Anda di halaman 1dari 11

Mutiara Cinta di Pagi Senggigi1

Slamet Tuharie Ng

Desir ombak terdengar merdu dari balik jendela kamar


penginapanku. Suaranya seperti mengajakku tuk bermain dengan gulungan
ombak pagi itu. Sayang, hari masih terlampau gelap tuk melepas selimut
yang membalutku hangat. Tapi, karena letak kamarku yang tak lebih sebahu
dari bibir Pantai Senggigi, membuatku terus terganggu dengan desiran
ombak yang terus menyanyi merdu. Aku terperanjat.
Kulihat arlojiku yang kuletakkan di atas meja sebelah ranjang.
Memastikan tak akan kehilangan waktu tuk menikmati sunrise yang
dipenuhi warna kuning keemasan. Benar saja, waktu sudah menunjukkan
pukul 04.00 WITA. Itu artinya, tak lama lagi matahari akan terbangun dari
peraduannya. Ya, aku harus menjemputnya. Tanpa berpikir panjang, segera
kulangkahkan kakiku menuju bibir Pantai Senggigi. Dan betapa senangnya,
ternyata kedatanganku telah disambut oleh gulungan ombak yang ingin
memelukku mesra. Mungkin ia merasa bangga karena tlah berhasil
membangunkanku dan memutuskan safariku malam ini.
Sembari menunggu matahari terbangun, kakiku sepertinya tak mau
diam. Ia menuntunku tuk menjamah bibir pantai yang masih perawan pagi
itu. Pun, sepanjang ku melangkah ke bibir Senggigi, tak kulihat jejak kaki
seorang manusia yang telah lebih dulu menjamahnya dari padaku. Aku
menjadi yang pertama. Berkeliling melintasi bibir senggigi hingga sampai
pada sebuah Pura yang berdiri megah layaknya Pura di Tanah Lot, Bali. Tak
jauh beda, suasana dan arsiteknya hampir-hampir sama. Pun dengan
pepohonan rindang di sekelilingnya. Mencipta suasana sejuk bagi para tamu
Sang Hyang Widi Wasa.
Tak terasa, sudah lebih 30 menit aku menanti sang mentari. Tapi,
agaknya ia telat bangun atau mungkin lupa tuk menyinari secengkal tanah
surga di Pulau Lombok ini. Mungkin juga karena aku yang terlalu pagi
menanti, atau mentari yang malas tuk beranjak dari bersafari? Ya, meski
begitu, aku harus bersabar menantinya. Karena aku ingin sekali melihatnya
mewarnai kilahan air laut pagi seperti cerita teman-temanku yang telah
lebih dahulu menjelajah Senggigi. Penasaran sekali.
Tak lama kemudian, setelah aku mengadu pada mentari, ia pun
mulai terusik Sedikit demi sedikit, ia pun muncul dari balik awan yang
cukup tebal di awang-awang. Kemilaunya kuning keemasan. Mengalahkan
semua cahaya yang ada di muka bumi. Menjadi sumber cahaya dari segala
cahaya yang pernah dicipta oleh Sang Maha Pencipta. Indah sekali. Meski
1
Naskah ini pernah diikutkan dalam kompetisi Tulis Nusantara 2013 kategori
Cerpen Fiksi.
aku baru melihatnya setitik. Aku begitu menikmatinya. Tak rugi aku
memutuskan diri dari safari, karena kali ini aku melihat keindahan yang
nyata di depan mata.
Pun desiran ombak semakin terdengar keras, seperti mencipta
harmoni bahagia atas nikmat Sang Pencipta yang telah meneteskan cahaya-
Nya. Airnya tampak kekuningan, juga karangnya yang tak terlalu tampak
hitam. Sungguh luar biasa alam ini. Panoramanya begitu indah. Hawanya
begitu sejuk dan airnya begitu jernih. Sangat eksotis. Hingga
mengingatkanku pada lagu Nyiur Hijau yang kudendangkan ketika masih
duduk di bangku SD. Kala itu, aku hanya bisa membayangkan betapa
indahnya pantai, tanpa bisa melihat kenyataannya. Tapi kini benar-benar
nyata. Di depan mata kunikmati itu semua.
****
Tak jauh dari tempatku berdiri, ternyata banyak orang dengan kulit
yang berbeda tengah menikmati alam Senggigi pagi. Ya, mereka bukan
orang pribumi. Rambutnya yang pirang dan badannya yang besar dan tinggi
menegaskan kalau mereka adalah pelancong dari negeri seberang. Kulihat
senyumnya dan kadang tawa lepasnya ikut mengihasi bibir pantai. Pun
mereka mengabadikan momen indahnya dengan kamera-kamera DSLR-nya.
Mungkin memori pagi ini akan dijadikannya bahan pamer untuk teman dan
keluarga mereka yang tak ikut menyeberang ke alam Lombok.
Sayang, sangkin semangatnya aku keluar dari kamar, hingga tak
kubawa kamera yang sudah kusiapkan sedari semalam. Aku lupa. Terhanyut
pada panggilan ombak yang memanggilku tuk menikmati bibir Senggigi.
Ya, pun aku hanya bisa melihat pelancong-pelancong negeri seberang itu
berfoto-foto dengan berbagai pose yang sangat aneh menurutku. Mungkin
bagi mereka itu pose yang biasa-biasa saja, tapi tak untukku. Bagiku, itu
terlalu vulgar. Apalagi di Bumi Nusantara yang katanya agak “ketimuran”.
Tapi tak apa. Aku masih bisa menikmatinya.
Hari sudah terang, ku ayunkan kaki menuju karang di seberang.
Batunya licin dan permukaannya keras. Tapi, meski begitu, toh ombak
masih mampu memecahkannya. Hingga terjangan ombak yang terus-
menerus menyerangnya, membuat bentuk bebatuan karang begitu estesis.
Pun aku memberanikan diri tuk menapakkan kaki di atas batu karang yang
tajam, meski tanpa sepasang sandal sebagai alas. Aku yakin, asalkan aku
berhati-hati, tak ada masalah yang menimpaku.
Kupilih karang yang cukup besar tuk kujadikan pijakan. Sembari
menikmati indahnya alam Pantai Senggigi pagi. Dari kejauhan, nampak
jelas para pelancong dari negeri seberang masih asyik mengabadikan
kenangan. Aku tersenyum melihat ekspresi wajah mereka yang nampak
begitu bahagia. Lalu kutoleh ke bawah, kulihat ikan-ikan kecil warna-warni
tengah berenang indah dengan gaya bebasnya. Sembari mencari rizki di
sela-sela batu karang yang mengakar ke dasar laut. Kulihat, mereka tertawa
bahagia. Syukur atas nikmat-Nya, walau hanya sekadar menebus lapar di
pagi ini.
“Mas, mau mutiara mas?” Ucap seorang anak kecil mengagetkanku.
Aku diam. Panggilannya ku abaikan. Ia pun berlalu dan menjauh
dariku. Ya, aku memang kagum dengan mutiara dan kutahu Pulau Lombok
terkenal dengan mutiaranya yang indah-indah. tapi entah mengapa aku
seperti belum tertarik untuk memilikinya.
“Mas, side2 mau mutiara. Ini bagus-bagus. Boleh dilihat dulu.”
Kembali aku ditawari mutiara oleh penjual keliling di pinggiran pantai.
Tapi kali ini laki-laki paruh baya yang mencoba mendekatiku.
Kembali kugelengkan kepala. Tanda menolak tawarannya. Bagiku
kedatangannya telah mengacaukan lamunanku dan candaku pada ikan-ikan
elok dibalik karang. Ia pun berlalu membawa serta mutiaranya. Begitu pula
dengan ikan-ikan dibalik karang yang kembali masuk ke peraduannya.
Mereka bersembunyi dari pandanganku.
“Kakak, aku punya mutiara. Coba kakak lihat, pasti kakak suka.”
Tawaran ketiga kalinya untukku.
Kali ini terdengar seperti suara anak perempuan. Dan seperti
sebelumnya, aku pun hanya menggelengkan kepala. Tanda menolak
tawarannya. Meski sekadar melihatnya barang sejenak.
“Coba dulu lah Kak dilihat, Kakak pasti suka.” Ucapnya memelas.
Aku pun akhirnya tak tega mendengar suaranya. Sepertinya, ia
sangat menaruh harapan agar aku bisa membeli mutiaranya. kubalikkan
badanku. Berbalik ke arah gadis kecil yang membawa tas hitam berisi
mutiara Lombok. Aku menjauh dari karang dan mendekatinya. Ia pun
tersenyum melihatku menuju tempatnya berdiri. Dengan senang hati,
sebelum sempat aku berucap, gadis kecil itu sudah membuka tas hitamnya
lebih dulu. Aku menghela nafas sejenak, karena aku telah dibuat kagum oleh
butiran-butiran mutiara indah yang disimpan di balik tasnya yang sangat
sederhana.
Tak kusangka, Tuhan ternyata menurunkan serta mutiara-Nya di
pulau surga ini. Mataku benar-benar dimanjakan oleh kilauan mutiara yang
telah terbalut dalam kalung, gelang, cincin, liontin, dan bros-bros hasil
karya masyarakat pribumi Lombok. Luar biasa. Ini pengalaman pertamaku,
melihat mutiara-mutiara indah yang ada di belahan timur bumi Nusantara.
“Kakak mau yang mana?” Tanyanya dengan senyum penuh arti.

2
Side berarti kamu atau anda dalam bahasa Lombok.
“Sebentar, kakak pilih-pilih dulu ya.” Jawabku sambil memilah satu
demi satu mutiara-mutiara indahnya.
“Iya Kak, pilih saja yang kakak suka. Ada mutiara air laut dan
mutiara air tawar.” Ucapnya berusaha menjelaskan kepadaku layaknya
seorang sales profesional.
Aku tersenyum. Bagiku gadis kecil ini sudah cukup pandai untuk
menjadi penjual mutiara. Ia pun terus menjelaskan, hingga membuatku
gemas dengannya. Ia sangat cerewet dan membuatku ingin sekali
mencubitnya. Menggemaskan. Tapi entah mengapa, setelah aku memilah
satu demi satu mutiara indahnya, belum juga kutentukan pilihanku. Yang
mana yang akan kubeli? Meski awalnya aku terpukau dengan keindahan
mutiara koleksinya, tapi kini aku seolah tak punya pilihan. Semuanya
sepertinya sama dan bentuknya tak ada yang istimewa. Tapi aku tak enak
hati jika tak membelinya, meski barang sebutir. Aku takut gadis kecil itu
akan kecewa.
“Kak, jadinya pilih yang mana?” Tanyanya untuk kesekian kali.
“Emmm, kalau yang selain ini ada tidak. Kakak kurang tertarik
dengan bentuk-bentuknya.” Jawabku penuh hati-hati.
“Ada Kak, tapi...”
“Tapi kenapa?”
“Tapi.....” Jawabnya membuatku penasaran.
“Tapi kenapa De?”
“Tapi sebenarnya aku tidak mau menjualnya.”
“Kenapa tidak dijual?”
“Karena mutiara itu jarang sekali ditemukan Kak.”
Aku semakin penasaran dengan sikapnya yang seolah
menyembunyikan sesuatu dariku. Kucoba merayunya agar ia mau
menunjukkan mutiara yang tak mau dijual itu padaku. Tapi sepertinya ia
ragu. Wajahya seperti tak mempercayaiku. Mungkin ia takut kalau aku akan
membawa mutiara yang sangat berharga baginya. Rasa penasaranku pun
membuatku berusaha tuk terus membujuknya agar ia menunjukkannya
padaku.
“Mana De, boleh kakak lihat?” Bujukku.
“Aku takut Kak. Takut kalau mutiara yang kusimpan ini akan
diambil oleh Kakak.” Jawabnya polos.
“Mana mungkin Kakak berbuat jahat untuk gadis kecil yang pintar
ini.”
“Beneran ya Kak.”
“Ya. Kakak janji deh.”
Setelah ucapan itu, ia pun berdiri. Tangannya merogoh ke saku
celananya yang sebelah kanan. Kemudian dijulurkannya tepat di depan
mataku. Terkepal. Aku semakin penasaran saja dibuatnya. Kupintanya
untuk membuka kepalannya. Tapi sepertinya ia masih ragu. Namun, kucoba
meyakinkannya bahwa aku bukanlah orang yang jahat. Ia pun akhirnya
percaya dan kepalan tangannya perlahan-lahan dibuka.
Aku mengela nafas sejenak. Bersiap melihat mutiara rahasia gadis
kecil ini. Keperhatikan dengan seksama. Jari-jarinya mulai membuka.
Guratan warna putih susu sedikit terintip oleh mata. Lagi-lagi aku dibuat
penasaran olehnya. Dan setelah sekian detik aku menunggu, kepalan
tangannya akhirnya terbuka sempurna. Di telapak tangan kanannya, kulihat
sebutir mutiara air laut berbentuk hati. Lambang cinta.
“Woooowwww. Luar biasa.” Ucapku terkagum-kagum.
“Kakak tak boleh pegang, hanya boleh melihat.”
“Baiklah. Kakak hanya akan melihatnya di telapak tangan
mungilmu.”
“Bagaimana Kak, bagus tidak?”
“Bagus sekali. Dari mana kamu mendapatkannya?”
“Sebenarnya......” Ia pun berhenti sejenak. Membuat rasa penasaran
bertambah.
“Dari mana De?”
“Sebenarnya aku mendapatkannya dari kerang yang kutemukan di
atas karang itu.” Jawabnya sambil menunjuk ke arah batu karang yang
kujadikan pijakan tadi.
“Berapa kau akan jual mutiara indah ini?”
“Aku tidak akan menjualnya.”
“Apa mutiara ini juga tidak akan dijuak untuk Kakak?” Rayuku.
Ia tak menjawab dan hanya menggelengkan kepala. Isyarat tak
sepakat atas tawaranku. Tak kusangka, pendiriannya begitu kuat. sampai
aku menawar dengan harga yang cukup tinggi, ia pun tak bergeming. Aku
jadi semakin yakin, mutiara itu pasti mengandung cerita yang menurutnya
luar biasa. Sehingga ia begitu menjaganya.
Tak kusadari, ternyata matahari sudah semakin menyengat. Para
pelancong yang sedari pagi tampak berpose di kejauhan sana, kini sudah tak
tampak ada. Semuanya berlalu bersama sejuta kenangan yang sudah
diabadikannya. Aku jadi tak enak dengan gadis kecil yang bersamaku kini.
Akhirnya kuputuskan untuk membeli sebuah bross bermata mutiara sebagai
oleh-oleh untuk kekasihku yang ada di Jawa. Avi namanya. Kuharap ia akan
senang menerima hadiah dari ku, meski sekadar bros dengan mutiara kecil
yang menjadi matanya.
Wajah gadis kecil pun tampak cukup gembira, ketika kukatakan
akan membeli satu brosnya yang harganya Rp. 40.000.
“De, ini uangnya.” Ucapku sambil memberinya uang pecahan lima
puluh ribuan.
“Terimakasih Kak. Tapi aku belum ada kembalian Kak, karena baru
bros ini yang terjual.”
“Tidak apa-apa De. Kembaliannya diambil saja. Oh ya, Kakak kan
disini sendirian. Bagaimana kalau nanti sore temenin Kakak jalan-jalan di
pantai sambil foto-foto?”
“Boleh Kak, kapan?”
“Nanti sore ya. Kakak tunggu disini. Sekitar jam 4 sore.”
“Iya Kak.” Ucapnya sambil berlari.
Pagi yang cukup mengasyikkan. Kenangan bersama bidadari kecil di
Pantai Senggigi. Tapi, karena cuaca yang sudah semakin panas, aku pun
segera menuju ke hotel tempat ku menginap, membawa serta bros bermata
mutiara untuk kekasihku tercinta yang telah lama menungguku jauh di sana.

****
Sore yang kunanti telah tiba. Saatnya kembali ke bibir Senggigi.
Menepati janji tuk menunggu gadis kecil penjual mutiara pagi tadi. Dengan
mengenakan kaos “I Love Lombok” berwarna putih, aku menuju tempat
yang sudah disepakati. Tak lupa kubawa kamera tuk mengabadikan momen
indah bersama si gadis kecil nanti. Aku tak mau seperti pagi tadi, karena tak
membawa kamera, banyak momen indah yang tak bisa kuabadikan.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di bibir Senggigi. Hanya
beberapa puluh langkah dari daun pintu kamarku. Memang sengaja aku
memilih penginapan yang berhadapan langsung dengan pantai. Agar aku
bisa dengan mudah menikmati indahnya pantai yang terletak di sebelah
barat pesisir Pulau Lombok ini. Ya, Senggigi. Pantai yang begitu
mempesona dan siap membius mata setiap orang yang memandangnya.
Terlebih, di sepanjang pesisir pantai, pohon-pohon tumbuh dengan
suburnya. Hingga membuat angin menghembus sepoi-sepoi dan mencipta
hawa yang begitu sejuk di sepanjang bibirnya.
Sembari menunggu gadis kecil mendatangiku, kumanfaatkan waktu
tuk mengambil gambar. Bekal berbagi pengalaman dengan keluarga di
rumah. Aku yakin, mereka pasti akan tertegun melihat keindahan pulau
Lombok, karena pulau ini tak ubahnya percikan surga yang jatuh ke bumi.
Namun, sejam berlalu, gadis kecil yang berjanji untuk menemaniku
jalan-jalan sore ini tak kunjung tampak. Pun aku berpikir, kalau-kalau gadis
kecil itu lupa dengan janjinya padaku. Aku bersabar dan terus menantinya.
Ya, menanti seorang gadis kecil menggemaskan yang belum sempat
kutanyakan namanya.
Sebentar lagi, sore akan berganti petang. Matahari pun mulai
berjalan menuju belahan bumi barat yang juga membutuhkan suguhan
cahayanya. Seperti tadi pagi, langit nampak kekuning-kuningan.
Kilahannya, bagaikan bongkahan emas yang mencair. Indah sekali. Tapi
entah mengapa, gadis kecil yang kunanti belum juga tiba. Aku khawatir, dia
tak menepati janjinya. Hari pun berubah menjadi gelap. Pun, aku kembali ke
penginapanku, membawa serta kekecewaan. Dan sebelum langkahku genap
sepuluh, kudengar seperti ada suara yang memanggil-manggil dari kejauhan.
“Kaaaak, tunggu Kak.” Teriaknya keras.
Aku menoleh, mencari sumber suara. Tapi, karena hari sudah mulai
gelap, aku tak bisa melihat dengan jelas. Hanya ada tiga anak kecil yang
seperti sedang berlari ke arahku. Kuperhatikan, sepertinya aku kenal. Ya,
dialah gadis kecil yang aku tunggu sedari tadi. Perasaan sedihku pun
berubah menjadi bahagia. Sebab ia menepati janjinya. Meski waktunya tak
tepat. Tak apalah, yang penting niatnya untuk memenuhi janji sudah ia
lakukan. Dan aku sangat bangga dengannya.
“Kaaakkk!!!” Teriaknya sambil berlari ke arahku.
“Iyaaaaaaaa,” Sahutku padanya.
Akhirnya, ia pun sampai di depanku meski harus mandi keringat. Ia
tersenyum. Pun denganku. Entah mengapa, tiba-tiba aku ingin sekali
memeluknya.
“Kak, maafkan aku Kak. Karena aku terlambat.” Ucapnya merasa
bersalah.
“Tidak apa-apa. Mereka siapa?” Tanyaku menunjuk dua bocah yang
menemaninya.
“Mereka temanku Kak. Yang pakai kaos biru namanya Indra dan
sebelahnya namanya Yudha.”
“Halo Kak.” Sapa mereka.
“Halo, senang sekali Kakak bisa bertemu dengan kalian. Oh ya,
Kakak kan belum berkenalan denganmu. Siapa namamu De?” Tanyaku pada
gadis kecil yang berada di depanku.
“Namaku Mulan Kak.” Jawabnya dengan senyuman manis.
Kami pun akhirnya bercanda ria dan sepakat tuk tidak jalan-jalan,
karena hari sudah gelap. Aku takut jika orang tua mereka marah. Tapi,
meski hari sudah gelap, kusempatkan diri tuk mengabadikan wajah-wajah
imut mereka di kameraku. Siapa tahu bisa jadi obat rindu kala sudah berada
di Jakarta. Aku sangat senang dengan suasana yang kutemui di Pantai
Senggigi ini.
“Apa orang tua kalian tidak marah kalian masih berada disini.”
Tanyaku.
“Tidak Kak, kami sudah izin. Nanti orang tuaku akan menjemput
kami disini.” Jawab Mulan.
“Baiklah kalau begitu.”
“Kak, bagaimana kalau kita buat api unggun Kak?” Usul Yudha.
“Waaah, itu ide yang sangat bagus.”
Tanpa berpikir panjang, kami pun segera mengumpulkan dahan-
dahan kering yang ada dipinggir pantai. Pepohonannya yang masih banyak,
membuat kami tak merasa sulit tuk sekadar mengumpulkan dahan kering.
Hanya sekitar 30 menit dan siap dinyalakan. Api unggun pun telah menyala.
Kami pun bersama-sama menyanyikan lagu “Api Kita Sudah Menyala”,
sama seperti ketika kemah dulu. Suasana pantai pun berubah menjadi
hangat. Apalagi ketika kupandangi wajah bocah-bocah lucu ini dari cahaya
yang ditimbulkan api. Semakin menambah hangatnya suasana. Kami pun
duduk. Bercerita tentang Lombok yang kami ketahui.
“Kak, sebenarnya Kakak ini lagi liburan di Lombok ya?” Tanya
Mulan.
“Oh ya, kakak belum cerita. Kakak ini ke Lombok dalam rangka
penelitian.”
“Penelitian itu untuk apa Kak?” Tanya Indra penasaran.
“Penelitian itu memperoleh pengetahuan yang baru.”
“Oooooo” Jawabnya serentak.
Aku pun mencoba menjelaskan tentang kedatanganku ke Pulau
Lombok dalam rangka penelitian tugas akhir kuliah. Entah mereka paham
atau tidak yang penting aku sudah menyampaikannya. Aku sadar,
berkomunikasi dengan anak-anak tak semudah dengan orang dewasa. Pun
aku bercerita tentang ketertarikanku pada desa adat Suku Sasak atau yang
dikenal dengan Desa Sade. Sebuah kampung yang masih mempertahankan
keasliannya sebagai orang Sasak, yang letaknya di Kabupaten Lombok
Tengah.
Mereka pun mendengarkan dengan seksama. Bahkan semuanya tahu
tentang desa Sade dan kebiasaan masyarakatnya yang masih dijunjung
tinggi. Tak hanya itu, mereka juga mengatakan kalau mereka sering kesana.
Aku merasa bangga, meski usia mereka masih belia, mereka sudah tahu
banyak hal tentang Lombok. Kuharap, kelak jika sudah dewasa, mereka
akan tetap menjaga Lombok dan warisan-warisannya. Seperti Sade yang
sudah banyak dikunjungi oleh pelancong dari negeri seberang, tapi jarang
terdengar di telingan orang pribumi. Ironis memang.
“Mulan.” Ucap seorang yang tiba-tiba berada di belakang Mulan.
“Iya Bu.” Jawab Mulan.
“Maaf Bu, kalau Mulan dan teman-temannya belum pulang.”
Ucapku sembari meminta maaf.
“Tidak apa-apa. Memang Mulan senang jika ia bisa bercengkerama
dengan Mas.”
“Saya jadi tidak enak Bu.”
“Tidak apa-apa mas. Tapi mohon maaf karena ini sudah cukup
malam. Saya ingin menjemput Mulan.”
“Silahkan Bu.Terimakasih banyak”
“Sama-sama mas. Mari.” Ucapnya sambil menggandeng Mulan dan
kedua temannya untuk pulang.
Kisah di kala petang ini pun usai. Pengalaman pertama
bercengkerama dengan anak-anak kecil yang menggemaskan. Ketiga bocah
lucu itupun telah berlalu dari pandanganku, aku harus segera kembali ke
kamar. Mempersiapkan segala sesuatu yang akan kubawa esok hari. Tak
kusangka, sudah sebulan aku tinggal di Lombok. Menyelesaikan penelitian
tesisku. Di sini, aku tak hanya mendapatkan data untuk syarat gelar
masterku. Tapi aku memperoleh pengalaman tentang makna hidup seorang
manusia yang penuh kebersahajaan, bersama masyarakat suku Sasak di
perkampungan Sade.
Kulangkahkan kakiku menuju hotel tempatku bermalam. Namun,
sebelum masuk kekamar, mataku seperti ditarik untuk memandang sajian
makan malam yang tertata rapi di meja restoran. Menu makan malam yang
begitu menggairahkan. Ya, Ayam Taliwang khas Mataram. Sambalnya yang
khas membuat ayam taliwang selalu dikenang. Pedas, gurih, dan tak terlalu
mahal. Sangkin khasnya Ayam Taliwang, banyak orang yang berkata, jika
pergi ke Lombok belum menikmatinya, maka ia belum sah. Luar biasa.

****
Alarmku mengalun keras. Membuatku terganggu dan segera bangun
dari tidurku. Ya, waktu sudah menunjukkan pukul 04.30 WITA. Bangunku
saat ini bukan untuk memenuhi panggilan ombak seperti tempo pagi. Bukan
pula untuk menunggui sunrise yang menguningkan air Senggigi. Tapi, aku
harus bersiap-siap karena aku akan ikut penerbangan pukul 07.00 WITA.
Satu jam kemudian, aku pun sudah siap untuk meluncur ke Bandara
Internasional Lombok Praya. Mengakhiri perjalananku di pulau yang sangat
mempesona. Keluar dari kamar, aku menuju resepsionis. Menanti taksi yang
akan mengantarkanku. Tapi sebelum aku melihat taksi, aku dikejutkan
dengan pemandangan tiga bocah kecil berseragam SD yang sedang
menungguiku di depan pintu hotel. Ya, mereka adalah sahabatku di
Senggigi. Mulan, Indra, dan Yudha.
Pun aku langsung memeluk ketiganya sambil berpamitan pada
mereka. Tapi entah mengapa, air mataku menetes. Aku sedih ketika harus
meninggalkan mereka. terutama Mulan, gadis kecil yang sangat
menggemaskan. Kulihat, matanya berkaca-kaca. Sepertinya ada air mata
yang akan tumpah pagi ini. Aku pun memeluknya erat.
“Kak.” Ucapnya terisak-isak.
“Iya Mulan.”
“Ini kenang-kenangan untuk Kakak? Dibukanya nanti saja kalau
Kakak sudah sampai di Jakarta.”
Kuterima sebuah amplop putih dari Mulan. Pun aku dibuat sedih
olehnya. Walau baru bertemu kemarin, tapi tiga anak ini terasa begitu
spesial. Mereka telah mengisi catatan terakhirku di Lombok. Akhir
perjalanan yang indah. Tapi menyedihkan.
“Ya, terimakasih.”
“Tapi aku mohon Kakak bisa menjaganya.”
“Ya, pasti Kakak akan menjaganya.” Ucapku sambil mengecup
keningnya.
Aku pun kembali membuka koperku yang telah kukunci rapat.
Kuambil dari tumpukan pakaianku, sebuah shal bertuliskan “INDONESIA”
yang kubeli ketika menonton pertandingan Timnas Indonesia Vs Arab Saudi
beberapa bulan lalu di Stadiun Utama Gelora Bung Karno. Kukalungkan
shal itu ke leher Mulan. Ia pun tersenyum.
“Shal ini adalah tanda persahabatan kita.” Ucapku. Ia pun kembali
memelukku.
“Kak, buat kami apa Kak?” Tanya Indra dan Yudhi serempak.
Aku bingung karena sepertinya hanya shal yang kupunya. Aku pun
kembali menoleh ke arah koper dan tas ranselku. Kalau-kalau ada yang bisa
kujadikan cinderamata dan ikatan persahabatan untuk mereka. Untunglah,
ada dua gantungan kunci Monas yang kubeli sebelum berangkat ke Lombok.
Kuambil dan kuserahkan gantungan kunci itu pada mereka. Kulihat
keduanya tersenyum. Kembali kupeluk ketiganya sebagai salam perpisahan.
Taksi yang akan membawaku menuju bandara sudah siap. Itu
artinya, aku harus segera meninggalkan mereka dan membawa cerita indah
yang penuh dengan bahagia. Satu persatu koper dan ransel dimasukkan ke
bagasi. Aku pun masuk ke dalam taksi dan kulambaikan tanganku untuk
mereka. Kulihat, sepertinya mereka tak rela, tapi bagaimana pun aku harus
kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan studiku dan membuat tesis tentang
penelitianku di Lombok.
Taksi berlalu meninggakan hotel menuju bandara. Kutoleh ke
belakang, mereka terus melambaikan tangan hingga taksi yang kunaiki tak
tampak mata. Aku yang begitu penasaran dengan amplop yang diberikan
Mulan, terpaksa membukanya di dalam taksi. Meski pesannya amplop ini
boleh dibuka ketika aku sampai di Jakarta. Tapi aku benar-benar tak sabar
melihat oleh-oleh darinya. Kubuka perlahan-lahan. Kulihat ada secarik
kertas dan plastik hitam kecil. Kubaca tulisan Mulan yang sebenarnya sulit
untuk kupahami. Tapi ku tak mungkin tak berusaha untuk mengetahui
isinya. Setelah kuperhatikan, aku pun akhirnya bisa membacanya.

Untuk Kakak yang baik hati


Kak, aku sangat senang dengan pertemuan kita. Kakak harus tahu, Ketika
melihat Kakak, aku teringat almarhum kakakku, yang meninggal 1 tahun
yang lalu. Ia meninggal karena tenggelam saat ia sedang mencari ikan. Kak,
di plastik hitam itu ada mutiara berbentuk hati yang kakak suka. Tolong
dijaga ya Kak, karena mutiara itu kutemukan bersama kakakku, sehari
sebelum ia meninggal. Makanya tidak ada seorang pun yang boleh
membelinya.
Karena Mutiara itu tidak bisa dinilai dengan apapun. Tolong dijaga ya
Kak. Semoga Kakak bisa kembali ke Lombok dan bertemu kembali
denganku. Juga dengan Indra dan Yudha. Mulan berharap Kakak tidak
lupa dengan Mulan dan cerita tentang Mutiara Cinta yang kuberikan
untuk Kakak.

Sengigi, 02 April 2012


Salam dari kami
Mulan, Yudha, Indra

Aku menangis membaca surat darinya. Lalu kubuka plastik


hitamnya dan benar saja isinya adalah mutiara berbentuk hati yang kutawar
kemarin. Aku terharu. Hatinya begitu tulus. Aku berjanji akan menjaga
mutiara cinta ini. seperti cinta kakak terhadap adiknya. Dan berharap bisa
kembali lagi ke pulau surga yang ada di bagian timur Nusantara. Senggigi
pagi yang indah dan mutiara cinta dari Mulan adalah oleh-oleh yang sangat
berharga. Terimakasih Mulan, Indra, Yudha, dan terimakasih untuk
Senggigi yang telah mengabadikan kisahku sehari semalam[]

Anda mungkin juga menyukai