Anda di halaman 1dari 55

Kursi Roda untuk Maria

Cerpen Karangan: Yacinta Artha Prasanti

Angel. Itulah namaku. Nama yang sering didengar dan dikenal oleh banyak orang. Aku
adalah seorang penyanyi cilik. Sudah 7 album yang aku miliki. Padahal, aku masih
menginjak kelas 5 SD.

Hari itu mungkin merupakan free day. Aku tidak ada panggilan untuk menyanyi atau
shooting. Benar benar bebas untuk hari ini. Aku menikmati secangkir teh sambil membaca
novel di teras. Saat sedang membaca novel, aku melihat ada seorang bapak bapak seperti
menggendong anaknya di depan gerbangku. Anak yang bapak bapak gendong lebih muda
dariku. Anak itu tersenyum ke arahku. Aku tersenyum balik ke arahnya. “Kasihan” gumamku
pelan.

“Apa? Yang bener nih om??” aku terkejut. Om Angga memberikanku kabar bahagia. Bahwa,
dalam seminggu ini aku tak akan menyanyi dan shooting. Sementara aku free day untuk
istirahat.

Sore hari, aku sepeda keliling lingkunganku.


“Angelll!!! Minta tanda tangan dong!” banyak orang yang meminta tanda tangan dan foto
bareng. Lalu aku cepat cepat bersepeda lagi.

Mungkin, aku sudah terlalu jauh bersepeda. Aku melihat ada sebuah rumah reot. Ternyata itu
rumah milik anak yang kemarin lewat di depan rumahku.
“Halo, nama kamu siapa?” tanyaku lembut.
“Maria” jawabnya serak.
Tiba tiba, orangtua Maria keluar. Ia menjelaskan padaku bahwa Maria lumpuh dan menderita
sakit jantung.

Esoknya, aku membeli kursi roda untuk Maria. Aku datang ke rumahnya bersama
keluargaku. Tapi, kabar duka datang. Maria telah tiada. “aku terlambat!!!” isakku
Asiknya Liburan ke Hotel
Cerpen Karangan: Shafa Maura Raihanah

“Dek, duit kakak yang adek pinjam lusa kemarin mana? Katanya janji mau bayar lusa besok.”
Kata kak Stira menagihku. “Jangan sekarang kak, Insya Allah nanti aku bayar cuma jangan
sekarang, belum ada penggantinya.” jawabku.
Kak Stira hanya menggeleng gelengkan kepalanya, tanda tidak setuju.
“Kak, Please lah…” mohonku. Kak Stira kembali menggeleng gelengkan kepalanya.
“Janji itu hutang, dek.” itu selalu kata kak Stira yang hampir dia bicarakan kepadaku setiap
hari.

Esoknya mama dan papa sudah janji akan mengajakku dan kakak ke Hotel, kami akan
menginap di sana selama 4 hari.
“Ma, adek masa sudah janji akan membayar hutangnya ke kakak kemarin, tapi kata dia Insya
Allah mulu, padahal janji kan hutang, ma.” adu Kak Stira, padahal aku sudah berdoa agar kak
Stira tidak mengadu kepada mama.
“Stella, ayo dibayar dulu hutangmu.” kata Mama. “Ma, ngapain sih kakak kan lagian sudah
besar, harus ngalah sama Stella,” keluhku. “Gak bisa gitu, Stell kan kamu udah janji sama
kakak.” kata kakak lagi. “Udah, deh gini, aku bayar sesuai duitku, jadi kalau aku punya duit,
langsung aku kasih ke kakak.” kataku dengan berat hati. “Oke.”

Sesampai di Hotel kami langsung mandi dan siap siap makan malam, karena besok aku
ditantang papa berenang pagi-pagi, Brrr pasti dingin, namun tantangannya membuatku
merasa berani.

Esoknya aku langsung berenang, tak sedingin yang aku bayangkan, agak sedikit hangat
airnya. Sepi sekali hanya ada aku dan 2 anak perempuan. Jadi hanya ada 3 anak. Papa datang
sambil memakai baju biasa dan celana renang. “Gak kedinginan dek?” tanya Papa sambil
menggigil. “Biasa aja.” jawabku santai sambil menunggu mama mengambil kacamata
renang.

Mama datang sambil membawa kacamata dan ban renang berwarna Pink. “Makasih mama
cantik!” ucapku. “Sama-sama anak cantik!” jawab mama. “Pa, katanya tantangan, cuma main
di sini? gak ke kolam yang dalam?” tantangku merasa berani. “Wahh… putri papa sudah
berani…” kata Papa, kagum. “Papa lebay..” kataku sambil tertawa. “Ayo deh ke Kolam
dalam,” jawab papa. “Tapi aku boleh pakai kacamata renang, kan? Kalau ban renang tidak.”
kataku. “Oke, boleh.” kata papa.

Kami langsung berenang dengan semangat, Ternyata, aku pemenangnya! Yaay Aku senang
menang, dan aku mendapat hadiah dari Papa, yaitu mie “Samyang” yaitu mi korea yang super
pedas, tapi aku tahan pedas. Akhirnya aku senang memiliki keluarga yang indah, walaupun
aku ada hutang, hihihi…
Curahan Hati Buat Ayah
Cerpen Karangan: Rudiath Benthar

Keluarga adalah suatu elemen terpenting dari suatu kehidupan, banyak di antara kita yang
masih kurang beruntung. Memiliki Orangtua yang sudah tidak sempurna baik yatim maupun
piatu tentu bukan yang kita harapkan, Namun tidak sedikit dari kita yang memiliki orangtua
yang masih lengkap namun tidak memaksimalkan waktu luang untuk bersama dan
membiarkan itu semua berlalu.

“Ayah sebenarnya kenapa ayah bekerja dari pagi hari hingga petang” Tanya Anak.
“Yah, Ayah bekerja bukan lain hanya untuk kebahagiaan kalian” Jawab Ayah.
“Tapi apakah ayah yakin kami akan bahagia dengan itu?” Tanya anak lagi.
“Yah tentu, sebab jika ayah sudah punya banyak uang maka apa yang ingin kalian beli bisa
kalian beli” Jawab ayah lagi.
Sang anak pun terdiam dan memandang ayahnya, Lalu berkata
“Ayah, Bagaimana caranya ayah sebegitu yakin dengan pernyataan ayah” tanya anak.
“Karena ayah sudah melihat bagaimana anak-anak teman ayah yang terlihat bahagia, jika
mereka ingin belanja maupun pergi liburan kamana-mana mereka bisa mewujudkan impian
anak mereka tersebut” Jawab ayah
“Tapi ayah bukannya semua manusia itu berbeda?” tanya anak
“Yeah kamu benar sekali” jawab ayah
Dan lagi anak itu bertanya “Terus kenapa ayah bisa bilang demikian?” tanya anak
Ayah yang merasa capek karena habis bekerja menjawab dengan nada yang agak keras.
“Kamu ditanya berapa kali? Kan ayah sudah bilang kamu bisa bersenang-senang dengan
semua uang yang sudah ayah kumpulkan demi kebahagian mu” Jawab ayah.
“Hmm… Mungkin ayah bertanya-tanya kenapa saya bertanya itu-itu terus. Itu karena saya
ingin ayah tau kita sudah punya harta berlimpah dan kekayaan yang sangat banyak. Tapi
yang saya butuhkan sekarang bukanlah kekayaan harta saja, tapi kekayaan bersamaan” jawab
anak
“Memang kita kaya tapi saya pribadi merasakan miskin di hati yaitu kemiskinan kebersaan
dan kasih sayang. Aku ingin semua ini kita nikmati bersama, mana mungkin saya bisa
bersenang senang padahal ayah yang susah payah banting tulang” Kata anak.

Dear Father
Kami tidak akan selalu memerlukan kekayaan materi saja, Tapi kami akan selalu
memerlukan kekayaan batin (Kebersamaan dan kasih saying
Liburan Ke Pantai Gili Pasir Lombok
Cerpen Karangan: Syafaat Dinihari

Hai namaku renata andiana. Panggil aku renata. Aku tinggal di jakarta. Eh gak usah lama
lama ya, langsung aja denger cerita aku.

Sekarang aku libur kenaikan kelas selama sebulan. Suatu hari…


“Renata, besok kita mau liburan ke pantai gili pasir, lombok sekarang kamu beresin barang
barang kamu yang mau dibawa ke sana yaa” ucap mama.
“Bener mah!” ucapku tak percaya karena di sana pemandangannya indah.
“Iya bener, ayu buru kemasin barang barang kamu” suruh mama.
Aku pun beranjak dari sofa empuk dan pergi ke kamar.

Aku akan membawa handphone, baju ganti, alat sholat, baju renang, pokoknya semua barang
yang dibutuhkan di sana.

Esoknya…
“Renata ayo kita berangkat” teriak mama.
“Iya ma” kataku sambil keluar dari kamar.
Kami pun segera berangkat ke bandara soekarno hatta dan berangkat naik pesawat.

Aku tak tahu dari jakarta ke lombok berapa jam, karena tadi waktu aku di pesawat aku
ketiduran. Aku, mama, papa pun menginap di hotel yang ada di sekitar situ. Besok baru kami
ke pantai gili pasir. Jarak hotel ke pantai cukup dekat kok.

Esoknya…
Kami sudah tiba di pantai gili pasir lombok. Di sana aku berenang air di sana dingin.
Tak terasa hari sudah petang dan besok kami harus pulang ke jakarta.

Esoknya…
Byyyyy lombok… Pamitku saat ada di dalam pesawat.
Lomba Menari
Cerpen Karangan: Irsyadassabila

Siang itu, Matahari lumyan sejuk untuk Kara menari dengan sayap warna putih indahnya itu.
Kara memang sangat mahir menari apalagi, Kalau menari gerakan kupu kupu. Begitu juga
Ibu Kara yang menjadi idola di pelosok hutan.

Suatu hari, datanglah seekor Belalang dan Capung dari hutan tetangga yang menantang Kara
untuk menari.
“Kara, tunjukan saja bila kamu mampu mengalahkan mereka.” Ucap Supi, sang Siput sahabat
Kara.
“Iya, aku akan berlatih untuk lomba menari esok.” Kata Kara memastikan.

Esooknya, Kara berlatih menari di halaman rumahnya namun, Kara tidak tahu kalau Lala dan
Capi mengintip dari balik semak.
“Tapi, kalau nanti Kara tau kita niru gerakanya gimana?” Tanya Capi, khawatir.
“Tidak usah khawatir, nanti kita bilang saja yang menenmukan gerakan ini yang pertama
adalah kita.” Jawab Lala santai.

Saat waktu lomba telah tiba, seluruh penghuni hutan datang untuk melihat, termasuk juga Ibu
Kara yang sebagai Juri di Perlombaan.
Lalu, Kara menari dengan moleknya di atas panggung, dan disusul dengan Lala dan Capi. Ibu
Kara mulai heran, bagaimana Lala dan Capi bisa mengerti gerakan itu. Lala dan Capi pun
juga tidak tau kalau itu adalah gerakan khas kupu kupu, ya, gerakan nenek moyang Kara.

“Sebentar, Berhenti!” Ucap Ibu Kara.


“Iya ada apa? Kenapa berhenti?” Tanya Lala.
“Dari mana kalian dapat gerakan itu, Itu gerakan nenek moyang kupu kupu.” Kata Ibu Kara.
“Hei, ini kami buat sewaktu di hutan kami ya. Jangan mengaku ngaku.” Kata Lala.
“Dari mana?! Apa bisa dibuktikan?” Ibu Kara tetap tidak mau kalah.
Setelah Lala, Capi dan Ibu Kara berdebat lama, akhirnya Kara meredakan sedikit.
“Sudah, Ibu. Biarkan saja mereka.” Kata Kara, menenangkan.
“Bagaimana bisa, Ibu biarkan gerakan itu ditiru. Itu gerakan khas kupu kupu, Nak.” Ucap Ibu
Kara. Tiba tiba, Supi datang, dan berbicara pada Ibu Kara.
“Kemarin, saat saya sedang mencari makan saya melihat Lala dan Capi mengintip Kara dari
balik semak. Jadi, IBu Kara menurut saya Lala dan Capi lah yang meniru niru.” Terang Supi.
Seluruh penonton sorak sorai kala mengetahui Lala dan Capi salah. Dan pada Akhirnya, Lala
dan Capi pun menunduk malu dan mengakui kesalahannya.
“maafkan kami, Ibu Kara, juga para penghuni hutan. Memang kami akui kalau Kara sangat
mahir di bidang menari.” Ucap Lala.
Lalu, Lala dan Capi kembali ke hutannya. Ibu Kara pun memberikan piala kepada Kara.

Jadi, hanya karena iri jangan sampai kejujuran seseorang itu hilang dan tidak boleh mengakui
apa yang bukan miliknya.
Bola Bola Lucu
Cerpen Karangan: Elsa Puspita Ronald

Peri-peri kecil sedang bermain bola. Noni peri juga ada bersama mereka. “Lili penyihir baik,
ya. Kita masing-masing dikasih bola,” kata salah-satu peri kecil. Tiba-tiba, datanglah
gerombolan peri kecil nakal. “Hihihi… kita, kok tidak dikasih bola! Terpaksa, deh bola
kalian kami rebut!” seru peri kecil nakal. Peri-peri kecil nakal menyambar bola-bola itu dan
membawanya pergi. “Jangan ambil bolaku! Kembalikaaan… huhuuu…” peri-peri kecil
menangis. Saat itu, Lili penyihir datang.

“Sudah, jangan nangis! Lihat, ada empat bola lucu di sini!” seru Noni peri. Lili penyihir dan
Peri kecil mendekat. “Ni, itu bayi Armadilo yang melingkar, bukan bola,” kata Lili penyihir.
Noni peri mendapat ide. Ia menyuruh peri kecil memegang bayi-bayi pura-pura bermain bola.
Tak lama kemudian, peri kecil nakal datang lagi dan merebut “bola-bola” itu! Lili penyihir
segera menyulap, “Sim salabim!”

Seketika, bayi-bayi Armadilo itu menjadi besar dan membuka diri. “Wuuuaaa… tolooong…”
teriak peri-peri kecil nakal lari ketakutan. Lima Armadilo tadi terjatuh ke tanah. Lili penyihir
segera menyulap mereka menjadi kecil lagi. “Waaah, hewan ini lucu, ya! Mereka kembar
lima!” kata para peri kecil.
“Induk Armadilo memang biasanya melahirkan bayi kembar lima. Kalau merasa terancam,
Armadilo melingkar seperti bola. Lucu, ya,” Lili penyihir menerangkan.

The End
Ontel Tua Milik Kakek
Cerpen Karangan: Amira. S. Firdaus

Namanya Veronicca amora, dia sering disapa Amora, dia sangat dekat dengan kakeknya yang
sudah berumur 65 tahun. Nama kakek Amora adalah Goldylocks veroka, nama panggilannya
adalah kek Goldy. Kek Goldy sangat baik, kek Goldy sangat hobi naik sepeda ontelnya yang
sudah tua. hampir setiap sore kek Goldy jalan-jalan bersama Amora dan sepeda ontel tuanya.

Sore, pukul 16. 45…


“Nak, ayo kita jalan-jalan ke taman” Ajak kek Goldy kepada Amora yang sedang bermain
bonekanya.
“oh kakek, mau jalan-jalan sekarang ya? ya udah aku ganti baju dulu ya kek” Kata Amora.
Kek Goldy hanya mengangguk tanda mengerti.

Amora mengganti bajunya dengan baju lengan pendek berwarna toska dan bergambar anak
perempuan yang sedang berpose di taman. ditambah dengan celana levis yang panjangnya
sebetis, lalu Amora mengepang satu rambutnya dan menyisakan poni di depannya. “ayo kek
aku sudah siap.” Ajak Amora. kek Goldy dan Amora pun pergi ke garasi dan mengambil
sepeda ontel tua itu.

Mereka menyusuri setiap sudut kompleks dan pergi ke taman, kek Goldy bercerita bahwa
sepeda ini adalah barang turun-menurun yang diwariskan dari buyut Amora. “sepeda ini
adalah barang turun-menurun yang sangat berharga untuk keluarga kita. maka dari itu kakek
sangat menyayangi sepeda ontel ini. sepeda ontelnya punya nama lho…” kata kek Goldy.
“wah! Siapa kek?” Tanya Amora.
“namanya bagus kalau menurut kakek, namanya Kenny, bagus kan? Sepeda ontel ini diberi
nama oleh nenek buyutmu yang bernama Evangelin verona.” Kata kek Goldy.
“iya ya kek namanya bagus.”

Setelah lama muter-muter dan lama menyusuri taman, akhirnya mereka pun pulang, saat
keluar dari taman, ada mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. dan tak sengaja menabrak
Kenny, Amora dan kek Goldy! Gawat!!! Kenny, Amora dan kek Goldy tertabrak oleh mobil
itu.

Saat di rumah sakit…


Ternyata hanya nyawa Amora saja yang tertolong, nyawa kek Goldy tak terselamatkan
karena kekurangan darah. Aku sangat sedih mendengar hal itu.
Kek Goldy pun dimakamkan di pemakaman umum di Washington D.C Amerika serikat.
Selamat tinggal kek…
Diamond Girls
Cerpen Karangan: Ala Taisir

Hai namaku wandit aku adalah anak yatim piatu, aku sudah lama sekali diasuh oleh mama
dan papa angkatku. Mereka berdua orang kaya. Aku bersekolah di SMP gokil, di sana
orangnya pada sombong, jadinya aku kesulitan bergaul. Di sekolah ada ekstrakulikuler, aku
mengikuti kelas melukis. Di sana sangat banyak orang yang mahir, ada satu teman yang
sangat perhatian kepadaku bernama Mafi. Mafi sangat dekat denganku sampai-sampai ia
menceritakan rahasianya kepadaku.

Pulang melukis, Mafi sedang mengejar Algi, ia adalah orang yang disukai Mafi. Aku
mengejar Mafi.
“Mafi”
“Ia ada apa Wandit?”
“Kamu belum dijemput ya?”
“Ya”
Saat kita sedang berbincang datanglah perempuan yang sangat gaul, tinggi dan lumayan
cantik, dia adalah teman bareng melukis yang bernama Fuyu.
“Hai kalian lagi ngapain?”
“Itu Mafi sedang mengejar Lagi” aku menjawab dengan ragu
“Heh” Mafi menegur
“Oh” Fuyu mengatakan dengan nada sombong
“Aku takut belum dijemput” Fuyu berteriak dengan nada cengeng
“Heleh gitu aja takut” Mafi menyindir
“Oke kamu mau ikut main sama kita kan?”
“Oke aku terpaksa” jawab Fuyu

Saat kita bermain tiba-tiba


“Kita buat geng yuk” ajak Fuyu
“Ku kira kamu tidak menyukaiku”
“Teman-temanku memiliki geng, aku sendiri tidak” jawab fuyu
“Oke aku setuju” aku menjawab
“Yaaa aku ikutan dah” jawab Mafi
“Oke, kita akan membuat nama geng ini Diamond girls”
“Yaaaaa”.
Oke inilah terbentuknya Diamond girls.
Sepasang Saudara Kembar
Cerpen Karangan: Salma Novyanti

Ada dua anak kembaran. Namanya Astika Keylla dan Aliska Keylla. Mereka sangat rukun
dan kompak. Bukan hanya itu, mereka juga sangat terkenal di sekolah. Astika dan Aliska
sering mendapat peringkat tertinggi di sekolah. Astika peringkat pertama. Sedangkan Aliska
peringkat kedua.

Suatu saat, sepasang saudara kembar itu menulis cerita tentang pengalaman-pengalaman
mereka. Mereka biasa menulis di Microsoft Word. Setelah berhari-hari, akhirnya naskah
mereka sudah mencapai 45 halaman pas. Mereka segera menulis tentang penulis dan
sinopsisnya. Setelah selesai, mereka berdua mengirimnya ke suatu penerbit yang ada di
Indonesia.

“Astika! Aliska! Ini paket dari fansmu!” Kata Mama.


Astika dan Aliska segera menuju ruang tengah. “Iya Ma! Sebentar!” Astika dan Aliska
berlari-lari kecil. Astika dan Aliska adalah artis cilik yang terkenal dan pintar. Sehingga
banyak fans yang mendukung mereka. Kembali ke cerita. Astika dan Aliska segera membuka
kado itu. Ternyata isinya adalah dua paket peralatan sekolah yang bergambar Hello Kitty dan
My Melody. Astika dan Aliska sangat senang.. sekali! Lalu mereka tidur di kamar mereka.

Lusanya…
Ternyata buku mereka diterima oleh penerbit. Mereka dihadiahkan uang, buku, penghargaan
dan pin My Melody yang lucu. Buku mereka Best Seller dan juga Best Collection. Karena
mereka menulis dengan benar dan kata-kata yang enak untuk di baca. Astika dan Aliska pun
menjadi sangat populer di Indonesia. Sekarang, Astika dan Aliska sudah mulai banyak fans
nya.

– THE END –
Penyesalan Ibu Gajah
Cerpen Karangan: Alyaniza Nur Adelawina

Pada suatu hari, Di hutan Afrika, ada sebuah keluarga gajah. Keluarga tersebut terdiri dari
Ibu Gajah, Ayah Gajah, Dan seekor anak gajah yang bernama Olive.

Esoknya, ibu gajah melahirkan seekor anak gajah lagi yang diberi nama Oline. 1 Minggu
sejak kelahiran Oline, ayah gajah meninggal dunia. Semua hewan turut bersedih.

1 bulan sejak Ayah gajah meniggal, sekarang ibu gajah tidak pernah memerhatikan Olive. Ia
selalu sibuk mengurus Oline. Ibu gajah juga tidak mengurus Olive. Ia sama sekali tidak
memperhatikan dan mengurus Olive.

Olive pun kesal pada ibunya. Ia lalu ke luar rumah, dan meminum air di danau. Olive tidak
tahu kalau danau itu penuh buaya yang ganas-ganas. Ditengah Olive Meneguk air danau
tersebut, TIBA-TIBA… Keluarlah buaya ganas. Ia ingin memangsa Olive. Olive pun
berusaha menyelamatkan diri. Malang, Olive hanya tinggal kerangka tubuhnya. Kejadian
tersebut dilihat oleh Zebby, anak zebra.

Zebby langsung menuju rumah Olive.


“Ibu gajah” panggil Zebby.
Ibu gajah ke luar rumah.
“Iya, oh Zebby. Ada apa?” tanya ibu gajah Ramah.
“Tadi Zebby lihat, Olive minum air di danau CRODILE, tiba-tiba Olive dimakan oleh Buaya
ganas namanya Bhaya. Tubuh Olive sudah habis ia makan hanya tersisa Tulang saja. Kalau
tak percaya, ayo ikut Zebby” jelas Panjang lebar Zebby sambil mengajak ke danau Crodile.

SESAMPAI DI DANAU CRODILE…


“OLIVE…” teriak ibu gajah sangat kencang.
Ibu gajah mendekat ke tulang anak sulungnya itu.
“Zebby, apa benar ini jasad Olive?” tanya Ibu gajah sambil menangis sangat deras.
Zebby mengangguk sambil menunjukkan mimik wajah sedih. Zebby juga sedih karena
kehilangan Sahabatnya. Memang Zebby dan Olive berteman sejak lama.

Tiba-tiba, ibu gajah dan Zebby melihat cahaya yang seperti Olive.
“Hallo bu, Zebby. Ibu, maafkan Olive yang selalu merepotkan ibu. Ibu sekarang tidak pusing
lagi, kan harus mengurus Oline Atau Olive. Untuk Zebby, maaf aku meninggalkanmu.
Meskipun kita beda alam, persahabatan kita tidak akan Luntur, ya.. aku akan menyusul ayah
disana. Jaga baik-baik, ya bu Oline-nya. Dadah” kata Olive. Setelah berkata seperti itu, Olive
menghilang entah kemana.
“OLIVE!!!” teriak ibu gajah dan Zebby.
“Maafkan ibu karena tidak merawatmu semenjak ada Oline. Ibu berjanji akan merawat Oline.
I LOVE YOU, OLIVE” ujar ibu gajah sambil menangis deras sekali.
Menuntut Ilmu
Cerpen Karangan: Aida Anggreani

Dengan kuat aku terus goes sepedaku untuk menuntut ilmu ke sekolah. Aku ingin sekali
mendapatkan ilmu yang berguna dan bermanfaat. Maka dari itu aku giat untuk menuntutnya.
Walaupun ya, sedikit cape sih. Soalnya sekolah MD aku kan lumayan jauh. Tapi demi
mendapatkan ilmu aku rela.

Tak lama kemudian akhirnya aku pun sampai di sekolah. Aku langsung menuju ruang kelas.
Sampai di kelas, sahabat-sahabat ku menyapaku dengan penuh senyuman. Karena tadi aku
berangkatnya agak telat jadi pas aku duduk, eh bel masuk berbunyi. Semua anak-anak masuk
lalu membaca doa.

“Assalammu’alaikum..” salam pak guru.


“wa’alaikumsalam..” jawab anak-anak serempak
“Nah, anak-anak sekarang buka buku pelajar Tarikh Islam ya,” perintah pak guru kepada
semua murid di kelas itu.
“Ia pak” jawab semua murid dengan serempak lagi.

Setelah beberapa jam kemudian. Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 15.00 WIB. Bel
istirahat pun berbunyi. Aku dan saabatku langsung menuju kantin. Setelah makan-makan di
kantin kami menuju mushola sekolah unuk melakukan ibadah sholat ashar.

Sholat ashar sudah selesai dikerjakan, sekarang waktunya masuk kelas. Pelajaran pun dimulai
kembali. Setelah selesai nulis guruku menerangkan yang tadi ditulis oleh anak-anak. Dan
memberikan sedikit pertanyaan.

Waktu menunjukan pukul 16.30 WIB waktunya pulang ke rumah. Sesampai di rumah,
mamaku bertanya kepadaku,
“Dede, tadi belajar apa di sekolah MD?” Tanya mamahku.
“Itu mah, tadi di sekolah aku belajar Tarikh Islam.” Jawabku, sambil mencium tangan mama.
“Ya sudah sekarang mandi lalu makan ya!” Perintah mamaku
“ok mah” jawabku.
Petualangan di Pantai Mutiara
Cerpen Karangan: Fazril Adhiko

Hari minggu yang cerah, aku dan sekeluarga berencana berlibur di pantai hari ini. Kami
sekeluarga menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke pantai. Tak lupa aku membawa
peralatan mandi, seperti handuk, sikat gigi, sabun, sampo, dan lain-lain. Setelah semua siap,
kami sekeluarga pun langsung pergi menuju ke garasi untuk mengambil mobil. Setelah itu,
kami pun berangkat.

Di mobil, kami bersenang-senang. Aku dan kakak-kakakku terus bersenda gurau, tak terasa
kami telah sampai di pantai. Pantai yang kami datangi bernama Pantai Mutiara, kenapa
dinamakan Mutiara? Karena kerikil-kerikil di pantai ini menyerupai mutiara. Aku dan kakak-
kakakku turun dari mobil dan langsung mencari sebuah tempat untuk beristirahat sebelum
kami terjun ke pantai. Akhirnya, tempat untuk beristirahat kami telah temukan dan kami
langsung memesannya. Aku langsung guling-gulingan di tempat yang menyerupai pondok
kecil itu sampai-sampai aku tertidur.

Aku terbangun, aku langsung berdiri dan keluar dari pondok. Aku melihat keluargaku telah
berada di pantai, mereka sedang mandi. Aku pun langsung menyusul mereka mandi, ombak
di pantai hari itu tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Jadi, bagus untuk orang yang tidak
bisa berenang sepertiku. Setelah beberapa menit, keluargaku pergi ke bibir pantai, kakakku
yang bernama Gibran berkata kepadaku, “Git, kakak, Gina, ayah, dan ibu mau istirahat dulu,
kalau kamu ingin ikut, pergi aja ke pondok,”
“Mas Gibran, Gita mau mandi sedikit lebih lama lagi, nih, kak!” teriakku.
“Okeh, Git, kalau udah mandinya nyusul aja ke pondok, ya!” jawab Mas Bima.

Aku langsung melanjutkan kegiatan mandiku di pantai yang sejuk dan indah ini, suasana
pantai yang tidak terlalu ramai membuatku semakin nyaman berlama-lama di pantai bernama
Mutiara ini. Tiba-tiba, sebuah ombak datang, menyapuku ke pinggir pantai, saat aku
terbangun, aku melihat sesuatu yang berkilau di balik sebuah karang di pinggir pantai. Aku
berdiri dan langsung berjalan menuju ke tempat asal kilauan itu, kilauan itu semakin
menyilaukan mataku, aku langsung mengambil sesuatu yang membuat mataku silau.
Ternyata, sesuatu itu adalah sebuah kalung mutiara yang sangat cantik. Melihat kecantikan
kalung itu, aku terpancing untuk memakainya. Aku menggerakkan tanganku ke kepala dan
memakaikan kalung mutiara yang indah itu ke kepalaku. Tiba-tiba, kalung itu bersinar,
sinarnya melebihi sinar mentari. Lama-kelamaan, kalung itu berhenti bersinar.

Tapi, ada yang aneh dengan diriku, aku melihat ke arah kakiku, “Aaaaaaaaaa…!!!” teriakku
kaget melihat kakiku telah berubah menjadi ekor duyung. Aku tidak menyangka kalau kakiku
bisa berubah menjadi ekor duyung seperti yang ada di film-film. Lalu, datang seekor ikan
badut yang berkata, “Gita, kamu diundang oleh Ratu Sean, sekarang kamu harus ikuti saya
untuk pergi ke kerajaan bawah laut,”
“Siapa kamu? Siapa Ratu Sean? Dan kenapa aku berubah menjadi seperti ini?” tanyaku
kepada ikan badut itu.
“Kamu akan tahu jawabannya jika kamu mengikuti saya menghadap Ratu Sean,” jawab ikan
badut itu. Aku pun dengan sangat terpaksa menjawab, “Okeh, aku akan mengikutimu,”

Aku pun langsung berenang mengikuti ikan badut itu, saat pertama mencoba berenang terasa
sangat berat, tapi lama-kelamaan terasa ringan. Akhirnya, aku dan ikan badut sampai di
kerajaan bawah laut. Aku langsung dituntun oleh ikan badut ke dalam kerajaan. Sampainya,
di dalam kerajaan aku langsung diarahkan ikan badut menuju ke ruangan singgasana Ratu
Sean. Kami pun sampai.

“Selamat datang di kerajaan bawah laut, kata peramal kerajaan kami bahwa akan datang
seorang gadis cantik bernama Gita yang akan datang di Pantai Mutiara pada hari ini, katanya
gadis itu akan menyelamatkan putri saya, Revine dari tidur panjangnya. Saya mohon agar
ananda Gita bisa menolong putri saya,” jelas Ratu Sean sambil menitihkan air mata.
“Baiklah, aku akan menolong putri anda, Revine. Tapi, saya tidak tahu cara menyelamatkan
putri anda Ratu Sean,” ucapku.
“Kamu harus mengambil satu biji mutiara dari kalung yang kamu pakai saat ini dan kamu
harus memberi biji mutiara itu kepada Ratu Sean dan Ratu Sean akan membacakan sebuah
mantra sihir untuk membangunkan putri Revine,” kata peramal kerajaan.
Aku mengerti dengan ucapan peramal kerajaan itu, aku pun langsung mengeluarkan kalung
mutiara itu dari kepalaku dan mengambil satu biji mutiara dari kalung itu. Setelah aku
mengambilnya, aku memberikan biji mutiara itu kepada Ratu Sean. Ratu Sean langsung
mengambil biji mutiara itu dari tanganku dan ia langsung membacakan sebuah mantra yang
aku tidak mengerti artinya.

Aku terus berdoa agar Putri Revine bangun dari tidur panjangnya. Tiba-tiba, terdengar suara
seorang wanita, “Ibu! Ibu! Ibu! Ibu di mana?” ternyata itu suara dari Putri Revine. Ratu Sean
yang mendengarnya langsung berlari menuju ke kamar Putri Revine. Ratu Sean langsung
memeluk erat anak kesayangannya. Terlihat kalau Ratu Sean menitihkan air mata yang
membuat aku bersedih.

“Gita, kamu harus cepat pergi dari sini, kamu telah melepas kalung yang membuat kamu bisa
berenang, jadi kamu mungkin akan berubah menjadi manusia kembali,” kata ikan badut.
Mendengar hal itu, aku pun langsung berpamitan kepada Ratu Sean. Ratu Sean berkata,
“Gita, terima kasih karena kamu telah menolong anakku, ini aku berikan kamu sebuah
hadiah,”
“Terima kasih, Ratu Sean,” jawabku.

Setelah menerima hadiah dari Ratu Sean aku pun langsung berenang cepat menuju ke
permukaan dan langsung pergi menuju ke bibir pantai. Aku datang tepat waktu, kakiku yang
dulunya sebuah ekor kini telah berubah menjadi kaki normal kembali.

“Gita, ayo, sudah mau malam, nih! Kamu dari tadi mandi terus, gak lelah apa?” kata Mbak
Gina mengagetkanku.
“Okeh, Mbak!” teriakku kepada Mbak Gina.
Sekolah
Cerpen Karangan: Ippasadega

SEKOLAH… sebagian besar disini aku belajar hidup. Mencari teman, mendapatkan sahabat,
menemukan cinta, dan memiliki pengajar yang emosional atau selera humor yang beragam.
Tiap pagi, ku ikat tali sepatuku sesaat setelah sarapan dengan keluargaku (lebih tepatnya
terburu-buru). Berjalan menyusuri jalan yang ramai menuju sekolah. Kala itu aku masih kelas
1 SMP dan memiliki jaringan pertemanan yang luas karena sifatku yang apa adanya dengan
suara cempreng dan wajah ceria. Dari pertemanan itu, aku mampu menemukan kawan yang
cocok untukku, mereka 4 orang sahabatku (Anti, Ririn, Nia dan Wana). Mereka bukan lagi
teman biasa bagiku, mereka saudaraku yang tak sedarah, tak serupa, dan tak sesifat tapi kami
cocok. Tiap hari kami bertemu, sampai orang tua kami risih. Di sekolah, pulang sekolah,
siang hari sampai sore hari kami selalu bertemu. Kadang kami juga tak langsung pulang,
sering sekali kami sengaja makan siang di salah satu rumah teman. Bahagia? Jelas…! Siapa
anak yang tidak ingin memiliki sahabat karib? Semua mau. Namun, tak ada sesuatu yang
berjalan mulus. Di antara kami (seringnya aku sih) sering bertengkar, saling menuduh, saling
diam, tapi itulah sifat.. beruntunglah kami memiliki seorang Nia, yang paling sabar, tak
pernah ambil pusing, lucu, bisa selalu mencairkan suasana.

Masa SMP kami lalui dengan banyak rasa. Setelah lulus kami melanjutkan ke Sekolah
Menengah Atas. Kami tak lagi satu sekolah. Aku, Anti, dan Wana masuk SMA sedangkan
Ririn dan Nia lebih memilih SMK. Tapi sekolah kami sangat dekat, jaraknya hanya 10 meter
di seberang jalan. Seperti sebelumnya, kami selalu bertemu sepulang sekolah. Jika di tanya,
BOSAN? Tidak, kami tak pernah merasa bosan dengan kebiasaan ini. Kebanyakan orang
mengatakan kami aneh, tapi inilah SAHABAT. Tak ada rasa aneh dengan kami. Hanya
mereka yang tak memiliki sahabat saja yang mengatakan seperti itu. Inilah fase dimana
perasaan cinta dengan laki-laki mulai tumbuh. Kelas 2 SMA aku sudah mengenal perasaan
cinta. Aku tidak tau ini terlambat atau terlalu cepat, tapi ini adalah hal wajar bagi anak muda
seperti kami. Namanya Ditya, dia senior tapi beda sekolah (tepatnya dia satu sekolahan
dengan Nia dan Ririn). Pertemuan kami di sengaja oleh satu teman perempuannya. Kami
dekat 3 bulan, lalu jadian. Dia adalah tipe lelaki yang baik, dia selalu mengalah, sangat sangat
jujur, cemburu yang besar, dan lebih sering merepotkan aku. Tapi aku menikmatinya,
hehehehe. Di mata teman-teman juga kami cocok. Tapi beda lagi di mata kakak laki-laki ku.
Ditya tipe laki-laki yang terlalu baik untuk aku, aku sangat sering membuatnya menangis dan
kakakku benci aku begitu pada Ditya. Bagi dia, aku tidak cocok dengan orang yang sesabar
itu. Tapi aku tetap menyukai Ditya, aku merasa cocok dengannya. Tiap pagi, kami pergi dan
pulang sekolah bersama. Kami bahagia. Sampai 11 bulan kami bersama akhirnya dipisahkan
oleh rasa kebosananku dengan sikap terlalu sabarnya. Lagi-lagi perpisahan ini membuat dia
menangis, aduuh.

Ditya adalah cinta pertama sekaligus pacar pertamaku. Selama putus, kami tak pernah lagi
bertemu. Meskipun dia memaksa ingin bertemu. Setelah lulusnya, dia kuliah di kota dan kami
benar-benar tak memiliki hubungan apapun lagi. LUPAKAN. Aku berniat tak mencintai lagi.
Kelas 3 SMA. Inilah fase dimana siswa memaksa untuk serius belajar.. (hehehe lebih
tepatnya kami, selalu menomor duakan pelajaran). Kami telah mencapai ujung perjuangan di
putih abu-abu. Jika gagal, wah BAHAYA. Ujian nasional sudah di depan mata. Belajar,
belajar, dan belajar. Sampai saat itu tiba, kami akhirnya LULUS juga. Seperti kebanyakan
siswa jika lulus, melukis di baju seragam. Hmmmm heheh.

PERGURUAN TINGGI… Kami masih terus bersahabat, walau kami tak satu universitas,
setidaknya kami masih sering sekali bertemu bahkan menginap bersama. Sampai semester 3,
kami kuliah sebagaimana anak kuliahan. Dan tak pernah kusangka, aku dan Ditya kembali
bertemu di suatu taman kampus. Hmmm tapi kali ini dia dengan seorang kekasih, sementara
aku tidak dengan seorangpun, ada rasa aneh dari perasaanku. Aaah ada apa ini? Apakah aku
cemburu? Semoga bukan. Selang pertemuan itu, dia menelfonku, kami berbincang-bincang
dan saling menanyakan kabar. “Mengapa dulu kau meninggalkanku?” pertanyaan yang tak
pernah bisa aku jawab. Aku menanyakan tentang dirinya dan juga pacarnya. Muncul rasa
aneh selama bertahun-tahun yang tak pernah kurasakan lagi yaitu “cemburu” iya, aku
cemburu. Walau kedengarannya sangat terlambat.
Aku Mau Menjadi
Cerpen Karangan: Boma Damar

Di sudut sebuah ruangan tampak sesosok pria tua renta sedang duduk bersila menikmati
makan siangnya, dengan perlahan ia memasukkan sesuap demi sesuap nasi ke dalam
mulutnya. Ia terlihat begitu kesulitan dengan aktivitasnya tersebut. Maklumlah semenjak ia
kena stroke ringan, tangannya jadi suka gemetaran sehingga ia membutuhkan upaya ekstra
untuk melakukan setiap aktivitasnya.

“Kakek!! Aku sudah pulang!”

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan terlihat sosok gadis kecil dengan senyum riang melangkah
memasuki kamar tersebut serta merta menyapa Kakeknya. Ya, seperti biasanya setiap pulang
sekolah Citra si gadis kecil yang periang menemui Kakeknya, memeluk, dan menciumi wajah
keriput itu, ia sangat sayang kepada Kakeknya. Namun hari itu ia melihat ada sesuatu yang
berbeda, dan hal itu membuatnya bersedih.

“Kek, kenapa Kakek makan dan minum pakai tempurung kelapa? Apakah di rumah ini sudah
tidak ada piring dan gelas?” Tanyanya dengan perasaan heran bercampur sedih.
“Oh cucu Kakek yang manis, kenapa wajahmu ditekuk seperti itu? Lihatlah wajahmu jadi
mirip kura-kura hahaha…”
“Kek, sudahlah jangan coba alihkan pembicaraan, kenapa Kakek harus makan dan minum
dari tempurung kelapa itu?” Kembali ia memburu Kakeknya dengan pertanyaan yang sama.
“Oh ini ya.. Ya Kakek.., Kakek suka aja makan pakai ini, lebih alami dan awet kan?” Jawab
sang Kakek sambil tersenyum untuk menyembunyikan kesedihannya.

“Oh ya, ya Citra mengerti sekarang, Ayah dan Ibu kan yang memberikan ini kepada Kakek,
supaya tidak ada lagi piring dan gelas yang pecah jika tangan Kakek mulai gemetaran saat
makan?! Sungguh keterlaluan mereka!”
“Sudahlah cu, Kakek malah lebih senang seperti ini, lagi pula sudah banyak sekali piring dan
gelas kalian yang Kakek pecahkan. Sudahlah bergegaslah untuk mengganti pakaianmu, Ayah
dan Ibumu pasti sudah menunggu di meja makan.” Dengan wajah kesal dan sedih akhirnya
Citra meninggalkan ruangan itu, sang Kakek hanya menghela napas melihat kepergiannya.

Di ruang makan Citra tampak murung dan tidak selera menikmati hidangannya di atas meja.
Kedua orangtuanya merasa heran, tidak seperti biasanya mereka melihat Citra seperti itu.
“Citra, kamu sakit ya nak?” tegur Ibunya. Lalu terlihat anak itu hanya menggelengkan
kepalanya.
“Mungkin kamu ada masalah di sekolah?” Ayahnya menimpali. Kembali Citra hanya
menggelengkan kepalanya.
“Lalu masalahnya apa sayang? Kok kamu tampak begitu murung dan bersedih?”
“Kakek bu, kenapa Ayah dan Ibu tega memberikan tempurung kelapa pada Kakek sebagai
tempat makan dan minum?”
“Citra, Kakek kan sudah tua. Lagi pula sudah terlalu banyak piring dan gelas yang
dipecahkan oleh Kakekmu, kami kan cape dan repot harus mengurusi hal itu terus. Jadi untuk
sementara biarlah Kakek makan pakai tempurung kelapa sampai ia sembuh.” Sahut Ibunya.
Pedih hati Citra mendengar perkataan orangtuanya, berbulan-bulan ia harus menyaksikan
Kakek tersayang makan dan minum menggunakan tempurung kelapa. Suatu hari penyakit si
Kakek semakin parah sehingga pada akhirnya ia harus kehilangan Kakeknya untuk
selamanya. Ia sangat terpukul dan sedih dengan kepergian sang Kakek tercinta, dua
tempurung kelapa milik si Kakek disimpannya baik-baik di meja kamarnya.

Pada suatu hari dalam suasana makan malam, ada sesuatu yang mengejutkan terjadi.
“Sudahlah Citra, kamu jangan terus bersedih, Kakekmu sudah beristirahat dengan tenang.”
Hibur sang Ibu padanya.
“Oh ya sayang minggu depan Ayah akan mengajak kalian untuk berlibur ke Bali, sangat
menyenangkan bukan?” Sang Ayah pun tak mau kalah.
“Iya Ayah, iya Ibu,” jawab Citra singkat.
“Nah begitu dong, itu baru anak Ayah dan Ibu.” Puji sang Ayah,
“Oh ya Citra, Ayah mau tanya, kelak cita-cita kamu apa sayang?”

Dengan mantap anak itu menjawab, “aku ingin jadi seperti Ayah dan Ibu.”
Lalu kedua orangtuanya saling pandang. “Loh kamu harus punya cita-cita yang lebih tinggi
dari kami nak, kamu harus bisa jadi lebih hebat.”
“Tidak Ayah, aku cukup jadi seperti Ayah dan Ibu saja kelak, agar Ayah dan Ibu tahu
bagaimana rasanya diperlakukan seperti Kakek.” Jawabnya dengan datar sambil
menunjukkan dua buah tempurung kelapa di tangannya.

Wajah kedua orangtuanya langsung memerah, wajah mereka seperti tertampar ribuan telapak
tangan, terlihat mata sang Ibu mulai berkaca-kaca dan Ayahnya pun hanya mampu
menundukkan kepala dengan wajah penuh penyesalan. Mereka telah membuat dua kesalahan
besar. Pertama mereka mengabaikan orangtua yang telah banyak berkorban untuk mereka,
menafkahi dan membesarkan mereka. Kedua mereka telah salah memberikan teladan kepada
sang anak tercinta.
Senja Terakhir
Cerpen Karangan: Sekar Melati Kamah

Namaku Vanessa Jessica Greysce biasa dipanggil Jessace (baca: Jesech) aku punya 3 sahabat
di rumah, bernama Vinka, Regina dan Emma, ketiga temanku itu sangatlah baik dan tak lupa
sama sahabatnya.

Suatu hari aku pulang sekolah aku bertemu Emma di jalan pulang saat siang hari “Hey
Emma!!!” panggilku ke Emma “Jessece, ada apa” jawab Emma “Nanti ke rumahku ya,
jangan lupa ajak Vinka dan Regina” sahutku kepada Emma.

Sampai di rumah aku ganti baju makan dan ke kamarku, aku mengeluarkan Blackberryku dan
melihat BBMku ternyata ada pesan dari Emma bertuliskan seperti ini…

“Jess!? 🙁 kabar buruk, Vinka sakit usus buntu trus dia dirawat di rumah sakit Harapan
Keluarga”

Lalu kujawab balasan dari Emma di BBM seperti ini

“Hahhh kok bisaa sih ceritanya gimana trus kapan kamu tau berita ini” PING PING!!!
Jawabku di BBM
Lalu terjawab dari Emma seperti ini.. “Aku sih gak tau ya sakitnya ceritanya gimana, aku tau
berita ini dari Mama nya Vinka katanya dia kecapean lalu perutnya sakit sakit gitu eh pas di
cek ke RS dia menderita itu Jess”
Hanya kujawab “Ooooh”, langsung aku melihat pesan baru dari Regina seperti ini “Jess ke
Taman yuk sama Vinka dan Emma!!”
“Gin!? kamu nggak tau ya kalau si Vinka tuh sakit” balasku ke Regina
“Apa!? Sakit Apa? Kok gak kasih tau aku sih!?” Balas Regina
“Sakit Usus Buntu, dirawat di RS Harapan Keluarga” Lanjutku
“jadi nanti sore kita gak bisa ke taman dong”
“ya enggak lah” jawabku

Percakapan antara aku dan Regina offline di BBM aku memanggil Emma dan Regina di
depan rumahnya, pertama sih aku nyamperin Emma dulu yang rumahnya dekat sama aku.

Emma dan Regina sudah kupanggil keluar dari rumahnya lalu ku ceritakan rencana gini “eh
kalian mau gak ikut rencana aku?!” kataku “apa?” jawab Emma “Gimana kalau kita
ngejenguk Vinka sambil menanyakan permintaan harapan yang sangat ingin dia capai”
Ujarku

“ya.. ya.. ya boleh” kata Regina “iya boleh juga tuh” timpal Emma.
Akhirnya kita bertiga setuju menjenguk Vinka.
Di rumah sakit kami dipersilahkan masuk karena tinggi kami dan umur kami yang sudah
mencukupi syarat akhirnya kami bertemu Vinka sedang merintih sakit katanya 3 Jam lagi
mau di operasi kami buru-buru menanyakan hal yang dibincangkan kami bertiga tadi.
Harapan Vinka yang dari dulu ingin ia capai adalah melihat langit indah dengan awan seperti
kapas di cat berwarna merah ke jingga jinggaan bersama sahabat sahabatnya, Aku Emma dan
Regina setuju. Kata mamanya setelah di operasi Vinka boleh melihat langit sebentar
berasama sahabat sahabatnya.

Selesai di operasi Vinka didampingi Mamanya bersama kami bertiga turun ke lantai bawah
dan ke taman rumah sakit melihat ke atas sambil duduk di kursi “Bagus ya tante” ujar Emma
ke mama Vinka “tuh liat vin bagus ya” hibur mama vinka kepada vinka, hanya terjawab
anggukan dari vinka Firasatku terasa tak enak sepertinya vinka sakit perut “Vin kamu Gak
apa-apa kan?” tanyaku “enggak kok” jawab Vinka terpaksa. Ternyata benar dugaanku saat
senja Vinka tak bisa menaahan rasa sakit perutnya akhirnya Vinka meninggalkan kami saat
senja mulai hilang dan langit berubah menjadi gelap, mama Vinka mulai mengis memeluk
Vinka kami juga tak akan lupa akan pristiwa menyedihkan ini

Kini kami hanya tinggal Emma, Aku dan Regina. Jenazah Vinka dimakamkan di Tanah Kusir
dekat kuburan kakeknya. Kami sangat mengingat pristiwa itu dengan menyebutnya Senja
terakhir…
Berlari Mengejar Mimpi
Cerpen Karangan: Salwa Al-huwayna

Seharusnya aku sadar. Sebagai generasi muda, aku harus bisa memajukan bangsa. Mengejar
mimpi setinggi mungkin. Tapi ku tak pernah berusaha. Tanpa usaha, mimpiku, hanya akan
menjadi mimpi. Dan tak pernah menjadi kenyataan.

Sebagai seorang pelajar, aku juga harus giat belajar. Agar mimpiku menjadi kenyataan.
Teman-temanku bilang, aku seorang pemimpi, yang bermimpi di siang bolong. Tapi, akan
kubuktikan, bahwa mimpiku bukanlah mimpi biasa. Dan kupastikan, mimpiku kan jadi
kenyataan.

Setiap hari aku membaca buku. Dari yang tipis hingga yang tebal, mampu kubaca habis
dalam berberapa jam. Sampai-sampai, Ibuku membuatkanku sebuah perpustakaan mini.
Berbagai lomba pun kuikuti. Dari tingkat rendah hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Piala
tinggi pun bederet rapi di etalase khusus piala. Banyak bidang telah kukuasai. Itu semua
karena, aku ingin menjadi seorang yang berguna. Agar hidupku tak sia-sia di dunia.

8 tahun kemudian…
Kini umurku sudah 20 tahun. Aku berkerja sebagai direktur muda di sebuah perusahaan
besar. Aku juga punya perkerjaan sampingan, yaitu menjadi penulis. Banyak sudah buku
yang kuterbitkan. Namaku pun sering muncul di berbagai acara TV. Sekarang sudah
kubuktikan, bahwa mimpiku bukan lagi sebuah mimpi. Kini mimpi itu sudah menjadi
kenyataan. Tak ada lagi yang bisa menghinaku dan mimpiku. Mereka hanya bisa
menyaksikan kesuksesanku di balik layar TV.

Cerpen Karangan: Salwa Al-huwayna


Hai namaku Salwa. Aku harap kalian suka dengan cerpenku yang satu ini. Dan pesanku,
kalian harus terus berusaha untuk menggapai sesuatu. Jangan hanya duduk berpangku tangan,
menunggu kesuksesan datang. Karena kesuksesan itu harus diraih bukan ditunggu.

Terima kasih.
Luka Tak Berdarah
Cerpen Karangan: Z.Hilmiah

Selasa malam membawa secangkir racun di hatiku, membuatku lumpuh tak berdaya.
Awalnya aku sudah cukup bahagia. Karena OVJ yang menemani malamku, serta mulai
membuka kehidupan baruku. Namun Dedy mengahancurkan semangat hidupku, Dia
patahkan sayapku lagi, dia membuatku trauma kembali. Apakah ini sifat aslimu? Satu tahun
lebih aku mengenalmu, tak pernah kamu separah itu melontarkan kata-kata kasar padaku.
Sekarang malah kamu caci maki aku sepuas hatimu. Apa karena kamu telah mengenalnya?”
Aku salah mengenalmu selama ini. Malam penuh luka, berhujan air mata, serta kamu iris-iris
hatiku hingga hancur.

Dedy sms: “Maaf menganggu. Aku harap sekarang jangan pernah menghubungiku lagi
ataupun mengganggu hubunganku dengan Cinta, karena aku sudah tidak peduli dengan
hidupmu. Kamu dekat dengan Dendy ataupun jadian dengannya silahkan itu terserah kamu.
Aku punya hak untuk hidupku. Masalah Flasdisk dan Uang itu ambil, itung-itung itu
sedekahku untuk kamu. Jangan ganggu Cinta karena aku yang mengejar-ngejarnya. Bukan
Cinta. Thanks…”

Setelah membaca pesannya, tak terasa air mata pun menetes, panas dingin bercampur rasa
kecewa dan hatipun tak mampu berkata lagi, Astafirullah… Astafirullah.. Astafirullah..
hatiku sakit ya Allah, beri aku kesabaran dan ketabahan hati. Ikhlaskan semua ini, aku tahu
ini sulit. Aku gak boleh emosi, dan sengaja aku gak balas pesannya. Dendy dia tuduh seperti
itu, padahal aku sama dia hanya berteman. Astafirullah… cukup sakit aku mendengar kata-
kata kasarnya “SEDEKAH”, dia anggap aku apa sampai berkata seperti itu.

Cerpen Luka Tak Berdarah

Setelah tenang aku sms Cinta, Aku bukan berniat untuk mengganggunya, melainkan aku
ingin mengucapkan selamat padanya, bagaimanapun juga dia pernah menjadi sahabat terbaik
dalam hidupku, keluarganya pun baik denganku. Aku gak akan pernah melupakan
kebaikannya, walaupun sekarang Cinta seperti itu terhadapku.
Mita: “Yonkz Selamat ya, aku bahagia jika SAHABAT dan MANTANKU bahagia, gak ada
niat untuk menganggumu. Semoga Langgeng Amin. 🙂
Cinta: “Maksudnya apa?”
Mita: “Aku tahu kok kalian sekarang jadian, Gak papa aku malah seneng. Ikhlas jika ini yang
terbaik untuk Sahabat dan Mantanku. Dedy tadi yang sms aku.”
Cinta: “Sumpah yonkz aku gak jadian dengannya, aku Cuma temenan.”
Mita: “Loh.. gak papa, aku loh bahagia dengar kabar itu. Aku sms Cuma mau ngucapin
selamat gak lebih. Tenang aja aku gak akan ganggu kamu, gak akan anggap kenal lagi
dengan kalian berdua. Makasih selama ini sudah pernah jadi SAHABAT terbaik dalam
hidupku. Semoga Langgeng.”
Hati memang terluka “Luka tak berdarah”. Namun aku hanya belajar dewasa. Bagaimanapun
Mereka berdua pernah membuat hidupku bahagia, pernah membuatku tertawa di saat aku
bersedih, dan sekarang sudah waktunya mereka berdua memberiku Luka. Jangan pernah
menutupi kebohonganmu dengan Sumpah. Aku Ikhlas dan Rela karena Takdir dan
Kebahagian seseorang itu hanyalah milik Allah, ada saatnya semua akan kembali padaNya.

Sejak itulah aku tahu siapa mereka, Cinta dan Dedy. Aku disini tidak menyalahkan mereka,
karena aku tahu manusia mempunyai sifat yang mudah berubah dan bisa mengingkari janji
yang mereka buat sendiri. kadang kata yang dia ucapkan dia lakukan sendiri. Bukan hanya
aku yang mengalami kisah seperti ini. Di luar sana masih banyak yang sama dengan ceritaku.
“Pagar makan Tanaman”. peribahasa mengatakan seperti itu. Kebahagian mungkin tertunda
untukku di tahun 2013 ini, namun aku yakin Allah memberikan yang terbaik untuk Masa
Depanku. “As Long As there, is life there is Hope” selama ada kehidupan pasti ada harapan.

InsyaAllah kebagian akan menantiku, InsyaAllah Allah menyiapkan sesuatu yang terbaik
untuk pendamping hidupku. Berharap Mr. L yang akan menjadi pelabuhan terakhir untuk
hatiku, Imam dalam keluargaku dan tempat berlindung dari syahwatku.
“Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka sudah di
kecewakan. kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka sudah di khianati kepada
mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah di sakiti sebelumnya dan kepada
mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangun kembali
kepercayaannya”.
Surat Dalam Stoples
Cerpen Karangan: Yudik Wergiyanto

“Kepada Mala,
Bagaimana kabarmu, perempuanku? Apa kau baik-baik saja? Ku harap kau selalu baik. Dan bahagia.
Masihkah kau seperti dulu –menyukai hujan serta aroma yang dihaturkannya?- Dan masih seringkah
kau membasahi tangan atau tubuhmu dengannya?

Mala, saat ini senja di hadapanku hampir pudar. Siraman cahaya di langit barat itu, pelan-pelan
berubah gelap seiring matahari yang menenggelamkan diri. Suasana ini selalu mampu membuatku
mengingatmu, Mal. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja perlahan pikiranku menuju pada
kenangan kita. Maka, ku putuskan untuk menulis surat ini padamu. Sejujurnya, aku rindu padamu.
Apa kau tetap menangis sebelum tidurmu, Mal? Masihkah bantal-bantalmu basah dengan air matamu
itu? Sudahlah, Mal. Jangan kau menyiksa dirimu dengan tangisan. Akan banyak nantinya hal-hal yang
lebih butuh air matamu, daripada masalah kita ini.

Mal, bukankah ini sudah menjadi keputusan kita? Bukankah kita saling berkomitmen untuk menerima
konsekuensinya? Lalu, mengapa kau masih menangis, Mal? Aku benci bila harus melihat air matamu
itu mengalir. Terlalu cantik parasmu jika hanya kau isi dengan air mata. Sudah, Mal. Berhentilah. Aku
yakin kau pasti tahu bahwa sebenarnya aku tak rela melihatmu pergi. Tapi, apa dayaku? Aku tak bisa
menahan kepergianmu. Juga tak mampu ikut bersamamu, Mal. Kau tahu, ada yang menahanku di sini.
Cinta. Cintaku padanya yang lebih dulu hadir daripada dirimu. Benar, aku masih mencintainya. Dan
kau terluka dengan kenyataan yang memang menyakitkan itu, Mal. Kau bilang aku telah
menempatkan cintaku pada orang yang salah. Bukankan cinta itu selalu benar, Mal? Lalu, hanya
sumpah serapah yang datang darimu.

Begitulah keadaannya. Aku tak bisa menyembunyikan sesuatu darimu, yang ingin ku jadikan Ibu dari
anak-anakku kelak. Mengapa kejujuran terkadang menyakitkan, Mal? Tapi, aku pikir, lebih baik
demikian daripada harus melihat cintamu makin tumbuh dalam kebohonganku. Dan air matamu pun
jatuh kala itu. Mungkin kau mulai benci, jijik, atau muak denganku. Aku hendak memelukmu tapi kau
menolaknya. Katamu, kau tak bisa mendengar debar dada yang terbagi untuk orang lain.

Saat itulah dia datang, Mal. Masa lalumu. Dia menghadirkan senyum di sela bibirmu yang murung.
Dadanya bisa menyanggahmu saat kau nyaris roboh. Mungkin di sana pula kau tak akan mendengar
debar yang terbagi. Ah, aku tak mampu melihatnya, Mal. Aku memilih pergi saja dari hadapanmu.
Dan ku lihat cintaku yang lain sedang menungguku. Tangisku pun pecah di bahunya, Mal. Maaf. Aku
tak bermaksud menyakiti dirimu. Tapi tak mungkin ku pelihara cinta kita, sementara ada cinta yang
mekar di sisi lain hatiku. Apa itu juga disebut sebagai pengkhianatan, Mal?

Rupanya, masa lalumu jauh membutuhkanmu, Mal. Atau, kau yang membutuhkannya? Atau
mungkin, kalian saling membutuhkan? Padahal, aku telah berharap bisa menjadi masa depanmu.
Menghabiskan usia senja di kursi goyang, sembari memperhatikanmu dengan pandangan mata
rabunku, menyulam topi untuk cucu kita yang baru lahir. Ah, aku hanya terlalu jauh berkhayal.
Tidakkah kau tahu bahwa saat melihatmu pergi hatiku seperti disayat, Mal? Sayatannya pelan, namun
sakitnya tak terperikan. Lukanya pun mulai menganga, ketika kau menghangatkan diriku dengan
pelukan dan pagutan bibir-bibir kita, yang beradu dengan air hujan. Lalu setelah itu kau
melangkahkan kaki meninggalkanku.

Kau tak bisa menyembunyikan air matamu, meski hujan berusaha untuk menyamarkannya. Aku
terlampau jauh mengenalmu, Mal. Tak ada yang bisa kau sembunyikan dariku, bahkan air matamu
yang mengucur deras kala itu. Sebegitu jauhkah kita saling mencinta? Mal, maukah kau mengulang
kembali kenangan-kenangan kita? Tentang hujan yang manis itu? Dulu, kita pernah basah di bawah
hujan bulan Maret. Di mana hujan semakin jarang datang. Saat-saat dimana hujan akan pergi dan
berganti dengan kemarau. Musim yang kau benci. Apa kau juga masih sering menari di bawah hujan?
Seperti sepulang dari warung di perempatan jalan sore itu?

Kita berdua berjalan di pinggir trotoar, sesekali diciprati genangan air jalanan yang baru dilewati
kendaraan. Aku yakin kita pasti marah jika itu tidak dalam keadaan hujan. Tapi, tubuh kita sudah
kadung basah. Maka tak ada umpatan untuk mobil-mobil itu selain tawa. Ah, tawamu seperti matahari
yang hadir di tengah-tengah gumpalan awan yang pekat. Kau berjalan mendahuluiku. Tiba-tiba kau
menari-nari bak seorang balerina handal. Aku berhenti melangkah, memandang setiap gerakan yang
kau ciptakan. Kau tak malu jika kendaraan-kendaraan yang lewat akan melihatmu. Malahan, kau terus
menari. Meliuk-liukkan tubuhmu dengan gemulai. Sementara, air hujan terus mengguyur tubuhmu.
Tubuh kita. Berjatuhan di kepala dan mengalir ke wajah. Ah, aku rindu menyaksikan pagelaran
kecilmu itu, Mal.

Maaf, jika aku membawamu kembali pada masa lalu kita. Ku harap kau tak besedih dengannya. Tak
masalah, Mal, jika sesekali kita ingin menengok masa lalu. Di sana kita bisa menemukan kenangan
yang mungkin tak akan bisa lagi diulang. Bahkan, kembali pada masa lalu pun tak apa jika kita
merasa bahwa hari ini atau esok, tak lebih atau tak akan lebih baik dari masa lalu. Cukup. Cukup air
matamu mengalir, Mal. Itu terlalu melelahkan jika kau terus menerus melakukannya. Biarlah semua
seperti ini. Ini adalah pilihan kita dan seharusnya kita bisa menerimanya, bukan? Percaya saja bahwa
kita bisa bahagia dengan ini semua, Mal.

Ku sudahi dulu surat dariku ini. Senja sudah hilang dari pandanganku di jendela. Langit mulai gelap,
Mal. Dan bulan belum juga terlihat. Mungkin akan turun hujan malam ini. Kau ingat pesanku, bukan?
Jangan menangis lagi. Jika kau masih melakukannya, akan ku ambil senja sepotong dan ku letakkan
di pelupuk matamu. Agar selalu terlihat indah seperti senja. Tidak melulu mengalirkan kesedihan
macam ini. Aku sudah menerima surat udangan pernikahanmu. Aku suka dengan warnanya. Jingga.
Seperti senja yang kita pandangi bersama, di suatu sore dua hari setelah kita kenal. Ah, namamu
nampak indah tertulis di undangan itu. Bersama lelakimu.

Mal, mengapa tiba-tiba aku menjadi takut? Nyaliku seketika ciut. Aku merasa tak berani untuk
mengirim surat ini padamu. Aku takut kau kembali mengingatku, sementara tanggal pernikahanmu
tak lama lagi. Masihkah disebut cinta bila kita masih bebas memikirkan orang lain? Aku takut itu
terjadi padamu. Biar saja surat ini ku simpan dalam amplop. Ku masukkan dalam stoples kecil sebagai
tanda kenangan kita yang selalu ku simpan. Aku mencintaimu, Mala.
Harapan Jihan
Cerpen Karangan: Eriel Amanda Kutajeng

Saat sadar, malam sudah mengutuk dan menistakanku. Terlebih langit, ia seakan tak sudi untuk
menampakkan keindahannya, apalagi bintang.

“Hahaha..”
Aku tertawa kecil, memilih untuk satire pada keadaan.
“Hufft…”

Sebuah hembusan napas menarik sedikit anak panah memoriku, baru sesaat sebelum anak panah itu
terlepas menancap tepat di hati yang renta ini. Anak panah itu menancap terlalu dalam, hingga tanpa
sadar semua memori yang selama ini ku ‘block’ terlepas. Imaji 2 orang jatuh cinta tentang mimpi-
mimpi mereka di masa depan. “Kita akan keliling eropa ya nanti, kamu janji?”

Lalu teringat saat ku bilang, “Kita akan keliling dunia. Aku janji..” Aku ingat pertama kali kami
bertemu, saat aku dikenalkan padanya oleh temanku. Aku ingat cat tembok warna cream kafe itu, aku
ingat betapa poster bob marley tersenyum padaku dari sebelah kiri, aku bahkan ingat aroma
cappuccino yang ku minum saat itu, sebuah cappuccino dengan tambahan sedikit pemanis dari
senyumnya. Ah, pemanis untuk sesuatu yang ditakdirkan pahit.

Tidak ada yang spesial dari Jihan saat itu, dia hanya gadis biasa sama seperti yang lainnya. Tapi dia
memperlakukan setiap orang spesial, seakan ia jatuh cinta pada semua orang. Tidak ada yang
istimewa dari seorang Jihan, selain novel yang ia peluk erat dengan lengannya. “Perahu kertas..”
ucapku. “Dee..” Tanpa sengaja aku bergumam membaca cover novel yang seakan tak mau ia lepaskan
dari pelukannya. Membuatnya terlihat sedikit melirik padaku, dan di situlah ia sadar. Joe, temannya,
membawa teman lain.

“Jihan..”

Ia mengulurkan tangannya ke arahku, sambil mengukir senyuman di bibir yang membuat mata itu
tertutup hampir sepenuhnya. Sejenak aku memperhatikan jilbab abu-abu yang ia padukan dengan
kacamata berbingkai hitam itu.

“Rei..”

Dan itulah saat pertama kali kami bertemu, dia berbicara banyak sekali tentang ‘Dee’. Iya, awalnya
tentang ‘Dee’ lalu semuanya berkembang dan masuk ke bagian-bagian pribadi. Hingga kami sadar,
kami berdua jatuh cinta. Aku menyeruput kopi yang bertengger di tepi jendelaku, menatap bintang
yang masih ragu. Memori-memori itu berputar acak seperti kaset bon jovi yang sudah bertapa
bertahun-tahun di laci lemariku, dan hari ini, entah keajaiban apa yang membawanya tiba-tiba masuk
ke dvd player. Bernyanyi patah-patah. “I ‘ll be there till the star don’t shine, till the heaven burst and
the word don’t rhyme. Baby when I die, you’ll be on my mind..”

Kursi roda ini sangat membatasi gerakku. Sama seperti orangtua Jihan. Kecelakaan 3 bulan yang lalu
membuatku harus koma selama 2 minggu, lalu harus menggunakan kursi roda untuk 1 bulan.
Sebenarnya sekarang aku sudah bisa berjalan, cuma saja. Tiap kali aku melangkah, tiap ritme derap
langkahku, aku mengingatnya. Jihan. Orang yang bersamaku saat kecelakaan itu.
“Ah!!”

Kenapa waktu itu aku menarik gas motorku sekencang-kencangnya saat sedang marah padanya.
Kenapa waktu itu aku tidak mengindahkan saat dia menangis dan berteriak di belakang agar
menyuruhku tenang dan berhenti. Kenapa aku harus marah padanya saat orangtuanya tidak menyukai
hubungan kami. Dan kenapa harus.. Waktu itu, mataku gelap lalu kami jatuh. Sejak hari itu aku tak
pernah melihat Jihan lagi, seakan semua tentang kami adalah mimpi dan ia adalah bunga mimpi yang
menari di benakku padahal aku sudah bangun. Bunga mimpi yang pergi tanpa mengucapkan selamat
tinggal atau sekedar memberi kabar. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya saat kecelakaan waktu
itu. Aku tak pernah diberi tahu.

Di sinilah aku, duduk di sebuah kursi roda karena malas berjalan, kehilangan separuh jiwa benar-
benar tidak enak. Bersama segelas cappuccino menatap langit gelap penuh penyesalan, tumpukan
buku, surat kabar, majalah, dan sebuah novel. Perahu kertas ‘Dee’. Tangan kananku meraih sebuah
majalah, ku balik-balikkan halaman demi halaman hingga sampai di sebuah cerpen. Yah, sebuah
cerita pendek. Aku tenggelam dalam retorika sang penulis, tapi aku rasa aku tahu gaya bahasa ini.
Maksudku yah, hingga aku menemukan sebuah kalimat, “Dee sendiri berkata, satu menggenapkan,
tapi dua melenyapkan, aku cuma mau satu tapi di sinilah aku. Lenyap darinya..”

Napasku tiba-tiba berhenti saat ku lihat nama penulisnya “Jihan –Reidee- Anggreini.” Lalu tiba-tiba
sebuah memori kembali “Reidee. Rei yang selalu bersedia mendengar tentang Dee dariku.” Aku tahu
itu tulisan siapa, aku tahu nama itu, tapi, sebuah tulisan di bawah nama itu memaksaku diam untuk
berpikir “Venice, italy.” dia di italia. Dia pergi sejauh itu agar tak bertemu aku lagi. Lalu tiba-tiba
napasku memburu, aku bangkit dan untuk pertama kalinya aku berlari, mengambil handphone,
mengetik sebuah nama, “Andre” sambil membongkar lemari, mengecek semua tabungan yang ku
miliki.

“Hallo, Dre? Gue Rei. Masih inget gak? Temen SMA lo dulu..”
“Rei?” suara itu tercekat di kejauhan sana. “Ada apa? Enggak biasanya lo nelepon?”
Aku meringis, aku baru ingat, dia teman baikku dulu tapi aku hampir tak pernah menghubunginya
kalau bukan dia yang nelepon duluan.
“Lu masih di italy? Di kota mana?”
“Iya, gue di venice..”

Duar! Sebuah hal yang Rei tak tahu apa, terasa meledak dalam dadanya, seperti ada kembang api
yang tiba-tiba meletup-letup di jantung. Pertama kali dalam 3 bulan ini, ia merasa benar-benar hidup.
Tersenyum. Ia merasa benar-benar ‘bernapas’. Ia merasakan harapan.

“Rei?” Andre masih di telepon.


“Hei… Maaf, lo punya waktu kapan? Gua akan ke venice secepatnya..”
Kamu Yang Pertama
Cerpen Karangan: Selvi Hasan

Awalnya aku tidak mengenal kamu, sekolah kita beda, tempat tinggal berjauhan, hanya saja mungkin
tuhan berencana.

Aku perempuan yang cuek, apalagi menghadapi seorang laki-laki. Aku tidak pernah peduli dengan
cinta. Masa bodoh dengan perkataan teman di kelas “jomblo immortal” alias jomblo abadi. Bagiku itu
hanya nada sumbang yang gak penting.

Kembali ke Dia. Saat itu aku diajak temanku ke sebuah taman di dekat sekolahku, tiba-tiba dia
mengenalkanku pada seseorang, aku terkejut. Pasti temanku ingin mencomblangkanku. Hahh aku
tidak sudiii. Tapi untuk menghargainya aku hanya berkenalan saja dengan lelaki itu. Tidak ada rasa
sama sekali selain rasa bosan dan marah. Tapi yahh.

Keesokannya, aku iseng membuka akun facebookku, dan entah mengapa nama Dia, Ardi Rinaldi,
orang yang dicomblangi meminta pertemanan di fb, setelah pemikiran dan deklarasi yang amat
panjang akhirnya kuterima. Tidak lama kemudian, dia mengirim pesan, “thanks” .aku hanya
menjawab “y”. Lama kelamaan kami ngobrol saling tukar informasi, tapi masih dalam kecuekanku
yang tingkat dewa

Sudah seminggu kami bertukar kabar, bercerita via facebook, menyenangkan. Rasanya, ada hal baru
yang lama tidak kurasakan. Apakah ini cinta?

Sepertinya aku jatuh cinta, hanya sekali bertemu berlanjut chattingan dan bertukar kabar tiap hari
membuatku merasa bahagia, dan kehilangan jika sesaat saja dia tidak ada kabar. Tapi aku tidak yakin,
apakah ini cinta atau hanya sesaat saja. Akhirnya kuputuskan untuk tidak menghubunginya lagi. Tapi
lama kelamaan semakin dilupakan semakin aku ingat bahwa dia itu benar-benar yang terbaik.
Buktinya, sebelum aku memutuskan untuk tidak usah menghubungiku lagi dia hanya menjawab,
“baiklah, jika memang begitu. Tapi ingat jika nanti kita sudah berhubungan lagi ada banyak hal yang
ingin kuceritakan, percayalah”

Sebulan sudah aku berusaha melupakannya, aku fikir mungkin dia sudah tidak mengingatku lagi. Ya
sudahlah, lagian ini adalah perbuatanku yang ingin melupakannya. Dan tiba-tiba sepulang sekolah, dia
menunggu di depan gerbang sekolahku, dan merangkulku dan membimbingku untuk menaiki sepeda
motornya. Aku terkejut, ada apa dengannya? Mengapa begini? Aku jadi gugup, takut. Apa dia marah?
Atau… Fikiranku sudah tidak karuan lagi.

Setibanya di suatu tempat, sebuah taman persis disaat kami pertama berkenalan, dia menyatakan hal
yang tidak pernah kubayangkan. “Kamu tau, sebenarnya kita itu satu sekolah dasar dulu, tapi kamu
gak kenal aku saat kita kenalan kemarin. Kamu tau aku yang suka jahilin kamu sewaktu sd, ngetawain
kami jika kamu jatuh di jalan tanpa sebab, itu aku yang suka ngeledekin kamu, dan karena hal itu aku
gak bisa ngelupain kamu, aku suka cueknya kamu, lugunya kamu” ujarnya yang membuat aku
terdiam kaku. “Ternyata tuhan membuka jalannya melalui teman kamu, aku lihat dari foto unggahan
dia sama kamu. Aku bersikeras untuk dikenalin ke kamu. Tapi apa kamu cuek. Disaat kita udah lama
chattingan kamu minta untuk putus hubungan, tapi aku gak tahan, aku gak bisa ngelupain kamu jujur
aku suka sama kamu, sayang…”. Lagi lagi aku terdiam kaku. Dan tanpa sadar air mataku menetes dan
aku menganggukan kepalaku tanda IYA
Jika Kamu Mengerti
Cerpen Karangan: Mayasari

Ku buka mata, kulihat dunia, ku bertanya pada embun pagi, apakah hari ini semua orang tersenyum
bahagia? Ataukah ada orang yang merasa sepertiku hari ini, terdekap dalam luka, sepi, sunyi, hilang
dan hampa.

Kulihat burung-burung berterbangan dengan riangnya, tergambar senyuman indah dari setiap kepakan
sayapnya, hmmm … aku ingin terbang bersama mereka, aku ingin bernyanyi bersama kicauannya,
“good morning adikku tercinta”, sapa kak Ivan sembari memelukku dari belakang, aku hanya
membalasnya dengan senyuman manisku. Aku Shireen dan kakakku Ivan, orang tua kami bercerai
delapan tahun yang lalu, berdasarkan putusan pengadilan aku diasuh oleh mama, dan Kak Ivan
bersama papa.

Satu minggu yang lalu mama meninggal karena kecelakaan, dan akhirnya sekarang aku tinggal di
rumah papa, “bagaimana tidurnya semalam, nyenyak nggak?”, Tanya papa saat kita sarapan bersama,
“nyenyak pa” jawabku singkat”, “nanti kak Ivan antar ke sekolah ya Reen?”, “iya kak”, suasana ini
bukan yang aku harapkan, aku lebih menyukai suasana saat bersama mama, penuh kehangatan, penuh
canda, mama selalu tahu bagaimana memperlakukanku, aku merindukannya, aku ingin mama selalu
di sampingku, memelukku setiap waktu.

“Dari tadi kakak perhatiin Shireen diam aja, belum terbiasa ya?”, Tanya kak Ivan di tengah jalan,
“Shireen gak tahu harus bersikap gimana kak?”, “dulu kita selalu bersama-sama, kamu bukan orang
asing buat kakak dan papa, jangan pernah merasa sendiri, sekarang ada kakak yang selalu siap kapan
aja buat kamu”, “dulu dan sekarang beda kak!”, “dulu dan sekarang memang beda, tapi sampai
kapanpun kamu akan selalu menjadi adikku”, aku memandang wajah kakakku, seandainya saja dulu
mama dan papa tak pernah bercerai, mungkin aku tak akan merasa seasing ini, “kok bengong! buruan
masuk Reen”, kak Ivan membuyarkan lamunanku, dan aku langsung bergegas masuk ke dalam
sekolah, sekolah baruku tentunya.

Hari demi hari telah berganti, suasana yang asing kini berubah sedikit menjadi lebih hangat, aku tak
lagi merasa sendiri, tak lagi merasa sepi dan sunyi, aku mencoba memulai semua yang baru disini,
tanpa mama, “kita jalan-jalan yuk?”, ajak kak Ivan padaku, “kemana kak?”, “udah ikut aja”, aku
menurut saja padanya, kak Ivan mengajakku ke tepi danau, indah sekali pemandangannya, suasananya
tenang, damai, “kak Ivan sering kesini?”, tanyaku membuka percakapan, “nggak juga dek, ya kalau
lagi pengen aja”, “kak Ivan udah punya pacar?”, “kok Shireen Tanya itu, kenapa hayo?”, “nggak!
pengen tahu aja kak, ya kalau gak mau jawab juga gak pa-pa”, “Shireen Shireen, kamu itu udah
hampir dua bulan tinggal bersama kakak, tapi sikap kamu masih aja belum bisa biasa, aku ini
kakakmu, jadi kamu harus bersikap biasa aja kayak dulu, gak usah sungkan-sungkan”, aku juga nggak
tahu apa alasannya, mungkin karena kita berpisah lumayan lama, jadi butuh waktu untuk
menyesuaikan diri,

“Hujan Reen, kita berteduh yuk”, kak Ivan mnggandeng tanganku menuju sebuah gubuk, lumayan
untuk berlindung dari air hujan, dingin sekali rasanya, apalagi aku hanya memakai baju lengan
pendek yang tidak begitu tebal kainnya, “dingin Reen?”, Tanya kak Ivan padaku, aku hanya
menggangguk, “pakai ini aja”, kak Ivan melepaskan jaketnya dan memberikannya padaku, ya
lumayan lah agak sedikit lebih hangat, “masih dingin ya?”, “iya ni kak, hujannya deres banget,
kayaknya bakal lama deh kak redanya”, kak Ivan yang melihatku masih kedinginan langsung
bergegas mendekat padaku, dan memelukku, memegang kedua tanganku mencoba untuk membuatku
merasa hangat, tapi rasanya aneh, jantungku berdetak seribu kali lebih cepat saat dipeluk kak Ivan,
aku tak tahu apa yang aku rasakan, mungkin karena aku dan Kak Ivan sudah sama-sama dewasa, dan
kita telah lama berpisah.

Sikap dan perhatian yang ditujukan kak Ivan kepadaku begitu besar, dia memperlakukanku bukan
hanya sebatas adik kakak, tapi dia memperlakukanku sangat istimewa, dan hal yang paling aku
takutkan pun akhirnya menjadi nyata, aku memiliki rasa kepada kakakku sendiri, ya aku
mencintainya, mencintai kakakku sendiri, meski aku tahu ini salah, tapi aku tetap tak bisa
menahannya, rasa itu perlahan-lahan tumbuh menjadi besar, hingga aku tenggelam di dalamnya, dan
aku tak tahu bagaimana caranya agar aku tidak terhanyut semakin dalam.

“Shireen kakak mau nunjukin foto sama kamu”, “foto apa kak?”, kak Ivan membuka dompetnya, dan
kemudian mengeluarkan sebuah foto, “lihat deh”, aku terkejut melihatnya, rasanya hatiku seperti
disayat, perih “ini kak Ivan sama siapa? Cewek itu siapa kak?”, tanyaku seperti tak ada apa-apa, “ini
namanya Nina, pacar baru kakak, gimana cantik gak?”, aku mencoba menahan tangis yang sudah tak
kuat ku bendung, “ooo cantik kak, cocok sama kak Ivan”, ucapku mencoba menutupi perasaanku,
ternyata begini rasanya mencoba tetap tersenyum meski hati kita sedang menangis, Tuhan … aku tak
tahu apa yang harus aku lakukan sekarang? Perasaan itu terlalu dalam hingga aku tak tahu bagaimana
untuk menguburnya, aku tak tahu sampai kapan aku akan memendam perasaan ini, dan akan terus
merasa sakit saat aku tersadar bahwa kak Ivan bukan untuk aku miliki.

Aku memutuskan untuk kuliah ke Australia, semakin aku dekat dengan kak Ivan, semakin aku tak
bisa membuang rasa ini, dan semakin membuatku sakit setiap melihat kak Ivan bersama pacarnya,
kak Ivan memintaku untuk melanjutkan kuliah di Jakarta saja, tapi itu tak mungkin, aku tak ingin
semakin mencintainya, seandainya jika kamu mengerti, ini bukan yang aku inginkan,
meninggalkanmu bukan pilihanku, jauh darimu bukan keinginanku, tapi jika aku tetap disini, itu
hanya akan membuatku semakin sulit dan semakin sakit, kita terlahir sebagai saudara, aku adikmu
dan kamu kakakku, selamanya akan terus begitu dan tak akan pernah bisa aku merubahnya untuk
memilikimu.
Berpisah
Cerpen Karangan: Arimbi

Kenalkan namaku Halwa. Aku mengajar paud. Usia ku 20 tahun. Aku memiliki kekasih
bernama Hasan. Kami menjalani hubungan selama hampir 4 tahun.

Akhir-akhir ini dia berubah. Dia bahkan tidak memberiku kabar sama sekali. Padahal aku
sudah sering memarahinya tapi dia tak pernah mengerti. Aku pernah sms dia dan minta
penjelasan, tapi dia membalasku dengan kasar
“Kalau masih mau samaku diamlah”.
Sakit sekali. Padahal dia tidak pernah sekasar itu padaku.
Aku pun membiarkannya saja sampai 2 bulan berlalu. Dia hanya meneleponku 1 kali dalam
sebulan itu pun hanya sebentar.

Suatu hari aku mencoba membuka facebooknya. Aku kesulitan karena dia sudah mengganti
kata sandinya. Padahal itu singkatan nama kami berdua. Waktu itu entah kenapa facebooknya
bisa terbuka dan aku melihat chat dia. Isinya membuat aku sakit. Dia banyak chat dengan
wanita lain dan berkata dia tidak punya kekasih. Dan aku juga membaca chat dia dengan
temannya bahwa dia sedang mendekati seseorang. Aku langsung lemas dan bergetar. Kenapa
dia tega seperti itu padaku?

Aku lalu meminta putus dengannya dan dia mengiyakan. Dia bahkan tidak menahanku sama
sekali. Aku sakit. Sakit sekali.

Esoknya temannya berkata bahwa semua yang aku bilang tidak benar. Aku pun bertanya
padanya tapi dia sangat dingin dan kasar padaku. Entahlah. Aku coba jalani hidupku
tanpanya. Mungkin ini memang sudah takdir dari Allah agar aku menjaga diriku dari
hubungan terlarang yaitu pacaran. Allah mungkin cemburu karena aku lebih mencintai
kekasihku daripada Dia.

Sekarang aku lebih mendekatkan diriku pada Allah. Meskipun rasa ini belumlah hilang. Aku
percayakan semuanya pada Allah semoga Ia memberiku yang terbaik. Amin.
Jangan Terlalu Cepat, Aku belum Siap
Cerpen Karangan: Indri Wahyuniati

Aku menatap lurus sebuah lukisan mawar merah di dalam kamarku. Dalam kesunyian dan keheningan
malam yang mulai mengundang orang-orang untuk sejenak memejamkan mata seusai beraktivitas
seharian. Aku masih saja bercerita tentang kesedihanku yang terjadi beberapa jam lalu kepada benda-
benda mati yang ada di kamarku ini.

“hei jam, mengapa kau begitu cepat berputar membuat aku harus menerima kenyataan pahit ini? apa
salahku, tidak bisakah engkau berputar lebih lambat agar aku tetap bisa menikmati masa mudaku
dengan tenang tanpa tanggungan?” bentakku kepada jam dinding yang tergantung tepat di atas pintu
kamarku. Aku membentaknya seolah-olah ia hidup.
“mengapa kau terdiam. Hei jam, hei guling, hei kasur, hei boneka, hei cermin. Kalian tidak tuli kan?
kalian bisa dengar aku kan? coba jelaskan padaku, siapa dia dan mengapa dia datang padaku?”
kembali aku meluapkan rasa emosiku kepada benda-benda mati yang kuanggap hidup itu.

Rasa sedih dan bimbang yangku alami ini terjadi karena kedatangan 3 hamba Allah ke kediamanku di
sebuah desa terpencil. Seorang ibu bergamis hijau, seorang bapak berjubah putih dan seorang pria
yang bisa kutebak usianya kira-kira 25 tahun itu datang untuk menkhitbahku.
Saat itu, aku sedang asyik merencakan langkah yang akan aku tempuh seusai keluar pengumunan
Ujian Nasional. Yaappsss, tentunya aku ingin melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Namun
cita-cita dan harapan itu hilang dan pecah karena kedatangan seorang pria yang ternyata sejak dulu
mengagumiku. Ia mengaku sangat mengagumiku saat ia bertemu pertama kali denganku di sebuah
majelis ta’lim. Entahlah, entah apa yang ia lihat dariku sehingga ia dapat terkagum-kagum seperti itu.
Padahal aku hanya seorang gadis berkacamata tebal dan bertubuh mungil yang selalu dibalut dengan
khimar. Ia datang melamarku tepat sehari sebelum pengumuman Ujian Nasional. Aku memang tidak
mengenalnya, namun bila dipandang dari raut wajah, tutur kata dan penampilannya aku sangat yakin
bahwa ia adalah seorang pria yang sholeh. Saat itu ia memperkenalkan dirinya kepadaku dan kepada
kedua orangtuaku. Dan saat itu ia menyandang profesi sebagai seorang guru di sebuah pondok
pesantren di Jawa Barat.
Kedua orangtuaku membujuk dan merayuku untuk menerima lamaran itu. Namun hatiku menolaknya.
Aku diam seribu bahasa. Aku bingung dan bimbang. Bila aku menolaknya maka aku akan sangat
berdosa karena telah menolak pria yang sholeh. Namun bila aku menerimanya, jujur saja aku belum
siap untuk membangun bahtera rumah tangga.
Apalagi usiaku saat itu masih berumur 18 tahun yang masih bercita-cita tinggi untuk dapat
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Walaupun aku tahu bahwa setelah menikah
pun tetap masih bisa kuliah, namun rasanya aku masih ingin bebas seperti teman-temanku yang lain.

Dengan segala kerendahan hati dan suara yang lirih aku mulai angkat biacara.
“maaf saudaraku, bukan maksud hati ingin menolakmu. Bahkan aku sangat senang bila Allah
mendatangkan sosok pria yang sholeh sepertimu kepadaku. Namun, jujur saja aku belum siap untuk
menikah. Saat ini usiaku masih 18 tahun. Andai engkau bisa datang kembali padaku saat usiaku 23
tahun. Aku siap menjadi istri mu”
Seketika suasana menjadi hening. Tak ada yang seorang pun yang berkomentar. Aku was-was,
jangan-jangan kedua orangtuaku akan memaksaku untuk menerima lamaran tersebut. Dengan hati
yang pasrah kepada skenario-Nya, aku terus berdoa kepada Allah yang telah mendatangkan hamba-
Nya yang sholeh ini padaku untuk memberikan sebaik-baiknya alur dalam drama dunia nyata ini.
Tiba-tiba…
“bissmiillahirrahmanirahim. Dengan ridho Allah yang sebaik-baiknya mengatur dan mentata hati ini.
aku siap menemuimu kembali saat usia mu sudah 23 tahun”
Suara itu bagaikan melodi yang membuat hati ini ingin menari-nari. Rasa syukur pun terus aku
panjatlan kepada Allah yang telah memilihkan yang terbaik untukku. Akhirnya aku memutuskan
untuk kuliah. Selama kuliah ia tak pernah ada kabar atau sekedar mengunjungi rumahku. Sampai
akhirnya aku wisuda dan telah mendapatkan sebuah pekerjaan yang mapan. Setiap hari dan setiap
malam aku selalu menunggu kedatangannya ke rumahku untuk yang kedua kalinya berharap ia
melamarku kembali.

Saat itu memang usia ku masih 22 tahun. Itu artinya masih 1 tahun lagi mungkin ia akan datang.
Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa kalender menunjukkan tanggal dan bulan kelahiranku dan pada
hari ini aku dinobatkan sebagai gadis berusia 23 tahun. Usia yang aku nanti-nanti karena sebentar lagi
akan datang sosok pria yang akan melamarku dan bersamanya akan kami bangun sebuah rumah
tangga. Lama aku menunggu, namun pria itu juga tak kunjung datang.
Kuhitung-hitung ternyata sudah 5 tahun kami tidak bertemu. Kecemasan dalam hati ku mulai
berkecamuk. Jangan-jangan dia telah menikah atau dia lupa padaku. Entahlah, tiba-tiba saja fikiran
seperti itu muncul dalam otakku.
Sejenak aku menerung,
“saat itu usianya 25 tahun dan aku masih berusia 18 tahun. Namun kini usiaku sudah 23 tahun itu
artinya usianya saat ini adalah 30 tahun. Wow.. seoraang pria yang kini telah berumur 30 tahun dan
belum menikah hanya karena menunggu ku. Ahhh, impossible. Aku sudah hampir 5 bulan berstatus
23 tahun. Nyatanya ia tak kunjung datang. Mungkin dia sudah menikah”
Kata hatiku yang sebenarnya berharap ia belum menikah dan akan lekas datang kembali kepadaku.

Malam itu aku benar-benar direnggut oleh sebuah kesedihan mendalam. Saat semua teman-temanku
satu persatu mengirim surat undangan pernikahan kepadaku namun aku sampai detik ini tak kunjung
mengundang mereka alias tak kunjung menikah juga. Sampai ahirnya usia ku menjelang 24 tahun,
pria itu juga tak kunjung datang. Kecemasan dalam hati ku semakin mencuat.
Aku sholat tahajjud untuk mohon petunjuk kepada Rabbku. Akhirnya, Allah mengabulkan doaku.
Sebulan menjelang usiaku yang ke 24. Pria itu datang ke rumahku untuk melamarku. Seminggu
setelah lamaran itu pun kami menikah.
“kukira kau sudah menikah, aku sempat cemas karena kau tak kunjung datang padahal aku sudah
hampir berusia 24 tahun”
Kataku kepada suami tersayangku.
“bagaimana mungkin aku menikah dengan wanita lain, sementara hatiku telah terpaut olehmu”
Jawabnya sambil mencium keningku.
Kini kami telah sah menjadi sepasang suami istri. Dan kini kami telah dikaruniai seorang putri yang
cantik.
Aku Akan Pergi Jika Itu Mau Kalian
Cerpen Karangan: Kayla Risya Delya

Hari ini, langit mendung. Aku duduk bersama ayahku di karpet, menunggu. Ibuku sedang memasak
sayur bayam untukku.

Aku adalah seorang anak dari keluarga yang tak berada. Namaku Muhhamad Fahmi. Meskipun
kondisiku seperti ini, aku masih bersyukur. Aku bisa bersekolah karena berkat beasiswa. Dulu, aku
merasa adalah anak paling menyedihkan di dunia, namun setelah aku beranjak besar aku baru
mengetahui kalau masih ada banyak orang yang lebih menderita dariku.

“Makanan sudah siap!” Seru ibuku.


Aku langsung mengambil piring lalu menuangkan sayur dan nasi ke piringku.

Ditengah-tengah kegiatanku memakan nasi, aku meminta kepada orangtuaku.


“Ayah, boleh tidak aku minta 5.000? Aku butuh un…” kata-kataku terpotong oleh kedua orangtuaku
padahal aku memintanya baik-baik, tak membentak. Sebenarnya jika tak dikasih juga tak apa-apa..
“Untuk apa uang itu? Kamu tak mengerti keadaan ekonomi kita?! Kau ini, dasar anak pemboros!”
Ucap ibuku dengan membentak, sukses membuat sakit hatiku.
“Benar kata ibumu! Untuk apa kau meminta!! Kau anak yang tak tahu cara bersyukur!” Bentak
ayahku lagi. Mendengar ini, emosiku mulai naik.
“Ayah, ibu! Memangnya Fahmi pernah meminta apa, selain uang 5.000? Selama ini, Fahmi menahan
diri, karena tahu keadaan ekonomi kita tidak baik! Setiap ada teman Fahmi punya barang baru, Fahmi
selalu menahan diri! Uang itu hanya kugunakan untuk berinfak, kenapa ayah dan ibu malah
memarahiku?! Aku tak mengerti!” Di akhir kata, aku langsung beranjak menuju kamarku.

Keesokan harinya…
“Fahmi! Fahmi!”
Ibu membuka kamarku lalu tampaklah secarik kertas.

Ibu, ayah..
Maafkan aku, aku pergi. Selama ini Fahmi tak pernah meminta apapun, Fahmi memendam rasa iri
Fahmi dalam-dalam. Fahmi tak mengerti, mengapa Fahmi dibentak seperti itu?
Sekarang, aku sudah pergi. Tak ada lagi anak yang pemboros atau tak tahu cara bersyukur.
Untuk ibu dan ayah tahu, uang itu akan kugunakan untuk berinfak di sekolah.

~Fahmi~

Ibuku langsung menyesal dan menangis ibu dan langsung membawa kertas itu di hadapan ayahku.
Mereka berdua menyesal. Sekarang, aku sudah pergi jauh. Tak aakan pernah kembali.
Tulisan Rindu
Cerpen Karangan: Ahmad Azhar

Lama rasanya tak kutorehkan sebaris tulisan dalam handphoneku ini. Biasanya setiap
berkutat dengannya kususun kata demi kata yang terngiang di kepalaku, kuketik perlahanan
dengan keyboard virtualku, dan kusimpan dalam file ‘txt’ standar, agar mudah kubuka di
gadget apa saja ketika hendak membacanya. Terkadang, jika ada waktu senggang dan
kebetulan memiliki pulsa lebih, tulisanku ku-publish di blog sederhanaku.

Hari ini beberapa hari dari hari Fitri, aku kembali melakoni kehidupan mengganggur penuh
imajinasiku. Kehidupanku yang membosankan dan acapkali terkhayalkan sesuatu yang
berlebihan. Mungkin memang sepatutnya ‘ku berpuasa agar bisa lebih menahan diri dari
khayalan yang tercela.

Kata-kata itu mulai lagi – berbisik di dalam kepalaku. Diriku terkadang seperti orang gila,
kemana-mana membawa khayalan. Terkadang aku tersenyum sendiri, terkadang pula aku
ingin bersedih – mengikuti alur jalan cerita khayalan dalam kepalaku.

Sepenggal cerita misteri berproyeksi dalam otakku. Tak akan berhenti ia berjalan, jika tanpa
kukeluarkan dalam bentuk sebuah tulisan.

Petir menyambar, menggelegar menyelingi derau hujan deras yang bergemuruh. Kilat
berpendar memancarkan cahaya putih menyilaukan yang ketika kita menatapnya seolah
penglihatan kita menjadi merah, seakan hujan telah berubah menjadi hujan darah. Aku dalam
kesendirianku meringkuk sendiri di dalam rumahku di ruang tengah depan tv, yang tengah
bertemaram ria diterangi oleh cahaya kecil dari lampu tempel karena memang kebetulan
wilayahku sedang giliran mati lampu.

Cuaca dingin serasa merasuk ke celah tulang-tulangku. Memaksaku meringkuk bak udang di
atas kasurku yang tipis – tanpa berbalut selembar selimut pun untuk menolong
menghangatkan tubuhku.

Entah mengapa malam itu aku kesulitan tidur. Cuaca yang dingin, berisik, dan juga didukung
oleh PLN yang menggilir jatah hidup lampu bak bagi sembako, bergiliran, membuat suasana
malamku jadi tidak nyaman, sehingga sangat sulit rasanya untuk kupejamkan mataku ini.

Mula-mula aku hanya biasa saja. Namun seiring malam yang semakin larut dan cuaca yang
kian tak bersahabat, perlahan membuatku mendadak merasakan suasana yang lain. Bulu
kudukku tiba-tiba merinding.
Tepat kira-kira saat tengah malam tiba, aku dikagetkan oleh suara pintu salah satu kamar
yang terbanting-banting berulang kali. Aku kaget bukan main dan nafasku pun seketika berat.
Pikirku, semua jendela telah tertutup rapat, jadi tak mungkin ada angin yang masuk dan
menggerakkannya, apalagi ritmenya terasa sangat intens dan jaraknya pun tak terlalu jauh
dengan posisiku berbaring, jadi mustahil ada angin yang menggerakkannya jika aku tak
merasakan angin tersebut sama sekali.

Aku mencoba bertahan berpikiran positif, tapi tetap tak bisa. “Aku mengenal baik kamar
tersebut!” Batinku. Aku ingat setiap cerita dari orang yang pernah menempatinya. Kesaksian
hidup dari orang-orang yang pernah merasakan suasana mistisnya membuatku takut, “adakah
giliran aku pula yang berkesempatan mengalaminya?” Semoga saja tidak! Mohonku dalam
hati.

Konon di suatu pagi, ketika kami sekeluarga sedang sarapan, ibuku bertanya kepada kakak
tertuaku, “Hei Dan, kenapa tadi malam lampu tempel di kamarmu mati?” Tanyanya dengan
heran. Karena kebetulan semalam wilayah kami sedang terkena giliran mati lampu sampai
pagi, karena itulah saban sorenya kami telah menyiapkan lampu-lampu tembok kecil atau
yang biasa juga disebut lampu tempel, sebagai penerangan bagi tiap-tiap ruangan yang
diperlukan.

“Tidak kok!” Kata kakak tertuaku tersebut menjawab, “Lampunya menyala kok sampai
pagi.”

Ibuku sontak terdiam, seingatnya malam itu sebelum tidur, ia memeriksa terlebih dahulu
memeriksa pintu depan apakah telah terkunci atau belum, dan ketika ia kembali menuju
kamarnya, ia pun melewati kamar depan yang ditiduri kakakku tersebut. Dan pada
kenyataannya kamar tersebut terbuka dengan di dalamnya gelap gulita, tanpa setitik cahaya
pun berbias dari dalamnya.

Tiba-tiba Tante Ai berceletuk, “Sepenglihatanku…” katanya dengan ragu, menceritakan apa


yang telah dilihatnya tadi malam karena ia kebetulan menginap. “…lampunya memang hidup
kok, tapi hanya saja ada sesosok bayangan hitam yang berbentuk mirip kelelawar, hinggap
dan menutupi lampu tersebut. Maka dari itu cahaya lampu tersebut tak bisa tampak sama
sekali.”

Kami semua sontak terperangah diam, benarkah ada sosok semacam itu di salah satu kamar
di rumah kami? Jika “ya” maka kami harus senantiasa hati-hati dalam menempatinya.


Malam ini aku kebetulan tidur sendirian di dalam rumah yang cukup panjang ini. Semua
keluarga sedang bermalam di kampung karena ada acara, sehingga aku yang tak turut ikut
terpaksa tidur sendirian di rumah dengan kebetulan berteman cuaca tak bersahabat.

Ketakutan masih meradang di sekujur tubuhku. Aku pun masih mendengar suara pintu kamar
yang terbanting-banting tersebut di belakangku. Perlahan kuberanikan menengok apa yang
terjadi dengan pintu itu. Alangkah mengherankannya, pintu itu bergerak-gerak persis seperti
selembar flywood yang ditiup oleh angin deras dari sampingnya: bergerak kiri kanan
mengibas, menghantam tiang pintu yang menahannya. Benar-benar menakutkan jika harus
kupikirkan penyebab lainnya.

Sebenarnya aku memilih tidur di ruang tengah bukan tanpa sebab, karena aku takut tidur
sendirian di kamar, makanya aku memilih tidur di tempat yang lebih lebar. Namun siapa
sangka aku lupa memperhitungkan kemungkinan hal seperti ini kan terjadi.

Hati ini bertanya-tanya, “haruskah kejadian menyeramkan ini harus kujalani sampai pagi?”
Pastinya tidak ‘kan?!

Aku kembali mencoba menenangkan diriku, dengan berkali-kali mensugestikan hal positif ke
dalam diriku. Badanku yang kedinginan pun coba kuhangatkan dengan kedua tangan
menyilang di dada.

Seperti hal itu cukup berhasil. Perlahan badanku menghangat dan suara-suara berisik itu
perlahan mengecil, seolah semuanya akan mencapai titik akhir. Ya! Mungkin irama
menyeramkan itu telah mencapai batas ujung nadanya, pikirku. Sehingga semakin lama
suaranya semakin mengecil dan mengecil, dan suara itu mendadak hilang seperti tertelan
bumi.

Hari itu terik mentari bersinar terang. Panasnya akan sangat cukup untuk sekedar
mengeringkan ikan asin dalam tempo waktu sehari. Maklumlah wilayah Kalimantan, suhu
udaranya memang terkenal panas, karena merupakan pulau yang dilalui garis katulistiwa.
Sehingga kala siang tiba, matahari akan terasa seperti berada di atas kepala.

Siang itu aku sedang berada di ujung dapur bersama ibu. Namun aku bukan membantunya
memasak, melainkan hanya sedang menatap ikan-ikan teri yang berenang ke sana ke mari di
pinggiran rumahku. Makluklah orang-orang di desaku sedang kaya-kayanya: kolam renang di
sana sini; samping rumah, kiri dan kanan; serta kolam super lebar lengkap dengan ikan-ikan
di belakang rumah. Kasarnya, saat itu sedang banjir.

Untungnya banjir kala itu tak terlalu besar, masih menyisakan jarak 5 jari dari lidahnya
menyentuh lantai rumah panggung kami.
Siang itu. Entah mengapa aku melihat Dan, kakak tertuaku, memasuki dapur dengan
wajahnya yang setengah sadar. Hari itu memang ia sedang demam dan sedang beristirahat di
kamar depan sejak jam 10 pagi tadi. “Mungkin saja sekarang sedang terbangun karena lapar”
pikirku.

Tiba-tiba ia naik dan berjongkok di pinggir jendela, seolah ia adalah burung kakak tua yang
hinggap hendak mencari makan.

Ibuku yang kala itu baru selesai memasak merasa gusar, melihat tingkahnya yang begitu
aneh, apalagi jika mengingat ia sedang terserang demam.

“Hei Dan, lagi ngapain?” Serunya, khawatir putra sulungnya tersebut terjatuh ke air yang
cukup dalam tersebut. “Jangan di situ nan…” belum sempat lagi ia berucap, Kakak tertuaku
tersebut telah terjun dari jendela.

Mendadak kami semua kaget bukan kepalang dengan apa yang terjadi. Karena seyogya-nya
orang demam panas, kemungkinan berdelusi bisa saja terjadi, apalagi ketika berada di waktu
tengah hari, waktu yang menjadi kepercayaan orang kampung kami sebagai salah satu titik
kegiatan makhluk-makhluk astral untuk menjalankan misinya, menganggu umat manusia.

Untunglah kakakku itu keburu sadar dan segera berenang mendekat ke jendela untuk segera
kami tarik naik.

Setelah berhasil naik, ia tampak sedikit linglung dengan apa yang terjadi. Begitupun kami,
bingung dengan apa yang sedang dipikirkannya, sampai-sampai ia melompat ke air kotor dan
dalam tersebut.

“Ada apa Dan, kok kamu tadi lompat dari jendela?” Tanya ibuku cemas sambil memberikan
handuk kepadanya.

“Ti.. tidak!” Jawabnya, agak ragu, “..aku tadi merasa ada yang menyuruhku pergi ke dapur
dan melompat dari jendela!” Sontak kami semua pun sadar, seharusnya kami tak
menempatkan seseorang yang sakit pada kamar depan yang angker tersebut.

Mendadak aku terbangun dari tidurku. Saat kutatap tulisanku, belum juga rampung. Rupa-
rupanya saat menulis tadi aku ketiduran, sehingga belum juga selesai sampai se-pagi ini.
Seperti biasa ketika aku menulis sembari bersantai dengan berbaring di dalam kamarku, aku
selalu tak sengaja ketiduran. Mataku senantiasa terasa berat seakan lelah membaca tulisan
jelekku yang membosankan.

Saat kembali lagi kubaca tulisanku, aku menjadi teringat dengan masa laluku. Masa-masa itu
ialah salah satunya yang tersaji dalan ceritaku ini. Ini bukan hanya khayalan belaka. Ini
merupakan bagian dari fakta hidupku. Bagian yang menyimpan pengalaman mistis dan
menakutan satu-satunya yang kupunya.

Sebelumnya, aku hanya mendapat bisikan tentang imajinasi belaka, namun kali ini entah
mengapa berbeda? Bisikan dalam otakku itu kali ini memberi inspirasi tentang kisah hidupku
sendiri.

Mungkin sudah sepantasnya pengalaman kita menjadi cerita kita sendiri. Bukan lagi menjadi
bagian yang lain, di luar hidup kita.

Aku berdiri dan memandangi pantulan wajahku di cermin, “Adakah ini sudah saatnya aku
berhenti berkhayal dan lebih memilih menulis cerita kehidupanku sendiri?” Mungkin saja
dengan begitu, pikirku, sisi gelapku itu bisa terbuang dan terperangkap dalam barisan tulisan.
Atau kah? Ini hanya Tulisan Rinduku belaka?
Harus Berakhir
Cerpen Karangan: Susanto P S

Minggu pagi di akhir bulan Januari aku memutuskan untuk berangkat ke Jombang
menemuinya, Sebelumnya aku harus mengantar ibu yang main ke rumah saudara di Sidoarjo
membicarakan soal rumah kontrakan. Sidoarjo pagi itu riuh dengan pasar tumpah daerah
taman pinang orang-orang berjualan memakan separuh jalan sehingga kendaraan hanya bisa
berjalan pelan. Aku memutuskan memilih jalan lewat Krian ke arah mojokerto jalan yang aku
belum pernah lalui sebelumnya. Di perempatan Mojokerto aku menelepon Ditta.

“Aku lagi perjalanan ke sana. Kamu di rumah kan?”


“Loh aku mau ke Sella di Trowulan mau ngerjain laporan. Kamu gak ngomong mau ke sini,”
jawab Ditta yang seolah menghindar dariku.
“Bentar aja kok aku mau ambil jersey-nya aja,” jawabku agar Ditta tidak segera pergi.
“Iya, iya,” Ditta menjawab dengan nada ketus.
Kemudian telepon itu putus.

Aku melanjutkan perjalananku dengan motor Vega tahun 2005 warna biru yang sudah aku
pakai sejak mulai kuliah. Motor yang sebelumnya pernah dipakai kakakku, motor yang juga
mulai kehilangan tenaganya. Belakangan ini juga rem belakang mulai kehabisan
cengkeramannya. Aku lihat awan mulai gelap, aku harus mempercepat laju motorku tapi
sayang hujan deras turun. Aku pun harus berhenti sementara agar motorku tidak mogok
karena hujan deras. Tapi di sisi lain aku tidak mau kehilangan Ditta yang akan ke rumah Sella
teman kampusnya. Beberapa menit kemudian hujan mulai reda seketika aku melaju kembali.
Hujan yang tidak sederas di awal tetap menerjangiku tapi aku tidak boleh kalah oleh hujan.
Tidak boleh.

Aku masih melaju sampai di Jombang hujan kembali deras tapi aku bergegas menuju rumah
Ditta yang tak jauh dari alun-alun kota. Akhirnya sampai di depan rumahnya setelah aku
menjagang motorku yang kepayahan, aku melihatnya di ruang tamu. Aku yang basah kuyup
tidak Ditta perbolehkan masuk. Ditta mengacuhkanku yang rela ke sana hujan-hujan. Ada
dua bangku di terasnya dan Ditta menyuruhku duduk di sana. Aneh saat kami ngobrol di teras
bukan di ruang tamu tempat biasa kami berdua. Mungkin Ditta tidak mau untuk bernostalgia
dengan saksi bisu tempat aku menembak Ditta juga tempat biasa kita pacaran nonton film di
laptop barengan. Ditta memberikan sebuah jersey pesananku yang aku titipkan ke rumahnya.
Jersey AS Roma tim yang aku idolakan sejak SD.

Seharusnya jersey itu sudah ada di tanganku saat Ditta datang ke Surabaya di bulan
Desember tapi sayangnya aku harus membatalkannya. Ada orderan barang yang tidak bisa
aku tolak. Perintah bos yang juga sepupuku tidak enak aku tolak. Aku pun mengecewakannya
yang harus pulang setelah Ditta menginjakkan kaki di terminal Bungurasih tanpa menemuiku.
Aku yang basah kuyup mulai meminta Ditta untuk menimbang kembali saat seminggu
sebelumnya meminta kita untuk putus lewat WhatsApp. Saat itu seolah sebuah tombak
menghujam jantungku. Hal yang tidak pernah aku perkirakan sebelumnya Ditta menyerah
dengan Long Distance Relationship yang kita jalani selama 6,5 tahun.

Seolah tidak percaya aku sempat menanyakan apa Ditta serius dengan ucapannya atau Ditta
mencoba mengetesku tiba-tiba. 6,5 tahun atau 78 bulan tepat kami menjalin hubungan
Surabaya-Jombang yang tidak terlalu jauh tapi kami terkadang hanya bertemu sebulan sekali
terkadang sampai tiga bulan entah Ditta yang ke Surabaya atau aku yang ke Jombang. Ditta
mengatakan aku banyak mengacuhkannya, terutama yang terakhir saat Ditta mau curhat
tentang masalah dengan bapaknya sampai Ditta menangis terisak, aku mementahkan
chattingnya saat itu karena aku juga ada masalah dengan keluargaku sendiri. Batas
kesabarannya mencapai puncak. Beberapa hari setelah kejadian itu Ditta mengucapkan
kalimat haram dalam sebuah hubungan. “Aku nyerah sama hubungan ini. Aku pengen kita
udahan,”

Di teras rumahnya aku mencoba kembali mempertegas kalau aku masih sayang ke Ditta dan
aku bahkan berjanji akan melamarnya saat aku sudah mantap dalam bekerja. Tapi Ditta
kukuh pendirian bahwa hubungan kami sejauh ini harus berakhir sia-sia. Ditta bolak-balik
mengingatkanku kalau dia akan dijemput oleh temannya untuk mengerjakan laporan. Tapi
aku masih bertahan di sana untuk memintanya balikan. Beberapa menit kemudian bapaknya
datang.

“Itu kok di luar sih ngobrolnya. Diajak masuk gih,” bapak Ditta melihatku di luar dan
meminta Ditta untuk mengajakku masuk.
“Iya gak apa-apa Pak di sini aja,” tapi Ditta seolah cuek saja dengan ajakan itu. Tidak ada air
minum yang disediakan selayaknya orang yang bertamu. Aku datang ke sana tanpa dihargai
seperti sebelum-sebelumnya aku ke sana. Aku mulai menyerah dengan keadaan itu.
“Ada cowok yang deketin kamu Ta?” aku mulai bertanya ke Ditta karena kau merasa ada
yang aneh dengan Ditta tidak seperti sebelum-sebelumnya.
“Ya jujur aja yang deketin ada tapi aku masih biasa aja sama dia,” Ditta menjawab dengan
santainya.
“Tapi aku masih boleh kan main ke sini?” aku menanyakan hal yang bodoh yang tidak
mungkin aku lakukan lagi setelah putus.

“Ngapain? Aku udah gak mau ngasih harapan lagi,” Ditta kembali menegaskan tidak mau
balikan bahkan untuk ketemuan.
Jawaban Ditta membuatku pasrah dan putus asa. Seketika seorang cowok dengan motor
Tiger-nya menjemput Ditta.
“Eh tunggu bentar ya,” Ditta meminta temannya untuk menunggu.
“Bukan itu kok anaknya. Itu lo cowoknya temenku. Ya udah aku tak berangkat ya,” Ditta
memberitahuku bukan cowok dengan motor Tiger itu yang mendekatinya.

Aku dengan berat hati harus merelakannya pergi. Aku sadar aku bukan cowok yang bisa
menemaninya setiap saat. Aku memiliki banyak keterbatasan. Hubungan kami memang sulit,
batinnya harus tersiksa apalagi dengan sikapku yang sering terasa datar sehingga
membuatnya harus kecewa. Aku pun harus pulang dan berpamitan dengan bapaknya untuk
terakhir kalinya. Pertemuan terakhir dengan Ditta dan keluarganya terasa menyakitkan. Aku
menjabat tangannya dan meminta agar Ditta tidak mendendam kepadaku dan berharap kami
bisa menjadi teman ke depannya.

Dengan rasa sedih dan sakit hati aku kembali menunggangi motorku untuk kembali
kehidupanku sebelum bertemu Ditta. Aku berharap agar motorku tidak mogok dan hujan tak
kembali turun. Aku juga mendoakan agar skripsi yang sedang Ditta susun cepat selesai
dengan lancar. Semua kisah indah itu sudah berakhir. Ditta melanjutkan hidupnya tanpa aku
sementara aku masih berusaha mencoba agar terbiasa tanpa Ditta, tapi aku masih belum
mampu. Aku terkadang masih menanyakan kabarnya di sana tapi Ditta hanya
mengacuhkannya.
Saat aku kembali menanyakan kabarnya tiba-tiba ada chat balasannya masuk. “Maaf aku
jarang bales soalnya aku lagi ngebut skripsi. Kedua aku lagi deket banget sama cowok. Jadi
aku jaga hati dia,”
“Secepat itu kamu move on dari aku? Aku sekarang lagi gak enak badan kamu pun gak
peduli. Kemarin aku kehujanan kamu juga gak peduli. Separah itu kesalahanku? Aku mau
buktiin aku ke sana buat perjuangin hubungan kita,” Seketika perasaanku terasa panas
mendengar Ditta sudah mulai move on. Aku yang masih sayang banget ke dia terasa berat
apalagi badanku tidak enak karena sering kehujanan akhir-akhir ini.

“Pertahanin mati-matian? Emang kamu pikir aku dulu gak kayak gitu. Tiap ada masalah, tiap
omongan kamu yang gak sengaja nyakitin perasaan aku tapi aku masih sabar. Buat apa dikit-
dikit aku minta putus, aku gak mau kayak gitu. Aku udah nyoba sabar tapi ujung-ujungnya
kamu tetep gak berubah dan ini batas sabarku,” Ditta menjawab chattingku dengan nada
tinggi Ditta membuka semua dosa-dosaku. Ditta ternyata masih menyimpan dendam dari
semua perkataanku yang terasa menyinggungnya.

Aku kemudian mengirim beberapa foto kami berdua yang ada di HP-ku. Tapi sayang
balasannya terasa pedih. Aku juga membuka semua postingan lama Ditta di blognya yang
menyanjungku setinggi langit lalu aku kirimkan semuanya lewat chatting. Aku berharap agar
Ditta tak melanjutkan pendekatannya dengan teman kampusnya itu. Ditta membacanya tapi
tak ada kata yang terucap lagi di malam itu. Hatiku hancur-sehancurnya, seorang gadis yang
pernah aku miliki saat itu kini telah berpaling dengan cowok lain.

Pikirku benar kalau ada yang mengatakan cinta itu lawan kata dari logika. Banyak hal-hal
gila yang seseorang lakuin demi cinta dan terkadang mengacuhkan nalar mereka. Tapi saat
sebuah hubungan mulai mengunakan logika, cinta pelan-pelan akan hilang. Itu yang terjadi
antara aku dan Ditta. Ditta yang dulu rela mati-matian mempertahankan hubungan denganku
sekarang sudah berubah. Aku pun curhat kepada teman kampusku bernama Rista yang
sebelumnya banyak memberiku saran agar memperjuangkan hubunganku dengan Ditta.

“Ya udah ikhlasin aja. Akuin aja semua kesalahanmu. Tetap bersyukur loh dia beda kota
sama kamu. Coba dia ada di Surabaya makin sakit hati kan kamu. Mungkin saatnya ini kamu
cari yang normal,”
“Normal? Normal gimana?” tanyaku yang tak mengerti maksud Rista.
“Hahaha. Yang nyata lah. Yang kelihatan orangnya. Gak pacaran sama HP mulu. Kayak
orang gila yang senyum-senyum sendiri. Hehe,” jawab Rista yang mencoba menghiburku.
“Aku lagi sedih gini kamu malah ketawa,”
“Sedih itu wajar. Kamu nangis juga wajar kok tapi jangan lama-lama. Kamu kumpul sama
temen-temen cowok biar gak galau terus,” Rista memberiku masukkan untuk tidak galu terus.
“Makasih ya udah banyak dengerin curhatku selama ini,”
“Iya,”

Benar kata Rista, aku harus memulai semua yang baru. Ditta menyerah dengan keadaan LDR
yang kami jalani selama ini. selama 78 bulan memperjuangkan banyak hal, mengorbankan
banyak hal dan terkadang mengorbankan perasaan kita terhadap orang lain yang kita sukai.
Ditta memilih melabuhkan hatinya kepada seseorang yang selalu ada untuknya, yang selalu
mendengarkan curhatannya dan menemani di saat dibutuhkan. Tidak sepertiku yang memiliki
banyak keterbatasan.
Ketika Besar Nanti Aku Ingin Menjadi
Seperti Ayah
 Syarif Miftahudin  5:45:00 AM  Cerpen, Tugas Sekolah

Orangtuaku adalah orang yang terhormat di kampung, Ayah seorang kepala desa, dan Ibu
memiliki kios di depan rumah. Orang-orang sering mendatangi Ayah untuk membicarakan
sesuatu. Sering kulihat mereka selalu pulang dengan memberikan uang pada Ayah sebagai
tanda terimakasih. Kios kami, yang dijaga oleh Ibu, tak pernah sepi dari pembeli, karena
letaknya tepat di pinggir jalan raya. Paling tidak, orang singgah untuk mengisi bensin.

Di belakang rumah kami membentang sebuah sungai, entah di mana ujungnya. Sungai itu
tidak terlalu besar, tapi orangtuaku selalu melarangku berenang. Kata mereka, di sana ada
buaya. Aku pun tak bisa berenang saat masih kecil. Orangtuaku juga tidak pernah
mengizinkan aku main sepak bola. Kata mereka, itu akan membuatku sakit. Tapi yang lebih
membuatku jengkel adalah aku tidak pernah dibelikan mainan. Mereka selalu beralasan tidak
punya uang. Maka mainan yang aku punya hanyalah sebuah radio rusak yang kutemukan di
gudang serta bola kasti yang hanyut di sungai dan tersangkut di antara rerumputan.

Saat mulai sekolah, pelajaran pertama ialah tentang cita-cita. Kata Bu Suratmi, setiap orang
harus punya cita-cita. Lalu ia meminta kami masing-masing menyebutkan cita-cita kami.
Ketika sampai pada giliranku, aku bingung. Aku tidak tahu apa cita-citaku.

Bisa saja sebenarnya aku meniru jawaban Yudi, ingin jadi pilot. Toh jawabannya itu juga
meniru jawaban Ihin. Tapi itu artinya aku berbohong, karena aku tidak ingin jadi pilot.
Terlalu repot. Atau meniru jawaban Marsini, cita-citanya ingin jadi guru. Tapi kalau kujawab
seperti itu aku juga berbohong, sebab aku juga tidak ingin jadi guru. Guru tidak pernah ada
yang kaya. Jawaban Arifin sebenarnya cukup keren, jadi dokter. Katanya, biar bisa menolong
orang. Tapi aku juga harus berbohong kalau kujawab seperti itu karena aku tidak ingin jadi
dokter. Dokter pasti harus selalu melihat darah, sedangkan aku takut darah. Kalau Jumanto,
katanya ia ingin jadi nelayan supaya setiap hari bisa melihat laut. Kampung kami memang
jauh dari laut, dan di sini tentu tidak ada yang jadi nelayan. Tapi setahuku nelayan juga tidak
ada yang kaya. Kalaupun aku harus berbohong, aku tidak akan meniru Jumanto.

Tapi aku tidak akan berbohong walau bagaimanapun, karena kata Ayah kita tidak boleh
berbohong. Aku bertanya pada Ayah kenapa kita tidak boleh berbohong, Ayah hanya bilang
pokoknya kita tidak boleh berbohong. Ibu yang kemudian memberi penjelasan, kata Ibu
berbohong itu tidak baik, dan yang tidak baik itu akan membuat kita nanti masuk neraka. Jadi
aku lebih baik menjawab tidak tahu karena aku memang belum tahu apa cita-citaku daripada
nanti aku masuk neraka. Aku pernah membaca buku tentang siksa neraka. Ah tidak,
maksudku melihat-lihat gambarnya. Nah, di gambarnya itu neraka sangat mengerikan. Ada
yang ditusuk dari kepala sampai pantat, ada yang dibakar, ada yang diadu, dan kalau yang
berbohong itu lidahnya ditarik panjang-panjang lalu dipotong, tumbuh lagi, dipotong lagi.
Benar-benar mengerikan.
Tapi karena aku sekolah, sedikit demi sedikit akhirnya aku mengetahui bahwa orangtuaku
sering membohongiku. Dengan sekolah, aku tahu kalau main bola ternyata justru membuat
tubuh bugar, demikian kata Pak Ali, guru olahraga di sekolah.

Aku juga tahu kalau ternyata di sungai tidak ada buaya. Aku tahu ketika pulang sekolah aku
diajak teman-temanku berenang di sungai. Jelas aku menolak.

“Nanti dimakan buaya,” kataku.

Mereka langsung menertawakanku. “Di sungai sini mana ada buaya!”

Aku tetap ngotot. Seperti kata Ayah, di sungai ada buaya. Tanpa diduga, mereka
mendorongku sangat kuat hingga aku tercebur ke sungai. Awalnya aku panik, karena aku
belum bisa berenang. Beruntung masih di pinggir sehingga tidak dalam. Saat teman-temanku
ikut menceburkan dirinya aku jadi tenang. Ternyata, di sungai memang tak ada buaya!

Kutebak, orangtuaku dulu melarang aku berenang di sungai dan bermain bola karena tidak
mau repot menjagaku. Untungnya aku sekarang sudah sekolah, yang artinya aku sudah besar,
jadi orangtuaku tidak perlu lagi memikirkan bagaimana menjagaku.

Aku juga tahu mereka sebenarnya punya banyak uang, tapi terlalu pelit untuk membelikanku
mainan (aku kenal istilah pelit itu dari Bu Dewi, guru agama). Tapi aku diam saja. Ayah akan
langsung marah kalau aku teriak-teriak atau menangis. Atau melakukan apa saja yang tidak
disenanginya.

Tapi Ayah dan Ibu tetap saja suka membohongiku. Ibu mengatakan baju yang ia belikan
adalah baju paling bagus, tapi sebenarnya baju itu sangat jelek, seperti baju orang tua. Ayah
mengatakan tidak bisa mengantarku ke pantai, karena katanya ia sibuk, padahal ia seharian
hanya bermain-main dengan ayam-ayam peliharaannya. Kebohongan mereka sangat
kelihatan.

Karena aku sekolah, maka aku semakin pintar, setidaknya dalam hal berhitung. Aku lebih
sering mengamati Ibu dan Ayah. Aku menguping pembicaraan Ayah dengan para tamunya,
atau pembicaraannya lewat ponsel. Saat itu ada orang datang dari kota menanyakan soal
tanah. Tanah itu bukan milik Ayah, tapi telah dititipkan pemiliknya kepada Ayah jika ada
yang ingin membeli. Kepada orang kota tadi Ayah mengatakan harganya lima puluh juta.
Orang kota tadi menawarkan empat puluh lima juta. Ayah berjanji akan membicarakan hal itu
pada pemiliknya, kemudian mereka saling bertukar nomor ponsel sebelum orang kota itu
pamit. Saat orang tadi pulang ke kota, Ayah menelepon seseorang, dan mengatakan bahwa
ada yang menawar tanah dengan harga empat puluh juta.
Aku sering juga menyimak pembicaraan Ibu lewat para pembeli kios. Ibu bercerita pada para
pembelinya kalau aku dan Ayah lahap sekali makan jika dengan sambal cap burung pipit.
Bahkan kata Ibu, kami pernah tidak makan dengan lauk, hanya dengan sambal cap burung
pipit. Kami makan dua piring, cerita Ibu. Padahal, aku dan Ayah tidak ada yang suka dengan
sambal itu. Cuma Ibu yang nafsu makannya bertambah dengan sambal itu. Para pembeli itu
tanpa pikir panjang langsung membeli sambal cap burung pipit.

Kupikir, Ibu dan Ayah sebenarnya adalah pembohong hebat. Dari mereka, aku juga
menyadari bahwa berbohong itu menguntungkan. Aku memulai kebohonganku pada teman-
temanku, aku berhasil. Dan selanjutnya pun selalu berhasil. Erma mengembalikan buku yang
baru satu hari ia pinjam di perpustakaan sekolah karena kukatakan penjaga perpustakaan
mencari buku itu, padahal karena aku ingin membacanya juga. Despi membuang permen
lolipop yang baru ia beli sebelum sempat membuka plastiknya karena kuberitahu kalau
permen itu mengandung ganja. Pak Pardi yang memberitahuku, kataku agar ia percaya. Despi
langsung percaya. Permen yang ia buang itu kuambil, kataku supaya tidak ada yang
memakannya. Permen itu akan kuserahkan pada ayahku yang kepala desa, tambahku. Pulang
sekolah, permen itu kumakan.

Setelah banyak temanku berhasil kukelabui, barulah aku berani berbohong pada orangtuaku.
Pada Ibu aku minta uang jajanku dilebihkan untuk beli buku gambar. Uang itu kubelikan
snack. Saat pulang, Ibu menanyaiku mana buku gambarnya, dengan wajah murung kujawab
uang itu tercecer. Ibu memarahiku karena aku tidak hati-hati, tapi itu tak apa. Yang penting
Ibu percaya dengan ceritaku. Aku tidak berani minta apa-apa pada Ayah, nanti ia marah. Aku
cuma membohonginya ketika aku pulang sore, kujelaskan bahwa ada kerja kelompok. Ayah
percaya. Aku sebenarnya bermain domino seharian di rumah temanku.

Kemampuan berbohongku terus kuasah. Aku terus menggali ide-ide baru untuk kebohongan.
Aku juga mempersiapkan kebohongan-kebohongan untuk situasi tertentu. Tapi ada saatnya
ketika aku lupa mengerjakan PR karena seharian memanjat pohon rambutan dan aku tidak
punya kebohongan yang dipersiapkan. PR itu berupa tugas mengarang. Teman-temanku
mengumpulkan buku PR mereka ke meja guru. Pada jam istirahat Bu Sarniah memanggilku
ke ruang guru. Ia menanyakan mana tugasku.

Aku tidak akan mengatakan bahwa tugasku tertinggal di rumah. Itu akan membuatnya
menyuruhku pulang ke rumah sebentar untuk mengambil tugas itu. Lalu dengan spontan aku
mulai bercerita. Kuceritakan, kemarin sore tugas itu sudah selesai kukerjakan. Aku ingin
minta komentar tentang karanganku itu pada Ayah dan Ibu, tapi mereka sama-sama sibuk.
Lalu aku pun bersepeda, membawa buku PR-ku ke rumah Kak Wahyu di seberang sungai.
Kak Wahyu anak kuliahan, pasti ia bisa memberiku masukan supaya karanganku jadi lebih
bagus. Karena sudah terlalu sore, aku bersepeda dengan kencang. Saat menyeberangi
jembatan, tiba-tiba ada kucing di hadapanku. Aku langsung mengerem. Sepedaku berhenti
mendadak, aku terpelanting. Beruntung aku tidak jatuh ke sungai dan hanya mengalami
sedikit lecek. Kuperlihatkan luka lecek di tumit dan sikuku karena jatuh dari pohon rambutan.
Lalu cerita kulanjutkan. Aku langsung bangkit dan mencari buku PR yang tadi terlepas ketika
aku terpelanting. Ternyata buku itu kulihat jatuh ke sungai. Buku itu hanyut dan tak mungkin
lagi kuselamatkan. Begitulah ceritanya, Bu, kataku.
Bu Sarniah terdiam, setelah cukup lama ia kemudian bertanya kenapa tidak kamu kerjakan
lagi saja malam harinya.

Kujelaskan kalau setiap malam aku ke surau untuk mengaji, dan biasanya langsung tertidur
sepulang dari surau karena kelelahan. Sebelum Bu Sarniah bertanya lagi kenapa tidak pagi
tadi saja kukerjakan sebelum berangkat sekolah, kujelaskan lagi bahwa pagi pun aku tidak
bisa mengerjakan PR karena harus membantu Ibu menyapu rumah dan mencuci piring.

Ketika aku selesai bercerita Bu Sarniah kembali terdiam seperti tengah berpikir. “Kamu
pengarang yang hebat,” katanya akhirnya. Aku tidak paham betul apa maksudnya pujian itu.
Aku hanya bisa berbaik sangka bahwa Bu Sarniah tetap memberikanku nilai. Ia lalu
mempersilakanku keluar.

Esoknya, Bu Sarniah memintaku ikut lomba mengarang antar SD se-kecamatan. Aku


menang. Tentu saja, karena aku menjiplaknya dari karya pengarang hebat yang aku yakin
para panitia belum pernah membacanya. Aku dapat banyak hadiah atas juara satu itu.

Saat kelas enam, di hari terakhir kami sekolah sebelum ujian, wali kelas kami, Pak Pardi
membicarakan soal cita-cita. Aku jadi ingat ketika kelas satu dulu, di hari pertama sekolah,
wali kelas kami yang waktu itu adalah Bu Suratmi juga membicarakan soal cita-cita. Seperti
Bu Suratmi dulu, Pak Pardi juga meminta kami masing-masing menyebutkan cita-cita kami.
Tapi tidak seperti dulu, kali ini aku sudah punya jawaban yang pasti. Ketika tiba giliranku,
dengan mantap kukatakan: ketika besar nanti, aku ingin menjadi seperti Ayah.
Lemari Ajaib
Cerpen Karangan: Yacinta Artha Prasanti
Kategori: Cerpen Anak, Cerpen Fantasi (Fiksi)
Lolos moderasi pada: 10 November 2018
Nayla baru saja mempunyai kamar baru. Kamarnya bernuansa biru, karena Nayla sangat
menyukai warna biru. Dan ia dibelikan ayahnya sebuah lemari berukuran sedang.

Saat malam hari, Nayla mendengar suara berisik dari dalam lemarinya. Brak bruk brak bruk!
“Ada apa sih di dalam?” Nayla mengucek ngucek matanya.

Karena penasaran, Nayla membuka lemari itu. Tapi anehnya, di dalam lemari itu berujung
sebuah tangga. “Ih kok aneh banget sih?!” Nayla pun menaiki tangga itu.

Setelah menaiki satu persatu tangga itu. di depan Nayla ada sebuah pintu. Pintu itu dibuka
oleh Nayla. Ketika dibuka, ia tiba di sebuah taman. Indah sekali, banyak bunga bunga dan
ada rusa, kelinci, serta jerapah di sana. Nayla bingung.

“Hai Nayla!” ada gadis sebaya Nayla yang memakai gaun putih menggeret tangan Nayla.
“Eh!” ternyata, Nayla dibawa ke sebuah tempat makan. Di situ ada sebuah meja dan dua
tempat duduk. Di sana sudah ada makanan makanan dan minuman minuman lezat. Nayla dan
anak itu pun makan bersama.

Selesai makan, mereka berdua duduk di atas perahu di atas danau yang indah.
“Sebenarnya aku ada di mana?” tanya Nayla.
“Kamu ada di dalam lemari! Aku adalah penunggu tempat ini. Tempat ini khusus untuk anak
baik seperti kamu” jelas anak itu panjang lebar.
“Ohh gitu, oh ya nama kamu siapa?”
“Nama ku Alma” jawabnya.

“Sudah waktunya kamu pulang, Nay” kata Alma.


“Ok, byee!!” kami pun berpisah.
Di kamar, aku pun kembali tertidur. Aku berjanji, tak akan membocorkan pengalamanku ini
pada siapa siapa.
Jalan-jalan Si Empat Sahabat
Cerpen Karangan: Layra Azkadzkiya
Kategori: Cerpen Anak, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 10 April 2014
Ada 4 sahabat yang sangat akrab bernama Ira, Rina, Nisa dan Zahra. Mereka bersahabat
sudah dari kecil. Orangtua mereka pun juga bersahabat. Rumah mereka pun juga
bersebelahan. Itu membuat Ira, Rina, Nisa dan Zahra semakin akrab. Setiap pagi, mereka
selalu berangkat ke sekolah bersama. Mereka bersekolah di SDS Al-Hidayah.

Suatu pagi, saat mereka tiba di sekolah, mereka melihat banyak anak berkerumunan di
mading.
“Eh, itu kenapa ya, kok banyak anak berkerumunan di mading?” Tanya Nisa.
“Iya ya. Ada apa ya?” Balas Ira.
“Sudah, daripada bingung kita lihat juga yuk..!” Usul Zahra.

Mereka pun segera ke mading. Ternyata mereka akan berpariwisata ke pabrik sari roti.
Mereka sangat senang. Lalu, mereka melihat denah tempat duduk di bis nanti. keempat
sahabat itu senang sekali. Kenapa? karena mereka duduk berdekatan Zahra dan Nisa di
barisan kedua dan Ira dan Rina duduk di barisan ketiga.

Hari yang ditunggu pun tiba. Mereka sudah ada di dalam bis. Setelah berdoa bersama, bis pun
jalan. Ira dan Rina asyik mendengarkan lagu dari I-Pod Rina, Sedangkan Zahra dan Nisa
asyik mengobrol. Setelah selesai mendengarkan musik, Ira dan Rina ingin melihat apa yang
sedang dilakukan oleh Zahra dan Nisa. Ternyata Nisa sedang tidur dan Zahra sedang asyik
jeprat-jepret alias lagi foto-foto.

Setelah sampai, mereka segera makan siang bersama. Lalu masuk ke pabriknya. Disana,
mereka menonton film tentang sari roti, diajarkan prosesnya, dan melihat langsung cara
membuat rotinya.

Setelah acara selesai, mereka pulang. Sebelum pulang, mereka diberi bingkisan yang isinya
berbagai macam roti. Di bis, Si Empat Sahabat merenung. “Aku tidak akan melupakan
kegiatan ini”.
Selamat Tinggal Sahabatku
Cerpen Karangan: Haifa Khairiyyah
Kategori: Cerpen Persahabatan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 14 April 2017
“Afila, bangun Nak!” Ucap mama dari dapur. “Ya, Ma, Afila sudah bangun kok.” Jawabku
sambil ke kamar mandi.
Hai, namaku Afila Khairunissa, cukup panggil aku Afila ya. Aku sekarang duduk di kelas 8E
di SMP Creative school.
Setelah mandi, shalat subuh, dan berganti pakaian, aku segera duduk di meja makan.
“Sekarang, menunya apa Ma?” Tanyaku. “Ada roti bakar keju ditambah selai coklat, dan susu
strawberry” ucap Mama. Wow, itu makanan kesukaanku! Setelah sarapan, aku bergegas pergi
ke sekolah.
Sesampainya…
“Hai Afila!” Sapa Wanda, teman sekelasku.
“Hai Wanda! Ngomong-ngomong, di mana Alyssa?” Tanyaku.
“Kurang tau, Alyssa akhir-akhir ini sering jarang sekolah ya?” Kata wanda.
“Iya, semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan Alyssa” doaku. Wanda hanya mengangguk.
Kring…!! Bel masuk berbunyi. Bu Nia adalah wali kelasku, dia pun masuk. Setelah memberi
salam dan berdoa, bu Nia akan memberi tahu kabar.
“Anak-anak, kalian tau kabar tentang Alyssa?” Tanya bu Nia. Kami hanya menggeleng.
“Sebenarnya, Alyssa sakit kanker otak dari kecil, hari ini dia baru pulang dari singapore,
setelah berobat, tadi Ibu dapat sms dari ibunya alyssa” kata bu nia panjang lebar. Kasihan
banget alyssa, padahal dia sahabat terbaikku selama ini. Alyssa tidak sekolah sudah hampir
sebulan.
Pulang sekolah..
Aku dengan Wanda mampir ke rumah Alyssa. Oh tidak, di rumah alyssa ada bendera kuning
berkibar.
“Assalamu’alaikum!”
Seorang wanita membukakan pintu.
“Wa’alaikumsalam, eh Afila, Wanda ayo masuk!” Kata mama Alyssa. Aku dengan Wanda
pun masuk dan duduk di kursi tamu.
“Tante, di mana Alyssa?” Tanyaku.
“Hmm sebenarnya.. alyssa sudah meninggal tadi pagi ketika kalian sekolah..” cerita mama
alyssa dengan raut wajah sedih.
“Apa?” Kataku dan Wanda dengan muka sedih dan mulai menitikkan air mata.
“Iya, ini tante menemukan ini di laci kamar alyssa untuk Afila dan Wanda” kata Mama
Alyssa. Aku dan Wanda pun membacanya.
Dear Afila dan Wanda..
Ketika membaca suratku ini, mungkin aku sudah tiada, maafkan aku bila aku punya salah
kepada kalian..Afila.. wanda.. kalian jangan bersedih, ketika aku sudah tidak ada. Tetaplah
tersenyum ya! Kenangan kita, tidak mungkin dilupakan, maaf kalau aku belum
memberitahukan tentang penyakitku ini.. aku tidak mau kalian bersedih.
From: Alyssa Zahira Putri

Ketika membaca surat tersebut, aku merasa sedih, aku ingin sekali bertemu dengan alyssa.
“Tante, di mana makam alyssa?” Tanya wanda.
“Mari, tante antar kalian.” Kata mama Alyssa.

Di Makam..
Aku dengan wanda berdoa agar Alyssa tenang di alam sana, amiin…
Alyssa, aku kangen dengan senyumanmu yang khas, tawamu, dan candaanmu. Kenangan kita
tak mungkin dilupakan. Bye Alyssa! Aku tetap ikhlas merelakanmu pergi walau hati ini
serasa sedih.
Penulis Pemalu
Cerpen Karangan: Khoirotunnisa

Namaku Putri aku seorang siswi di sekolah menengah pertama di desaku. Aku mempunyai
cita cita menjadi seorang penulis terkenal seperti Raditya Dika yang menjadi seorang penulis
juga seorang komika, dan penulis yang sangat aku kagumi adalah Asma Nadia aku ingin
sepertinya yang menjadi penulis terkenal berhijab, aku sangat menyukainya.

Aku selalu membuat cerpen dan karya tulis yang lainnya, aku juga pernah membuat novel
dalam satu buku penuh tapi itu semua terbuang sia sia karena aku tak tau harus apakan
karyaku itu aku terlalu pemalu untuk menyebarkan karyaku ke dunia luar, aku takut karyaku
akan diejek dan tidak dihargai padahal itu semua salah satu cobaan untuk menuju sukses, aku
terlalu takut untuk itu karena dari kecil aku tak pernah bermain, aku hanya akan bermain
dengan saudaraku dari kota bersama boneka kesayanganku.

Saat usiaku bertambah aku juga jarang bermain, aku hanya akan diam di rumah saat pulang
sekolah, aku juga hanya bisa les itu pun privat dan dilakukan di dalam rumah aku tak
mengerti apa yang ayah dan ibu pikirkan tentang hal ini. Mengurung anaknya sendiri di
dalam rumah tanpa seorang teman.

Suatu hari, temanku yang bernama Amel datang menghampiriku yang sedang menulis sebuah
cerpen di dalam kelas.
“Put kamu lagi apa?” Tanyanya, aku terkejut dan segera menutup bukuku
“Anu Mel aku lagi.. Aku lagi nulis cerita”
“cerpen?”
“Iiyyaa…”
“Aku liat ya” sambil memegang ujung bukuku
“Jangan aku malu karena ceritanya gak bagus” Tapi dia terus memaksa dan akhirnya dia
membacanya

Dia tersenyum saat selesai membacanya dan aku pun bercerita semuanya tentang rasa maluku
untuk menyebarkan karyaku. Akhirnya Amel bersedia membantuku, ia mau membantuku
menyebarkan karyaku.

Dengan berjalannya waktu aku tak percaya karena aku sudah terkenal di sekolahku dengan
sebutan “penulis pemalu” dan semuanya ini berkat Amel dan dia pun menjadi sahabat
dekatku aku tak menyangka Amel bisa mengendalikan rasa maluku hingga membuatku
sukses walau hanya di sekolah saja bukan di dunia luas seperti Asma Nadia dan Raditya
Dika, tapi aku sangat bahagia dengan ini karena semua ini berkat Amel dan rasa maluku
sudah berkurang saat ini.
Gara Gara Handphone
Cerpen Karangan: Yacinta Artha Prasanti

Kategori: Cerpen Anak


Lolos moderasi pada: 27 October 2018
Hadiah keberhasilanku mendapat rangking 1 kali ini adalah handphone. Sudah lama
kutunggu tunggu, akhirnya mendapatkan hadiah sebuah handphone xiaomi berwarna silver.

Sejak mempunyai handphone itu, aku lupa waktu belajar dan lebih sering bermain
handphone.

“Tiara, sejak kamu mempunyai handphone, kenapa nilai dan rankingmu jadi turun drastis?”
tanya ibu sambil melihat lihat nilai raporku.
Aku hanya diam saja sambil menatap layar handphoneku.

Dulu, aku sering mendapat rangking 3 besar, nilaiku 8 dan 9 semua. Sekarang, aku mendapat
rangking 15 kebawah. Nilaiku 5 dan 6.
Saat itu aku mulai sadar, gara gara handphone, nilaiku turun semua.

Bermain handphone boleh, tapi dibatasi waktu ya teman teman. Harus seimbang antara waktu
belajar dan bermain.

Cerpen Karangan: Yacinta Artha Prasanti


Blog / Facebook: santi artha
Semoga cerpenku lulus

Cerpen Gara Gara Handphone merupakan cerita pendek karangan Yacinta Artha Prasanti,
kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru
buatannya.
Dibalik Awan - Cerpen Persahabatan Remaja
Karya Nur Faida

Di balik awan
Ku menunggu itu datang.
Ku tatap langit berharap itu terjadi.
Berharap dan terus berharap
Mimpi kecil yang masih berada di balik awan.
Agar awan itu pindah dan mimpiku bisa jadi kenyataan

Terlalu konyol ku katakan tetapi itulah kenyataanya. Ku bernama Nur Faida, bisa di panggil
faida. Aku ingin sekali mimpi kecilku itu terwujud sebari ku menunggu sejak kecil sampai
kelas 3 SMP sekarang. Entah kenapa, aku ingin sekali itu terwujud dan sekarang mimpi
kecilku itu menjadi kenyataan.

Hari jumat sepulang sekolah, ku pandang langit yang bersahabat denganku. Ku berlari
secepat mungkin karena ku tak mau temanku ninda memelukku dan aku tak mau menjadi kue
bercampur kopi. Begitulah masa remaja menurutku, setiap ada teman kita yang ulang tahun
pasti ujung – ujungnya orang yang berulang tahun itu akan ditaburi maupun di lempari
dengan terigu , air dan telur maka menjadilah kue dan di berikan juga kopi.Ku beruntung
sekali, aku tidak terkena semua itu dan kami sekelas perempuan semuanya pergi kerumah
ninda.

Saat ku lihat Ninda , ada rasa iri diriku. Sejak kecil ulang tahunku tidak pernah dirayakan
oleh teman – temanku semua, ku memang pernah dirayakan ulang tahunku tapi aku hanya 1
kali itupun ku sama keluarga ajah. Ku ingin sekali ulang tahunku dirayakan oleh teman –
teman semua, aku selalu menunggu sampai sekarang ini. Ku fahami itu bahwa tanggal
lahirku 3 Agustus 1998 jadi ulang tahunku sulit untuk dirayakan karena pada bulan
kelahiranku itu adalah bulan ramadhan tetapi ku ingin sekali itu di rayakan walau ditunda
waktunya.

Dirumah Ninda, kami semua menunggu 2 teman kami yang akan membawa kue ulang tahun
untuk Ninda. Banyak hal yang temanku lakukan semuanya saat menunggu 2 teman kami dan
juga ninda yang sedang mandi ini. Ada yang saling berbincang - bincang , main – main
bersama dan perbaiki kudung.

Tak lama kemudian, Atul dan Dilah datang membawakan kue ulang tahun berbentuk segi
empat untuk Ninda . Teman – temanku pun menancapkan lilin. Betapa senangnya Ninda
pastinya akan hal ini.
“Happy birthday Ninda!”sorak semua temanku saat Ninda turun dari tangganya.
Nindapun gabung pada kita semua dan kami semua menyanyikan lagu selamat ulang tahun
dan Nindapun meniup lilinnya lalu memotong kue ulang tahun yang di beli dari kumpulan
uang semua teman di kelas kemudian kamipun semunya memakan kue ulang tahun itu yang
ternyata masih ada sisa sepotong kue Ulang tahun Ninda yang kira – kira besarnya 40 derajat.

Tak ku sangka Wawa,Inna dan Icha seseorang yang sudah ku anggap sahabat itu
menancapkan lilin lebih dari 8 dengan api yang sudah berada di pucuknya dan
menghampiriku.
“faida! Selamat ulang tahun yah. Kan Ulang Tahunmu belum dirayakan waktu itu”kata
Wawa yang berada di depanku dengan membawa kue Ulang tahun.

Mereka menyanyikan Lagu Selamat Ulang tahun dan akupun meniupnya. Ya Allah, aku
sangat gembira sekali sekaligus terharu. Aku ingin sekali menangis karena saking senangnya
tapi ku tahan mataku agar tidak menangis. setelah itu iseng – isengnya wawa mencolek kue
itu dan memberikan mukaku bedak kue.Astaga, reflex saja aku membalasnya dan juga Inna
melakukan hal seperti itu. Akan hal itu, kudungku jadi kotor dan mereka berdua juga

Alhamdulillah, akhirnya mimpi kecilku sudah terwujud dan selang beberapa hari setelah itu
mereka berdua memberikanku kado ulang tahun untukku sebuah pulpen berwarna hijau. Aku
sangat senang karena sekiang lama ku menunggu akhirnya terwujud juga. Terimah kasih ya
Allah engkau sudah mewujudkan mimpi kecilku itu. Mimpi yang dulunya berada di balik
awan sekarang sudah menjadi kenyataan. Itulah mimpi kecilku, ingin dirayakan ulang
tahunku dan di beri kado.

Anda mungkin juga menyukai