Anda di halaman 1dari 203

Daftar Isi

Let’s Begin the Adventure.......................................................................................2


Dandelion.................................................................................................................4
Wendy Pan...............................................................................................................8
Tell Laura I Love Her............................................................................................14
Partner in Crime.....................................................................................................20
Memories...............................................................................................................29
When All Dreams Come True...............................................................................36
Tell Tommy I Miss Him........................................................................................41
The Perfect Twins..................................................................................................48
Magical Fairy Pouch..............................................................................................56
Brightest Star..........................................................................................................65
I Still Love You......................................................................................................72
Skater Boy..............................................................................................................80
Twin Zone..............................................................................................................84
Big Brother.............................................................................................................95
The Greatest Place...............................................................................................103
Aunt Moo.............................................................................................................111
Regret...................................................................................................................116
Super Hero...........................................................................................................125
The Ants...............................................................................................................129
The Cursed Book.................................................................................................133
My Pen Pal...........................................................................................................146
Four Kings............................................................................................................151
Reggedy Ann........................................................................................................155
Four Leaf Clover..................................................................................................160
Endless Adventure...............................................................................................167
The Lost Soul.......................................................................................................172
Summer and Sunny..............................................................................................178
Our Last Night.....................................................................................................182
Melossica.............................................................................................................187

1
Time Capsule.......................................................................................................197
This is Our Last Spot...........................................................................................202

2
Let’s Begin the Adventure

Sebelum melangkah lebih jauh, izinkan aku menyampaikan beberapa hal


yang mungkin sebagian dari kalian ingin mendengarnya. Namaku Impy, benar,
aku adalah pemilik pulau ini, dan aku ingin mengucapkan selamat bagi kalian
orang-orang istimewa yang berhasil menemukan pulau ini. Senang rasanya
melihat wajah-wajah baru yang berseri setelah sekian lama.
Impy Island adalah sebuah pulau kecil nan indah yang terletak di tengah
benua artik, dikelilingi oleh semenanjung Pariya, serta tertutup awan-awan
Nimbulus tebal. Pulau ini tidak terjamah, bahkan dalam mimpi sekali pun, tapi
konon siapa pun yang berhasil menjamahnya, mustahil bisa melupakan
keindahannya.
Impy Island mempunyai banyak kenampakan alam yang bebas kalian jelajahi
sesuka hati. Ada pantai, teluk, padang rumput, serta hutan yang mempunyai air
terjun dengan pelangi abadi di permukaannya. Setiap titik mempunyai keindahan
dan petualangan masing-masing, tidak penting dari mana kalian mulai menjelajah,
temukan hal yang menarik dan tinggallah sejenak untuk menikmatinya, memang
itu tugas pemandangan, bukan?
Disarankan untuk menyiapkan mata dan hati kalian, pastikan jangan
menjelajah dalam kegelapan, tidak baik untuk mata, lagipula keindahannya tidak
akan maksimal. Silakan membawa makanan dan minuman apa pun yang ada di
dalam tas kalian, dengan satu syarat—jangan membuang sampahnya
sembarangan. Cintai dan jagalah bumi kita, dimulai dari diri sendiri.
Mungkin itu saja sambutan dariku, selanjutnya kuserahkan pada kaki kalian
melangkah. Pakailah topi, kencangkan tali sepatu, rapatkan mantel, kita tidak
pernah tahu apa yang menanti di depan sana. Selamat menjelajah.

3
Romance Beach

4
Dandelion
“Kehidupan baru menciptakan awal yang baru.”

Seputih awan, sehalus kapas, dan serapuh daun kering di musim gugur.
Dandelion adalah bunga yang sering kali terlupakan, mereka selalu terkubur di
antara ilalang tinggi sejak masih kuncup. Namun, Sang Angin justru tega
menerbangkan seluruh kelopak indahnya menjadi serpihan kecil ketika mereka
mencapai puncak kemekaran, bahkan sebelum dunia sadar akan keindahannya. Itu
adalah pikiranku tentang bunga Dandelion selama ini. Itu juga yang membuatku
selalu melangkah dengan hati-hati setiap kali melewati semak Dandelion, bagiku
Dandelion adalah bunga rapuh yang keindahannya harus dijaga selama mungkin.
Suatu hari, seorang pria mencabut sepucuk bunga Dandelion yang sedang
mencapai puncak kemekaran, lalu dengan santai meniupnya, membuat serpihan
putih berterbangan dengan bebas di langit. Dia bukan pria asing, manik hazelnya
yang teduh sudah menatapku dengan penuh kasih sayang selama delapan tahun.
Bibirnya yang bergaris tajam selalu menyunggingkan senyum tulus, khususnya
untukku, dan rambut hitamnya yang mulai panjang, terpaksa harus dipangkas
habis karena tuntutan tugas.
Dia memang pernah menjadi pemuda asing, tapi seiring waktu bergulir kami
bersama merajut sebuah kisah, sampai akhirnya si pemuda asing ini menduduki
tempat istimewa di dalam hatiku, satu-satunya Raja yang menempati singgasana
itu. Kami tengah berdiri berdampingan, menikmati sinar mentari yang terpantul
dari pintu kaca halaman belakang, membuat kulit terasa lebih hangat ditengah
dinginnya udara pagi. Lagi-lagi pria itu mencabut satu bunga Dandelion dan
meniupnya. Kali ini aku benar-benar marah sehingga terpaksa memukul
punggungnya.
“Kau merusak bunga itu!”
Dia tertawa kecil, “Bunganya tidak akan rusak.”
“Tentu saja rusak, kau mencabutnya dengan kasar, dan menerbangkan
seluruh serpihan bunganya!”

5
Lagi-lagi dia tertawa, tawa yang terdengar mengejek, tawa yang selalu sukses
membuatku kesal, tapi juga tawa yang pasti akan kurindukan. Mengapa hatiku
terasa begitu remuk hanya dengan membayangkan kerinduan itu. Saat tawanya
mereda, dia merangkulku, sambil menunjuk serpihan putih yang menari-nari
bersama angin.
“Kau lihat serpihan bunga yang berterbangan itu?”
Aku mengangguk.
“Suatu hari nanti serpihan kecil itu akan jatuh di suatu tempat. Ia tidak akan
mati, sebaliknya ia akan tumbuh menjadi bunga yang baru, menjadi satu
kehidupan baru. Begitulah sejatinya dunia ini berjalan, kan?”
Aku mendengarkan dengan saksama, heran bercampur kaget. Dia bukanlah
tipe pria yang suka memberi petuah. Justru cenderung konyol. Namun, kali ini dia
terlihat serius dengan segala ucapannya, jadi aku juga serius mendengarkan,
sambil sembunyi-sembunyi mengulum senyum. Aku suka ketika ia banyak bicara.
“Angin akan menerbangkan mereka sejauh mungkin, sampai akhirnya jatuh
di tempat yang berbeda agar seluruh dunia bisa menikmati keindahannya.” Dia
melanjutkan. Tatapannya tertuju padaku sekarang. “Kau tahu, kan? Ibarat pepatah,
mati satu tumbuh seribu.”
Aku terkesiap. Pemikiran seperti itu tentu berbanding terbalik denganku
selama ini. Sekali lagi pria itu memetik sepucuk Dandelion.
“Nah, sekarang lihat. Bunga ini ibarat cintaku padamu ....” Dia meniup bunga
itu perlahan. “Sekarang cintaku akan tersebar ke seluruh penjuru bumi, sehingga
kau tetap bisa merasakannya meski jarak kita terpaut sangat jauh.”
“Bagaimana mungkin serpihan sekecil itu bisa terbang begitu jauh?” kataku,
berusaha menyembunyikan air yang hendak mendobrak bendungan di kelopak
mata.
“Tidak ada yang tahu. Biarkan angin membawanya sejauh mungkin,
setidaknya dimana pun ia mendarat, kehidupan baru akan tercipta. Angin
menghancurkannya berkali-kali, tapi itu justu membuat Dandelion menyebar
semakin luas. Sama seperti cintaku padamu.”

6
Tak mampu menahan air mata, aku memeluknya erat-erat, mungkin pelukan
paling erat yang pernah kuberikan. Aku akan menyimpan aroma tubuh ini di
dalam kepala, dan berusaha mengingatnya sampai kapan pun. Pria kesukaanku,
yang sebentar lagi akan pergi sangat jauh.
“Pulanglah segera.”
“Aku pasti pulang.”
“Ingat, aku akan terus menunggumu. Tidak peduli sampai berapa lama.”
“Bagus ... itu akan membuatku semakin kuat.”
Aku terisak begitu kencang di pelukannya, andai waktu bisa berhenti, aku
tidak mau dia pergi, tidak mau berpisah. Suara klakson mobil berbunyi,
menandakan pelukan itu harus segera berakhir. Mungkin untuk waktu yang sangat
lama. Aku bantu membawakan barang-barangnya ke dalam mobil, sebenarnya
tidak terlalu menolong karena aku hanya menjinjing tas paling kecil dan ringan.
Dia mencium dahiku begitu dalam dan hangat, lalu membelai puncak kepalaku
sebelum masuk ke dalam mobil. Kami hanya bisa saling melambai dan bertukar
senyum pilu, sampai manik hazel itu benar-benar tidak terlihat.
***
Satu dekade berlalu semenjak ia mengubah pemikiranku tentang bunga
Dandelion. Aku yang dahulu mengasihani Dandelion, sekarang justru
mengagguminya. Aku yang dahulu selalu melangkah dengan hati-hati ketika
melewati kumpulan Dandelion, sekarang justru meniupnya kuat-kuat, agar
serpihan putih kecilnya terbang sejauh mungkin. Aku memetik sepucuk bunga
Dandelion yang sudah mekar sempurna, dan memandanginya sebentar. Tanpa
sadar senyum tersungging di bibir.
“Kau lihat bunga ini?” gumamku, meniru ucapannya dulu. “Bunga ini ibarat
rasa rinduku kepadamu.”
Aku meniup Dandelion itu sampai serpihan putihnya habis. Sekarang
serpihan kecil itu melayang-layang di udara, lalu angin akan menerbangkan
mereka sejauh mungkin. Membawa mereka ketempat baru untuk memulai hidup
baru. Mungkin suatu hari, salah satu dari mereka akan sampai ke tempatmu.

7
Ia akan memberitahu, bahwa jauh di benua lain seorang gadis telah
meniupnya. Dengan membawa segudang kerinduan yang ia pendam sekian lama.
Bunga itu ingin menyampaikan sesuatu. Bagaimana kabar pria kesukaannya saat
ini, sedang apa dia sekarang, dan kapan dia akan kembali?
***

8
Wendy Pan
“Teruslah percaya, maka suatu saat keinginanmu akan terkabul”

Awan kelabu bergulung-gulung di langit, bergerak lamban mengikuti


embusan angin yang membekukan sampai ke tulang. Tidak ada yang bisa melihat,
di balik awan-awan tebal itu, ribuan bintang bertaburan, berkelap-kelip bak
permata. Jika diperhatikan lebih saksama, ada dua bintang istimewa yang berbeda
karena ukuran dan pijar cahaya mereka. Satu lebih kecil, satu lebih besar,
berdampingan seolah sedang bergandeng tangan.
Hal itu jarang sekali terjadi, teramat sangat jarang. Konon, jika kedua bintang
itu muncul, seseorang yang istimewa dari Neverland sedang datang berkunjung.
Selimut putih menutupi seluruh kota London, mereka bahkan menutupi menara
Big Ben seperti sebuah topi, membuat detikannya teredam meski masih terdengar
samar. Jarum panjang menunjuk ke arah dua belas sedangkan jarum pendek
terarah tepat pada angka sepuluh. Malam hari.
Aktifitas di jalan utama sudah sangat lengang, hanya segelintir mobil yang
masih berani berkeliaran di aspal licin musim dingin. London tidak berubah sejak
terakhir kali Peter berkunjung. Entah kapan itu, ia juga tidak ingat, sepertinya
belum lama. Anak itu hanya mengingat ketika ia meninggalkan Wendy, John dan
Michael, serta The Lost Boys untuk tumbuh dewasa.
Sebelum pergi, Peter berjanji akan mengunjungi Wendy untuk mendengar
kisah-kisahnya yang lain, terutama kisah tentang dirinya sendiri. Sekarang saatnya
menepati janji itu. Tink melesat mendahului, menerangi setiap bangunan yang
berjejer rapi agar Peter bisa melihat lebih jelas. Sebenarnya Tink tidak perlu
melakukan itu, Peter bisa pergi ke rumah Wendy bahkan dengan mata tertutup.
Salah satu perumahan bertingkat yang dindingnya paling bersalju. Jendela
kedua dari kiri—itulah kamar Wendy. Dengan hati-hati, anak itu membuka
jendela yang tidak terkunci, Wendy pasti sudah menunggu kedatangannya. Lagi-
lagi Tink hendak melesat masuk mendahului, tapi Peter segera menangkap Pixie
nakal itu.
“Jangan berisik!” bisiknya, “tunjukan sedikit sopan santun, Tink!”

9
Tink mencibir. Sejak kapan seorang Peter Pan memedulikan sopan santun!
Peter melihat sekeliling. Kamar cukup luas bernuansa merah muda dan krem,
ada pedang kayu tergeletak di lantai, sebuah kotak musik dengan boneka bajak
laut yang muncul tiba-tiba, replika kapal bajak laut, serta rumah boneka lengkap
dengan aksesorisnya. Tempat ini tidak berubah sama sekali, semuanya sangat
melambangkan Wendy—si gadis lembut yang pemberani. Hanya saja kali ini
tidak ada tiga ranjang, melainkan satu, dan ukurannya sangat besar. Kemana
perginya Michael dan John? Apakah mereka sudah mempunyai kamar sendiri?
“Peter?”
Suara yang sangat familiar membuat Peter menoleh. Ada siluet seorang gadis
di situ, dan Peter yakin itu adalah teman lamanya.
“Wendy ... kau kah itu?”
Tiba-tiba ranjang bergoyang pelan, menandakan ada seseorang di sana. Peter
menoleh, menyadari itu adalah seorang gadis kecil, mungkin seusia dengan
Michael.
“Kau punya adik baru? Siapa namanya?” tanyanya pura-pura bersemangat.
John dan Michael saja sudah begitu merepotkan, jika ia jadi Wendy, ia akan
menolak tegas kehadiran adik baru, mereka seperti benalu yang selalu merugikan.
Wendy tidak menjawab, ia mengulurkan tangan ke arah lampu, lantas
menyalakannya. Senyum Peter seketika larut bersama kekecewaan, Wendy yang
ada di sana bukan lagi seorang gadis kecil, dia seorang wanita. Dia sudah dewasa.
Berapa lama aku pergi?
Wendy dewasa berdiri dan menghampiri Peter perlahan. Tingginya bahkan
jauh melebihi anak itu sekarang.
“Wendy?” lirihnya.
“Halo, Peter,” jawab wanita itu, sambil menyematkan rambut ke belakang
telinga, seperti kebiasaannya dulu.
Peter baru menyadari suara Wendy terdengar lebih anggun dan berwibawa,
lain sekali dengan sebelumnya. Peter memalingkan wajah dengan kesal, anak itu
memang paling payah menyembunyikan perasaan.
“Kau berubah!”

10
Wendy dewasa bersimpuh pada lutut, menjajari tinggi badan mereka, dan
berbisik. “Tidak juga ... tidak akan pernah.”
“Siapa dia?” tanya anak itu, masih merajuk.
“Siapa?”
“Kau tahu ... orang kurang ajar yang telah merebutmu dariku.”
“Maksudmu suamiku?”
Peter mendengkus, wajahnya semakin merengut, sontak membuat Wendy
tertawa.
“Dia adalah pria manis dari Nortingham, dia sedang dinas ke luar kota selama
beberapa minggu, jadi tidak bisa bersamaku sekarang.”
“Kalau aku tidak akan meninggalkanmu seperti itu!” entak Peter.
Wendy kembali terkekeh melihat ego yang luar biasa besar masih menempel
pada anak itu. Padahal Peter sudah meninggalkan Wendy selama hampir 20 tahun.
Wendy yang dulu mungkin akan menangis tersedu-sedu antara marah dan senang
begitu anak ajaib dari Neverland ini muncul kembali di jendela, bertanya kenapa
ia tak kunjung kembali padahal sudah berjanji. Nyatanya, dia sudah di sini, dan
Wendy yang sekarang cukup dewasa untuk menahan luapan emosi tersebut.
“Oh, Peter. Aku sangat merindukanmu.”
Mendengar itu, Peter menoleh cepat pada kawan lamanya, wajah
merengutnya berubah menjadi binar penuh harap.
“Kalau begitu ikutlah denganku ke Neverland!”
“Peter ....”
“Kau tidak perlu tumbuh lebih dewasa lagi. Kita masih bisa menjadi Ayah
dan Ibu untuk The Lost Boys. Mungkin mereka akan heran kenapa ibu mereka
terlihat sangat besar, tapi aku akan bilang kalau kau terinfeksi jamur beracun!”
“Peter ....”
“Oh, ngomong-ngomong The lost Boys sudah meresmikan anggota baru.
Kapten Hook memang sudah mati, tapi ada orang jahat baru di Neverland, dia
mengincar tahta ayah Putri Tiger Lily. Aku butuh bantuanmu untuk
menyingkirkan mereka.”

11
“Seperti waktu itu, bersama denganmu aku mempunyai semangat yang
berbeda, lebih kuat, dan teguh. Aku yakin bisa mengalahkan semua orang jahat di
Naverland jika kau ada di sisiku. Aku bisa ....”
Ucapan Peter tertahan karena Wendy menutup mulutnya.
“Peter ... petualangan sudah selesai.”
Peter menepis tangan wanita itu dari mulutnya. “Tapi petualangan di
Neverland tidak pernah selesai!”
“Petualangan di Neverland memang tidak pernah selesai, tapi petualanganku
sudah,” ujar Wendy, dan Peter hanya bisa tertegun.
“Sekarang aku punya petualangan baru yang disebut tanggung jawab. Aku
punya keluarga, suami dan anak yang sangat membutuhkanku. Aku tidak bisa
meninggalkan mereka begitu saja, mereka pasti sedih.”
“Aku juga membutuhkanmu, Wendy,” jawab Peter, baru kali ini nada
bicaranya terdengar sangat sendu. “Aku juga sedih ditinggal olehmu.”
Wendy tersenyum, tangannya terulur untuk menangkup wajah Peter.
“Kau punya kesenangan yang tak terbatas dalam dirimu. Jangan biarkan
seorang gadis menghilangkan semua itu,” ujarnya, “gadis ini sudah bahagia,
kebahagiaannya tidak akan lengkap jika kau tidak ikut bahagia.”
Peter menghela napas kecewa, bahkan kedua manik biru langitnya tergenang
oleh air. Buru-buru anak itu mengusapnya dengan punggung tangan, perlahan
sudut bibirnya tertarik ke atas, lalu mengangguk mantap.
“Aku tidak akan mengacaukan kebahagiaanmu, Wendy. Karena jika kau
bahagia, aku juga. Lagipula, kesedihan membuatku tumbuh dewasa, aku tidak
mau tumbuh dewasa!” Peter menunjuk wanita di depannya. “Aku tidak mau
berbadan besar sepertimu, dan tidak bisa naik seluncuran lagi.”
“Anak pintar,” puji Wendy setelah tertawa singkat.
Sorot mata Peter beralih pada liontin kalung Wendy. Sebuah biji kenari
kering dengan lubang bekas tusukan panah di tengahnya.
“Hey, itu ciumanku!”
Wendy lantas meraba liontin itu, dan pipinya tersipu. “Benar.”
“Kau masih menyimpannya?”

12
“Aku tidak pernah melepaskannya.”
“Aku juga punya satu, tapi sayang tidak terlihat.”
Tink yang dari tadi menonton dengan wajah cemburu menarik rambut Wedy,
minta diperhatikan.
“Halo, Tinkerbell,” sapa Wendy.
Senyum licik keluar dari wajah kecil Tink, tanpa persetujuan, ia menaburkan
segenggam debu Pixie pada Wendy hingga rambut cokelatnya berubah jadi emas.
Perlahan, wanita itu terangkat ke udara, Peter segera menggamit tangan Wendy
dan mengajaknya terbang mengitari ruangan. Berusaha tertawa tanpa suara agar
tidak membangunkan si kecil. Berusaha melepas rindu tanpa air mata agar tidak
ada kesedihan.
Peter berharap bisa menguatkan genggamannya, tapi tangan Wendy terlalu
besar, bahkan sekarang Wendy-lah yang sedang menggenggam erat tangannya.
Suara dentang Big Ben mengejutkan mereka. Peter segera mengajak Wendy turun,
keduanya mendarat tepat di depan jendela, posisi yang sama saat pertama kali
Peter mengajak Wendy ke Neverland.
“Saatnya aku pulang,” ujar anak itu. “The Lost Boy pasti sangat kecewa
ketika aku pulang tanpa membawa dongeng.”
Wendy terkekeh. “Sampaikan salam dan maafku pada mereka.”
“Pasti, Nyonya. Ada yang lain?”
“Tetaplah si sini, Peter.”
“Dan meninggalkan Neverland? Tidak akan! Tanpa Neverland aku tidak akan
bahagia, jika aku tidak bahagia kau tidak akan bahagia juga. Benar, kan?”
Wendy mengangguk samar, tidak mau air matanya jatuh.
“Baiklah Nyonya, aku pergi dulu. Neverland tidak akan menghampiriku
dengan sendirinya,” ucap Peter. Ia membungkukkan badan memberi hormat.
Wendy juga melakukannya.
Tatapan mereka bertemu, dan mereka saling bertukar senyum. Meski Wendy
sudah dewasa, di mata Peter dia tetaplah gadis miliknya, sahabat, serta ibu dari
The Lost Boy. Pendongeng yang handal. Wendy pun sudah sejak lama mencintai
orang lain, tapi ketika Peter datang malam ini. Saat mereka bertatapan begitu

13
dekat, rasa itu masih ada. Cinta pertama, ciuman pertama, rasa ingin memiliki
yang masih sama. Wanita itu reflek meraba liontinnya. Tink berdenting tidak
sabar, ingin cepat pulang. Peter melambai samar, dan berbalik, terbang menuju
bintang kedua di kanan, dan lurus terus sampai fajar. Mulut Wendy terbuka,
hendak bertanya apakah Peter akan kembali? Namun ia mengurungkannya.
Cukup sampai di sini.
Wendy menunggu Peter berbalik, seperti yang anak itu lakukan dulu, tapi saat
ia tidak kunjung melakukannya, dan menghilang di balik awan malam, Wendy
sadar Peter juga memikirkan hal yang sama.
Cukup sampai di sini.
“Ibu, ada apa?” lirih seorang gadis kecil.
Wendy menoleh, mendapati gadis kecilnya duduk di ranjang dengan wajah
yang berusaha keras menahan kantuk. Wanita itu tersenyum. Ia menutup jendela,
dan menghampiri anaknya. “Tidak ada, Sayang ... kembalilah tidur.”
“Ibu tadi membuka jendela, apakah Peter pan datang berkunjung?” tanyanya.
“Tidak ... belum,” jawab Wendy seraya mengelus rambut keemasan putrinya.
“Aku ingin sekali bisa bertemu dengannya.”
“Nah, kau tahu apa yang harus dilakukan, bukan?” Wendy menggeggam
kedua tangan kecilnya. “Percaya.”
“Aku percaya pada Peter pan, aku percaya adanya peri, aku percaya
kecerdikan The Lost Boys, aku percaya Neverland itu ada,” gumam gadis kecil itu
sambil menautkan seluruh jari.
Dengan kalimat itu, Wendy mengajak anaknya berbaring, dan melanjutkan
tidur mereka.
“Teruslah percaya ...,” bisiknya sambil menutup mata. “Maka suatu saat
harapanmu akan terkabul.”
Jendela sudah tertutup, kali ini terkunci rapat. Dua bintang istimewa masih
berkelip di langit, cahayanya perlahan memudar, lingkaran tengahnya mengecil
dan akhirnya ditelan oleh sinar Sang Surya.
***

14
Tell Laura I Love Her
“Tell Laura i love her, tell her i might be late, there is something i have to do
that cannot wait.”

Segerombol pemuda tanggung tengah berdiri di hadapan sebuah kertas


pengumuman lusuh yang tertempel pada dinding kedai kopi. Sebuah kertas
kecokelatan dengan ukiran bingkai sederhana, serta huruf yang tidak terlalu besar,
kelihatan betul brosur itu dibuat dengan biaya seadanya. Pengumuman itu
bertuliskan.

Hadirlah! Balap mobil lokal Youthrod ke-65. Minggu ini! Daftarkan diri
anda segera di balai kota!

Pengumuman yang tidak begitu penting bagi sebagian besar orang. Namun,
bukan itu yang membuat para pemuda berkumpul. Melainkan kalimat setelahnya.

Menangkan hadiah uang tunai sebesar seribu dolar!

“Besok? Mendadak sekali. Kau ikut?” tanya satu pemuda kepada temannya.
“Tidak ... aku tidak punya mobil,” jawabnya.
“Sekalipun punya, aku tidak akan ikut.” Pemuda berambut ikal mengangkat
bahu.
“Kenapa? Hadiahnya sangat menggiurkan.”
“Semua orang tahu balap mobil Youth itu ilegal. Tidak ada asuransi, tidak
ada jalur resmi, tidak ada persetujuan pemerintah. Jika terjadi apa-apa di sana, kau
mati benar-benar hanya meninggalkan nama.”
“Benar ... hanya orang bodoh yang mendaftar. Orang-orang nekad yang tidak
menyayangi diri sendiri.”
“Tapi kalau menang, kau bisa membeli semua minuman di kedai ini sampai
bangkrut.”

15
Mereka semua tertawa, dan berjalan kembali ke kedai, gerombolan lain ikut
bubar begitu saja, menyisakan satu orang pemuda yang sejak tadi tidak ikut ke
dalam percakapan. Manik eboni-nya terpaku pada iming-iming hadiah yang
tertera pada kertas. Sekonyong-konyong sebuah senyum tipis terukir di bibir, ia
bergegas menuju telepon umum terdekat, memasukan beberapa keping koin, dan
menekan nomor tujuan. Tak lama sebuah suara bernada tinggi terdengar dari
seberang. Suara yang terdengar seperti alunan musik di telinganya.
“Laura? Ini Tommy. Aku akan menemui besok,” katanya tanpa basa-basi.
“Tommy? Kau kan baru saja pulang dari sini.”
“Memangnya aku tidak boleh menemui setiap hari?”
“Bu—bukan begitu ... tentu saja boleh. Aku hanya terkejut saking
senangnya.”
Tommy terkekeh kecil mendengar nada gugup gadis itu.
“Jadi kau mau datang pukul berapa?”
“Entahlah, pokoknya aku akan datang. Dan ... aku ingin kau mengenakan
pakaian terbaikmu, dan berdandanlah yang cantik.”
“Memang biasanya aku tidak cantik, ya?”
Tanpa melihat pun pemuda itu bisa membayangkan wajah mencebik khas
kekasihnya. “Lupakan ... pakai apa pun tidak penting, tujuanku adalah bertemu
denganmu.”
Suara di seberang terkikik. “Aku bercanda. Kalau memang besok hari yang
istimewa, aku akan memakai baju termewah di lemari, dan berdandan secantik
mungkin untukmu.”
“Memang kita mau ke mana, sih? Restoran mewah?”
Lagi-lagi Tommy tersenyum. “Bukan restoran, tapi aku jamin besok adalah
hari yang tidak akan terlupakan untuk kita berdua.”
“Kau membuatku penasaran ...,” gerutu Laura.
“Tidak perlu. Kau akan mengetahuinya besok.”
“Baiklah, Tom-Tom, terserah kau saja.”
“Oke. Aku harus pergi sekarang, sampai jumpa besok. Aku mencintaimu.”

16
Belum sempat suara di ujung sana membalas, pemuda itu sudah meletakkan
gagang telepon ke tempat semula. Kebiasaan yang sangat Laura benci dari
pemuda itu, setidaknya tunggulah ia memberikan kata-kata romantis sebagai
balasan, sehingga tidak membuatnya terlihat seperti gadis yang dingin.
Tommy dan Laura adalah sepasang kekasih, pasangan termanis yang
mungkin pernah dimiliki oleh dunia, atau setidaknya di daerah Youth. Tommy
sangat mencintai kekasihnya, Tommy ingin memberikan segalanya untuk gadis
itu. Bunga, hadiah, jika bisa bahkan seluruh dunia. Namun, kali ini hanya satu
yang benar-benar pemuda itu ingin berikan kepada sang kekasih. Tommy berdiri
di depan sebuah etslase besar. Memandangi sepasang cincin berwarna perak
dengan setitik berlian biru di tengahnya. Membayangkan cincin itu tersemat pada
jari manis Laura, pasti sangat indah.
Ia juga akan memakai satu, mungkin tidak akan terlalu bagus di jemarinya,
tapi itu akan membuktikan bahwa mereka saling memiliki. Gadis itu adalah
miliknya, dan ia adalah milik Laura. Selamanya. Pemuda itu menurunkan topi
yang ia kenakan sampai menutupi mata, lantas melanjutkan langkah menuju balai
kota Youthrod. Tempat di mana loket pendaftaran balap mobil berada.
***
Tommy menghela napas entah untuk keberapa puluh kali, ia tidak sempat
menghitung. Bukan karena takut, melainkan karena semangat yang menggebu
dalam hati. Di genggamannya terdapat sebuah kartu, dan stiker beruliskan '32',
angka yang cukup menguntungkan dari ratusan orang pendaftar. Jumlah pendaftar
menunjukkan betapa banyaknya populasi orang naif dan nekad di kota Youthrod,
lucunya Tommy adalah salah satu dari mereka.
Kemarin proses pendaftaran hampir gagal karena usia Tommy belum cukup.
Batas minimal mengikuti balapan itu 18 tahun, sedangkan Tommy masih satu
tahun lebih muda. Untungnya tubuh Tommy termasuk bongsor untuk ukuran
remaja, dan ia belum sempat mencukur janggut tipisnya. Penjaga loket percaya
umur Tommy setidaknya dua puluh tiga tahun.
Pemuda itu meremas jemari yang basah oleh keringat. Ia memandang sekitar,
tidak ada telepon umum sejauh mata memandang. Akhirnya ia memutuskan untuk

17
pergi ke bangunan seperti restoran yang berada di pinggiran arena balap, dan
meminjam telepon.
“Laura?” sapanya segera ketika telepon diangkat.
“Bukan, ini ibunya. Siapa ini?”
Suara ini juga familiar di telinga Tommy, dalam artian yang negatif. Tanpa
sadar pemuda itu menghela napas kecewa. Entah kenapa ia dan ibu Laura tidak
pernah bisa akrab, wanita itu menginginkan sang anak mendapat lelaki yang
mapan, jelas, dan tentunya terpandang. Sudah pasti Tommy sama sekali bukan
termasuk kriteria tersebut.
“Bibi, ini aku Tommy. Bisa aku bicara dengan Laura?”
Hening sejenak. “Laura sedang pergi.”
“Boleh aku tahu ke mana?”
“Dia bilang ingin berbelanja.”
Suara wanita itu begitu ketus sampai membuat Tommy tidak enak hati.
“Aku sedang sibuk. Ada yang ingin kau sampaikan sebelum teleponnya
kututup?”
Setelah terdiam beberapa detik pemuda itu membalas.
“Tolong katakan pada Laura, aku mencintainya. Katakan juga aku mungkin
terlambat datang. Ada sesuatu yang harus kukerjakan.”
“Akan kusampaikan!”
Kali ini bukan Tommy yang menutup gagang telepon. Pemuda itu termenung,
ia sedikit gugup. Ralat, ia sangat gugup. Ingin rasanya mendengar suara Laura,
bahkan suara napasnya saja sudah cukup. Jemarinya ingin kembali menekan
tombol nomor, sebelum sebuah sirine terdengar dari lapangan, menandakan
pertandingan akan segera di mulai.
Ini untuk Laura, batin pemuda itu sebelum ia memakai pelindung kepala dan
berlari keluar.
***
Nasib tidak pernah bisa tertebak, takdir tidak pernah bisa direncanakan.
Tommy adalah pemuda yang lihai mengendarai mobil, bahkan paling andal di
antara teman-temannya. Namun, tidak di sini, ini balapan sungguhan. Jalur yang

18
mereka lalui sangat berbahaya, rintangan yang mereka lewati begitu mematikan.
Tommy hanyalah anak ingusan jika dibandingkan dengan pembalap lain. Satu per
satu mobil melewatinya secepat kilat, menjauhkannya dari posisi pertama,
menjauhkannya dari cincin yang selama ini ia incar, menjauhkannya dari Laura.
Sedikit demi sedikit ia menginjak pedal gas lebih dalam, dan dalam lagi.
Ini untuk Laura. Tommy mengatakan itu sepanjang balapan.
Otaknya hanya terfokus pada satu hal. Laura dan dirinya. Bersama.
Selamanya. Mereka akan hidup bahagia, menghabiskan masa tua bersama cucu-
cucu kecil yang manis. Semua bayangan indah itu membuat akalnya melayang
setinggi awan, sampai ia tidak menyadari sebuah tikungan tajam tepat di depan.
Tidak ada waktu lagi untuk berbelok, rem juga tidak banyak membantu, mobil
terus meluncur cepat menyisakan noda hitam panjang pada jalanan serta asap
hitam bercampur debu. Seketika, mobil biru muda dengan stiker bergambar '32'
pada sisi depannya itu terpental jauh, dan terguling mengenaskan ke dalam jurang.
Semua berlalu begitu cepat. Tidak ada yang bisa menjelaskan dengan persis
apa yang terjadi saat itu, atau bagaimana mobil biru muda itu bisa terguling
sampai hancur begitu parah. Namun, saat akhirnya para medis datang, mereka
menemukan seorang pemuda dengan darah yang membaluri wajah dan
pakaiannya. Dengan napas sekarat, pemuda itu berkata.
“Katakan pada Laura aku mencintainya. Katakan pada Laura aku
membutuhkannya. Katakan padanya, tidak perlu menangis, cintaku padanya tak
akan pernah mati.”
***
Senja yang sendu. Kemilau jingga tak mampu mengubah warna kelabu pada
gereja. Tempat di mana seorang gadis tengah berdoa, dengan sungai air mata di
pipinya. Menangisi sang kekasih yang telah tiada. Laura sudah ada di situ sejak
pagi. Air matanya belum habis, sederas apa pun cairan itu keluar.
Di tangannya tergenggam sebuah topi, satu-satunya benda yang membuatnya
merasa dekat dengan sang kekasih. Hanya untuknya Tommy hidup dan akhirnya
pergi. Sebuah kisah cinta manis yang berakhir tragis, entah apa namanya,

19
mungkin kenaifan, mungkin sifat nekad, yang jeals, cinta Tommy yang tulus
hanya untuk satu orang gadis. Cintanya abadi hanya untuk Laura.
***
Catatan :
Cerita ini terinspirasi dari lagu Ray Peterson yang berjudul Tell Laura I love
her.

20
Partner in Crime
“Mereka boleh membenci kita, tapi mereka tidak akan bisa menghentikan
kita.”

_____________________________________________________

PERAMPOKAN DAN PEMBUNUHAN KEJI OLEH PASANGAN IBLIS!


PASANGAN IBLIS DALANG PENEMBAKAN DI SEBUAH BANK
KECIL!
PENJARAHAN BESAR-BESARAN OLEH PASANGAN IBLIS!
PASANGAN IBLIS BERAKSI LAGI!
______________________________________________________

Dua tahun terakhir halaman utama setiap koran di Louisiana menuliskan


berita kriminal yang sama. Pasangan iblis meneror nyaris seluruh bank kecil
maupun besar di negara bagian tersebut, identitas keduanya tidak misterius,
bahkan dua iblis itu selalu mendokumentasikan kebrutalan mereka berupa foto,
lantas meninggalkan hasil jepretan itu di tempat perkara. Namun, keduanya juga
begitu pandai melarikan diri, mereka licin seperti belut, dengan kemampuan
kamuflase setingkat bunglon.
Bahkan kedua orang tua dari si gadis tidak pernah melihat anaknya selama
dua tahun terakhir, kecuali di dalam koran, ia tidak pernah pulang ke rumah
meskipun ayah dan ibunya selalu berdoa setiap malam agar anak semata wayang
mereka itu kembali. Nyonya Parker tak henti menangis begitu komandan polisi
datang ke rumahnya bersama beberapa anggota.
“Anakku bukan orang jahat.” Wanita paruh baya itu tergugu dibalik sapu
tangan.
“Anakmu membunuh lebih dari sepuluh orang, membuat puluhan lainnya
kritis dalam kurun waktu kurang dari dua tahun. Jahat memang kata yang tepat
untuknya,” ketus si kepala polisi.

21
“Dengar, Komandan. Anakku adalah gadis baik-baik, dia hanya terpengaruh
oleh seorang lelaki bajingan.” Tuan Parker ikut bicara.
“Setiap manusia bebas menentukan pilihan. Seperti putrimu bebas memilih
untuk pulang ke rumah, dan makan malam kalkun panggang bersama sanak
keluarga selama dua tahun belakangan, tapi dia tidak melakukannya. Dia sudah
menentukan pilihan lain.”
Si komandan melempar lagi sebuah foto, menunjukkan pondok kayu
sederhana yang tertutup pepohonan serta semak belukar lebat, pria itu menghisap
cerutunya dalam-dalam.
“Kami ke sini hanya ingin mengatakan, putri kalian bukan lagi tanggung
jawab kalian. Dia adalah tanggung jawab kami sekarang.”
Nyonya Parker meraung begitu keras, sedangkan sang suami tertegun. Wajah
tegas yang sejak tadi ia pasang larut sudah, berganti dengan kecemasan luar biasa.
“Bukankah ada tahap-tahap tertentu sebelum kalian benar-benar
memutuskan!” geram pria tambun itu.
“Sesungguhnya memang ada, tapi aku jamin tahap-tahap itu tetap membawa
para tersangka ke liang lahat, mengingat banyaknya nyawa melayang akibat ulah
mereka,” jelas Komandan. “Bedanya ... proses tersebut membutuhkan lebih
banyak waktu dan uang.”
Tuan Parker diam seribu basa. Dalam keadaan seperti sekarang, mustahil ia
bisa mengurus segala proses persidangan, setelah beberapa detik terdiam,
menyisakan isakan Nyonya Parker. Akhirnya Tuan Parker mengangkat kepala,
kali ini lebih mantap.
“Jika ini memang demi kebaikan, lakukanlah!” Sang istri menjerit protes.
Memukul-mukul tubuh suaminya sambil meraung-raung. “Asal kalian lakukan
dengan cepat, dan jangan sampai menyakitinya,” lanjut pria itu.
Komandan polisi tersenyum simpul, tanpa mengatakan apa-apa ia melangkah
ke luar, dibuntuti beberapa anggotanya. Begitu sampai di luar, pria itu
mengangkat tangan, menandakan pekerjaan sudah di mulai. Sejurus kemudian
deru mobil, serta sirine polisi berbunyi sahut-menyahut memekakkan telinga,

22
beriringan meninggalkan rumah sederhana itu. Si komandan, tidak benar-benar
datang dengan beberapa anggota saja.
***
Dor!
Timah panas sebesar ibu jari orang dewasa membuat kaca bagian loket
transaksi retak parah, seolah akan hancur berkeping-keping dengan sekali sentuh
saja. Padahal tulisan pada kaca itu terbaca ‘anti peluru’. Alarm peringatan segera
berbunyi memekakkan telinga, ditambah jeritan panik pengunjung bank yang
membuat suasana semakin gaduh.
“Semuanya tiarap!” seru seorang pria sambil terus menembakan senapan
mesin ke udara.
Tanpa disuruh dua kali, seluruh penghuni bank berjatuhan ke lantai,
melindungi kepala mereka dengan kedua tangan.
“Coba memanggil polisi? Kepalamu pecah!” Pria itu melanjutkan saat salah
seorang pegawai bank mengendap-endap menuju telepon di atas meja. Tidak mau
mengambil risiko, ia menembak telepon itu sampai hancur berkeping-keping.
Sementara itu, empat pria lain yang juga membawa senjata api memasuki
ruangan. Mengawasi setiap pengunjung seraya mengambil apa pun yang bisa
mereka ambil. Satu orang lagi menyusul dengan membawa senapan gentel. Kali
ini bukan laki-laki, dia adalah wanita anggun yang memakai gaun ketat selutut,
dengan paduan stocking hitam dan sepatu hak tinggi warna merah terang. Wanita
itu langsung menuju loket transaksi, lantas menyodorkan mulut senapan ke depan
wajah pengawas yang sedang berjaga.
“Masukan semua uang yang ada!” Perintah wanita itu sedikit tidak jelas
akibat cerutu besar menempel di mulutnya.
Saat si penjaga malang menggeleng, satu peluru meluncur dari senapan gentel
dan menghancurkan tembok tepat di belakang pria itu berdiri.
“Sekarang!”
Dengan gemetar dan keringat dingin pada wajah, si penjaga loket mulai
memasukan uang ke dalam kantung. Setelah isinya penuh, wanita itu segera
merebutnya.

23
“Kau yakin ini sudah semua?”
Pertanyaan itu dibalas anggukan patah-patah.
“Coba aku lihat ....”
“Sayang, kita harus pergi sekarang!” Pria yang tadi menggunakan senapan
mesin memperingatkan.
“Aku datang, Sayang!”
Keempat rekannya sudah keluar lebih dulu. Komplotan itu menggunakan dua
mobil, setiap mobil diisi oleh tiga orang. Mobil pertama sudah melaju saat melihat
polisi dari kejauhan.
“Cepat!” teriak pria yang menjadi pengendara dari dalam mobil kedua.
Sedangkan yang diteriaki justru sedang asik menghujani peluru pada dua
mobil polisi sambil terkikik, mengakibatkan mobil-mobil polisi itu meliuk tak
tentu arah akibat pecah ban. Kalau mereka bukan orang berpengaruh, pria di
belakang kemudi bersumpah sudah meninggalkan mereka setengah jam lalu. Saat
akhirnya pasangan itu masuk, keduanya menepuk tak sabar pada bahu si
pengendara.
“Cepat jalan, Bodoh! Kau pikir benda ini bisa mengendarai dirinya sendiri?”
Dengan mengembuskan napas kesal, si pengendara menginjak pedal gas
sekuat tenaga, menyebabkan aspal menghitam dibarengi kepulan asap bercampur
debu. Belum terlalu jauh, seorang polisi berusaha mencegah dengan menempel
pada kaca pintu dan berusaha membukanya.
“Menyingkirlah, Pak Tua!” teriak wanita dengan cerutu.
Melihat polisi itu masih saja berusaha, ia segera mengangkat pistol dan
mengarahkan mocongnya kepada si polisi.
“Dasar keras kepala ....” Itu bukan sebuah peringatan, selanjutnya polisi itu
terjatuh ke aspal dengan lubang pada dahinya.
Wanita itu tertawa lepas. “Jangan macam-macam dengan Margo ....”
“Dan Sam,” tambah pria di sebelahnya, seolah tidak terima dirinya
terlupakan.
Margo melempar pistolnya ke sembarang tempat, lantas menarik kerah
kemeja sang kekasih hanya untuk memberinya tatapan nakal.

24
“Kau harus berhenti menghisap benda terkutuk itu jika ingin berumur
panjang, tahu?” imbuh Sam sambil menarik cerutu dari mulut Margo, dan
membuangnya ke luar jendela.
“Mau tahu apa yang membuatku berumur panjang?” Wanita itu berbisik, dan
Sam hanya diam menunggu jawaban. “Melakukan hal gila bersamamu.”
Dengan kalimat itu Margo menyambar wajah sang kekasih dan menciumnya.
Sam langsung membalas, tentu saja. Mereka adalah dua insan yang tengah
dimabuk cinta, pasangan termanis bahkan melebihi ceri ranum, jika semua itu
dilihat dari sudut pandang iblis. Pertemuan pertama mereka tanggal 5 Januari, tiga
tahun yang lalu.
Musim dingin yang menusuk, Margo sedang kabur ke rumah temannya
setelah bertengkar hebat dengan sang ayah. Gadis itu tengah membuat segelas
cokelat panas sampai tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar memunculkan seorang
pemuda berpenampilan kacau. Temannya yang bernama Keith mengenal pemuda
itu, namanya Sam, dan dia memang sudah berjanji akan menyembunyikan
pemuda itu ketika berhasil keluar dari penjara.
“Jadi pemuda itu. Siapa namanya? Sam. Dia baru keluar dari penjara?” tanya
Margo.
“Ya ... kau tidak perlu takut, dia berjanji tidak akan mengacau di sini.”
Takut? Margo tidak takut. Gadis itu tertarik. Baru kali ini ia melihat seorang
pemuda bukan sebagai pecundang bercelana panjang, melainkan memang
seseorang yang cocok untuknya. Mereka mulai mengobrol, tidak butuh waktu
lama bagi Sam untuk jatuh hati pada Margo. Dia adalah wanita yang cantik, dan
jelas-jelas berbeda. Dari luar Margo terlihat anggun selayaknya gadis rumahan
yang manis, tapi Sam menyadari ada sesuatu di dalam dirinya, seperti setan yang
memberontak setelah sekian lama terbelenggu. Saat Sam menawarkan gadis itu
untuk bergabung dengan komplotan perampoknya. Margo menyetujui ajakan itu
tanpa ragu.
Aksi pertama mereka sebagai pasangan dimulai dua bulan setelah perkenalan.
Mereka merampok sebuah bank kecil di daerah Georgina, hari itu juga kali
pertama Margo membunuh seseorang dengan tangannya sendiri. Biasanya, setelah

25
aksi perampokan yang selalu sukses, mereka akan pulang ke pondok
persembunyian di mana tak seorang pun selain komplotannya yang tahu. Selagi
anggota lain meminum bir di depan tungku api, pasangan itu mempunyai cara
tersendiri untuk merayakan keberhasilan mereka. Di dalam satu ruangan yang
dibuat khsusus untuk mereka menghabiskan malam dengan mesra. Tidak peduli
anggota lain diam-diam menyimpan rasa iri.
Meskipun iri, tidak satu pun dari mereka berani protes. Pasangan itu sama
gilanya, mereka seperti memang sudah ditakdirkan bersama. Anggota lain bisa
saja berbuat jahat kepada Margo, menjadikannya boneka pelampiasan setelah
lelah bekerja. Namun, entah mana yang lebih mereka takuti, mendapat hadiah
lubang di dahi dari tangan Sam karena sudah berani menyentuh kekasihnya, atau
Margo sendiri yang memberikan hadiah itu.
“Kau tahu, seluruh dunia membenci kita,” ujar Margo pada suatu malam.
“Aku tahu,” jawab Sam.
“Polisi membenci kita, para penduduk membenci kita. Bahkan anak-anak
buahmu membenci kita.” Wanita itu sedikit berbisik saat mengatakan kalimat
terakhir.
Pria di sebelahnya hanya mengangguk. Ia berbalik menghadap sang kekasih
dan membelai rambut kemerahannya dengan lembut.
“Mereka semua boleh membenci kita,” bisiknya. “Tapi tak satu pun dari
mereka bisa menghentikan kita.”
“Benar ....”
“Mereka tidak akan pernah bisa menandingi kita!” Pria itu memeluk
kekasihnya. “Selagi kita terus bersama, iblis pun bertekuk lutut.”
Malam itu tepat pertengahan musim dingin, tapi angin salju tak mampu
menandingi panasnya tubuh mereka saat bersentuhan. Setiap malam adalah milik
mereka.
***
Sirine polisi dan suara tembakan memenuhi angkasa, bahkan seruan para
petugas keamanan itu menggema di telinga Sam. Pagi yang damai berubah
mencekam, beberapa polisi mendobrak pintu, tidak memberi kesempatan bagi

26
siapa pun di pondok kayu untuk mempersiapkan diri. Sam melihat sendiri rekan-
rekannya mati dengan rentetan peluru pada sekujur tubuh mereka. Satu hal yang
ada di kepalanya saat ini adalah Margo. Ia harus segera membawa Margo keluar
dari kekacauan ini. Wanita yang ia cari sedang membidik gerombolan polisi di
teras dengan senapan gentel andalannya dari jendela. Entah bagaimana polisi-
polisi itu bisa mengetahui tempat persembunyian mereka.
“Margo kita harus pergi dari sini!” ujar Sam setelah ia berada di sebelah
kekasihnya.
Gadis itu menoleh. Peluh pada wajah dan sekujur tubuh Sam membuatnya
tahu bahwa mereka dalam bahaya. “Tapi ... kemana kita akan pergi?”
“Menjauh! Sejauh mungkin menghindari orang-orang berengsek ini!”
“Sam, mereka akan menghentikan kita. Mereka semua membenci kita!” ujar
wanita itu, gemetar.
Pria itu menangkup wajah sang kekasih dan menciumnya dalam-dalam. Itu
cukup ampuh untuk membuatnya tenang. “Mereka tidak akan bisa melakukannya.
Mereka boleh membenci, tapi mereka tidak akan bisa menghentikan kita. Kau
percaya padaku, kan?”
Margo mengangguk pelan. Sebuah peluru menembus dinding kayu dan nyaris
membuat telinga Sam terputus. Itu adalah tanda bahwa mereka harus segera pergi.
Sam menarik kekasihnya menuruni tangga, lantas menuju garasi. Jauh dari tempat
para polisi menembak, mari berharap polisi-polisi itu tidak menyadari kepergian
mereka. Setelah berhasil masuk ke dalam mobil, dan menyalakan mesinnya, Sam
menoleh. Tidak ada polisi sejauh mata memandang, tanpa basa-basi ia menginjak
pedal gas. Berkali-kali pria itu menoleh ke belakang. Namun, hanya keheningan
yang ia dapat. Itu aneh, sekaligus melegakan. Sam mengembuskan napas panjang
meski ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.
“Sam, apa kita sudah berhasil?” tanya Margo, ragu.
“Sempurna seperti biasanya, Sayang.” Meski mulutnya berkata begitu,
hatinya tak kunjung mendapat ketenangan.
“Bagaimana dengan yang lain?”

27
Pria itu melepas topi fedoranya sebagai jawaban, “Penghormatan terbesarku
untuk mereka,” ujarnya berbelasungkawa.
“Lantas ke mana kita akan pergi?”
“Misisippi ... aku mengenal seseorang yang dapat membantu kita di sana.
Sekaligus merekrut anggota baru.”
Tidak ada pertanyaan lain, Margo akhirnya menutup mulut. Mereka membisu
sepanjang jalan, berusaha mengaggumi pohon-pohon lebat yang mengelilingi,
meskipun itu sama sekali bukan kebiasaan mereka. Dalam keheningan yang
dalam, Sam mulai fokus memandangi semak belukar di antara pohon-pohon
cemara. Ada lingkaran aneh yang berkerumun di sana, bukan buah berry, apa lagi
murbei. Lingkaran itu memiliki lubang, dan sepertinya menjorok jauh ke dalam.
Seketika itu ia sadar. Itu bukan lingkaran biasa.
Itu adalah moncong senapan mesin, dan jumlah mereka sangat banyak. Wajah
pria itu pucat pasi, ia menoleh pada Margo, mengaggumi siluet wanita pujaannya
itu, mungkin untuk yang terakhir kali. Entah ini sebuah tanda atau semacamnya,
tapi seketika itu juga Margo ikut menoleh, matanya berkaca-kaca dan bibirnya
bergetar. Untuk menenangkannya, Sam menggenggam tangan wanita itu.
“Aku mencintaimu, Margo,” lirihnya.
Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menarik otot bibirnya untuk seulas
senyum. Ini adalah saat di mana mereka sadar, dunia memang membenci mereka,
tidak sampai di situ, dunia ingin pasangan itu mati. Kali ini sentuhan tubuh
mereka tidak mampu menandingi udara dingin yang menjalar sampai ke ujung
kaki.
***
Tak jauh di atas semak, gerombolan polisi yang masing-masing memegang
senapan mesin bersembunyi. Mereka menunggu saat yang tepat untuk menarik
pelatuk bersamaan, dan menghujani pasangan iblis itu dengan timah panas,
memberi mereka tiket bulan madu ke neraka, seperti yang selama ini sangat
mereka impikan.
“Ingat, Anak-anak. Buatlah menjadi cepat, dan tidak menyakitkan,” ujar
komandan mereka tanpa melepas pandangan dari mobil silver yang tengah melaju.

28
“Biar tuhan yang melakukan sisanya.”
***

29
Memories
“Ketika anak-anak lain sibuk bermain, kita sibuk saling mencintai.”

Cuaca cerah di akhir pekan adalah saat yang paling tepat untuk berjalan-jalan
ke taman kota. Hari ini aku pergi tidak sendirian, aku datang bersama Arimbi,
sahabatku, dan seekor anjing retriever tua. Taman kota di sini cukup besar,
tanahnya dilapisi batu bata merah, kecuali bagian pohon dan semak-semak, jalan
setapaknya dibuat berbeda warna. Ada kolam buatan yang cukup besar berisi
sekumpulan bebek.
Beberapa orang terlihat berlari-lari sore, sementara sisanya duduk pada
bangku yang tersedia. Taman ini memang tempat yang paling cocok untuk
menenangkan pikiran setelah beraktifitas nonstop selama lima hari berturut-turut.
Arimbi menuntunku ke sebuah bangku dari batu bata merah yang dibangun
melingkari pohon mapel besar untuk beristirahat.
“Tunggu di sini ya, Jani. Aku akan membeli es krim.” Wanita itu langsung
berlari menghampiri kios es krim sebelum aku sempat merespon.
“Belikan aku rasa vanila!” seruku.
Duduk sendirian membuatku spontan memerhatikan sekitar. Pohon mapel
besar di tengah bangku inilah yang paling menarik perhatian. Warna oranye pias
mulai mendominasi daunnya, menandakan musim gugur akan segera tiba. Pohon
ini semakin besar saja dari terakhir kali aku ke sini. Diam-diam, jemariku meraba
batang besarnya yang kokoh. Berharap menemukan sesuatu, dan ternyata, aku
benar-benar menemukannya.
Ozan + Jani

Masih ada di sana ... Dua nama yang diukir seadanya dengan sebuah obeng
tumpul, hasilnya pun tidak karuan, mencong sana-sini, kedalamannya tidak
merata, benar-benar hasil tangan amatir. Di hadapan pohon itulah aku menikah
untuk pertama kali. Pernikahan pura-pura tentunya, tapi saat itu baik aku maupun
dia benar-benar serius untuk menjadi suami-istri, karena kami percaya bahwa
kami saling mencintai.

30
***
“Aku tidak bisa melakukan ini, Ozan!” keluh Veli—anak yang dipaksa ikut
kedalam urusan sakral hari itu.
“Ayahmu, kan penghulu masa kau tidak bisa!” seru bocah bernama Ozan
yang masih sibuk mengukir maha karya pada batang pohon ek.
“Itu kan ayahku, bukan aku ... lagipula ayah tidak pernah mengajakku ke
acara pernikahan yang dia hadiri.”
Setelah selesai mengukir, anak itu langsung menggenggam kedua tangan
seorang gadis kecil seusianya sambil menyunggingkan senyum. Senyuman itu
berganti menjadi amarah saat ia berbalik kepada Veli. “Cepat lakukan saja!”
Veli yang malang menggaruk kepala, kebingungan. Sambil menerawang, ia
mengingat-ingat apa saja yang ayahnya katakan pada acara pernikahan seseorang,
dan tidak berhasil mengingat apa pun. Takut mendapat pukulan dari penindas
semacam Ozan, anak itu akhirnya menaikkan dagu, berpura-pura tahu apa yang
akan ia lakukan.
“Umm ... Ozan dan Jani, apa kalian saling menerima di saat susah dan
senang? Di saat sakit dan sehat?” Anak itu memicingkan mata—berusaha
mengingat salah satu adegan di TV. “Dan kalian akan setia untuk selama-
lamanya?”
Usia calon pengantin saat itu masih sekitar sepuluh atau sebelas tahun, tapi
mereka dengan mantap menjawab “Iya.” Tekad mereka sudah bulat ingin
menikah, rasa cinta keduanya sama besar, dan mereka tidak bisa menunggu lebih
lama lagi.
“Kalau begitu ... kalian sekarang menjadi suami dan istri!” seru Veli sambil
menebar sobekan rumput serta bunga warna-warni yang sudah disediakan, tentu
saja Ozan juga yang menyuruhnya melakukan itu.
Seharusnya pengantin pria mencium pengantin wanitanya, tapi saat Ozan
mendekatkan bibir, Jani reflek menahannya dengan telapak tangan. “Ibu bilang
masih kecil tidak boleh ciuman.”
Bocah itu menggaruk kepala seiring pipinya bersemu. “Benar ....”

31
“Boleh aku pulang sekarang?” tanya Veli dengan wajah memelas, yang
malah dijawab oleh mata mendelik dari Ozan.
Tentu saja belum, kalau bocah gempal itu pulang, siapa yang akan mengayuh
sepeda untuk mengantar pengantin baru jalan-jalan? Setelah melakukan segala
pekerjaan yang melelahkan, Veli mendapat satu blok cokelat dari Jani sebagai
imbalan. Akhirnya bocah itu pulang dengan semringah, meskipun napasnya ngos-
ngosan setelah mengayuh sepeda yang terikat dengan kereta dorong berisi dua
manusia sekaligus.
Pernikahan bagi kedua bocah itu sama dengan selalu pergi kemana pun
bersama. Ozan mengabaikan teman-temannya demi selalu bisa bersama Jani.
Gadis kecil itu pun melakukan hal yang sama, mereka jadi seperti kembar siam,
mungkin sebentar lagi tubuh mereka benar-benar menyatu. Saking kesalnya,
teman-teman mereka bertanya dengan sinis.
“Kalau kalian suami istri, terus di mana anak kalian?”
“Benar juga ...,” kata Ozan waktu itu dengan wajah melongo.
Sejak saat itu Jani dan Ozan mengadopsi bayi anjing berwarna cokelat yang
terlantar di jalanan, lalu menamainya Zani—gabungan dari Ozan dan Jani.
Pernikahan mereka terasa semakin sempurna dengan adanya Zani. Anjing itu
sangat ramah, cepat akrab dengan siapa saja, bisa melakukan banyak trik
sederhana seperti salaman atau berguling, dan tidak pernah menjilat wajah orang
kecuali diperbolehkan. Jani dan Ozan merawat anjing kecil itu dengan sangat
baik.
Teman-teman tidak lagi protes, lebih tepatnya menyerah. Keduanya berhasil
membuktikan bahwa cinta adalah elemen yang paling kuat di dunia. Setidaknya
itulah menurut mereka. Suatu hari, Ozan mengajak istrinya ke sebuah tempat yang
katanya sepi, tapi sebenarnya ramai. Hari itu tepat seminggu usia pernikahan
mereka. Jani menurut saja ketika suaminya menuntun ke sebuah padang rumput
luas dengan banyak gundukan-gundukan serta batu berbagai ukuran berjejer
simetris. Benar, Ozan mengajaknya ke pemakaman umum.

32
“Ini tempatnya!” seru bocah itu ketika mereka sampai di depan dua buah
nisan besar. “Tempat ini sepi, tapi sebenarnya tidak sepi. Di sini banyak arwah
penasaran, loh!”
Seharusnya Jani memekik ketakutan, atau setidaknya gemetar, tapi gadis itu
justru terkekeh. Entahlah, Ozan membuatnya merasa aman, seolah tidak ada yang
perlu ditakuti ketika bersamanya. Anak itu duduk di depan nisan, lantas menepuk
tempat di sebelahnya, menyuruh Jani ikut serta.
“Ini makam kakek dan nenekku,” gumam Ozan. “Dulu saat kakek meninggal
semua orang di rumah menangis tersedu-sedu, tapi hanya nenek yang tersenyum
bahagia.”
Jani menatapnya tanpa berkedip. Ia kagum dengan wajah sang suami yang
begitu serius ketika bercerita.
“Aku penasaran kenapa nenek justru terlihat senang, padahal kakek baru saja
meninggal.” Dia melanjutkan. “Nenek bilang, kematian adalah awal dari
keabadian. Dia senang karena meninggalnya kakek adalah awal cinta abadi
mereka. Tak lama, nenek pun meninggal dunia.”
“Sekarang cinta mereka abadi di surga ....” Jani bergumam.
“Begitulah.”
Iseng. Gadis itu meneliti batu nisan kakek dan nenek Ozan, yang ternyata
sama-sama bertuliskan satu kalimat.

Terima kasih untuk indahnya cinta yang kau bagi selama lima puluh
tahun.

“Lima puluh tahun itu berapa lama?” tanya Jani.


Ozan berpikir sejenak. “Lima puluh kali ujian akhir sekolah, tanpa libur.”
Manik cokelat gadis kecil itu melebar membayangkan berapa jam terbuang
dalam waktu selama itu. “Kamu bisa mencintaiku selama itu?”
Lagi-lagi Ozan berpikir. “Tentu saja.”
“Masa?”

33
“Tentu saja bisa ... buktinya aku sudah mencintai Jani selama seminggu,
kan?”
Sebuah senyum tersungging begitu saja di wajah mereka. Tidak ada hal
paling menyenangkan selain menghabiskan waktu senja bersama orang yang
dicintai. Ketika matahari mulai tenggelam, dan suasana pemakaman semakin
mencekam, Ozan mengajak istrinya pulang.
***
“Kenapa kamu pergi?”
“Ibu dan ayah pergi. Aku harus ikut.”
Tangan yang semula saling menggenggam, kini tinggal satu pihak saja yang
mempertahankan. Sebuah mobil truk pengangkut barang terlihat penuh sesak,
sementara si supir mulai memainkan gas seolah tidak sabar ingin cepat-cepat
pergi. Lalu ada van kecil di belakangnya yang berisi pasangan muda sedang
tersenyum menatap tingah laku bocah kecil mereka. Bisa-bisanya mereka
tersenyum melihat perpisahan yang menyedihkan antata suami dan istri.
“Jani boleh ikut kalau mau, Jani kan istriku!”
Gadis itu menoleh ke belakang, menatap pasangan muda lain yang berdiri
memperhatikan, juga dengan senyum lucu. “Ibu dan Ayah ada di sini, aku harus
tinggal.”
Klakson van berbunyi sekali membuat keduanya tersentak. Ozan berbalik dan
menggenggam kedua tangan Jani.
“Aku akan kembali,” katanya serius. “Aku akan menjemput Jani.”
Air mata sang istri masih saja meleleh. “Benar, ya!”
“Aku pasti datang. Jani tunggu, ya?”
“Aku tunggu.”
Dengan berat hati mereka saling melepas genggaman tangan. Ozan
melangkah masuk ke dalam mobil, dengan sendu menatap istrinya yang tengah
menangis. Para orang tua saling melambai, sementara pasangan kecil itu justru
menyembunyikan wajah.
“Ingat kamu sudah janji.” gumam Jani membenamkan wajahnya pada tubuh
sang ibu.

34
Mobil pengangkut barang akhirnya melaju, diikuti van kecil di belakangnya,
roda-roda itu menggelinding semakin jauh, sampai akhirnya mengecil dan hilang
dari pandangan, tapi air mata Jani tidak juga berhenti keluar.
***
Aku menggeleng kepala dengan cepat. Semua kenangan itu tiba-tiba saja
melintas. Kenangan yang manis dan bodoh jika dipikir-pikir. Anak sepuluh tahun
dengan begitu percaya diri menyumpah janji suci untuk selalu bersama. Betapa
naif dan polosnya masa-masa itu. Aku tersenyum seraya mengusap ukiran nama
pada batang pohon dengan ganas. Berharap bisa terhapus.
Apanya yang lima puluh tahun!
Kamu tidak pernah kembali!
Padahal kau sudah berjanji, padahal aku menunggumu!
“Hey, apa yang kamu lakukan pada pohon malang itu!”
Arimbi muncul menenteng dua eskrim masing-masing vanila dan stroberi.
Aku berdeham malu, ternyata sejak tadi masih berusaha menghapus ukiran di
pohon seperti orang gila.
“Kamu baik-baik saja? Habis menangis, ya?”
“Pasti terkena serpihan kayu. Tadi ada serangga benalu di pohon itu, aku coba
mengusirnya,” jawabku seraya menyeka mata yang ternyata memang berair.
“Ya ampun, hati-hati, dong! Seminggu lagi kan hari pernikahanmu,” omel
wanita itu. Ia meniup bola mataku sekilas, lalu memberikan eskrim vanila. “Kamu
tidak mau kan terluka pada momen sekali seumur hidup ini?”
Aku tersenyum menanggapi. Sebenarnya ini yang kedua.
“Ayo kita makan di tempat lain,” ajakku.
“Loh kenapa? Tempat ini bagus.”
“Di pohon ini banyak serangganya, lebih baik kita duduk di dekat danau.”
Arimbi akhirnya mengangguk setuju, lantas berjalan lebih dulu menghampiri
kumpulan bebek di kolam.
“Ayo, Zani!”
Anjing retriever cokelat itu menggonggong senang. Meski sudah tua, larinya
masih sangat cepat. Kami berjalan menyusul Arimbi yang sedang bermain dengan

35
bebek-bebek. Merindukan seseorang itu benar-benar tidak enak, wajahnya tidak
ada ketika ingin kita lihat, suaranya tidak terdengar ketika ingin kita dengar.
Sekarang aku hanya berharap bukan cuma aku yang merasakan itu semua.
***

36
When All Dreams Come True
“Ketika semua mimpi sudah terkabul, apa yang akan kita lakukan
selanjutnya?”

Ketika muda, manusia memiliki begitu banyak mimpi, terkadang sangat sulit
mencapai kepuasan karena mimpi-mimpi itu terus bertambah besar. Namun,
ketika mimpi-mimpi terus bertambah, tanpa sadar waktu pun terkikis. Apa yang
manusia lakukan ketika mereka sadar hidup bukan hanya sekadar mengejar
mimpi? Tentu saja membuat mimpi terakhir, mimpi yang akan menutup mimpi-
mimpi sebelumnya. Sebuah mimpi yang bisa terwujud bahkan tanpa harus
mengejarnya.
“Sudah lama ya tidak duduk santai berdua?” ujar seorang wanita seraya
menempelkan bokongnya di atas sofa. Ia menoleh kepada pria di sebelahnya yang
sedang menyesap secangkir teh.
“Iya ... teh racikanmu tetap nomer satu, apa lagi ditambah kue kering ini.
Tidak ada yang bisa menandinginya! Hanya satu yang berubah ....” Pria itu
mengguncang sofa duduknya. “Sofa ini tidak seempuk dulu.”
Si wanita tertawa. “Tentu saja, benda itu sudah lama sekali ... kalau tidak
salah kita membelinya saat menikah, ya?”
“Masa sih?”
“Iya, dulu kan kamu masih cinta-cintanya padaku, sampai beli sofa santai pun
harus serupa.”
“Hey, sampai sekarang aku juga cinta kamu!” protes si pria.
“Baik-baik, aku percaya.”
Si pria menerawang sejenak. “Meskipun memang ada saat-saat di mana rasa
cintaku saat itu benar-benar tak terhingga.”
“Oh ya? Kapan?” tanya sang istri penasaran.
“Saat kamu hamil Si Sulung, besarnya rasa cintaku padamu saat itu tidak bisa
diungkapkan dengan kata-kata. Aku bersyukur, dan begitu menantikan
kelahirannya.”

37
“Aku ingat malam-malam kamu memaksakan diri keliling kota hanya untuk
mencari buah mangga, padahal saat itu aku hanya sekadar bilang, bukannya
benar-benar ngidam.” Wanita itu terkikik, mengingat ekspresi sang suami malam
itu—gusar, panik, dan bingung.
“Tapi akhirnya semua itu terbayar. Dia lahir dengan normal dan sehat. Kita
sangat norak saat itu. Si Sulung bersuara sedikit saja kita langsung ikut bersorak.”
Pria itu menggenggam tangan istrinya. “Butuh waktu berbulan-bulan hanya untuk
memilih nama yang unik, sesuatu yang spesial dan tidak terlalu membebani.
Untung kita sudah menemukannya sebelum dia lahir.”
“Dia tumbuh menjadi seperti yang kamu harapkan. Pemberani, tampan, dan
berjiwa pemimpin.”
Keduanya terdiam meresapi ingatan masa lalu yang meluap. Bagaimana Si
Sulung bisa duduk, tumbuh gigi, merangkak, berlari, sampai akhirnya masuk TK.
Semua diabadikan dengan foto, jika dipikir-pikir Si Sulung yang paling banyak
fotonya dalam album.
“Ingat tidak saat aku hamil Si Tengah?” Wanita itu tiba-tiba berseru. “Atau
kita biasa memanggilnya ‘bungsu tidak jadi’.”
Si Pria menghela napas sedikit terkekeh. “Siapa yang tidak ingat? Masa-
masanya kamu menjadi sangat manja, bahkan minum saja harus diambilkan.”
“Kamu juga aneh, tiba-tiba saja jadi cuek bebek, padahal saat hamil Si Sulung
begitu perhatian!” gerutu si wanita.
“Perlakuanku padamu sama saja! Ya ... memang kamu agak menyebalkan
saat itu sampai membuatku kesal, tapi aku tetap melakukan segala yang kamu
mau. Kamu saja yang tidak pernah puas. Sampai mengusirku tidur di sofa.”
Si wanita akhirnya mengalah dan nyengir. “Tapi pada akhirnya saat Si
Tengah lahir dia menjadi anak kesayanganmu, kan?”
Pria itu tertawa, ia mengeratkan genggamannya. “Dahulu ayahku pernah
bilang ‘masa paling bahagia bagi seorang pria adalah ketika anak perempuannya
lahir’. Ketika Si Tengah lahir harus kuakui, ucapan ayahku itu sangat benar. Aku
akan bertanggung jawab untuknya, menjadi pria pertama yang mencintainya, dan
menjadi saksi saat ia menikah.”

38
“Ya ... kamu sudah melaksanakan itu semua,” ujar si Wanita sambil
menyandarkan kepala pada bahu sang suami.
“Bagaimana dengan Si Bungsu? Kita tidak melupakannya ‘lagi’, kan?”
Tiba-tiba keduanya tertawa terbahak-bahak.
“Saat kamu hamil Si Bungsu kita begitu cuek, seolah kamu tidak sedang
hamil sama sekali.” Si pria mengusap matanya yang berair karena tertawa. “Saat
dia akan lahir pun kamu sempat-sempatnya menyelesaikan masakan dan
menatanya di atas meja.”
“Kamu lebih parah lagi, bukannya buru-buru pulang dari kantor, malah
berkata dengan santai ‘apa? Sudah lahir? Rasanya baru kemarin hamil’,” jawab si
wanita.
“Berkali-kali kita kehilangan dia di swalayan, dan kebun binatang. Pernah
suatu ketika anak itu hilang di taman kota, sampai-sampai kita putus asa, kamu
sudah menangis tersedu-sedu ternyata dia sedang tertidur pulas di tempat ibadah.”
Pria itu tertawa kembali, padahal saat kejadian tak terbayangkan paniknya
mereka.
“Kalau dipikir-pikir anak bungsu seharusnya paling dimanja, tapi justru dia
yang fotonya paling sedikit di dalam album.”
“Kita sudah berusaha memfotonya ingat? Tapi Si Bungsu memang dasarnya
anti kamera. Dia lebih suka menjadi pemegang kamera.”
“Dia adalah anak kita yang paling membanggakan, tidak perah menyusahkan
sejak hamil, sampai dewasa pun dia bisa mengurus diri sendiri.”
“Mereka semua membanggakan dengan cara masing-masing, Sayang.”
Kedua insan itu memperhatikan sinar matahari yang perlahan meredup,
menyisakan sinar jingga yang bias tertutup kepulan awan.
“Waktu berlalu begitu cepat, ya? Rasanya baru kemarin kita menikah,
mempunyai anak-anak yang manis. Sekarang kita menyaksikan hal yang sama
pada anak-anak kita,” celoteh si pria.
Wanita di sebelahnya mengangguk. “Tanpa sadar kita sudah mewujudkan
setiap mimpi yang pernah kita buat ... sekarang apa?”
“Tentu saja menikmati semuanya.”

39
Keduanya saling tatap menelusuri wajah masing-masing yang sudah penuh
keriput, rambut yang tadinya berwarna cerah sekarang berubah putih kelabu. 70
tahun berlalu, banyak hal telah berubah, kecuali pancaran mata dan rasa cinta di
dalam hati. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, wanita itu kembali
tersipu. Waktu seolah berputar jauh ke belakang, ketika dunia tidak terlalu
gempita, ketika keduanya masih menggebu membuat mimpi setinggi awan.
“Bagaimana wajahku sekarang?” tanya wanita itu.
Si pria tersenyum dan mengelus wajah istrinya. “Sangat cantik.”
Mereka saling rangkul menikmati sejuknya udara sore yang menyebarkan
aroma-aroma bunga di kebun belakang. Keduanya tidak bicara, hanya menikmati
kehangatan. Api yang telah lama membara meski badai menerjang ribuan kali,
kobarannya tetap tak terusik. Ketika matahari semakin rendah, si pria kembali
menatap istrinya, kali ini sangat serius.
“Ada apa?” tanya wanita itu.
Sebelum menjawab, pria itu tersenyum tulus. “Suatu saat nanti, ketika usia
kita sudah mencapai batasnya, aku ingin kamu pergi duluan.”
Si wanita tentu saja mengernyit heran. “Apa maksudmu? Jangan bicara yang
aneh-aneh!”
“Di usia seperti ini, kita harus menjadi bijak dan berpikir rasional. Tak ada
yang abadi di dunia, tapi setidaknya kita bisa berharap sekali lagi, kan? Jika
Tuhan menghendaki, aku berharap Dia menjemputmu lebih dulu,” imbuhnya.
“Tapi kenapa? Kamu tidak cinta denganku lagi?”
“Bukan begitu .... kalau Tuhan menjemputku duluan, lalu nasibmu nanti
bagaimana?”
Entah kenapa butir-butir kristal jatuh dari kelopak mata si wanita. “Bicara
apa, sih?”
“Kata orang rindu adalah siksaan yang paling berat, makanya kamu pergilah
duluan, agar tidak perlu merasakan sakitnya ditinggal, tidak perlu tersiksa oleh
kerinduan,” lanjut pria itu. “Nanti tunggulah kedatanganku di tempat paling indah,
di mana cinta kita akan abadi.”

40
Butir kristal itu telah berubah menjadi aliran sungai. Si wanita memeluk
suaminya begitu erat, seperti tidak mau melepas pelukan itu selama-lamanya.
Sejarah mereka berdua lebih tua dari prasasti, lebih kuat dari batu cadas, dan
tentunya lebih indah dari ladang bunga tulip. Ketika semua mimpi sudah
terwujud, sekarang apa? Tentu saja menikmatinya.
***

41
Tell Tommy I Miss Him
“Tell Tommy i miss Him, tell him not to worry, my love for him will never
die.”

Seorang wanita setengah baya bersandar pada dinding sambil bersilang


tangan di dada, menatap dingin anak gadisnya yang tengah bertelepon. Dia terlihat
sangat bahagia sampai-sampai tak mengacuhkan aura kelabu yang sang ibu
lemparkan.
Setelah menutup gagang telepon, sang ibu mendekat. “Tadi itu Tommy?”
“Iya, dia mau datang besok, dia bilang punya kejutan untukku. Sebaiknya aku
juga memasak sesuatu yang spesial untuknya,” jawab gadis itu dengan semringah.
“Untuk apa? Dia sering ke sini, bahkan menyelinap ke kamarmu di malam
hari. Kau kira Ibu tidak tahu!”
“Itu cuma sekali, lagipula dia bilang besok akan menjadi hari yang tidak akan
terlupakan oleh kami berdua.”
“Apa maksudnya itu?”
“Itu sebabnya disebut kejutan, Bu!”
Sang ibu membelalakkan mata. Laura terlalu lugu untuk mengetahui tanda-
tandanya, tapi sebagai wanita setengah baya yang sudah berpengalaman melalui
pasang-surut kehidupan, ia tahu persis apa yang dimaksud seorang pemuda jika
mengatakan itu kepada kekasihnya.
“Sebaiknya aku belanja sekarang.” Laura segera memakai mantel dan topi,
lantas mengambil keranjang belanja. Bersenandung riang ke arah pintu. Selagi
gadis itu memakai sepatu, sang ibu kembali berdiri di belakangnya.
“Ibu tidak suka kau bersamanya, Laura!” ujarnya dengan nada ancaman.
“Tommy itu berandal dan urakan. Keluarga kita membenci dua hal itu.”
Laura bergeming. “Keluarga kita membencinya, tapi aku tidak. Aku tidak
pernah melihat seseorang dari tampilan luarnya saja.”
“Sayangnya tampilan luar ‘memang’ menggambaran sifat seseorang,” entak
sang ibu. “Kau lihat kenapa lady bug berwarna indah sedangkan kumbang kotoran

42
berwarna kusam? Karena lady bug tidak pernah bermain kotoran seperti kumbang
kotoran!”
“Hentikan filosofi serangga itu, Bu. Manusia tidak sesederhana itu, Tommy
mempunyai sifat yang membuatku mencintainya.”
“Cinta? Kau tidak bisa memakan cinta. Apa yang bisa gelandangan itu
berikan kepadamu, baju ganti untuk diri sendiri pun tidak akan mampu ia beli.”
Laura buru-buru mengangkat keranjang belanjanya dan pergi menjauh, air
matanya menitik dengan suara sang ibu yang masih saja menjelek-jelekkan
kekasihnya.
“Kau akan sengsara, kau akan menyesalinya. Suatu saat kau akan merangkak
pada ibu akibat tidak tahan dengan kemiskinan! Kalian tidak akan bahagia ....”
***
Kelopak mata berisikan manik kehijauan itu sudah terbuka sebelum Fajar
menyingsing, ini adalah hari yang spesial. Setelah mencuci muka, serta mengganti
piyama, Laura langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan bahan-bahan makanan
yang ia beli kemarin. Gadis itu membuka buku resep. Hari ini ia akan memasak
makanan kesukaan Tommy yaitu makaroni keju, dengan tambahan keju sebanyak-
banyaknya, pemuda itu tidak pernah cukup dengan keju. Laura percaya itu
sebabnya Tommy tumbuh tinggi.
Sepanjang pagi Laura sibuk di dapur, dan ibunya sama sekali tidak
membantu, kepikiran juga tidak, padahal wanita itu sering mondar-mandir di
dekat Laura, hanya untuk menggumamkan sesuatu yang tidak enak di dengar.
Laura memutuskan untuk pura-pura tuli. Suasana hatinya pagi ini sedang bagus,
tidak ada yang akan mengacaukannya.
Tommy belum menelepon sama sekali. Tadi telepon memang berbunyi dan
sang ibu yang mengangkatnya, tapi sepertinya itu bukan dari Tommy, percakapan
sang ibu di telepon terlalu singkat, tidak sampai lima menit. Laura tetap asyik
dengan kegiatannya, ia tahu sang kekasih tidak pernah berbohong. Mungkin dia
akan datang nanti sore, seperti biasa.
Namun, sudah empat jam berlalu setelah Laura menata makanan secantik
mungkin di atas meja. Beberapa kali makanan itu ia hangatkan lalu ditata ulang,

43
bahkan gadis itu menggunakan waktu menunggu dengan mengganti pakaian
beberapa kali, mencari setelan paling sempurna untuk menyenangkan kekasihnya.
Dua jam lagi berlalu, ketika raga dan jiwanya lelah menunggu, Laura
menjatuhkan badan ke atas kursi persis di samping telepon, menunggu panggilan
dari sang kekasih yang tak kunjung ada. Ia menyandarkan kepala ke gagang kursi.
Tommy, kamu di mana?
Mata gadis itu perlahan tertutup. Ia sempat memimpikan dirinya dan Tommy
sedang tertawa di meja makan, berkali-kali pemuda itu memuji betapa enaknya
masakan Laura, serta betapa cantiknya ia hari ini, sampai sebuah dering yang
begitu keras seolah menimpa kepalanya bagai palu, membuat kelopak mata itu
kembali terbuka dengan entakan. Buru-buru Laura mengangkat telepon.
“Tommy?”
“Laura? Ini kamu?”
Ekspresi wajahnya muram. Itu bukan suara Tommy.
“Iya ini aku, maksudku ... ini Laura. Siapa ini?”
“Aku Sulivan, teman Tommy. Kita pernah bertemu di kedai waktu itu,
ingat?”
“Oh, ya ... aku ingat.” Bohong, gadis itu tidak ingat sama sekali. “Ada apa,
Suli?”
Suara di seberang terdengar gagap. “Aku ... aku sangat menyesal, aku tidak
mau menjadi pembawa berita buruk! Aku juga sangat kaget dan terpukul.”
“Apa yang terjadi?” Suara Laura ikut bergetar, perasaan tidak enak mulai
menjalar. Tidak mau pergi sekeras apa pun gadis itu menepisnya.
Sulivan menghela napas. “Laura ... Tommy kecelakaan. Dia ... tidak
selamat.”
Jika tadi hanya suaranya yang bergetar, sekarang seluruh tubuh Laura juga
bergetar. Gagang telepon terasa berat sehingga ia menjatuhkannya, saking
terkejutnya sampai air mata tidak bisa keluar, bernapas pun sulit.
Mimpi buruk! Ini pasti mimpi buruk. Aku akan terbangun, dan Tommy akan
berada di sisiku! Ayo bangun! Bangun!

44
Laura mencubit lengan berkali-kali, tanpa sadar meninggalkan bekas
kebiruan di kulit putihnya. Sang ibu menghampiri, dan memekik panik. Wanita itu
melihat gagang telepon yang menggantung dan segera menempelkannya pada
telinga. Setelah tahu apa yang terjadi, ia menelan saliva. Berbelasungkawa, tapi
juga tersirat perasaan lega. Dengan segenap tenaga, wanita itu segera mengangkat
anaknya yang masih seperti kehilangan nyawa, dan bergegas ke tempat dimana
Tommy akan dimakamkan.
***
Sepanjang acara pemakaman, Laura terlihat begitu tegar. Ia tidak menangis,
menggerung, atau pingsan seperti dugaan banyak orang. Bahkan tidak ada setitik
pun air mata saat menyampaikan pesan terakhir sebelum peti Tommy ditutup.
Laura hanya menatap nanar kepada jasad kekasihnya, melepas sebuah kalung
liontin, menciumnya, dan menyelipkannya di antara tangan Tommy. Saat kembali
ke tempat duduk, beberapa orang menyadari bibirnya mengeluarkan cairan merah.
Jasad Tommy pun di kubur, satu per satu penyelawat pulang. Ibu Laura
cukup pengertian, wanita itu berjalan duluan ke mobil, membiarkan anaknya
mengeluarkan segala emosi karena sejak tadi gadis itu menyimpan semua
kesedihannya dengan apik. Sulivan menyentuh bahu Laura, dan memberikan
sebuah topi cap. Topi yang selalu dipakai Tommy kemana pun dia pergi, mungkin
satu-satunya hal yang sangat dia cintai setelah Laura.
“Kenapa?” tanya Laura lirih. “Kenapa dia mengikuti balap liar itu?”
“Untukmu ...,” jawab Sulivan setelah menarik napas panjang.
Laura menatapnya dengan tajam, menunggu kelanjutan.
“Di malam sebelum balapan, dia meminum beberapa botol bir sampai mabuk,
Tommy mulai melantur, dia menceritakan besar cintanya untukmu, dia rela
melakukan apa pun untukmu, dan betapa ia sangat ingin membeli sepasang cincin
untuk kalian berdua,” jelas pemuda itu.
“Dia sangat ingin menikahimu, mungkin tidak sekarang, tapi secepatnya, dan
dengan memberimu sebuah cincin yang layak dia berharap keluargamu bisa luluh
akan kegigihannya. Hadiah balap itu seribu dollar, Laura ... uang sebanyak itu
cukup untuk membeli sepasang cincin.”

45
“Bukan emas paling mewah tentunya, tapi ada sepasang yang dia incar di
toko perhiasan kota. Sepasang cincin sederhana yang indah, Tommy sering berdiri
cukup lama di depan etalase toko, sampai-sampai si pemilik mengusirnya, dia kira
Tommy berniat mencuri, padahal aku tahu dia hanya memastikan kalau cincin itu
masih di sana.”
“Meskipun bicaranya begitu yakin kalau dia akan menang balapan, tapi
ekspresinya terlihat jelas bahwa dia takut, dan gelisah.” Sulivan berurai air mata
mengingat percakapan malam itu. “Tindakannya begitu bodoh, rasanya aku ingin
membuatnya babak belur agar tidak perlu ikut balapan. Andai aku benar-benar
melakukannya.”
Laura menggigit bibir sekuat mungkin, tapi ketika ia menatap topi cap biru
tua itu, rasanya ini semua mustahil, rasanya masih ada Tommy yang akan segera
merebut topi kesayangannya itu dengan kesal. Laura mengangkat topi kekasihnya
dan menghirupnya dalam-dalam, itu aroma Tommy.
Tubuh Laura seketika terasa lemas, terutama kakinya. Emosi yang sejak tadi
ia tahan akhirnya tumpah. Laura menangis tersedu-sedu dengan topi sang kekasih
di hidungnya. Kakinya tak lagi kuat menahan tubuh, tapi Sulivan segera
menangkapnya sebelum terjatuh ke tanah. Meski Sulivan tidak begitu akrab
dengan Laura, saat ini keduanya tengah merasakan rasa sakit yang sama akibat
kehilangan seseorang paling dikasihi. Sahabat dan kekasih. Mereka menangis
bersama, ditemani cahaya jingga sang surya yang tidak lagi terlihat indah.

***
Dia selalu ingin memberikanku segalanya.
Memberikan dunia beserta seluruh isinya.
Sampai melakukan hal-hal bodoh jika harus.
Dia tidak pernah tahu,
Menatap matanya sudah cukup menjadikanku seorang ratu.
Kini cintaku telah pergi.
Mereka bilang jangan menangis,
Tapi aku akan tetap menangis.

46
Hanya untukku dia hidup, sampai akhirnya pergi.
Bintang-bintang di atas sana, tolong katakan pada kekasihku.
Aku mencintainya, aku merindukannya.
Katakan padanya aku mungkin menangis,
Tapi cintaku tidak akan pernah mati.
***
Catatan :
Cerpen ini terinspirasi dari lagu Tell Tommy I Miss Him oleh Skeeter Davis

47
Juvenile Bay

48
The Perfect Twins
“Tidak ada yang meminta, tapi ketika kami lahir bersama, tanpa sadar kami
berjanji untuk saling melindungi.”

Dua puluh menit berlalu sejak bel masuk berbunyi. Namun, keadaan kelas
masih porak-poranda. Kursi-kursi bergeser dari tempatnya, beberapa murid duduk
di lantai membuat kelompok gosip, sementara sebagian kecil lain membaca novel,
atau mendengarkan lagu. Meski begitu, mereka sepakat untuk tidak mengeluarkan
suara keras, tentu saja agar guru-guru kelas sebelah mengira kelas itu sedang
melakukan kegiatan belajar mengajar. Padahal sudah dua puluh menit tak satu pun
sosok pengajar terlihat.
Pintu kelas tiba-tiba menjeblak terbuka. Para murid serempak membeku,
karena tidak sempat kembali ke tempat semula. Tanpa sadar mereka meringis
nyaris bersamaan, siap menerima apa pun yang akan terjadi. Namun, bukannya
guru, yang muncul justru dua anak laki-laki dengan wajah bak pinang dibelah dua.
Peluh sebesar biji jagung tersebar pada dahi keduanya yang mengerut kesal.
“Setiap hari telat cuma buat nungguin lo dandan kayak anak cewek!” umpat
yang satu.
“Udah berkali-kali gue bilang, kalau lo mau jalan, ya jalan aja. Nggak usah
nungguin gue!” balas yang satu lagi.
“Ibu nyuruh gue nungguin lo!”
“Itulah ... Anak Mami, siap-siap aja lo telat sampai akhir tahun!”
“Itulah ... Anak Durhaka, siap-siap aja mayat lo susah dikubur!”
Murid lain akhirnya menghela napas lega, beberapa bahkan memutar bola
mata malas. “Twins fight,” keluh mereka.
“Je, lo tau gak? Lo jelek!” ledek Jaymi yang sontak membuat kembarannya
terdiam.
“Muka kita sama, Jay!” balas Jaden yang bahkan membuat kembarannya
lebih terdiam.

49
Jaymi meringis, akhirnya memutuskan untuk meletakkan tas, dan
menghampiri rombongan temannya, sementara Jaden lebih memilih duduk pada
kursinya yang terletak di pojok belakang, lalu memasang headphone.
“Kembaran lo kenapa marah-marah mulu, sih, Jay?” tanya Mike segera
setelah Jaymi duduk di depannya.
“Bawaan lahir,” jawab Jaymi santai.
“Anak aneh. Jangan-jangan dia Psikopat.” Tio menimpali.
“Aura mukanya suram pula!” kata Robi, “pantesan nggak punya temen.”
Jaymi tiba-tiba menggebrak meja. Membuat ketiga temannya terlonjak. “Kok
malah gibah, kayak cewek aja, lo semua,” geram pemuda itu. “Gue bawa UNO,
nih. Ayo, main!”
Jaymi bisa dibilang ketua dalam kelompok kecil itu, sehingga apa pun
ucapannya berarti perintah bagi yang lain. Tidak menunggu persetujuan, pemuda
itu lebih dulu membagikan kartu UNO kepada masing-masing temannya.
***
Jaden menggantung tas di belakang pintu, hari yang melelahkan seperti biasa.
Pemuda itu melepaskan atribut sekolah, termasuk topi, ikat pinggang, dan pin
kecil berbentuk bendera merah putih, lantas meletakkannya di sebuah laci kecil,
mengingat itu semua adalah benda-benda yang mudah hilang. Menjadi anak patuh
ternyata sangat merepotkan, terkadang ia ingin seperti Jaymi yang begitu santai
menanggapi segala hal. Namun, mengingat kembarannya adalah anak paling
konyol sejagad raya, ia tidak jadi menginginkannya.
Pemuda itu beralih pada meja belajar untuk mengisi daya ponselnya, tapi
kabel putih itu tidak terlihat di mana pun, bahkan di laci dan keranjang. Jaden
baru saja ingin membongkar lemari pakaian, lantas bergeming, tersadar akan
kedisiplinannya, tidak mungkin seorang Jaden meletakkan sesautu sembarangan
sampai bisa lupa. Jaden bukan pelupa, dia pengingat. Jika sudah begini, hanya
satu pelakunya. Pemuda itu mengepalkan tangan.
“Jaymi!”
Sewaktu kecil, Jaden dan Jaymi tidur sekamar, tapi beranjak dewasa, mereka
menginginkan privasi—Jaden tepatnya yang menginginkan itu, karena

50
kembarannya tidak terlalu peduli. Karena lahan yang tidak memungkinkan untuk
membangun kamar baru, akhirnya ayah mereka mengakali dengan membuat
triplek tipis dari ujung ke ujung, juga disertai pintu geser yang memisahkan kamar
keduanya. Dengan begitu, semua masalah beres tanpa mengeluarkan banyak uang.
Segera saja Jaden membuka pintu geser itu, dan meneliti kamar saudaranya.
Pakaian kotor menggunung, sarung ranjang tidak rapi, poster tertempel di sana-
sini. Benar-benar seperti kapal pecah.
Jaden melangkah hati-hati menuju meja belajar, berusaha tidak menginjak
buku-buku tulis, maupun pakaian yang tersebar di lantai. Tidak butuh waktu lama
untuk menemukan pengisi daya miliknya, kabel putih itu terlihat paling bersih di
antara yang lain. Pemuda itu ingin segera pergi setelah urusannya selesai, tapi
sebuah kartu persegi panjang berwarna biru galaksi menarik perhatiannya. Sebuah
kartu undangan. Sebuah kartu undangan pesta di rumah Teresa. Sebuah kartu
undangan pesta yang katanya ‘semua teman kelas akan datang’.
Semua kecuali satu tentunya.
“Je, ngapain lo di kamar gue? Bukannya kita udah sering ngomongin masalah
privasi!” teriak Jaymi. Namun teriakkan itu tidak mengaggetkan Jaden sama
sekali.
“Je ...?” Menyadari ada kartu undangan di tangan saudaranya. Pemuda itu
meringis, lalu merangkulnya.
“Kenapa gue nggak diundang?” lirih Jaden.
“Umm ... mungkin karena lo jarang bersosialisasi sama temen-temen kelas,”
jawab Jaymi ragu.
Jaden terdiam beberapa detik, lantas melempar undangan itu. “Yah, siapa
juga yang peduli,” lanjutnya tak acuh. “Gue mau ambil charger. Besok-besok
kalo minjem bilang dulu. Kita, kan udah sering bahas masalah privasi!” Pemuda
itu berjalan meninggalkan kamar saudarannya, masih berusaha tidak menginjak
barang-barang berceceran di lantai.
“Lo bisa ikut gue kalo mau,” seru Jaymi sebelum saudaranya melangkah
lebih jauh, “Atau gue juga bisa nggak dateng kalo lo gak ikut.”
Jaden berbalik, “Sejak kapan lo peduli sama gue?”

51
“Sejak lo jadi abang terbaik, bahkan sejak sebelas menit sebelum gue lahir,”
jawab Jaymi sambil nyengir.
Jaden tercenung. Ia langsung teringat cerita sang ibu tentang bagaimana kisah
si kembar lahir. Beliau bilang, dahulu Jaden susah dilahirkan karena posisi
tubuhnya terbalik. Butuh waktu berjam-jam untuk mendorongnya keluar. Namun,
itu semua bukan tanpa alasan, si bayi lahir sambil menggandeng lengan adiknya.
Jika Bayi Jaden tidak menarik serta sang adik saat itu, mungkin Jaymi terpaksa
lahir dengan jalur sesar karena ibu mereka sudah tidak punya tenaga untuk
mendorong, keselamatan ibu dan bayi pun bisa terancam.
Jaden yakin sang ibu mengarang semua itu agar mereka berdua tidak terlalu
sering berkelahi. Namun, di lain sisi, itu kisah yang manis, cerita itu juga yang
membuat Jaden mati-matian ingin dipanggil Abang, dan bertingkah seolah lebih
dewasa. Mau tidak mau pemuda itu tersenyum.
“Lo dateng aja, gue juga nggak cocok ikut acara begituan.”
“Yakin?”
“Iya.”
“Beneran, nih?”
“Iya.”
“Serius?”
“Berisik!” teriak Jaden, hilang sudah senyum tulusnya.
“Yaudah, nggak usah ngegas, dong!” Jaymi balas teriak.
Jaden mengusap wajah frustrasi. “Kadang gue mikir, jangan-jangan lo anak
pungut yang dioperasi plastik supaya mirip gue!”
“Kadang gue juga mikir Ibu lo pasti psikopat sampe sifatnya nurun ke lo!”
Jaden terdiam beberapa detik. “Ibu gue, ibu lo juga!”
Lagi-lagi Jaymi meringis. Ia selalu salah bicara ketika berdebat dengan
saudaranya, terkadang bahkan mempermalukan diri sendiri. Pamuda itu menutup
pintu geser untuk mengakhiri argumen.
***
Lampu disko berkelap-kelip di langit-langit, mengeluarkan cahaya warna-
warni redup di tengah ruangan besar yang gelap gulita. Beberapa kali Jaymi

52
bertabrakan dengan seseorang, bahkan maaf-nya tidak terdengar karena musik
yang terlampau keras. Ia pikir pesta Teresa hanya sebuah acara kumpul-kumpul,
dan memainkan game ringan, ternyata lebih dari itu, Ini sih klub malam namanya!
batin pemuda itu. Jaymi bahkan tidak bisa mengenali siapa yang sedang
menghampirinya sekarang.
“Hei, Jay! Akhirnya lo dateng.” Ternyata itu suara Mike. “Keren, kan party-
nya?”
“Pasti dong. Siapa anak baik hati yang berani mengundang temen satu kelas
buat party? Cuma gue!” jawab Teresa sebelum Jaymi sempat membalas.
“Ketua kelas pastinya!” sorak yang lain.
“Belum semua. Jeje nggak ada di sini,” ujar Jaymi, harus berteriak agar
mengalahkan suara musik.
“Jeje? Jaden maksudnya?”
“Memang ada yang lain?”
“Siapa yang mau si muka suram itu ada di sini!” ketus Teresa. “Merusak
suasana doang!”
“Sekali pun dateng, paling dia diem di pojokan, bikin rencana untuk
membantai semua orang,” sahut Tio.
“Atau jangan-jangan dia dateng cuma buat masang gas air mata, dan ketawa
jahat pas ngeliat kita semua menderita,” tambah Robi sambil tertawa.
Jaymi awalnya ikut terkekeh bersama mereka, tapi ketika semua olok-olok itu
menjadi terlalu berlebihan, ekspresi wajahnya ikut berubah, dan ia ragu teman-
temannya menyadari di ruangan segelap ini. Mereka malah melanjutkan.
“Anak cupu dan kutu buku nggak cocok ikut party!” seru Mike. “Diam aja di
rumah biar aman.”
“Dia sih bukan cupu atau kutu buku. Tapi psikopat!” sahut Teresa membuat
gestur merinding, lantas disambut oleh gelak tawa yang lain.
“Kalau mulut nggak bisa ngeluarin hal baik, mendingan nggak usah ngomong
sekalian!” ujar Jaymi yang sontak membuat teman-temannya menoleh. “Pernah
denger kalimat itu? Gue yakin nggak soalnya otak kalian kosong.”
“Maksudnya, Jay?”

53
“Apa salahnya jadi pendiem? Apa salahnya nggak suka bersosialisasi? Toh
nggak merugikan kalian! Malahan kalau semua orang di dunia sifatnya kayak
kalian, gue lebih milih mati membusuk sendirian!” Jaymi semakin berapi-api.
“Lagian gue dan Jeje kembar. Identik. Kalo kalian bilang Jeje muka suram, itu
artinya kalian juga ngatain gue!”
Teman-temannya saling pandang tidak enak. Saling sikut menyuruh salah
satu untuk bicara lebih dulu. “Nggak lah, Jay. Lo sama Jaden itu beda banget,”
kata Teresa akhirnya, dengan suara yang dilembut-lembutkan.
“Bener, Jay. Lo tau, kan? Jaden itu cupu, lamban, aneh ... hampir-hampir
mirip kerbau,” sambung Tio.
Dengan sekali uluran tangan, Jaymi mencengkram mulut Tio keras-keras.
Teresa memekik, hingga menarik perhatian beberapa orang. Sementara Tio
meronta putus asa, tubuhnya sedikit terangkat di udara, tak menyangka akan
diserang seperti itu. Jaymi melempar tatapan tajam kepadanya, memberi isyarat
pada pemuda itu bahkan semua orang yang memperhatikan untuk mendengarkan
dengan saksama.
“Gue boleh bilang dia cupu, gue boleh bilang dia psikopat, muka suram,
lamban, dan segala macem, tapi lo semua nggak. Tau apa lo semua tentang
Jaden?” geram Jaymi dengan wajah memerah jika teman-temannya menyadari.
“Ma—maaf, deh, Jay, kita nggak bermaksud ....”
“Akhirnya gue tahu kenapa Jaden lebih suka menyendiri, percuma juga
berteman sama orang-orang bermulut sampah kayak lo semua!” Ia menatap semua
mata yang melihat. “Terusin omongan jelek kalian tentang Jaden, jaga-jaga jangan
sampai suara kalian terlalu keras. Bukan gue yang akan bales, tapi Jaden sendiri.
Bagi dia lo semua bukan apa-apa kecuali pengecut.”
Dengan perkataan itu, Jaymi melepaskan cengkramannya dari wajah Tio
hingga pemuda itu jatuh terduduk, lantas mengentakkan kaki keluar dari pesta
rumah Teresa. Meninggalkan teman-temannya yang hanya bisa saling sikut ngeri.
***
Jaden sedang merebahkan tubuh sambil membaca buku berjudul ‘bagaimana
cara bergaul yang baik’, pemuda itu gelagapan menyembunyikan bukunya ketika

54
engsel pintu geser berderit. Ternyata hanya Jaymi, berdiri di antara kamar mereka,
dengan cengiran khasnya yang menyebalkan. Jaden berharap saudaranya tidak
melihat judul buku yang ia baca barusan.
“Kok lo udah pulang?” tanya pemuda itu ketika Jaymi tak kunjung bicara.
“Kayaknya gue juga nggak cocok ikut acara begituan,” balas Jaymi.
“Kenapa begitu?”
“Karena kita kembar.”
Jaden menautkan kedua alis. “Lo paling suka kumpul bareng temen-temen ...
bikin ulah apa lo di sana, sampai diusir begini?”
“Gue bukan diusir, tapi mengundurkan diri.”
Tidak mengizinkan saudara kembarnya menjawab, Jaymi merogoh saku
jaketnya dan mengeluarkan piringan CD. “Ngomong-ngomong, gue ada game
baru, nih. Cobain, yuk!”
Jaden sontak melempar asal buku yang sedang disembunyikannya ketika
melihat sampul yang tertera pada CD permainan itu. Ia berjalan antusias
menghampiri Jaymi.
“Ini game nascar terbaru!”
“Betul!”
“Tunggu apa lagi? Ayo kita coba!”
Mereka berlomba memacu kaki menuju ruang tv, lantas mengganti
salurannya untuk bermain game, bahkan tidak mengindahkan protesan sang ayah
karena acara tv-nya terganggu.
“Gue player satu!” sorak Jaden.
“Enak aja, gue player satu!” balas Jaymi seraya merebut kontroler itu.
“Gue! Gue kan lahir duluan!”
“Itu artinya lo harus ngalah sama yang lahir belakangan!”
Keduanya bergelung di lantai dengan mulut yang tak henti mengeluarkan
argumen. Meski dapat diprediksi Jaymi pasti kalah, ia tidak pernah lelah
mencoba. Meski Jaden sering bertingkah sok dewasa, ia tidak pernah mau
mengalah dari adiknya. Sang ayah menarik napas kesal ketika makanan ringannya
tersepak akibat pergulatan kedua anaknya. Pria itu menggulung lengan baju,

55
lantas menarik telinga kedua anaknya masing-masing dengan satu tangan. Mereka
meringis dan menjerit ampun, tapi terlambat, ayah sudah menyeret mereka keluar
dari ruang tv, dan menguncinya rapat-rapat.
Karena acara main game gagal total, mereka berdua memutuskan untuk
kembali ke kamar dan bertukar komik. Hanya dalam urusan ini keduanya bisa
benar-benar kompak, mereka selalu menyisihkan uang saku untuk membeli komik
yang berbeda setiap bulan, lalu saling pinjam agar bisa membaca dua komik
sekaligus. Jaden pun mengakui, untuk urusan komik, saudaranya bisa sangat apik,
andai dia melakukan itu dalam segala hal.
“Je ... tanggapan lo tentang orang-orang yang sering ngejelekkin lo gimana?”
“Diemin aja-lah. Nanti juga capek sendiri.”
“Kenapa lo bisa tebal muka banget?”
“Karena gue tau, selalu ada yang bela gue.”
Jaymi tidak menjawab lagi, dan menutup seluruh wajah dengan komiknya,
seolah fokus membaca, padahal ia menyembunyikan semburat kemerahan di
wajah, begitu juga Jaden. Memang tidak mudah mengungkapkan rasa sayang, tapi
sebuah tindakan kecil yang tulus bisa mewakilkannya.
***

56
Magical Fairy Pouch
“Cinta, keyakinan, dan keberanian, semua di campur rata dengan tiga helai
rambut dari orang yang kau cintai.”

Keluargaku mempunyai sebuah jimat turun-temurun bernama Kantung Peri


Ajaib. Entah mengapa dinamakan seperti itu. Jika diperhatikan, tidak ada hal
berbau ‘keajaiban’ dari kantung kecil ini selain motif dan rendanya yang indah
bak milik seorang peri dari negeri dongeng. Namun, keluargaku percaya bahwa
kantung ini adalah perantara bagi seseorang untuk bersatu dengan cinta sejati
mereka. Contohnya ibuku, ia begitu yakin bisa menikahi ayah karena jimat ini,
begitu juga dengan bibi pertama, bibi kedua, serta paman. Bahkan sepupuku
Revina yang baru menikah percaya bahwa jimat inilah yang membantunya bersatu
dengan sang cinta sejati.
“Yang kau butuhkan hanyalah cinta, keyakinan, dan, keberanian ....” Begitu
kata Revina pada pertemuan terakhir kami. “Tapi yang terpenting adalah, tiga
helai rambut dari orang yang kau cintai. Tanpa itu, jimat ini tidak tahu siapa
targetnya.”
Aku mengangguk paham. Tentu saja, sebuah jimat tidak akan menjadi jimat
tanpa sesuatu yang ‘sakral’. Revina adalah lajang terakhir dalam keluarga
besarku, lalu disusul olehku. Setelah Revina menikah, jimat ini langsung
dipercayakan kepadaku, sambil mewanti-wanti agar jangan sampai hilang. Suatu
saat nanti kalau aku sudah menikah barulah aku menurunkan jimat ini kepada adik
atau sepupu yang lebih muda. Kebetulan memang ada seseorang yang kusukai
belakangan. Saat yang tepat untuk membuktikan kebenaran jimat ajaib turun-
temurun ini, karena diam-diam, aku sangat mengharapkannya. Pemuda itu
bermama Jonathan, dia memiliki semua tipe fisik yang diidamkan perempuan,
sifatnya pun jauh dari kata tercela.
Terlepas dari semua itu, aku sangat menyukai gaya rambutnya yang rapi dan
tegas, persis seperti seorang tentara. Aku bukan tipe gadis yang mudah canggung
kepada siapa pun, tapi ketika berhadapan dengan Jonathan seluruh tubuhku
membeku, dan pita suaraku seolah terjepit di tenggorokan.

57
“Aku tidak mungkin datang tiba-tiba sambil berkata ‘Hey, Jonathan, boleh
minta tiga helai rambutmu? Agar aku bisa memasukannya ke dalam jimat ajaib
ini, membuatmu suka padaku, lalu kita menikah, dan hidup bahagia selamanya?’
itu mustahil, Val!” keluhku pada sahabat gilaku Valerie.
“Tunggu sebentar ... kau suka pada Jonathan?” tanya Valerie dengan kening
berkerut seperti anjing bulldog. “Jonathan yang itu ....”
“Benar!” jawabku segera. “Jadi begini, Val. Aku butuh bantuanmu untuk
mengambil tiga helai rambut Jonathan. Aku mohon ... Kaulah satu-satunya
temanku yang tidak punya urat malu.”
Valerie menggeleng, mencoba kembali ke alam sadar, dan menatapku. “Tiff,
kau adalah gadis yang cantik, dan aku tahu betul kau sangat baik hati, tapi ...
Jonathan? Bukankah dia terlalu ....”
“Hey! Aku tahu Jonathan sempurna, tapi tidak ada salahnya mencoba, kan?”
selaku seraya berkacak pinggang. “Lagi pula dengan jimat ini, aku yakin Jonathan
akan balik menyukaiku. Persis seperti para pendahuluku yang mendapatkan cinta
sejati mereka.”
Valerie mengangkat telunjuk—ingin kembali membantah. Segera saja aku
membekap mulutnya. “Tolonglah, Val, bantu aku. Aku janji tidak akan
merepotkanmu lagi setelah ini.”
Setelah beberapa detik termenung, gadis itu memutar bola mata, menepis
tanganku dari mulutnya dan tersenyum. “Bagaimana bisa aku menolak permintaan
Tiffany-ku. Kau akan mendapatkan tiga helai rambut Jonathan hari ini juga.”
Tanpa sadar aku memekik girang, lantas memeluk Valerie begitu erat.
“Meski aku heran kenapa seleramu menjadi begitu ... tidak biasa,”
gumamnya.
***
“Tiff, terima kasih atas jimatnya. Sangat manjur. Akhirnya aku dan Kane
jadian!”
“Jimat ini sangat manjur, Tiff. Aku mendapatkan jawaban ‘ya’ dari Lauren!”
“Aku menonton film dengan Reena semalam, setelah sekian lama dia selalu
menolak akhirnya dia menyetujui ajakanku. Terima kasih jimatnya, Tiff.”

58
Aku tersenyum kecut menanggapi semua kabar baik itu. Sudah tiga bulan
berlalu, banyak pasangan yang berhasil, banyak cinta yang terbalas berkat jimat
ini, tapi kenapa aku tidak termasuk salah satunya? Padahal Valerie sudah bersusah
payah memberikan rambut Jonathan kepadaku hari itu. Dia berlari dengan wajah
semringah seraya mengepal tangan yang ternyata berisi rambut.
“Banyak sekali! Aku cuma butuh tiga helai!” pekikku melihat segumpal
rambut di tangannya.
“Anak bodoh itu menolak saat kuminta secara baik-baik, ya sudah aku ambil
saja secara paksa,” balas Valerie santai.
“Maksudmu ... kau menjambaknya!?” seruku heboh. “Kau menjambak
Jonathan-ku?”
Gadis itu mengangkat bahu. “Apa? Toh dia cowok besar dan kuat, dia tidak
akan menangis.”
Namun, sampai sebulan berikutnya tidak ada hal baik terjadi. Jonathan
tetaplah Jonathan yang berkharisma. Dia menyapaku begitu ramah, tapi dia juga
melakukan itu kepada semua orang. Dia memberiku referensi buku yang bagus,
karena dia adalah wakil penjaga perpustakaan, dan itu sudah menjadi tugasnya.
Dia meminjamkanku payung saat hujan deras, karena tak lama ia diajak Hani
untuk satu payung bersama.
Sikap Jonathan yang kuanggap spesial ternyata juga ia lakukan kepada orang
lain. Itu artinya tidak spesial sama sekali, tidak ada tanda-tanda spesifik yang
menunjukan bahwa Jonathan menyukaiku. Sekarang banyak orang meminjam
jimat ini—Tentu saja aku tidak keberatan, daripada khasiatnya mubazir di
tanganku. Lalu, tidak sampai seminggu mereka sudah mendapat keberuntungan
dalam hal cinta.
Apa yang salah? Aku sudah mempunyai elemen terpentingnya, yaitu rambut
Jonathan. Jimat itu sudah tahu siapa targetnya, tapi kenapa benda itu tidak
kunjung bekerja? Kupikir cintaku pada Jonathan sudah cukup besar, dan kalau
mau jujur aku sangat percaya pada jimat ini. Meski malu mengakui, aku sangat
mengandalkan jimat ini, dan aku sangat iri pada mereka yang berhasil.

59
Aku merogoh dompet dan mengeluarkan segumpal rambut Jonathan. Ya,
memang kusimpan semuanya untuk jaga-jaga kalau ingin mencoba peruntungan
yang kesekian kali. Panjang rambut ini sekitar lima senti, cukup kasar, dan aku
baru menyadari dia memiliki warna rambut hitam kecokelatan—sangat indah.
“Tiffany, kau baik-baik saja?”
Aku terlonjak dengan sapaan itu. Ternyata Valerie dengan cengiran kudanya.
“Entahlah ...,” gumamku seraya menjatuhkan kepala di atas meja. “Sepertinya
jimat itu rusak.”
Valerie mengelus kepalaku sebagai wujud simpati. “Jangan menyerah, Tiff-
ku sayang mungkin agak sedikit sulit menyatukan dua manusia yang ... tidak
seimbang.”
“Memangnya aku sejelek itu untuk Jonathan?”
“Tiffany, kau tidak jelek. Justru Jonathan-lah yang terlalu ... berat untukmu.
Kau mengerti maksudku, kan?”
Aku menggeleng lesu, membuat Valerie menghela napas panjang. Tiba-tiba
langkah kaki terdengar mendekati kami. Aku mendongak malas, ternyata hanya
Dovi—si cupu yang meminjam jimatku dua hari lalu untuk mengajak Karina
berkencan.
“Bagaimana hasilnya Dovi?” tanya Valerie setengah mengejek, karena target
incaran anak itu adalah ketua pemandu sorak.
“Kami akan ke bioskop akhir pekan ini.”
Sontak aku dan Valerie memekik. “Apa?”
“Kau yang cupu dan Karina?” Valerie cukup kejam mengatakan itu.
“Bagaimana?”
“Aku juga masih tidak percaya! Kupikir selama ini Karina adalah gadis yang
sombong karena dia golongan anak populer, tapi nyatanya dia sangat ramah,”
oceh Dovi. “Aku gemetar saat mengajaknya berkencan, tapi tak disangka dia
justru tersenyum dan menerimanya.”
Tidak ada ekspresi yang kukeluarkan selain termenung, sedangkan Valerie
menganga sangat lebar. Bahkan anak pendiam seperti Dovi bisa mendapatkan
cintanya.

60
“Jika aku berani berbicara dengannya dari dulu mungkin saja kami sudah
lama jadian.” Pemuda itu menerawang dengan wajah memerah.
Valerie menjulurkan lidah. “Ah, kau terlalu percaya diri.”
“Memang itulah yang terjadi, Val! Jimat ini membantuku mendapat
keberanian, membuatku lebih percaya diri. Ini aku kembalikan, terima kasih
banyak, Tiff.”
Seketika itu juga kelopak mataku terbuka lebih lebar. “ITU DIA!”
***
Yang kau butuhkan adalah cinta, keyakinan, dan keberanian. Tapi yang
terpenting adalah tiga helai rambut dari orang yang kau cintai.
Bagaimana jika semua itu hanya omong kosong? Bagaimana jika urutannya
terbalik? Tiga helai rambut hanyalah sebuah simbol, yang terpenting adalah cinta,
keyakinan, dan keberanian. Mereka yang meminjam jimatku tidak lantas diam
menunggu keajaiban, mereka mempunyai keberanian untuk mengajak bicara,
bahkan menyatakan perasaan pada orang yang dicintai. Jimat memang hanya
sebuah perantara, pada akhirnya diri sendirilah yang harus mulai bergerak.
Mewujudkan sebuah keajaiban menjadi nyata.
Aku tengah berdiri di depan papan tulis—menunggu Jonathan datang.
Pemuda itu setuju untuk menemuiku setelah jam sekolah selesai. Valerie ada di
depan sebagai bodyguard-ku. Kali ini aku akan berani, aku tidak akan hanya diam
menunggu keajaiban terjadi. Aku akan membuat keajaiban itu sendiri. Lamat-
lamat aku mendengar percakapan di depan.
“Hey, apa yang kau lakukan di sini, Jo?” Itu suara Val.
“Tiffany memanggilku ke sini,” jawab sebuah suara berat.
“Aku kira dia memanggil Jonathan ....”
Tak lama percakapan itu berakhir, diikuti sebuah bayangan tinggi di pintu
yang sontak membuatku menoleh. Itu dia cowokku!
“Hai Tiffany,” sapa Jonathan sambil melambai sekilas, tidak lupa senyuman
yang melumerkan. “Jadi ... ada hal penting apa?”
Aku tidak menjawab dan langsung menyodorkan Kantung Peri Ajaib alias
jimatku padanya. Jonathan tampak kebingungan, tapi ia menerima juga benda itu.

61
“Apa ini?”
“Aku akan menjelaskan sesuatu, tapi aku minta kau jangan menyela!”
Jonathan mengangguk canggung.
Aku menarik napas panjang. “Pertama ... di dalam situ ada tiga helai
rambutmu.”
“Rambutku?” Pemuda itu buru-buru memeriksa dan mengeluarkan segumpal
rambut. Ekspresi yang ia keluarkan setelahnya benar-benar membuatku gugup.
“Itu adalah sebuah jimat yang bisa menjadi perantara untuk bersatu dengan
cinta sejati. Yang dibutuhkan hanyalah cinta, keyakinan, dan keberanian. Tapi
yang paling penting adalah tiga helai rambut dari orang yang dicintai...,”
cerocosku.
“Tiff ....”
“Itu sebabnya aku meminta Val untuk mengambil beberapa helai rambutmu,
karena aku suka kepadamu, dan aku tahu ini terdengar mengerikan, tapi aku
berharap dengan cara ini kau bisa balik menyukaiku ....”
“Tiff!”
“Tapi! Ternyata cara itu gagal. Kau tidak pernah memberiku tanda bahwa kau
menyukaiku. Kupikir jimat itu rusak, tapi kemudian aku sadar bahwa akulah yang
rusak karena terlalu bergantung pada jimat bodoh. Makanya aku memintamu
kesini karena aku ingin bilang, aku suka padamu!”
“Tiffany!”
“Apa, sih! Aku kan sudah bilang jangan menyela!”
“Ini bukan rambutku!”
Aku diam seribu basa selama beberapa detik. “Bukan?”
“Bukan!” pekik Jonathan geram. “Rambutku bermodel army. Mustahil bisa
sepanjang ini!”
Bagai terhantam palu, wajahku langsung memerah. Baru menyadari itu benar.
Rambut Jonathan tidak pernah sepanjang itu.
“Tapi, Valerie sendiri yang mengambilnya darimu, dia bahkan menjambak
rambutmu!”
“Bohong!” pekik seseorang, membuatku dan Jonathan menoleh. Itu Valerie.

62
“Kau bilang rambut Jonathan, kan?” entak Valerie. “Anak ini namanya Jojo!”
“Apa maksudmu, Val? Dia Jonathan!” bantahku.
“Dia Jojo!” seru Valerie tidak mau kalah.
“Apa yang sedang terjadi di sini!” Aku memekik histeris.
“Sebenarnya namaku memang Jonathan, tapi aku lebih dikenal dengan
panggilan Jojo, karena ada dua orang bernama Jonathan di kelas,” jelas Jonathan.
Alias Jojo. Aku sudah tidak mau tahu lagi!
“Lantas rambut siapa yang kau ambil?” tanyaku pada Valerie.
“Pasti Jonathan yang satu lagi. Dari ekskul gulat.” Jojo yang menjawab.
Semua ini membuat kepalaku sakit. Aku memijat kening dengan putus asa.
Memang hal yang seperti ini bisa terjadi di dunia nyata?
Hal yang terjadi berikutnya adalah, Jojo menggenggam tangan kiriku.
“Terlepas dari semua itu, aku sangat senang dengan fakta bahwa kau juga
menyukaiku.”
“Juga?”
“Aku kecewa saat Valerie meminta rambut Jonathan dan bilang kau yang
memintanya. Itu memang bukan urusanku, tapi aku benar-benar cemburu.” Kali
ini wajah Jojo yang tersipu. “Aku bertanya pada orang-orang, karena sepertinya
tren mengambil rambut memang sedang meledak. Mereka bilang itu untuk jimat
cinta, dan ... itu semakin membuatku cemburu, karena kau malah meminta rambut
Jonathan dan bukannya aku.”
Aku tidak bisa menjawab apa pun. Ini menjelaskan semuanya. Jimat itu
mungkin kebingungan antara menuruti hatiku, atau target yang kuberikan, karena
semua ini adalah salah paham. Salah paham yang menggelikan.
“Jo ... kau menyukaiku?” tanyaku memastikan.
“Bahkan sejak kelas satu. Kau tidak pernah menyadari tanda-tandanya, ya?”
“Begitukah? Jadi ... jimat ini benar-benar hanya omong kosong?”
“Tidak juga ...,” gumam Valerie.
Tatapannya tertuju pada pintu, membuat aku dan Jojo latah menatap ke arah
sana juga. Seorang pemuda tinggi besar dengan otot-otot kekar berdiri di ambang

63
pintu, dengan seikat bunga di tangannya. Wajah perseginya terlihat sendu, tapi
juga kesal melihatku bergenggam tangan dengan Jojo.
“Itu Jonathan, yang rambutnya ada di dalam jimatmu selama ini,” bisik
Valerie sambil meringis. “Dia terus menanyakan nomormu belakangan, tapi aku
menolak memberikannya. Rasanya aku masih tidak rela kalau kau menyukai
Jonathan yang itu.”
Tidak ada rangkaian kata yang cocok untuk menggambarkan betapa besarnya
aku ingin memenggal kepala Valerie. Aku buru-buru menepis genggaman tangan
Jojo dan tersenyum getir pada Jonathan.
“Ha-hai ... jadi namamu Jonathan?”
“Sepertinya begitu ... dan aku mempunyai sesuatu untukmu.” Jonathan
menyodorkan seikat bunga di tangannya yang tidak langsung kuterima. “Aku juga
ingin mengatakan beberapa hal, tapi sepertinya aku sudah cukup banyak
mendengar.”
“Maaf, ini memang kesalahpahaman yang menggelikan, aku sendiri tidak
tahu hal seperti ini bisa terjadi,” balasku sembari memainkan jari. Aku menatap
Valerie dan Jojo bergantian, tapi balasan mereka hanya kedikkan bahu.
“Jadi kamu mau menerima bunga ini atau tidak?”
Aku mendongak ragu-ragu, lalu menggeleng pelan.
“Baiklah kalau begitu.”
Jonathan menarik lagi bunga pemberiannya, begitu saja berbalik melangkah
ke arah Valerie. Aku menggigit bibir, jangan-jangan dia mau membalas dendam
karena sudah dijambak sampai rambutnya terlepas, dan ternyata tidak berhasil
mendapatkanku. Namun, tanpa disangka-sangka dia malah gantian menyodorkan
seikat bunga kepada Valerie, tanpa mengatakan apa-apa. Tentu saja Valerie
terbelalak, entah terlampau kaget atau ketakutan. Aku pikir Valerie akan
mengatakan sesuatu yang tidak-tidak mengingat betapa ceriwis-nya temanku yang
satu itu, nyatanya ketika mereka bertatapan sejenak, Valerie malah menerima
seikat bunga itu meski ragu-ragu. Selanjutnya Jonathan berbalik kembali, lalu
benar-benar pergi dari ruangan.
“Apa yang sebenarnya terjadi barusan?” tanya Valerie.

64
“Kau mendapatkan pacar baru, itulah yang terjadi,” jawabku.
Jojo ikut berkomentar. “Sepertinya, kita tinggal menentukan tanggal untuk
Double Date.”
***

65
Brightest Star
“Lakukan yang terbaik, biar Tuhan mengurus sisanya.”

“Cepetan, Cal!”
Mahesa berlari secepat kilat menyusuri lorong, tidak peduli seruan protes
orang-orang yang terdorong olehnya, maupun suara napas Faisal yang mengekor
tergopoh-gopoh. Ketika sampai di tikungan pertama, pemuda itu mendadak
berhenti, mengatur napas yang tersengal agar kembali normal. Tak lama Faisal
berhenti di sebelahnya dengan napas menderu yang sama. Cepat-cepat Mahesa
menutup mulut temannya.
“Play cool!” imbuh pemuda dengan rambut cepak setajam jarum itu.
Faisal menepis, lantas melepas kaca mata untuk mengelap keringat. “Play
cool nggak, mati iya!” balasnya tersungut-sungut.
Tidak memedulikan gerutuan temannya, Mahesa melangkah santai menuju
sebuah ruangan tertutup yang sayup-sayup menyenandungkan lagu tradisional.
Pintu ruangan itu terbuat dari kaca, sehingga kegiatan di dalamnya tampak dengan
jelas. Murid-murid sedang duduk bersila menonton gerakan mendayu seorang
gadis cantik yang diiringi alunan musik tradisional. Dia terlihat begitu anggun,
postur tubuhnya indah dengan kaki ramping bak rusa, tertutup leging hitam 3/4,
kulitnya kuning langsat, dan rambutnya hitam sepekat arang terlihat paling
menyolok di antara anak-anak lain.
“Jadi itu kakak kelas yang lo incar?” tanya Faisal.
“Namanya Panelopee Quinn, kelas XII, anak kedua dari empat bersaudara.
Orangnya ramah, sederhana, dan murah senyum. Makanan kesukaannya di kantin,
mie ayam Bang Ferry.” Mahesa menyerocos sambil senyum-senyum, padahal
tidak ada yang memintanya.
“Dan yang terpenting, dia sangat suka menari. Menguasai empat jenis tarian,
mungkin akan bertambah jadi lima kalau sudah selesai mempelajari tarian
tradisional. Dan katanya, memang jenis tarian ini-lah yang paling susah dia
kuasai!”
Faisal menoleh keheranan. “Kok lo bisa tahu sedetil itu privasi dia?”

66
“Dia cukup aktif di sosial media, semuanya tertulis di sana, jadi bukan privasi
lagi.” Mahesa membela diri.
“Jadi lo memata-matai dia?”
“Iya, Cal, itu sebabnya gue ‘incar’ dia. Ingat?” geram Mahesa.
Gadis yang tengah menari itu berbalik, kini menampilkan wajah mungil
dihiasi hidung lancip, dan dahi tinggi, juga gerak-gerik mata berbulu lentik yang
mendayu seolah ikut menari mengikuti badan.
“Wah, ini sih mustahil!” Faisal berseru.
Mahesa menoleh sewot “Mustahil gimana?”
“Dia 'Quinn', alias Ratu, dia yang terbaik dari yang terbaik, lihat aja tuh!
Sedangkan lo ....” Faisal meneliti temannya dari atas sampai bawah dengan wajah
miris.
Pemuda berpenampilan cuek dengan rambut cepak yang sangat tajam, wajah
standar (kecuali alis mata yang super tebal), dibilang dingin tidak, humoris juga
tidak, membosankan, dan hobi mengupil. Sebenarnya Mahesa berpenampilan
menarik, jika saja tidak terlalu jangkung sehingga membuat posturnya menjadi
sedikit bungkuk.
“Gue ini paling ganteng dari tiga bersaudara!” protes pemuda itu.
“Ya ... tapi kan adek lo cewek dua-duanya!” bentak Faisal.
Mereka kembali mengintip dari balik kaca. Quinn masih menari, sepertinya
hampir selesai karena sudah ada murid lain yang bersiap tampil di dekatnya.
Tanpa sadar kedua pemuda itu terhanyut menatap penampilan Sang Ratu.
“Tapi emang mustahil, dia terlalu sempurna,” gumam Mahesa sendu, “lagian
dia kakak kelas, beda dua tahun sama gue.”
Tiba-tiba Faisal merasa bersalah karena sudah menjatuhkan kepercayaan diri
temannya. Ia merangkul Mahesa, dan berkata dengan nada bariton yang dibuat-
buat. “Umur cuma deretan angka, Anak muda.”
Setidaknya itu bisa membuat Mahesa tersenyum kembali, bahkan
menjitaknya lumayan keras. Selesainya lagu menandakan performa Quinn juga
berakhir. Ia memberi salam singkat kepada ketua klub tari sebagai penutupan.
“Apa aku bisa ikut?” katanya harap-harap cemas.

67
Ketua mencatat sesuatu pada buku kecilnya, lantas menatap Quinn sambil
menghela napas. “Entahlah, Quinn. Kemampuanmu masih jauh di bawah Vista.
Aku bisa saja memasukan namamu, tapi pentas kali ini akan dihadiri langsung
oleh mentri kesenian, hanya penari tradisional terbaik yang bisa ikut.”
Gadis itu menundukan kepala, terlihat jelas kekecewaan di dalam sorot
matanya. Namun, dia buru-buru tersenyum dan memberi salam sekali lagi. “Baik,
Kak. Aku akan lebih rajin berlatih.”
“Aku betul-betul minta maaf Quinn. Pentas selanjutnya aku pastikan kau
ikut.”
“Terima kasih.”
Mahesa dan Faisal terpana melihat adegan itu. Faisal membetulkan kaca
matanya yang melorot karena menoleh terlalu semangat. “Padahal gerakannya
bagus banget, kan? Gue kira dia bakal jadi pemeran utama. Kalau segitu belum
memenuhi standar, terus yang memenuhi standar kayak gimana? Dewi Drupadi?”
Pemuda itu terus mengoceh.
Mahesa tidak menjawab. Ia juga memikirkan hal yang sama, hatinya ikut pilu
melihat kekecewaan gadis itu. Saat ini, hanya ada satu hal di dalam kepalanya.
Kira-kira apa yang bisa ia lakukan untuk Sang Ratu?
***
Mahesa menyusuri lantai kosong sekolah sendirian ketika Faisal bilang ia
harus menghadiri Rapat Penting Panita Pentas Seni (atau disingkat menjadi
RP3S). Padahal pentas itu berlangsung masih beberapa bulan lagi. Kenapa juga
harus repot sekarang? pikir pemuda itu. Kakak-kakak OSIS sebenarnya juga
menawari Mahesa sebagai panitia, tapi menjadi sahabat orang serajin Faisal tidak
serta-merta menjadikannya ikut rajin. Kalau sudah ada ‘Si Rajin’ harus ada juga
‘Si Malas’ agar persahabatan jadi seimbang, begitu pikir Mahesa.
Tiba-tiba saja kedua kaki membimbingnya menuju ruang tari. Mahesa sempat
berhenti untuk berpikir kenapa ia ke sini padahal jarak ke gerbang menjadi lebih
jauh karena memutar. Namun, ia mengangkat bahu.
Toh hari masih siang, sekalian jalan-jalan.

68
Ketika melewati ruang tari, instingnya menyuruh untuk mengintip, padahal
sudah pasti tidak ada siapapun di sana, mengingat bel pulang berbunyi lima belas
menit lalu. Lagi-lagi ia mengangkat bahu.
Toh, tidak ada salahnya mengintip.
Ternyata memang ada seseorang di dalam ruangan itu, dan bukan orang
biasa, itu Quinn. Dia sedang duduk membenamkan wajah pada lutut, bukan
pemandangan yang enak di lihat, tapi Mahesa bersyukur, dan sangat berterima
kasih pada instingnya.
“Hey, Quinn!” Setelah berseru, pemuda itu menutup mulut. Ia tidak sadar
tiba-tiba berteriak, padahal suasana hati Quinn sedang tidak terlihat baik.
Gadis itu mengangkat kepala sambil mengernyit, dia tidak sedang menangis,
tapi wajahnya terlihat lelah. Mahesa pikir dia akan marah, ternyata dia malah
menyunggingkan senyum. “Mahesa, ya?”
Pemuda itu menggaruk kepala, menyembunyikan rona merah pada pipi, tidak
mengira Quinn akan mengingat namanya, bahagia memang sesederhana itu. “I-
iya.”
“Makasih ya, selalu kasih informasi film dan buku keren. Selera kita sama,
loh,” ujarnya. “Film yang kemarin ada sekuelnya, gimana kalau kita nonton
bareng. Kali ini aku yang beli tiket dan popcorn-nya deh.”
Mahesa tidak langsung menjawab. Ia heran, Quinn selalu membuka
percakapan panjang, seolah tidak ingin orang-orang menanyakan bagaimana
kondisi hatinya. Alih-alih menjawab, pemuda itu memberanikan diri
menghampiri, dan duduk di sebelahnya.
“Kenapa duduk sendirian di sini?”
Quinn mengerjap, detik berikutnya baru membalas. “Cuma lagi merenung.”
“Tentang apa?”
Cukup lama gadis itu diam, dan Mahesa dengan sabar menunggu. Tiba-tiba
wajah cerianya berubah drastis, bahkan Mahesa ragu apakah itu benar Quinn, si
gadis cantik yang selalu ceria setiap waktu. “Menyedihkan sekali! Aku tidak akan
pernah bisa menjadi penari sukses sekeras apapun mencoba!”
“Kenapa begitu?”

69
“Rasanya di mana pun aku berada, selalu saja ada bintang yang lebih
bersinar. Aku bahkan tidak pernah membuat kagum siapa pun pada pentas apa
pun!” jelasnya. “Aku tidak akan pernah ada di bintang yang paling bersinar.”
Setelah cerita singkat itu, mereka berdua diam. Mahesa tengah mencerna
cerita yang singkat dan padat itu itu, sedikit banyak dia bisa memahami.
Meskipun dimata pemuda itu Quinn adalah penari paling hebat sejagad raya,
tampaknya orang-orang berpendapat lain. Entah selera mereka jelek, atau terlalu
tinggi.
“Kau mau tahu pendapatku?” Quinn menoleh kepadanya, menunggu
kelanjutan. “Di manapun kau berada, di situlah tempat yang paling bersinar.
Bintang lain terlihat lebih bersinar karena kau tidak bisa melihat sinarmu sendiri.”
“Kau hanya harus melakukan yang terbaik tanpa memedulikan sekitar, karena
percayalah, sainganmu tidak akan memberitahu betapa terangnya sinarmu.
Bahkan, mereka akan berusaha menutupinya. Setelah kau melakukan yang
terbaik, sisanya serahkan kepada Tuhan.”
Gadis itu tertegun sejenak, sebelum tersenyum miring, sedikit menyiratkan
keterkejutan sekaligus kekaguman. “Itu adalah kalimat paling indah yang pernah
kudengar,” katanya.
Mahesa berusaha keras untuk tidak menunjukkan hatinya yang berderu akibat
pujian tak terduga itu, di saat seperti ini ia harus terlihat dewasa, bukan? Quinn
menepuk punggung pemuda itu pelan, dan mengeluarkan senyum yang sangat
manis.
“Terima kasih banyak, memang itu yang aku butuhkan saat ini. Harus kuakui
aku sangat terpuruk karena tidak bisa ikut pentas sekolah, padahal aku sangat
ingin,” aku gadis itu. “Tadinya aku memutuskan untuk berhenti mencoba tari
tradisional karena sepertinya itu bukan bidangku, tapi kalimatmu barusan
membuat kepercayaandiriku timbul kembali.”
“Tarianmu sangat bagus saat seleksi kemarin, bahkan membuatku dan
temanku terbawa suasana,” ujar Mahesa segera.
“Kamu melihat penampilanku?”
Pemuda itu nyengir. “Tidak secara resmi ... kami mengintip dari jendela.”

70
Queen akhirnya tertawa. “Ya ampun padahal itu seleksi terbuka kenapa
kalian tidak langsung masuk saja.”
“Terbuka hanya untuk peserta audisi, sedangkan aku boro-boro menari,
berjalan saja masih suka tersandung kaki sendiri.”
“Terus kenapa kamu mengintip ruang audisi begitu?”
“Untuk mengaggumimu ... secara diam-diam.”
Jawaban itu membuat pipi Quinn merona, gadis itu membuang muka untuk
menyembunyikannya, ia lantas membereskan barang-barang ke dalam tas, lalu
bangkit.
“Terima kasih sudah menyemangatiku ... lain waktu aku akan mencoba lebih
keras. Aku akan membuktikannya pada semua orang, termasuk padamu juga.”
Mahesa balas tersenyum, lalu tiba-tiba kepalanya mengeluarkan sebuah
bohlam yang menyala begitu terang. Sebelum Quinn sempat keluar dari ruangan,
pemuda itu menyusulnya.
“Bagaimana kalau kau membuat pentas tari sendiri ....”
***
“Sudah siap belum?” Faisal terlihat gusar memegang sebuah kertas jadwal.
“Dua menit lagi dia sudah harus tampil!”
“Sabar sih, dia lagi ganti baju!” balas Mahesa geram. “Mentang-mentang
panitia, jadi bawel banget lo!”
“Iya lah, kalau nggak sesuai jadwal, yang kena hukum siapa, Sa? Gue!”
“Aku udah siap!”
Suara lembut itu membuat kedua pemuda yang tengah cekcok menoleh, dan
langsung ternganga dengan kecantikan gadis di hadapan mereka. Quinn terlihat
anggun dengan kebaya hijau, dan kain batik ukir. Korset yang melingkari
pinggangnya membuat lekuk tubuhnya lebih terlihat. Ia mengalungkan selendang
merah panjang di lehernya, dan rambut hitamnya ia sanggul sederhana.
“Wah kayak bidadari yang ada di legenda Jaka Tarub,” puji Faisal.
Mahesa yang sedang terpana lantas menoleh heran. “Emang lo pernah liat?”
“Udah deh, sekarang waktunya tampil!” Faisal membimbing ketiganya ke
balik tirai.

71
Pemuda berkaca mata itu mengacungkan jempol kepada pembawa acara,
yang langsung menyebut nama Quinn sebagai penampilan selanjutnya.
“Gugup ya?” Mahesa mencuri kesempatan bicara, ketika melihat gadis itu
memainkan jari.
“Banget,” balas Quinn cepat. “Gugup saking senangnya.”
Mahesa terkekeh menanggapinya.
“Penampilan tari tradisional oleh Panelopee Quinn!” Seruan pembawa acara
barusan menjadi tanda kalau Quinn harus segera naik ke atas panggung.
“Nah, sekarang saatnya menjadi Bintang yang paling terang. Semangat, ya!”
Gadis itu tidak membalas dengan kata-kata, tapi dengan sebuah kecupan
cepat pada pipi Mahesa, lantas bergegas ke atas panggung, dan disambut meriah
oleh tepuk tangan penonton.
“Wah, wah, wah kepala lo berasep tuh,” ejek Faisal sambil menaik turunkan
alisnya.
Mahesa menjitaknya. Terlalu bahagia untuk marah. Mereka berdua mengintip
penampilan Quinn dari balik tirai. Gadis itu terlihat menikmati penampilan
solonya, dan penonton juga terlihat menikmati penampilan itu. Tidak sia-sia
usahanya membantu Quin selama dua bulan terakhir, mengancam Faisal untuk
mencuri jadwal penampilan, serta mengantar gadis itu keliling kota untuk mencari
kostum. Meskipun lelah, tapi semuanya terasa menyenangkan. Ia bisa lebih lama
menghabiskan waktu bersama Quinn, dan yang terpenting, pemuda itu bisa
membahagiakan gadis yang ia kagumi.
***

72
I Still Love You
“Kesalahanku adalah kesalahanmu.”

Pukul tujuh kurang lima belas menit, pelataran sekolah sudah dipenuhi oleh
murid-murid teladan. Mereka yang rutin tidur pukul sembilan malam dan bangun
pukul enam pagi, sarapan santai bersama keluarga, dan masih sempat membaca
buku pelajaran sebelum berangkat. Robi juga seorang murid, tapi bukan termasuk
golongan tersebut. Pukul setengah tujuh ia baru bangun, mandi dan berpakaian
secepat kilat, lebih memilih mencomot sepotong roti tawar daripada nasi goreng,
lantas mengunyahnya seperti mesin. Boro-boro membaca buku, menancap gas
80km/jam dengan motor bebek kesayangannya saja tidak menjamin sampai tepat
waktu.
“Berhasil!” Pemuda itu berseru ketika tangannya menyentuh pagar sekolah
dengan napas terengah-engah.
Satpam sekolah menatapnya prihatin, lantas menggeleng pelan. Tidak—dia
tidak berhasil—bel sekolah berbunyi lima menit lalu. Jadilah untuk kesekian
puluh kalinya Robi berdiri di depan tiang bendera, melakukan penghormatan
kepada sang merah putih selama satu jam pelajaran. Sebenarnya itu bukan
masalah besar mengingat betapa seringnya ia melakukan itu, bahkan sudah seperti
rutinitas pagi, tontonan kesukaan anak-anak yang kedapatan jam olah raga
pertama.
Hanya saja matahari tidak terlalu bersahabat hari ini, sinarnya benar-benar
terik, padahal masih pagi. Murid-murid yang sedang berolahraga saja melakukan
peregangan di dekat pohon-pohon rimbun, mencari tempat yang sedikit lebih
teduh. Robi merasakan dirinya benar-benar sudah matang, mungkin dengan
sedikit mentega dan garam ia akan terasa lezat. Lihat, kan? Pikirannya melayang
kemana-mana saking mendidih ubun-ubunnya.
Setelah hukuman selesai, Robi mendapatkan sedikit ceramah dari guru-guru
piket—sedikit artinya lima belas menit. Pemuda itu sampai hafal dengan setiap
suku kata yang terlontar dari mulut para guru, termasuk jangan diulangi, ancaman
skors, panggil orang tua, atau yang terburk, dikeluarkan. Ketika hukuman benar-

73
benar selesai, Robi berjalan gontai menuju bangkunya, lantas menjatuhkan diri
dengan kasar di situ.
“Dipanggang lagi, deh,” imbuh Agung yang notabene teman sebangkunya,
setelah melihat punggung Robi basah oleh keringat.
“Bagi minum dong ....” Robi berkata dengan lemas.
Agung memberikan botol air kemasan, masih menatap getir pemuda di
sebelahnya.
“Ini kan bulan terakhir lo, coba bangun lebih pagi, dong. Masa mau pindah
pun harus kena siksa dulu.”
“Please, lah, Gung. Tadi Bu Hila sama Bu Retno udah ceramahin gue
panjang lebar, masa lo ikut-ikutan, sih!” Robi mendesah.
“Ya jelas semua orang ceramahin lo. Coba hitung berapa kali lo dateng
sekolah tepat waktu?” Agung menghitung jari. “Nol, Alias kosong, alias nggak
pernah! Mau sampai kapan begitu ....”
“Sampe sekolah mulai jam 9 pagi?”
Agung menepuk dahi begitu keras. “Denger, ya! Sampe bulan jadi dua juga
nggak akan pernah ada kegiatan yang dimulai jam 9. Memang ada beberapa
kantor yang mulai beroperasi jam segitu, tapi tetap aja karyawannya diminta
datang sejam sebelum kegiatan, alias jam 8 pagi. Lo tau kenapa? Karena itulah
yang dilakukan manusia-manusia ‘normal’!”
Seperti kebiasaan pemuda itu ketika ceramah, kedua tangannya ikut menari-
nari memperagakan apa saja yang keluar dari mulut. Agung benar-benar cerewet
untuk ukuran laki-laki bertubuh kerempeng. Robi tidak mendengarkan lagi, tidak
sanggup tepatnya. Ia lebih tertarik memperhatikan sesuatu di depan. Bukan
pelajaran pastinya, melainkan seorang gadis yang tengah serius menyimak papan
tulis, menyalin apa yang tertulis di sana ke dalam buku miliknya setelah guru
keluar beberapa menit lalu.
“Dia tadi nanyain gue?” tanya Robi begitu saja.
Sedikit mendecak karena nasehatnya tidak di dengar, Agung mengikuti arah
pandang temannya. “Nggak lah, kalo lo yang dihukum sih semua orang tahu apa
alasannya.”

74
“Melirik juga nggak?” Pemuda itu memastikan, dan dijawab galengan kepala.
Robi menghela napas panjang. “Sok cuek banget!”
“Memang kenapa? Toh kalian udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, kan?”
Pemuda itu melirik tajam. “Makasih udah diingetin ....”
“Daripada mikirin orang, mending sekarang pikirin diri lo sendiri. Coba lo
bayangin, setiap hari kena hukuman, penyebabnya selalu sama. Lo tau jam waker?
Tau fungsinya untuk apa? Kalo susah bangun pagi, belilah itu, paling harganya
nggak seberapa! Daripada ....”
Agung melanjutkan kotbahnya, padahal Robi sudah kembali asyik
mengaggumi gadis yang berada jauh di ujung ruangan. Dahulu, gadis itulah yang
selalu menceramahinya. Ketika Robi dihukum, dia akan mengomel tanpa suara
dari jendela, membuat wajah lucu, dan menjadi tontonan kesukaan Robi, secara
ajaib bisa membuat hukuman apa pun terasa ringan. Gadis itu bernama Tami. Ya,
dia kebalikan dari Robi. Ya, dia golongan siswa teladan. Itu sebabnya ia dan Robi
tidak pernah berangkat sekolah bersama, Robi tidak pernah bisa mengikuti jam
kegiatan Tami. Pulang sekolah pun seringnya sendiri-sendiri, kalau bukan Tami
yang sibuk tugas, pasti Robi tengah sibuk menjalankan hukuman.
Teman-teman sudah setuju mereka adalah pasangan paling bertolak belakang
dan tidak romantis sejagad raya. Biar begitu, baik Robi maupun Tami nyaman
dengan kondisi tersebut, bagi mereka perbedaan berarti saling melengkapi. Toh
mereka saling mencintai, toh mereka saling percaya. Bisa bersatu dalam
perbedaan yang drastis menjadi kebanggaan mereka. Meskipun pada akhirnya
perbedaan juga yang memisahkan keduanya.
***
“Besok bisa antar aku ke toko buku? Penulis favoritku sudah mengeluarkan
buku baru, loh!”
Robi yang sedang asyik bermain game online hanya menjawab, “Hmm ....”
“Bahkan dia mengundang para penggemar untuk Meet and Greet. Keren
banget, kan? Aku sudah menunggu acara ini sejak lama! Kamu inget nggak aku
pernah cerita tentang acara Meet and Greet ini?”

75
Pemuda itu mengangguk-angguk pelan, setelahnya mengeluh ketika karakter
di game-nya terantuk sesuatu.
“Nah, itu dia acara yang aku hadiri nanti! Kayak mimpi jadi nyata, ya?”
“Wow ....”
“Makanya besok hari yang penting banget buat aku. Kamu bisa antar, kan?”
Pemuda itu memekik senang—berhasil mengalahkan musuh terakhir.
“Dengar nggak, sih?” Tami memukul bahunya.
“Aduh, iya dengar, kok!”
“Apa?”
“Besok anter ke toko buku, penulis favorit, Meet and Greet, udah nunggu
sejak lama, mimpi jadi nyata ...,” ulang Robi.
Tami tersenyum senang, yang diam-diam membuat kekasihnya
mengembuskan napas lega karena nyaris tidak mendengarkan sama sekali.
“Acaranya pukul delapan ya, Sayang.”
“Hah? Tapi besok kan hari Sabtu!” keluh pemuda itu.
“Sekali-sekali bangun pagi di hari libur. Kan jarang-jarang aku minta tolong.
Diusahakan ya, ya, ya?” bujuk Tami. “Demi aku.”
“Aduh ... iya, deh!”
“Gitu, dong. Makasih ya, Beybi ....” Tami mencubit pipi gembil pacarnya
yang langsung menepis dengan wajah meringis.
“Tapi kalau acaranya lama aku main game nggak apa-apa, ya?”
“Acaranya memang lama, dan aku juga pasti fokus ke sana. Kamu bebas mau
ngapain aja selagi nunggu.”
***
Kali ini Robi benar-benar serius ingin menyenangkan hati Tami. Sebelum
tidur, ia memasang alarm sepuluh kali berjarak masing-masing lima menit dengan
suara hantu wanita tertawa yang pasti ampuh membuatnya bangun, ia mandi
pukul enam pagi sampai menggigil kedinginan, bahkan memakai parfum lebih
banyak, dan gel rambut agar terlihat semakin tampan. Namun, ketika semua
selesai, ternyata jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh. Pemuda itu
mengeluh kesal, ini yang membuatnya malas bersiap lebih awal—mati kebosanan

76
karena menunggu—Masih satu jam lagi sampai waktu menjemput tiba. Ia
mengeluarkan ponsel, dan membuka game online-nya—berniat mengisi waktu
luang—tiba-tiba sebuah pengumuman muncul di layar.

MENANGKAN SEPULUH WAR DAN DAPATKAN HADIAH


MENARIK!

Mata Robi berbinar-binar melihat betapa bagusnya hadiah yang dijanjikan,


tanpa basa-basi ia memainkan war pertama selama sepuluh menit, dan langsung
menang. Kemudian memulai war kedua dan lagi-lagi menang. Begitu juga war
ketiga, keempat, dan kelima. Sampai war keenam musuh-musuhnya mulai sulit.
Robi gagal dalam percobaan pertama, langsung mencoba peruntungan kedua.
Tanpa sadar ia sudah bermain selama dua jam.
Setiap kalah, pemuda itu mengacak rambut frustrasi, melupakan usahannya
menata rambut selama lima belas menit hanya untuk terlihat keren di depan sang
pacar. Bahkan ia lupa kalau sudah punya janji satu jam yang lalu. Pada pukul dua
siang akhirnya Robi berhasil memenangkan hadiah dalam game, ia menghela
napas puas, lantas menjatuhkan diri pada ranjang. Matanya terasa panas, dan
seluruh tubuhnya pegal-pegal. Tidur beberapa jam pasti bisa membantu.
***
Senin pagi Robi tiba pukul tujuh kurang sepuluh, salah satu hari langka dalam
sejarah ia datang dan masih punya waktu luang sepuluh menit, saking senangnya
berhasil memenangkan hadiah di game online. Sedikit berjingkrak ia
menghampiri Tami, dan menunjukkan layar ponsel di depan wajah gadis itu.
“Tam-tam lihat deh aku dapat skin baru. Lucu ya?”
Tami tidak menjawab, bahkan tidak melirik dari buku yang sedang ia baca.
“Aku mendapatkan ini susah payah, loh ... sampai delapan jam di layar
ponsel. Pas sudah dapat lega rasanya. Langsung tidur deh.” Lagi-lagi hening.
“Tam, lihat dong ....”

77
Dengan entakkan Tami menepis ponsel itu sampai terlempar membentur
lantai. Beberapa teman menoleh, dan langsung bergumam gaduh, terutama anak-
anak perempuan.
“Apa-apaan kamu!” geram Robi sambil melirik kiri-kanan—malu menjadi
pusat perhatian.
“Kemarin kamu ke mana? Aku tunggu lama kenapa nggak datang? Ditelepon
juga nggak diangkat!” seru Tami dengan mata berkaca-kaca.
“Maksud kamu apa, sih ....” Seketika Robi tertegun.
Baru menyadari kesalahannya, sudah selang sehari baru teringat. Pantas saja
Tami tidak membalas pesan atau mengangkat telepon darinya sepanjang minggu.
Meski tahu itu kesalahan fatal tapi Robi tidak terima perlakuan Tami barusan.
“Gara-gara kamu aku ketinggalan meet and greet bareng penulis kesukaan
aku. Kenapa sih kamu nggak bisa menepati janji sekali saja!”
“Alah cuma begitu saja marahnya berlebihan, sampai banting-banting ponsel
segala.”
“Ponsel itu sudah bikin kamu ingkar janji!” isak Tami. “Kamu bikin aku
kecewa, Bi. Kamu kan tahu aku sudah menunggu acara itu selama berbulan-bulan.
Aku nggak pernah minta apa-apa ke kamu, aku cuma berharap kamu tepat waktu
hari itu supaya aku bisa ketemu penulis favorit aku.”
“Dia kenal kamu saja nggak, kenapa sih marah sampai segitunya cuma karena
hal konyol!”
“Kamu hancurkan mimpi aku karena sifat kamu yang nggak disiplin itu! Aku
masih maafin kalau kamu nggak bisa jemput karena hal penting. Tapi ini gara-
gara game!”
“Loh, game itu juga hobi aku! Wajar dong kalau aku dahulukan!” bentak
Robi, “lebih parah mana kamu nggak ketemu penulis kesukaan atau ponsel aku
yang rusak itu? Sekarang gara-gara kamu aku jadi nggak bisa main game lagi.
Kamu sudah menghancurkan hobi aku. Sekarang bagaimana, hah?”
Tami bergeming, sebutir air mata meluncur di pipinya, ia menyambar sapu
tangan, lantas mengentakkan kaki pergi dari kelas, beberapa temannya mengikuti.
Mereka meninggalkan Robi yang juga terkejut dengan sikapnya barusan. Ia

78
memungut ponsel dari lantai, mendapati ponsel itu baik-baik saja, lecet sedikit
pun tidak. Beberapa murid yang dari tadi menonton mulai berbisik
menyalahkannya. Tanpa gunjingan mereka pun Robi sadar dirinya bersalah, tapi
dia tidak pernah mengejar Tami. Keegoisannya terlampau besar.
***
Semenjak kejadian itu mereka tidak pernah saling menghubungi. Tami
memblokir semua media yang berhubungan dengan Robi, bahkan di sekolah Tami
menganggapnya seperti arwah tak kasat mata. Mereka tidak menjadi musuh,
setidaknya musuh masih berkontak fisik meski negatif. Kondisi Tami dan Robi
sekarang lebih seperti orang asing, yang tidak pernah saling mengenal. Pernah
sekali Robi menyenggol Tami hanya agar mereka bisa saling bercakap-cakap, tapi
Tami bertingkah seolah menabrak tiang, dengan santai merapikan peralatannya
dan pergi menjauh tanpa sepatah kata pun.
Robi juga meminta bantuan teman-teman Tami, tapi sikap mereka tak jauh
beda. Mereka semua memperlakukan Robi seperti orang asing. Tentu saja itu
tandanya putus. Namun, Robi belum rela, ia justru semakin menyukai Tami.
Terlebih karena perasaan bersalah yang terlampau besar.
Robi menghapus aplikasi game online di ponselnya, merasa itu akibat
perpecahan mereka, padahal sebenarnya bukan itu. Seorang siswa teladan dan
siswa termalas tentu bukan perpaduan yang sempurna, perbedaan akan terasa
menyenangkan di awal, tapi karena sifat yang bertolak belakang, rasa
menyenangkan terkikis oleh keegoisan. Besok Robi resmi pindah sekolah, dan ia
belum sekalipun mengucapkan maaf. Pemuda itu tidak akan mengatakannya,
belum siap melawan ego sendiri, tapi ia punya rencana lain.
***
Pukul tujuh kurang lima belas pagi, pelataran sekolah sudah dipenuhi oleh
murid-murid teladan. Mereka berkerumun di depan benteng sekolah yang sudah
berhiaskan tulisan besar dengan cat putih terbaca “I STILL LOVE HER”. Murid-
murid mulai berdesas-desus membuat gosip sementara guru-guru keheranan
siapakah si pelaku, dan bagaimana ia melakukan semua itu tanpa ketahuan satpam
sekolah. Di antara mereka semua, hanya satu orang yang tahu siapa pelakunya.

79
Tami mengeluarkan secarik kertas yang sudah ia remukkan sedemikian rupa
sampai menjadi bola, lalu membukanya kembali hanya untuk membaca ulang.

Kalau besok pagi ada kehebohan di sekolah, itu perbuatanku, dan itu
untukmu, jadi tolong tanggung hukuman yang harusnya untukku. Kita belum
putus, kan? Kesalahanku, kesalahanmu juga. I MISS YOU and I STILL LOVE
YOU. Sampai jumpa lagi.

***

80
Skater Boy
“Lihatlah apa jadinya ketika kau tidak menghargai perjuangan seorang laki-
laki.”

Gadis itu hadir di tengah hiruk-pikuk penonton, alunan lagu metal memenuhi
ruangan remang-remang, membuat gendang telinga ikut bergetar. Ketika orang-
orang membenturkan kepala pada angin kosong sampai hampir memutuskan
kepala sendiri, gadis itu hanya berdiri di sana dengan kepala menengadah,
menatap sang bintang acara dengan gitar listriknya. Mungkin dia terpesona akan
ketampanan wajah pria itu, mukin juga karena kemampuan bergitarnya yang luar
biasa.
Namun, setiap orang yang tak sengaja melihat ekspresinya saat ini, tahu
persis bukan hanya kekaguman yang tengah dirasakan gadis itu, melainkan juga
penyesalan. Bintang bersinar di atas panggung itu, padahal dahulu hanyalah
sebongkah batu. Dia selalu memakai celana Baggy longgar, baju belel longgar,
serta sepatu kebesaran, sehingga tubuh kurusnya tenggelam dalam busana sendiri.
Dengan begitu percaya diri, dia menghampiri seorang gadis.
Oh, baginya gadis itu sangat cantik, semua orang juga berpikiran sama. Dia
adalah bintang sekolah, apa pun yang dikenakannya tidak penting, dia selalu
terlihat sempurna. Seikat bunga sudah disiapkan, lantas terulur mantap begitu si
gadis berbalik. Ia berharap sesuatu yang baik terjadi. Harapannya terkabul, Gadis
itu menyunggingkan senyum. Dengan gerakan patah-patah tangannya terulur
untuk menerima seikat bunga yang entah apa namanya. Sampai sebuah suara
terkikik sahut-menyahut mengacaukan momen manis itu.
“Kamu yakin mau menerima bunga itu? Bisa saja dia mencurinya, kan?”
“Jangan-jangan kamu mau dijadikan kambing hitam.”
“Hati-hati ... anak-anak skater terkenal berandalan, loh.”
Tangan yang sempat terulur, perlahan ditarik ke tempat semula, bersamaan
dengan senyum manis yang memudar. Begitu saja, dia pergi meninggalkan
pemuda itu dengan tangan terulur masih menggenggam seikat bunga. Entah siapa
yang akan menerima bunga-bunga itu.

81
Perjuangannya tidak sampai di situ. Sebuah malam pertunjukan di auditorium
megah, di mana semua orang mengenakan setelan licin dan dasi kupu-kupu. Si
anak skater datang bersama pasukannya, mereka memang memakai kemeja, tapi
percayalah kemeja itu bahkan lebih butut daripada baju belel mereka. Dia
memimpin pasukannya berteriak keras-keras, mengucapkan kekaguman dan
selamat untuk gadis itu. Jujur saja, dibandingkan tepuk tangan seluruh penonton
auditorium, hanya si anak skater yang bisa membuatnya tersenyum. Dia bisa saja
turun dari panggung, dan memeluk pemuda itu erat-erat, tapi puluhan pasang mata
sinis, serta ekspresi jijik dari penonton lain menular kepadanya, senyumnya lagi-
lagi menghilang.
“Anak-anak skater selalu membuat masalah.”
“Bagaimana mereka bisa masuk? Menyelinap? Jangan-jangan merusak pintu
depan!”
“Seseorang panggil keamanan, usir mereka dari sini!”
Alih-alih mengikuti kata hati, gadis itu lebih percaya dengan kedua telinga
yang dipenuhi berbagai gong-gongan anjing di malam purnama. Sambil
mengangkat dagu, gadis itu berbalik dan meninggalkan panggung. Menyisakan
ekspresi kecewa yang sama seperti hari-hari lalu.
***
“Kamu mau apa?”
Itu adalah kesekian kalinya pertanyaan yang sama terlontar. Kali ini si anak
skater datang sendirian, menghampiri gadis-gadis yang bergerombol di lorong
kelas. Seperti seekor domba menghampiri kelompok serigala, dia tahu hal buruk
akan terjadi, tapi toh tetap dia lakukan.
“Aku mau kesempatan.”
Biar hanya begitu, semua orang tahu bahwa dia menginginkan gadis itu.
Bodohnya mereka, meskipun tidak pernah mengatakan, gadis itu juga menyimpan
rasa yang sama. Dengan lirikan samar, dia memperhatikan ekspresi teman-
temannya, meskipun sudah sangat jelas, mereka menertawakan.
“Dia bercanda ya? Kesempatan apanya?”
“Kamu tidak akan menerimanya, kan? Dia anak skater loh! Dia berandalan.”

82
“Dia tidak cocok untukmu.”
“Percayalah, gadis cantik sepertimu layak mendapatkan yang lebih baik.”
Dia adalah laki-laki urakan yang mungkin tidur di gang-gang sempit karena
kabur dari rumah. Sedangkan dia adalah gadis kebanggaan keluarga, seorang
bintang panggung megah. Apa yang kita harapkan dari kisah ini? Meskipun mata
dan hati tak bisa bohong, tapi indra itu tidak mampu bersua, sedangkan mulut
sangat ahli melakukannya. Sambil memalingkan wajah, gadis itu berkata.
“Menyerahlah, jangan pernah mendatangiku lagi.”
Baru kali ini bola mata seorang anak skater berkaca-kaca, dia mengacak
rambut lepeknya untuk menyamarkan, lantas berjalan menjauh tanpa pernah
berbalik lagi. Dia memang bintang yang cantik, tapi kita semua tahu bagaimana
sifat bintang—kepalanya berada terlalu jauh di angkasa, terjebak dalam angan-
angan semu, tanpa bisa diselamatkan. Satu orang yang bisa membantunya kembali
ke bumi adalah dirinya sendiri. Namun, dia tidak pernah melakukannya.
Lima tahun berlalu, sang bintang akhirnya kembali ke bumi, bukan dengan
cara mudah. Dia jatuh menghantam tanah sehingga menimbulkan lubang sebesar
kawah gunung. Tidak ada satu orang pun yang mendampinginya, karena dia
bukan lagi sebuah bintang, melainkan hanya bongkahan batu. Beristirahat sejenak
dari kehidupan nyata yang menyiksa, gadis itu duduk di depan tv, tanpa tahu apa
yang harus ditonton, paling tidak bukan kesunyian yang mendampinginya. Wajah
pertama yang dia lihat adalah anak laki-laki itu, si anak skater yang dahulu sempat
dicampakkannya.
Tidak ada yang berubah dari orang itu, tatapan mata, model pakaian, rambut
lepeknya, hanya saja, dia tidak lagi mencintai. Orang-oranglah yang
mencintainya. Lihatlah betapa banyak kerumunan di bawah panggung tempat dia
beraksi. Cepat-cepat gadis itu bangkit dari sofa, berlari seperti kilat hanya untuk
mengambil gagang telepon, padahal benda itu tidak akan lari ke mana-mana.
“Aku melihat si anak skater di tv!” Gadis itu berseru menggebu-gebu pada
gagang telepon.
“Iya aku tahu! Keren sekali, bukan?”
“Siapa yang menyangka dia bisa sekeren itu!”

83
“Kami sudah punya tiket untuk konser terbarunya. Mau ikut?”
Gadis itu bergeming cukup lama. “Ya ... aku mau ikut.”
Begitulah kisah singkat antara mereka. Sangat disayangkan gadis itu tidak
tahu apa yang dia lewatkan. Cinta tidak sekadar bertatap mata, bukan hanya
melihat dari tampilan luar saja. Cinta adalah tentang menggali apa yang ada di
dalam hati, tidak mudah memang, tapi itulah yang membuatnya istimewa.
Sekarang anak skater yang pernah dia campakkan telah menjadi bintang besar.
Dia telah menjadi milik orang lain, yaitu aku. Dahulu aku juga seorang gadis, tapi
tentunya tidak sama dengan dia. Ketika dia meninggalkannya, aku justru
menghampirinya, ketika dia menyuruhnya pergi, aku memintanya kembali, ketika
dia memalingkan wajah, aku menatap lurus pada matanya. Itulah yang membuat
kita berbeda. Itulah yang membuatnya jatuh cinta kepadaku.
Sayang sekali akhir kisah ini agak mengecewakan ... bukan untukku,
melainkan untuk gadis itu. Dia yang tidak pernah menghargai perjuangan seorang
laki-laki, dia yang tidak pernah tahu apa arti ketulusan. Bagaimana dengan si anak
skater? Oh dia sudah mempunyai kisah sendiri, dan dia bahagia dengan
pilihannya. Kami menghabiskan banyak waktu di dalam studio musik,
membicarakan banyak hal di masa lampau. Terutama tentang gadis pada masa
lalunya—itu adalah kesukaan kami. Kemudian kami membuat lagu tentang itu,
dan mengguncang dunia bersama-sama.
***
Catatan :
Cerita ini terinspirasi dari lagu Avril Lavigne berjudul Sk8ter Boi.

84
Twin Zone
“Bukan keluarga apa lagi saudara, tapi ketika berhadapan, kami seperti
bercermin.”

“Semua laki-laki menyebalkan. Mereka seperti singa yang tidak pernah puas.
Semenit lalu memberi perhatian pada seseorang, menit berikutnya mencurahkan
perhatian kepada orang lain. Mereka pikir hati perempuan hanyalah penginapan
murahan yang boleh datang dan pergi semaunya.” Gadis itu terus mengoceh selagi
tangan kanannya memegang permen lolipop.
“Ya, itu sebabnya aku tidak suka laki-laki,” jawabku asal.
“Tapi Nick tidak begitu!” sergahnya langsung dengan wajah berbinar.
“Nick, kan juga laki-laki,” balasku setelah menghela napas, “cepat atau
lambat dia akan melakukan hal yang sama seperti laki-laki lain di planet ini!”
“Tapi dia berbeda. Dia baik, perhatian, dan jujur. Mustahil dia membuatku
sakit hati.”
“Ayolah, Elli ....”
“Mustahil dia membuat sakit hati perempuan mana pun.”
“Dia laki-laki!” Kali ini aku menekan satu kalimat itu saking geramnya.
“Sudah naluri laki-laki ketika bosan akan mencari yang baru.”
“Kau juga laki-laki, kenapa tidak pernah pergi dariku?”
Pertanyaan itu membuatku diam seribu basa. Udara dingin musim penghujan
berembus semilir, tapi suhu tubuhku justru bertambah.
“Ya ... karena aku belum bosan,” jawabku seraya mengusap tengkuk,
menyembunyikan wajah yang panas.
“Kenapa kau tidak kunjung bosan?”
“Karena ....” Sial, kenapa pertanyaan sederhana bisa membuatku begitu
gugup. “Karena aku me ....”
Belum sempat menyelesaikan kalimat, Elli memasukan lolipop di tangannya
ke dalam mulutku.
“Ya aku tahu, El. Karena kau kembaranku, kita tidak akan pernah bosan satu
sama lain. Benar, kan?”

85
Setelah mengatakan itu ia merangkul lenganku, lantas berlari bersama
menerjang gerimis.
Sebenarnya bukan itu yang ingin kukatakan barusan.
Kenalkan, namaku Elliot, gadis yang bersamaku barusan adalah Ellinor.
Kami bukan saudara, tapi kami kembar. Kalian tidak perlu bingung, orang-orang
menyebut kami Twister Twins, karena aku dan Elli lahir dari orangtua yang tidak
memiliki hubungan darah sama sekali, tanggal dan hari lahir kami pun berbeda
jauh. Elli lahir bulan Maret dan Aku menyusul bulan berikutnya, tapi wajah kami
sangat serupa. Warna rambut yang sama-sama cokelat keemasan, manik hitam
pias yang serupa. Bahkan tinggi dan berat badan kami nyaris sama.
Aku berani jamin kalian akan kesulitan membedakan kami saat mengenakan
jaket atau hoodie dengan penutup kepala. Ya, memang seidentik itu. Orang tua
kami memperlakukan kami selayaknya anak kembar, dan itu terbawa sampai
sekarang. Berbagi lolipop seperti tadi adalah hal biasa bagi aku dan Elli, kami
bahkan sering mandi bersama. Jangan melihatku begitu! Tentu saja itu terjadi saat
usia kami masih kecil!
Aku dan Elli saling menyayangi tentunya. Hanya saja ... Definisi ‘sayang’
kami sedikit berbeda. Elli menyayangiku sebagai saudara kembar, sedangkan aku
menyayangi gadis itu sebagai Peter Pan kepada Wendy, yang tidak akan bisa
bersama. Aku tidak yakin kapan perasaan ini muncul. Aku tidak mau terlalu lama
jauh dari Elli, memikirkannya setiap malam, bahkan menjadi sangat sensitif jika
dia sedang membicarakan laki-laki lain.
Sayangnya, Ellinor adalah gadis yang sangat mudah jatuh cinta. Dia bisa
mencintai siapa pun hanya dengan sekali tatap. Anehnya dia tidak bisa begitu
kepadaku. Nick adalah orang yang ditaksir Elli belakangan ini, hanya karena
pemuda pirang itu mengembalikan ikat rambutnya yang jatuh. Elli langsung
melihatnya sebagai pahlawan tak berkuda. Bercerita tentang pemuda itu hampir
setiap saat. Bagaimana mereka berpapasan, bertukar nomor, saling meminjam
buku, bahkan hal apa saja yang menjadi bahan obrolan mereka. Sejujurnya aku
mulai bosan, dan kesal. Sangat kesal!

86
“Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya, El? Ada sepucuk bunga mawar di
dalam lokerku, dan sebuah memo tulisan tangan Nick,” ceritanya penuh semangat
saat jam makan siang.
Aku yang acuh tak acuh mendengarnya hanya mengangguk sekilas.
“Dia benar-benar pemuda yang manis.” Elli melanjutkan sambil menerawang
seperti orang gila.
Nick benar-benar racun! Dia membuat Elli tidak menyentuh makan siangnya
sama sekali, padahal menu hari ini adalah ikan dan kentang goreng. Elli tidak
pernah cukup dengan kedua makanan itu, sekarang dia justru mengabaikannya.
“Ya, dia memang manis, tapi bukankah kau sering mendapatkan hadiah lebih
dari sekuntum bunga yang mudah layu?” ujarku sedikit ketus. “Seperti buku baru,
roti isi, kartu ucapan semangat.”
“Memang benar, tapi ini berbeda,” jawab Elli.
“Berbeda bagaimana? Semua hadiah itu jelas lebih berguna untukmu, lebih
berharga daripada sekuntum bunga bodoh!”
Elli mengernyit menatapku.
“Dan mungkin saja seseorang yang memberikan hadiah-hadiah itu,
menyayangimu lebih daripada Nick,” lanjutku.
“Ayolah, Elliot, aku hanya sedang naksir seseorang, hargai perasaanku,
dong,” kata Elli dengan entengnya.
“Kau sendiri pernah tidak menghargai perasaan orang?” seruku tanpa sadar
dengan nada tinggi. “Jauh sebelum Nick, ada seseorang yang menyayangimu
lebih dari apa pun, mengenalmu lebih dari siapa pun. Apakah kau tahu siapa dia?
Apa kau peduli padanya? Apa kau menghargai perasaannya?”
“Ada apa denganmu, Elliot?” lirih Elli sambil melirik kanan-kiri, beberapa
orang memperhatikan. “Aku begini karena sedang ... jatuh cinta saja. Karena tidak
pernah ada yang memperlakukanku begini selain Nick.”
“Tidak ada? Lantas yang di hadapanmu ini apa?”
Aku menggeser bangku, dan membawa nampanku pergi, meninggalkan
Ellinor sendirian termangu di mejanya. Memang tidak seharusnya aku bertingkah
seperti itu, apa lagi kepada Elli. Namun, tidak dapat disembunyikan lagi. Aku

87
mencintai Elli, dan aku sangat cemburu saat dia melakukan itu. Memuji pemuda
lain, mengatakan dia mencintainya di depanku, pemuda asing yang bahkan tidak
cocok untuk menjadi temannya.
***
Bodohnya aku. Merajuk dan meninggalkan Elli sendirian saat seharusnya
berbasa-basi agar kami bisa pergi ke pesta prom bersama. Biasanya aku tidak
sekhawatir ini karena Elli memang selalu pergi bersamaku. Namun, melihat
betapa banyaknya pemuda yang ditaksir Elli selama SMA, dan kemungkinan
besar mereka juga menyukai gadis itu, aku jadi takut. Apa lagi kehadiran Nick
bodoh itu di antara kami.
Aku pergi ke tempat pemberhentian bus, dan Elli juga ada di sana, sendirian.
Aku akan mengajaknya sekarang. Kira-kira dia marah dengan sikapku kemarin
tidak, ya? Perlahan aku menghampiri dan ragu-ragu menepuk bahunya. Dia
menoleh dan langsung tersenyum lebar.
“Elliot!” serunya sambil memelukku sekilas.
“Elli, aku mau minta maaf karena membentakmu kemarin,” imbuhku seraya
menggaruk kepala.
“Aku juga minta maaf kalau ada kata-kata yang menyinggungmu kemarin ...
tapi aku bingung, kenapa kau marah?”
“Karena kau terlalu memuji laki-laki yang tidak mengenalmu sama sekali,”
tuturku.
Juga karena kau lebih mengaggumi dia daripada aku, lanjutku dalam hati.
“Ya ampun, El. Baiklah aku berjanji tidak akan memuji Nick terlalu sering,
mungkin tidak di depanmu,” balas Elli.
Aku memutar bola mata, Bukan itu yang kuinginkan, Ellinor! Namun, aku
tetap menjawab. “Bagus!”
“Oh, ngomong-ngomong, ada yang ingin kukatakan padamu!” Elli
melanjutkan.
“Sungguh? Aku juga!”
“Benarkah? Kalau aku tentang prom.”
“Hey, aku juga!”

88
Kami berubah heboh dalam sekejap.
“Silakan kau duluan.” Aku menawarkan.
Elli tampak gugup. Beberapa kali ia mengambil napas dan akhirnya
menatapku penuh binar.
“Nick mengajakku ke pesta prom!”
Senyumanku luntur seketika. Aku terlambat. Tidak ingin Elli menyadari
perubahan wajah drastis ini, aku segera tersenyum kembali.
“Wow, Nick? Bagaimana?”
“Saat kau meninggalkanku kemarin, dia datang ke menghampiri dengan
sebotol minuman dingin, dia mengatakan beberapa kata yang membuat hatiku
tenang, kami berbincang sejenak. Setelah bel masuk berbunyi, barulah dia
mengajakku pergi ke pesta bersama. Bukankah dia manis?” cerocos Elli.
“Itu ... manis sekali ....”
“Mungkin pulang sekolah nanti aku akan mencari gaun ... menurutmu aku
lebih cocok bergaun rok panjang atau pendek?”
Kebetulan bis datang, jadi aku tidak perlu repot-repot menjawab pertanyaan
itu, tidak perlu berpura-pura senang untuk Elli. Aku masuk mendahului. Biasanya
kami duduk berdua, tapi aku lebih memilih duduk di bangku paling belakang.
Malas mendengarkan ocehan gadis itu tentang Nick. Pastinya ini adalah
kecemburuanku yang terlampau besar, tapi di sisi lain juga kekecewaan.
Hanya dengan begitu Elli menganggap Nick pemuda yang manis? Bagaimana
denganku? Aku yang selama ini bersamanya, melindunginya, selalu ada untuknya.
Ini tidak adil! Saat bis sampai di sekolah, aku membiarkan Elli keluar lebih dulu.
Dia terlihat ingin menungguku, tapi gerombolan murid memaksanya keluar. Saat
bis sudah kosong barulah aku berjalan keluar, dan ternyata Elli masih menunggu
di depan pintu bis.
“El, kenapa kau duduk di belakang?” gerutunya. “Padahal aku ingin
mengobrol denganmu.”
Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku, sementara Elli terlihat tidak
enak hati dengan situasi ini. Gadis itu berusaha keras menjajari langka cepatku.

89
“Oh iya, kau belum sempat bicara tentang pestamu?” Lagi-lagi Elli mencoba
bicara. “Kau pergi dengan siapa?”
“Aku tidak ikut!” jawabku ketus.
Perubahan wajah Elli terlihat sangat kentara. “Apa? Kenapa?”
“Aku tidak ikut, jangan ada pertanyaan lain!”
Begitu saja, aku mempercepat langkah sedangkan Elli justru mematung. Aku
tahu tidak seharusnya bersikap begini. Salahku meninggalkan Elli kemarin
sehingga Nick datang menghiburnya, salahku bersikap ketus kepadanya
belakangan ini. Namun, aku tidak mau mengakuinya.
Elli juga salah! Dia tidak pernah menghargaiku, hubungan kami memang
hanya sebatas kembar baginya, tapi setidaknya buatlah aku sedikit istimewa
daripada laki-laki lain, jangan malah menjatuhkan seperti ini. Sejujurnya, aku
lelah terus berada dalam Twinzone ini. Jika menjadi kembar adalah status
tertinggi sebuah pasangan, aku rela turun pangkat demi menjadikannya lebih
istimewa.
***
Malam ini pesta prom berlangsung. Teman-teman sekelas mengajak ke butik
untuk mencocokan jas. Tentu saja aku menolak, aku tidak punya pasangan ke
sana. Memang ada beberapa gadis kelas lain mengajak, tapi aku menolak mereka
semua. Akhir-akhir ini seorang Elliot yang terkenal murah senyum berubah
menjadi penggerutu.
Lagipula, jika bukan bersama Elli, dengan siapa lagi aku mau pergi? Elli
menghubungiku nyaris setiap jam per hari, tapi aku enggan merespon, begitupun
di sekolah, kami yang terkenal selalu menempel seperti surat dan perangko tiba-
tiba berpisah. Sampai-sampai beberapa orang ikut bertanya, padahal sebelumnya
tidak ada yang peduli.
Lagi-lagi aku-lah penyebab semua ini. Aku yang selalu menghindar dari Elli,
padahal gadis itu selalu menghampiriku di jam makan siang, mengajak bicara,
membuntuti kemana pun kakiku melangkah, hingga aku harus berpura-pura ke
toilet agar dia berhenti. Harus kuakui, aku merindukan saat-saat bersama Elli, tapi

90
juga takut dia terus membicarakan Nick, aku tidak mau terus menanggapinya
dengan ketus, dan malah memperburuk hubungan kami.
Waktu seharian kuhabiskan dengan bermain game, meskipun otakku tidak
mau berhenti memikirkan prom. Ketika malam datang, yang kulakukan hanyalah
berbaring mengenaskan, membayangkan Elli dan Nick berdansa bersama dalam
megahnya sorotan lampu. Mungkin mereka akan menjadi Raja dan Ratu prom,
mengingat betapa populernya Nick sebagai kapten basket.
Sudah hampir dua jam aku memutar tubuh kesana kemari—berniat tidur agar
malam ini cepat berlalu—tapi tak kunjung mendapat posisi nyaman. Tiba-tiba
ponselku berdering singkat—sebuah pesan masuk. Dengan gontai aku membuka
pesan itu, dan seketika terbelalak.
____________________________________________________
Hei, El, kenapa kembaranmu duduk sendirian di bangku taman?
(Marco-rony)
____________________________________________________

Elli sendirian? Ke mana si Nick kurang ajar itu!


Tanpa basa-basi, aku mengambil jaket dan bergegas ke sekolah mengendarai
sepeda. Tidak sampai sepuluh menit aku tiba di tujuan, aku mengayuh pedal
sepeda terlalu cepat sampai napasku rasanya habis. Sekolah benar-benar tampak
mewah dengan semua hiasan lampion itu. Warna emasnya menyatu dengan gaun
para pasangan yang datang, membuatnya berkilauan. Aku terlihat seperti
pengemis dengan kaus dan jaket ini.
Tunggu dulu ... itu bukan tujuanku datang ke sini. Aku menerobos masuk ke
dalam gedung sekolah, tidak mengacuhkan tatapan heran murid lain karena
pakaianku. Setelah mengedarkan pandangan, aku melihat Nick, justru tengah
berdansa bersama Kimberly. Langsung saja aku menghampirinya, dan memutar
tubuhnya secara paksa agar kami berhadapan.
“El. Ada apa, sobat?” ujar Nick kebingungan.

91
“Kau seharusnya bersama Elli, bukan?” jawabku tanpa basa-basi. “Kenapa
kau justru di sini bersama orang lain dan meninggalkan Elli sendiran? Dasar
kau ....”
Tanganku mengepal kuat membidik pemuda itu, membuat Kimberly
berteriak, dan menarik perhatian beberapa murid.
“Wow tenanglah, Sobat. Aku memang pergi bersama Elli. Tadinya!”
Kepalan tanganku langsung melemas. “Tadinya?”
“Benar, lalu tiba-tiba saja dia membatalkannya dua hari sebelum prom,”
lanjut Nick seraya merapikan kerah jas.
“Kenapa dia melakukan itu?” tanyaku heran.
“Entahlah, dia bilang sudah membuat janji lain dengan orang spesial. Itu
membuatku sangat kecewa, untungnya banyak gadis lain yang mengantri untuk
jadi pasanganku,” ujar pemuda itu seraya menyibak rambut pirangnya.
“Hentikan itu, Nick. Aku jadi benar-benar ingin memukulmu. Sekarang di
mana Elli?”
“Di halaman belakang. Dia sendirian saja, padahal banyak yang menawarinya
berdansa sejak tadi, tapi dia bilang masih menunggu teman kencannya. Aku jadi
penasaran seberapa spesialnya orang itu, sampai-sampai dia tega
mencampakkanku ....”
Nick benar-benar pemuda yang cerewet, daripada mendengarkannya meracau
tidak jelas, lebih baik aku segera menuju halaman belakang sekolah. Benar kata
Nick, Elli ada di sana, baru saja menggeleng pada seseorang yang mengulurkan
tangan padanya. Dia terlihat cantik dengan gaun merah muda itu, dan sebuah
mahkota bunga dikepala, tapi tidak ada senyuman diwajahnya sehingga
kecantikannya tidak lengkap. Bodoh sekali aku meninggalkannya sendiri seperti
itu. Aku melangkah perlahan menghampiri. Sadar ada seseorang di depannya, Elli
mendongak dan senyuman segera merekah di wajahnya.
“Elliot, akhirnya kau datang juga,” serunya.
“Kenapa kau sendirian di sini?”
“Menunggumu.”
“Bagaimana kau tahu aku akan datang?”

92
“Karena aku sadar ada seseorang yang menyayangiku lebih dari siapa pun,
yang akan selalu ada untukku, yang selalu di sana saat aku butuh.”
“Bukan Nick, bukan juga laki-laki lain. Tapi kau, Elliot. Bodoh sekali aku
tidak menyadarinya sejak awal.”
Elli mengatakan itu sambil tersipu bercampur rasa bersalah pada wajahnya,
lalu ia memelukku. Bukan pelukan sekilas yang biasa ia lakukan, tapi sebuah
pelukan dalam dan hangat, membuatku cepat-cepat menyambutnya.
“Maafkan aku, Elli. Seharusnya aku lebih berani, dan bukannya menghindar
seperti pengecut,” bisikku. “Aku menyayangimu.”
“Aku juga menyayangimu, El. Jangan menjauh dariku lagi. Itu membuatku
sedih.”
“Tidak akan.”
Beberapa detik kemudain, kami melepaskan pelukan dan bersitatap sejenak,
lantas tertawa terbahak-bahak pada diri sendiri. Sudah lama kami tidak bertingkah
seserius ini, bahkan jika dipikir-pikir tidak pernah.
“Bagaimana kalau aku tidak datang?” kataku dengan nada menggoda.
Elli mengangkat bahu, “Mungkin aku yang mendatangimu.”
“Seharusnya aku tidak langsung datang agar kau yang mendatangi!” Aku
menepuk dahi, seolah sangat menyesal.
“Tapi rasanya aku yang tetap menunggu ... kalau aku pergi siapa yang akan
memakan semua hidangan enak itu.” Elli melirik berbagai makanan lezat di meja
suguhan.
Aku mencibir. “Selalu hanya datang untuk makan ....”
“Tidak kali ini ....” Elli merangkul lenganku, “aku ingin kita berdansa
romantis dulu sebelum menyerbu hidangan lezat itu.”
“Dansa romantis? Tapi aku tidak memakai jas!”
“Sejak kapan ada peraturan harus memakai jas untuk dansa romantis?
Ayolah!”
Elli menyeretku ke lantai dansa, tepat saat lagu lembut tengah mengalun.
Awalnya aku tidak percaya diri dan risi dengan tatapan orang-orang. Namun, Elli
ada di sini dengan tatapan mata yang selalu bisa mengisi kembali kadar

93
kepercayaan diriku. Kami mulai berayun mengikuti irama, beberapa orang yang
menatap keheranan memutuskan untuk tidak peduli dan melanjutkan dansa
mereka.
Ini bukan dansa pertama aku dan Elli, tapi terasa seperti itu. Karena untuk
pertama kalinya mata kami saling tatap, mengaggumi warna mata masing-masing,
saling mengartikan senyum yang terukir pada wajah. Rasanya seperti bercermin,
dan aku mencintai bayangan cerminku sendiri.
Apakah Elli masih menyayangiku hanya sebagai kembarannya? Apakah aku
sudah berani mengatakan bahwa perasaanku lebih dari ini? Untuk sekarang aku
tidak tahu, dan tidak mau tahu. Meski penampilanku saat ini jauh dari kata layak,
aku tetap menikmatinya, asal bersama Elli. Aku suka akhir yang bahagia. Apakah
kalian juga?
***

94
Family Pasture

95
Big Brother
“Jika kalian berani mengejek, menjahili, atau menyakiti adik kecilku. Aku
bersumpah akan mencekik kalian sampai bola mata kalian keluar dari tempatnya,
dan membuat hidup kalian terasa seperti di neraka ... tapi karena dia adikku, aku
bebas melakukan apa pun kepadanya.”
***
“Kau tidak harus mengantarku ke kelas, tahu!” kataku berusaha menjaga
jarak sejauh mungkin dari pemuda di sebelah. Namun, orang itu justru merangkul
bahuku.
“Percayalah, Dorky. Kalau kau tahu betapa payahnya dirimu, kau akan
mencium kakiku penuh syukur karena mengantarmu ke kelas.”
Adam adalah tipe manusia yang berlebihan dalam memandang segala hal.
Dia percaya sekolah adalah tempat yang jahat, terutama untuk anak kecil
sepertiku. Bahkan melupakan fakta bahwa anak kecil yang dia maksud sudah
berusia lima belas tahun. Ini hari pertama sekolah, dan dia bersikukuh
mengantarku ke kelas, padahal sudah kularang berkali-kali. Akhirnya aku di sini
sekarang, di depan pintu kelas dengan Adam di sisiku.
“Cukup sampai di sini, Adam! Aku akan baik-baik saja,” desakku agar ia
segera pergi.
“Tentu saja ....” Bukannya pergi, pemuda itu justru membuka pintu selebar
mungkin dan merangkulku masuk.
“Dengarkan semuanya!” serunya begitu keras sampai menarik perhatian seisi
kelas.
“Kalian beruntung, karena mendapat kelas yang sama dengan adikku.” Adam
menepuk kepalaku, yang memasang ekspresi jengkel sejak tadi. “Aku harap
kalian bersikap baik kepadanya, kalau tidak ingin mendapat masalah!”
Beberapa pasang mata yang memperhatikan mulai berbisik, entah apa yang
mereka bicarakan, hanya desas-desus beraura negatif yang tertangkap telingaku.
Setelah mengusap wajah, aku menepis rangkulan Adam.
“Sudah puas? Kau akan pergi sekarang?”

96
“Tentu ... kalau ada yang mencari masalah denganmu, bilang saja padaku, ya.
Akan kuberi orang itu pelajaran!” Adam berseru penuh ancaman tersirat. Dia
mengacak rambutku, lantas pergi sambil bersenandung.
Inilah bagian paling menyebalkan setiap kali Adam mencampuri urusanku—
Tatapan orang-orang yang penasaran. Aku paling benci menjadi pusat perhatian,
tapi Adam selalu memosisikan diriku sebaliknya. Aku memilih bangku paling
belakang, satu-satunya tempat aman di dunia. Saat beberapa anak mulai
mendekat, aku memakai tudung jaket lalu merunduk berpura-pura tidur.
***
Saat usiaku delapan, nenek memberikan satu set miniatur kereta sebagai
hadiah tahun baru. Setelahnya, waktu senggangku selalu habis untuk membongkar
pasang benda malang itu. Termasuk hari ini, selepas sekolah aku sibuk menyusun
satu demi satu jalur kereta, membuat sebuah jalur lintasan baru.
Ketika sedang asik dengan dunia sendiri, tiba-tiba pintu kamarku diketuk.
Aku menoleh malas, kira-kira siapa di luar? Aku sangat penasaran. Tunggu ...
tidak juga. Pintu kamarku terbuka.
“Hai, Illy, kau sedang apa?” Itu Adam—tentu saja. “Masih pura-pura menjadi
arsitek?”
Belum kusuruh, anak konyol itu sudah masuk dan berbaring di ranjang. Ia
mengambil rubik di atas meja kecil dan mulai memainkannya.
“Jadi kau sudah punya geng?” Ia memulai.
“Hmm-hmm,” gumamku mengiyakan.
“Apa nama gengmu? Berapa jumlah orangnya?”
“Namanya adalah Perserikatan Masa Bodoh. Jumlah orang ... satu,” jawabku
asal. “Tiga jika malaikat penjagaku dihitung.”
Adam tersentak sampai menjatuhkan rubiknya ke lantai, lalu duduk di
sebelahku.
“Ini sudah hampir dua minggu ...,” gumamnya. “Ada yang menjahilimu, ya?
Menindasmu? Mengejekmu?”
“Tidak, tidak, dan tidak.”
“Lalu kenapa kau tidak kunjung mempunyai teman?”

97
“Entahlah. Tidak ada yang mau.”
Aku bisa mendengar Adam mengembuskan napas panjang.
“Mungkin kalau kau berusaha! Bersosialisasi agar mendapat teman,
bukannya bermain dengan kereta bodoh ini dan membaca buku setiap saat!”
imbuhnya dengan intonasi tinggi.
“Aku bersosialisasi! Hanya saja kupikir hidup akan lebih mudah tanpa teman,
mereka hanya merepotkan saja!” balasku juga dengan nada tinggi. “Dan ini bukan
mainan, tapi miniatur!”
“Manusia tidak bisa hidup sendiri, Dorky! Teman mungkin bisa
menyelamatkanmu dari masa-masa sulit!” seru pemuda itu.
Aku menoleh, dan mendapati ekspresi Adam yang penuh kekhawatiran.
“Oh. Masa?”
Kelopak mata kiri Adam berkedut kesal ketika aku mengatakan itu. Ia bangkit
dan menunjuk hidungku.
“Kau tahu ... Senin nanti temui aku sepulang sekolah. Kau tidak bisa terus
seperti ini!”
“Hei, kau tidak bisa melakukan itu seenaknya kepadaku!” Aku berseru selagi
ia berjalan menuju pintu.
Setelah sampai di ambang pintu pemuda itu berbalik. “Tentu saja bisa, aku
lebih tua, aku bebas melakukan apa saja, dan kau harus menurut,” katanya,
kemudian pintu tertutup dengan keras.
Amarahku meluap seketika, dan tidak ada yang bisa kulakukan selain
mengacak-acak miniatur kereta yang hampir selesai dibuat. Setiap hari, setiap
waktu, aku dan ketenangan tidak bisa bertahan lama. Selalu ada Adam yang
mengacaukannya!
***
Aku ingin keluar dari sini!
Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah makhluk-makhluk seperti
Adam, bahkan lebih buruk, mulut mereka tidak pernah berhenti mengeluarkan
kata-kata kotor, setidaknya Adam hanya mengeluarkan omong kosong, bukannya
kata-kata tidak senonoh. Sebenarnya bisa saja aku tidak menuruti kemauan kakak

98
tercintaku ini, tapi risikonya adalah mendengarkan ceramah ibu selama lebih dari
satu jam, dengan alasan ‘tidak menurut perkataan abang’—Adam selalu pandai
menyusun kalimat seolah aku yang bersalah.
Selama lima belas menit aku tidak melakukan apa pun selain menonton
Adam dan teman-temannya mengoceh, menggoda anak perempuan, saling ejek,
menggoda perempuan lagi. Aku cukup kagum mereka melakukan itu semua
kurang dari lima belas menit. Tiba-tiba Adam menyodorkanku selembar uang.
“Belikan aku jus dan kue!”
“Kau punya kaki, kan?” jawabku ketus.
“Ya, tapi kakiku sedang sibuk tidak melakukan apa-apa. Cepat lakukan!”
Malas berdebat, aku segera melakukan perintahnya. Adam lupa menyebutkan
pesanan secara spesifik, jadi aku berinisiatif membeli jus jeruk, dan biskuit
cokelat—kudapan favoritnya di rumah. Ketika kembali ke meja, Adam tidak
terlihat senang.
“Jus jeruk dengan biskuit cokelat? Kau mau membunuhku, ya?” seru pemuda
itu. “Gabungan dua makanan itu membuat tenggorokanku serat!”
“Kau tidak bilang ingin apa!” balasku geram.
“Kau tidak tanya!”
Teman-teman Adam tertawa. Aku tidak mau berburuk sangka, tapi yakin
seratus persen kalau mereka tengah menertawai wajahku yang memerah kesal.
“Ganti jusnya dengan alpukat!”
Sekali lagi, aku menuruti perintahnya, meski dengan rasa dongkol di hati.
Sekarang dia tersenyum puas dengan apa yang kubawa.
“Anak pintar!” Adam mengacak rambutku, lantas kutepis dengan kasar.
“Wah, Adam beruntung punya pesuruh!” ujar salah satu temannya.
Aku melempar tatapan tajam kepada orang itu, lalu melirik Adam—Hey lihat,
adik tersayangmu diejek, loh!—Ia hanya mengangkat bahu tidak peduli.
“Kalau begitu belikan juga aku jajanan,” lanjut teman Adam seraya
menyodorkan uang.
“Wow wow wow, siapa bilang kau boleh menyuruh dia seenaknya?” sela
Adam segera.

99
“Oh, tidak boleh, ya? Kalau begitu aku akan mencari pesuruhku sendiri
besok.”
“Di mana kau akan mencarinya?” Teman Adam yang lain menyambar.
“Banyak anak-anak payah di kelas satu, aku tinggal menutup mata dan
menarik satu secara acak.”
Orang itu menyikut temannya di sebelah sambil terkekeh, mereka pikir
menyebut orang lain payah adalah lelucon. Sekali lagi aku melirik Adam—
Teman-teman membantu di saat sulit, ya?—Namun, lagi-lagi ia hanya diam.
“Masa bodoh dengan kelakuan kalian. Asal jangan sentuh anak ini, atau
kalian berurusan denganku!” Dia menjawab pelan.
“Jadi, kalian memperbudak adik kelas?” tanyaku ketus. “Benar-benar
pengecut!”
Mereka berhenti tertawa seketika. Bahkan Adam terlihat terkejut dengan
perkataanku.
“Lihat siapa yang bicara! Hey, Adam, sepertinya budakmu rusak!”
“Berani betul dia dengan kakak kelas. Dasar tidak sopan!”
“Heh, bocah! Jangan mentang-mentang Adam melindungimu kau jadi
sombong. Dia tidak akan berada di sisimu terus, tahu?” oceh teman Adam.
Sepertinya dia yang paling banyak bicara—tipe manusia yang selalu berhasil
menyulut emosiku. Aku mengepalkan tangan sekuat mungkin untuk menahan
amarah.
“Dengan atau tanpa Adam aku tidak takut denganmu!”
“Masa?” Anak-anak berandalan itu bersorak bersama. “Anak yang sangat
pemberani!”
Si tukang banyak bicara mencengkram kerah kemejaku, lalu menariknya
untuk berbisik. Aku bersumpah bau napasnya setara dengan bangkai tikus.
“Dengar ya, Bocah! Mulai sekarang hati-hati jika jalan sendirian, jangan
sampai bertemu denganku. Karena kalau itu terjadi, aku akan ....”
Pemuda itu terpelanting ke belakang dengan hidung berdarah bahkan sebelum
menyelesaikan ucapan. Aku memperhatikan tanganku yang terkepal, tapi masih di
tempat semula. Hantaman itu ternyata datang dari Adam.

100
“Sudah kubilang jangan macam-macam dengannya, atau kau berurusan
denganku, Bodoh!” geram pemuda itu seraya mengelus kepalan tangannya.
Aku tidak tahan lagi berada di tempat antah berantah ini. Setelah
menyelempangkan tas pada bahu aku berlari meninggalkan tempat itu.
“Ilyas, kau mau pergi ke mana?” Adam berseru.
Aku mendengar pemuda itu mengancam temannya untuk yang terakhir kali.
Apapun yang dikatakannya aku tidak peduli. Kakiku tetap terpacu secepat
mungkin, orang-orang yang berkerumun semakin banyak membuat serangan
kegelisahanku kambuh, bisa gila jika terus-terusan berada di sana.
***
“Ilyas, berhenti! Kau dengar aku? Ini perintrah!” Adam berseru.
Kami sudah tidak lagi kejar-kejaran sepertu kucing dan tikus, dan dia berada
tepat di belakangku sekarang. Saat aku tak kunjung menoleh, pemuda itu menarik
lenganku, memaksa kami saling berhadapan.
“Berhenti mengikutiku, Adam! Aku tahu kau jagoan, aku tahu kau populer,
tapi aku tidak peduli! Sama sekali tidak! Berhenti membuatku menjadi sepertimu.
Aku tidak mau menjadi dirimu!” kataku meledak-ledak.
“Aku berusaha melindungimu, ya ampun!” balas Adam.
“Dengan menjadikanku budak, merendahkanku di depan teman-temanmu?
Atau dengan menjadikanku pusat perhatian? Kau tahu aku paling benci itu!”
“Dengan membuatmu berada di dekatku!” ralatnya. “Kau tahu mereka itu
preman-preman sekolah yang suka menindas adik kelas, dan mereka itu teman-
temanku. Jika kau terus di sisiku, mereka tidak akan berani menindasmu!”
“Kau membuatku terlihat seperti pengecut.” Nada bicaraku melunak.
“Mau bagaimana lagi? Satu-satunya cara terhindar dari preman-preman itu
adalah membuat kelompok yang lebih kuat, sedangkan kau tidak mempunyai satu
pun teman, bahkan tidak mengenal nama siapa pun di sekolah. Siapa lagi yang
akan melindungimu selain aku?”
Aku terdiam mendengar penjelasan itu. “Alih-alih menyelamatkan, teman-
temanmu adalah biangnya masalah.”

101
Adam mengangkat bahu menanggapi sindiranku. “Baiklah aku akui,
sepertinya aku salah memilih teman.”
Setelah hening beberapa detik, aku mendekati kakakku dan menyentuh
bahunya.
“Adam, kau adalah orang yang mudah bergaul, lain denganku yang
penyendiri. Banyak orang menyukaimu, sedangkan banyak orang justru tidak
menyadari keberadaanku.”
“Memang, kau dan aku adalah dua kepribadian yang berbeda, tapi ada satu
kesamaan di antara kita.” Aku menekankan kata-kataku. “Tidak ada yang berani
macam-macam dengan kita.”
“Percayalah, Adam, kau tidak perlu khawatir. Aku bisa menjaga diri.
Mungkin aku tidak sepopuler dirimu, tapi aku juga tidak akan membiarkan orang
berlaku semena-mena. Kau sudah mengajariku tentang itu sejak kita kecil.”
Ekspresi Adam benar-benar lucu saat aku mengatakan semua itu. Dia
tercengang karena takjub, tapi juga ada rasa takut, dan haru yang tersirat.
“Ya ampun, Ilyas. Darimana kau belajar semua kalimat itu?”
“Aku tidak sepenuhnya masih kecil, kan?”
Adam mengacak rambutnya sendiri sambil terkekeh kecil.
“Aku rasa kau benar. Maaf. Aku hanya belum terbiasa melihat adik kecilku
tumbuh secepat ini,” katanya penuh haru. “Sekarang aku justru dinasehati adikku
sendiri.”
Aku memutar bola mata, lagi-lagi berlebihan. Pemuda itu menepuk kepalaku.
“Kalau sudah begini, rasanya aku bisa memercayaimu,” Adam melanjutkan.
“Tapi, kau masih harus mempunyai teman, tahu?”
“Aku akan punya teman jika saatnya sudah tiba, untuk sekarang rasanya lebih
enak menyendiri, daripada asal berteman lalu salah pergaulan ...,” jawabku seraya
melirik Adam penuh arti.
“Beraninya kau menyindirku. Aku abangmu, tahu!” Dia memiting kepalaku
dan menjitaknya beberapa kali.
Aku balas menjawil telinganya, hingga ia meringis, dan melepaskan
kepalaku. Kami mulai saling menepak kepala. Dia beruntung karena memiliki

102
tubuh lebih tinggi, tapi aku tidak kalah gesit. Setelah puas menyakiti satu sama
lain, Adam kembali merangkulku dan membimbing kami berdua menuju jalan
pulang.
“Kau tahu, Ilyas ... tidak peduli seberapa tua umurmu nanti, kau akan tetap
menjadi adik kecilku,” ujar Adam. “Aku akan selalu di sana untukmu, dan kau
tidak boleh protes.”
“Terima kasih,” jawabku akhirnya.
Hari sudah menjelang malam, kami melangkah pulang masih saling
berangkulan. Dari sini aku menyadari betapa sayangnya Adam kepadaku,
mungkin aku harus mulai merasakan hal yang sama. Namun, di sisi lain
menyadari diriku tidak akan pernah bisa terbebas dari kakak yang posesif ini, agak
mengerikan juga.
***

The Greatest Place


“Dia sudah mendapatkannya.”

103
“Victoria, Ibu tidak percaya kamu masih tidur! Hari ini ada kompetisi
berkuda, ingat?”
Gadis yang sedang berbaring di ranjang mengernyit silau saat sang ibu
membuka gorden. Wanita itu lantas menarik paksa anak perempuannya sampai
terduduk, lalu menepuk-nepuk pelan pipinya agar ia membuka mata lebih lebar.
“Cepat mandi dan bersiap. Lima belas menit harus sudah beres!”
Victoria mengusap wajah malas, setelah dipaksa melakukan peregangan
sampai larut malam hingga seluruh persendiannya nyeri, ia berharap bisa istirahat
lebih lama, setidaknya sampai pegal-pegal di persendian ini hilang seutuhnya.
Setelah merebahkan kepala beberapa detik lagi, gadis itu akhirnya bangkit dan
masuk ke kamar mandi. Sudah lima menit terlewat, berarti sisa sepulu menit lagi.
Namun, Victoria tidak terlalu memikirkannya.
***
Dua puluh menit kemudian, Victoria muncul di hadapan keluarganya dengan
seragam berkuda lengkap berwarna putih, dengan rambut dikepang dua, dan ikat
pinggang hitam. Lengan kirinya menenteng sebuah pelindung kepala berwarna
cokelat gelap. Sang ibu sudah menautkan alis, siap mengomel akibat
keterlambatan sepuluh menit itu, tapi gadis lain yang berwajah bak pinang di
belah dua dengannya segera berseru.
“Nah, ini dia calon juara kita!” Veronica bertepuk tangan kecil dengan riang,
ia adalah kakak Victoria yang usianya terpaut tujuh tahun.
Victoria membuat salam hormat ala putri kerajaan untuk menyembunyikan
rasa tersanjungnya.
“Sini duduk di sebelah Ayah.” Pria paruh baya yang rambut klimisnya di
dominasi warna perak ikut bicara. Saat gadis itu duduk, sang ayah segera
mencium puncak kepalanya.
“Sudah siap untuk kompetisi?”
“Entahlah, Ayah, aku sangat gugup,” jawab Victoria, murung.
“Kenapa? Kau adalah penunggang kuda yang andal. Ayah yakin kau akan
mendapatkan medali hari ini.”

104
“Bukan sekadar medali, tapi medali emas,” sambar sang ibu. “Benar, kan,
Victoria?”
Senyum pada wajah Victoria memudar, dan suasana di meja makan seketika
hening, sampai Ayah berdeham.
“Apa pun medali yang didapat Victoria akan tetap membanggakan ayahnya,”
ujar pria itu seraya menjawil dagu sang anak, dan membuatnya tersenyum
kembali.
“Percuma berlatih keras selama berminggu-minggu jika tidak mendapatkan
posisi terbaik,” ketus sang ibu, “dan posisi terbaik, pastinya yang pertama.”
Sang ayah melempar tatapan tajam kepadanya. “Sudahlah, Emma.”
“Apa? Aku hanya mengingatkan.” Wanita itu beralih kepada Victoria.
“Habiskan sarapanmu, dan minum vitamin.”
“Ibu, aku sudah meminum vitamin itu semalam ...,” keluh Victoria, melihat
segelas minuman kental berwarna hijau yang rasa pahitnya menempel di
kerongkongan.
“Itu vitamin yang berbeda!”
Gadis itu menatap sang ayah dengan pupil mata melebar, meminta
pertolongan.
“Victoria pergilah keluar, sepertinya bis jemputanmu sudah datang.”
“Benarkah? Baiklah aku pergi dulu!” Ia meneguk susu secepat mungkin,
lantas mencium pipi ayah dan kakak perempuannya lalu pergi dari ruang makan.
“Kenapa kau lakukan itu, Emma?” tukas Niel.
“Aku memberi vitamin agar staminanya stabil selama kompetisi
berlangsung,” jawab sang istri cuek.
“Bukan ... maksudku semua kata-kata itu, nada bicaramu. Untuk apa semua
itu?”
“Agar anak itu mempunyai tekad menang, dia harus tahu kalau kompetisi ini
benar-benar penting untuknya!”
“Tekad menang apanya? Kau justru memberinya tekanan, dan membuatnya
gugup, tahu!”

105
“Aku hanya menginginkan yang terbaik untuk anakku. Bukan seperti kau
yang bisanya memanjakan saja! Pokoknya kali ini biar aku yang menentukan
bagaimana masa depan anak kita, aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama
pada Victoria.”
Veronica mendorong kursi dengan kasar, menatap sinis pada sang ibu. “Aku
akan menyusul Victoria,” katanya seraya membawa sepotong roti isi.
Pasangan suami istri itu saling melempar tatapan menyalahkan. Jika tadi
suasana meja makan terasa canggung, sekarang bertambah canggung dengan
perginya anak-anak. Tak lama, Niel—sang suami—memutuskan untuk ikut
meninggalkan meja makan, menyisakan sang istri yang kesusahan menelan
sarapan karena perasaan bersalah.
***
Veronica menyusuri lapangan gersang demi menghampiri adiknya. Gadis itu
sedang mengelus surai seekor kuda putih dengan bercak hitam di seluruh
tubuhnya, sambil sesekali membisikan sesuatu.
“Hai, Vee ....” Veronica ikut mengelus surai si kuda. “Bagaimana keadaan
Freckles?”
“Kondisinya sangat prima, kepercayaan dirinya tinggi, dan matanya
menunjukan kalau ia mendapatkan cukup istirahat,” jelas Victoria, “Dia kuda
terbaik benar, kan, sobat?”
Freckles meringkik girang.
“Tidak seperti penunggangnya ....”
“Kau baik-baik saja, Vee?” tanya Veronica seraya mengelus bahu sang adik
yang tiba-tiba murung.
Victoria menghela napas kasar. “Tidak, Vero ... aku sangat gugup. Sekeras
apa pun meyakinkan diri bahwa aku tidak gugup, perasaan itu tetap ada, bahkan
mendominasi diriku saat ini.”
“Kau penunggang andal yang menunggangi kuda terbaik. Satu-satunya yang
harus kau khawatirkan adalah kekalahan lawanmu.”

106
“Aku setuju, beruntungnya aku mempunyai kuda sehebat Freckles.” Si kuda
mendengus saat Victoria mengelus lehernya. Gadis itu terdiam beberapa detik
sebelum melanjutkan.
“Hanya saja kolega perusahaan ayah dan ibu akan hadir dan menyaksikan
pertandingan ini. Ibu akan membunuhku kalau tidak mendapatkan emas.”
“Hey, tidak ada yang akan membunuhmu!” entak Veronica. “Siapa peduli
medali apa yang akan tergantung di lehermu nanti.”
“Ibu peduli.”
“Jangan dengarkan kata ibu. Fokuslah pada dirimu, dengarkan detak
jantungmu dan kudamu. Berdua kalian akan jadi peserta yang terhebat, benar kan,
Freckles?”
Lagi-lagi Freckles meringkik senang mendengar dirinya disinggung-
singgung, kuda itu bahkan menyeruduk pelan tubuh Victoria dengan kepalanya.
“Lihat, kan. Kudamu memercayaimu, lakukanlah hal yang sama.”
“Dan ingat, apa pun medali yang kau dapatkan nanti, kita akan memajangnya
dengan pigura terindah, dan menggantungnya pada tempat di mana semua orang
bisa lihat. Ya?”
Victoria akhirnya tersenyum dan memeluk kakaknya. Mereka melihat sang
ayah melambai dari pinggir lapangan, menyuruh Veronica untuk segera
menghampiri. Berbarengan dengan suara peluit nyaring, menandakan kompetisi
akan segera dimulia. Semakin jauh ayah dan kakaknya melangkah semakin gugup
juga Victoria, apa lagi sang ibu masih berdiri di pinggir lapangan, memberikan
tatapan yang mengintimidasi, sampai akhirnya seorang pengawas
membimbingnya ke tribun penonton. Gadis itu menarik napas panjang dan
mengembuskannya perlahan.
“Baiklah, Freckles, ayo kita lakukan!”
Kuda besar itu kembali meringkik, menggelengkan kepala saat Victoria
memanjat ke punggungnya. Bersama, mereka menghampiri kandang yang sudah
tersedia di sisi lain lapangan, menunggu giliran mereka tampil.
***
“Pada posisi ketiga, beri tepuk tangan untuk, Rosema Duff ....”

107
“Posisi kedua, beri tepuk tangan untuk, Victoria Baker ....”
“Itu putri kita!” Niel mengeluarkan ponsel dan segera merekam momen itu.
Victoria dari podium melambaikan tangan pada kamera, sambil memamerkan
piagam dan medali peraknya. Sang ayah memberikan cium jauh penuh cinta serta
rasa bangga. Pria itu mengalihkan kamera kepada sang istri yang sedang menatap
podium dengan ekspresi datar.
“Emma, lihatlah ke kamera!” panggil sang suami.
Wanita itu menoleh, menyunggingkan sedikit senyum, nyaris tidak terlihat.
“Gadis kecilku mendapatkan posisi kedua dalam kompetisi berkuda yang
tersohor ini ....” Niel berbicara pada kamera dengan riang.
“Hanya karena satu antukan pada tiang,” gumam Emma. “Aku akan
mengajukan protes kepada juri!”
Niel buru-buru mematikan ponselnya. “Emma, sudahlah! Berhenti menjadi
terlalu ambisius!”
“Memang kenapa? Itu bukan sesuatu yang buruk! Seharusnya Victoria bisa
melakukan lebih dari itu, dia kan sudah berlatih keras!” kilah Emma. “Lihatlah,
pemenang pertamanya anak dari penyelenggara kompetisi ini, mereka pasti
berbuat curang!”
Malas mendengarkan celoteh sang istri, Niel meninggalkannya, lebih memilih
menghampiri sang anak di podium. Veronica sudah lebih dulu ada di sana, mereka
lantas melepas pelukan ketika melihat sang ayah.
“Putri kebanggaanku,” ujar Niel seraya mengecup kening Victoria.
“Kebanggaan apanya, aku tidak mendapatkan emas,” ujar gadis itu dengan
murung.
“Terus? Perak terlihat jauh lebih elegan, dan cocok denganmu.”
Victoria tertawa saat sang ayah dan kakak perempuannya begitu semangat
berfoto dengan gaya-gaya lucu. Kemudian ia melihat sang ibu mendekat. Ia
tersenyum begitu lebar, melihat ayah dan kakaknya begitu gembira, mungkin saja
sang ibu merasakan hal yang sama. Gadis itu sengaja mengangkat piagamnya
lebih tinggi, penasaran apa yang akan dikatakan sang ibu.
“Kau berkeringat sekali, ayo ganti pakaian.”

108
Senyum pada wajah Victoria menghilang total. Ia mengangguk paham lalu
mengikuti langkah sang ibu.
“Tunggu dulu, bagaimana kalau sepulang dari sini kita makan di restoran ikan
kesukaan Victoria?”
“Setuju!” sambar Veronica. “Kita buat acara perayaan.”
“Perayaan apa?” tanya Emma.
“Perayaan untuk medali perak Victoria tentunya.” Niel kembali menggamit
dagu anaknya. “Ayolah, Vero, kita memesan meja. Pemenang harus mendapat
tempat duduk terbaik.”
“Kami menunggu di sana ya. Dadah, Vee!”
Niel dan putri sulungnya saling rangkul menuju mobil. Sementara Emma
menarik lengan Victoria kembali.
“Ayahmu selalu saja berlebihan. Apa yang mau dirayakan, kau bahkan tidak
mendapatkan posisi pertama.”
Victoria hanya bisa menundukan kepala. Hatinya terasa sesak sampai
matanya berkaca-kaca. Sang ibu tidak marah ketika mengatakan itu, tapi lebih
buruk, nadanya terdengar begitu ketus, dan Victoria yakin sang ibu serius dengan
semua kalimat itu.
“Ibu rasa kau tidak akan pernah mendapatkan posisi terbaik meski berlatih
sekeras apa pun.”
Dengan sekali entakan, Victoria menepis rangkulan sang ibu.
“Aku minta maaf jika belum bisa menjadi anak yang Ibu inginkan,”
bentaknya. “Tapi haruskah Ibu mengatakan semua itu kepadaku?”
“Apa maksudmu, Victoria?”
Gadis itu menyeka mata yang berair, lantas menunjukan medali perak tepat di
depan wajah sang ibu.
“Aku mendapatkan posisi kedua, Bu! Tidakkah itu membuat Ibu senang
sedikit saja?”
“Tentu saja Ibu senang ....”

109
“Lalu kenapa tidak memberiku ucapan selamat? Aku menatap Ibu,
menunjukan medali perakku, aku mengharapkannya, aku ingin mendengar ucapan
itu dari ibu!”
“Ibu bangga padamu, Sayang!”
“Bohong! Aku harus selalu sempurna agar bisa membuat Ibu senang, kan?
Ibu ingin aku menjadi seperti yang ibu mau, kan? Aku belum bisa, Bu, mungkin
tidak akan bisa! Sekali lagi aku minta maaf!”
“Victoria kecilkan suaramu!”
“Tidak peduli sekeras apa mencoba, aku tidak bisa menjadi sempurna! Apa
Ibu tidak bisa menerimaku apa adanya?”
Emma berusaha merangkul kembali anaknya, masih banyak orang di sekitar,
ia tidak ingin menjadi buah bibir, tapi gadis itu terus menepis. Di akhir
perdebatan, Victoria berlari menjauh dari sang ibu.
“Victoria!”
Gadis itu tidak memedulikan seruan ibunya. Sambil berlari, Victoria
menangis tersedu-sedu, ia tidak yakin ingin pergi ke mana, ayah dan Vero sudah
pergi, tidak ada lagi tempat mengadu. Untuk sekarang, ia hanya ingin sendirian.
Saat menoleh ke belakang, ternyata sang ibu masih mengejar. Victoria memacu
kaki lebih cepat. Ia melihat sebuah gubuk tua di seberang jalan, dan memutuskan
untuk bersembunyi di sana. Jalan yang sepi membuatnya tak ragu untuk
menyebrang.
Namun, jalan itu tidak benar-benar sepi. Sebuah mobil melaju begitu cepat.
Klaksonnya berbunyi begitu nyaring. Victoria bahkan tak sempat menoleh saat
besi beroda empat itu menerjang tubuh kecilnya. Ia tidak bisa berteriak, tidak bisa
melihat jelas, bahkan tidak merasakan apa pun saat tubuhnya terguling di tanah.
Suara teriakan justru datang dari jauh. Suara itu memanggil namanya.
Semakin lama, suara terdengar semakin dekat, jumlahnya bertambah dan
terus bertambah, meski hanya satu suara yang terdengar paling keras. Setelah
menjadi sangat bising, satu per satu suara mulai menghilang. Hening dan semakin
hening. Sampai hanya satu suara yang tersisa. Suara yang terdengar paling pilu

110
dan penuh penyesalan. Suara itu menemaninya sampai dunia menjadi sehitam
tinta.
***
Medali perak itu sudah terpajang dengan pigura terbaik, dan juga sudah
digantungkan pada tempat di mana semua orang bisa melihatnya. Namun, di atas
pigura indah berisi medali perak berkilau, terdapat pigura yang bahkan lebih
indah, menampakkan sosok seorang gadis berusia dua belas tahun sedang
tersenyum manis. Senyum yang mampu menghipnotis orang lain untuk ikut
tersenyum, tidak peduli sekacau apa keadaan saat itu.
Biasanya keluarga Baker akan berhenti sejenak untuk mengaggumi pigura-
pigura itu, dan memanjatkan doa untuk gadis di dalamnya. Namun, hanya Emma
yang mampu bertahan berjam-jam di tempat itu. Ia akan menatap foto sang anak
begitu lama sebelum akhirnya menangis, sampai tidur kelelahan. Sekarang
Victoria sudah bisa menjadi seperti yang ia inginkan. Gadis itu telah mendapatkan
posisi terbaik. Di atas sana bersama Tuhan.
***

111
Aunt Moo
“Senangnya melihat kelaurgaku tumbuh, tak ada ibu sebaik Aunt moo.”

Terkisah seorang wanita paruh baya yang ramah dari desa Corney. Penduduk
desa memanggilnya Aunt Moo karena ia memelihara seekor sapi yang sama
gempal dengannya. Aunt Moo tidak pernah menikah, tapi ia memiliki empat
orang anak yang sangat menyayanginya. Mereka yang nasibnya tidak seberuntung
anak desa lain yang selalu mendapatkan kado besar di bawah pohon natal mereka.
Ada Barney, anak lelaki pertama yang Aunt Moo temukan di dalam kandang
sapi, wajah tampannya tersamarkan akibat kotoran debu, tanah, dan jerami yang
menyelimuti seluruh badan. Bocah itu lebih terlihat seperti orang-orangan sawah,
mungkin orang-orangan sawah terpayah karena tidak mungkin ada burung gagak
yang takut dengan ukuran tubuhnya.
Lalu ada Jack dan Jill, anak kembar yang wanita itu temukan sedang mengais
tempat sampah depan kedai demi makanan. Alih-alih makanan, yang mereka
temukan justru berbagai kulit pisang, botol soda, bahkan tulang-tulang ayam yang
remuk karena tikus lebih dulu menemukannya. Padahal keduanya adalah anak-
anak yang manis, mereka tidak pantas seperti ini, tidak ada anak-anak yang
pantas. Jadi Aunt Moo membawa mereka.
Terakhir ada Loona yang tubuhnya penuh abu saat ditemukan, dia anak
perempuan yang sangat pemberani, tingkah lakunya persis laki-laki sehingga tidak
segan melakukan banyak pekerjaan. Sayang, karena tubuh kecilnya, gadis malang
itu tidak pernah melakukan pekerjaan dengan benar, bukannya mendapat imbalan,
malah menerima makian, tak jarang juga sabetan gagang sapu atau kemoceng.
Aunt Moo dan anak-anak membangun satu keluarga kecil yang harmonis.
Mereka selalu terlihat bahagia meskipun hidup dalam kesederhanaan. Setiap hari
Barney dan Jack memerah susu sapi. Mereka bisa menghasilkan empat botol susu
setiap harinya. Tiga botol untuk dijual dan satu untuk mereka bagi bersama. Uang
hasil penjualan susu akan dibelikan bahan makanan, dan anak-anak perempuan
akan memasaknya bersama Aunt Moo. Setelah itu, mereka makan bersama sambil
bercanda ria.

112
Jam tidur menjadi saat-saat terbaik bagi anak-anak. Mereka akan berbaring
sejajar pada ranjang besar yang menjadi sempit karena diisi oleh empat anak
sekaligus. Aunt Moo akan menyelimuti mereka dengan kain tipis rajutan sendiri,
lantas mulai membacakan dongeng. Kisah yang Aunt Moo ceritakan pasti
menarik, apa lagi selalu ada ciuman selamat malam yang penuh cinta setelahnya,
tidak ada satu pun yang bermimpi buruk.
Semua berjalan sebagaimana mestinya, sampai suatu hari musim kemarau
panjang menyerang. Kemarau panjang membuat ladang rumput mengering,
bahkan sungai ikut kerontang. Akibatnya, sapi peliharaan mereka mati, satu-
satunya sumber penghasilan mereka telah tiada.
“Apa yang harus kita lakukan, Aunt Moo?” tanya Barney mewakili yang lain.
“Jangan risau, persediaan susu masih banyak. Kalian jual beberapa botol dan
belilah sekantung bibit, kita akan berkebun.” Wanita itu membalas setenang
mungkin.
Rencana tinggal-lah rencana, bibit yang mereka tanam tidak pernah tumbuh
akibat tanah yang mengering. Persediaan susu semakin habis sementara mereka
belum punya penghasilan lain untuk mengisi lima perut yang kelaparan. Saat
persediaan benar-benar habis, Jill malah jatuh sakit. Ketiga saudaranya
mengelilingi, berusaha membuat anak itu tertawa setelah merintih semalaman.
“Dia lapar, dan perutnya tidak akan terisi dengan wajah konyolmu!” bentak
Loona pada saudaranya yang sedari tadi mencoba menghibur Jill.
“Setidaknya aku mencoba,” lirih Barney.
“Kalau Jill tidak segera makan, dia bisa mati seperti Dasy,” celetuk Jack,
teringat sapi mereka satu-satunya.
Loona segera menoyor kepalanya, “Jangan asal bicara!”
“Barney!”
Si pemilik nama segera menghampiri saat Aunt Moo menyerukannya. Aunt
Moo memberikannya beberapa recehan, ada juga uang kertas yang sangat lusuh.
“Belilah biji kacang hijau di pasar.”
“Tapi ... ini tabunganmu untuk membeli sapi baru,” imbuh Barney, sendu.

113
“Kita tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada Jill, kan?” ujar Aunt Moo
sementara Barney menggeleng keras. “Kalau begitu lakukanlah ... Semua akan
segera membaik.” Ia mengelus puncak kepala Barney yang masih terlihat tidak
rela, sampai ahirnya anak itu mengangguk, dan segera berlari ke pasar.
Uang yang diberikan ternyata hanya cukup untuk membeli satu kantong kecil
kacang hijau. Aunt Moo memasak kacang hijau itu dengan air yang banyak
sehingga bentuknya lebih mirip sup. Pagi ini mereka bisa sarapan. Namun, saat
malam tiba, semua makanan sudah tercerna sempurna, dan perut mereka lagi-lagi
kosong. Jack menghampiri Aunt Moo yang sedang melamun di depan jendela,
dan menarik gaunnya.
“Aunt Moo, Kakak-kakak mengeluh lapar ... Aku juga lapar.” Bocah itu
berbisik.
Bahkan Jack bisa menyadari raut Aunt Moo tertekuk khawatir, kelelahan,
sebelum ia tersenyum tipis, lantas menggandeng anak itu, dan menidurkannya di
ranjang bersama saudara-saudara yang lain. Wanita itu mulai menceritakan
dongeng. Malam ini dongeng yang diceritakan sedikit lebih panjang, memang
sulit tidur dalam keadaan perut lapar. Selepas anak-anak tidur. Aunt Moo kembali
ke depan jendela, kali ini kepalanya menengadah ke langit dan kesepuluh jarinya
saling bertautan.

Tuhan, Aku menginginkan sesuatu.


yang lebih besar dari mimpi.
yang lebih kuat dari harapan.
Aku menginginkan keajaiban.
Cintaku layak mendapatkan lebih dari ini.

Setitik air mata jatuh dari kelopak sayunya, ia melirik anak-anak yang tertidur
pulas, wajah-wajah itu yang menguatkannya selama ini, senyum dan tawa mereka
yang memberinya ketabahan, bahkan di saat seperti ini. Ketabahannya tidak serta-
merta datang begitu saja. Wanita itu memejamkan mata, roda pasti berputar,

114
berdoa lebih khusuk, bekerja lebih keras. Semua pasti membaik. Begitu jendela
tertutup, sebuah bintang jatuh melintas begitu cepat.
***
Pagi ini desa Corney sangat ramai membicarakan kereta dagang dari kota.
Kabar mengatakan kereta itu menawarkan siapa pun yang ingin memperbaiki
hidup untuk ikut merantau.
“Ini kesempatan besar, Aunt Moo!” ujar Barney bersemangat. “Aku akan
ikut. Aku akan memperbaiki hidup kita!”
“Barney, apa kau yakin? Kota adalah tempat yang keras,” kata Aunt Moo.
“Tidak jauh berbeda dengan keadaan di sini kurasa.”
“Tidak ada yang kau kenali di sana!”
“Aku akan ikut Barney ke kota, bersama Jill dan Loona. Kami semua akan
pergi!” Jack menyambar.
“Apa?” lirih Aunt Moo.
“Kita tidak akan kesepian di sana, kita bisa saling menjaga seperti di rumah.
Dan kita akan mengirim uang untukmu setiap bulannya, Aunt Moo. Kau tidak
perlu lagi bekerja sampai larut, tidak perlu lagi mengepel rumah orang-orang.”
“Apa kalian berniat membunuhku!” jerit Aunt Moo, membuat semuanya
terdiam. “Bisa-bisanya kalian meninggalkanku setelah kurawat sejak kecil. Apa
kalian tidak memikirkan perasaanku!”
Wanita itu bersimpuh pada lantai dengan kedua tangan menutupi wajah. Dia
menangis.
“Aku bahkan tidak mau membayangkan, menjalani hari-hari tanpa kalian ....”
Barney dan ketiga saudaranya mendekati ibu angkat mereka, lantas ikut
duduk sambil merangkulnya.
“Meski raga kami jauh, tapi hati kami tetap untukmu, Aunt Moo,” gumam
Barney yang memang selalu menjadi juru bicara. “Kami juga tidak ingin
menyusahkanmu lebih lama lagi.”
“Kalian tidak pernah menyusahkanku ....”
Keempat anak itu merangkul lebih erat. “Izinkan kami membalas kebaikanmu
selama ini.”

115
“Lalu, siapa yang akan mendengar dongengku di malah hari? Siapa yang bisa
menghiburku saat aku jatuh? Siapa yang bisa menguatkanku?”
“Kami tidak akan pernah melupakanmu, Aunt Moo. Kami pasti akan sering-
sering berkunjung, bahkan kami akan mengirim surat setiap hari,” sambung
Loona.
Aunt Moo masih terlihat tidak ikhlas, ia termenung beberapa detik berusaha
mengatur napas setelah sesegukan, tapi tak lama wanita itu menyeka mata dan
menarik otot menjadi seulas senyum.
“Aku mengerti ... pergilah anak-anakku. Kejarlah mimpi kalian.”
Dengan itu, keempat anak Aunt Moo yang masing-masing berusia 15-17
tahun ikut dengan kereta barang dan merantau ke kota. Hari-hari Aunt Moo terasa
sangat sepi tanpa keempat anak kesayangannya, hari berganti minggu, minggu
berganti bulan. Rasanya seperti ratusan tahun. Suatu hari di akhir bulan, pak pos
datang membawa sebuah amplop yang tebal. Ternyata kiriman dari kota, isinya
surat tangan dari masing-masing anak beserta uang pemberian mereka.
Aunt Moo sangat senang. Bukan karena uang yang ia terima, melainkan
empat surat yang isinya mencerminkan ungkapan rindu dari masing-masing
anaknya. Meskipun pembukaan dan isi surat yang berbeda-beda, di akhir surat
mereka menuliskan sebuah puisi yang sama.

Separah apapun luka yang pasti sembuh.


Berkat peluk dan cium yang tulus darimu.
Bahagianya saat melihat keluargaku tumbuh.
Tak ada ibu sebaik Aunt Moo.
***

116
Regret
“Di mana kau saat aku membutuhkanmu?”

“Kita main game ‘pilih cepat’, yuk?” Seorang gadis berkuncir dua memberi
usul. “Siapa yang mau mulai duluan?”
Keempat temannya saling tunjuk dengan ricuh. Namun, gadis lain yang
terlihat paling tenang mengacungkan tangan—menawarkan diri.
“Oke, Vidya duluan, ya!”
Semua orang serempak diam ketika Ashlin—gadis yang mengusulkan
permainan—mengusap dagu, berpikir.
“Coklat atau vanila?” Ia memulai.
“Vanila!” jawab Vidya mantap.
“Rok atau celana?”
“Rok!”
“Manis atau asin?”
“Asin!”
“Tampan atau Kaya?”
Vidya berpikir cukup lama, lalu menyeringai. “Kaya!”
Jawaban itu membuat ketiga anak-anak laki-laki yang bermain bersama
mereka menjadi ricuh, menyerukan kata “Matre” kepada gadis itu.
“Apa?” Ia membalas sambil terkekeh. “Makan wajah tampan tidak akan
kenyang, tahu!”
“Baiklah-baiklah, sekarang pertanyaan yang paling susah,” kata Ashlin. Ia
membuat suaranya menjadi lebih rendah dan mencekam.
“Abi atau Rey?”
Lagi-lagi semuanya bergumam rendah. Abi adalah sahabat Vidya sejak kecil,
sedangkan Reyhan adalah kakak kandungnya sendiri. Kira-kira siapa yang akan
gadis itu pilih. Dua orang yang namanya disebut pun harap-harap cemas, diam-
diam ingin namanya disebut. Mereka pikir akan cukup lama menunggu Vidya
memutuskan dua pilihan ‘sulit’ itu, tapi ternyata gadis itu dengan mantap
menjawab.

117
“Abi!”
“Abi?” ulang Reyhan dengan nada tidak terima, “kenapa?”
“Karena dia memang pantas dipilih,” balas Vidya tiba-tiba menjadi sedingin
es.
“Wah baru kali ini ada adik yang sedingin itu sama abangnya,” sindir
Reyhan. “Hey, kalau bukan aku, yang menjagamu nanti siapa?”
Tangan pemuda itu terulur untuk menjitak adiknya, tapi Vidya segera
menepis, terlihat sangat terganggu.
“Asal tahu saja ya, Pak! Banyak orang yang menjagaku selama ini ...,” gadis
itu merangkul lengan kedua temannya di sisi kiri dan kanan. “Rudy selalu
menjagaku, Ashlin apa lagi. Oh tapi, Guardian Angel-ku yang terbaik adalah
Abi,” lanjutnya seraya memeluk pemuda itu dengan erat.
“Kalau bukan karena Abi, masa kecilku akan terasa seperti di neraka.” Vidya
mengatakan semua itu dengan penuh nada sindiran.
“Mentang-mentang sudah banyak teman jadi sombong ya sekarang,” imbuh
Reyhan, gerak-geriknya sudah tidak enak sejak tadi.
“Sejak kapan kau peduli aku punya teman atau tidak.”
Suasana menjadi canggung. Mereka tahu hubungan Vidya dan kakaknya
tidak terlalu baik, entah apa yang terjadi di antara mereka. Meski begitu keduanya
tidak pernah menonjolkan permusuhan itu di depan teman-teman. Sekarang
mereka malah melakukannya ketika sedang berkumpul bersama, saat-saat yang
seharusnya penuh canda-tawa dan keseruan. Perubahan wajah Reyhan sangat
kentara saat ia mengusap wajah dengan kedua tangan. Tidak ingin suasana
menjadi lebih buruk, pemuda itu bangkit dan berpamitan kepada yang lain.
“Wah, kayaknya Rey terpukul banget, tuh,” bisik Ashlin.
“Biar! Siapa suruh ikut kumpul bareng teman-teman aku! Dasar sok akrab!”
Vidya melipat tangan di depan dada.
Ashlin merapikan rambut ikalnya dengan sisir kecil yang selalu ia bawa, lalu
memoles bibirnya dengan lipstick merah muda. “Aku susul dia, ah!” katanya.
“Ashlin, jangan!” Vidya memperingati.

118
“Kenapa? mungkin dia butuh teman bicara. Itu tugasku sebagai calon kakak
iparmu, Vidya.”
Rudy menarik gadis itu agar kembali duduk. “Jangan ngaco!”
“Tapi sebentar lagi dia kuliah di luar negeri! Aku mau menghabiskan waktu
berdua selama mungkin dengan cowokku!” rengek Ashlin.
Sejak pertama berkenalan, gadis centil itu langsung menyukai Reyhan,
terlihat dari ekspresi tertegun yang penuh arti seolah kedua bola matanya berubah
menjadi bentuk hati seperti di kartun-kartun. Ashlin tidak segan menunjukan rasa
sukanya di depan umum. Reyhan pun tidak pernah bilang bahwa ia menyukai
balik, tapi pemuda itu kelihatannya tidak terganggu dengan kecentilan Ashlin,
malahan terlihat menikmatinya.
Mereka sempat kencan beberapa kali, meskipun tidak pernah secara resmi
berpacaran, Ashlin begitu over protective kepada Reyhan. Terakhir mereka jalan
ke bioskop, gadis itu memelototi siapa pun yang berani menatap Rey, bahkan
cemburu kepada penjaga loket. Anehnya, seakrab apa pun Reyhan pada Ashlin
yang notaben sahabat Vidya, tidak lantas membuat sikap dingin gadis itu mencair.
“Maaf lancang, tapi ada apa sih di antara kalian?” Pemuda itu berkata dengan
takut-takut, sebelah tangannya membekap mulut Ashlin yang masih merengek.
“Kamu kayaknya nggak suka sama Reyhan, maksudku ... kalian kan saudara yang
setiap hari pasti bertatap muka.”
“Aku bukannya nggak suka dia. Aku benci dia!” Ujaran itu membuat baik
Rudy maupun yang lain tutup mulut rapat-rapat. “Dan perasaan itu nggak akan
berubah selamanya!”
“Udahlah. Yuk, kita lanjut main yang lain. Rasanya tadi aku lihat permainan
seru.” Abi menengahi seraya membuka papan ular tangga.
Rudy dan Ashlin serempak menatap Abi dengan curiga—kau menyimpan
sesuatu, kan?—kira-kira begitu yang tergambar dari tatapan mereka. Namun, Abi
mengangkat bahu, tidak ingin melanjutkan pembicaraan itu. Akhirnya
kecanggungan mencair ketika keempat remaja itu melempar dadu bergantian
dalam permainan ular tangga.
***

119
Keesokan harinya, ketika Abi sedang berjalan sendirian di lorong sekolah,
sebuah tangan membekapnya, lantas menyeret pemuda itu menuju gudang
penyimpanan sapu yang sempit dan berdebu. Baru saja hendak berteriak minta
tolong, ternyata penculiknya adalah dua wajah yang sudah tak asing lagi.
“Kalian ngapain, sih?” entak Abi. “Mau minta duit? Nggak punya!”
“Kasihan ....” Ashlin mengeluarkan selembar uang lalu memasukannya ke
dalam saku Abi. “Jajan yang kenyang, ya.”
Rudy menggeleng. Baru menyadari ia dikelilingin oleh orang-orang idiot.
“Maaf, kami menculikmu, tapi kami sangat penasaran tentang Vidya dan
kakaknya,” jelas Rudy, seperti biasa dengan gaya sopan ala konglomeratnya.
“Dan kami yakin, kamu tau persis apa yang terjadi.”
“Ceritakan yang sesungguhnya! Kalau nggak, benda ini menancap di bola
matamu.” Ashlin menyodorkan ujung runcing sisirnya yang segera ditepis oleh
Abi.
“Gila, ya? Tanpa begini juga pasti aku kasih tau!” Arus wajah pemuda itu
melunak. “Sebenarnya ini memang saatnya kalian tahu. Kita sudah berteman
cukup lama.”
“Oh, kalau begitu ....” Rudy menghampiri sebuah meja dan duduk di atasnya.
“Ayo, cerita.”
“Sebelum itu apa aku harus beli camilan dulu?” celetuk Ashlin. “Minuman?
Atau popcorn barangkali ....”
“Bicara lagi, mulutmu kusumpal dengan kaus kaki olah ragaku!” balas Rudy.
“Aww, aku suka kalau Rudy sedang kesal, pipinya jadi terlihat lebih
menggembung.” Gadis itu mencubit pipi gemuk Rudy.
“Demi Tuhan, jangan sentuh aku!”
“Permisi! Bisa aku mulai cerita sekarang!” hardik Abi dengan wajah terlipat.
Keduanya tersontak, lalu membenarkan posisi duduk mereka, memberi
isyarat bahwa kali ini mereka sungguh-sungguh mendengarkan. Abi menarik
napas panjang, gayanya mirip sekali guru sejarah sekolah yang selalu
menceritakan dongeng rakyat.

120
“Semua di mulai ketika kami duduk di bangku SD. Reyhan sangat nakal saat
itu, dan sangat suka bertingkah seperti jagoan. Baginya, punya adik adalah sesuatu
yang payah, apa lagi adik perempuan, belum lagi ejekan dari teman-teman sesama
‘jagoan’. Makanya, dia sangat membenci Vidya.”
“Dahulu kulit Vidya tidak secerah sekarang, sifatnya juga sangat tertutup dan
pemalu. Mereka memanggilnya ‘bayangan’ karena kulitnya yang gelap. Tidak
puas hanya mengejek, mereka mulai menggunakan fisik, seperti menjambak dan
mendorong gadis itu sampai tersungkur. Alih-alih membela, Reyhan justru
memprovokasi teman-temannya untuk melakukan semua itu. Vidya sering
menangis, dan aku sebagai sahabatnya tentu saja harus melakukan sesuatu.”
“Aku menemaninya ketika menangis sendirian, mendengarkannya ketika
marah, berusaha membuatnya kuat kembali. Memang hanya itu yang bisa aku
lakukan, melawan Reyhan dan teman-temannya yang jauh lebih besar, mana
mungkin?”
“Saat itu Vidya tidak balik membeci Reyhan, ia justru sering mencari
perhatian dengan selalu bersikap baik kepada kakaknya. Ia yakin suatu saat
hubungan mereka akan membaik, seperti kakak beradik semestinya, saling
melindungi bukan sebaliknya. Suatu ketika, saat kami SMP. Saat itu adalah masa
datang bulan pertama Vidya. Dia memberiku pesan singkat ingin meminjam jaket
karena dia ‘bocor’.”
“Dalam perjalanan ke sana, aku melihat ada keramaian di lapangan.
Perasaanku langsung tidak enak, aku menyibak kerumunan itu dan benar saja,
Vidya ada di tengah kerumunan. Tengah menutup wajahnya yang memerah malu,
ia bahkan menangis. Langsung saja aku mengikatkan jaketku pada pinggangnya,
dan menyeret Vidya pulang. Aku sempat berteriak marah pada kerumunan,
terutama kepada Reyhan yang saat itu tertawa paling keras.”
“Ternyata sebelum aku datang, Reyhan lebih dulu menawarkan jaketnya
kepada Vidya yang tentu saja langsung menerimanya tanpa curiga, kapan lagi
kakaknya bersikap baik seperti itu, tapi ternyata itu hanya pancingan karena
sebenarnya ia mempunyai rencana busuk untuk mengerjai gadis Malang itu.
Reyhan sengaja membimbing Vidya ke tengah lapangan, lantas berseru

121
mengumpulkan banyak orang, sebelum ia menarik paksa jaket yang menutupi rok
Vidya, dan membuat ... ya kalian pasti tahu apa yang terjadi saat itu.”
“Vidya kecil yang malang,” gumam Ashlin. Sebagai sesama perempuan ia
bisa membayangkan betapa malunya Vidya saat itu.
“Vidya tidak mau sekolah berhari-hari, tentu saja aku sendiri tidak bisa
membayangkan bersitatap dengan orang-orang setelah dipermalukan habis-
habisan! Makanya orangtua Vidya memutuskan untuk memindahkannya ke
sekolah baru. Jadilah kami murid baru, dan bertemu kalian.”
“Kalian bilang pindah karena sekolah hangus terbakar menjadi abu! Ada
berapa banyak rahasia yang kalian sembunyikan dari kami?”
Abi nyengir. “Itu hanya metafora sebenarnya ... Vidya menginginkan itu
benar-benar terjadi mengingat begitu banyak kenangan pahit di sana. Nyatanya
sampai sekarang sekolah itu masih berdiri kokoh.”
“Bahkan mereka sedang memperluas wilayah, ya ....”
“Omong-omong ... semenjak kejadian itu, tidak ada lagi rasa sayang yang
tersisa dalam diri Vidya untuk kakaknya, menyadari segala perjuangannya sia-sia,
menyadari sekeras apa pun mencoba untuk menyayangi Reyhan, pemuda itu tidak
akan melakukan hal yang sama. Jadi, justru Vidya-lah yang meniru prilaku
Reyhan. Mulai saat itu ia akan balas membenci.”
“Menjaga jarak sejauh mungkin dari Reyhan, tidak pernah menatapnya ketika
kebetulan berpapasan, seolah tidak pernah kenal. Semua berjalan mulus selama
ini, Vidya baru menyadari bersikap dingin ternyata jauh lebih mudah daripada
ramah. Seiring bertambahnya umur, Vidya tumbuh menjadi lebih cantik, lebih
percaya diri, dan lebih kuat.” Abi melanjutkan.
“Sang ulat telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Itu sangat mengejutkan
bagi Reyhan, bahkan untukku. Sekarang, keadaan justru berbalik. Vidya menjadi
sangat membenci Reyhan, sedangkan Reyhan berusaha sekeras mungkin untuk
mendapatkan perhatian adiknya. Kelihatan betul saat kemarin dia ikut bergabung
dengan kita, dulu mana pernah dia begitu.”
Rudy mengusap dagu. “Sekarang semuanya jelas. Melihat dari apa yang
sudah Reyhan perbuat ... ia pantas mendapatkan semua itu.”

122
“Setuju! Keputusan Vidya sangat brilian, meskipun itu membuatnya terlihat
jahat,” sambar Ashlin.
“Percayalah, Vidya bukannya jahat. Dia hanya terlalu sakit hati, sikap baik
Reyhan sekarang justru menambah sakit hatinya,” jelas Abi. “Seolah ... Reyhan
menyayanginya hanya karena sekarang ia cantik dan populer, bukan sungguhan
dari hati.”
“Andai kita sudah berteman saat kejadian memilukan itu. Aku akan memeluk
Vidya seerat mungkin,” kata Ashlin dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak
menyangka cowok ganteng seperti Reyhan ternyata sejahat itu, aku tidak mau lagi
menjadi calon istrinya!”
“Masa?” kata Abi dengan wajah meremehkan.
“Mungkin aku masih akan mengaggumi wajahnya, tapi tidak akan mau lagi
terlalu mengejar-ngejar!” balas gadis itu, mantap.
“Tapi kamu keren sekali saat membelanya, Abi. Pantas Vidya memilihmu
saat game pilih cepat itu,” ujar Rudy.
Abi menyugar rambut. “Bagaimana, ya ... aku tidak tahan melihat seorang
perempuan menangis, apa lagi perempuan itu Vidya. Perempuan yang selama ini
aku sayangi melebihi diriku sendiri.”
Ashlin dan Rudy bersitatap cukup lama.
“Barusan itu pernyataan cinta, ya?”
***
Vidya membuka pintu kamar dengan wajah dingin karena ia tahu siapa yang
ada di balik pintu. Reyhan tersenyum di hadapannya membawa sebuah ransel di
punggung.
“Mau apa?”
“Cuma ingin bilang, aku sudah selesai beres-beres. Beberapa menit lagi jalan
ke bandara,” jawab Reyhan.
“Terus?”
“Kamu ikut ke bandara, kan? Menemani kepergian Abangmu yang akan
merantau ini.”
“Entahlah, aku banyak PR malam ini ....”

123
“Jadi PR lebih penting dariku, ya?”
Hening beberapa detik. “Tentu saja ....”
“Kau masih membenciku, ya?” lirih pemuda itu.
Vidya membalasnya dengan tatapan. Sudah jelas, kan?
“Ayolah Vidya! Tidak bisakah aku mendapatkan maaf?” entak Reyhan.
“Kejadian itu sudah sangat lama berlalu, sekarang aku sudah berubah, kan? Apa
yang membuatmu begitu membenci kakak kandungmu sendiri?”
Vidya tidak menjawab, matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih melainkan
teringat masa-masa di mana ia begitu dikecewakan oleh seseorang yang disebut
kakak.
“Bahkan Tuhan saja Maha Pengampun!”
“Tuhan adalah kesempurnaan, Rey. Dia Maha Pengampun, Maha Pengasih,
dan Maha Penyayang,” ujar Vidya. “Dia menyayangi seluruh hambanya di alam
semesta, tidak peduli seperti apa bentuk mereka.”
Vidya berbalik menatap Reyhan nanar. “Kalau aku bukan anak populer di
sekolah, dan tidak secantik sekarang. Apakah kau masih akan datang ke kamarku
untuk mengajak ke bandara saat ini?”
“Kalau aku masih Vidya yang dulu, apakah kau akan tetap bersikap baik
kepadaku?” Tanpa sadar suaranya meninggi.
Reyhan terkesiap, ia tidak bisa berkata-kata. Manik kecokelatan Vidya tiba-
tiba terasa begitu mengintimidasi untuk ditatap.
“Dulu aku masih kekanakan, Vidya. Dulu aku masih abang yang brengsek.
Aku menyesal sekarang, sungguh menyesal.” Reyhan bergumam dengan suara
bergetar. “Tidak bisakah kita memperbaiki hubungan ini? Setidaknya beri aku
pelukan sebelum pergi.”
Vidya diam seribu basa selama beberapa detik. Air matanya turun karena
luapan emosi yang begitu besar serta ingatan masa lalu yang pedih. Ia menatap
mata kakaknya lebih lama dan dalam, berharap menemukan sedikit saja rasa iba
atau rasa sayang, tapi yang ditemukannya hanyalah tatapan orang jahat,
bersembunyi dibalik topeng malaikat agar terkesan agung. Seorang penipu ulung.
Tak lama ia menyeka air matanya.

124
“Maaf, Rey. Ada satu luka yang tidak bisa diobati dalam hatiku, darah dari
luka itu telah menjadi lautan yang memisahkan kita begitu jauh. Aku belum bisa
memaafkanmu untuk sekarang,”
“Berarti masih ada harapan?”
“Semoga kau selamat sampai tujuan.” Dengan kalimat itu Vidya menutup
pintu.
Reyhan mengusap wajah, dan rambutnya frustrasi. Manik kecokelatannya
menjadi sebening kristal karena berair. Dengan sekali entakan ia meninju dinding
sampai tulang jarinya memerah. Begitu banyak penyesalan dalam dirinya, dan
semua itu akan ia bawa pergi begitu jauh. Semua penyesalan itu pasti akan
mengendap, mengeras dan menjadi dinding yang begitu tinggi dan kokoh,
menutupi jalannya menuju pintu maaf. Sekarang bagaimana ia mendaki dinding
setinggi gunung yang kokoh, dan menyebrangi lautan luka agar bisa
menyampaikan seulas kata maaf.
***

125
Super Hero
“Untuk apa mengidolakan pahlawan super di tv kalau kau mempunyai
pahlawan supermu sendiri di rumah?”

Aku sangat mengidolakan pahlawan super. Aku tahu segala hal tentang
mereka, tidak pernah sekali pun melewatkan film-film layar lebar tentang kisah-
kisah heroik mereka. Bahkan aku menyimpan banyak sekali poster pahlawan
super yang tertempel memenuhi dinding kamar. Ada Superman dengan pancaran
mata lasernya, Wonder Woman yang istimewa, Captain America si bijaksana serta
berjiwa pemimpin, dan yang paling kukagumi adalah Hulk, dengan kekuatan fisik
yang luar biasa dahsyat.
Para pahlawan super lebih suka bekerja sendiri, tapi di sebuah kesempatan
ketika kejahatan sudah benar-benar merajalela sehingga mustahil ditangani
sendirian, mereka akan bergabung menjadi satu kelompok, dan berkerja sama
dalam memberantas kejahatan, bergotong-royong demi mencapai tujuan yang
sama.
Aku selalu ingin berjumpa dengan mereka, dalam fantasi terliar bahkan ingin
menjadi salah satu dari mereka. Diam-diam aku sering mengkhayal dengan
sebuah tongkat panjang, menganggap diriku sendiri sebagai seorang pahlawan
super dengan pedang sakti. Tidak bisa dipungkiri, merekalah yang kukagumi. Aku
teringat hari dimana aku menginginkan sebuah mainan berbentuk pahlawan super
kesukaanku yang terpajang bersinar-sinar di etalase toko.
Aku merengek seharian, merajuk sampai tidak mau makan sebelum mainan
itu berada di tangan. Ketika rajukanku semakin parah, ayah justru tidak pernah
terlihat di rumah, dia selalu berangkat subuh, dan pulang larut seolah tidak peduli
denganku. Setiap kali ibu menghampiri dan menyapa pun, aku tidak
memedulikannya, selalu mendengkus, atau membuang wajah.
“Sabarlah, Nak. Ayah sedang mengusahakannya,” kata Ibu suatu hari sambil
mengelus kepalaku.
“Tapi sampai berapa lama?” rengekku.
“Sampai dia memiliki cukup uang untuk membelinya.”

126
“Pasti sangat lama!” sahutku ketus.
Ibu tersenyum menanggapi. “Tidak akan sampai puluhan tahun,” katanya
lembut. “Nah, kau juga bisa membantu. Dengan cara mengantarkan makanan ini
ke tempat Ayahmu, agar dia mendapatkan tenaga lebih untuk bekerja.” Ibu
melanjutkan seraya memberi sebuah rantang.
Aku menerimanya dengan dongkol, lantas bergegas menuju tempat kerja
Ayah. Aku tersungut-sungut sepanjang jalan, menendang-nendang krikil kecil
malang sebagai pelampiasan kekesalan. Ayah bekerja di sebuah proyek
pembangunan besar di kota dari pagi sampai sore hari, tapi kali ini aku tidak perlu
jauh-jauh ke kota karena dari sore sampai menjelang magrib Ayah akan bekerja di
sebuah pasar tradisional yang cukup besar di dekat rumah.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke pasar itu, mungkin hanya sekitar
sepuluh menit berjalan kaki. Banyak pembeli yang berlalu-lalang, sehingga aku
harus menyerobot kerumunan untuk bisa menuju tempat kerja Ayah. Sebuah toko
sembako besar dengan banyak dus dan karung besar bertumpuk-tumpuk. Di
tempat itu, saat itu juga, aku melihat hal yang sangat menakjubkan, yang
mengubah arah pandangku selama ini.
Ayah yang seorang buruh kasar tengah mengangkat lima karung besar berisi
beras pada punggungnya sekaligus. Ia terlihat sedikit merunduk menopang
karung-karung itu, tapi tetap terlihat gagah saat melaksanakan tugasnya. Jalannya
sungguh mantap seolah beban di punggungnya hanyalah tumpukan kapas. Mataku
membesar melihat kejadian itu, aku jadi teringat pada pahlawan super
kesukaanku. Saat ayah meletakan karung-karung itu di atas mobil angkut, dia
menyeka peluh pada dahi, kemudian menyadari keberadaanku, dan tersenyum
menghampiri.
“Aku membawa makanan titipan Ibu,” kataku seraya menyodorkan rantang.
Ayah menerimanya dengan gembira. Dia duduk disebelahku, mengatur napas
yang masih terengah-engah.
“Doakan Ayah agar mendapat uang yang banyak, untuk membeli
mainanmu.” katanya tiba-tiba, seraya mengacak rambutku.

127
Aku hanya bisa mengangguk menanggapi. Kebetulan saat itu pekerjaan Ayah
sudah selesai. Setelah memakan makanan yang kubawa, dia bergegas mengajakku
pulang untuk melaksanakan salat maghrib berjamaah di rumah, bersama Ibu juga.
Usai sholat, Ayah memberikan nasihat pada kami. Dia terlihat sangat bijaksana
saat itu. lagi-lagi aku teringat dengan salah satu pahlawan super kesukaanku.
Menjadi pemimpin dan teladan bagi pasukannya, dengan segala pengetahuan yang
dia bagi dengan ikhlas. Malam pun tiba, Ibu menemaniku sebelum tidur. Dia
membacakanku dongeng tentang kisah seorang nabi.
“Kau tahu, Nak? Nabi Ayub a.s adalah nabi Allah yang paling sabar. Kisah
tentang kesabarannya telah menjadi teladan bagi kita semua,” ujarnya, “cobaan
demi cobaan dia hadapi dengan ikhlas, karena dia tahu Allah tidak akan menguji
hambaNya melampaui batas kemampuan. Bisakah kau menjadi sesabar Nabi
Ayub?”
Mata hitamnya menatap lurus dan teduh, membuatku lagi-lagi teringat pada
pahlawan super idolaku. Dengan laser kasih sayang yang ia pancarkan. Aku
mengangguk setuju. Membuat Ibu tersenyum dan mengecup keningku. Suatu hari,
tepat saat aku pulang dari sekolah, Ibu dan Ayah menyuruhku untuk menemui
mereka. Keduanya tersenyum penuh arti satu sama lain, membuatku bingung.
Tiba-tiba mereka mengeluarkan sebuah kotak dan menyodorkannya
kearahku. Kotak itu cukup besar, berisikan mainan berbentuk makhluk hijau
raksasa yang sedang meraung penuh amarah. Inilah mainan yang selalu aku
inginkan. Aku menerimanya dengan wajah datar. Membuat kedua orangtuaku ikut
heran.
“Ini mainan yang kau mau, kan? Ayah tidak salah membeli, kan?” tanya
Ayah seraya mengelus kepalaku.
Aku memandangi mainan itu, masih dengan wajah datar. Hulk hanya
memiliki satu kelebihan, dia hanyalah makhluk hijau raksasa dengan kekuatan
fisik yang melebihi manusia normal. Kemudian aku kembali menatap kedua orang
tuaku. Ibuku adalah wanita paling hebat di seluruh jagad raya. Dia mungkin tidak
kebal peluru, tapi dia kebal terhadap seluruh masalah yang menimpa keluarga

128
kecil kami. Memandangnya bukan sebagai sebuah masalah, melainkan sebuah
pelajaran yang harus diambil hikmahnya.
Ayahku adalah orang paling cerdas di seluruh semesta. Dia mungkin tidak
bisa menciptakan baju besi dengan segala teknologi canggih, tapi dia bisa
menyelesaikan setiap masalah yang menimpa keluarga kecil kami dengan bijak,
dia juga seorang pemimpin yang teladan. Aku melempar mainan baruku ke lantai
dan segera memeluk kedua orang tuaku.
Mulai dari sekarang, aku tidak lagi mengidolakan Superman, atau Hulk, atau
Wonder Woman atau pahlawan super lainnya. Aku sudah mempunyai pahlawan
superku yang baru, yang akan aku perkenalkan pada kalian semua sekarang.
Ayahku, dia memiliki kekuatan fisik luar biasa, menangani setiap masalah dengan
otak cerdas dan mampu menjadi pemimpin hebat bagi keluarga. Ibuku, dengan
pancaran mata kasih sayang, ketabahan hati dan keistimewaannya, akan menjadi
pendamping yang sangat cocok bagi Ayah.
Bersama, Ayah dan Ibu membina keluarga kecil kami, membimbingku
menuju jalan yang lurus. Mengajarkan hal-hal positif sampai bagian terkecilnya.
Menjadikanku seorang anak yang juga istimewa. Untuk apa mengidolakan
pahlawan super yang ada di tv kalau kau mempunyai yang lebih istimewa di
rumahmu sendiri.
***

129
The Ants
“Kecil-kecil cabe rawit”

Hari ini Ibu Guru memberi tugas yang sangat penting, saking pentingnya
sampai-sampai ia menghapus dua jam pelajaran olah raga hanya agar para murid
tetap diam di dalam kelas. Tentu saja hal itu membuat sebagian besar anak-anak
laki-laki berseru kecewa. Ibu guru berjanji kalau tugas kali ini adalah tugas yang
menyenangkan, dijamin tidak membuat bosan, dan nilai yang akan diberikan pun
sangat besar.
Ia ingin murid-murid memikirkan satu hewan paling pemberani di dunia, dan
menjabarkan apa alasannya di depan kelas. Seluruh murid kelas tiga riuh
mengoceh, selain karena tugas yang mendadak, mereka juga gugup disuruh maju
ke depan kelas. Terutama anak-anak di deret belakang yang hampir semuanya
pendiam.
Johan si anak tinggi, gempal, galak yang sering meninju anak laki-laki dan
menjambak rambut anak-anak perempuan maju pertama, dia bilang hewan paling
pemberani adalah singa, karena ia adalah raja hutan. Singa sangat ganas dan
gagah sehingga semua hewan takut kepadanya.
Lily si anak cerewet yang rambutnya nyaris tidak pernah dijambak Johan
maju berikutnya, mengatakan Gajah-lah yang paling pemberani karena ia adalah
hewan terbesar di bumi, hewan itu bahkan mampu mencabut satu pohon utuh
sampai ke akar dengan gading kokoh pada dua sisi mulutnya. Sedangkan Robi,
anak orang kaya yang pongah, menganggap Badak adalah hewan paling
pemberani karena kulitnya sekeras baja, serta culanya yang setajam pedang.
Satu per satu murid deret depan yang mempunyai kepercayaan diri lebih
tinggi maju ke depan. Menyebutkan hewan-hewan paling besar, kuat, bergigi
tajam, dan berbisa, yang ada di muka bumi. Anak-anak pada tiga deret paling
depan sudah maju seluruhnya, kini giliran dua deret anak-anak pendiam yang
beraksi. Juan menjadi perwakilan pertama maju ke depan kelas. Dari seluruh anak
pendiam, ia terlihat paling percaya diri. Anak itu tersenyum lebar dengan kepala
yang mendongak. Mungkin memang dia salah ambil tempat duduk sejak awal.

130
“Jadi, Juan. Menurutmu hewan apa yang paling pemberani?” tanya Ibu Guru.
“Semut,” jawab bocah itu mantap.
Seisi kelas serempak tertawa terbahak-bahak, bahkan Johan memukul-mukul
meja saking terhiburnya.
“Hewan sekecil semut mana mungkin paling pemberani!”
“Sekali injak saja sudah mati!”
“Aku pernah melihat semut tenggelam di tetesan air!”
Kelas menjadi sangat riuh dengan ejekan sampai-sampai Ibu Guru sulit
menenangkan mereka.
“Kenapa kamu memilih semut, Juan?” tanya Ibu Guru dengan lembut.
“Karena keberanian tidak dinilai dari ukuran tubuh, tapi dari besarnya nyali
yang dimiliki,” jelas Juan.
Ibu guru menautkan kedua alis, itu kalimat yang sangat bagus untuk anak
seusia Juan. “Lanjutkan,” perintah wanita itu.
“Coba saja bayangkan. Tubuh semut sangat kecil sehingga baginya seluruh
dunia terlihat seperti raksasa, tapi ia tetap keluar rumah, rajin bekerja tanpa rasa
takut ataupun ragu. Bahkan semut berani menggigit musuh-musuhnya tidak peduli
sebesar apa ukuran mereka, dan membuat mereka langsung gatal-gatal.” Anak itu
melanjutkan.
“Mungkin aku tidak akan mau keluar rumah jika kursi, meja, lemari, bahkan
permen cha-cha-ku terlihat sebesar gunung. Aku pasti berdiam diri dalam kamar
dengan tubuh gemetar. Aku yakin kalian semua juga begitu, kan?” Juan menatap
temannya satu per satu. “Tapi semut tidak. Dia menghadapi semua itu dengan
gagah berani.”
Selagi Juan berbicara, kelas juga menjadi hening. Bahkan Ibu Guru tidak
berkedip mendengar penjelasan bocah berusia sembilan tahun itu.
“Kalau aku pasti berani, justru menyenangkan jika seluruh dunia menjadi
raksasa.” Johan menyambar. “Aku bisa makan lebih banyak dan tumbuh lebih
besar.”
“Masa? Bertemu badut di taman bermain saja kamu menangis memanggil ibu
di rumah ...,” sergah Juan dengan wajah datar.

131
Kelas kembali riuh, kali ini dengan tawa yang ditujukan untuk Johan
sehingga membuat wajah anak itu memerah. Ibu Guru tidak perlu repot-repot
menenangkan, dengan sekali pelototan Johan saja, anak-anak menutup mulut
rapat-rapat. Wanita itu diam-diam ikut terkekeh, lantas merangkul Juan.
“Nah, anak-anak, hari ini Juan sudah mengajarkan kita sesuatu. Tidak
selamanya yang besar pemberani, terkadang yang kecil pun punya nyali sebesar
gunung,” jelas Ibu Guru. “Oleh sebab itu muncul pribahasa 'Kecil-kecil cabai
rawit'. Ada yang tahu artinya?”
“Tidak tahu, Bu!” sorak murid-murid.
“Artinya adalah, biar kecil, tapi mematikan. Jangan pernah menilai apa pun
dari tampilan luarnya,” ujar Ibu Guru. “Beri tepuk tangan untuk Juan.”
Seluruh kelas bertepuk tangan, bahkan Johan juga melakukannya meski
dengan wajah tidak suka. Juan merunduk memberi salam sebelum kembali ke
tempat duduknya sambil tersenyum. Seolah mendapatkan semangat baru ketika
melihat Juan tampil sukses, Ali maju berikutnya tanpa harus dipaksa, mengatakan
bahwa anjing adalah hewan paling pemberani karena anak itu punya satu di
rumah. Ibu guru memberi tepuk tangan apresiasi yang sama, tapi kita semua sudah
tahu kepada siapa nilai A+ akan diberikan untuk tugas penting kali ini.
***

132
Dark Forest

The Cursed Book


“Berhati-hatilah dengan harapan kalian.”

133
Aku benci!
Tanpa memedulikan teguran ibu, kakiku menaiki tangga, dan segera masuk
kamar. Air mata ini tidak bisa dibendung lagi, dan aku sangat malas menjawab
pertanyaan-pertanyaan ibu yang selalu mengintimidasi. Sudah cukup buruk hariku
di sekolah, tidak perlu bertambah buruk lagi di rumah.
Sungguh menyakitkan rasanya, melihat sahabat terdekat justru berkhianat di
depan mata. Oh, mungkin mereka berencana melakukannya sembunyi-sembunyi,
hanya saja mereka terlalu bodoh jika berpikir itu akan berhasil. Di sekolah tadi,
belum sempat melangkah terlalu jauh dari gerbang, Gabriel menarikku ke sebuah
dinding.
Aku tidak pernah menyukai gadis penggosip itu, jadi sebisa mungkin
melepaskan diri dari rangkulannya, tapi sayang Gabriel adalah titisan gurita,
rangkulannya begitu erat, menghisap seperti tentakel. Ketika gadis itu menunjuk
jauh ke depan, aku menemukan hal yang lebih parah dari nilai nol pada mata
pelajaran bahasa.
“Lihat itu, Terry!” Jari lentik Gabriel teracung pada sepasang remaja yang
berjalan bersebelahan sambil terus bercakap-cakap.
Mataku melebar saat menyadari siapa dua orang itu.
“Samantha dan Troy pergi bersama. Bukannya Sam itu sahabatmu? Dan Troy
pacarmu? Kenapa mereka pergi berdua? Kelihatan mesra pula.”
Aku menyadari nada memanas-manasi dari ucapan Gabriel. Aku tidak akan
termakan hasutan kalau saja tadi Sam dan Troy tidak menolak ajakanku secara
bersamaan, keduanya juga terbata-bata begitu aku tanya kenapa, ternyata inilah
rencana mereka. Api kecemburuan membuatku punya tenaga lebih untuk
meloloskan diri dari rangkulan Gabriel, kuentakkan kaki kuat-kuat tanpa
mengatakan apa-apa.
Ini sangat menyakitkan, Sam sahabatku sejak masih sangat kecil, dia tidak
pernah sekali pun jahat kepadaku. Namun, sekali berbuat jahat dia tidak main-
main. Troy pula, kenapa harus Sam? Kenapa harus sahabatku sendiri? Bukankah

134
kita berjanji akan saling mencintai. Setidaknya sampai masa sekolah selesai? Ke
mana perginya semua ucapan manis itu.
Aku benci Sam, aku benci Troy!
Sepanjang sisa hari, kamarku benar-benar terkunci rapat. Tidak makan, tidak
mandi, tidak semangat melakukan apa pun selain menangis sampai bola mata
rasanya akan keluar. Ibu beberapa kali menggedor pintu, tapi kubiarkan sampai ia
lelah. Aku ... juga sedang lelah menghadapinya. Sesekali tidak menjadi anak
penurut, rasanya bukan masalah besar.
***
Perutku terasa sangat lapar pagi ini, menyesal juga tidak makan kemarin,
kepalaku pening, kedua mata membengkak akibat terlalu banyak menangis,
tadinya aku hanya menangisi hubungan gelap Sam dan Troy, tapi tiba-tiba saja
otak memikirkan hal lain, yang bahkan membuat airmataku mengalir semakin
deras. Untungnya sekarang hari minggu, tidak perlu bangun terburu-buru. Setelah
mandi, aku turun ke ruang makan untuk sarapan.
“Teresa, ibu tidak suka sifatmu kemarin!” Ibu mengatakan itu bahkan
sebelum aku duduk di kursi.
“Maaf, Bu. Aku sangat lelah kemarin,” jawabku sekenanya.
Ibu memandangiku sebentar. “Tidak ada yang mau kau ceritakan?”
Aku menggeleng sebagai balasan.
“Kau tidak harus merahasiakan apa pun pada Ibu, kau tahu itu, kan?”
“Aku baik-baik saja, Bu!” entakku.
“Masa ... matamu membengkak loh, pasti terjadi sesuatu, bertengkar lagi
dengan Troy?”
Mendengar nama itu, emosiku kembali meluap. “Aduh berisik sekali! Aku
baik-baik saja!”
Ibu sedikit tersentak, lantas menghela napas, akhirnya memutuskan fokus
pada roti panggang dan selai di depannya. Suasana menjadi canggung, tapi aku
tidak menyesal, yang penting wanita itu berhenti bicara. Ayah dan adik laki-lakiku
—Timothy—tidak terlihat di mana pun. Aku putuskan untuk tidak bertanya, toh
suasana makan menjadi lebih sepi tanpa mereka.

135
Setelah makan, aku kembali ke kamar, duduk di hadapan meja belajar, dan
menatap ke luar jendela. Sam menghubungiku ratusan kali, begitu juga Troy.
Mereka pikir aku akan menjawab dengan ramah-tamah? Setelah apa yang mereka
lakukan padaku? Jangan harap!
Mobil putih perlahan memasuki teras, itu mobil ayah. Ternyata ia pergi,
mungkin bersama Timothy. Saat keduanya serempak keluar dari mobil, aku tahu
tebakanku benar. Seperti biasa mereka selalu kompak berdua, pergi kemana-mana
tanpa repot-repot menawariku ikut serta. Ibu bilang karena mereka laki-laki,
kegiatan mereka tidak akan cocok denganku, padahal semua orang tahu, memang
Timo-lah anak emas di keluarga ini.
Tiba-tiba ayah juga mengeluarkan sebuah sepeda dari bagasi mobil, sepeda
gunung lipat yang selama ini aku impikan. Untuk sesaat senyumku mengembang,
mungkinkah pada akhirnya kemauanku benar-benar dikabulkan? Sayangnya
senyum itu tidak bertahan lama, tepatnya setelah melihat Timothy berjingkrak
senang di hadapan sepeda itu.
Tunggu dulu, jangan-jangan ayah membelikan sepeda itu untuk Timo?
Padahal aku sudah memintanya sejak tahun lalu. Tanpa sadar tanganku mengepal
begitu keras, ayah membuat gestur ‘jangan berisik’, pada Timothy, lantas
membawa sepeda itu pergi entah ke mana. Air mataku lagi-lagi keluar tanpa bisa
ditahan, mewakili iri, amarah, kesal, dan sedih yang kurasakan sekarang. Kenapa?
Kenapa selalu keinginan Timo yang dituruti, mereka pikir aku tidak punya
perasaan!
Aku benci ayah, aku benci Timo!
Aku harap bisa pergi dari sini. Pergi ke tempat di mana aku bisa bersenang-
senang, sebuah tempat di mana aku diperlakukan istimewa, menjadi yang
pertama, bukan terakhir. Bahuku bergetar menahan tangis, terlalu sibuk dalam
perasaan sampai tidak memedulikan aroma jeruk yang datang tiba-tiba. Ketika
aroma itu semakin menusuk, barulah aku menoleh, dan mendapati sebuah buku.
Buku bersampul cokelat usang, dan beraroma persis seperti jeruk. Penasaran, aku
meraih buku itu. Halaman pertama berisi sebuah kalimat.
Harapan adalah mimpi yang akan terwujud.

136
Lalu di halaman kedua ada gambar seorang gadis, dia terlihat seusiaku,
berdiri menghadap belakang. Aku tidak ingat punya buku kuno seperti ini. Saat
perhatianku semakin dalam padanya, gadis itu menoleh. Aku terkejut bukan main.
Setelah mengucek mata, aku kembali memfokuskan mata pada gadis itu, berharap
yang tadi hanya sebuah ilusi.
“Hai, namaku Leaney,” sapa gadis itu.
Reflek aku melempar buku itu jauh-jauh. Barusan itu apa? Buku yang hidup?
Ilusi mata? Hantu?
“Jangan takut, aku bukan hantu, aku hanya seorang gadis di dalam buku.”
Lagi-lagi gadis itu bicara.
Aku mendekatinya perlahan, dan gadis di dalam buku. Siapa namanya tadi?
Leaney, sudah bukan lagi sebuah gambar.
“Kau terlihat sedih. Kau punya masalah?”
Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutku, hanya kelopak mata melebar,
dan tubuh yang sedikit gemetar.
“Kau bisa menceritakan segala hal denganku, aku senang hati
mendengarkan.”
Aku sadar semua ini hanya mimpi, aku pasti tengah tertidur pulas di meja
belajar, dan tidak ada salahnya bercerita pada mimpimu sendiri, bukan? Apa lagi
setelah Sam bodoh itu mengkhianatiku, aku tidak yakin bisa mencurahkan isi hati
padanya lagi. Perlahan aku mengangkat buku itu, toh Leaney tidak berwujud
seram, malahan dia sangat cantik dengan rambut cokelat sepanjang paha, terlihat
halus sekali, matanya hijau bersinar, pancarannya sangat tulus.
“Ya ... a-aku memang punya sedikit masalah belakangan ini,” jawabku
setelah jeda panjang.
“Ceritakanlah padaku.” Kali ini Leaney mengulurkan tangan.
“Ikut denganmu ke dalam sana? Tidak akan!”
“Jangan khawatir, kita akan kembali sebelum semua sadar akan
kepergianmu.”
Aku yakin wajahku masih pucat, dan aku terus menggeleng kecil.

137
Leaney tertawa. “Percayalah, ini bukan buku terkutuk. Kau bisa masuk dan
keluar sesuka hati.”
Memercayai gadis misterius dalam buku ajaib, atau memercayai akalku yang
tidak terlalu sehat akhir-akhir ini, kedengarannya sama saja, toh ini hanya mimpi,
jika sesuatu yang buruk terjadi aku akan segera bangun. Perlahan aku menerima
uluran tangannya, dingin, tapi nyaman, membuatku lebih rileks.
Poof
Rasanya aneh saat melewati batas dua dunia. Kakimu akan memijak tanah,
tapi tubuhmu terasa melayang di udara. Sedetik kemudian saat membuka mata,
Leaney sudah di depanku, tersenyum sambil memegang tanganku begitu erat.
“Hai, senang akhirnya bisa bertemu langsung denganmu, Terry!”
“Kau tahu namaku?”
“Aku bisa mendengar isi hati dari gadis-gadis yang sedang bersedih. Tugasku
membuat mereka, membuatmu, merasa lebih baik.”
Leaney terlihat lebih ceria dan cerewet, sangat berbeda ketika dilihat dari
buku. Aku sontak menatap sekitar. Ruangan serba putih, dengan ranjang, dan
lemari sekaligus meja belajar. Ini hanya sebuah kamar seorang anak perempuan,
bahkan nyaris mirip dengan kamarku. Rasa takut tidak lagi tersisa sekarang.
“Apa ini buku ajaib?” gumamku.
“Katakanlah begitu. Di sini kau tidak akan merasa sedih karena apa pun yang
kau harapkan bisa jadi nyata.”
“Benarkah? Sudah berapa lama kau tinggal di sini, Leaney?”
Gadis itu mengangkat bahu. “Cukup lama ... seumur hidupku.”
“Sendirian?” tanyaku.
“Tentu tidak. Orangtuaku ada di dalam. Tapi, hey! Kita tidak akan
membicarakan tentangku, kita akan membicarakan masalahmu. Jadi ... kau mau
mulai?”
“Te—tentu saja.”
“Bagaimana jika ditemani kebab dan soda?”
Aku belum pernah mengangguk begitu kuat serta tersenyum sangat lebar
seumur hidup. Leaney merangkulku seolah kami sudah berteman sejak lama, lalu

138
mengajakku keluar. Tadinya aku ragu, ibu tidak pernah mengizinkanku keluar
tanpa izin, dia tidak segan memukul jika aku melanggar peraturan itu.
Namun, Leaney bilang ibuku tidak ada di sini, dia tidak akan tahu apa yang
sedang kami lakukan. Ibu dan ayahnya juga tidak pernah marah jika ia pulang
selarut apa pun. Akhirnya aku mengangguk, dan melompat dari jendela. Hey,
mungkin dengan begini kesedihanku akan hilang, meskipun hanya di dalam
mimpi.
***
“Teresa, buka pintu sekarang juga!”
Suara ketukan pintu dan teriakan ibu membawaku ke alam sadar. Kepalaku
terasa sakit. Setelah terdiam beberapa detik aku baru menyadari.
Itu semua benar-benar hanya mimpi?
Tentu saja, terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Saat suara ibu terdengar
semakin keras, aku memutuskan untuk membuka pintu sebelum wanita itu berniat
mendobraknya.
“Kenapa kau selalu susah di suruh makan? Bagaimana kalau kau sakit? Ibu
juga yang akan repot, tahu!”
Benar, masa bodoh dengan kesehatanku. Menjadi repot adalah ketakutan
terbesarmu.
“Tunggu dulu ....” Ibu mendekati wajahku, dan menyentuh ujung bibirku
dengan jari telunjuk. “Apa ini saus? Kau pergi ke luar tanpa izin rupanya?”
“Apa?” Aku reflek menjilat ujung bibir. Ternyata benar saus, saus kebab.
“Berkali-kali Ibu bilang jangan keluar tanpa izin! Jangan jajan sebarangan,
bagaimana kalau makanan di luar beracun? Kau ini anak gadis, kenapa sangat
keras kepala!” omel ibu panjang lebar. “Karena kau sudah kenyang, tidak ada
makan malam untukmu. Ibu mengurungmu di kamar sampai besok!”
“Tapi aku tidak pergi ke mana-mana?” elakku.
“Bagaimana ibu tahu kau tidak berbohong? Kamar terkunci, dipanggil tidak
menjawab, ada saus menempel di bibirmu. Kau pasti diam-diam menyelinap dari
jendela!”
“Kenapa Ibu selalu menuduhku!”

139
“Ibu tidak menuduh! Ibu tahu!” Wanita itu melotot, tak senang aku terus
membantah. “Pokoknya sekarang masuk kamar, ibu akan menguncinya dari luar
sampai besok!”
Kalau saja aku tidak harus hormat pada orang tua, kalau saja dia bukan ibuku,
aku ingin sekali menjambak rambutnya sampai putus.
“Benar, Bu, aku akan di kamar. Aku akan di kamar sampai berlumut, lapuk,
dan mati. Sementara Timothy di luar sana menjadi kebanggaan kalian berdua!
Kenapa tidak buatkan saja jeruji baja di sekeliling kamarku! Kalau perlu pasung
aku seperti hewan. Memang itu kan peranku dalam keluarga ini!”
Dengan kalimat itu aku menutup pintu keras-keras, dan menguncinya, lantas
mendorong kunci keluar lewat sela-sela pintu. Tidak ada jawaban dari ibu
setelahnya. Mungkin dia terkejut, cukup lama jeda sampai suara langkah kaki
menjauh. Jujur saja, aku juga gemetar syok. Bukan karena luapan emosi barusan,
lebih karena sadar bahwa semua yang kualami bersama Leaney adalah nyata.
Saat kami memesan masing-masing satu kebab jumbo dan soda dingin, lalu
berjalan ke taman sambil bercerita banyak hal. Itu semua nyata. Aku berlari ke
meja untuk memastikan. Tidak perlu susah mencari, buku itu ada di tempat yang
sama seperti kemarin. Cukup lama aku memandangi buku itu, air mataku kembali
mengembang, aku memang jadi agak cengeng belakangan ini.
Aku benci ibu!
Setelah perdebatan tadi mungkin wanita itu juga membenciku, aku tidak mau
di sini. Aku Ingin kembali ke dunia Leaney agar bisa bahagia. Daripada terkurung
di dalam kamar, lebih baik bermain dengan gadis aneh itu, mengadukan apa yang
baru saja terjadi. Kedengarannya seribu kali lebih baik. Saat membuka halaman
pertama, tanpa batuan Leaney aku sudah masuk ke dalam buku.
***
“Silakan dinikmati!”
Sebuah meja panjang dengan berbagai hidangan menggiurkan tersaji di
hadapanku. Ada kue, ayam panggang utuh, kentang goreng, hamburger, berbagai
jus, serta aneka macam pai. Semua makanan yang tidak pernah ibu izinkan aku
memakannya sekarang terhidang hangat, masakan rumah dari ibu Leaney.

140
Wanita itu teramat ramah, sampai aku salah kira dia adalah malaikat dari
surga, sang suami tak jauh berbeda, dia bahkan terlihat tampan di usia yang tidak
muda lagi. Seharian mereka tersenyum padaku, memperlakukanku selayaknya
anak mereka sendiri. Air liurku menetes melihat banyak sekali hidangan lezat.
“Betul aku boleh memakan ini semua?”
“Memang sengaja kami hidangkan khusus untukmu, Sayang,” jawab Ibu
Leaney. “Ini semua-lah yang selalu kami sajikan untuk anak kesayangan kami.”
Aku menoleh semringah pada Leaney yang duduk di sebelah, gadis itu
membalas dengan senyum merekah, seraya mengangguk membenarkan. Tanpa
basa-basi lagi, aku memakan satu per satu hidangan yang tersedia, tidak banyak-
banyak, takut perutku tidak kuat menampung semua, sedangkan aku ingin
mencoba semua yang tersedia. Sejauh ini kesukaanku adalah kentang goreng saus
keju. Ibu selalu melarangku memakan itu, dia percaya kentang goreng beracun.
Setelah makan, Ibu Leaney mengajak kami berdua ke sebuah ruangan.
Ruangan itu sangat besar dan berkilauan, untuk pertama kalinya aku silau bukan
karena cahaya matahari, melainkan lampu putih yang memantul dari manik-manik
gaun. Ada ratusan gaun tergantung di ruangan itu, semuanya indah, membuatku
berkaca-kaca. Dari sekian banyak gaun, ibu Leaney mendekatiku dengan gaun
merah muda yang sangat berkilau.
“Pakailah, Nak.”
Keramahannya membuatku tak ragu menurut. Ketika keluar dari ruang ganti
dengan gaun yang kupakai, ibu Leaney menutup mulut penuh haru.
“Ya ampun, cantiknya ....”
Wajahku memanas saking tersanjungnya. Meskipun dalam hati agak miris,
ibu tidak pernah memujiku cantik. Seringnya dia mengatakan “Oke.” atau
“Lumayan.” Itu sebabnya aku tidak pernah percaya diri keluar dengan style baru.
Baju longgar dan celana jeans adalah busana paten yang ibu anjurkan untukku.
Ibu Leaney masih tersenyum, kali ini dia mendekat.
“Boleh aku memelukmu?” katanya, yang sontak membuatku tertegun.
“Boleh saja,” jawabku setelah terdiam cukup lama.

141
Pelukan itu terasa sangat hangat dan nyaman. Aroma tubuh ibu Leaney
seharum permen kapas, kulitnya juga sangat halus, siapa pun betah memeluknya
lama-lama. Leaney benar-benar gadis yang beruntung. Aku ingin tetap seperti ini,
aku ingin terus merasa sebahagia ini.
***
“Aku iri padamu Leaney.” Aku menyeletuk, sehingga membuat gadis itu
menoleh. Kami sedang berbaring di atas hamparan rumput halus di atas bukit.
“Kau punya segalanya. Kau anak tunggal, punya banyak uang, kecantikan,
dan yang terpenting orangtua yang sangat baik,” lanjutku. “Hidupmu benar-benar
sempurna.”
“Setiap orangtua menyayangi anaknya, itu yang aku tahu,” jawab Leaney.
“Orangtuaku tidak begitu. Mereka hanya memanjakan adikku saja, mungkin
aku bukan anak kandung mereka.”
“Atau mungkin mereka bersikap begitu karena tahu kau adalah anak manis
dan penurut, sedangkan adikmu lebih liar, sehingga jika kemauannya tidak segera
dituruti sesuatu yang buruk akan terjadi.”
“Tapi tetap saja, aku juga punya perasaan, diperlakukan seperti itu, seperti
anak bawang terlalu lama rasanya sakit sekali.”
Leaney tidak menjawab lagi. Ia hanya menatapku sementara aku menerawang
ke angkasa.
“Aku harap bisa menjadi dirimu, Leaney.”
Gadis itu tersenyum lebar, ia menggenggam tanganku dan berbisik.
“Apa pun harapanmu akan terwujud.”
***
“Sayang, kau sudah pulang?” sapa orang tua Leaney.
“Ini pasti waktunya Terry kembali ke dunianya, kan? Kembalilah lagi besok,
Nak. Kami suka kedatangan tamu. Apa lagi yang cantik dan baik sepertimu.”
“Baik, Bi. Terima kasih untuk hari ini,” jawabku.
“Kami bicara pada Terry, Sayang. Ingat kau langsung pulang begitu
mengantarnya, ya?”

142
Aku tidak mengerti apa maksud mereka, jelas-jelas keduanya memang sedang
bicara padaku. Setelah pamit kami berdua berdiri di hadapan buku untuk pulang.
Benar, berdua. Biasanya hanya aku sendirian saja sementara Leaney melambaikan
tangan dari kamarnya.
Mungkin gadis itu ingin berkenalan dengan keluargaku juga, tidak masalah,
biar dia tahu bagaimana payah dan pilih kasihnya kedua orangtuaku. Ternyata hari
sudah pagi saat kembali ke rumah, aku tidak lagi dalam keadaan bangun tidur,
melainkan berdiri di depan meja belajar, bersama Leaney di sampingku.
“Nah, sekarang saatnya kau pulang, Leaney,” ujar Leaney tiba-tiba. “Kalau
tidak orangtuamu bisa cemas.”
Aku mengernyitkan dahi menatapnya. “Apa kau baru saja bicara pada diri
sendiri?”
“Bukan, aku bicara padamu. Tempatmu bukan di sini. Bukan lagi.”
“Aku ... tidak mengerti.”
“Lihatlah di sekelilingmu.”
Entah kenapa aku menurut, melihat dinding kamar yang dipenuhi bingkai
fotoku bersama keluarga dan teman-teman. Semua masih sama seperti biasa, apa
maksud gadis itu sebenarnya? Namun, aku segera menyadari ada sebuah
kejanggalan, gadis di dalam semua foto di dinding bukan aku. Dia adalah Leaney.
Leaney yang berfoto bersama Sam, Leaney yang berfoto bersama Troy, bahkan
wajah Leaney yang terpasang di antara foto keluarga besarku. Apa yang sedang
terjadi? Tiba-tiba kunci pintu terbuka, menampilkan sosok ibu di ambang pintu.
“Terry ....”
“Ibu!” jeritku seraya memeluknya erat-erat. Tentu saja Ibu tidak
melupakanku, semuanya masih normal. Semua baik-baik saja.
“Terry, apa kau sedang kedatangan teman?”
Mataku membulat saat itu juga.
“Iya, Bu. Kenalkan namanya Leaney,” jawab Leaney seolah ia sudah terbiasa
dengan nama barunya.
“Ibu ini aku, Terry! Aku Terry anakmu!” seruku putus asa.

143
Ibu mengelus kepalaku yang baru kusadari ternyata sangat lembut dan
nyaman, tapi dengan wajah meringis aneh, semua itu terasa janggal.
“Jadi namamu Terry juga? Tidak masalah, ada cukup kue untuk kita semua.”
Ibu melepaskan pelukanku begitu saja, wanita itu lantas menghampiri Leaney
dan memeluknya penuh kasih membuat air mataku menetes lebih deras.
“Selamat ulang tahun, Teresa sayang,” ujar wanita itu.
“Ibu, Teresa ada di sini ...,” lirihku.
“Maafkan Ibu. Tidak seharusnya Ibu membentakmu semalam, Ibu tahu betul
kau bukan anak pembohong, kau anak perempuan kesayangan Ibu, tetaplah
menjadi dirimu sendiri ya, Nak?”
Pemandangan itu sontak menceloskan diriku ke jurang tak berdasar, itu
seharusnya pelukanku, itu kasih sayang ibu untukku.
“Sekarang ikutlah ke bawah, Ayah dan Timo punya kejutan besar untukmu.”
“Baik, Bu. Aku segera ke sana,” jawab Leaney yang secara teknis sekarang
adalah Terry. Diriku.
“Oh, Samantha dan Troy juga sudah datang. Ajak juga temanmu ini, semakin
ramai semakin seru, kan?”
Ibu keluar dari kamar, dan menutup pintu, meninggalkanku berdua dengan
Leaney. Aku berbalik kepadanya dengan gemetar.
“Apa yang kau lakukan kepadaku?”
“Kau yang melakukannya pada dirimu sendiri, ingat?” jawabnya dengan
wajah datar. “Kau ingin menjadi Leaney, dan sekarang kau adalah dirinya. Masih
belum puas juga?”
“Aku tidak pernah sungguh-sungguh mengatakan itu!” jeritku.
“Harapan tidak akan menjadi nyata jika kau tidak memintanya dengan
sepenuh hati, Sayang. Kau begitu sungguh-sungguh mengatakannya saat itu,” sela
gadis itu.
“Aku mohon jangan. Kembalikan semuanya seperti semula!” pintaku.
Leaney mengambil buku bersampul cokelat itu dan menelitinya sejenak.
“Ayo, Leaney ... waktunya kau pulang ke rumah impianmu.”

144
Langkahku tersendat-sendat menghindarinya, sungguh, seperti sebuah beton
terikat di sana. “Jangan mendekat! Aku mohon!”
“Terry yang malang. Kau adalah gadis yang beruntung, tahu? Kau punya
keluarga yang sayang padamu, kau punya teman dan kekasih yang tulus
mencintaimu, tapi kau buang semuanya!”
“Ingat saat kau benci melihat Sam dan Troy pergi bersama? Padahal Troy
sedang meminta saran kepada sahabatmu, hadiah apa yang paling cocok untuk
ulang tahun kekasihnya. Hari ini!” Gadis itu berbisik.
“Aku mohon hentikan!”
“Ingat saat kau membenci ayah dan adikmu, padahal sepeda gunung yang kau
lihat adalah hadiah untuk ulang tahun anak perempuan kesayangannya hari ini?”
Leaney atau sekarang menjadi Terry memegang buku dengan kedua tangan
dan mengarahkannya padaku.
“Bahkan kepedualian Ibumu salah kau artikan menjadi hal negatif. Benar-
benar menyedihkan!” lanjut gadis itu. “Kau punya segalanya, tapi kau terlalu
banyak membenci. Kau tidak pantas mendapatkan kasih sayang mereka!”
“Aku tidak mau menjadi dirimu. Aku ingin menjadi Terry! Aku ingin
menajdi diriku sendiri!” Aku menjerit sambil terus mundur seiring gadis itu
mendekat.
“Terlambat. Lain kali ... berhati-hatilah dengan harapanmu!”
Leaney membuka halaman pertama pada buku yang sontak menghisap
seluruh tubuhku ke dalamnya. Tidak peduli seberapa keras aku menjerit dan
menangis. Buku itu tetap menghisap, menjadikanku seseorang yang telah
kuharapkan saat keegoisan memenuhi relung hati. Inilah yang kudapatkan ketika
tidak pernah bersyukur, tidak pernah menyadari nikmat yang selama ini kupunya.
Sekarang aku adalah orang lain. Aku akan di sini, di dalam dunia impian, yang
sesungguhnya adalah neraka. Entah seberapa lama, aku akan tetap menunggu.
Ini menjadi pelajaran untukku, untuk kita semua. Berhati-hatilah dengan
harapan kalian. Mungkin setelah ini, angin akan membawa buku kuno itu,
ketempat di mana orang yang tidak pernah bersyukur sepertiku tinggal. Saat

145
aroma jeruk menusuk hidung, dan sebuah buku kuno tergeletak secara ajaib,
mungkin kalian akan menjadi Leaney yang baru.
***

My Pen Pal
“Teman tak terduga dari surat yang tak terduga.”

146
Aku mempunyai seorang sahabat pena bernama Alice, dia seusia denganku,
tinggal jauh diujung samudera. Perkenalan kami dimulai saat aku melempar botol
berisi surat tangan ke tengah laut. Memang terdengar aneh dan gila, tapi nyatanya
dia telah menemukan suratku, dan sampai sekarang sudah hampir dua tahun kami
saling membalas surat.
Gaya tulisannya persis milikku, tulisan bersambung yang sedikit berantakan,
sering tertukar antara O dan E. Kukira gaya tulisku yang paling aneh dan unik,
ternyata ada seseorang yang secara alami menyamainya. Aku sangat bersyukur
karena itu. Bahasa yang dia pakai juga tidak jauh berbeda, hampir-hampir aku
merasa tengah bersurat dengan diriku sendiri. Kami memiliki banyak kesamaan
dalam hobi, dan kesukaan, membuatku betah membalas surat-suratnya. Aku
berencana ingin merayakan dua tahun persahabatan bersama Alice.
Aku tidur-tiduran di atas bukit berrumput halus, dinaungi oleh pohon beringin
rindang, angin di sini sejuk membuat pikiran rileks. Sempat terpikir ingin
mengirim seikat bunga, tapi takut layu dalam perjalanan. Mungkin kue buatan
sendiri, tapi lagi-lagi, takut makanan itu rusak di tengah jalan, mengingat jarak
kami sangat berjauhan.
Setelah hampir dua jam berpikir, akhirnya aku mendapatkan ide cemerlang.
Sebuah hadiah yang indah, berkesan, dan pastinya aman untuk perjalanan jauh—
sebuah lukisan. Aku sudah membayangkan lukisan seperti apa yang akan kubuat
untuknya—wajah kami berdua sedang tersenyum, seolah terlihat dilukis bersama,
padahal kami belum pernah sekalipun bersitatap.
Alice pasti terkejut sekaligus terkagum-kagum dengan bakat melukisku yang
hebat. Namun, sebelum semua bayangan itu menjadi nyata, aku harus tahu
bagaimana rupa Alice. Aku memang ahlinya melukis, tapi bukan cenayang. Jadi
hari ini, aku menanyakan kepadanya lewat sepucuk surat.

Dear Alice,

147
Aku berencana ingin membuat sebuah lukisan wajah kita berdua, untuk
merayakan dua tahun persahabatan kita, tapi sebelumnya aku harus tahu
bagaimana rupa wajahmu, bisakah kau menjabarkannya untukku?
-Annie-

Sambil bersenandung aku berjingkrak menuju kotak pos kota, jaraknya cukup
jauh berjalan kaki, sayang aku tidak punya sepeda, dan menyewa satu terlalu
mahal. Namun, tidak masalah sama sekali buatku, asal bisa terus berkomunikasi
dengan sahabat baikku, Alice. Selama menunggu balasan, aku menjadi senang
bercermin, membuat pose sebaik mungkin agar terlihat cantik di dalam lukisan.
Karena aku yakin Alice juga seorang gadis yang cantik. Setelah satu minggu
menunggu, balasan dari Alice pun tiba.

Dear Annie,
Tentu saja, aku sangat senang mendengar ini, sungguh rencana yang hebat.
Baiklah, dari mana aku mulai? Kulitku berwarna putih kekuningan, hidungku
lancip dengan manik mata hitam kecokelatan, tidak terlalu besar atau terlalu
kecil, bibirku tipis berwarna merah muda. Rambutku pirang bergelombang,
terurai sampai bahu. Aku harap itu cukup. Tidak sabar ingin melihatnya, selamat
berusaha Annie, aku menyayangimu.
-Alice-

Aku tersenyum membaca balasan itu, Aku juga menyayangimu Alice. Tidak
menunggu besok atau beberapa jam lagi, aku langsung memulai lukisan saat itu
juga. Tergesa-gesa mengambil kanvas putih yang tidak terlalu besar, tidak lupa
kusiapkan pallette dan cat air. Kuas berbagai ukuran seolah menjadi senjata
perangku, aku memutar-mutarnya di udara sebelum memulai.
Perlahan-lahan aku menggoreskan kuas pada kanvas, yang kulukis pertama
adalah diriku sendiri, dari ujung kepala sampai sebatas bahu, membuatnya seolah
sedang merangkul Alice. Setelah selesai, aku beralih pada lukisan Alice. Dengan

148
hanya berpedoman surat yang kubaca, aku memoles kanvas itu, membayangkan
wajah Alice senyata mungkin.
Senyumannya harus sama lebar denganku, kami pasti terlihat sebahagia itu
ketika akhirnya bertemu suatu saat nanti. Dengan sentuhan terakhir, lukisan ini
akhirnya selesai, kado untuk dua tahun persahabatan kami akan terlihat sangat
indah. Cat airnya masih basah, jadi aku menutupnya dengan kain dan
meletakkannya di teras rumah agar cepat kering.
Saat matahari sudah condong ke Barat, aku mengambil lukisanku dan
memandanginya dengan cengiran lebar. Namun, ekspresi itu tidak bertahan lama.
Mataku terbelalak, mulutku ternganga lebar, bukan karena kanvas rusak atau cat
luntur, tapi lebih karena kebingungan setengah mati. Lukisan itu indah,
mengesankan sesuai bayanganku, Ada dua gadis saling berangkulan di dalamnya
dengan senyum yang sama lebar, terlihat bahagia berseri-seri. Lukisan ini
sempurna, tapi kenapa ....
Kenapa aku tidak bisa membedakan mana wajahku dan mana wajah Alice?
Dua orang di dalam lukisan ini adalah dua orang yang sama, tidak ada sedikit pun
perbedaan. Ada apa sebenarnya? Padahal aku yang melukis ini, tapi aku sendiri
tidak bisa menebak mana yang diriku. Sekali lagi aku meraba lukisan itu, semakin
dipikirkan, semakin sakit kepalaku dibuatnya. Saat dahiku semakin mengerut,
suara denting bel sepeda tukang pos mengalihkan perhatianku.
Aku segera menghampirinya, bertanya-tanya siapa yang mengirim surat
untukku. Apakah Alice? Tapi kenapa? Aku kan belum membalas surat terakhir
darinya. Setelah menerima sepucuk surat yang Pak Pos berikan dan membukanya,
kelopak mataku bahkan terbuka lebih lebar.

Dear Annie,
Aku tahu lukisanmu sudah selesai, aku tahu hasilnya sangat indah, dan aku
sangat ingin melihatnya. Temui aku di jurang York sekarang juga.
-Alice-

149
Begitu banyak pertanyaan yang ingin segera kuketahui jawabannya. Untuk itu
aku buru-buru mengambil mantel, membungkus lukisanku dengan kain dan
membawanya. Aku bahkan tidak sempat mengunci pintu rumah, membiarkannya
menjeblak terbuka. Butuh waktu sekitar lima belas menit berjalan kaki untuk
sampai di jurang York, karena aku berlari, aku sampai disana hanya dalam waktu
delapan menit. Napasku terengah-engah saat aku menyadari ada seorang gadis
yang berdiri tepat di tepi jurang, membelakangiku.
Perlahan aku menghampirinya.
“Alice?”
Saat gadis itu menoleh, udara dingin menjalar ke seluruh tubuhku,
membuatku tidak bisa bergerak kemana-mana. Wajah Alice, seperti pinang
dibelah dua denganku, rasanya seperti sedang bercermin, tidak ada perbedaan
sedikitpun diantara kami. Aku gemetar saat ia mendekat.
“Annie ....” panggilnya. Bahkan suaranya terdengar sama denganku.
“Siapa kau?” gumamku saat dia melangkah semakin dekat. Dia mendekat
pada telingaku dan membisikan sesuatu.
“Aku adalah Doppelgangermu!”
Segera setelah itu, terdengar ringkikan kuda yang sangat nyaring. Aku
menoleh, mendapati seekor kuda berlari liar ke arahku. Tidak ada kusir, tidak ada
pelana. Asap dari hidung kuda itu menunjukan bahwa ia sedang panik.
“Menyingkir!!!” teriak seorang pria gempal kepadaku.
Aku menutupi wajah dengan lukisan yang kubawa, lukisan persahabatanku
dengan maut, berharap itu akan melindungiku. Namun, aku sadar apapun yang
kulakukan akan sia-sia sekarang. Kuda itu berlari semakin dekat, dengan
dengusan yang ganas, kepala menyeruduk kesana-kemari, siap mendorongku
masuk kedalam jurang.
***
Catatan :
Doppelganger

150
bayangan diri yang menyertai setiap manusia dimuka bumi. Banyak yang
percaya jika seseorang melihat doppelgangernya sendiri itu berarti kematian
akan menjemputnya.

151
Four Kings
“Perbedaan bukannya tidak selaras, tapi sebuah keberagaman”

Tersebutlah sebuah kerajaan makmur nan sejahtera di sebelah Barat


Samudera, dipimpin oleh seorang Raja arif nan bijaksana bernama William Rufus.
Sang Raja mempunyai empat orang pangeran yang lahir dengan jarak waktu
begitu singkat. Keempatnya gagah dan tampan, masing-masing mewarisi bagian
tubuh dan sifat-sifat terpuji sang ayah.
Edward si sulung mewarisi manik hijau kekuningan teduh milik ayahnya, ia
pandai merangkai kata-kata, bernegosiasi, bersilat lidah serta urusan politik lain
yang berhubungan dengan kerajaan. Edwig anak kedua yang mempunyai warna
rambut keperakan sang ayah. Pria itu ahli membuat strategi, otaknya seolah
terbuat dari campuran emas dan berlian, tak ada yang tidak diketahuinya.
Edmund, anak ketiga yang berpostur tinggi besar persis sekali ayahnya. Ia
sangat kuat, ditambah keahlian berpedang yang membuatnya selalu diandalkan
untuk berada di baris depan ketika berperang. Terakhir si bungsu Edgar yang
mewarisi struktur wajah jenaka Raja William. Mendapat julukan 'Kecil-kecil Cabe
Rawit', juga Musang dari Barat karena kecerdikannya.
Suatu masa, saat sang Raja sudah terlalu tua untuk memimpin negeri, ia
memanggil keempat pangeran untuk merundingkan siapa yang akan menjadi
pewaris tahtanya kelak. Keempat pangeran saling pandang waspada. Pancaran
persaingan terlihat jelas pada mata masing-masing. Mereka lahir nyaris
bersamaan, mendapatkan kasih sayang dan keistimewaan yang sama sebagai putra
mahkota.
Meskipun secara teknis Edward adalah anak sulung, tapi masing-masing tetap
merasa dirinyalah yang paling berhak menerima gelar sebagai raja. Edward
melangkah maju mendekati singgasana sang ayah.
“Sebuah kerajaan makmur, karena rajanya yang pandai bersilat lidah.
Menenangkan masyarakat dengan kata-kata indah, serta kepandaian berpolitik.
Aku rasa akulah yang cocok menjadi seorang raja!” ujar si sulung.

152
“Sebuah pidato tidak akan menyejahterakan rakyat,” sahut Edwig sambil
terkekeh, “tapi sebuah strategi yang matang pasti akan mewujudkan kemakmuran
di seluruh negeri!”
Edmund tersenyum miring seraya ikut berjalan kedepan kedua kakaknya.
“Strategi hanyalah sebuah teori, dan teori tanpa adanya praktek, hanyalah sebuah
omong kosong,” katanya santai. “Aku berada di baris depan dalam banyak
peperangan, dan saat memperoleh kemenangan, kamilah rakyat paling bahagia di
seluruh penjuru bumi!”
“Kalian melupakan satu hal,” seru Edgar membuat ketiga kakaknya menoleh.
“Membuat sebuah pidato dan strategi yang baik haruslah menggunakan
kecerdikan. Begitupun dalam peperangan, kecerdikan adalah hal yang paling
diutamakan. Akuilah. Aku yang paling berhak menerima gelar sebagai raja!”
Sangkalan demi sangkalan terlontar dari mulut mereka setelahnya. Keempat
pangeran berlomba menyebutkan kelebihan dan prestasi yang mereka punya.
Masing-masing merasa paling pantas menjadi pengganti sang ayah menjadi
seorang raja. Memang benar yang dikatakan pepatah 'Jika ingin menguji karakter
seorang pria, berilah mereka kekuasaan.'
Bahkan keempat pangeran yang terkenal sangat akrab pun, menghunuskan
pedang mereka hanya untuk sebuah tahta. Saat suasana semakin memanas. Suara
tawa yang purau justru terdengar dari arah singgasana. Membuat keempat
pangeran menoleh keheranan.
“Apa yang kau tertawakan, Ayah?” seru Edward, “bagaimana kau bisa
tertawa disaat seperti ini!?”
Sang Raja menghela napas panjang sebelum ia tersenyum menatap keempat
anaknya.
“Dahulu kalian hanyalah empat bocah nakal yang usil. Tanpa kusadari kalian
berdiri disini sekarang. Menghunuskan pedang pada saudara kalian sendiri, hanya
untuk memperebutkan sebuah tahta.”
“Dengarlah, Pangeran-pangeranku yang tampan. Kalian tidak perlu
melakukan itu. Kalian semua akan mewariskan tahta kerajaan ini saat aku wafat
kelak,” lanjut sang Raja yang membuat pangeran-pangeran terkejut.

153
“Sebuah kerajaan dengan empat orang raja?” tanya Edwig ragu.
“Itu mustahil Ayah!”
“Apa lagi dengan kepribadian kami yang sangat jauh berbeda!”
Sang Raja kembali tersenyum. Kali ini ia bangkit dari singgasananya dan
menghampiri keempat pangeran.
“Edmund adalah seorang ksatria yang hebat, setiap peperangan yang
dipimpin olehnya pasti akan pulang membawa kemenangan,” kata sang raja.
“Tapi, sebuah peperangan tidak akan berhasil tanpa adanya strategi. Dengan
dibantu kecerdasan Edwig dan kecerdikan Edgar, mereka bisa menciptakan
sebuah strategi sempurna. Sebuah strategi yang ampuh untuk membobol
pertahanan musuh.”
“Dan saat memperoleh kemenangan dengan strategi cerdas kalian. Kalian
pulang ke negeri tercinta, dan masih harus membuat sebuah pidato kemenangan
untuk rakyat, mengurus segala keperluan parlemen yang merepotkan, padahal
kalian masih sangat letih usai berperang ....”
“Saat itulah Edward berperan penting. Dengan rangkaian kata-kata indah
yang ia sampaikan pada rakyat serta kepiawaiannya dalam berpolitik,
kemenangan kalian akan semakin sempurna.”
“Tidakkah kalian sadar, saat salah satu dari kalian lemah dalam satu bidang,
yang lain bisa menutupinya? Kalian yang semula hebat akan menjadi lebih hebat
kala bersatu.”
“Wahai, Pangeran-pangeranku. Perbedaan bukanlah sebuah alasan untuk
terpecah belah. Justru dengan adanya perbedaan, kalian akan saling melengkapi.
Perbedaan bukannya tidak selaras, perbedaan adalah keberagaman.”
Keempat pangeran itu saling pandang, memasukan kembali pedang yang
sempat dihunuskan. Perasaan malu menyelubungi hati mereka, saat sadar bahwa
tidak satu pun dari mereka mewariskan kebijaksanaan sang ayah. Keempatnya
berlutut di hadapan sang ayah, meminta maaf atas keserakahan dan keegoisan
mereka. Bahkan mereka hampir memutuskan tali persaudaraan hanya untuk
sebuah tahta kecil. Sang Raja mengelus kepala empat anaknya satu per satu.

154
“Mulai sekarang dan seterusnya, legenda akan berubah. Orang-orang di
seluruh penjuru negeri tidak akan mengenal kalian sebagai empat pangeran lagi.
Kalian akan dikenal sebagai empat bersaudara, dengan kepribadian dan keahlian
yang berbeda-beda. Bersatu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan negeri
tercinta ini.”
“Kalian akan dikenal sebagai Empat Raja.”
***

155
Reggedy Ann
“Gadis kecil manis yang mempunyai rambut ikal berwarna merah, manik
hijau zamrud cerah, serta kulit yang sehalus porselen.”

Bagi kebanyakan orang, mempunyai penggemar rahasia menjadi suatu


kesenangan tersendiri. Bayangkan, di pagi hari ketika membuka loker, sekuntum
mawar semerbak, dua batang cokelat, bahkan boneka beruang merah muda tiba-
tiba bertengger di sana, tanpa diketahui siapa pengirimnya.
Perlakuan yang sangat manis sekaligus misterius, belum lagi kalau ternyata si
misterius ini adalah seseorang yang menawan, tentu saja semua orang berharap
mempunyainya satu penggemar rahasia. Coba tebak ... aku punya satu. Semenjak
kuliah, dan tinggal sendirian di asrama, nampaknya seseorang diam-diam tertarik
padaku, apakah aku mendambakannya? Tidak! Apakah aku senang dengan
perhatian yang diberikan? Tidak sama sekali!
Alih-alih bunga, aku menemukan sederet gigi yang dicabut paksa—terlihat
dari gusi yang masih menempel di akarnya. Alih-alih cokelat, aku menemukan
gumpalan rambut berbagai warna di dalam tas, tapi yang paling parah adalah.
Suatu pagi, lokerku dikerumuni banyak orang berwajah hijau karena mual melihat
mayat kaku seekor kucing tergantung di sana. Semua ‘hadiah’ itu selalu disertai
sebuah memo singkat yang bertuliskan.
Dariku untukmu -‘TP’-
Aku sudah sering melapor pada dosen maupun pihak asrama, tapi jawaban
mereka selalu sama.
“Itu hanya orang iseng! Aku yakin semua kejanggalan yang terjadi itu adalah
perbuatan anak-anak lelaki berandal dari klub atletik!”
“Ada mayat kucing di dalam lokerku, sampai membuat semua orang muntah-
muntah. Bukankah itu 'sangat' keterlaluan?”
“Jangan berlebihan, urusan kucing mati itu serahkan pada pembersih sekolah,
dan semua akan kembali normal.”
“Aku tidak percaya ini ... bukankah kalian para guru sebaiknya memikirkan
nasib murid kalian?” seruku. “Mungkin saja ada seseorang yang mengincarku!”

156
“Mungkin kalau kau berhenti menggoda laki-laki dengan pakaianmu semua
ini tidak akan pernah terjadi!”
“Apa!” Aku menjerit saking kesalnya. “Aku korbannya di sini! Dan kalian
melempar kesalahan kepadaku?”
Mereka tidak pernah menjawab lagi, bahkan menjulukiku 'Ratu Drama' dan
haus perhatian. Kalau tahu perkuliahan akan sesulit ini, lebih baik tidak usah
kuliah sama sekali, tetap tinggal bersama orangtua-ku di kampung halaman.
Sempat berpikir untuk lapor polisi, tapi mengingat segala kehebohan yang
mungkin terjadi, aku urung melakukan itu.
Akhirnya akupun memutuskan untuk mengabaikan segala kejadian aneh
tersebut, bertingkah seolah tidak pernah ada apa pun di dalam loker, tidak pernah
ada 'penggemar rahasia', dan melanjutkan hari-hariku sebagai seorang mahasiswa
yang normal. Toh apa pun yang diberikannya tidak pernah secara teknis
melukaiku. Mungkin sedikit akibat gosip-gosip yang tersebar, aku masih bisa
menanganinya.
***
Tiga bulan berlalu semenjak kejadian mayat kucing di dalam loker. Aku rasa
semua sudah kembali normal, tidak pernah lagi ada benda-benada aneh di dalam
loker atau di kolong mejaku. Aku senang akhirnya dia—siapa pun penggemar
rahasiaku itu—sudah menyerah. Malam ini aku pulang ke asrama dengan
berkantong-kantong belanjaan. Penghujung tahun memang saat paling tepat untuk
berbelanja karena banyak barang bagus yang mendapat potongan harga gila-
gilaan.
Aku juga membeli beberapa oleh-oleh untuk ibu, ayah, dan adik laki-lakiku
di rumah. Mungkin sekitar dua atau tiga hari lagi aku akan pulang, tidak sabar
merasakan masakan ibu. Ketika tengah menata belanjaan di dalam kulkas, aku
menyadari ada sebuah CD tergeletak di atas meja makan. Aku menelitinya
sebentar, sampulnya berwarna putih polos, saat aku membukanya, seluruh
tubuhku terasa diguyur air es. Warna CD itu sama seperti sampulnya. Namun, ada
sebuah tulisan tangan super rapi yang terbaca.

157
Lama tidak jumpa, Sayang. Maaf tidak memberimu hadiah selama beberapa
bulan ini, aku sedang mengerjakan sebuah project dan sekarang project ini sudah
selesai. Aku harap kau menikmatinya.
-TP-
Tergesa-gesa aku menyalahkan DVD dan memasukan CD itu untuk melihat
apa isinya. Gambar pada layar terlihat seperti lautan semut hitam, tapi tak lama
menjadi jernih, yang justru membuatku gemetar menggigiti jari kuku, karena
kamarku-lah latar belakangnya. Dahiku mengerut saat seorang pria tinggi berjaket
dan celana hitam muncul di layar, sekilas ujung hidung runcing terlihat dari balik
tudung jaketnya. Dia menyeret sebuah bangku ke tengah ruangan, dan mulai
memainkan gitar.
Siapa dia? Aku tidak pernah lupa mengunci pintu asrama, tidak ada orang
lain yang memegang kunci kamar ini selain aku. Setiap pulang pun tidak pernah
ada tanda-tanda pintu telah dibongkar paksa. Pria itu terus memainkan gitar,
menyanyikan lagu tentang kisah seorang pria yang jatuh cinta pada boneka. Harus
kuakui dia berbakat, alunan iramanya sangat indah, kalau saja situasi tidak
semencekam ini.
Pria itu selalu menundukkan kepala, sehingga Aku tidak tahu bagaimana
rupanya, selain kesimpulan bahwa hidung pria ini sangat lancip sampai-sampai
hanya itu bagian tubuhnya yang terlihat. Tiba-tiba, penampilannya terhenti karena
suara gemeretuk pada pintu. Pria itu menoleh cepat, dia panik, lantas segera
bangkit dari kursi. Menyeretnya ke sudut ruangan, menuju loteng dan meanjat ke
lubang ventilasi.
Tak lama setelah pria itu masuk ke loteng, giliranku muncul dalam layar,
terlihat kebingungan dengan bangku yang ada di pojok ruangan. Aku di dalam
video memindahkannya tanpa ada kecurigaan sedikit pun pada wajah. Setelah itu
video dipercepat dua kali lipat, menunjukan aku dengan segala kegiatan di dalam
kamar asrama, bahkan kegiatan yang seharusnya privasi.
Durasi video itu sangat lama, hampir lima jam, tapi aku mematikannya
segera, menyadari bahwa bukan hanya aku yang tinggal di kamar ini. Aku melirik
kotak persegi pada atap kamar, ventilasi tempat pria pembuat video ini masuk dan

158
keluar sesuka hati. Langkah kaki menuntunku ke telepon, tapi jariku tak kunjung
memencet nomor darurat polisi.
Aku tidak ingin mereka menganggapku gila, aku akan mengambil beberapa
barang bukti terlebih dahulu. Aku mengambil ponsel, menyalakan kamera, dan
menyeret bangku tepat ke bawah kotak ventilasi itu, lantas memanjatnya seperti
yang dilakukan pria tadi. Mataku melebar begitu sampai di atas, ruangan ini
sangat lapang, dan tersusun rapi selayaknya kamar huni asrama. Aku memandang
sekitar keheranan, bahkan ruangan ini lebih rapi dari kamarku.
Kaki terus kupaksa melangkah meskipun gemetar. Kalau selama ini ada yang
tinggal di lotengku, apa saja yang sudah dia lakukan? Apa yang dia inginkan?
Kenapa dari sekian banyak kamar di asrama ini, dia harus memilih kamarku.
Sebuah tirai hijau mewah dengan renda emas menghalangi langkahku, di atasnya
tertulis 'kamar koleksi', aku segera menyibaknya hanya untuk melihat hal yang
lebih mengejutkan lagi.
Ruangan ini seperti sebuah kamar keramat tempat seseorang melakukan
ritual. Lilin-lilin dinyalakan menyinari berbagai boneka berukuran manusia yang
tampak sangat nyata. Ada sekitar delapan boneka dengan ekspresi yang berbeda-
beda, masing-masing memiliki peti penyimpanan khusus. Mata mereka masih
terbuka, tampak sangat nyata, meskipun bibir mereka tersenyun, sorot mata
mereka memancarkan rasa takut.
Diantara semua peti itu, ada satu peti yang terlihat aneh. Selain karena
kosong, ukiran pada peti itu juga jauh lebih indah. Di dalamnya terpajang foto
seorang gadis berambut merah ikal mengembang yang tengah tersenyum manis.
Bulu kudukku seketika berdiri, kakiku gemetar sampai rasanya tulang-tulangku
menjadi lunak. Itu aku.
Secepat kilat aku memotret kamar itu, lalu berbalik untuk melaporkan semua
ini pada polisi. Namun, terkadang rencana tidak berjalan sesuai harapan. Pria di
dalam video berdiri persis di depan lubang ventilasi jalan keluar. Dia tidak
memakai jaket dan celana hitam, tidak juga bertudung menybunyikan wajah, tapi
aku yakin itu dia, menyadari hidungnya yang sangat lancip.

159
Dia memakai setelan kemeja pendek dengan rompi, begitu rapi dan modis.
Kulitnya sepucat porselen dengan manik Abu-abu keperakan. Tidak pernah aku
melihat seseorang bisa terlihat menarik sekaligus mengerikan di saat bersamaan.
“Akhirnya aku berhasil menarik perhatianmu!” katanya dengan suara parau.
“Siapa kau!?”
“Aku penggemar rahasiamu, Sayang. The Puppeteer.” Pria itu mendekat.
“Boleh aku memelukmu?”
“Menjauh dariku!”
Ketika menyadari tangannya memegang sebilah pisau, aku segera
melembutkan nada bicara.
“Se—sebelum itu ... apa alasanmu menjadi penggemar rahasiaku? Aku bukan
siapa-siapa.” Meskipun berusaha tenang, nada bicaraku terdengar seperti orang
tenggelam.
Dia menyeringai, “Kau bercanda, siapa yang tidak menyukaimu? Rambut
kemerahanmu yang ikal, mata hijau terang, bibir tipis merah muda. Kau adalah
boneka yang sempurna.”
“Bi—bicara apa kau! Aku bukan boneka!”
Dia tidak mendengarkan, justru mengangkat pisau ditangan, membuatku
melangkah mundur dengan panik.
“Apa yang kau lakukan!”
“Aku sudah mempunyai banyak boneka, aku punya Barbie, Annie, Rodger,
Robert, bahkan Chucky. Yang belum kupunya hanya satu, dan boneka itu adalah
favoritku.”
Teriakanku teredam bekapan tangan dinginnya ke mulutku. Ujung runcing
pisau tepat mengarah pada tenggorokanku. Semua terjadi begitu cepat, tidak ada
yang bisa kulakukan kecuali menangis.
“Selamat datang, Reggedy Ann.”
***

160
Four Leaf Clover
“Mengucapkan selamat tinggal bukanlah hal tersulit dari perpisahan.”

Aku menenangkan Cindy yang masih saja murung. Matilda sudah seperti
kakak kandung baginya, semenjak gadis itu meghilang secara misterius, Cindy-
lah yang merasa paling kehilangan. Sarah duduk pada sofa tak jauh dari kami,
menyuruh Cindy agar jangan cengeng. Dia bertingkah seolah cuek, padahal
ekspresinya jelas terlihat gelisah karena kejadian ini.
Bagaimana tidak, kami sahabat dekat, seperti semanggi berdaun empat, ketika
satu daun dicabut, keberuntungan akan berubah menjadi kemalangan. Hilangnya
Matilda seolah menjadi tanda bahaya akan terjadi. Kami berkali-kali menanyakan
nasib Matilda kepada Tuan Richard—penanggung jawab kami—tapi jawabannya
selalu saja sama.
“Harap sabar, kasus ini sedang diselidiki.”
“Sial, setidaknya beri tahu kalau dia baik-baik saja!” umpat Sarah. “Aku rasa
Tuan Richard menyembunyikan sesuatu dari kita!”
“Untuk apa menyembunyikan sesuatu, dia penanggung jawab kita, kalau
Tully menghilang kan dia juga yang repot. Dia pasti sedang berusaha keras.”
“Kamu membelanya karena suka dia, kan?”
Aku terdiam sebentar. “Sudahlah, Sarah. Toh cepat atau lambat kita akan
mendapat jawaban. Tak ada bangkai yang tak berbau.”
“Omong kosong! Aku lelah menunggu ketidakpastian, pihak asrama tidak
transparan mengurusi kasus ini!”
Cindy menarik kaosku beberapa kali. “Apa maksudnya?”
“Kalau tidak bisa bersabar, kenapa tidak kamu saja yang selidiki!” Kesal, aku
menaikan intonasi.
Bukannya diam, sebuah seringai justru keluar dari wajah lancipnya.
“Tepat sekali ... memang itulah yang akan kukatakan pada kalian. Apa kamu
seorang peramal?”
“Jangan main-main, Sarah!”

161
“Main-main apanya? Ini jelas sangat masuk akal!” gadis itu mendekat untuk
berbisik. “Daripada menunggu aroma bangkai tercium, kita cari bangkai itu untuk
menciumnya!”
Aku memicingkan mata—kalimat macam apa itu?—Cindy langsung
mencengkram kaosku. Sekhawatir apa pun gadis itu kepada Matilda, pergi ke
kamar penyebab hilangnya Matilda tentu lebih menakutkan.
“Kenapa kamu gemetaran begitu?” hardik Sarah, “kalau Tully sudah ketemu,
kamu tidak perlu lagi menjadi anak cengeng, kan?”
Cindy mulai menangis lagi.
“Sudahlah!” aku melerai.
“Bagaimana, kamu ikut?" Sarah menatapku.
Aku melirik Cindy. “Kamu bisa tinggal di kamar kalau mau,” lanjutku
melihat wajah pucat gadis itu.
“A—aku juga mau tahu keadaan, Tully!” Cindy bergumam. “Aku ... juga
mau ikut!”
“Kamu serius? Tidak ikut juga tidak masalah ....”
Cindy mengangguk patah-patah, wajahnya terlihat jelas mengatakan ‘tidak’.
“Kalau begitu malam ini kita pergi. Bawalah minimal satu alat untuk
memukul,” sela Sarah. “Jaga-jaga kalau kita bertemu seseorang.”
“Bagaimana kalau kita bertemu hantu?” cicit Cindy.
“Konyol! Mana ada hantu!” sangkal Sarah segera. “Kalau malah menjadi
beban lebih baik kamu tidak usah ikut!”
Cindy tertunduk, menutup mulut rapat-rapat. Aku diam saja, sebenarnya ingin
menyuruh Cindy menetap di kamarnya, tapi seperti aku dan Sarah, bocah itu pasti
juga ingin tahu keadaan Matilda. Toh hanya memeriksa sebuah kamar. Hanya
akan ada tiga kemungkinan—
Matilda masih dalam keadaan hidup, kami akan menyelamatkannya. Matilda
sudah meninggal, setidaknya rasa penasaran kami lenyap, dan bisa menuntut
asrama agar memakamkannya dengan layak. Kemungkinan terakhir yang paling
buruk, Matilda tidak ada di sana sama sekali, membiarkan kami bertiga terus
bergelut dalam kegelisahan.

162
***
Kami menyatukan telapak tangan, meletakkan sebuah semanggi berdaun
empat di tengahnya, lalu memejamkan mata.
“Ini adalah sebuah janji suci ....”
“Untuk selalu bersama, disaat susah maupun senang ....”
“Saling menjaga meski harus berkorban nyawa ....”
“Kami saling menyayangi, kami tidak membutuhkan orang lain ....”
Kami membuka mata hanya untuk menyadari. Tidak pernah ada kami, hanya
ada aku seorang. Daun semanggi yang ketiga sisinya sudah tercabut, menyisakan
satu daun malang, kesepian, dan menyedihkan. Namun, daun itu tiba-tiba
berubah menjadi satu daun keladi yang utuh.
“Kau tidak membutuhkan mereka ... dunia mencintaimu ....”
Suara itu datang dari tempat lain ... Seorang pria tinggi misterius.
***
“Hey, Bodoh mau tidur sampai berapa lama?” Sarah menampar pipiku
berkali-kali. “Kita ada misi malam ini, ingat?”
“Mana Cindy?” tanyaku segera setelah duduk di ranjang.
Tidak perlu jawaban, Cindy ada di belakangku, wajahnya pucat, ia
memegang sebuah teflon sebagai senjata. Sarah menyodorkan sebuah gagang sapu
yang sudah patah kepadaku.
“Ini untukmu! Aku tidak bisa menemukan benda lain di gudang.”
“Kenapa cuma kamu yang dapat pemukul kasti keren?”
Gadis itu nyengir. “Ini kan ideku, anggaplah aku pemimpin.”
Aku memutar bola mata, dan mengikuti Sarah mengendap keluar kamar. Ini
pukul satu dini hari, tidak ada siapa pun di lorong. Cindy menggamit ujung
piyamaku dengan erat. Sepuluh menit kemudian kami sampai di lantai paling atas,
tepat di ujung lorong, terdapat sebuah kamar, di sanalah Matilda terakhir terlihat.
Cindy gemetaran hebat ketika Sarah memutar kenop pintu.
“Aku tidak mau ke dalam!” jerit anak itu tiba-tiba.
“Kecilkan suaramu, Bodoh! Kita sudah sampai di sini kita semua harus
masuk!” bisik Sarah geram.

163
“A—aku akan berjaga di depan. Memastikan tidak ada yang datang!”
“Ini pukul satu, Cindy! Tidak akan ada yang datang!”
“Aku tidak mau masuk!” Anak itu mulai terisak.
Sarah mengusap wajah kesal. “Sudah kuduga dia akan merepotkan saja!
Masa bodoh denganmu, aku akan masuk!”
Sarah melangkah mantap kedalam kamar yang gelap gulita. Aku beralih
kepada Cindy.
“Ya sudah, kamu jangan kemana-mana. Pintu akan kubiarkan terbuka. Kalau
ada apa-apa teriak saja, ya?”
Gadis itu mengangguk dan memelukku erat. Biasanya Matilda yang
memperlakukannya seperti itu. Cindy adalah anak yang manja, dan Sarah benci
anak manja. Kalau bukan aku, siapa lagi yang menjadi sandaran baginya. Aku ikut
masuk ke kamar, ruangan itu sudah diterangi cahaya kuning, menampilkan sebuah
ruangan persegi yang hanya berisi satu bangku dengan tali pengikat, dan meja
dorong. Tidak ada siapa pun di sana, berarti kemungkinan terburuklah yang
terjadi.
“Dia tidak di sini,” gumam Sarah sambil mengelus bangku itu. “Apa yang
sudah mereka lakukan kepadanya?”
Gadis itu menitikkan air mata. Meski menyebalkan, Sarah mempunyai hati
yang lembut. Aku menghampiri, dan memeluknya dari belakang.
“Sudah-sudah, kita sudah berusaha ... Kita serahkan saja kepada Tuan
Richard dan pihak asrama.”
“Kamu masih menyayangiku, kan? Kita masih menjadi daun semanggi, kan?”
Aku bergeming. “Tentu saja. Selamanya akan begitu.”
“Berjanjilah ....”
Aku dan Sarah terkejut bukan main mendengar jeritan melengking dari luar.
“Cindy!” Kami bergegas keluar kamar, tapi gadis itu tidak terlihat di mana-mana.
Teflonnya tergeletak di lantai. Satu-satunya yang berubah dari tempat itu adalah
sorot cahaya rembulan dari jendela yang tadinya tertutup. Apakah mungkin
Cindy? Aku melongok ke bawah dan menemukan jasad kecil tergeletak

164
bersimbah darah di tanah. Aku dan Sarah memekik. Cindy tidak mungkin sengaja
melompat. Seseorang sudah mendorongnya.
“Siapa pun kau keluarlah!” Sarah berteriak sambil mengangkat gagang
kastinya. Matanya masih memerah karena tangis. “Jangan jadi pengecut!”
Giliranku yang gemetar ketakutan. Aku bersimpuh pada lantai karena kakiku
lemas. Mataku menangkap sesosok pria di ujung kamar, padahal tadi tidak ada
siapapun di sana. Aku menarik baju Sarah dan menunjuk kepada pria itu.
“Sial! Ayo, kita pergi!”
Kami berlari menyusuri lorong, beberapa kali terpeleset saking paniknya,
sampai di ujung tangga pria tinggi tadi sudah menunggu di sana. Tanpa basa-basi
Sarah meluncurkan pukulan yang dengan mudah dihindari. Pria itu balas
menjambak rambut Sarah, membuat gadis itu mengerang kesakitan. Bukannya
menolong, aku justru menyaksikan dengan gemetar.
Kematian Cindy membuatku takut hal yang sama akan terjadi padaku. Sarah
masih bergelut dengan pria itu, berkali-kali mencoba memukulnya. Namun, setiap
kali si pria berhasil mengelak, ia selalu balas memukul. Membuat Sarah babak
belur kehabisan tenaga. Gadis itu menyerah, pemukul kastinya jatuh ke lantai,
wajahnya penuh luka memar.
“Daun semanggi ... Ingat kamu sudah berjanji!”
Itu kalimat terakhir Sarah sebelum pria itu meninju wajah Sarah sangat keras
sampai membuatnya jatuh tak bergerak, mungkin selamanya. Hanya menatap
nanar, aku tidak menyadari si pria mulai mendekat. Ketika sadar dan hendak
kabur, dia sudah memiting leherku.
“Lepaskan! Apa yang kau inginkan dari kami!”
Pria itu menyeretku menaiki tangga, kembali ke kamar tempat Matilda
menghilang. Aku menggigit tangannya, tapi tidak cukup untuk membuatku bebas.
Sekuat tenaga aku berontak agar bisa terlepas dari pria jahat itu, tapi sesuatu yang
keras lebih dulu menghantam leherku, seketika pandanganku menjadi gelap.
***
Mataku akhirnya terbuka dengan sayu memperhatikan sekitar, dan segera
mendelik ketika sadar sedang berada di dalam kamar tempat Matilda menghilang.

165
Tanganku terikat pada gagang kursi, dan di hadapanku berdiri pria yang sejak tadi
meneror kami. Aku tertegun, menyadari siluet pria itu sama seperti dalam mimpi,
juga baru menyadari sejak pertama bertemu tidak sekali pun pria itu
memperlihatkan wajah.
“Siapa kau, apa yang kau inginkan dari kami?” tanyaku gemetar.
Keheningan membalas.
“Punya mulut, tidak? Jawab aku!” Aku membentak.
Pria didepan masih bergeming, bahkan aku ragu dia bernapas.
Merasa putus asa, aku mulai terisak. “Apa salah kami? Kenapa kau
memperlakukan kami seperti ini!”
“Kau sudah membunuh teman-temanku! Kau bunuh saja aku juga, Sialan!”
“Mana mungkin aku membunuh orang yang aku cintai.” Pria itu akhirnya
membuka mulut.
Suara itu. Aku mengenali suara itu. Si pria melangkah dari kegelapan dan
menunjukan wajahnya.
“Tuan Richard?” aku bergumam.
Tanpa peringatan, pria itu memelukku erat. “Selamat, Sayang. Kau sudah
berhasil!”
“Berhasil apa ... Apa maksudmu?”
“Kau berhasil menyingkirkan mereka. Sekarang kau adalah dirimu yang utuh.
Kau adalah Mariah, istriku!”
Matahari menyingsing dari Timur, cahayanya masuk dari jendela. Untuk
pertama kalinya aku benar-benar menikmati sinar sang surya. Kuperhatikan lagi
pria di hadapanku.
“Richard? Kau-kah itu?”
“Ya, ini aku ...,” balas pria itu berkaca-kaca. “Kau tidak membutuhkan
mereka lagi, Mariah. Tanpa mereka dunia sudah mencintaimu. Aku
mencintaimu.”
Perasaanku saat ini tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Seperti sebuah
gunung yang akhirnya meletus, perasaan lega yang menyenangkan. Rasa sedih,
ketakutan, gelisah tidak lagi tersisa. Namun, ada kejanggalan akibat rasa

166
kehilangan. Semanggi berdaun empat sudah berubah menjadi satu daun yang
utuh. 'kami' telah menjadi 'aku'. Kupikir setelah kepergian sahabat-sahabatku,
hidup akan terasa suram, sepi, dan hampa. Nyatanya, duniaku justru semakin
cerah.
Tanpa kusadari aku punya segalanya. Keluarga, teman-teman, juga orangtua.
Aku hanya perlu membuka mata dan menyadari apa yang kupunya. Richard
bilang, Matilda, Cindy, dan Sarah adalah kepribadianku yang lain, mereka sering
mengambil alih diriku secara paksa. Aku tidak terlalu mengerti tentang itu, tapi
terkadang aku merindukan mereka. Sayangnya Richard berpesan agar jangan
mengizinkan mereka kembali kedalam. Sejatinya, tubuhku adalah milikku
seorang.
***

Endless Adventure
“Terkadang hidup di dunia bisa lebih berat daripada petualangan abadi.”

167
Wonderland—sebuah negeri impian, di mana yang tidak ada menjadi ada,
dan yang ada menjadi ajaib. Pohon-pohon menjulang tinggi terbuat dari permen,
jamur-jamur yang bisa menciutkan maupun membesarkan ukuran tubuh, seekor
ulat penghisap cerutu, dan siapa yang tidak mengenal kucing bermata besar
dengan seringai lebar yang bisa menghilang. Wonderland bisa menjadi mimpi
indah sekaligus mimpi buruk bagi siapa saja yang masuk ke dalamnya, karena
selalu ada petualangan ajaib nan berbahaya yang menanti setiap hari.
Untuk bisa pulang, dibutuhkan kecerdikan, keberanian, dan tekad yang kuat
dari dalam diri. Kita pasti pernah mendengar kisah seorang gadis bernama Alice
yang menghadapi petualangannya di Wonderland, kisahnya begitu terkenal
padahal bukan hanya dia yang pernah mengalaminya. Kenapa begitu? Karena
hanya gadis itu yang pernah datang ke Wonderland, dan berhasil pulang.
Dahulu ada seorang gadis terbangun di Timur Wonderland, ia terlihat seperti
kepingan salju, seluruh tubuhnya berwarna putih, bahkan bulu matanya berwarna
keperakan. Wonderland adalah tempat di mana ia tidak pernah diolok-olok karena
warna kulitnya itu, bahkan rakyat negeri awan sangat mengagguminya karena
sifat sang gadis yang baik hati dan lemah lembut. Rakyat negeri Awan
menjadikan gadis itu sebagai ratu—Ratu Putih yang lembut (The White Queen).
Sementara itu, jauh di sisi Barat wonderland, gadis lain juga sedang
menjalankan petualangannya. Ia juga memiliki keistimewaan karena ukuran
kepalanya lima kali lebih besar dari kepala manusia normal. Gadis itu bersifat
keras dan galak, tidak ada yang menyukainya di dunia, tapi di Wonderland,
bangsa kartu justru sangat menghormatinya, menurut mereka gadis itu tegas,
sehingga bangsa kartu menjadikannya seorang ratu—Ratu Hati yang kejam (The
Heart Queen).
Sisi Selatan Wonderland juga mempunyai cerita tersendiri. Seorang pemuda
jangkung berkulit pucat terempas ke tengah padang rumput luas, ia dikerumuni
banyak hewan-hewan aneh yang bisa bicara, kepala mereka botak akibat sengatan
matahari. Kebetulan pemuda itu adalah seorang pembuat topi, pembuat topi yang
dihina-hinakan penduduk dunia karena topi buatannya terlalu nyentrik. Di
Wonderland, para binatang sangat menyukai karyanya, mereka menari sebagai

168
wujud kebahagiaan serta terima kasih. Para binatang menjadikannya panutan—
Pembuat Topi yang gila (Mad Hatter).
Kemudian di sebelah Utara Wonderland, seorang wanita paruh baya tengah
menangis tersedu. Ia baru saja kehilangan sang anak karena wabah penyakit,
membuat wanita itu benar-benar hidup sebatang kara di dunia. Tiba-tiba,
tangisannya terhenti karena mengendus aroma manis dan pedas, lalu dari kejauhan
kue-kue jahe kecil mendekat, retakan-retakan panjang terlihat pada tubuh mereka,
beberapa bahkan sudah kehilangan tangan atau kaki. Wanita paruh baya itu
memperbaiki mereka, merawat kue-kue jahe kecil seperti anaknya sendiri. Prilaku
terpuji tersebut membuat wanita itu mendapatkan tempat istimewa di desa kue—
Ibu para kue jahe (Mother Ginger).
Hingga sekarang, keempat sudut mata angin Wonderland mempunyai
pengurus. Ada yang jahat, ada yang baik, ada pula yang melihat potensi
kemenangan sebelum mengikuti ke arah mana mereka memihak. Contohnya Mad
Hatter.
“Kepalamu sangat indah, Yang Mulia,” pujinya kepada Ratu Hati, sembari
meletakkan topi besar berwarna merah, saking bersinarnya sampai terlihat seperti
lentera. “Ini adalah topi terbaik yang pernah kubuat seumur hidup. Terbuat dari
kain Royal pilihan, serta polesan minyak kasturi sehingga bersinar diterpa cahaya
sang surya.”
Seketika kelinci putih cungkring di sisinya tertawa terbahak-bahak.
“Bukankah kau menemukan topi itu pembuangan ... AW!” Mad Hatter buru-buru
menarik telinga panjang asistennya itu.
Sang ratu di depan cermin menaikkan dagu. “Masa? Tapi apakah topi ini
benar-benar cocok denganku?” Ia menoleh ke arah pengikut-pengikut setianya—
meminta pendapat.
Mereka berjumlah tujung orang, semuanya memiliki kelebihan pada ukuran
tubuh, ada yang hidungnya sangat besar sampai menutupi wajah, telinga selebar
gajah, bahkan kedua tangan yang lebih terlihat seperti sayap elang. Semuanya
serempak mengangguk—mengiyakan—sehingga sang ratu kembali meneliti
dirinya. Sedetik kemudian, wanita itu justru memekik.

169
“Ini jelek sekali! Aku benci!” Ia melempar topi ke lantai, dan menginjaknya
beberapa kali. “Pengawal! Penggal kepala mereka semua!”
Mad Hatter terlonjak. “Saatnya kita pergi dari sini,” bisiknya pada kucing
yang sejak tadi menyeringai lebar di bahunya.
Kucing itu segera memanjangkan tubuh, melingkari tuannya dari atas sampai
bawah, si kelinci gila ikut menemplok. Sekonyong-konyong ketiganya membias
dari ruangan, sambil melambaikan tangan.
“Jangan kabur!” jerit Ratu Hati.
“Seleramu jelek, sama seperti kepala besarmu!” lanjut Mad Hatter sambil
menjulurkan lidah, lalu hilang seutuhnya dari ruangan. Meninggalkan Ratu Hati
berteriak begitu kencang hingga menggetarkan istananya.
Mad Hatter muncul kembali bersama dua asisten konyolnya di sebuah istana
kristal berwarna putih. Tidak ada penjaga di mana-mana, sehingga pemuda itu
dengan langkah ringan memasuki pintu besar bergambar mahkota, mendapati dua
wanita sedang duduk berhadapan meminum teh. Wanita pertama terlihat seperti
kepingan salju, sementara yang lain berusia lebih tua, mengenakan pakaian
bergaun teramat lebar hingga mengisi hampir seluruh ruangan, kue-kue jahe kecil
melongok dari dalam sana.
“Penyusup!” Wanita setengah baya bangkit, tubuhnya begitu besar membuat
Mad Hatter menelan ludah.
“Tenanglah, Mother Ginger,” sahut si wanita salju. “Ada perlu apa Mad
Hatter? Ratu Hati mengutusmu untuk mencuri tikus-tikusku, lagi?”
Bukannya menjawab, Pemuda itu bersimpuh dramatis di lantai. “Oh, Yang
Mulia Ratu Putih yang jelita ... tolonglah aku dari kekejian dan arogan Ratu Hati!”
Mother Ginger memutar bola mata. “Dia selalu melakukan itu ... datang
kemari hanya untuk terbebas dari eksekusi. Hukuman apa kali ini? Pancung?
Bukankah kau bisa menyatukan kepalamu kembali?”
“Memang, tapi ketika kepala terlepas dari tubuh, rasanya sakit sekali, kau
mana tahu!” rengek pemuda itu.
“Itu bukan urusan kami! Ulahmu adalah tanggung jawabmu!”

170
“Ayolah, Mother Ginger ... lihat mereka, kasihan kalau sampai mereka
terluka, kan?” Ratu Putih menyela, sambil mengelus asisten-asisten Mad Hatter
yang sangat ahli membuat ekspresi memelas.
Mother Ginger menepuk dahi, lantas melangkah pergi kembali ke
wilayahnya. “Masa bodoh! Kalau nanti Ratu Hati datang menyerang, kalian urus
sendiri!”
Seperti adegan yang di ulang terus-menerus, ketika Mad Hatter kabur dari
eksekusi dan menghampiri Ratu Putih, Ratu Hati akan datang menyusulnya,
membawa banyak sekali pasukan kartu, serta menunggangi hewan
kesayangannya, Jabberwocky. Di sisi lain, Ratu Putih dengan lemah gemulai
mengomando pasukan ksatrianya untuk membuat pertahanan. Seperti biasa, Jahat
menyerang—Baik bertahan.
Meskipun ratusan kali bersumpah untuk tidak ikut campur urusan perang,
pada akhirnya Mother Ginger tetap turun tangan ketika kebaikan mulai kehilangan
sinar kemenangan. Ia membawa benteng tempur kaleng replika dirinya yang
sangat besar dan berwajah seram, Jeberwocky sangat takut dengan benteng
tempur milik Mother Ginger, sehingga hewan itu terbirit-birit kabur, sekaligus
menjadi pemicu awal kekalahan Ratu Hati.
Setelah itu sang ratu mengeluarkan sumpah serapah sebelum kembali ke
istananya. Mad hatter pun selamat dari eksekusi, sampai suatu saat ia mengabdi
kembali pada ratu jahat itu, mengkhianatinya, dan mengulang kembali perang
abadi antara keempat sudut Wonderland. Negeri impian benar-benar menepati
janjinya, menjadikan setiap hari adalah sebuah petualangan yang menegangkan,
dan keempat penguasa menjadi bagian di dalamnya. Padahal sebelum itu, mereka
berempat hanyalah manusia-manusia normal, yang bahkan tidak dilihat oleh
dunia.
Keempat petualang itu tidak pernah menyangka akan menjadi penguasa, serta
pengurus dari setiap sudut mata angin Wonderland. Mereka hanya merasa nyaman
berada di negeri ajaib itu, ketika dunia mengucilkan mereka, Wonderland justru
menerima mereka, menjadikan mereka istimewa. Terkadang kehidupan normal di

171
dunia bisa lebih berat daripada petualangan menegangkan di Wonderland setiap
harinya.
***

The Lost Soul


“Is this where you wanna be? I just don't get it, why do you wanna stay”

172
Pembukaan perdana Rumah Makan Freddy Si Beruang, Besok!
Senin 12 Maret 1987.
Kami memperkerjakan berbagai macam Animatronic untuk melayani serta
menghibur kalian. Ingatlah untuk selalu tersenyum menyapa para
Animatronic, mereka akan sangat senang!
***
Pamflet sudah dipajang, pita merah sudah direntangkan, alat-alat musik sudah
disusun rapi di atas panggung. Selain menyediakan Pizza, Rumah Makan Freddy
mempunyai hal lain untuk disuguhkan kepada para pengunjung. Sebuah lagu
tentang persahabatan. Memang baru satu, band ini belum berdiri cukup lama.
Selain band, Rumah Makan ini punya Balloon Boy sebagai penerima tamu, ada
Muppet si badut yang bertugas menghibur para pengunjung, Chica si ayam betina
yang melayani pesanan, sekaligus penyanyi latar.
Lalu ada Bonnie si kelinci ungu yang memainkan gitar listrik, Foxie si rubah
yang bermain drum, terakhir tentu saja Freddy, beruang besar yang ramah,
menjadi vokalis, sekaligus pemimpin para Animatronic. Sebenarnya ada dua lagi
Animatronic di ruang bawah tanah. Mangle, rubah betina yang harus diperbaiki
beberapa bagiannya, serta Spring Trap si kelinci kuning produk gagal pendiri
Rumah Makan Freddy.
Sudah beberapa minggu dia dibiarkan terkulai dalam gudang. Mekanik
berjanji akan segera memperbaikinya, tapi janji itu tak kunjung ditepati. Semua
posisi sudah terisi, latihan terakhir sudah dilakukan, Freddy dan teman-temannya
sudah sangat siap beraksi. Namun, ketika pria berjas keren pergi setelah
membiarkan gas di gudang terbuka, semua tahu masalah akan terjadi.
Dia tidak menyukai tema binatang robot sejak awal, sebenarnya tidak ada
juga yang menyukai pria sinis dan licik itu. Kalau dia bukan salah satu
penyumbang uang terbanyak dari Rumah Makan Freddy, mungkin semua orang
setuju untuk mendepaknya pergi. Sayang, selain kaya raya, orang itu cukup dekat
dengan pemerintah, dia berjanji masalah perizinan Rumah Makan Freddy akan
berjalan lancar. Janji tinggallah janji, dia bukan pria yang terlalu baik.

173
Pemuda malang yang bertugas menjaga gedung malam itu menyadari aroma
tidak sedap dari bawah tanah. Sayangnya, ketika dia hendak memeriksa, mungkin
memperbaiki kerusakan itu, semua sudah terlambat. Entah bagaimana api
memercik lantas meledakkan gedung bersama seluruh isinya. Teriakan si penjaga
terdengar sama keras dengan ledakan, teriakan itu terngiang di masing-masing
telinga Animatronic yang ada menyaksikan. Sungguh kacau, tubuh Mangle
tercerai berai, Spring Trap semakin hancur, merekalah yang paling parah terkena
dampak ledakan.
Sementara Freddy dan teman-temannya di ruang depan terbakar sedikit demi
sedikit, wajah Foxie bahkan meleleh cukup parah, salah satu bola matanya
menggelinding di lantai, sedangkan Balloon Boy mengeluarkan air mata akibat
kehilangan semua balonnya. Malam itu, Rumah Makan Freddy hangus terbakar.
Band yang dipimpin Freddy tidak pernah tampil, juga Rumah Makan yang tidak
pernah benar-benar buka.
“Kami menunggu setiap malam untuk disambut dengan keceriaan,
kegembiraan, serta keseruan yang pernah mereka janjikan pada kami.”
“Kami dipaksa diam di tempat. Hanya bisa memainkan satu lagu yang pernah
diajarkan kepada kami, terus-menerus setiap malam.”
“Kami sudah terjebak di ruang kecil ini sejak waktu yang sangat lama.”
Orang-orang lantas melupakan keberadaan Rumah Makan Freddy, melupakan
kasus kebakaran dahsyat yang meluluh-lantahkan bangunan itu bertahun-tahun
silam, melupakan sang penjaga yang mati mengerikan di dalam sana. Arwahnya
bersemayam, terbagi rata, hidup bersama para Animatronic. Freddy mulai
mengeluarkan suara-suara berat, mencoba menjalankan tugasnya sebagai
penyanyi.
Chica sering berkeliling, selalu tersenyum ramah sebagaimana tugas seorang
pelayan, Bonnie sesekali bergerak mengambil gitar meskipun tidak pernah
memetiknya, Foxie hobi berjalan-jalan, seolah lupa bahwa dia adalah pemain
drum. Rubah itu menghampiri Mangle—sang kekasih—di bawah tanah.
Menemaninya karena tubuh rubah betina itu menyatu dengan atap, tergantung
dengan tubuh yang terpisah, tidak bisa kemana-mana. Ia sering kesepian.

174
Muppet betah di dalam kotaknya, sementara Balloon Boy selalu mengatakan
“Hai!” atau “Hallo!” meskipun tidak pernah ada siapa pun di sana. Para
Animatronic selalu senang kedatangan tamu. Mereka menjadi sangat penasaran
ingin melihat seperti apa kawan baru mereka, serta menyapanya dengan ramah.
Sayangnya, niat baik mereka sering kali berakhir bencana. Apa yang kalian
harapkan? Tubuh para Animatronic tidak sempurna, meleleh, gosong, bahkan
lebih mengerikan dari hantu.
Suara mereka terdengar serak, atau berat, malah ada yang tidak bersuara sama
sekali. Ketika mereka mencoba menyapa tamu yang datang, bukannya senang,
orang itu malah terkejut. Terkejut setengah mati sampai pingsan di tempat.
Animatronic tidak pernah bisa membedakan mana orang pingsan dan mana yang
sudah mati. Melihat seseorang memejamkan mata, mereka segera membuang
tubuh itu ke gudang, tanpa melakukan apa pun setelahnya.
Rumah Makan Freddy menjadi tempat yang orang-orang sebut "angker".
Tidak pernah ada yang masuk ke sana berhasil keluar. Beberapa yang berhasil
keluar memperingatkan.
“Asalkan tidak bersitatap, sebisa mungkin menghindar dari para Animatronic,
kalian akan aman!”
Orang-orang yang penasaran ikut berkunjung, dan mereka selalu menutup
setiap pintu, semua menghindar, semua ketakutan. Padahal para Animatronic
adalah pemilik gedung ini, kenapa mereka justru yang tidak diperbolehkan
masuk? Terkadang mereka menggedor-gedor pintu, tidak memikirkan—tidak
menyangka tepatnya—para tamu di dalam ruangan gemetar ketakutan.
“Izinkan kami masuk, jangan mengunci kami, kami tidak seburuk yang kalian
pikirkan!”
“Kami hanya sekumpulan jiwa yang telah lama terjebak, kami kehilangan
arah, dan kami harus merelakannya.”
“Kami senang kedatangan tamu untuk bermain bersama, kami terlalu lama
sendirian, kami hanya terlalu bersemangat, tolong maklumilah!”
Rumah Makan Freddy menjadi terkenal kembali di kalangan anak-anak
muda. Entah siapa yang memulai, rumah pizza itu berubah menjadi tempat uji

175
nyali. Alih-alih senang, para Animatronic menjadi sangat marah. Apa gunanya
orang-orang ini datang, jika mereka hanya duduk, mengunci semua pintu,
menghindari setiap sapaan, lantas pergi dan melupakan kembali?
Suatu malam, semua Animatronic berkumpul, merasa sedih dan muram,
saling bersandar, menyadari setidaknya mereka masih memiliki satu sama lain.
Tiba-tiba terdengar suara bising gesekan besi, suara langkah berat yang terseok-
seok. Semua kepala terangkat dan menatap ke pintu ruang bawah tanah. Sedikit
demi sedikit, terlihat dua telinga panjang berwarna kuning, semakin lama terlihat
wajah tengkorak versi robot, dengan mata menyala merah dan kabel-kabel
mengeluarkan oli serta percikan api. Semua tersenyum. Itu Spring Trap, dia
akhirnya berhasil memperbaiki diri.
“Aku sudah di sini.”
“Mereka tidak bisa terus memperlakukan kita seperti ini.”
“Jika itu yang mereka inginkan, kita beri mereka aturan main. Kita beri
mereka waktu lima malam. Setelah itu biar mereka memutuskan ingin bergabung
menjadi sahabat atau terjebak di sini selamanya.”
Semenjak saat itu, para Animatronic melakukan tugas mereka masing-
masing. Oh, bukan tugas, melainkan kebiasaan mereka. Menyapa setiap
pengunjung yang datang. Balloon Boy sedikit malu-malu, ia hanya sering berkata
“Hai!” atau “Hallo!” tanpa benar-benar menunjukkan diri. Bonnie biasanya
melongok dari pintu kiri sebelum muncul memberi salam.
Chica kebagian pintu kanan. Berhati-hatilah, dia yang paling tidak tahan
untuk segera memberi salam. Jika kalian mendengar alunan lagu Pop Goes the
Weasle, itu tandanya Muppet akan segera menyapa dari dalam kotak. Jika kalian
mendengar langkah kaki, kalian harus bergerak cepat. Itu Foxie yang sedang
berlari dan akan mengagetkan kalian. Jangan takut, itu hanya sebuah salam tiba-
tiba yang jenaka.
Mangle sangat pemalu, ia tidak pernah muncul. Sedangkan Freddy akan
sering bernyanyi untuk kalian. Memantau teman-temannya, memastikan mereka
mengerjakan tugas dengan baik. Nah, di malam kelima bersiaplah, Spring Trap

176
akan muncul, menentukan apakah kalian boleh pergi atau kalian tetap tinggal, dan
menjadi bagian dari mereka.
“Kami cukup terkejut melihatmu kembali setiap malam. Kami ingat wajahmu
dengan jelas. Kau cukup ahli mengatur pintu-pintu itu.”
“Kau sudah menghabiskan lima malam di Rumah Makan Freddy. Apa yang
kau inginkan? kau ingin tetap tinggal menjadi teman kami? Atau terjebak
selamanya?”
Jika kalian berhasil lolos dari Spring Trap, selamat kalian berhasil keluar dari
Pizza Freddy. Jika kalian gagal, selamat, kalian menjadi bagian dari mereka.
Setidaknya kalian tidak perlu khawatir, kan? Lolos atau tidak dari Rumah Makan
Freddy, pada akhirnya kalian akan mendapatkan ucapan selamat.
***
Catatan :
Cerpen ini terinspirasi dari lagu dan game Five Night at Freddy's

177
Colorfull Rainbow

Summer and Sunny


“Karena sesungguhnya aku tidak baik-baik saja”

178
Meja kayu persegi panjang bersama dua bangku yang juga terbuat dari kayu
berpasangan, berjejer apik dalam sebuah ruangan lengang penuh debu. Lucu.
Dahulu ruangan ini terlihat begitu luas sampai kita bisa mengadakan lomba lari
demi sebuah permen, sekarang dengan lima langkah besar saja raga ini sudah bisa
mencapai ujung ruangan. Mungkinkah ruangan ini menyusut, atau kita yang
bertambah besar. Di baris ke-dua dari belakang, ada meja persegi panjang paling
kumuh yang penuh dengan coretan tip-ex dan ukiran penggaris besi. Semuanya
mengukir sebuah prasasti tentang betapa kuatnya sebuah persahabatan.
_______________________________
‘Summer dan Sunny.'
‘Berteman.'
‘Sahabat selamanya.'
‘Double Trouble.'
‘Musim panas dan Matahari.'
_______________________________
Berkali-kali pengurus sekolah memoles meja persegi panjang itu dengan cat
baru. Berkali-kali pula kita mengelupasi cat terkutuk yang berani menutupi
prasasti persahabatan kita itu dengan penggaris besi. Bukan salah siapa pun,
usiamu saat itu dua belas, sedangkan aku sendiri sebelas. Bersama kita menjaga
ukiran dan coretan tidak penting itu, sebagai satu-satunya bukti bahwa
persahabatan kita akan terjalin selamanya. Tahun-tahun berlalu begitu cepat, kita
melewati kejamnya sang waktu dengan begitu bermakna. Kau membuat begitu
banyak masalah, selalu terlibat sebuah tindak kriminal, sehingga mendapat
hukuman.
Kau sering membuatku geram, tapi anehnya aku selalu ingin ikut terlibat ke
dalam semua kekacauan yang kau ciptakan. Dahulu kita begitu kuat, tidak ada
satu badai pun yang dapat mengusik tangguhnya perpaduan antara musim panas
dan matahari, kedua elemen yang memang ditakdirkan untuk bersama. Sampai
suatu hari kau menghampiriku, dengan senyum aneh yang belum pernah kulihat
selama ini.

179
“Aku harus pergi, dan aku tidak bisa membiarkanmu ikut!” katamu waktu itu.
Aku ingat betul kapan kau bilang harus pergi, aku juga ingat setiap kata yang
keluar dari mulutmu. Kau bilang aku tidak pantas, kau bilang aku tidak cukup
dewasa.
“Baik. Aku tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja,” jawabku saat itu.
Namun, aku ingin kau tahu, aku sama sekali tidak baik-baik saja, aku merasa
kehilangan. Amat, sangat kehilangan. Selama ini selalu ada ‘Kita’, sehingga saat
aku menjalani sisa hidup sebagai ‘Aku’. Itu terasa sangat berat. Sang waktu yang
biasanya bergulir begitu cepat, kini menjadi puluhan kali lebih lambat, seolah
senang melihatku tersiksa. Mereka bertanya mengapa Kita tidak pernah bersama
lagi? Aku harus menjawab apa? Musim panas telah menjadi musim dingin. Sekuat
apa pun matahari mencoba bersinar, udara tetap dingin membeku. Kami akan
selalu ada dalam satu waktu, tapi tidak akan ada lagi kata ‘Kita’.
Rasanya aneh juga, merasa kesepian padahal orang yang kita sayang tepat
sejengkal di depan, ketika mengingat kembali memori-memori yang sempat kita
jalani dulu pun seolah kau masih milikku, seolah tidak pernah ada masalah di
antara kita, dan kau akan menungguku di depan kelas dengan senyum lebar khas
musim panas, menyambut sang matahari agar bisa menghabiskan waktu bersama,
selamanya. Namun, melihat kenyataan pahit membuatku bertanya-tanya apakah
semua kenangan ini hanya pura-pura? Kegembiraan abadi yang palsu?
Tiba-tiba engsel pintu berderit. Aku tidak serta-merta menoleh, berharap
angin yang melakukannya, tapi begitu sebuah langkah ringan tertangkap telinga,
kepalaku berputar begitu saja, sedikit tercekat mendapati sosok di ambang pintu.
Summer ada di sana, masih Summer yang sama, hanya saja senyuman lebar khas
yang hangat sudah tidak ada lagi, tinggal tersisa sorot mata sedingin es.
“Sunny? Apa yang kau lakukan di sini?” katanya seraya menghampiriku.
“Hanya melihat-lihat,” jawabku. “Mungkin aku akan menemukan harta karun
jika beruntung.”
Summer mengernyit sampai alis tajamnya yang dipoles apik saling bertautan.
“Kau memang anak yang aneh, Sunny.”

180
Aku terkekeh. Lucu dia mengatakan itu, padahal dahulu dia selalu
memproklamirkan dengan bangganya bahwa ‘Kita’ adalah dua anak aneh,
memperingati seluruh dunia untuk berhati-hati dengan kekompakkan kami. Mata
kecokelatannya yang tajam melirik meja persegi panjang di depan. Sorot tajamnya
melunak, untuk sedetik berubah menjadi tatapan yang lembut begitu melihat
prasasti di saat 'Kami' adalah 'Kita'. Untuk sedetik Summer benar-benar menjadi
Musim panas.
“Mereka tidak juga memoles meja ini dengan cat baru. Kenapa dulu mereka
dengan cepat melakukannya, saat mereka tahu kita akan selalu mengelupasi cat
baru itu.”
Aku menoleh secepat kilat. Dia masih ingat semua itu? saking gugupnya, aku
memainkan jemari, menatap lurus pada lantai. Sebisa mungkin menahan luapan
emosi dalam diri.
“Kalau mereka memolesnya dengan cat baru. Apa kita masih akan
mengelupasinya?” Akhirnya aku bertanya, tanpa sadar dengan nada yang sangat
lirih.
Dia balik menatapku. Beberapa detik kami saling tatap. Entah apa yang ada di
pikirannya saat ini, tapi jika kalian tanya aku. Aku sangat berharap persahabatan
kami akan terjalin kembali. Summer dan Sunny. Membuat dunia iri dengan
persahabatan kami yang begitu hangat. Namun, tatapannya kembali membeku.
Sambil membuang muka Summer menjawab.
“Tidak ... biarkan tetap begitu.”
Aku membuang napas keras-keras. Tidak sadar sejak tadi menahan oksigen
masuk ke dalam tubuh. Bibirku bergetar, ingin menangis sekeras mungkin, tapi
Summer yang sekarang benci anak cengeng.
“Kenapa?”
“Kita sudah dewasa, Sunny. Aku sudah dewasa, terus bermain bersamamu
hanya membuatku terlihat seperti bocah!”
“Aku bisa jadi dewasa.”
“Lupakan, Sunny. Lihat dirimu ... pergi ke kelas kosong, mengingat masa
lalu, berkhayal akan mendapat harta karun. Kita tidak sejalan lagi,” katanya.

181
“Hadapi saja, duniamu dan duniaku berbeda. Tidak bisa lagi ada kata 'Kita'.”
Nada bicaranya terengah-engah saat mengatakan itu.
Melihatku masih saja menunduk, gadis itu melanjutkan. “Aku baik-baik saja
tanpamu. Kau juga akan baik-baik saja tanpa aku, bukan?”
Dengan jeda sejenak aku mengangguk lesu. “Ya, aku akan baik-baik saja.”
“Bagus, sekarang pulanglah. Matahari tidak bersinar terlalu cerah. Udara
mulai dingin.”
Summer berbalik dan melenggak keluar ruangan. Aku sangat berharap dia
menoleh, tapi sampai pintu kembali tertutup dia tidak melakukannya. Kelopak
mataku tidak lagi bisa membendung genangan air. Perlahan butiran kristal itu
menetes. Begitu banyak masa indah yang kita lewati. Bagaimana dia bisa
melupakan itu? bagaimana dia bisa baik-baik saja? Memang tidak ada bukti fisik
bahwa kami pernah bersahabat selain prasati meja ini. Itu pun akan hilang saat
pengurus sekolah memolesnya dengan cat baru. Tidak lama lagi, tanda bahwa
kami pernah bersahabat akan benar-benar hilang.
Namun, ada satu prasasti yang akan terus ada. Hatiku, otakku. Semuanya
akan terus terkenang di sana. Apakah Summer tidak merasakan hal yang sama?
Saat aku bilang aku akan baik-baik saja. Itu adalah kebohongan terbesar. Tanpa
Summer ada satu ruang kecil yang kosong dalam hati ini. Aku sama sekali tidak
baik-baik saja.
***

Our Last Night


“Ini mungkin malam terakhir, tapi akan menjadi malam terpanjang dalam
hidup kami.”

182
Warna merah api menjilat-jilat, menimbulkan asap hitam yang mencemari
cakrawala. Suara kayu kering yang perlahan berubah menjadi arang pun meredam
orkestra kawanan jangkrik. Malam semakin larut, keheningan mendominasi, satu
per satu pengawas bumi perkemahan mulai memasuki pondok untuk beristirahat,
membiarkan lima orang gadis duduk di dekat danau untuk menghabiskan waktu
bersama.
Mereka adalah lima mahasiswa yang baru saja selesai mengerjakan skripsi,
sidang mereka berlangsung dua hari lalu, sementara wisuda berlangsung
seminggu lagi, jadi secara teknis ini adalah malam terakhir mereka berkumpul
sebagai mahasiswa. Tidak ada satu pun yang bicara, kelimanya tengah sibuk
menusuk marshmellow dengan ranting dan membakarnya di api unggun.
Beberapa menikmatinya, beberapa justru meringis karena marshmellow yang
dibakarnya terlalu hitam.
“Aku takut ...,” ucap Chloe memecah keheningan, membuat keempat
temannya serempak menatap gadis itu. “Aku takut wisuda, melanjutkan hidup ...
kedengarannya menyeramkan.”
“Aku juga,” sahut Emely. “Menurut kalian akan seperti apa hidup setelah
ini?”
Lagi-Lagi mereka bertukar pandang.
“Pekerjaan baru ... rumah baru ... suasana baru.” Dinah si rambut ikal
menerawang.
“Pacar baru!” Tina menimpali.
Teman-temannya serempak melempar kerikil kecil ke arah gadis playgirl itu.
“Kau sudah punya George!” seru Keylie.
“George sudah kuno dan membosankan!” balas Tina tanpa dosa.
Semuanya tertawa, tapi hanya Chloe yang tidak mau repot-repot
mengeluarkan ekspresi.
"Tenang saja, Chloe. Hidup tidak akan seburuk itu. Selagi kau mempunyai
mimpi, dan berusaha keras mengejarnya semua akan baik-baik saja,” ujar Dinah
sambil mengelus punggung Chloe.

183
“Benar, Chloe. Kau anak pintar, bahkan yang paling pintar, dan berbakat di
antara kita semua. Kau akan baik-baik saja.” Emely ikut merangkul gadis itu.
“Bukan itu masalahku ...,” lirih Chloe. “Aku sudah sangat siap mengejar cita-
citaku. Aku siap menjadi orang yang sukses di luar sana ....”
Chloe mengambil napas dalam, dan untuk kesekian kalinya berhasil membuat
keheningan sejenak. “Aku hanya ... tidak tahu bagaimana jadinya menjalani hari-
hari tanpa kalian.”
Mereka semua terdiam dengan kalimat itu.
“Aku menghabiskan waktu bersama kalian hampir 24 jam setiap hari, selama
empat tahun dalam hidupku, itu adalah waktu yang sangat lama. Kita melewati
banyak hal, baik saat susah maupun senang, menghadapi pasang-surut, segalanya
kita lakukan bersama-sama. Setelah ini pasti akan terasa sepi.”
Tidak ada yang membantah ucapan itu. Diam-diam keempat temannya
memikirkan hal yang sama, hanya saja ragu untuk melontarkannya secara
gamlang. Siang tadi mereka berlima datang ke bumi perkemahan ini,
menghabiskan waktu dengan petualangan, dan canda tawa. Tak disangka hanya
dengan sebuah malam semua bisa berubah dengan cepat.
Kelimanya menyadari, mungkin ini adalah malam terakhir mereka bisa
berkumpul, menghabiskan waktu bersama dalam senggang, sebelum akhirnya
berpisah, sibuk dengan urusan masing-masing, dan perlahan saling melupakan.
Potongan adegan masa lampau terlintas bahkan tanpa harus mereka jabarkan.
Bagaimana mereka bertemu saat penerimaan siswa baru, ikut ke dalam satu
organisasi yang sama, saat di kantin, berbagi satu ranjang kecil saat tidak ada
satupun yang mau tidur di lantai asrama, bahkan menggoda para laki-laki di gym.
Tina yang genit selalu punya ide gila untuk dilakukan, dan Emely-lah yang
pertama kali menyetujui segala ide gilanya.
Dinah selalu ketakutan, tapi tidak mau tertinggal dalam setiap aksi. Keylie
selalu ikut, meski gadis bermuka datar itu hanya akan merekam semuanya di
dalam otak, tanpa berbuat macam-macam. Sedangkan Chloe akan menjadi
penjaga sekaligus pelindung agar ide gila mereka tidak menjadi lebih gila lagi.

184
Kampus adalah tempat yang sangat ramai, tapi bangunan itu seolah penuh
sesak ketika mereka berlima terkumpul menjadi satu. Melakukan hal aneh yang
sejatinya tidak wajar untuk anak seusia 'kuliahan'. Siapa sangka menjadi
mahasiswa justru mengurangi usia mereka sampai belasan tahun. Ucapan Chloe
memang benar, empat tahun adalah waktu yang sangat lama, tapi berlalu begitu
cepat. Rasanya baru kemarin mereka saling berjabat tangan seraya menyebutkan
nama.
Kali ini Chloe menggamit tangan Dinah, lalu gadis itu menggamit Emely,
Emely meraih tangan Keylie yang melanjutkannya ke Tina, pada akhirnya
kembali ke Chloe. Tangan mereka saling bertautan mengelilingi api unggun, tidak
ada yang tahu apa yang sedang kelima gadis itu lakukan, bahkan mereka sendiri
tidak tahu.
Namun, begini saja sudah cukup. Rasanya hangat. Memang ada api unggun di
depan mereka, tapi ini berbeda, kehangatan yang tidak akan membakar meski
kalian terperangkap di dalamnya. Ketika kalian saling bersentuhan dengan
seseorang, dan terasa hangat, itu tandanya kalian saling menyayangi. Saat mereka
tengah menikmati momen itu dengan keheningan, suara Chloe terdengar begitu
lirih.
“I got my ticket for the long way ‘round. Two bottle whiskey for the way ....”
“And I sure would like some sweet company, and I’m leaving tomorrow, what
do you say?” sambung Keylie.
“When I’m gone ... You’re gonna miss me when I’m gone,” sambung Dinah.
Emely dan Tina ikut bernyanyi. “You’re gonna miss me by my hair, you’re
gonna miss me everywhere.”
“Oh, You’re gonna miss me when I’m gone.” Bait terakhir itu mereka
nyanyikan bersama.
Lagi-lagi mereka saling pandang, kali ini semuanya tersenyum, dengan
genggaman tangan yang menguat mereka tahu, mengucapkan selamat tinggal
memang berat. Maka dari itu, mereka tidak akan pernah mengucapkannya.
“Aku sayang kalian,” ujar Chloe.

185
Ketika malam semakin larut, dan Dinah sudah memakan marshmellow
terakhir, mereka memutuskan untuk masuk ke tenda dan beristirahat. Tina
mematikan api unggun dengan air, membuat suara ‘cess’ yang enak didengar.
Chloe mengumpulkan sampah, dan kaleng minuman sebelum membuangnya ke
tempat sampah. Sedangkan Emely merapikan kain yang tadi ia bawa, lantas
merangkul Keylie masuk lebih dulu ke dalam tenda.
Dinah, Chloe, dan Tina menyusul tak lama kemudian. Mereka tidur berjejer
seperti ikan yang sedang dijemur. Ini adalah tenda terbesar yang mereka temukan
di toko, tapi sepertinya tidak cukup menampung lima wanita dewasa. Belum
sempat salah satu dari mereka jatuh tidur, ada suara aneh yang datang dari Emely,
diikuti dengan bau tidak enak menyebar setelahnya.
“Em, kau kentut, ya?” tuduh Dinah seraya menutup hidungnya.
“Tidak!” elak gadis bermata biru itu.
“Lalu kenapa baunya busuk begini?”
“Mungkin Keylie!” Emely menunjuk orang di sebelahnya.
Keylie hanya mengangkat kepala, dan memasang wajah sedingin es—tanda
tidak suka dirinya dituduh—lantas kembali menjatuhkan kepala.
“Siapa pun yang melakukannya ini menjijikan! Tidak ada kipas angin, buka
tendanya!”
Akhirnya bau tidak sedap itu hilang seutuhnya saat Chloe membuka resleting
pintu tenda.
“Teman-teman, kalian berlebihan sekali. Hirup saja aromanya supaya cepat
hilang,” celetuk Tina yang tidur paling pojok.
Semua otomatis menoleh ke arahnya dengan tatapan curiga.
“Jangan-jangan kau yang kentut ya, Tina?” kata Keylie.
Si tertuduh tidak menjawab, tapi punggungnya terlihat bergetar menahan
tawa.
“Jadi benar kau yang kentut? Dasar jorok!” Dinah memukul gadis itu dengan
bantal.
Tina mengaduh sambil tertawa, lantas membalas. Dinah tidak sendirian, tiga
temannya yang kesal juga menghujani Tina dengan bantal. Kantuk yang tengah

186
mereka cari hilang seketika, perang bantal ini tidak lagi tertuju pada Tina saja,
mereka berlima hanya saling pukul dan tertawa terbahak-bahak. Ini mungkin
malam terakhir mereka bisa seperti ini. Namun, akan menjadi malam yang sangat
panjang.
***

Melossica
“Sahabat adalah mereka yang menjadikanmu pribadi yang lebih baik.”

187
Seorang gadis berkulit secerah musim semi, rambutnya pirang
sedikit kecokelatan akibat terlalu sering terpapar terik sang surya, selalu terkepang
dengan banyak anak rambut yang mencuat. Manik matanya keabu-abuan, disertai
alis tipis yang melengkung jenaka. Ketika gadis itu tersenyum, pipinya ikut
terangkat, menimbulkan dua bukit kecil yang bersemu. Dia menyukai ikan,
terutama yang kecil-kecil. Selain sekolah, waktunya sering terbuang hanya untuk
bermain di kolam taman bersama dengan ikan-ikan emas kecil peliharaannya.
Gadis ini bernama Melody, atau para pengunjung taman sering
memanggilnya Putri Duyung, mungkin melihat betapa seringnya gadis itu duduk-
duduk di pinggir kolam sambil memercikkan air. Melody punya teman. Bisa
dibilang lumayan banyak, kalau ingin tahu persisnya, hitung saja ikan-ikan kecil
di dalam kolam, semua adalah temannya.
“Kalian sungguh teman-teman yang setia. Kalian pendengar yang baik. Tapi
terkadang aku lelah terus bercerita, bagaimana kalau sekarang giliran kalian yang
bercerita?”
Ikan-ikan di kolam terus saja berenang-renang, beberapa mendekat ke arah
Melody, hanya agar gadis itu melempar secuil roti yang bisa mereka telan.
Melody menghela napas pelan. Bodoh sekali, memangnya ini dunia fantasi? pikir
gadis itu sambil melempar serpihan roti lebih banyak.
Bisakah aku mendapatkan seorang sahabat?
***
Seorang gadis yang memiliki tubuh tinggi menjulang bak Jerapah, kuku-
kukunya terawat dengan baik, berhiaskan warna-warni cerah sesuai sifatnya.
Rambutnya berwarna cokelat gelap selalu rapi meskipun angin bertiup kencang.
Wajah mungilnya dihiasi mata bulat simetris dengan manik biru cerah. Dia
menyukai lagu-lagu terkini di radio, apa pun yang sedang ngetop pasti langsung
dimilikinya. Terkadang dialah pencetus sebuah tren. Tidak perlu khawatir masalah
uang, anak tunggal sama dengan anak emas. Tunjuk saja sesuatu, sekali berkedip
pasti terkabul.
Gadis itu bernama Jessica, atau orang-orang mengenalnya sebagai si gadis
sampul majalah. Tidak perlu bertanya kenapa, kau ingin populer? Kenakan apa

188
yang Jessica pakai, kau ingin banyak teman? Tirulah apa pun kebiasaan Jessica.
Jessica punya banyak teman, meskipun baginya tidak semua bisa disebut teman.
Teman macam apa yang selalu memujanya bak dewa dari khayangan? Teman
macam apa yang selalu memuji setiap tindakan meskipun itu adalah kesalahan?
“Bisa tidak, kalian menyebutkan satu saja sifat burukku?” tanya Jessica
ketika sedang berkumpul.
“Tentu saja tidak, kau adalah gadis paling cantik, paling sempurna yang
pernah kami kenal.”
“Tidak ... tidak ... sebutkan satu saja. Aku akan memberikan uang pada siapa
saja yang bisa menyebutkan satu kekuranganku.”
Tujuh orang yang mengelilinginya langsung ribut. Bertanya-tanya apakah ini
jebakan? Apakah ini semacam ujian? Apakah ini seperti tes pengangkatan sahabat
sejati sang bintang sekolah?
“Kau egois karena mengambil seluruh kecantikan di dunia!” kata seseorang.
“Kau tega menolak anak-anak laki-laki ganteng yang menyukaimu,” sahut
yang lain.
“Kau curang karena selalu menjadi gadis sampul majalah sekolah!”
Sambil berdecih Jessica menjawab. “Tidak ada yang mendapatkan uang!”
Semua menghela napas kecewa, tanpa mengetahui, terlalu sering dipuji-puji
tidak akan membuat hidung Jessica mengembang. Sebaliknya, gadis itu jengkel.
Ketahuan betul mereka hanya mencari muka, bukannya benar-benar tulus ingin
berteman.
Bisakah aku mendapatkan seorang sahabat?
***
Melody selalu nyaman dengan kegiatannya bersama ikan-ikan di kolam.
Namun, terkadang gadis itu bosan juga berbicara sendirian, tanpa ada yang
menanggapi. Pasti senang rasanya kalau punya teman betulan, teman yang bisa
menjawab ketika diajak bicara, dan memberikannya banyak cerita mengasyikan
pula. Sebenarnya banyak anak-anak perempuan maupun laki-laki di sekolah yang
bisa dijadikan teman. Namun, Melody tidak pernah tahu bagaimana cara memulai
percakapan dengan mereka. Manusia ternyata tidak sama dengan ikan-ikan.

189
Pernah sekali waktu Melody mendekati segerombol anak laki-laki. Membawa
beberapa helai roti seperti ketika ia mendekati ikan-ikan.
“Hai, kalian mau roti?” sapa gadis itu dengan semangatnya.
Kalau para ikan langsung mendekat, anak-anak laki-laki itu justru mundur
beberapa langkah. “Apa-apaan dia? Datang-datang menawarkan roti!” kata salah
satu dari mereka dengan wajah meringis.
“Jangan-jangan roti beracun!” sahut yang lain.
“Dibayar satu juta pun aku tidak mau roti darimu, anak aneh!”
“Sudahlah, pergi sana, kami tidak mau bicara dengan orang aneh sepertimu.”
Dengan hati kecewa, Melody menyingkir. Anak-anak laki-laki ternyata
bisa sangat judes. Di kesempatan lain, ia coba mendekati anak-anak perempuan
tanpa membawa roti, takut kejadian di tempat anak laki-laki terulang lagi. Kali ini
Melody hanya membawa senyuman paling lebar yang ia bisa.
“Hai.”
Tidak ada yang menjawab sapaannya, malahan tatapan mereka seperti baru
saja melihat kucing memakan kol—Keheranan.
“Hai, namaku Melody. Kalian suka bermain di taman?”
“Tidak,” jawab salah satu dari mereka. “Kami suka bermain di cafetaria.”
Sambil mengibas rambut yang mengeluarkan aroma vanila, anak perempuan
itu menyapukan bedak ke wajah. Begitu saja ia tak mengacuhkan Melody lagi.
Baru saja Melody hendak melangkah pergi, sebuah suara lebih dulu menahannya.
“Apa yang biasa kau lakukan di taman?” tanya seorang gadis bermata biru
dengan rambut cokelat gelap bergelombang sepanjang leher.
“Melihat ikan-ikan, memberi mereka makan, dan menceritakan banyak hal
pada mereka.”
Gerombolan anak perempuan pun tertawa, tapi percayalah itu bukan tawa
yang menandakan kalau mereka bahagia, itu tawa kesinisan.
“Aneh!”
“Seram!”
“Bodoh!”
“Kekanak-kanakan!”

190
Setelah mengatakan kata-kata kasar itu, anak-anak perempuan meninggalkan
Melody begitu saja. Namun, ada satu orang yang tinggal, si gadis bermata biru,
anak perempuan paling cantik di antara gerombolan tadi. Sambil tersenyum ramah
ia mengulurkan tangan. “Sebenarnya itu manis sekali,” katanya. “Perkenalkan
namaku Jessica.”
Tanpa ragu Melody menyambut uluran tangan itu. “Aku Melody,” jawabnya,
tiba-tiba merasa canggung.
Jessica terkekeh, “Ya, aku sudah tahu, kau baru saja menyebutkannya.”
Menyadari junjungan mereka tidak ada di dalam rombongan. Anak-anak
perempuan tadi kembali dengan sedikit kesal. “Jessica, ayo kita pergi! Kenapa
malah bicara dengan anak aneh ini!”
“Nanti keanehannya menular, loh!”
Si empunya nama hanya menoleh sambil mendelik, seolah gerombolan itu
hanya kabut di hutan berhantu, ia kembali menatap Melody dengan senyuman.
“Apa rencanamu setelah pulang sekolah?”
“Seperti biasa, mungkin ke taman, menemui ikan-ikanku, memberi mereka
makan.”
“Apa ikan-ikan itu ramah? Apa mereka menggigit kalau kita mencelupkan
jari ke dalam air?” tanya Jessica. Nada bicaranya seolah mereka sudah berteman
sejak lama.
“Tidak, mereka ikan-ikan emas kecil yang ramah. Kau celupkan jari, mereka
akan menciumnya. Tidak sakit sama sekali.”
“Boleh aku ikut?”
Senyuman lebar tersungging di bibir Melody saat itu juga. “Tentu saja! Asal
kau punya roti untuk makan mereka.”
“Aku punya roti. Aku punya banyak sekali roti untuk mereka!”
Tidak pakai basa-basi, sepulang sekolah, Melody dan teman barunya berlari
menuju taman, tepatnya ke kolam batu melingkar yang diisi ikan-ikan kecil. Sejak
saat itu, Melody tidak pernah sendirian bersama para ikan. Jessica ada di sisinya,
bersenda gurau bersama, saling lempar lelucon. Tertawa melihat ikan-ikan yang
kesulitan berenang akibat terlalu gemuk. Suatu hari, seekor kucing oranye yang

191
entah dari mana datangnya mengelus kaki Jessica sambil mendengkur cukup
kencang, sontak membuatnya menjerit begitu keras.
“Aku benci kucing!!!” serunya dengan telapak tangan terbuka, siap
menggampar kucing malang itu.
Namun, Melody lebih dulu menepak tangannya.
“Jangan lukai kucing itu! Dia kan tidak mengganggumu!”
Jessica terbengong-bengong mendengar nada membentak Melody.
Perasaannya tidak karuan ketika memandang gadis itu dengan lembut memangku
si kucing di pahanya. Jujur saja ia tidak pernah diperlakukan seperti tadi. Alih-alih
kesal, Jessica merasa sangat senang. Tidak pernah ada yang berani menegur, apa
lagi membentaknya seperti itu. Bahkan jika merampok bank pun, teman-teman
Jessica yang dulu akan tetap menjadikannya panutan, memujinya tiada henti.
“Maaf, aku membentakmu, tapi aku benar-benar tidak suka melihat hewan
dilukai, tidak peduli sekecil apa pun hewan itu.”
“Sekecil apa pun itu?” tanya Jessica.
“Sekecil apa pun itu,” ulang Melody, tegas.
Sekonyong-konyong Jessica tersenyum kembali. “Bagaimana kalau tanpa
sengaja kau menginjak semut? Atau menyemprot nyamuk, atau membunuh
bakteri saat mencuci tangan dengan sabun?”
Manik keabu-abuan Melody menerawang sejenak. “Kan, aku bilang kalau
melihat, kalau tidak terlihat, ya ... aku bisa apa?” jawabnya. “Lagipula, bakteri
bukan hewan, dan nyamuk adalah hewan menyebalkan, mereka pantas menerima
itu.”
Saat itu juga Jessica tertawa terbahak-bahak sampai wajahnya memerah. Jika
diingat-ingat, ia tidak pernah tertawa seperti ini di hadapan siapa pun. “Mana bisa
begitu! Dasar, Melody pintar mencari alasan!”
“Tentu saja. Kita harus pintar-pintar mencari pembenaran atas kesalahan,
untuk menjaga harga diri,” ujar Melody dengan dada membusung. “Kalau mau,
aku bisa mengajarimu supaya pintar mencari alasan.” Gadis itu menarik turunkan
kedua alisnya.
“Aku mau! Ajarkan aku semua yang kau bisa!”

192
***
Keduanya terlihat semakin dekat saja setiap hari. Meskipun anak-anak
pengikut Jessica mengerubungi tanpa lelah, gadis itu selalu menganggap mereka
tak kasat mata. Hanya pada Melody ia menatap, hanya pada Melody ia bicara dan
tersenyum. Perlahan-lahan gerombolan anak-anak perempuan pergi. Satu per satu
menyingkir, nampaknya mereka membuat gerombolan baru dengan panutan baru.
Namun, tahukah kalian? Baik Jessica maupun Melody tidak pernah ambil pusing.
Toh Melody memang tidak berteman dengan mereka sejak awal. Toh Jessica tidak
pernah menganggap mereka teman sejak awal.
Meskipun tetap saja, ketika olok-olok yang biasanya hanya didapatkan
Melody, kini juga didapatkan Jessica, gadis itu merasa tidak enak. Diam-diam
Melody merasa bersalah. Apakah ia menjadi pengaruh buruk? Apakah ia
menyebabkan Jessica menderita?
“Karena berteman denganku, kau jadi kerepotan, ya?” tanya Melody suatu
hari.
“Kerepotan seperti apa?”
“Lihat teman-teman lamamu pergi membuat kelompok baru, lihat betapa
banyak olok-olok yang kau dapatkan. Jessica, kalau berteman denganku
membuatmu susah, kembalilah ke teman-teman lamamu, aku akan baik-baik
saja.”
Jessica malah merengut marah mendengar itu. “Apa maksudnya? Kau tidak
suka berteman denganku?”
“Bukan begitu. Aku senang menjadi temanmu, hanya saja. Dahulu kau kan
anak populer, semenjak berteman denganku, kau menjadi bahan olok-olok semua
orang. Apa itu tidak mengganggumu?”
“Asal kau tahu ya, Melody. Mereka itu bukan teman-temanku!” ketus Jessica.
“Aku tidak pernah suka bergaul dengan mereka, terlalu banyak kepura-puraan.
Berteman karena ada maunya. Aku yakin kalau suatu saat hartaku lenyap, mereka
juga akan lenyap seperti sihir,” jelas Jessica, rambutnya yang mulai panjang
tertiup angin sore.
“Mereka begitu?” tanya Melody tidak percaya.

193
“Tidak ada satu pun dari mereka benar-benar peduli padaku, tidak ada yang
pernah berani menegurku ketika berbuat salah, atau mengingatkanku akan hal-hal
baik," lanjutnya. Tapi bersamamu sekarang, aku merasakan seperti apa
persahabatan sesungguhnya. Aku tahu apa kesalahanku, kekuranganku. Tahu apa
saja yang harus kuubah dalam diri agar menjadi pribadi yang lebih baik.”
Melody menggenggam tangan temannya. Bahkan ia sendiri tidak bisa
membuat pengakuan yang sejujur itu. Mempunyai Jessica sebagai teman adalah
hal terindah dalam hidupnya, sampai tidak ada kata-kata yang bisa mewakilkan.
Matanya beralih kembali pada mantan-mantan pengikut Jessica, melihat cara
mereka tertawa dan saling bercakap-cakap.
“Padahal mereka anak-anak yang cantik dan populer. Aku pikir berteman
dengan mereka bisa memudahkanmu dalam banyak hal. Setidaknya lebih baik
daripada sendirian, berbincang dengan ikan-ikan,” gumamnya.
“Cantik tidak dilihat dari luar saja, Melody. Percayalah, ketika mengenal
mereka, kau akan lebih memilih bercakap-cakap dengan para ikan. Meskipun
mereka diam, setidaknya mereka tidak berbohong demi membuatmu senang,”
balas gadis bermabut cokelat itu.
“Kenal atau tidak sekarang tidak penting lagi. Aku punya kau, dan aku sangat
senang mengetahui itu.”
Mereka bertukar senyum lalu saling rangkul selayaknya sahabat sejak lahir.
Melody yang dulunya selalu kesepian kini dunianya terasa lebih hangat. Jessica
yang dikelilingi teman-teman palsu, tidak pernah sebahagia ini, meskipun hanya
dengan satu orang di sisinya.
“Lagipula ... bagaimana bisa kau menyebut orang lain cantik, sedangkan
dirimu sendiri sangat sempurna,” ujar Jessica tiba-tiba sambil meneliti wajah
sahabatnya.
Melody menoleh keheranan. “Kau bercanda? Aku mana sempurna. Laki-laki
saja bubar kalau aku mendekat.”
Jessica menggeleng. “Melody, cobalah sisir rambutmu, kau bisa menjadi
cantik juga.” Melody tidak menjawab apa pun, malah menelengkan kepala. Jadi

194
Jessica melanjutkan. “Kau gadis yang sangat cantik kalau saja kau mau mencoba.
Tidak perlu terlalu apa adanya seperti ini. Memangnya kau tidak pernah genit?”
“Genit?” tanya Melody semakin kebingungan.
“Perasaan di mana kau ingin tampil cantik di depan orang, atau di depan
cowok yang kau taksir,” jelas Jessica dengan senyum penuh arti. “Ingatlah kau
juga seorang perempuan, Melody. Kau berhak dipandang orang banyak. Kau
pantas bertingkah genit.”
“Jessica, aku sama sekali tidak menangkap maksud ucapanmu.”
“Lupakan ... ayo ikut aku!”
Jessica nyaris membuat lengan Melody lepas akibat terlalu bersemangat
menarik mereka berdua ke rumahnya. Di sana, Jessica menyuruh sahabatnya
mengenakan sebuah rok lipit dan kaus tipis, lalu dipadukan dengan cardigan
panjang, sepasang kaus kaki pendek, dan sepatu pantofel sederhana warna cokelat.
Selanjutnya gadis itu menyapukan bedak berwarna langsat pada wajah Melody,
serta pelembab bibir. Tidak lupa, kepangnya dibuka, lalu disisir dengan sangat
hati-hati, menampilkan rambut lurus alami yang indah, meskipun sekian lama
terkepang. Begitu saja, sangat cepat, Jessica menyuruh Melody berdiri di depan
cermin.
Melody tidak pernah memuji diri sendiri, tapi ketika melihat pantulan dirinya
di depan cermin ia spontan mendecak kagum. Wajahnya terlihat segar dengan
rambut baru yang lebih rapi tanpa satu anak rambut pun mencuat, ditambah
sapuan bedak tipis, bibirnya mengilat terkena lampu berkat pelembab bibir, dan
pakaiannya sempurna. Sederhana tapi manis.
“Lihat, kan, betapa cantiknya kau bahkan tanpa harus berusaha terlalu keras,”
kata Jessica, sambil memeluk sahabatnya. “Sekarang angkatlah wajahmu agar
lebih terlihat percaya diri.”
Melody melakukannya.
“Berdirilah lebih tegak, tunjukan pada semua orang pesona yang kau miliki.”
Melody juga melakukannya.

195
“Kau bisa menjadi gadis cantik, dan tetap bersahabat dengan siapa saja
termasuk ikan-ikan di taman. Dengan begitu tidak ada yang bisa meremehkanmu.
Mereka akan terkagum-kagum, mereka akan menghargaimu.”
Tanpa sadar bola matanya tergenang oleh air. Melody tidak repot-repot
menghapusnya, lalu berbalik pada Jessica. “Kenapa kau begitu baik padaku?”
“Karena kau sahabatku,” jawab Jessica.
“Katakan sekali lagi!”
“Karena kau sahabatku!”
“Sekali lagi!”
“Karena kau sahabatku!”
“Lagi ...." Air mata Melody mengucur tanpa bisa ditahan.
“Karena kau sahabatku! Sahabat sejatiku!” seru Jessica dengan bergetar
karena ia sendiri menangis.
Saat itu juga Melody memeluk temannya. Bukan ... sahabat sejatinya. Sesuatu
yang tidak akan pernah bisa ia lakukan dengan para ikan. Sesuatu yang telah lama
ia harapkan, dan sekarang terkabul, seperti mimpi indah yang menjadi nyata.
“Aku merasa sangat bersyukur dipertemukan denganmu,” bisik gadis itu.
“Kau yang mendatangiku, ingat? Aku yang seharusnya bersyukur.”
“Bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu, Jessica?”
Gadis itu melepaskan pelukan. “Dengan tetap menjadi dirimu sendiri, Melody
yang ceria. Dan, satu lagi ... tetaplah menjadi sahabatku selamanya.”
“Tentu saja! Tapi kau juga harus berjanji.”
“Apa itu?”
“Tetaplah menjadi Jessica yang baik hati.”
Kedua gadis itu berpelukan sekali lagi, lantas berlari keluar rumah sambil
bergandeng tangan. Keduanya terlihat bersinar bak mentari pagi. Melody
mendapatkan teman yang selama ini ia idamkan, Jessica mendapatkan
kenyamanan yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya dari seorang sahabat.
Dengan semangat dan kepercayaan diri baru keduanya memulai lembar dari buku
tebal persahabatan mereka. Keduanya digemari banyak orang, selain karena
kecantikan, juga keramahan hati mereka, dan betapa hangatnya mereka ketika

196
bersama. Seperti surat dan perangko, seperti sepasang sepatu yang selalu baru,
seperti kembar yang telah lama terpisah. Ketika kalian bertemu orang yang tepat,
bersamanya hanya akan menimbulkan senyum.
***

Time Capsule
Dear all human being in a hunderd years from now, we had a great time.
Enjoy yours.”

Apa sesuatu yang paling berkesan dalam hidup? Sesuatu yang paling
menyimpan banyak memori serta kenangan, yang bisa membuat tersenyum,
menangis, marah, bahkan malu jika mengingatnya. Entah itu sajak, lagu, foto dan
video, atau bahkan benda mati. Benda sekecil apa pun bisa saja mempunyai kisah.
Misalnya kerikil itu, mungkin saja kerikil itu tadinya sebuah batu besar yang
dipalu oleh para tahanan kerja paksa puluhan tahun lalu. Atau bungkus makanan
itu, mungkin tadinya milik sepasang kekasih yang saling menyuapi dengan mesra.

197
Rongsokan bisa menjadi harta, pun harta bisa jadi tidak berguna. Semua
tergantung dari sudut pandang siapa yang melihat. Beberapa hari terakhir,
anjingku selalu menggali satu titik tanah di halaman belakang. Awalnya aku
memarahi hewan itu, lama-lama jadi curiga, ia bukan hewan yang susah diatur,
biasanya sekali perintah langsung menurut. Sesuatu di dalam tanah itu
membuatnya penasaran setengah mati.
Akhirnya aku meminta tolong suamiku untuk menggali tanah itu lebih dalam.
Cukup dalam dia menggali, tapi tidak ada satu benda menarik pun kami temukan.
Beberapa meter lagi menggali barulah unjung sekop membentur sesuatu yang
keras. Begitu diangkat, ternyata kami menemukan peti kuno usang yang tertutup
tanah merah menggumpal. Setelah dibersihkan, suamiku memukul gembok besi
yang berkarat dengan palu, lantas peti itu terbuka tanpa harus bersusah payah.
Suamiku tidak terlalu penasaran dengan benda itu, dia segera kembali bekerja
setelah tuntas membantuku. Namun, aku sebaliknya, hatiku berdebar menatap peti
kuno itu. Mungkinkah ini harta karun? Begitu sampai di kamar, aku membuka
peti kuno itu dengan wajah berbinar, lantas kecewa karena isinya bukan uang
ataupun emas. Hanya setumpuk rongsokan. Di antaranya ada mainan kayu, wadah
tembaga, berbagai medali, bahkan sepatu belel. Aku mengangkat seikat surat yang
sudah menguning, lantas bertanya-tanya. Siapa, dan untuk apa orang menyimpan
rongsokan di dalam peti? Itu pikiranku awalnya. Sampai mataku menyadari
sebuah tulisan.
Untuk Sam. Di mana pun kau berada aku harap kau sehat. Aku, Brendan dan
Irene sangat merindukanmu, cepatlah pulang.
Itu hanya secarik kertas kecil yang terletak di paling atas surat. Buru-buru aku
membaca setiap kertas usang itu, yang ternyata adalah surat cinta seorang wanita
untuk suaminya yang tengah pergi berperang. Senyumku terbit membaca setiap
sajak serta kalimat puitis dari sang suami, tidak perlu mengenalnya untuk tahu
kalau dia adalah pria yang sempurna. Pria yang juga mencintai wanitanya.
Balasan si pria berhenti dengan satu surat.
“Aku akan pergi ke titik utama penyerangan minggu depan. Kali ini aku
bukan hanya menjaga di belakang, tapi ikut serta dalam rombongan. Sayang,

198
sebentar lagi buah hati kita bertemu dengan dunia, mungkin aku tidak akan di
sana untuk menemanimu. Namun, Aku ingin dia dipanggil Brendan jika laki-laki,
dan Irene jika dia perempuan. Mari kita sama-sama berjuang, kau untuk anak
kita, dan aku untuk negara. Aku mencintaimu, katakan pada Brendan atau Irene
juga, ayah sangat menyayanginya, maaf kalau ayah pulang agak lama, di sini
ayah selalu merindukan kalian.”
Air mataku menetes begitu saja ketika selesai membaca. Andai pria itu tahu
kalau dia mempunyai anak kembar, kedua nama pemberiannya sudah mempunyai
pemilik masing-masing. Brendan dan Irene pasti sangat bangga dengan ayah
mereka, meskipun tidak pernah bertemu secara langsung. Selanjutnya aku
mengangakat sebuah buku yang sangat kecil, tapi tebal.
Itu adalah sebuah flip book, buku yang terdiri dari gambar-gambar berbeda di
setiap lembarnya, dan akan menjadi animasi singkat ketika setiap halamannya
dibalik dengan cepat. Aku menonton animasi singkat itu, hanya beberapa detik.
Memperlihatkan seekor belalang sembah yang lompat ke secangkir kopi, dan
menghisapnya sampai habis, sehingga perutnya melembung. Di sampul belakang
buku terdapat kertas kecil lain.
“Anak gadisku tidak pernah tertawa, bahkan tidak pernah terlihat senyum
kecil dibibirnya. Dia seperti itu semenjak kami sekeluarga harus migrasi ke negara
lain, dia membenci kami, mengira kami memisahkannya dengan teman-teman,
serta seluruh kenangan di tempat lama kami.”
“Suatu hari, dia berkenalan dengan pemuda di sekolah barunya, dia pemuda
yang baik, dia juga pandai menggambar. Pemuda itu menghadiahkan buku kecil
ini untuk anak gadisku, dan untuk pertama kali setelah sekian lama, anak itu
tertawa terbahak-bahak. Pemuda itu berhasil menghancurkan benteng kokoh
dalam diri anak kami. Sekarang mereka sudah menikah dan mempunyai tiga
anak. Aku sangat bahagia untuknya.”
Lagi-lagi aku tersenyum. Kisah yang sangat indah, aku jadi teringat masa
muda dengan suamiku dulu. Dia juga berjuang setengah mati untuk
memenangkan hatiku. Dahulu aku adalah gadis yang judes, apa lagi kalau mau
jujur, dia sama sekali bukan tipeku hahaha. (Aku mohon jangan mengadu

199
padanya). Berikutnya aku mengeluarkan sebuah bantal kecil, seukuran kepala
bayi. Motifnya garis-garis, masih sangat kuno, lain dengan sekarang yang penuh
warna, bahkan bergambar tokoh kartun. Tanpa basa-basi aku membaca memo di
belakangnya.
“Bantal anak pertama kami. Saat itu masa sedang sulit sekali, para
pasangan memilih tidak mempunyai anak daripada anak itu lahir, dan hidup
menderita. Beberapa yang punya anak malah menyerahkan mereka ke panti
asuhan, atau kepada orang-orang berada. Saat anakku lahir, tidak seperti orang
tua lain, aku dan suamiku sangat gembira. Meskipun kami hidup serba susah,
kami selalu terhibur dengan tangis dan tawanya. Bantal ini adalah satu-satunya
barang mahal yang kami punya, tapi tidak ada yang semahal anak kami
tersayang.”
Seterusnya, banyak barang lain yang aku keluarkan dari peti, beserta
kenangan-kenangannya yang beragam. Medali pertama olimpiade, sapu lidi
bertuah, botol plastik pertama di dunia, sampai ikat rambut buatan nenek.
Perasaanku campur aduk selama tiga jam berkutat dengan semua itu di dalam
kamar. Kadang aku tersenyum, tertawa, menangis, marah, meringis. Semuanya
terjadi dalam waktu sesingkat itu, aku sendiri tidak menyangka. Benda terakhir
yang kukeluarkan dari dalam peti adalah secarik kertas yang dilapisi pigura
dengan ukiran sederhana, tapi elegan. Sebuah ukiran jemari indah yang bertulis.
“Zaman yang kami lalui memang bukan yang terbaik, tapi kami yakin di
masa kalian, semua sudah jauh lebih baik. Semoga kalian menikmatinya,
sebagaimana kami menikmati zaman kami. Salam, umat manusia dari seratus
tahun yang lalu.”
Aku mendekap pigura itu dengan tatapan kosong. Entah kenapa aku rindu,
merindukan zaman itu, merindukan mereka yang ada di sana saat itu, merindukan
suasana saat itu serta segala kenangan di dalamnya. Lucu juga, padahal semua
tidak ada hubungannya denganku, padahal kami hidup di zaman yang berbeda.
Aku mungkin tidak menemukan uang atau emas, tapi peti ini tetap sebuah harta
karun.

200
Orang bilang kenangan adalah harta karun paling berharga, dan aku tahu
maksud kalimat itu sekarang. Kenangan bisa membuat kita berkelana dengan
mesin waktu, merasakan setiap emosi, merasakan rindu tanpa harus benar-benar
mengalaminya. Aku menyeka sisa air mata, lantas buru-buru memasukan semua
'harta' itu kembali ke dalam peti, membawanya ke tempat suamiku. Beberapa
minggu berikutnya aku disibukkan dengan sebuah misi. Setelah menceritakan
kepada semua orang tentang peti itu, aku ingin melakukan hal yang sama. Aku
akan mengajak orang-orang membuat kapsul waktu.
Menyimpan segala kenangan indah maupun sedih dalam satu peti,
menimbunnya agar suatu saat nanti, seseorang membuka peti itu, lantas
merasakan apa yang kita rasakan saat ini. Dengan bantuan suamiku yang seorang
wartawan, berita tentang kapsul waktu menyebar luas, mendatangkan banyak
partisipan yang rela membagi kenangan mereka dengan orang lain. Satu per satu
partisipan meletakkan benda-benda penuh memori milik mereka. Sebuah cincin
pernikahan yang tidak pernah terlaksana, buku harian rahasia, piala emas pertama
dan terakhir, boneka kesayangan ibu, dan banyak lainnya.
Beberapa terlihat tidak berguna seperti sapu tangan kotor, botol minyak
wangi, dan sendok perak. Namun, bukan berarti tidak ada kenangan dari benda-
benda yang kita anggap sampah itu. Setelah semua terkumpul, peti itu pun di
kubur dekat lapangan kota, diiringi sorakan para penonton yang hadir, berharap
orang-orang di masa depan tahu bagaimana kondisi kami saat ini, dan bisa belajar
dari situ. Tidak lupa di dasar peti, aku membuat ukiran tanganku, sama seperti
pigura yang kutemukan di dalam peti kuno. Berusaha membuat kalimat
menyentuh yang serupa.
“Teruntuk umat manusia seratus tahun yang akan datang. Kami sudah
menikmati masa kami, sekarang nikmatilah giliran kalian.”
***

201
This is Our Last Spot

Wah! Tidak terasa kita sudah sampai di ujung pulau, yang berarti ini adalah
akhir dari penjelajahan kita. Tentu saja, bukan akhir dari petualangan kalian,
setiap hari, setiap waktu, petualangan akan selalu ada. Satu hari yang kalian lewati
dari pertama mata terbuka sampai kembali tertutup di atas ranjang pun adalah
sebuah petualangan. Setiap petualangan istimewa, beberapa mungkin terasa biasa
saja karena kalian sudah terlalu sering mengalaminya.
Penjelajahan di Impy Island juga dimaksudkan untuk membuat petualangan
kalian lebih berwarna. Aku harap setelah berkeliling di pulau kecil ini, ada sesuatu
yang bisa menjadi pembelajaran bagi kalian—terkadang hidup yang biasa-biasa
saja, bisa menjadi luar biasa bagi sebagian orang. Untuk itu marilah kita berterima
kasih kepada Tuhan atas segala nikmat yang diberikan-Nya, termasuk petualangan
tiada henti setiap harinya.

202
Pastikan lagi tidak ada barang-barang yang tertinggal, kecuali jika kalian
sengaja tinggalkan untuk kenang-kenangan. Terima kasih sudah berkunjung, serta
menjaga kebersihan pulau kecil ini. Waktu terasa singkat jika kita bersenang-
senang, bukan? Rasanya baru sedetik lalu kita saling berkenalan.
Ingat, siapa pun yang berhasil menemukan pulau ini bebas kembali kapan
saja, dan aku akan dengan senang hati memandu kalian lagi dan lagi. Ajak serta
teman-teman kalian dikunjungan berikutnya, semakin ramai semakin asyik, dan
itu membuatku tidak merasa kesepian. Berhati-hatilah di perjalanan pulang nanti,
kutunggu kunjungan kalian berikutnya, mungkin kalian akan menemukan pulau-
pulau baru di perjalanan nanti. Sekali lagi terima kasih atas kunjungan kalian di
Impy Island. Sampai jumpa lagi.
***

203

Anda mungkin juga menyukai