Anda di halaman 1dari 2

Bunga Berteori

Karya: Indana Alya Mumtaza

Raga memang tak terpisahkan, namun tak ada artinya jika tak dapat salurkan hangat. Hati
memang saling berbagi, namun tak ada artinya jika jantung tak berdetak seiringan. Andai saja kamu
bukanlah nyaman pada senja yang kita tatap. Dan usailah seluruh senja, lenyap bersama kisah yang
ternyata tak abadi. Lalu abadilah kita menjadi sekumpulan elegi di ruang memori.

Disini ku berdiri, dengan setelan jas formal di depan rumah kaca yang ditunjukkan orang
tuaku. Kulihat setangkai bunga mawar anggun bertengger di dalam balutan vas merah. Manis aroma
memang, jelita buat mata memandang, namun tak cukup buatku jatuh pada pesona merahnya.

Segera aku melangkah memasuki rumah kaca tersebut, ingin agar semua ini cepat usai.
Monoton, kesan pada bangunan mewah penuh bunga yang tak kuindahkan sama sekali. Begitu aku
terjebak pada situasi yang mewajibkanku ucapkan omong palsu yang manis dengan wajah seolah
menikmati, bosan dan muak jelas menghampiriku. Perangai manusia sungguhlah mengerikan, indah
bagai nirwana ditampakkan dan begitu lihai menutupi gelapnya hati.

Sungguh, mati-matian aku menahan pikiranku untuk berlari kabur dari kesesakan yang
melanda tubuh dan hatiku. Detik demi detik berlalu hingga borgol yang menahanku lepas dengan
sendirinya. Ini sudah senja. Dengan terburu, kuucapkan pamit lalu cepat melangkah menuju pintu
keluar. Hela nafas lega langsung kuhembuskan begitu kakiku menapak jauh dari ruangan sesak itu.

Bisingnya dering teleponku menghentikan ucap ucap syukur yang kurapalkan sejak berhasil
keluar. Melihat nama yang terpampang di layar ponselku, wajahku yang semula mendung mendadak
cerah berkatnya. Suara si penelepon beri sejuknya sanubari, memintaku datang ke tempat favorit
kami, segera aku mengemudikan mobilku menuju dimana ia berada. Dengan perasaan bahagia
membuncah seiring kupu-kupu terbang menguar saking gembiranya.

Di tepi pantai, dibawah naungan senja lembayung yang memanjakan mata, gadis nirmala
sedang terduduk tenang dalam balutan setelan manis juga bunga matahari mekar dalam
genggamannya. Kubawa langkahku menghampirinya dan duduk disampingnya, kulihat dia tidak
hanya menggenggam bunga matahari, namun juga marigold dan dua bunga aster putih. Netranya
fokus pada matahari yang bergerak tenggelam perlahan.

“Hei,” gadis itu memulai pembicaraan. Kualihkan perhatianku sepenuhnya padanya.

“Kau ingat pertemuan pertama kita?” tanya si gadis masih dengan fokusnya pada senja.

Aku terdiam sejenak, merangkai kata-kata.

“Tentu saja, itu memori yang tak bisa kulupakan begitu saja, pertemuan denganmu sungguh
sebuah keberuntungan bagiku.” balasku lembut sembari menggerakkan jemariku memainkan surai
panjang si gadis yang mengayun mengikuti sepoinya angin.
“Senang mendengarnya, begitupun denganku, aku sangat beruntung dapat bertemu dengan
lelaki sepertimu. Namun,” si gadis menggantungkan kalimatnya, lalu menuntun tangannya
memberikan setangkai bunga aster putih padaku. Aku menerimanya dengan bingung. Aku tak
mengerti.

“Kau lihat matahari itu?” tunjuknya pada matahari yang sudah setengah tenggelam. Aku
hanya mengangguk menanggapinya. Tak kualihkan netraku darinya, menunggu apa yang dimaksud
oleh gadis nirmala tersebut.

“Matahari selalu terbit dan tenggelam setiap harinya. Membawa lembaran baru saat terbitnya,
dan mengakhiri saat tenggelamnya. Terbitnya matahari bagai pertemuan kita yang selalu hadirkan
lembaran baru tiap harinya, namun kisah kita tak pernah menjadi senja, fajar selalu menemani kisah
kita, dan kini saatnya senja menutupnya, mari buat kisah ini menjadi tenggelamnya matahari
mengakhiri hari.” ucapnya tegas namun terdapat banyak keraguan dalam setiap katanya.

Terkejut. Itulah perasaanku sekarang. Tidak, mengapa? Mengapa kita harus menghadirkan
senja pada kisah kita? Tentu aku tidak bodoh untuk mengetahui apa yang dimaksud senja olehnya.
Lidahku kelu hanya untuk mengatakan ‘tidak’ padanya.

Kita berdua sama-sama terdiam. Tak ada yang berbicara sepatah kata pun. Bahkan deru nafas
hampir tidak terdengar. Hingga gadis itu berdeham pelan dan memberiku setangkai bunga marigold
yang sedari tadi digenggamnya. Hendak beranjak pergi, sebelum aku menahan tangannya.
Mencegahnya pergi.

“Lantas, marilah kita merangkai malam, melihat gulita, dan menjadi bintang untuk kita
berdua. Hancurlah langit, apabila tak memiliki matahari. Tetaplah disini, denganku. Biarkan senja
hampiri kisah kita. Karena kita kan jadi senja itu sendiri, tak hanya lembaran hari-hari, tetapi
seluruhnya.” Aku mengulurkan tanganku, berharap ia menerima uluranku.

Gadis nirmala itu berbalik pelan. Hujan menghampirinya. Menatapku penuh dengan rasa
bersalah, lantas mengangguk dan menerima uluran tanganku. Karena matahari juga akan hancur jika
tak ada langit.

“PRANGGG”

“Astaga!” pekik seorang remaja yang sedang duduk di meja belajar pojok kamarnya.

“Aduhh, kok bisa pecah sih..” gerutu remaja itu entah pada siapa. Dengan berhati-hati, ia
memungut pecahan-pecahan vas kaca yang baru saja jatuh dengan sendirinya, lantas pergi keluar
kamarnya untuk membuang pecahan-pecahan tadi. Meninggalkan setangkai bunga matahari, dan dua
tangkai bunga anyelir putih tergeletak di lantai kamarnya. Di pojok meja belajarnya, terlihat
setangkai bunga mawar merah dalam vas layu begitu saja.

Anda mungkin juga menyukai