Anda di halaman 1dari 20

JEFRI FEBRIYANSAH

Sahabat Baru
Aku adalah Andi anak yang baru pindah dari provinsi sebelah. Sekarang aku tinggal di kota
Lamongan. Aku tidak menyangka ternyata kota Lamongan itu indah banget. Tempatnya yang
asri, bukit yang menjulung, daerah yang masih hijau, aku senang berada di sini.

Di setiap harinya, aku bisa melihat lautan yang luas. Jarang sekali aku bisa main. Di tempat
tinggalku dulu, aku bahkan hampir tidak pernah mainan air. Aku bisa mainan air sama
keluargaku jika waktu liburan dan mampir di suatu wahana.
Kebetulan saat di sana, ada tetanggaku yang bernama Luqman. Dia juga seumuranku, masih
duduk di bangku kelas 3 SD.
Karena aku akan menetap di kota ini, maka aku juga harus pindah sekolah. Nah kebetulan
aku satu sekolahan sama Luqman, teman baruku.
Setiap hari aku berangkat sekolah bersama, pulang sekolah juga. Kami sering bermain di
pesisir pantai. Kami hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk pergi di bibir pantai.
“Luqmaann ..” panggiku dari depan rumah temanku.
“Iya sebentar”
“ayok cepetan kita main”
“ayok .. ayok ..”
Hampir setiap hari libur kami menghabiskan waktu untuk bermain air. Tentunya sudah izin
dengan orang tua kami masing-masing.
Terkadang juga kami menonton film kartun bersama.
Pernah juga saat kita asik bermain di pantai, ada anak dari teman kami sekelas datang kesana.
Namanya Anton.
“Hai.. Antoonn” teriaku pada sedikit kejauhan
Dia pun menoleh, dan dia langsung menghampiri kami berdua.
“kalian sedang apa” kata Anton.
“kami sedang bermain air, sambil cari kerang ini” kata Luqman.
“eh bagaimana kalau kita lomba lempar batu aja ke sana. Siapa yang paling jauh maka itu
pemenangnya.” Anton menjelaskan.
Kami pun saat itu ikut saran dari teman kami Anton, mengambil bebatuan karang yang cukup
untuk dilemparkan sejauh yang kami bisa.
Pertama aku yang menang, terus disusul oleh Anton lalu Luqman. Permain itu sudah cukup
menggembirakan buat kami. Menurut kami bahagia itu sederhana, tinggal kitanya saja dapat
bersyukur atau tidak.
Kami mengulang-ngulangi permainan itu sampai kami puas. Kadang juga Anton duluan yang
menang, kadang juga Luqman, kadang juga aku yang paling akhir.
Itulah persahabatan kami yang sungguh menyenangkan. Semoga kalian juga memiliki
sahabat yang baik seperti teman-temanku.
SHELLA AULIYA
Pak Guru Hadi yang Ikhlas Mendidik
Sosok guru yang sedang berbicara di depan kelas adalah pak Hadi. Beliau mengajar pelajaran
biologi di berbagai sekolah. Tapi kali ini mungkin dia harus menguasai semua mata pelajaran,
karena dialah satu-satunya guru yang ada di dusun terpencil ini.
Pak Hadi adalah seorang guru yang baik. Ketulusannya membimbing anak-anak di dusun ini
tak menyurutkan semangatnya. Walau dia tidak dibayar, tapi pak Hadi tekun dan terus
mengajarkan pelajaran kepada anak-anak kami.
Di dusun ini tidak ada sekolahan. Jika ingin sekolah yang formal, maka penduduk dusun ini
harus menempuh perjalanan yang sukup jauh agar bisa bersekolah.
Harus menempuh perjalanan dengan melewati sungai yang deras, hutan yang rimba dan
waktu yang cukup panjang.
Tapi guru yang satu ini, dia dengan ikhlasnya mau tinggal di dusun ini. Kalau ditanya makan
apa disini, kami biasanya hanya makan dengan singkong yang dibakar, mandi di sungai dan
tempat tinggal yang terbuat dari bambu yang kami keringkan dengan atap seadanya.
Terlihar jelas ketegunan guru tersebut. Kami penduduk dusun kecil ini sering melihat guru
beserta murit-murit belajar di tanah dengan alas seadanya, kadang juga di sawah, kadang juga
di rumah warga.
Bagi kami hal itu tidak membuat masalah, karena dia sudah menolong anak-anak kami
dengan memberikan pendidikan.
Lambat laun karena kerja kerasnya pak Hadi, berdirilah sekolahan SD di dusun tersebut.
Pastinya tidak dengan gampang, bertahun-tahun dia menghabiskan waktunya untuk
menolong dusun kami.
Sampai listrik pun bisa masuk ke dusun kami. Perjuangan pak Hadi harus di akui jempol.
Pernah sekali mendengar pak Hadi mengajar,
“bagaimana anak-ana, apakah kalian paham?”
“paham pak”
Waktu itu, pak Hadi dengan kemaunya sendiri membawa peralatan tulis dari kota tempat
tinggalnya. Dia rela membawakan buku tulis, papan bor, dan kapur untuk menuliskan
pelajaran. Muritnya juga senang sekali dengan kedatangan guru tersebut.
Ada sepuluh anak yang ikut kelas pak Hadi untuk belajar. Pak Hadi berusaha penuh agar
semua anak yang ada di sana mendapatkan pendidikan yang layak.
Walaupun tidak bisa mengajak semuanya, tapi cukup untuk mewakili dusun tersebut kelak
suatu hari nanti.
Murit pak Hadi bermacam-macam, ada yang masih kecil, ada yang sudah kumisan, ada juga
murit yang masih anak-anak dan masih di awasi oleh orang tuanya.
Bagi pak hadi itu tidak menjadi masalah, karena datangnya murit dengan semangat untuk
belajar saja sudah membuanya senang.
Harapan terbesar dari pak hadi adalah ketika anak-anak didiknya tumbuh besar, mereka bisa
memajukan bangsa mereka, terutama dusun yang mereka tinggali.
Itulah pak Hadi, guru yang ikhlas untuk mengajarkan ilmu-ilmunya.
Bintang

Dia, duduk di samping jendela, dibawah sinar lampu yang temaram. Mencoba memandang
langit yang gelap, hanya ada rembulan yang memantulkan sebagian dari cahaya matahari.
Tak ada bintang yang terlihat, semua bersembunyi dibalik awan, barangkali malu untuk
kulihat, katanya dalam hati seraya tersenyum. Angin malam berhembus sepoi-sepoi, solah
menghembuskan udara pada wajahnya yang lembut. Awan bergerak perlahan, memberikan
seni tersendiri di kegelapan malam. Ahh, ternyata ada satu bintang di balik awan, senyumnya
tersungging di balik bibirnya yang mungil. Ya Rabb, ternyata setitik cahaya pun bisa
memberikan keindahan yang luar biasa diantara luasnya langit yang gelap di malam hari. Ah,
seandainya ketika membuka jendela, memandang langit dan tak menemukan bintang
kemudian dia tak mencoba menatap awan tapi menutup jendela kembali, dia tak akan
menemukan bintang yang tersembunyi di balik awan.

***

Seperti setitik bintang di kegelapan malam, terkadang kita tak menyadari ada cahaya kecil
dalam malam yang gelap, yang kita berinama “bintang”. Betapa indahnya cahaya itu
walaupun tak bisa menerangi malam. Tapi, lain halnya ketika kita melihat ada setitik noda di
atas kain putih yang membentang. Kita justru terfokus pada noda yang kecil, dan seolah lupa
betapa bersihnya kain itu terlepas dari setitik noda yang ada, yang mungkin bisa hilang hanya
dengan sedikit detergent pemutih. Itulah hidup, kadang-kadang kita lupa untuk memandang
sesuatu dari sisi lain yang dimiliki.

Saya, memiliki seorang murid yang saya pikir kecerdasannya kurang menonjol dibanding
lainnya. Suatu hari, ketika kami tengah membicarakan sistem tata surya, hanya sebagai
pengetahuan bahwa bumi merupakan salah satu planet dalam sistem tata surya yang menjadi
tempat tinggal manusia, murid saya itu, sebut saja namanya Rimba, tiba-tiba berdiri dan
mengambil helm milik guru lain yang disimpan diatas loker dalam ruang kelas serta
memakainya. Tanpa saya sadari saya berkata kepadanya :”Wah,,,teman-teman, lihat!! Rimba
memakai helm, seperti astronot yang mau terbang ke bulan ya…”. Semua teman-temannya
memandang ke arahnya, dia tersenyum, spontan helmnya langsung di lepas dan dikembalikan
ke tempat semula, tanpa harus disuruh untuk mengembalikan. Kemudian saya ajak mereka
untuk menggambar roket di atas kertas putih yang tersedia. Dan hasilnya, Subhanallah, murid
yang saya pikir kecerdasannya kurang menonjol itu justru tahapan menggambarnya dua
tingkat lebih tinggi dibanding murid yang saya pikir paling pandai di kelas.

Seandainya saja saya memberikan reaksi yang lain seperti :”Rimba, silakan dikembalikan
helmnya karena sekarang saatnya kita belajar”, atau :”Maaf, silakan dikembalikan helmnya
karena Rimba belum minta ijin bu guru”, atau yang lainya, mungkin saya tidak akan pernah
tahu bahwa kecerdasan dia sudah lebih dari apa yang saya sangka karena pembahasan hari itu
bukan tentang astronot atau roket. Atau barangkali saya membutuhkan lebih dari satu kalimat
perintah untuk membuatnya mengembalikan helm ke tempat semula.

Reaksi berbeda yang kita berikan ketika kita memandang bintang di kegelapan malam atau
setitik noda di selembar kain putih ternyata akan memberikan hasil yang berbeda pula. Hidup
ini indah, cobalah kita memandang sesuatu dari sisi yang lain, maka yang tampak bukan
hanya sekedar 2 dimensi. Bukankah lebih seru ketika kita melihat film 3 dimensi???
LUCINDA

PELANGI

Hari itu, hujan yang turun membasahi bumi sangat deras sekali. Aku dan Dani sendang menunggu
angkutan umum untuk kembali pulang kerumah. Kami berdua menunggu bus di pinggir jalan yang
beratapan dengan atap ruko sambil menggigil kedinginan.

TIba-tiba Dani memecah kesunyian diantara kita berdua.

Dani : “Lik kamu tau gak? kata orang-orang nih, biasanya kalo habis hujan suka ada pelangi diatas
awan itu.” Tanya Dani kepadaku.

Malik : “Tau lah dani masa sih gatau, eh tapi sebelumnya aku belum pernah tuh ngelihat pelangi
secara nyata. Apa kita tunggu aja gitu yah hujannya sampe berhenti, siapa tau aja nanti bakalan
muncul pelangi diatas awan itu.” Jawabanku kepada Dani

Dani : “Ah gak mau lik, aku capek banget ini. Kita disini nunggu bis sambil kehujanan udah lebih dari
satu jam loh tapi belum reda-reda juga. Apa kita terobos aja yuk?” Tanya Dani kepadaku.

Malik : “Udah Dani sabar aja kita tunggu dulu aja sampai hujannya reda. Aku gak mau kalo sampe
rumah basah kuyup.” Jawabanku dari pertanyaan Dani.

Kemudian kami berdua menunggu bis lagi selama kurang lebih sekitar 3 jam. Untungnya aku bahwa
HP. Aku coba menghibur diriku dengan HP yang aku bawa. Aku mencari-cari gambar pelangi, ketika
sudah menemukan gambar pelangi yang begitu indah, akupun takjub sekali ketika melihat gambar
pelangi yang indah itu.

Aku menghitung jumlah warna dari warna pelangi. Pusing aku menghitung jumlah warna yang ada
pelangi itu, akhirnya akupun menanyakannya kepada Dani.

Malik : “Dan dan, dan kamu tau gak jumlah warna yang ada didalam pelangi itu?” Pertanyaanku
kepada Dani.

Dani : “Iya tau lik, jumlah warna pelangi yang ada didalam pelangi itu ada tujuh.” Jawaban Dani
untuk pertanyaanku.

Malik : “Coba Dan tolong sebutin apa aja warna-warna yang ada didalam pelanginya.” Tanyaku lagi
kepada Dani.

Dani : “Mejikuhibiniyu. Sebenaernya sih. Merah, jinga, kuning, hijau, biru, biru tua, sama yang
terakhir adalah warna ungu.” Jawab Dani kepadaku.

Malik : “Oohh. Makasih ya dan.” Kataku

Dani : “Sama-sama lik.” Jawab Dani.

Tiba-tiba rintikan hujan deras yang memabasahi bumi itu berhenti. Sangat senang sekali ketika
melihat dijalanan sudah tidak ada lagi rintikan air hujan, ketika itu aku sangat berharap sekali ketika
hujan berhenti berharap ada penglangi yang muncul.

Ternyata harapanku benar, pelangi itu muncul dengan sendirinya. Akupun langsung mengambil foto
untuk dijadikan sebagai momen abadi. Ketika itu perasaanku sangat senang dan bahagia sekali. Tidak
lama hujan berhenti, bus yang sudah kami tunggu selama berjam-jam itu datang. Kita berduapun
langsung menuju kedalam bus dan pulang.

Disepanjang perjalanan menuju rumah, aku selalu membuka hape dan melihat foto-foto pelangi yang
baru saja aku memotonya. Saking senangnya aku melihat indahnya pelangi dengan nyata, aku sampai-
sampai menyanyikana lagu pelangi.

Akupun berkata didalam hati “Semoga suatu saat nanti aku bisa melihat pelangi lagi. Amin”
Kebaikan Membawa Berkah

Hari ini adalah hari karnival. Hari itu membuat seisi desa penuh sesak, dan saat ini, di tengah
teriknya puncak musim panas, Safa harus membantu ibunya untuk berjualan roti di sepanjang
jalan karnival. Safa adalah seorang gadis berusia 17 tahun yang bersekolah di SMAN 1
Bougenville, sebuah kota kecil yang berjarak 20 km dari ibu kota Hunfington. Sehari-
harinya, dini hari ketika gadis seusianya masih terlelap dalam selimutnya, Safa harus
berjuang melawan gelapnya malam, pergi ke pasar membeli segala kebutuhan untuk
membantu usaha roti ibunya. Namun, Safa tidak pernah mengeluh, ia merasa sangat
bersyukur masih memiliki orang tua walaupun kini hanya tinggal bersama ibunya. Ayahnya
dan ketiga kakaknya meninggal dunia ketika gempa bumi menyerang daerahnya setahun
yang lalu.

“Bruk..” tiba-tiba Safa menabrak seorang pria yang berlari menuju kearahnya. Sepertinya pria
tersebut berusaha untuk kabur dari kejaran penjaga karnival. Seluruh rotinya pun jatuh dan itu
berati Safa dan ibunya harus siap untuk tidak makan hari ini.

Wajah pria itupun penuh dengan cream roti bagaikan badut yang kelelahan. Sepertinya pria
tersebut sudah berlarian cukup lama. Tiba-tiba pandangan Safa tertuju pada benda bersinar
yang tergelatak disamping kiri pria tersebut. Ia langsung tahu bahwa benda tersebut adalah
benda kuno kerajaan yang telah lama hilang, benda yang selama ini dicari-cari oleh seluruh
warga di pelosok kota. Secara spontan, ia mengambil benda tersebut. Namun, saat ia berhasil
memegangnya, pria tersebut tiba-tiba hilang. Sebelum kehilangannya, ia tersenyum dan
berkata bahwa benda tersebut adalah hadiah untuk kebaikan Safa kepada ibunya. Tidak hanya
Safa yang melihat kejadian tersebut. Hampir seluruh warga di karnival melihatnya termasuk
raja Majapahit yang mengikuti karnival tersebut.

Safa pun langsung diundang ke kerajaan sebagai tamu kehormatan. Ia diberi fasilitas berupa
rumah besar ditengah kota untuk ditempati bersama ibunya. Ia pun diberi hadiah berupa toko
roti besar untuk dikelolanya bersama ibunya. Selain itu, ia juga diberi hadiah berupa sekolah
gratis di pusat kota. Ia dianggap begitu istimewa karena berhasil menemukan benda kuno
kerajaan yang dibawa sang penjaga. Ia berhasil membuktikan bahwa legenda kerajaan itu
benar.
PUTRI

Baik Luar Dalam

Di suatu siang yang cerah, dua orang gadis bernama Rara dan Tina tengah mengerjakan tugas
sekolah di rumah Rara. Mereka mengerjakan dengan serius dan suasana nampak hening.
Kemudian, seorang perempuan yang tidak lain adalah teman mereka berdua bernama Sinta.
Namun, Rara seolah tidak mempedulikan kehadiran Sinta tersebut.

“Ra, itu di depan ada Sinta sedang nyariin kamu. Buruan kamu temui dia. Sudah sejak tadi
dia nungguin kami di sana.” Ujar Tina yang tengah mengerjakan tugas di rumah Rara.

“Bi, bilang saja ke Sinta yang ada di depan rumah kalau aku sedang pergi kemana atau gak
ada gitu ya.” Pinta Rara kepada Bibi yang bekerja sebagai pembantu di rumahnya.

“Iya Non. Bibi sampaikan.”

“Ra, kenapa kamu seperti itu sama Sinta. Dia pastinya sudah datang jauh-jauh. Kenapa kamu
usir. Gak enak kan. Kasihan dia. Dia juga anak yang baik Ra.” Ujar Tina menasihati Rara.

“Dari luarnya dia memang orang yang baik, ramah dan juga manis. Tapi masa kamu
mengukur sifat seseorang hanya dengan itu saja. Dia itu manis di luar namun di dalamnya
pahit tahu.” Jawab Rara setengah sinis.

“Pahit gimana Ra?” Ujar Tina kembali bertanya.

“Dia itu sering membicarakan keburukan orang lain. Bahkan di belakang ia sering
membicarakan temannya sendiri. Pokoknya banyak yang tidak dapat aku jelaskan Tin. Lihat
saja diri kamu. Kamu memang judes, ceplas ceplos denganku. Namun setidaknya kamu
memiliki hati yang tulus Tin. Bukan sahabat yang dari luarnya baik namun dalamnya busuk.
Dalam berteman, aku tidak membutuhkan tampilan luar seseorang Tin.” Jelas Rara kepada
Tina.
SARMILA HERLINAWATI

Tidak Konsisten

Suara alarm terdengar begitu keras sehingga menyebabkan tidur Joni terganggu. Sementara ia
masih sangat mengantuk dan terlelap. Dengan masih menahan rasa kantuk yang luar biasa, ia
pun membuka kedua matanya.

“Ya Tuhan!” Joni merasa sangat kaget ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi.
Ia pun langsung bergegas mandi dan merapikan dirinya kemudian segera berangkat pergi ke
kantor. Ketika ia tiba di kantor, ternyata rapatnya sudah telat karena jamnya memang
dimajukan menyesuaikan jadwal dari bos yang akan pergi ke luar kota.

“Permisi Pak. Apakah saya boleh masuk? “Tanya Joni kepada bos yang tengah memimpir
rapat.

“Iya silahkan duduk Jon. Namun maaf untuk hari ini Hamid yang akan menggantikan
proyekmu.”

“Tapi mengapa pak? Saya di sini hanya telat sebentar saja”

“Bukan masalah telat lama atau sebentar. Kami membutuhkan pekerja yang sangat
professional. Saya sudah lama mempercayakan proyek tersebut kepadamu. Namun, nyatanya
kamu tidak bisa bertindak konsisten untuk menangani proyek itu.

Meski kami telatnya hanya sebentar, tapi temanmu memiliki ide yang sangat bagus untuk
jalannya proyek tersebut. Jadi mohon maaf, sudah sangat bagus kamu tidak saya berhentikan
dari tim.” Jelas bos dengan sangat tegas.

Seketika itu, Joni terdiam dengan wajah sangat pucat. Sesudah rapat selesai, ia pun pergi ke
meja kerjanya.

“Ada apa denganmu hari ini Jon? Tidak seperti biasanya kamu telat?” Tanya Merry teman
sekantor Joni.

“Ini murni salahku Mer. Aku semalam begadang nonton bola sampai larut. Sampai-sampai
aku melupakan proyek penting yang harusnya sangat membuatku untung.” Jelas Joni.

“Oh gitu Jon. Makanya Jon mulai saat ini utamakan profesi kamu, jangan hobi yang
didahulukan!” Sambung Merry memberikan nasihat kepada Joni.
Rajin Belajar

Ini merupakan hari senin yang sangat cerah. Sesudah melaksanakan upacara bendera, para
siswa memasuki kelas mereka masing-masing dan mendapatkan pelajaran dari guru mereka.
Di hari ini, ada beberapa pelajaran yang harus didapatkan oleh siswa, yaitu Bahasa Jawa,
Bahasa Indonesia, PPKN dan Matematika.

Mata pelajaran yang pertama adalah matematika. Bapak guru meminta kepada para murid
untuk mengerjakan halaman 5 dan halaman 6. Ketika para siswa tengah mengerjakan tugas
tersebut, suasana kelaspun menjadi sangat hening. Kemudian sesudah selesai, Bapak guru
memberikan pesan kepada para siswa untuk mempelajari materi pembagian dan perkalian
dengan soal cerita karena tes dadakan akan dilakukan sewaktu-waktu.

Pada siswa pun pulang setelah pembelajaran hari ini usai. Dwi, Rahma dan juga Tika pulang
dengan jalan kaki bersama karena sekolah mereka tidak jauh dari rumah.

“Nanti bermain di rumahku yuk habis makan siang. Aku punya boneka baru hasil olah-oleh
ibuku dari Bandung kemarin.” Pinta Rahma kepada dua temannya.

“Asyiikk.” Ungkap Dwi senang.

Bagaimana Tika, apakah kamu bisa ikutan?”

“Aku tidak usah ikut saja. Aku ingin belajar di rumah karena pesan dari Bapak guru tadi kan
kita harus belajar sendiri karena tas dadakan akan dilakukan sewaktu-waktu.” Jawab Tika
dengan wajah polos.

Setiba di rumah masing-masing. Tika langsung mengganti bajunya, kemudian makan siang,
sholat dan istirahat siang supaya nanti malam dia bisa belajar dengan baik dan konsentrasi.
Mengenai materi buku yang kurang memahamkan, sesekali ia bertanya kepada kakaknya.

Sementara Dwi dan juga Rahma asyik bermain hingga larut sehingga mereka pun tidak
sempat mendalami materi. Keesokan harinya merekapun berangkat bersamaan. Sesampainya
di kelas, ternyata Bapak guru benar-benar melakukan tes dadakan. Dwi dan Juga Rahma
merasa sangat kebingungan mengerjakan soal. Sehingga merekapun mendapat nilai jelek.
Dan akhirnya harus mengulang tes susulan.

Berbeda dengan Toka. Ia memperoleh nilai paling baik di kelas karena sudah belajar dengan
sungguh-sungguh sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh sang guru. Dan Bapak guru pun
meminta Dwi dan Rahma belajar kepada Tika.

“Wah, selamat yang Tika. Nilaimu maksimal. Besok-besok kita ikut belajar sama kamu ya.”
Keutamaan Sedekah

“Bu, maaf hanya segini yang bisa bapak berikan kepada Ibu. Karena dagangan Bapak hanya
laku sedikit.” Sembari memberikan uang kepada sang istri untuk kebutuhan rumah tangga.

“Iya pak tidak apa-apa. Yang penting bapak sudah berusaha dan rejeki sudah diatur oleh
Tuhan.”

Keesokan harinya, sang suami bekerja dengan membawa barang dagangannya ke pasar.
Namun tiba-tiba di tengah perjalanan ia bertemu dengan nenek tua yang kebingungan
mencari jalan.

“Ada apa Nek?” Tanya Pak Jokosembari menghampiri sang nenek tua itu.

“Nak, apakah nenek boleh meminta uang? Saya mau pulang tapi tidak punya uang.” Pinta
Nenek kepada pak Joko.

“Uangku juga mepet nek. Dagangan nggak laku dari kemarin-kemarin. Bahkan, untuk
keluarga makan saja sering kurang. Tapinggak papa. Ustad bilang sekedah bisa melancarkan
rizki. Bismillah saja.” Gumamnya di dalam hati.

“Baik nek. Ini ada uang segini untuk naik bis sampai ke tujuan nenek. Biar saya yang antar
nenek ke terminal.” Ujarnya sembari mengantarkan nenek tersebut ke terminal.

“Terima kasih banyak nak. Semoga rejekimu lancar.”

“Amin. Terima kasih nek.”

“sesudah mengantar nenek terebut, pak Joko pun kembali pergi ke pasar guna menjajakan
barang dagangannya. Sesampai di pasar, tiba-tiba ada yang membeli dagangan pak Joko
sampai habis.

“Alhamdulillah. Rejeki seorang hamba memang tidak kemana. Memang sedekah benar-benar
bisa melancarkan rizki.” Ujar pak Joko Bersyukur.
Sepatu butut

Entah sudah berapa kali aku mengatakan padanya untuk mengganti sepatu bututnya itu.
Kalau sepatu itu masih layak pakai sih mungkin tidak apa-apa. Tetapi sepatu itu sudah
kelihatan sangat kumal, jauh dari kategori layak pakai. Walaupun orang tua kami bukanlah
orang yang kaya. tetapi kurasa mereka masih mampu membelikan Andi sebuah sepatu baru
yang lebih Iayak pakai.

Entah mengapa pula. hanya aku yang selalu memperhatikan sepatu bututnya Andi. Sepatu
butut itu begitu menggangu pandanganku. Orang tua kami tidak pernah protes kalau Andi
menggenakan sepalu butut itu lagi.

Pagi ini kami akan berangkat sekolah. Lagi-lagi sepatu butut itu Iagi yang kuperhatikan.
Tidak ada yang lain yang kuperhatikan dari Andi. Aku jadi malas bila berjalan dengannya.
Aku malu bila harus berjalan dengannya. Seperti berjalan dengan seorang gembeel.

Sepatu butut itu begitu mengganggu pikiranku kenapa Andi tidak minta sepatu baru saja biar
keren seperti teman-temannya, si Ivan dengan sepatu ketsnya, atau seperti Dodi dengan
sepatu sportnya?

Di suatu malam, aku berpikir untuk menyingkirkan sepatu butut itu. Aku berencana
membuangnya di hari Sabtu malam, karena kutahu ia akan mencucinya di hari Minggu. Jadi
kalau di hari Minggu ia tidak menemukannya, masih ada kesempatan untuk membeli yang
baru sehingga ia masih bisa masuk di hari Seninnya.

Untuk membuang sepatu butut tentu saja tidak memerlukan rencana yang rumit. cukup
sederhana saja pasti aku bisa melakukannya, hanya tinggal menunggu Andi tidur di malam
hari, dan kemudian aku tinggal menjalankan misinya. Hari yang kunantikan pun tiba. Segera
aku bersiap menjalankan misiku. Kulihat Andi sedang tidak ada di rumah.

Aku lupa kalau Andi pergi bermain sepakbola di lapangan dekat rumah. Sepatu bututnya pun
tidak ada di rak sepatu. Seandainya sepatu butut itu tidak dibawa, aku bisa membuangnya.
Dan ketika Andi bertanya dimana sepatunya, aku bisa saja menjawab kalau sepatunya
digondol tikus atau dipungut pemulung yang lewat.

“Ibu,” sapa Andi pelan dari belakangku. Terkejut aku mendengarnya karena sedang
membayangkan skenario yang pas untuk membuang sepatunya.

“Baru pulang ya?” tanyaku setengah tergagap, sambil melihat sepatu butut yang sedang
dipegangnya.

“Iya. Sepatu Dodi jebol, Bu. Bubar jalan deh,” katanya sambil membersihkan sepatunya dari
tanah yang menempel.

Tiba-tiba ada rasa ingin bertanya kepada Andi, kenapa ia begitu saying dengan sepatunya.

“Ndi, Ibu boleh bertanya? Kenapa Andi tidak meminta sepatu yang baru kepada Ibu dan
Ayah? Sepatu yang ini sudah kusam warnanya. Sol sepatunya pun sudah tipis. Dan
lapisannya juga sudah mengelupas. Apa Andi tidak malu memakainya?” tanyaku penasaran

“Ah Ibu. Ibu lupa ya dengan sejarah sepatu ini? Ini kan sepatu yang dibelikan oleh nenek
sebelum nenek meninggal. Waktu itu nenek pulang dari rumah sakit. Di perjalanan pulang,
nenek mampir ke toko sepatu. Meski dengan susah payah, nenek masih saja memilihkan
sepatu untuk Andi. Bagaimana bisa Andi bisa menggantinya dengan yang lain, Ibu?” katanya
sambil menatap sepatu bututnya.
Seperti ada sesuatu yang menyesakkan dadaku. Hampir dua tahun yang lalu, ibuku
membelikan sepatu ini. Ibu berkata kalau ingin sekali membelikan sepatu karena sepatu Andi
yang lama sudah tidak cukup lagi. Tanpa terasa ada genangan air di mataku.

“Kalau Ibu mau membelikan Andi sepatu yang baru, Andi mau saja kok, Bu. Tapi ijinkan
Andi menyimpan sepatu ini setelah mencucinya ya, Bu. Andi tahu kok kalau Ibu risih melihat
Andi memakai sepatu ini karena sudah butut,” pinta Andi.

“Iya, Ndi. Boleh. Boleh sekali. Nanti sepatunya dicuci yang bersih, kemudian disimpan di
tempat yang kering. Agar tidak mudah berjamur,” kataku terharu.

“Terima kasih, Ibu,” kata Andi sambil tersenyum.


Kisah Seorang Penjual Koran

Di ufuk timur, matahari belum tampak. Udara pada pagi hari terasa dingin. Alam pun masih
diselimuti embun pagi. Seorang anak mengayuh sepedanya di tengah jalan yang masih
lengang. Siapakah gerangan anak itu? Ia adalah seorang penjual Koran, yang bernama Doni.

Menjelang pukul lima pagi, ia telah sampai di tempat agen koran dari beberapa penerbit.
“Ambil berapa Doni?” tanya Bang Karno. “Biasa saja.”jawab Doni. Bang Karno mengambil
sejumlah koran dan majalah yang biasa dibawa Doni untuk langganannya. Setelah selesai, ia
pun berangkat.

Ia mendatangi pelanggan-pelanggan setianya. Dari satu rumah ke rumah lainnya. Begitulah


pekerjaan Doni setiap harinya. Menyampaikan koran kepada para pelanggannya. Semua itu
dikerjakannya dengan gembira, ikhlas dan rasa penuh tanggung jawab.

Ketika Doni sedang mengacu sepedanya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah benda. Benda
tersebut adalah sebuah bungkusan plastik berwarna hitam. Doni jadi gemetaran. Benda
apakah itu? Ia ragu-ragu dan merasa ketakutan karena akhir-akhir ini sering terjadi peledakan
bom dimana-mana. Doni khawatir benda itu adalah bungkusan bom. Namun pada akhirnya,
ia mencoba membuka bungkusan tersebut. Tampak di dalam bungkusan itu terdapat sebuah
kardus. “Wah, apa isinya ini?’’tanyanya dalam hati. Doni segera membuka bungkusan dengan
hati-hati. Alangkah terkejutnya ia, karena di dalamnya terdapat kalung emas dan perhiasan
lainnya. “Wah apa ini?”tanyanya dalam hati. “Milik siapa, ya?” Doni membolak-balik cincin
dan kalung yang ada di dalam kardus. Ia makin terperanjat lagi karena ada kartu kredit di
dalamnya. “Lho,…ini kan milik Pak Alif. Kasihan sekali Pak Alif , rupanya ia telah
kecurian.”gumamnya dalam hati.

Apa yang diperkirakan Doni itu memamg benar. Rumah Pak Alif telah kemasukan maling
tadi malam. Karena pencuri tersebut terburu-buru, bungkusan perhiasan yang telah
dikumpulkannya terjatuh. Doni dengan segera memberitahukan Pak Alif. Ia menceritakan apa
yang terjadi dan ia temukan. Betapa senangnya Pak Alif karena perhiasan milik istrinya telah
kembali. Ia sangat bersyukur, perhiasan itu jatuh ke tangan orang yang jujur. Sebagai ucapan
terima kasihnya, Pak Alif memberikan modal kepada Doni untuk membuka kios di
rumahnya. Kini Doni tidak lagi harus mengayuh sepedanya untuk menjajakan koran. Ia
cukup menunggu pembeli datang untuk berbelanja. Sedangkan untuk mengirim koran dan
majalah kepada pelanggannya, Doni digantikan oleh saudaranya yang kebetulan belum
mempunyai pekerjaan. Itulah akhir dari sebuah kejujuran yang akan mendatangkan
kebahagiaan di kehidupan kelak.
RIZKI INDRA
Kado untuk Pak Guru
Kaki-kaki kecil Bimo mengayun cepat menyusuri gang-gang sempit sebuah perkampungan
padat di pinggiran kota. Matahari sudah meredup, sinarnya tak lagi terik seperti siang tadi.
Bimo semakin mempercepat langkahnya. Ia ingin segera sampai rumah untuk menumpaskan
rasa dahaga yang menggelitik kerongkongannya. Tenggorokannya kering setelah latihan koor
di aula tadi. Maklum, hari ini adalah latihan terakhir baginya sebelum tampil dalam upacara
Hari Guru, besok pagi.
Sejak pagi, teman-temannya sudah berkasak-kusuk tentang hadiah yang akan
dipersembahkan untuk para guru.
”Hari Guru besok pagi, hadiah apa yang kau siapkan untuk Pak Guru?” Winda memulai
perbincangan.
”Aku serahkan pada Mama, aku tinggal bawa besok,” jawab Tisna.
”Mungkin aku akan menghadiahkan dasi,” timpal Lucki.
”Aku akan memberi buku,” kata Tisna.
”Papa ingin agar aku menghadiahkan kemeja batik,” sambung Raka.
”Kalau aku ….”
“Aku juga…”
Meskipun itu semua baru sebatas bisik-bisik, tetapi tak urung membuat hati Bimo risau.
Hadiah? Dulu, sebelum ia pindah ke sekolah itu, ia tak pernah berpikir tentang hadiah. Bimo
juga tidak pernah tahu bahwa ada hari guru. Yang Bimo tahu, terkadang ia dipulangkan awal
karena guru-gurunya harus mengikuti upacara di kecamatan.
Itu dulu, sewaktu dia masih tinggal bersama nenek di dusun kecil di kaki Merapi. Sejak
nenek meninggal, Bimo diambil Emak untuk ikut merantau di Jakarta. Oleh Bu Kinan,
majikan Emak, Bimo dimasukkan ke sekolah yang sama dengan anaknya, Osa. Dia harus
beradaptasi dengan sekolahnya yang baru, termasuk kebiasaan setiap hari guru.
”Hadiah…! Apa ya…?” gumam Bimo. Ia belum menemukan hadiah yang paling cocok
untuk Pak Wijaya, guru yang sangat dikaguminya. Masalahnya, ia tak punya uang untuk
membeli hadiah. Ia juga tak mau merepotkan Emak yang hanya bekerja sebagai pembantu.
Ah, sudahlah, yang penting sampai di rumah dulu, baru nanti dipikirkan, batinnya. Ia semakin
mempercepat langkahnya.
Seperti biasanya, sampai di rumah Bimo disambut sepi. Emak pasti belum pulang dari
bekerja. Tak mengapa. Ia terbiasa mengurus diri sendiri. Maka, ia pun segera menumpahkan
dendamnya untuk minum sepuasnya. ”Sruppuutt…! Aaahh…, lega…!” gumamnya setelah
mengosongkan dua gelas air putih.
Seharusnya Bimo masih memiliki sedikit waktu untuk beristirahat sebelum mandi sore, tetapi
ia tak bisa tenang. Pikirannya masih terusik masalah hadiah. Bimo tahu, itu bukan suatu
kewajiban, tetapi ia sangat ingin memberikan sesuatu untuk guru idolanya, Pak Wijaya!
Bimo hanya mondar-mandir di rumah kontrakan yang sempit. Sampai akhirnya
pandangannya tertumbuk pada sebuah kaleng bekas cat yang teronggok di pojok tempat
sampah, di atas got. Di atas kaleng cat itu menjulur sebatang kecil pohon rambutan. Dulu,
Emak memakai kaleng itu untuk menanam benih Jemani ketika tanaman hias itu sedang
popular. Setelah masa jaya tanaman itu habis, Emak tidak mengurusnya lagi. Sekarang,
kaleng cat itu menjadi media tumbuh biji rambutan –yang mungkin dibuang secara iseng–
oleh seseorang.
”Yess..! Akhirnya kudapat juga,” desisnya, ”hadiah spesial untuk guru idolaku!”
Bimo segera membersihkan kaleng itu, mencuci pohon dan daunnya, lalu merapikannya,
Setelah itu, ia masukkan kaleng ke dalam kotak kardus, membungkus dengan kertas kado,
dan tetap membiarkan batangnya menjulur. Wow,…! Bimo berhasil mengubahnya pohon
yang tadinya tak terurus itu menjadi kado unik yang menawan. Bimo masih terus mematut
kado istimewa itu, sampai tidak menyadari kehadiran Emak.
”Hadiah buat siapa, Bim? Kau beli berapa tadi? Uang dari mana?…?” Emak memberondong
dengan pertanyaan dan tatapan heran.
Bimo menjelaskan segalanya dari awal. Ia tidak ingin melihat emaknya cemas dan gelisah.
Pasti Emak takut kalau-kalau Bimo melakukan hal yang tak benar. Namun, setelah
mendengar penjelasan Bimo, Emak terlihat lega.
”Syukurlah, Bim! Emak jadi lega mendengarnya. Maafkan Emak, tak bisa seperti orang tua
teman-temanmu.”
”Tenang saja, Mak! Bimo sudah sangat bangga punya Emak yang baik!” kata Bimo
berjingkrak.
Pagi harinya, Bimo sampai di sekolah lebih awal dari biasanya. Ruang guru masih sepi ketika
Bimo mengendap-endap untuk meletakkan hadiah spesial di meja Pak Wijaya. ”Yups…
beres!” desisnya. Ia segera beranjak dari ruang guru menuju kelasnya. Setengah jam
kemudian, Bimo sudah bergabung dengan kelompok paduan suara, dan membawakan lagu
Hymne Guru dalam upacara.
Setelah upacara selesai, Pak Wijaya mendekati Bimo, ”Terima kasih, Bimo. Hadiahmu sangat
spesial. Bapak sangat suka. Kau tahu, Bapak sedang mengembangkan tabulampot. Hadiahmu
itu bisa menambah koleksi Bapak,” kata Pak wijaya dengan senyum yang hangat.
”Tabu…tabulam…pot?” tanya Bimo tak mengerti.
”Iya…! Tanam buah dalam pot! Sekarang sedang digemari. Siapa pun bisa menanam buah
tanpa harus punya lahan yang luas.”
”Bapak kok tahu kalau…?” tanya Bimo ragu.
”Mang Timan yang memberi tahu saat Bapak sedang menimang-nimang pohon itu. Dia tahu,
kau yang meletakkan tabulampot itu di meja Bapak,” jelas Pak Wijaya.
Di kelas, Pak Wijaya menjelaskan bahwa memberikan pohon sebagai hadiah adalah ide
bagus. ”Lebih banyak orang yang menghadiahkan pohon kepada orang lain, maka akan lebih
mudah mengatasi pemanasan global.Bimo sangat bersyukur hadiahnya disambut hangat oleh
Pak Wijaya. Ternyata usahanya tidak sia-sia. Bimo bangga dengan idenya itu.
Nah itulah pembahasan mengenai cara membuat cerita pendek yang baik dan benar, mulai
dari unsur intrinsik cerita, unsur ektrinsik hingga ke struktur kerangka cerita.
Semoga dari beberapa contoh cerpen singkat yang yang berhasil kami himpun, seperti contoh
cerpen romantis bersama ibu dan contoh cerpen singkat lucu bisa menjadi referensi menulis
karya sastra para pembaca.
Jika kamu butuh lebih banyak contoh cerita pendek berkualitas lainnya, langsung saja ajukan
keinginanmu lewat kolom komentar dibawah ini. Semoga bermanfaat, sampai jumpa.
AMY FEBRI JAYATI

COKELAT VALENTINE UNTUK BI IMAH


Hana melihat Dima, kakaknya, sedang sibuk membungkusi beberapa batang cokelat bersama
teman-temanya. Mereka terlihat sangat riang dan heboh. Hana sangat ingin tahu untuk apa
cokelat-cokelat itu, mengapa harus dibungkus dan dihias secantik itu?
”Kak Dima, untuk apa sih cokelat sebanyak itu?” tanya Hana.
”Ini untuk bingkisan valentine, sayang,” jawab Dima cuek.
”Valentine? Apaan sih, Kak?” Hana penasaran.
”Yaaa…ini urusan orang dewasa, Hana. Kamu kan masih kecil, jadi belum saatnya tahu.”
Hana kecewa tidak mendapat jawaban dari Kak Dima. Sebenarnya apa sih Valentine itu? Ia
berlalu dari kamar Kak Dima dengan rasa penasaran.
”Bi Imah, Bibi tahu tidak cokelat Valentine?”
”Ah, Non Hana ada-ada saja. Mana ada coklat Valentine? Yang ada mah cokelat Silverqueen
atuh. Non Hana salah baca ya…?”
”Enggak, Bi…! Tadi Kak Dima bilang, katanya cokelat yang baru dibungkusi itu untuk
Valentine. Nah, Valentine itu apa?”
”Wah, Bibi nggak tahu. Temannya Non Dima mungkin? Kenapa nggak tanya saja sama Non
Dima?” jawab Bi Imah.
”Hhh…hh! Bibi…!” gerutu Hana kesal. Biasanya Bi Imah tahu tentang banyak hal kalau
Hana menanyakan sesuatu. Tapi mengapa sampai Bi Imah tidak tahu tentang Valentine ya?
Ah, bertanya pada Mama saja nanti.
Sambil menunggu Mama pulang kantor, ia menonton TV. Tetapi aneh, TV pun menyebut-
nyebut Valentine, juga dengan cokelat. ”Apa sih valentine?” desah Hana. Ia semakin tak
sabar menunggu Mama pulang. Tetapi waktu seperti bertambah panjang saja saat menunggu.
Sore hari, saat Mama dan Papa minum teh di teras depan, Hana mendekati Mama. Ini saat
yang tepat untuk mencari tahu tentang Valentine pada Mama, pikir Hana. Hana menceritakan
apa yang dilakukan Kak Dima bersama teman-temannya.
Mama tertegun sejenak, memandang Papa, dan kemudian tersenyum kecil, ”Oh, begitu. Jadi
Hana penasaran ya?” tanya Mama.
”Iya. Mama pasti tahu tentang Valentine kan?”
”Mama tahu, Papa juga tahu, iya kan, Pa?”
”Benar, tapi kan Mama yang ditanya, jadi Mama juga yang harus menjawab,” jawab Papa.
”Baiklah Hana, dulu-dulunya Valentine adalah nama seorang pendeta di Itali. Beliau itu
menyerukan agar masyarakat saling mangasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti.
Bapak Valentine juga mengajak semua orang untuk mengungkapkan kasih sayang itu secara
khusus, misalnya dengan cara memberikan bingkisan atau hadiah,” jelas Mama.
”Hadiahnya dari cokelat, Ma?”
”Bisa dengan cokelat, dengan bunga, dengan gambar, dan lain-lain.”

”Nah, ajakan Bapak Valentine itu diserukan tanggal 14 Februari. Makanya untuk mengenang
jasa Bapak Valentine, setiap tanggal 14 Februari dirayakan sebagai Hari Kasih Sayang. Pada
hari itu kita dianjurkan untuk mengungkapkan kasih sayang kepadaorang lain yang kita
cintai,” Papa menambahkan.
”Tapi kata Kak Dima, Valentine itu untuk orang dewasa ya Ma?”
”Oh, sebenarnya tidak begitu, Nak. Siapa pun boleh mengungkapkan kasih sayang. Tapi,
memang kebanyakan orang dewasa yang merayakan Valentine. Seperti Kak Dima dan teman-
temannya itu.”
”Cokelat yang dibungkus Kak Dima untuk siapa?”
”Ya…untuk orang yang dicintai Kak Dima, bisa gurunya, bisa temannya, bisa juga adiknya,
atau siapa saja?”
Hana mengangguk-angguk tanda mengerti. Pantas cokelatnya banyak sekali, cantik-cantik
lagi. Pasti banyak orang yang akan diberi bingkisan. Hana juga ingin melakukan hal yang
sama. Membeli cokelat, menghiasnya, dan memberikan kepada orang yang dicintai.
Hmm..menyenangkan.
”Ma, Pa, Hana juga ingin membeli cokelat. Hana ingin menghiasnya juga seperti Kak Dima.
Hana ingin merayakan Valentine seperti Kak Dima…,” kata Hana merengek.
Hana diantar Mama dan Papa membeli cokelat di supermarket. Ternyata banyak juga yang
belanja cokelat. Hana sibuk memilih cokelat. Akhirnya ia mendapatkan cokelat yang
diinginkannya. Sebuah cokelat dengan ukuran cukup besar, berbentuk bintang, dengan
kemasan yang sangat cantik. Hana tersenyum puas, dan hanya satu cokelat itulah yang dibeli.
Esok paginya, tepat tanggal 14 Februari 2008, saat sarapan pagi, Hana membawa cokelat
yang sudah dihias dan ditempeli kartu ucapan cantik.
”Hmm…pasti ini cokelat Valentine buat Mama, iya kan?” tanya Mama.
Hana menggeleng, ”Mama kan disayang Papa, jadi nanti pasti diberi cokelat sama Papa.”
”Kalau begitu, buat siapa dong? Buat Kak Dima ya?”
”Huh…, Kak Dima kan sudah punya banyak cokelat…?”
Papa, Mama, dan Kak Dima saling pandang. Mereka bertanya-tanya, siapa yang akan
mendapat cokelat besar nan cantik dari Hana? Tetapi rasa penasaran itu segera terjawab saat
Bi Imah melintas.
”Bi Imah…, ini hadiah untuk Bibi. Selamat Valentine, Bi Imah! Hana sayang sama Bibi,”
kata Hana tanpa ragu.
Bi Imah kaget, begitu juga Papa, Mama, dan Kak Dima. Hana membeli cokelat hanya satu,
dan cokelat satu-satunya itu untuk Bi Imah?
”Non Hana…? Bibi rasa, Non Hana tak perlu memberi hadiah untuk Bibi. Tanpa hadiah, ini
pun Bibi akan tetap sayang sama Non, karena Non Hana anak yang manis dan baik,” jawab
Bi Imah. Matanya berkaca-kaca karena terharu.
”Tapi cokelat ini Hana beli khusus untuk Bibi. Hana sangat sayang sama Bibi karena Bibi
selalu membuatkan telor dadar, membuatkan susu cokelat, mendandani Hana kalau mau
sekolah…?”
”Sudahlah Bi, terima saja cokelat itu biar Hana senang. Hana benar, Bi Imah sangat baik pada
kami, jadi pantas diberi hadiah,” kata Mama menahan tangis.

”Ini Bi, mudah-mudahan Bi Imah suka. Ini namanya cokelat Valentine Bi, karena Hana
sayang sama Bibi.”
Bi Imah menerima coklat cantik itu, kemudian mendekap dan menciumi Hana. Hana bengong
dan heran mengapa tiba-tiba Bi Imah dan Mama menangis. Tetapi sebelum mendapat
jawaban, Hana harus segera bergegas karena mobil jemputan ke sekolah sudah menunggu di
depan. Hatinya senang bisa mengungkapkan kasih sayang dan terima kasihnya pada Bi Imah.
RANI RAHMAWATI

SEPATU BOOT

Hujan deras masih saja mengguyur puncak Merapi. Sesekali terlihat kilatan cahaya petir,
disusul bunyi guntur yang memekakkan telinga. Pepohonan meliuk-liuk diguncang angin
ribut. Gemuruh hujan, angin, dan banjir di Kali Pabelan mengantar senja di Remujung,
dusun kecil di kaki Merapi. Di sana, di dalam rumah bambu yang mungil, seorang anak rebah
di pangkuan emaknya.

”Dingin, Mak…!” rintihnya.

”Iya, Emak tahu. Pakailah selimut ini,” jawab Emak lembut. Selembar selimut kumal ia
lurupkan di atas tubuh Tiyah, anak semata wayang. Lumayan, bisa sedikit menghangatkan
dan melindungi gadis kecil itu dari tempias hujan yang menerobos i celah dinding bambu.

”Mak…,” rintih Wantiyah, ”Emak tidak takut?”

”Tentu tidak, Sayang! Tak ada yang perlu ditakutkan, Tiyah. Emak ada di sini,” jawab Emak
lembut.

Tiyah tersenyum. Ia merasa tenang berada di pangkuan Emaknya, karena yakin bahwa Emak
akan selalu melakukan hal terbaik untuknya. Wajarlah jika setiap ibu wajib mendapatkan
bakti anaknya. Tiyah jadi teringat cerita gurunya, Bu Winda, tentang hari Ibu yang diperingati
setiap tanggal 22 Desember.. Dikatakan oleh Bu Winda bahwa setiap Hari Ibu sebaiknya
setiap anak menunjukkan baktinya pada ibu secara istimewa. Misalnya dengan memberikan
hadiah.

”Hadiah! Ya, hadiah,” gumam Tiyah. Suaranya tertelan gemuruh hujan.

Emak masih saja membelai-belai rambut Tiyah. Matanya lurus memandang hujan melalui
jendela yang telah lapuk. Tak ada keluhan tentang hujan sore itu. Tiyah tahu, pastilah Emak
tidak takut. Mungkin Emak justeru mengharapkan hujan deras lebih sering mengguyur
puncak Merapi. Sebab dengan begitu akan semakin banyak pasir dan batu yang hanyut
memenuhi sungai. Itu berarti rezeki bagi Emak.

Esok paginya, setelah sarapan, Tiyah dan Emak berjalan beriringan, meninggalkan rumah,
tetapi tujuan mereka berbeda. Tiyah pergi ke sekolah, sedangkan Emak akan turun ke Kali
Pabelan untuk menambang pasir dan batu.

”Mak, kaki Emak kenapa? Kalau sakit, tidak usah mengumpul pasir dulu, Mak” kata Tiyah
saat melihat Emaknya berjalan sedikit pincang.

”Sudahlah, ini hanya rangen biasa. Kemarin lecet setelah Emak garuk. Tapi tidak apa-apa,
Nak.”

”Tapi kalau terendam air, bisa tambah parah, Mak.”

”Pasir dan batu yang dikirim dari Merapi terlalu banyak, Tiyah. Itu rezeki kita. Sayang kalau
kita lewatkan hanya karena rasa gatal di kaki Emak ini.”

”Tapi Emak harus janji untuk mengolesi dengan salep setelah selesai nanti.”

”Tentu Tiyah! Nah, sekarang berangkatlah. Besok kalau pasir kita sudah laku, kau akan bisa
menambah tabunganmu. Bukankah kau ingin ikut piknik ke Jakarta seperti teman-temanmu?”
kata Emak penuh semangat.
Tiyah hanya tersenyum. Hatinya senang, Emak masih mengingat keinginannya untuk piknik
ke Jakarta. Tapi, mungkin Tiyah tidak jadi ikut piknik karena sejak saat ini ia punya rencana
lain.

Di sekolah, Bu Winda masih berbicara tentang Hari Ibu yang tinggal dua hari lagi. Ini
semakin memantapkan hati Tiyah untuk memberikan sesuatu kepada Emak. Maka setelah
pelajaran usai, Tiyah memberanikan diri menemui Bu Winda, guru kelasnya.

”Bu Guru, bolehkah saya minta tolong pada Ibu?” tanya Tiyah memberanikan diri.

”Tentu boleh! Ada apa, Tiyah?”

”Begini, Bu…”

Tiyah dan Bu Winda berbincang sangat serius di depan ruang UKS. Tampaknya Bu Winda
sangat memahami keinginan Tiyah, demikian juga Tiyah sangat tulus berbicara kepada guru
yang penyabar itu.

”Baiklah Tiyah, Ibu sangat salut dengan keinginanmu. Ibu akan membantu. Kamu anak yang
baik, Tiyah.”

”Terima kasih, Bu,” jawab Tiyah, matanya berbinar.

* * *

Dua hari setelah perbincangan itu, setelah pelajaran berakhir, Bu Winda menyerahkan kardus
berbungkus kertas kado sangat indah. Itulah kado yang dipesan Tiyah untuk Emaknya. Tiyah
sengaja mengambil sebagian tabungan sekolahnya, dan meminta Bu Winda untuk
membelikan kado buat Emak. Tak mengapa jika akhirnya tabungannya tidak mencukupi
untuk piknik ke Jakarta. Ia Rela.

Tiyah meninggalkan sekolah dengan hati riang. Ia ingin sekali segera sampai di rumah untuk
menyerahkan hadiah itu pada Emak. Pastilah Emak akan senang, batinnya.

”Mak, ini hadiah dari Tiyah, buat Emak.”

”Hadiah apa, Tiyah? Kaudapat dari mana?” Emak kaget.

”Ini Hari Ibu, Mak! Tiyah ingin memberikan hadiah untuk Emak karena Tiyah sangat sayang
pada Emak.”

Emak membuka kado dengan hati bimbang. Di dalam kardus yang cukup besar itu
didapatinya sepasang sepatu boot berwarna hijau tua. Emak menatapnya dengan heran,
”Sepatu boot? Untuk Emak? Mengapa, Tiyah?”

”Mak, kaki Emak, kan, sering gatal-gatal, kalau terus-menerus terendam air tidak akan cepat
sembuh. Dengan sepatu boot ini, kaki Emak akan terlindungi.”

”Tiyah…! Terima kasih, Nak. Kau memang anak yang baik, Tiyah,” kata Emak berlinangan
air mata.

”Selamat Hari Ibu, Mak. Emak memang hebat…!”

Tiyah hanyut dalam dekapan Emak. Keduanya larut dalam keharuan. Rumah mungil itu
terasa hangat oleh perasaan cinta mereka, meskipun di luar, hujan sudah mulai turun rintik-
rintik.
FEBBY VALENTINA S.Z

Perempuan Dibalik Jendela

Pagi yang cerah, burung-burung berkicau dengan riangnya di atas pohon yang tumbuh di
pekarangan sebuah rumah. Terdengar suara anak-anak bermain di pekarangan itu “Ayo
tendang bolanya lebih keras” pinta Ramdan kepada Fernia. “Mana mungkin aku bisa
menendang bola lebih keras lagi, aku kan perempuan” balas Fernia. “Argh.. tidak enak ya
punya adik perempuan, tidak bisa diajak main bola” kata Ramdan jengkel. Fernia tersindir
dengan perkataan kakaknya itu “Ya sudah kalau begitu, kakak main aja sendiri”. “Ya udah
deh tendang bolanya sekuat kamu aja! gitu aja marah, kamu kan tau kalau kakak belum
punya teman di sini” kata Ramdan sambil tersenyum supaya adiknya mau menemaninya
bermain bola.

Ramdan, Fernia dan orangtuanya baru saja pindah rumah kemarin siang. Mereka pindah
rumah karena Ayahnya dipindah tugaskan sebagai seorang polisi.

Kali ini Fernia menendang bola sangat keras. Bola itu melambung tinggi sampai Ramdan
Tidak bisa menangkapnya. “Wah bolanya masuk ke pekarangan rumah sebelah Fer” Ramdan
menunjuk ke pekarangan rumah sebelah. “Cepat kamu ambil bolanya Fer! nanti hilang”.
“Loh kok aku yang disuruh ambil, kan kakak yang menyuruh tendang lebih keras” Fernia
kesal melihat kelakuan kakaknya itu. “Kan kamu yang nendang, jadi kamu yang ambil” kata
Ramdan sambil melotot.

Fernia terpaksa pergi ke pekarangan milik tetangga mereka. Pagar yang pendek itu dengan
mudah dilompatinya.

Sampai di pekarangan itu Fernia mulai mencari bola milik kakaknya. Dia mencari ke semua
sudut pekarangan itu tetapi tidak ditemukannya bola itu.

“Huh kemana ya bola itu? kok enggak ada” keluh Fernia. “Apa masuk ke dalam rumah itu
ya?” pikir Fernia. Fernia menatap rumah itu dan berjalan menuju kesana. Akan tetapi
sebelum sampai ke rumah itu, Fernia melihat ada seorang perempuan berambut panjang
memakai gaun bewarna putih melihat ke arahnya dari balik jendela. Fernia kaget dan
langsung berteriak “Aarghh… Hantu!”.

Ramdan yang mendengar teriakan adiknya langsung berlari mencarinya. Ditemukannya


Fernia dalam keadaan menangis ketakutan. Ramdan yang bingung bertanya kepada adiknya
“Ada apa Fer?”. “Ada hantu kak” kata Fernia sambil menahan tangisnya. “Ha, mana
hantunya?” tanya Ramdan penasaran. Fernia menunjuk ke salah satu jendela di lantai satu.
Ramdan melihat ke arah jendela tersebut tetapi tidak ada apa-apa disitu. “Mana? Enggak ada
hantunya” kata Ramdan kecewa. “Tapi tadi ada cewek pakai gaun warna putih kak” jelas
Fernia. “ah kamu itu, terlalu banyak nonton TV jadinya penakut” bentak Ramdan. Lalu
Ramdan mengajak adiknya untuk pulang.

Malam harinya hujan turun dengan lebatnya. Ramdan menggerutu di dalam kamarnya “Huh
gara-gara Fernia bola kesayanganku jadi hilang”. Ramdan yang kesal akhirnya tertidur.

Diaarrr… suara petir terdengar sangat keras. Ramdan terbangun dari tidurnya. Dia melihat
jam dinding yang ada pada kamarnya. Masih jam 3 pagi ternyata. “Aduh kok dingin banget
ya?” kata Ramdan pelan. Ternyata Ramdan lupa untuk menutup jendela kamarnya. Ramdan
pun bangun dari tempat tidurnya untuk menutup jendela. Ketika hendak menutup jendela
Ramdan melihat ke arah luar. Kebetulan sekali, jendela kamar Ramdan menghadap langsung
ke arah rumah tetangganya yang kata Fernia berhantu.

Diaarrr… tiba-tiba suara petir terdengar lagi. Cahaya petir tersebut menerangai gelapnya
malam untuk beberapa detik. Dalam beberapa detik itulah Ramdan melihat seorang
perempuan berambut panjang memakai gaun putih sedang melihat ke arahnya dari sisi
jendela yang berhadapan langsung dengan jendela kamar Ramdan yang berada di lantai dua.
Ramdan terkejut dengan apa yang dilihatnya, dia tidak bisa bergerak dalam beberapa saat.

Akhirnya Ramdan tersadar, dia langsung menutup jendela kamarnya dan berlari ke arah
tempat tidurnya. Di atas tempat tidurnya Ramdan sangat ketakutan dia tidak bisa berhenti
gemetar. Dia masih terbayang-bayang dengan kejadian yang barusan dia alami.

Keesokan paginya, saat sarapan Ramdan menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya
kepada orangtuanya. Akan tetapi orangtua Ramdan tidak percaya dengan apa yang dikatan
oleh anaknya itu. “Ah mungkin kamu hanya mimpi Dan” kata Ayah. “Tidak Yah, Ramdan
tidak sedang bermimpi, Fernia juga melihatnya kemarin siang.” balas Ramdan dengan kesal.
“Iya Yah, Fernia melihat juga” sahut Fernia. Ayah hanya tertawa mendengar cerita anak-
anaknya tersebut. “Sudah-sudah ayo cepat dihabiskan sarapannya nanti telat loh pergi ke
sekolahnya, ini kan hari pertama kalian di sekolah yang baru” kata Mama yang mulai capek
mendengar cerita anak-anaknya. “Iya Ma” jawab Ramdan dan Fernia.

Pukul satu siang Ramdan pulang sekolah. Setelah sampai rumah Ramdan melihat Mamanya
sedang berbicara dengan seorang perempuan. Perempuan tersebut melihat ke arah Ramdan.
“Wah ini Ramdan ya?” tanya perempuan tersebut. “Iya itu Ramdan anak pertama saya” jawab
Mama Ramdan. “Ramdan ayo beri salam sama tante Heni” pinta Mama kepada Ramdan.
Ramdan memberi salam kepada tante Heni.

“Tante Heni ini yang punya rumah di samping kita, dia jarang pulang ke rumahnya karena
pekerjaannya sebagai desainer baju yang mengharuskan dia untuk sering keluar kota” kata
Mama menjelaskan. “Ramdan… Mama kamu tadi cerita kalau Ramdan melihat hantu di
rumah tante ya?” tanya tante Heni sambil tersenyum. “Iya tante, rumah tante angker ya?”
jawab Ramdan. Tante Heni dan Mama tertawa. Ramdan bingung melihat Mama dan tante
heni tertawa “kok pada ketawa?”. “Begini Ramdan kamu salah sangka, yang kamu lihat itu
bukan hantu tapi manekin milik tante yang tante taruh di dekat jendela di lantai dua. Tante
punya banyak manekin untuk dijadikan model gaun yang tante buat di manekin itu juga tante
kasih rambut palsu supaya kelihatan seperti manusia asli” jelas tante Heni. Ramdan malu
ketika mendengar penjelasan dari tante Heni “oh jadi itu cuma manekin ya tante”.
“Makannya jadi cowok jangan penakut” kata Mama. “Iya Ma… Ramdan ganti baju dulu ya
Ma” sahut Ramdan sambil menaiki tangga menuju kamarnya.

Tak lama setelah itu tante Heni pamit kepada Mama dia mau pergi keluar kota lagi karena ada
pekerjaan. Di dalam mobil tante Heni baru merasa ada yang aneh “Kok aneh ya padahal aku
meletakkan manekin cuma di lantai dua, tapi kenapa Fernia juga melihat seorang perempuan
memakai gaun putih yang berambut panjang di lantai satu?”.

Anda mungkin juga menyukai