Anda di halaman 1dari 3

PETANG ANTARA FAJAR, SENJA, DAN REMBULAN

Oleh SITI MUHARMIANI

Hai kubuka cerita ini ya, mungkin akan kupersingkat agar tidak terlalu panjang.
Senja selalu saja menggugah jiwa para penulis, tentu saja aku bukan seorang
penulis hanya saja aku suka menulis. Lembayung senja sedang menyelimuti bumi,
semburat emas yang mengintip awan, kemudian berubah menjadi merah dan gelap.
Senja sama seperti obat bagiku, karena itu setiap senja aku dan sahabatku datang
kemari, ke pantai ini dengan buku serta pena.

Aku teringat ketika dulu, di pantai favoritku …
“kamu tau kenapa nama ku fajar?”
“entahlah”
“ini nama pemberian ayahku, disaat saudara kembarku meninggal di pelukan
ibuku, ibu bulan diwaktu senja”
“lantas?”
“tiap kali ku tanyakan alasannya, ayahku hanya menjawab bahwa namaku ada
arti sesuatu.”
“apa itu”
“entahlah, waktu itu ayahku segera berangkat bekerja”
“memang kerjaan ayahmu jadi apa?”
“ayahku bekerja menjadi pemburu senja”
“…..”
Waktu itu aku gemar sekali pergi ke pantai dan pasir menjadi tempat pembaringan
hangat yang paling nyaman di dunia.
...
“Hey, sebentar lagi senja mau tenggelam, digantikan malam. Apa kamu terus
disini sampai senja itu datang lagi besok?,” celetuk seseorang membuyarkan
lamunanku. Dia Raya, teman ku dikota ini.
“Eh, iya. Maaf, aku terlalu sibuk dengan pikiran ku,” aku bangun dari dudukku,
menghampiri Raya yang sudah jalan terlebih dahulu.
...
“Kenapa senja datang hanya sebentar?,” tanya ku, sembari berjalan pulang ke
rumah.
Pantai ini tidak terlalu jauh dari komplek perumahan kami, ketika ada waktu luang
maupun sedang merasa lelah. Disini, dipantai ini kami melepaskan penat. Dengan
pemandangan senja yang memanjakan mata, penat seketika berubah menjadi
semangat. Seperti kata ku di awal pembuka “Senja seperti obat bagiku…”
“Pertanyaan macam apa itu? Anak SD juga bisa menjawabnya.” Jawab Raya apa
adanya.
“Tidak, Ray. Maksudku alasan kenapa senja bisa datang hanya sebentar?” Tanya
ku lagi, kurang puas dengan jawaban Raya.
“Proses hidup…..” Ucap seseorang bukan Raya. Dia Bagas, sahabat ku tentu saja
sahabat Raya juga. Kami bersahabat dari TK saat ayahku dipindahkan kerja dikota
ini.
“Senja sama kayak manusia. Dalam hidup kita juga harus nikmatin prosesnya.
Jangan sering ngeluh apalagi mau yang instan instan aja. Maka dari itu setiap
petang, senja perlu waktu beralih dari terang menuju gelap.” Tutur Bagas
menjelaskan.
“Terima kasih, Gas. Huh hanya Bagas yang ngerti pertanyaan aku. Lastas apa yang
kalian suka? Senja atau Fajar?” Tanya ku lagi.
“Kamu tanya aku, tentu saja aku akan menjawab senja. Setiap kita ada waktu luang
kita selalu mengunjunginya disini. Kamu juga kan yang bilang senja is my
medicine apalah itu” jawab Raya.
“Kalau aku tentu akan memilih senja juga. Tapi ada Fajar disini, maka untuk
sekarang aku memilih Fajar aja” jawab Bagas.
“Fajar menjemput sang mentari, sang mentari terbit dan menghangatkan langit.
Menyinari sisa embun pagi, dan seluruh semesta segera memulai cerita.
Dimulainya sebuah hari yang baru. Omong-omong menurut kalian mana yang
lebih tepat antara mentari meninggalkan sang langit atau sang langit yang
meninggalakannya demi sang rembulan?” Sambung Bagas.
“Tidak ada yang lebih tepat, semuanya sama saja. Sebab setelah kamu memilihnya,
kamu akan tau kalau mereka semuanya sama. Sama dan indah di porsi masing
masing.” Sambut Raya.
Setelah sadar kami sudah hampir sampai dirumah masing-masing. Kami segera
berpisah karena sang rembulan telah menampakan keindahannya.

Malam ini aku disini, diatap rumah tempat terbaik melihat benda langit. Bulan,
satu kata yang ketika menyebutnya selalu ingat Neil Alden Armstrong. Oh, tidak
dia adalah orang kedua, ada orang pertama yang ku ingat setebelum dia. Ibuku, ibu
rembulan. Sampai sekarang aku tidak tau dia dimana, entah dia masih bernyawa
atau telah tiada. Tidak ada yang tau, dikeluarga ini tidak ada yang berani bertanya.
Pernah sekali aku melihat fotonya dikamar ayah. Aku ingat senyuman manisnya,
telah menjadi memori indah yang terekam jelas dikepalaku. Tapi satu hal yang
membuatku membencinya. Dia ibu rembulan sama seperti Senja, dia datang
membawa keindahan, namun keindahannya hanya berlangsung sementara.
Kenyataannya bahwa dia dan keindahannya meninggalkanku lebih dulu, untuk
selamanya.
“Udahlah, dimana pun Bu Rembulan. Dia pasti ingat, ada anaknya yang cantik dan
indah seperti Fajar yang masih menunggu dia pulang.” ya itu suara Raya, tiba-tiba
dia ada dibelakangku.
“Iya, Ray benar.” Bukan hanya Raya disini, tapi juga ada Bagas. Aku sangat
berterima kasih ada mereka disini, selalu mendukungku.
Percakapan hari ini membuatku paham makna dari kata “rela”. Semua ada
masanya. Senja merelakan sang langit bersenandung dengan sang rembulan.
Seluruh catatan perjalanan yang penuh dengan kata begitu indah.

Anda mungkin juga menyukai