Anda di halaman 1dari 4

Anak Lelaki dan Layang-Layang

Oleh : Shanti Agustiani


Seorang anak lelaki tak rela kehilangan layang-layang berwana merah berbentuk hati
yang ia buat bersama ibunya dalam suka dan duka sehingga warnanya bercampur dari darah
dan airmata.
Ketika angin berembus begitu kuat sehingga benang gilasan tersangkut tiang dan
putus, terhempaslah layang-layang bersama gulungan angin lalu lenyap dilahap awan berpipi
bulat hingga tiada berbekas. Sang anak berubah masam, mendung menggelayut di wajahnya
yang kini kehilangan rona merah muda. Ia menyalahkan awan, angin, dan langit. Lalu ia
menyalahkan Tuhan.
“Di manakah harus kucari lagi, sebuah layang-layang dari hati ibunda?” keluhnya
kepada sebatang pohon Ara. Pohon itu hanya melambai-lambaikan dahannya ke arah selatan.
Maka anak lelaki itu berlari ke arah selatan, pipinya telah basah oleh air mata. Lalu
kering oleh belaian hembusan angin yang menyapanya.
“Jangan bersedih, mari aku peluk.” hibur angin itu dengan melebarkan sayap
oksigennya.
“Terima kasih … tapi pelukan ibuku lebih hangat.”
Maka ia pun kembali berlari mengabaikan angin yang hendak memeluknya. Anak
lelaki itu menyusuri pantai, gurun, lembah dan ngarai. Kakinya kokoh dan teguh. Tetapi ia
manusia kecil yang baru saja berjalan jauh, tiba-tiba ia terjatuh karena payah, haus serta
lapar. Anak lelaki itu jatuh pingsan.
Ia tak sadar ketika diangkat oleh tiga lelaki Dayak yang masih memakai topi berhias
cula babi, dengan sederet manik-manik di kepalanya. Tiga lelaki Dayak itu mengasapinya
dengan dupa, memberinya air kendi bening dari dalam gua, setetes demi setetes. Mereka
membiarkan si anak lelaki tidur di atas ranjang kayu yang hangat di mana dibawahnya
disediakan perapian untuk mematikan segala penyakit. Satu jam berikutnya … wangi dupa
menggelitik hidung dan hangat perapian merengkuh dari mimpi yang lena ….
“Oh … di mana aku? Aku harus segera menemukan layang-layangku!” Anak lelaki
itu siuman dan segera bangkit dari ranjang kayu ulin itu.
“Makanlah dulu, Nak. Perutmu begitu tipis. Aku yakin kau telah berhari-hari tidak
makan. Kau hampir saja mati.” Lelaki Dayak itu memberinya ubi merah yang telah direbus
beserta daging payau yang dibakar dengan bumbu rempah.
Anak lelaki itu memandangi hidangan itu sejenak, perutnya memang terasa sangat
sakit sekarang dan makanan dari para lelaki Dayak ini menggugah selera. Anak itu
mengangguk dan segera makan dengan lahapnya. Ia berterima kasih dan melanjutkan
perjalanannya. Mereka memberinya bekal tiga buah sumpit untuk berburu jika lapar atau jika
hewan buas hendak menyerangnya.
Beberapa hari kemudian ia sampai ke sebuah perkampungan yang sebagian besar
penduduknya dari suku Jawa. Mereka sedang mengadakan selamatan atas seorang anak lelaki
yang baru saja disunat. Anak lelaki seumuran dirinya. Baru saja turun dari tandu arakan dan
menuju pelaminan. Tentu saja ada ayah dan ibu mengapit mesra anak lelaki beruntung itu.
Tiba-tiba bulir di sudut-sudut mata si anak lekaki menganaksungai di kedua pipi yang
mulai legam. Dulu. sewaktu layang-layang masih ada, ruh ibunda si anak lelaki terasa masih
membersamai. Namun kini desau benang gilasan tak lagi akrab mencumbuinya, matanya
terasa pedih … ia berbalik dan bergegas hendak melanjutkan perjalanan.
“Hai mau ke mana?” Seseorang menggamit lengannya. Anak lelaki itu ketakutan dan
hendak berlari.
“Aku …. Maafkan aku. Aku hanya ingin meneruskan perjalanan.”
“Jangan panik, Nak. Aku hendak memberimu berkat ini.” Ternyata seseorang itu
adalah ibu tua berkebaya dengan rambut digelung tinggi yang membawa sebuah kotak besek
dari anyaman bambu. Dari dalam besek itu muncul aroma semerbak yang membuat si anak
lelaki kelaparan. Ada ayam ingkung, tempe bacem, sekepal nasi dan mihun serta telur rebus
di dalamnya. Bau rempah-rempah itu wangi, membuatnya kembali merasa lapar. Tetapi ia
menahan diri, mengatupkan bibir rapat-rapat.
“Tak baik menolak rejeki, rejeki itu datangnya dari Tuhan meskipun tangan manusia
yang menyampaikan.” suara Ibunda kembali terngiang di telinga si anak lelaki. Maka ia pun
memakan berkat itu dan tak lupa mengucap terima kasih.
Tak terasa sudah berpuluh kilometer ia berjalan, berhari-hari, berbulan-bulan. Si anak
lelaki belum jua menemukan layang-layang kenangan. Namun anehnya begitu banyak
kebaikan yang diterimanya selama ini dari orang-orang yang tak dikenal, dari berbagai suku
yang dulu ditakutinya. Awan memayungi perjalanannya agar tak kepanasan, langit
mengarahkannya pada cahaya terang. Si anak lelaki mulai menikmati perjalanannya tanpa
banyak berkeluh-kesah dan meneteskan air mata. Ia tumbuh menjadi remaja lelaki yang kuat,
tegar dan bijaksana.
Di pinggir laut, anak lelaki yang mulai beranjak remaja itu berdiri di tepian. Akankah
ia berani menyeberangi lautan?
“Mau ke mana, Nak?” seorang nelayan menyapanya.
“Aku mau menyeberangi lautan ini, menuju pulau di sebelah sana.”
“Ohhh …. Ini namanya selat Makassar dan jika kau menyeberang ke sana kau akan
sampai ke Sulawesi Selatan.”
“Begitu ya. Aku ingin sekali menyeberang tapi aku tak punya sepeserpun uang untuk
membayar ongkos perahu.”
“Jika kau mau naik perahu kecilku. Aku akan memberi tumpangan cuma-cuma.
Tetapi Nak, begitu besar resiko yang harus kauhadapi karena ombak sedang tinggi. Aku pun
demikian, setiap hari bertaruh nyawa demi mendapatkan ikan.”
“Jika kau berani, Wahai Nelayan. Tentu aku pun akan berani menghadapi resiko apa
pun.”
Nelayan itu tersenyum dan kembali menyelidik.
“Apa yang kaucari di seberang sana?”
“Emhhhh … kau mungkin tak perlu tahu. Tetapi ini sangat penting bagi
kehidupanku.” sahut si anak lelaki sedikit salah tingkah, ia malu jika alasannya ditertawakan.
“Lihatlah, aku hanya punya ini sebagai upah yang tak sepadan.”
Anak lelaki itu mengeluarkan tiga batang sumpit dari tiga orang Dayak. Sumpit itu tak
pernah dipakainya, sebab ia tak ingin membunuh siapa-siapa, termasuk hewan buas
sekalipun.
Sang Nelayan menerima tiga buah sumpit yang penuh ukiran khas Dayak dengan
senang hati. Ia mempersilakan si anak lelaki duduk di perahunya dan mereka pun mulai
berlayar ke seberang.
Ombak besar mengayunkan perahu mereka dan si anak lelaki berpegangan kuat pada
tiang pancang layar utama. Nelayan sibuk menyeimbangkan perahu olengnya.
“Ibu … ibu … bolehkah aku ke surga bersama layang-layang ibu?” tanyanya gemetar
pada langit yang memandangnya dengan teduh. Namun ombak terus meraja, memainkan
anak manusia yang berpacu mengalahkan ketakutan dan kesedihan tiada tara.
Langit biru tak kuasa menahan haru, maka ia membukakan jendela langit di mana
cahaya ruh ibu dapat dilihatnya begitu jelas.
Sang anak tak kuasa menahan air mata memandang wajah ibunya yang begitu teduh.
"Jangan bersedih, Nak. Meskipun layang-layang yang kita buat berbalur kasih, benda
tetaplah benda yang tak sebanding dengan cinta. Cinta kasih ibu akan abadi, kau telah
menerimanya selama ini. Sejauh perjalanan panjangmu kali ini ...” Mengalun suara ibu
bersama gelombang dari atas langit.
“Tapi … aku butuh pelukanmu, Ibu.”
Matahari menggeser jendela nuansa, ia menutupi cahaya Ibunda.
“Jangan… jangan pergi lagi!” pekiknya tak sadar. Ombak menghantam perahu
membalas pekik pilu.
Sang Nelayan menggeleng-gelengkan kepala, berujar sambil terus berupaya
menyeimbangkan perahunya.
“Dalam perjalanan kembara, kau mungkin menemui berkali-kali kehilangan tapi kau
abai pada berjuta kali pertemuan.”
Sang anak lelaki merenungi kata-kata Sang Nelayan. Kini perahu mereka hampir
mencapai dermaga. Di sana, ada pelangi yang menyaput mata sang anak lelaki yang kini
tumbuh remaja. Serupa selendang penuh warna, menyambutnya dengan senyum dan tawa.
“A .. apa dia sedang tersenyum padaku?” tanyanya gugup dalam hati. Debar yang
terasa berbeda dengan debur ombak yang membuatnya mabuk. Pemilik selendang pelangi itu
seorang dara berkaki jenjang, rambutnya serupa gelombang mayang.
“Dia anak gadisku,“ sahut Sang Nelayan sambil melebarkan senyum dan
melambaikan tangan. “tetapi ia juga tersenyum padamu, Nak. Barangkali ia adalah salah satu
yang kaucari selama ini.”
Anak lelaki itu mengangguk bahagia, tak lama ia menjelma menjadi pemuda dewasa
dan menikahi anak gadis Sang Nelayan. Mereka beranak-pinak dan membuat aneka layang-
layang banyak… banyak sekali, dibagi-bagi untuk anak-anak pertiwi yang merasa sendirian.
Sebab ternyata … dalam kembara kehidupan terlalu banyak perjumpaan yang telah
diabaikan. Cinta ada di mana-mana, kebencian pun dapat diciptakan dengan seribu alasan.
Seribu layang-layang telah ia dermakan untuk sejuta kebahagiaan.

Profil Penulis

Nama Pena : Shanti Agustiani, dengan nama ijazah Nurlia Santy Agustin, email :
shantigusti@gmail.com, No WA : 082134214374 ID Instagram : shantiagustiani.
Alamat : MAN 2 Kutai Kartanegara, Jl. Jelawat No.32, Kelurahan Timbau,
Kecamatan Tenggarong, Kode Pos 75511.
Pendidikan S2 UNJ jurusan Penelitian dan Evaluasi Pendidikan dan S1 Psikologi
Pendidikan dan Bimbingan. Hobi menulisnya telah menghasilkan puluhan buku terbit
baik fiksi dan cerita anak serta artikel pendidikan yang dimuat di beberapa koran
lokal. Aktivitas sehari-hari selain giat sebagai admin di media daring dan literasi,
tugas utamanya adalah sebagai Koordinator BK, Pembina Literasi dan Pembina
Ekskul PIK R di MAN 2 Kutai Kartanegara.

Anda mungkin juga menyukai