Jangan begitu, kata sang kera. Mana mungkin saya hidup sendirian di
sini.
Tetapi saya tidak mungkin hidup di daerah tanpa kodok seperti ini, jawab
sang bangau agak jengkel.
Kalau begitu baiklah. Mari terbangkan saya pulang ke kampung
bersamamu, ujar sang kera. Maaf sang kera, sayapku belum begitu pulih
untuk bisa terbang dengan beban tubuhmu. Jangankan terbang dengan sang
kera. Terbang sendiri pun belum tentu kuat.
Kalau begitu kita tunggu saja sampai Anda pulih kembali kekuatannya.
Sang bangau menjawab, Mana mungkin aku harus menunggu. Apa yang
harus saya makan? Apa saya harus mati kelaparan di sini sementara kamu
punya buah sawo yang berlimpah? Saya kira kamu dapat pulang sendiri
dengan perahu. Kamu dapat membuat perahu kan.
Sang kera tertunduk malu. la ingat akan kebohongannya. Sebenarnya ia
hanya punya sedikit keahlian membuat perahu. Namun, karena malunya
kepada sang bangau, ia berkata, Kalau begitu bantulah saya mencari tanah
liat. Nanti saya yang menempanya.
Singkat cerita, perahu itu sudah jadi. Mereka mendorong ke tengah lautan,
dan berangkatlah mereka berdua. Sang kera naik perahu dengan perasaan
takut sekali.
Sesekali, perahu itu diterjang ombak. Wajah sang kera menjadi pucat.
Sebaliknya, sang bangau selalu bernyanyi: Curcur humat, curcur hurnat, bila
hancur saya selamat, bila hancur saya selamat.
Tentu saja sang bangau dapat terbang jika perahu itu hancur diterpa ombak.
Kemungkinan untuk hancur memang ada, karena perahu itu hanya dibuat
dari tanah liat oleh kera yang tidak ahli.
Sementara itu, mereka telah berlayar jauh ke tengah lautan. Pulau Sumbawa
sebagai kampung halamannya telah tampak dari kejauhan. Tiba-tiba badai
bertiup dengan kencang. Hujan pun turun dengan lebat. Ombak lautan