohon jangan berdesak-desakan ya..” ujar Bapak Kepala Sekolah.
Mendengar ucapan tersebut, jantung berdetak semakin kencang dan tidak
karuan. Bapak Kepala Sekolah perlahan menuju dinding dan
menempelnya. Aku dan semua murid kelas VI berbondong-bondong
menghadap dinding.

Aku sama sekali tidak melihat namaku, namun mataku lebih tertuju pada
suku kata “Lulus / Tidak Lulus”. Dan benar saja, ternyata ada 1 murid
yang dinyatakan “Tidak Lulus” dan itu bukan namaku, melainkan Riva
Saputri, teman sekelasku.

Aku langsung mencarinya dan melihat dia sedang menangis terisak-isak,


dikelilingi beberapa teman lain yang sedang membujuknya. Akupun
menghampirinya dan ikut menenangkan.
“Va, aku tau kamu sedih, namun inilah hasil yang harus kita terima.
Bagaimanapun, kamu harus tetap sabar dan rela dengan keputusan yang
ada ya Va…” Ucapku. Dia tidak menjawab dan hanya terus menangis.
Tiba-tiba saja, suara TOA yang asalnya dari Kantor terdengar. Suara
lantang Bapak Kepala Sekolah yang sedikit tergesa-gesa berkata..

“Anak-anak semua, mohon maaf atas kesalahan penulisan yang terjadi


pada lembaran hasil ujian nasional yang baru saja bapak tempel. Ada
kesalahan yang sangat fatal, dimana anak kami yang bernama Riva
Saputri ternyata Lulus. Sekali lagi bapak minta maaf..” Ucap Bapak
Kepala Sekolah.
Mendengar kalinat tersebut, senyum sumringah langsung terpancar dari
bibir Riva, begitu pula aku dan semua teman-teman yang saat itu berada
didekatnya. Riva langsung berdiri meloncat riang gembira.

Dia memelukku dan semua teman-teman yang didekatnya. Aku dan


semua murid kelas VI dinyatakan lulus ujian nasional dengan persentase
100%. Kebahagiaan yang tak ternilai harganya..

*** ***

Judul Cerpen : Salah Daftar Ujian


Sabtu, Di perjalanan pulang, Aku (Rahmad) dan temanku Dede berjalan
berbarengan. Kami berdua berbincang mengenai pembahasan di sekolah
tadi. Seluruh guru melaksanakan rapat untuk membuat daftar ujian
semester ganjil yang akan diselenggarakan hari Senin ini.

Setelah rapat selesai, guru Tata Usaha menempel daftar ujian lengkap
beserta kelas dan jam masuk. Akupun mencatat semuanya begitu pula
yang lain. Di perjalanan, aku menanyakan sesuatu Dede.

“De, kamu ada nyatat daftar ujian kan..?” Tanyaku.


“Ahh, aku mah gak usah Mad, gak perlu buat aku daftar-daftar begituan,
semua udah di kepala kok..” jawab Dede dengan sedikit sombong.
Akupun sedikit terheran mendengar gumaman Dede. Karena pasalnya,
hampir semua murid ikut mencatat, tapi Dede malah tidak. Akupun
meyakinkan dia kembali dengan menawarkan catatan daftarku untuk
disalinnya.
“Loh, kok gak dicatat De? Emang kamu yakin nih, bakal hapal semua
daftar..? Mending nih catatan daftarku aja kamu catat sekarang, jangan
sembarangan ngambil risiko..” tawarku.
“Gak usah Mad, kamu tenang aja..” jawabnya.
“Ooh, oke deh, yaudah..” tutupku. Perjalananpun kembali kami lanjutkan.
Hari Senin pagi, aku berangkat dengan Dede kembali ke sekolah untuk
menghadapi ujian. Namun aku tidak membahas sedikitpun mengenai
daftar tersebut, karena sudah yakin kalau Dede bakal tau daftar ujian hari
ini.

Kebetulan, aku dan Dede beda ruangan saat pembagian nomor. Setelah
ujian pertama selesai, diberi waktu istirahat 15 menit. Akupun keluar
sejenak untuk bertemu Dede. Aku melihat dia sedikit kebingungan dan
panik. Aku bertanya…

“Kamu kenapa De, kok panik? Ujiannya susah ya..?” Tanyaku.


“Bukan itu masalahnya Mad, ini gawat. Aku salah daftar, aku pikir ujian
pertama ini Ekonomi, ternyata Geografi. Aduh,,, aku menyesal udah
belagak sombong karena gak mau nyatet daftar ujian..” keluhnya.
“Nah, tu kan, apa aku bilang kemaren juga apa, kamu sih sombong gitu,
sekarang baru nyesal. Yaudah nih daftarku, catat aha sekarang sebelum
masuk ujian berikutnya..” tutupku.
Dede pun meminta maaf dan menyesali kecerobohannya. Karena
akibatnya, dia memprediksi ujian pertama ini nilainya akan jelek, karena
tidak ada belajar sedikitpun.

*** ***

Judul Cerpen : Kejujuran Bapak Tukang Becak


Hari menunjukkan jam 14.00, aku masih menunggu kakak untuk
menjemputku ke sekolah, namun belum kunjung datang. Sekolah mulai
sepi, semua orang sudah pulang. Akhirnya aku mengambil inisiatif untuk
berjalan kaki saja.

Sesampainya di perempatan, aku melihat seorang bapak tukang bejak,


akupun menghampirinya sembari bertanya..

“Pak, bisa anterin saya ke Jl. Anggrek no. 12 gak pak..?” Tanyaku.


“Oh bisa dek, silakan naik..” kamipun berangkat.
Sesampainya di depan rumah, aku membayar biaya sewa dan bapak
tukang becak kembali ke perempatan. Aku menanyakan dimana kakak
kepada ibu, ibu bilang dia pergi ke kebun bersama bapak.

Keesokan harinya, kejadian yang sama terulang lagi, sehingga aku


kembali memutuskan untuk berjalan kaki lagi dan melihat bapak tukang
becak yang kemaren di tempat yang sama juga.

Aku kembali menggunakan jasanya untuk menghantarkanku pulang.


Sesampainya di rumah dan hendak membayar, Bapak Tukang becak
berkata..

“Enggak usah dibayar dek, uang adek yang kemaren ternyata berlebih,
selembar uang tertas terlipat dalam lembaran yang adek kasih, jadinya
adek bayar 2x lipat kemaren, makanya untuk hari ini tidak usah
dibayar..” kata pak tukang becak.
Akupun terkagum menyaksikan kejujuran sang bapak. Aku kembali
menawarkan bayaran tapi dia terus menolak. Akhirnya, aku hanya bisa
mengucapkan terima kasih.

“Terima kasih ya pak, kejujuran bapak sangat saya kagumi dan hargai.
Semoga rezeki bapak selalu lancar dan tetap sehat ya pak..” tutupku.
Si bapak kembali pulang ke perempatan lagi seperti semula.

Anda mungkin juga menyukai