Anda di halaman 1dari 5

PENGELANA MATAHARI

Kamu adalah satu-satunya yang akan saya ajak berdansa di bawah tumpahan sinar bulan malam
hari. Ketika denting piano dari rumah kaca yang tak jauh dari taman ini menyusup melewati
udara, ketika suara binatang malam saling bersahutan berbicara, ketika kepak sayap kunang-
kunang berkeliling di atas kita. Meskipun batang tubuhmu layu dan tertunduk lesu, meski kau
kehilangan cerahmu untuk sementara waktu, saya ingin menggapai ujung tangkaimu dan
menggenggamnya sampai matahari pagi tergelincir naik.

Suatu hari nanti, saya ingin mengajakmu pergi dari taman ini. Pergi jauh dari rumah kaca yang
setiap malamnya selalu terdengar alunan piano dan lagu-lagu lawas itu, dari sekumpulan pohon
akasia yang menjulang tinggi sampai bayangannya menutupimu, dari dekapan bunga-bunga lain
yang merasa iri dengan kelopak kuningmu yang secerah sinar matahari. Saya akan menaikkanmu
di punggung, memintamu untuk berpegangan erat sementara saya akan berderap menembus
hutan dan jalan raya menuju sebuah padang rumput luas di atas bukit yang dekat dengan
jangkauan matahari.

“Saya tidak akan bisa meninggalkan semua ini, kamu tahu itu.”

Katamu suatu pagi ketika saya berbaring di bawahmu setelah semalam berkeliling hutan. Saat itu
kelopakmu terlihat anggun dan lembut, membuat saya terpukau berjuta kali. Tubuhmu yang
sudah segar kembali menghadap timur, ke arah matahari yang terbit dari balik bukit. Kamu
terlihat luar biasa, terlihat tidak tergapai.

“Kenapa tidak?” protes saya.

“Di manapun saya berada, kamu tidak akan pernah menemukan saya terlihat luar biasa untuk
menemanimu sampai malam hari. Tidak di sini, tidak di bukit itu, tidak di manapun,” ujarmu
lesu.

Saya sudah bilang ini beribu-ribu kali. Kamu adalah satu-satunya bunga matahari yang bersinar
lebih cerah dari matahari itu sendiri. Kamu tidak butuh matahari untuk membuatmu bertumbuh.
Matahari itu yang membutuhkanmu.

Dan reaksimu selalu sama. Kamu tersenyum, tapi saya bisa melihat kesedihan menggantung di
ujung bibirmu.“Saya akan selalu bergantung padanya, membutuhkannya. Saya ingin lepas, tapi
bagaimana caranya? Satu-satunya cara ketika kamu sudah diciptakan untuk bergantung pada
sesuatu yang lain adalah menerimanya. Tidak ada yang bisa saya lakukan lagi.”

Kemudian saya berlari pergi meninggalkanmu.

Sesungguhnya, Sayang, kita adalah sebuah rantai yang saling terikat dan membutuhkan
untuk tetap kuat.
***

Sinar matahari sudah sepenggalah naik dan hangatnya terasa menggelitik kulit. Saya sedang
berbaring di antara rerumputan hijau yang basah tersiram hujan semalam, menatap langit yang
menggoyangkan awan putih itu pelan-pelan. Burung-burung berkeliaran, binatang lainnya sibuk
mencari makan, dan saya terbaring menyedihkan di sini. Pikirannya saya kacau dan kusut.

“Kalau dia tidak mau pergi denganmu, bukan berarti dia tidak mencintaimu.”

Saya menoleh dan mendapati Toro sudah duduk melipat kakinya di samping saya. Dia adalah
teman saya sedari kecil.

“Lalu apa? Dia hanya tidak mau berjuang untuk saya? Atau dia tidak cukup berani untuk
menyerahkan bebannya kepada saya?” Suara saya meninggi. Namun Toro hanya tersenyum.

“Kamu juga harus mengerti keadaannya. Dia tidak bisa lepas dari itu,” kepala Toro mendongak
ke atas, “sampai kapanpun, Bon.”

Saya mendengus keras. “Dia terlalu mencintai orang itu .”

“Kamu harusnya lebih tahu itu.”

Saya menerawang. Ya, harusnya saya tahu itu. Kamu tidak akan pernah bisa berhenti bergantung
padanya sementara saya dengan egoisnya memintamu untuk menyerahkan sepenuhnya dirimu
kepada saya. Saya selalu melihatmu bergerak anggun sepanjang hari mengikuti pergerakannya,
dari timur ke barat, sebelum tubuhmu melayu dan dia bersembunyi sebentar untuk mengucapkan
selamat malam. Saat Bulan datang kamu terlihat sendu dan saya tidak bisa berbuat banyak untuk
itu. Kamu—dan kita—tidak akan bisa menyalahkan takdir, tidak bisa melakukan apa-apa
terhadapnya. Seharusnya saya bisa menerima. Tapi, ternyata tidak. Rasanya berat.

Bagaimana rasanya jika ingin memilikimu sepenuhnya namun harus berbagi dirimu dengan
orang lain? Ah, Matahari, kau beruntung sudah mendapatkannya tanpa harus berjuang apa-apa.
Sementara saya hanya bisa menemaninya menunggumu untuk pergi. Setiap hari.

***

Malam itu, suara sopran solomon terdengar sayup dari rumah kaca yang terlihat terang-
benderang. Sementara angin berhembus cukup kuat dan dinginnya menerjang, seolah
mengatakan hujan badai akan turun sebentar lagi. Sekumpulan kodok yang berdiri di atas batu di
tengah kolam tidak berhenti mengoceh. Saya bersembunyi di balik sebatang pohon akasia,
memerhatikanmu yang sedang mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru taman. Siapa yang
kamu tunggu?
Kemudian saya melihat segerombolan hamster berbulu cokelat muda berlari melintasi mawar-
mawar dan dandelion, bergerak cepat dan gesit di antara bunga-bunga yang berdiri tegak. Tiga
ekor hamster yang belum pernah saya lihat di sekitaran sini. Mereka berhenti tepat di depanmu
dan kamu tersenyum menyambut kehadiran mereka. Saya tidak mengerti.

Kalian terlihat berbincang beberapa saat sebelum kamu menunduk dan membiarkan hamster-
hamster itu mengambil satu-persatu biji bungamu yang sudah matang dan menaruhnya di antara
kedua pipi mereka yang menggelembung besar. Beberapa bijimu luruh ke tanah, kelopakmu
bergoyang. Tapi kamu terlihat bahagia sampai ketiga ekor hamster itu berbalik pergi dan
menghilang di antara gelapnya malam.

Setelah Matahari, dengan siapa lagi aku harus berbagi? Hamster-hamster bertubuh gemuk itu?

***

Saya tidak menemuimu malam itu. Saya marah, tentu saja. Dan pagi ini juga saya memutuskan
untuk tidak menghampirimu di taman itu. Toro terlihat sedih dan khawatir.

“Kamu harus menemuinya, Bon. Katakan padanya.”

“Katakan apa? Katakan kalau saya cemburu dia membagi biji bunganya kepada tiga ekor
hamster sialan itu? Katakan kalau dia harus berhenti melihat Matahari dan hanya melihat saya
saja? Saya tidak bisa melakukan apa-apa! Kami sudah menyerah dengan takdir, Toro.” Tanpa
sadar, saya berteriak pada Toro.

Toro kehilangan kata-kata, menguap bersama embun dan butiran air sisa hujan semalam.
“Apakah kamu tahu kalau taman itu akan digusur dan digantikan dengan pusat perbelanjaan?”

Saya terkesiap. “Benarkah? Kenapa saya tidak mendengar kabarnya?”

“Saya baru mendengarnya dari para golden retrivier peliharaan orang-orang kaya di kompleks


sebelah. Sebaiknya kamu menemui dia sebelum terlambat, Bon.”

“Saya harus membawanya pergi.”

***

Saya ingat ketika pertama kali saya melihatmu mekar dengan sempurna di bawah siraman sinar
matahari pagi itu. Tubuhmu ramping, kelopakmu berwarna kuning terkembang dengan anggun,
daun hijaumu masih terlihat segar. Itu adalah pertama kalinya saya jatuh cinta padamu.
Kemudian saya selalu jatuh cinta, berulang kali, sampai saya lupa caranya berhenti.
Kamu mengenalkan dirimu dengan nama yang indah. Marisol. Itu adalah nama yang disematkan
untuk bunga matahari di negara Filipina. Pertama kali berbincang denganmu, saya seperti
melihat ke dalam sebuah negeri dongeng yang cantik, seperti melihat sebuah kastil es yang
megah, seperti melihat pendar warna-warni pelangi yang sempurna. Sekian waktu yang kita
habiskan, saya sadar saya tidak bisa berhenti lepas darimu.

Setiap pagi hingga sore hari, saya menyaksikan dirimu menari di bawah sinar matahari. Saat
hujan dan angin kencang berhembus, saya melihat dirimu bergoyang mengikuti irama angin.
Saat malam yang gelap dan hanya ditemani sinar rembulan, saya melihat dirimu melayu
perlahan. Namun kamu tidak pernah kehilangan sinarmu. Setidaknya, bagi saya. Kamu tetap
bunga paling indah yang pernah saya temukan di antara ribuan bunga bermacam jenis dan warna
di taman ini.

Namun, apa yang bisa saya lakukan ketika saya harus berpisah denganmu? Jika kamu pergi, atau
kamu mati karena sudah tidak lagi bisa berdamai dengan Matahari, atau ketika tubuhmu patah
karena dipetik oleh manusia-manusia tidak berotak itu? Saya selalu membayangkan itu setiap
malam bahkan ketika saya berusaha untuk tidak memikirkannya. Sebegitu dalamnya sudah saya
mencintaimu.

Maka ketika Toro mengatakan kalau taman itu akan digusur dan digantikan dengan selapangan
luas pusat perbelanjaan, hal pertama yang yang saya khawatirkan adalah kamu. Tempatmu hidup
akan dirusak oleh manusia, Marisol. Meskipun saya selalu bersikeras untuk membawamu lari
dari sana, tapi saya mengerti arti taman itu bagimu. Di tanahnya yang subur dan selalu basah itu
kamu menancapkan akarmu erat, berharap kamu akan selalu berada di sana sampai kapanpun.
Saya menyerah akan keegoisan saya. Kamu hanya tidak ingin meninggalkan satu-satunya tempat
yang telah kamu anggap rumah.

“Suatu hari nanti, kamu boleh mengajakku berdansa malam hari, Bon. Tapi, tidak di tempat lain
kecuali di sini.” Pandanganmu menyapu keseluruhan taman bunga itu dan saya langsung
mengerti seberapa besar kamu mencintai tempat itu. Tapi saya selalu kalah oleh rasa keakuan
yang mengharapkan kamu pergi jauh dari tempat ini, pergi jauh ke tempat yang lebih pantas
untukmu. Padahal itu hanyalah akumulasi rasa cemburuku karena kamu tidak bisa bebas dari
ketergantunganmu akan Matahari. Saya cemburu sampai buta dan mengabaikan hal-hal yang
justru membuatmu sangat bahagia.

Dan, Sayang, apakah ketika seseorang menyadari semua pengorbanan yang ia lakukan
justru menyakiti hati lainnya, semua itu sudah terlambat?

***
Pagi itu, sinar matahari menghangat menyentuh kulit. Saya berdiri limbung di balik rumah kaca
sambil menatap hamparan tanah kosong di hadapan saya. Tempat yang dulu menjadi taman
bunga yang menyimpan sosok bunga matahari terindah yang pernah saya jumpai sekarang hanya
tinggal sebuah tanah yang tidak menyisakan apapun. Saya tidak bertemu Marisol untuk terakhir
kalinya. Semuanya sudah terlambat. Ketika saya berderap berlari menuju taman itu seperti
seekor rusa kesetanan, buldoser-buldoser kuning sedang menggeruk sisa-sisa bunga yang
tumbuh dan bermekaran di sana. Saya menyusup dan mencari-cari Marisol. Tapi tidak saya
dapati dia di manapun. Saya telah kehilangannya.

Marisol, kamu bilang saya boleh mengajakmu berdansa di bawah sinar bulan, menghabiskan
malam ditemani kunang-kunang yang bercahaya terang, melesapkan sunyi dan mengalahkan
melodi piano dari rumah kaca itu. Kamu bilang kamu ingin pergi berkelana menuju Matahari,
menyentuh kulitnya yang hangat, merasakan esensi kehidupan mengalir di setiap batang
tubuhmu. Apakah semua itu sekarang larut menjadi sebuah mimpi, menjadi harapan yang
terkatakan namun tidak dapat diwujudkan?

Marisol, saya tidak pernah mencintai sebesar ini dan merasakan kehilangan sesakit ini. Saya
ingin menitip pesan kepada Matahari di atas sana. Ketika dia sudah menemukanmu, saya tidak
ingin dia melepaskanmu lagi. Meskipun akan ada banyak yang menggodamu, saya yakin tidak
akan ada yang bisa melepaskanmu dari Matahari. Dan saya juga belajar bahwa mencintai
ternyata tidak harus selalu memaksakan hanya saya dan kamu. Bahwa ternyata kita hanyalah
makhluk yang membutuhkan hal lainnya untuk bergantung agar merasa tetap hidup.

Anda mungkin juga menyukai